Ngalap Berkah dari Sang Kyai

Kaum muslimin yang semoga selalu mendapat taufik Allah Ta’ala. Pada hari yang dikatakan sakral oleh sebagian kaum muslimin, terdapat suatu kenyataan yang sangat memilukan yang menunjukkan kekurangan akal.

Hari tersebut adalah tanggal siji suro (1 Muharram).

Sebagian kaum muslimin yang selalu menginginkan kemudahan dalam hidupnya dan ingin mencari kebaikan malah mencarinya dengan cara yang tidak masuk akal. Mereka mencari berkah dari seekor kerbau (kebo bule) yang disebut dengan ‘Kyai Slamet’, yakni mereka saling berebut untuk mendapatkan kotoran kerbau tersebut, lalu menyimpannya, seraya berkeyakinan rizki akan lancar dan usaha akan berhasil dengan sebab kotoran tersebut. Seorang yang punya akal sehat tentu tidak mungkin melakukan hal yang demikian. Tetapi kok mereka bisa melakukan hal yang demikian?! Ke mana akal sehat mereka?!!

Itulah tabaruk (baca: mencari berkah atau ’ngalap berkah’), mereka melakukan yang demikian untuk mendapatkan berkah dari kotoran tersebut. Maka perhatikanlah pembahasan kali ini, agar kaum muslimin sekalian dapat mengetahui manakah cara mencari berkah yang dibenarkan dan manakah yang dilarang oleh agama ini.

Keberkahan Hanya dari Allah


Mencari berkah atau tabaruk adalah meminta kebaikan yang banyak dan meminta tetapnya kebaikan tersebut. Dalam Al Qur’an dan hadits menunjukkan bahwasanya keberkahan hanya berasal dari Allah semata dan tidak ada seorang makhluk pun yang dapat memberikan keberkahan.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Allah yang memberikan berkah, telah menurunkan Al Furqaan (yaitu Al Qur’an) kepada hamba-Nya” (Al Furqon: 1), yaitu menunjukkan banyaknya dan tetapnya kebaikan yang Allah berikan kepada hamba-Nya berupa Al Qur’an. Allah juga berfirman yang artinya,”Kami limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishaq” (Ash Shofaat: 113). “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada” (Maryam: 31).

Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwasanya yang memberikan berkah hanyalah Allah.

Maka tidak boleh seseorang mengatakan,’Saya memberikan berkah pada perbuatan kalian, sehingga perbuatan tersebut lancar’. Karena berkah, banyaknya kebaikan, dan kelanggengan kebaikan hanya Allah yang mampu memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Berkah yang Tidak Bisa Berpindah secara Dzat

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Al Qur’an dan hadits menunjukkan bahwa sesuatu yang Allah halalkan sebagai berkah ada 2 macam yaitu (1) berkah dari tempat dan waktu, dan (2) berkah dari zat manusia.

Berkah yang pertama ini seperti yang Allah berikan pada Baitul Haram (ka’bah) dan sekeliling Baitul Maqdis. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami” (Al Isro’: 1). Maksud dari memberkahi tempat tersebut adalah memberikan kebaikan yang banyak dan terus menerus di tempat tersebut, sehingga para hamba-Nya senantiasa ingin dan senang berdo’a di tempat tersebut, untuk memperoleh berkah di dalamnya. Ini bukan berarti -seperti anggapan sebagian kaum muslimin- bahwa seseorang boleh mengusap-ngusap bagian masjid tersebut (seperti dinding) untuk mendapatkan berkah yang banyak. Karena berkah dari masjid tersebut bukanlah berkah secara dzatnya, tetapi keberkahannya adalah secara maknawi saja, yaitu keberkahan yang Allah himpun pada bangunan ini yaitu dengan mendatanginya, thowaf di sekeliling ka’bah, dan beribadah di dalamnya yang pahalanya lebih banyak daripada beribadah di masjid lainnya.

Begitu juga hajar aswad, keberkahannya adalah dengan maksud ibadah, yaitu seseorang menciumnya atau melambaikan tangan kepadanya karena mentaati dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berkah yang dia peroleh adalah berkah karena mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar radhiyallahu ‘anhu telah mengatakan,”Sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu adalah batu biasa, tidak dapat memberikan manfaat, begitu juga tidak dapat mendatangkan bahaya.” (HR. Bukhari). Maksudnya, hajar aswad tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula memberikan bahaya kepada seseorang sedikit pun.

Sesungguhnya hal ini dilakukan dalam rangka melakukan ketaatan kepada Allah dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, beliau radhiyallahu ‘anhu mengatakan,”Dan aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka aku juga menciummu.

Adapun mendapatkan berkah dari waktu adalah seperti pada bulan Ramadhan. Bulan tersebut disebut dengan bulan yang penuh berkah (banyak kebaikan). Seperti di dalamnya terdapat malam lailatul qodar yaitu barangsiapa yang beribadah pada malam tersebut maka dia seperti beribadah seribu bulan lamanya.

Berkah dari Para Nabi dapat Berpindah secara Dzat


Kaum muslimin, berkah jenis kedua ini adalah berkah yang Allah berikan pada orang-orang mu’min dari para Nabi ‘alaihimus salam. Berkah yang terdapat pada mereka adalah berkah secara dzat (dapat berpindah secara dzat). Seluruh bagian tubuh para Nabi mulai dari Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, sampai Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya adalah berkah. Di antara kaum Nabi tersebut ada yang mencari berkah dari badan mereka, baik dengan mengusap-ngusap tubuh mereka atau mengambil keringat mereka atau mengambil berkah dari rambut mereka. Semua ini diperbolehkan karena Allah menjadikan tubuh mereka adalah berkah. Sebagaimana Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, badannya adalah berkah. Hal ini dapat dilihat dalam hadits bahwasanya para sahabat Nabi mengambil berkah dari ludah dan rambut beliau. Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka saling berebut untuk mendapat bekas wudhu beliau.

Berkah secara dzat seperti ini hanya dikhususkan kepada para Nabi ‘alaihimus salam saja dan tidak diperbolehkan bagi selain mereka. Begitu juga para sahabat Nabi sekalipun atau sahabat yang paling mulia dan sudah dijamin masuk surga seperti Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak boleh seorang pun mengambil berkah dari mereka karena hal seperti ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat yang lain kepada mereka berdua, sebagaimana mereka mengambil berkah dari rambut dan keringat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bagaimana Mencari Berkah dari ‘Kebo’ [?]

Sebagian kaum muslimin saat ini ketika menghadapi kesulitan dalam hidupnya, mereka malah mencari berkah dari para kyai. Mereka menyamakan/meng-qiyas-kan hal ini dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh diambil rambut dan keringatnya sebagai suatu keberkahan, maka menurut mereka para kyai juga pantas untuk dimintai berkahnya baik dari ludahnya atau rambutnya. Bahkan ada pula yang mengambil kotoran kyai/gurunya untuk mendapatkan berkah, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sufi. Tidakkah mereka tahu bahwa mencari berkah secara dzat seperti ini tidak diperbolehkan untuk selain para Nabi?!!

Qiyas (penyamaan hukum) yang mereka lakukan adalah qiyas yang keliru dan jelas-jelas berbeda. Jangankan mencari berkah dari kyai, mencari berkah dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu -sahabat yang mulia, yang keimanannya jika ditimbang akan lebih berat dari keimanan umat ini dan sudah dijamin masuk surga- saja tidak diperbolehkan karena beliau bukan Nabi dan tidak pernah di antara para sahabat yang lain mencari berkah dari beliau radhiyallahu ‘anhu. Apalagi dengan para kyai yang tingkat keimanannya di bawah Abu Bakar dan belum dijamin masuk surga, maka tidaklah pantas seorang pun mengambil berkah darinya.

Maka bagaimana pula dengan mengambil berkah dari kyai -yang tidak punya akal- seperti kerbau ‘Kyai Slamet’?!! Sungguh perbuatan ini tidaklah masuk akal dan tidak mungkin memberikan kebaikan sama sekali, tetapi malah akan menambah dosa. Dosa ini bukan sembarang dosa, namun dosa ini adalah dosa paling besar dari dosa-dosa lainnya yaitu dosa syirik dan Allah Ta’ala berfirman,”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni dosa yang berada di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An Nisa’: 116)

Tingkat Kesyirikan Tabaruk (Mencari Berkah)

Syaikh Sholih Alu Syaikh hafidzohullah menjelaskan bahwa jika kita memperhatikan apa yang dilakukan oleh para penyembah kubur (yang datang ke kuburan para wali dan beribadah kepadanya, -pen) di zaman kita ini, di negeri-negeri yang di sana tersebar berbagai macam kesyirikan, kita akan mendapati di antara mereka ada yang melakukan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terdahulu terhadap laata, ‘uzza, dan dzatu anwat.

Para penyembah kubur tersebut duduk-duduk di kuburan atau di sekeliling pagarnya, mereka berada di atas kuburan atau di celah-celah dinding yang mengelilingi kuburan. Mereka berkeyakinan apabila mereka menyentuhnya (dengan tujuan mencari berkah,-pen) seolah-olah mereka menyentuh orang yang berada dalam kuburan tersebut, terhubungkan roh mereka dengannya dan mereka meyakini bahwa orang yang berada di dalam kubur akan menjadi perantara antara mereka dengan Allah. Itulah pengagungan kepada kubur tersebut.

Inilah syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam,-pen) karena perkara ini mengandung ketergantungan hati kepada selain Allah dalam mengambil manfaat dan menolak bahaya serta menjadikan perantara antara diri mereka dengan Allah. Perbuatan seperti ini adalah sebagaimana yang dilakukan orang-orang musyrik dahulu (yang telah dianggap kafir oleh Allah dan Rasul-Nya,-pen). Hal ini dapat dilihat pada firman Allah yang artinya,”Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Az Zumar: 3).

Adapun apabila mereka mengusap-ngusap kubur tersebut dan meyakini bahwa kubur tersebut adalah tempat yang penuh berkah dan hanya sebagai sebab mendapatkan berkah. Maka ini adalah syirik ashgor.

(Sebagian pembahasan di atas diambil dari kitab ‘At Tamhid lii Syarhi Kitabit Tauhid’ yang ditulis oleh Menteri Wakaf Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Sholih Alu Syaikh -semoga Allah menjaga beliau-)

Wahai kaum muslimin, inilah tingkat kesyirikan tabaruk. Seseorang bisa keluar dari Islam disebabkan melakukan perbuatan syirik akbar ini. Maka renungkanlah, apakah perbuatan lain yang merupakan bentuk mencari berkah seperti ‘grebeg mulud’ (tumpukan tumpeng yang saling diperebutkan pada hari ‘maulud Nabi’) termasuk mencari berkah yang disyari’atkan atau tidak. Benarkah tumpeng yang diambil berkahnya tersebut bisa melariskan dagangan, melancarkan rizki seseorang, bisa membuat seseorang mendapatkan jodoh?!!

Semoga Allah menunjukkan kita kepada kebenaran dan meneguhkan kita di atasnya. Sesungguhnya Allah menunjuki pada jalan yang lurus bagi siapa yang dikehendaki.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
http://buletin.muslim.or.id/

Bahaya Menyekutukan Allah

Definisi syirik adalah lawan kata dari tauhid, yaitu sikap menyekutukan Allah secara dzat, sifat, perbuatan, dan ibadah. Adapun syirik secara dzat adalah dengan meyakini bahwa dzat Allah seperti dzat makhlukNya. Akidah ini dianut oleh kelompok mujassimah. Syirik secara sifat artinya seseorang meyakini bahwa sifat-sifat makhluk sama dengan sifat-sifat Allah. Dengan kata lain, mahluk mempunyai sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah. Tidak ada bedanya sama sekali.

Sedangkan syirik secara perbuatan artinya seseorang meyakini bahwa makhluk mengatur alam semesta dan rezeki manusia seperti yang telah diperbuat Allah selama ini. Sedangkan syirik secara ibadah artinya seseorang menyembah selain Allah dan mengagungkannya seperti mengagungkan Allah serta mencintainya seperti mencintai Allah. Syrik-syirik dalam pengertian tersebut, secara eksplisit maupun implisit, telah ditolak oleh Islam. Karenanya, seorang muslim harus benar-benar berhat-hati dan menghindar jauh-jauh dari syirik-syirik seperti yang telah diterangkan di atas.

Contoh bentuk-bentuk syirik ada banyak. Di antaranya, pertama, menyembah patung atau berhala (al-ashnaam). Allah swt. menyebutnya dalam ayat berikut ini.

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. [QS. Al Hajj (22): 30]

Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, “Wahai Bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” [QS. Maryam (19): 42]

Menyembah matahari adalah bentuk syirik yang kedua. Allah menolak orang-orang yang menyebah matahari, bulan, dan atau bintang.

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. [QS. Al A'raaf (7): 54]

Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”. [QS. Fushshilat (41): 37]

Bentuk syirik yang ketiga adalah menyembah malaikat dan jin.

Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan) bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. [QS. Al An'aam (6): 100]

Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat, “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikat itu menjawab, “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka. Bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.”. [QS. Saba' (34): 40-41]

Bentuk syirik keempat adalah menyembah para nabi, seperti Nabi Isa a.s. yang disembah kaum Nasrani dan Uzair yang disembah kaum Yahudi. Keduanya sama-sama dianggap anak Allah.

Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putera Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al masih itu putera Allah.” Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah (9): 30]

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam.” Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. [QS. Al-Maidah (5): 72]

Bentuk syirik yang kelima adalah menyembah rahib atau pendeta. Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.

Adi bin Hatim r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai hal tersebut, seraya berkata, “Sebenarnya mereka tidak menyembah pendeta atau rahib mereka.” Rasululah saw. menjawab, “Benar, tetapi para rahib atau pendeta itu telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, sementara mereka mengikutinya. Bukankah itu tindak penyembahan terhadap mereka?

Bentuk syirik yang keenam, menyembah Thaghuut. Istilah thaghuut diambil dari kata thughyaan artinya melampaui batas. Maksudnya, segala sesuatu yang disembah selain Allah. Setiap seruan para rasul intinya adalah mengajak kepada tauhid dan menjauhi thaghuut. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” [QS. An-Nahl (16): 36].

Dan tauhid yang murni tidak akan bisa dicapai tanpa menghindar dari menyembah thaghuut. Allah berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghuut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al-Baqarah (2): 256]

Allah bangga dengan orang-orang beriman yang menjauhi thaghuut. “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku.” [QS. Az-Zumar (39): 17]

Bentuk syirik yang ketujuh adalah menyembah hawa nafsu. Hawa nafsu adalah kecendrungan untuk melakukan keburukan. Seseorang yang menuhankan hawa nafsu, mengutamakan keinginan nafsunya di atas cintanya kepada Allah. Dengan demikian ia telah mentaati hawa nafsunya dan menyembahnya. Allah berfirman, “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” [QS. Al-Furqaan (25): 43]

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” [QS. Al-Jatsiyah (45): 23]

Macam-macam Syirik


Ada dua macam syirik, yaitu syirik besar dan syirik kecil. Masing-masing dari kedua macam ini mempunyai dua dimesi: zhahir (tampak) dan khafiy (tersembunyi).


Syirik besar (asy-syirkul akbar) adalah tindakan menyekutukan Allah dengan makhlukNya. Dikatakan syirik besar karena pelakunya tidak akan diampuni dosanya dan tidak akan masuk surga. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia; dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [QS. An-Nisaa' (4): 116]

Syirik besar ini dibagi dua dimensi: zhahir dan kafiy. Contoh syirik besat yang zhahir adalah seperti menyembah bintang, matahari, bulan, patung-patung, batu-batu, pohon-pohon besar, dan manusia (seperti menyembah Fir’un, raja-raja, Budha, Isa bin Maryam, malaikat, jin dan Setan). Sementara yang khafiy bisa dicontohkan seperti meminta kepada orang-orang yang sudah mati dengan keyakinan bahwa mereka bisa memenuhi apa yang mereka yakini, atau menjadikan seseorang sebagai pembuat hukum, menghalalkan dan mengharamkan seperti yang seharusnya menjadi hak Allah swt.

Adapun syirik kecil (asy-syirkul ashghar) adalah suatu tindakan yang mengarah kepada syirik, tetapi belum sampai ke tingkat keluar dari tauhid, hanya saja mengurangi kemurniannya. Syirik kecil juga dua dimensi: dzahir dan khafiy. Yang zhahir bisa berupa lafal (pernyataan) dan perbuatan.

Contoh yang berupa lafal adalah bersumpah dengan nama selain Allah dan mengarah ke syirik seperti “demi Nabi, demi Ka’bah, demi kakek dan nenek.” Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda, “Man halafa bighairillahi faqad kafara wa asyraka (siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka ia kafir dan musyrik).” (HR. Turmidzi nomor 1535). Termasuk lafal yang mengarah ke syirik pernyataan, “Kalau tidak karena Allah dan si fulan niscaya ini tidak akan terjadi.” Contoh yang lain adalah memberikan nama anak dengan Abdul Ka’bah dan lain sebagainya.

Adapun contoh syirik kecil zhahir yang berupa perbuatan seperti mengalungkan jimat dengan keyakinan bahwa itu bisa menyelamatkan dari mara bahaya.

Syirik kecil yang khafiy biasanya berupa niat atau keinginan, seperti riya’ dan sum’ah. Yaitu melakukan tindak ketaatan kepada Allah dengan niat ingin dipuji orang. Seperti menegakkan shalat dengan tampak khusyu’ karena sedang di samping calon mertua. Seseorang berbuat seperti itu dengan harapan supaya dipuji sebagai orang shalih. Padahal di saat sendirian, shalatnya tidak demikian. Riya’ adalah termasuk dosa hati yang sangat berbahaya. Karena itu, Islam sangat memperhatikan sebab perbuatan hati adalah faktor yang menentukan bagi baik tidaknya perbuatan zhahir.

Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [QS. Al-Baqarah (2): 264]

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda, “Man samma’a sammallahu bihii, waman yaraa’ii yaraaillahu bihii (siapa yang menampakkan amalnya dengan maksud riya’ Allah akan menyingkapnya di hari Kiamat, dan siapa yang menunjukkan amal shalihnya dengan maksud ingin dipuji orang, Allah mengeluarkan rahasia tersebut di hari Kiamat).” (HR. Bukhari 11/288 dan Muslim nomor 2987)

Bahaya-bahaya Syirik


Perbuatan syirik sangat berbahaya. Berikut ini beberapa bahaya yang akan menimpa orang-orang pelaku syirik.


Pertama, syirik adalah kezhaliman yang nyata.

Allah berfirman, “Innasy syirka ladzlumun adziim (sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar).” [QS. Luqman (31): 13]. Mengapa disebut kezhaliman yang besar? Sebab dengan berbuat syirik seseorang telah menjadikan dirinya sebagai hamba makhluk yang sama dengan dirinya yang tidak berdaya apa-apa.

Kedua, syirik merupakan sumber khurafat
.
Sebab, orang-orang yang meyakini bahwa selain Allah –seperti bintang, matahari, kayu besar dan lain sebagainya– bisa memberikan manfaat atau bahaya, berarti ia telah siap melakukan segala khurafat dengan mendatangi para dukun, kuburan-kuburan angker, dan mengalungkan jimat di lehernya.

Ketiga, syirik adalah sumber ketakutan dan kesengsaraan.

Allah berfirman, “Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zhalim.” [QS. Ali Imran (3): 151]

Keempat, syirik merendahkan derajat kemanusiaan si pelakunya.

Allah berfirman, “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” [QS. Al-Hajj (22): 31]

Kelima, syirik menghancurkan kecerdasan manusia.

Allah berfirman, “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan. Dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa`at kepada kami di sisi Allah.’ Katakanlah, ‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?’ Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).” [QS. Yunus (10): 18]

Keenam, di akhirat nanti orang-orang musyrik tidak akan mendapatkan ampunan Allah dan akan masuk neraka selama-lamanya.

Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [QS. An-Nisaa' (4): 116]

Allah juga berfirman, “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” [QS. Al-Maidah (5): 72]

Sebab-sebab Syirik

Ada tiga sebab fundamental munculnya prilaku syirik, yaitu al-jahlu (kebodohan), dha’ful iiman (lemahnya iman), dan taqliid (ikut-ikutan secara membabi-buta).

Al-jahlu sebab pertama perbuatan syirik. Karenanya masyarakat sebelum datangnya Islam disebut dengan masyarakat jahiliyah. Sebab, mereka tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dalam kondisi yang penuh dengan kebodohan itu, orang-orang cendrung berbuat syirik. Karenanya semakin jahiliyah suatu kaum, bisa dipastikan kecendrungan berbuat syirik semakin kuat. Dan biasanya di tengah masyarakat jahiliyah para dukun selalu menjadi rujukan utama. Mengapa? Sebab mereka bodoh, dan dengan kobodohannya mereka tidak tahu bagaimana seharusnya mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi. Ujung-ujungnya para dukun sebagai narasumber yang sangat mereka agungkan.

Penyebab kedua perbuatan syirik adalah dha’ful iimaan (lemahnya iman). Seorang yang imannya lemah cendrung berbuat maksiat. Sebab, rasa takut kepada Allah tidak kuat. Lemahnya rasa takut kepada Allah ini akan dimanfaatkan oleh hawa nafsu untuk menguasai diri seseorang. Ketika seseorang dibimbing oleh hawa nafsunya, maka tidak mustahil ia akan jatuh ke dalam perbuatan-perbuatan syirik seperti memohon kepada pohonan besar karena ingin segera kaya, datang ke kuburan para wali untuk minta pertolongan agar ia dipilih jadi presiden, atau selalu merujuk kepada para dukun untuk suapaya penampilannya tetap memikat hati orang banyak.

Taqliid sebab yang ketiga. Al-Qur’an selalu menggambarkan bahwa orang-orang yang menyekutukan Allah selalu memberi alasan mereka melakukan itu karena mengikuti jejak nenek moyang mereka. Allah berfirman, “Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, ‘Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.’ Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” [QS. Al-A'raf (7): 28]

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” [QS. Al-Baqarah (2): 170]

Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” [QS. Al-Maidah (5): 104]

Oleh: Mochamad Bugi
http://www.dakwatuna.com/2007/bahaya-menyekutukan-allah/

Ma’rifatullah

Ma’rifatullah (Bagian 1)

dakwatuna.com – Mungkin ada di kalangan kaum muslimin yang bertanya kenapa pada saat ini kita masih perlu berbicara tentang Allah padahal kita sudah sering mendengar dan menyebut namaNya, dan kita tahu bahwa Allah itu Tuhan kita. Tidakkah itu sudah cukup untuk kita?

Tidak. Jangan sekali-kali kita merasa cukup dengan pemahaman dan pengenalan kita terhadap Allah. Karena, semakin memahami dan mengenaliNya kita merasa semakin dekat denganNya. Selain itu, dengan pengenalan yang lebih dalam lagi, kita bisa terhindar dari pemahaman-pemahaman yang keliru tentang Allah dan kita terhindar dari sikap-sikap yang salah terhadap Allah.

Ketika kita membicarakan makrifatullah, maknanya kita berbicara tentang Rabb, Malik, dan Ilah kita. Rabb yang kita pahami dari istilah Al-Qur’an adalah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa. Kata Ilah mengandung arti yang dicintai, yang ditakuti, dan juga sebagai sumber pengharapan. Makna seperti ini ada di dalam surat An-Naas (114): 1-3.

Dengan demikian jelaslah bahwa usaha kita untuk lebih jauh memahami dan mengenal Allah adalah bagian terpenting di dalam hidup ini. Lantas, bagaimana metoda yang harus kita tempuh untuk bisa mengenal Allah? Apa saja halangan yang senantiasa menghantui manusia dari mengenalNya? Benarkan kalimat yang mengatakan, “Kenalilah dirimu niscaya engkau akan mengenali Tuhanmu.” Dari pengenalan diri sendiri, maka ia akan membawa kepada pengenalan (makrifah) yang menciptakan diri, yaitu Allah. Ini adalah karena pada hakikatnya makrifah kepada Allah adalah sebenar-benar makrifah dan merupakan asas segala kehidupan rohani.

Setelah makrifah kepada Allah, akan membawa kita kepada makrifah kepada Nabi dan Rasul, makrifah kepada alam nyata dan alam ghaib dan makrifah kepada alam akhirat.

Keyakinan terhadap Allah swt. menjadi mantap apabila kita mempunyai dalil-dalil dan bukti yang jelas tentang kewujudan (eksistensi) Allah lantas melahirkan pengesaan dalam mentauhidkan Allah secara mutlak. Pengabdian diri kita hanya semata-mata kepada Allah saja. Ini memberi arti kita menolak dan berusaha menghindarkan diri dari bahaya-bahaya disebabkan oleh syirik kepadaNya.

Kita harus berusaha menempatkan kehidupan kita di bawah bayangan tauhid dengan cara kita memahami ruang perbahasan dalam tauhid dengan benar tanpa penyelewengan sesuai dengan manhaj salafush shalih. Kita juga harus memahami empat bentuk tauhidullah yang menjadi misi ajaran Islam di dalam Al-Qur’an maupun sunnah, yaitu tauhid asma wa sifat, tauhid rububiah, tauhid mulkiyah, dan tauhid uluhiyah. Dengan pemahaman ini kita akan termotivasi untuk melaksanakan sikap-sikap yang menjadi tuntutan utama dari setiap empat tauhid tersebut.

Kehidupan paling tenang adalah kehidupan yang bersandar terus kecintaannya kepada Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu kita harus mampu membedakan di antara cinta kepada Allah dengan cinta kepada selainNya serta menjadikan cinta kepada Allah mengatasi segala-galanya. Apa yang menjadi tuntutan kepada kita ialah kita menyadari pentingnya melandasi seluruh aktivitas hidup dengan kecintaan kepada Allah, Rasul, dan jihad secara minhaji.

Di dalam memahami dan mengenal Allah ini, kita seharusnya memahami bahwa Allah sebagai sumber ilmu dan pengetahuan. Ilmu-ilmu yang Allah berikan itu menerusi dua jalan yang membentuk dua fungsi yaitu sebagai pedoman hidup dan juga sebagai sarana hidup. Kita juga sepatutnya menyadari kepentingan kedua bentuk ilmu Allah dalam pengabdian kepada Allah untuk mencapai tahap takwa yang lebih cemerlang.

Ayat-ayat Allah ada dalam bentuk ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Kedua jenis ayat-ayat Allah ini terbuka bagi siapa saja yang ingin membaca dan menelitinya. Namun terdapat berbagai halangan akan muncul di hadapan kita dalam mengenali Allah. Halangan-halangan ini muncul dalam bentuk sifat-sifat pribadi kita yang bersumberdari syahwat –seperti nifaq, takabbur, zhalim, dan dusta– dan sifat-sifat yang bersumber dari syubhat –seperti jahil, ragu-ragu, dan menyimpang. Kesemua sifat-sifat fujur itu akan menghasilkan kekufuran terhadap Allah swt.

Ahammiyah Ma’rifatullah (Urgensi mempelajari Makrifatullah)

Riwayat ada menyatakan bahwa perkara pertama yang mesti dilaksanakan dalam agama adalah mengenal Allah (awwaluddin ma’rifatullah). Bermula dengan mengenal Allah, maka kita akan mengenali diri kita sendiri. Siapakah kita, di manakah kedudukan kita berbanding makhluk-makhluk yang lain? Apakah sama misi hidup kita dengan binatang-binatang yang ada di bumi ini? Apakah tanggung jawab kita dan ke manakah kesudahan hidup kita? Semua persoalan itu akan terjawab secara tepat setelah kita mengenali betul Allah sebagai Rabb dan Ilah, Yang Mencipta, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan.

Dalil-dalil:

QS. Muhammad (47): 19

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.

Ayat ini mengarahkan kepada kita dengan kalimat “ketahuilah olehmu” bahwasanya tidak ada ilah selain Allah dan minta ampunlah untuk dosamu dan untuk mukminin dan mukminat. Apabila Al-Qur’an menggunakan sibghah amar (perintah), maka menjadi wajib menyambut perintah tersebut. Dalam konteks ini, mengetahui atau mengenali Allah (ma’rifatullah) adalah wajib.

QS. Ali Imran (3): 18

Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan melainkan Dia, dan telah mengakui pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu sedang Allah berdiri dengan keadilan. Tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.

QS. Al-Hajj (22): 72-73
Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah, “Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?” Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.

Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.

QS. Az-Zumar (39): 67

Mereka tidak mentaqdirkan Allah dengan ukuran yang sebenarnya sedangkan keseluruhan bumi berada di dalam genggamanNya pada Hari Kiamat dan langit-langit dilipatkan dengan kananNya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan.

Tema Perbicaraan Makrifatullah – Allah Rabbul Alamin.


Ketika membicarakan ma’rifatullah, artinya kita sedang membicarakan tentang Rabb, Malik, dan Ilah kita. Rabb yang kita pahami dari istilah Al-Qur’an adalah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, dan Penguasa. Sedangkan kata Ilah mengandungi arti yang dicintai, yang ditakuti, dan juga sebagai sumber pengharapan. Hal ini termaktub dalam surat An-Naas (114): 1-3. Inilah tema yang dibahas dalam ma’rifatullah. Jika kita menguasai dan menghayati keseluruhan tema ini, bermakna kita telah mampu menghayati makna ketuhanan yang sebenarnya.

Dalil-dalil:

QS. Ar-Ra’du (13): 16
Katakanlah, “Siapakah Rabb segala langit dan bumi?” Katakanlah, “Allah.” Katakanlah, “Adakah kamu mengambil wali selain dariNya yang tiada manfaat kepada dirinya dan tidak pula dapat memberikan mudarat?” Katakanlah, “Apakah sama orang buta dengan orang yang melihat? Apakah sama gelap dan nur (cahaya)?” Bahkan adakah mereka mengadakan bagi Allah sekutu-sekutu yang menjadikan sebagaimana Allah menjadikan, lalu serupa makhluk atas mereka? Katakanlah, “Allah. Allah yang menciptakan tiap tiap sesuatu dan Dia Esa lagi Maha Kuasa.”

QS. Al-An’am (6): 12
Katakanlah, “Bagi siapakah apa-apa yang di langit dan bumi?” Katakanlah, “Bagi Allah.” Dia telah menetapkan ke atas diriNya akan memberikan rahmat. Sesungguhnya Dia akan menghimpun kamu pada Hari Kiamat, yang tidak ada keraguan padanya. Orang-orang yang merugikan diri mereka, maka mereka tidak beriman.”

QS. Al-An’am (6): 19

Katakanlah, “Apakah saksi yang paling besar?” Katakanlah, “Allah lah saksi di antara aku dan kamu. Diwahyukan kepadaku Al-Qur’an ini untuk aku memberikan amaran kepada engkau dan sesiapa yang sampai kepadanya Al-Qur’an. Adakah engkau menyaksikan bahawa bersama Allah ada tuhan-tuhan yang lain?” Katakanlah, “Aku tidak menyaksikan demikian.” Katakanlah, “Hanya Dia-lah Tuhan yang satu dan aku bersih dari apa yang kamu sekutukan.”

QS. An-Naml (27): 59
Katakanlah, “Segala puji-pujian itu adalah hanya untuk Allah dan salam sejahtera ke atas hamba-hambanya yang dipilih. Adakah Allah yang paling baik ataukah apa yang mereka sekutukan?”

QS. An-Nur (24): 35

“Allah memberi cahaya kepada seluruh langit dan bumi.”

QS. Al-Baqarah (2): 255
“Allah. Tidak ada tuhan melainkan Dia. Dia hidup dan berdiri menguasai seluruh isi bumi dan langit.”

Didukung Dengan Dalil Yang Kuat

QS. Al-Qiyamah (75): 14-15
Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.

Makrifatullah yang sahih dan tepat itu mestilah bersandarkan dalil-dalil dan bukti-bukti kuat yang telah siap disediakan oleh Allah untuk manusia dalam berbagai bentuk agar manusia berpikir dan membuat penilaian. Oleh karena itu banyak fenomena alam yang dibahas oleh Al-Qur‘an dan diakhiri dengan kalimat pertanyaan: tidakkah kamu berpikir, tidakkah kamu mendengar. Pertanyaan-pertanyaan itu mendudukkan kita pada satu pandangan yang konkrit betapa semua fenomena alam adalah di bawah milik dan aturan Allah swt.

Dalil-dalil:

Naqli [QS. Al-An'am (6): 19]
Katakanlah, “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah, “Allah.” Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al-Qu’ran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?” Katakanlah, “Aku tidak mengakui.” Katakanlah, “Sesungguhnya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).”

Aqli, [QS. Ali Imran (3): 190]

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

Fitri, [QS. Al-A'raf (7): 172]
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan).”

Dapat Menghasilkan: peningkatan iman dan taqwa.

Apabila kita betul-betul mengenal Allah mentadaburi dalil-dalil yang dalam, hubungan kita dengan Allah menjadi lebih akrab. Apabila kita dekat dengan Allah, Allah lebih dekat lagi kepada kita. Setiap ayat Allah baik ayat qauliyah maupun kauniyah tetap akan menjadi bahan berpikir kepada kita dan penambah keimanan serta ketakwaan. Dari sini akan menghasilkan pribadi muslim yang merdeka, tenang, penuh keberkatan, dan kehidupan yang baik. Tentunya tempat abadi baginya adalah surga yang telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba yang telah diridhaiNya.

Kemerdekaan [QS. Al-An'am (6): 82]

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan; dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Ketenangan [QS. Al-Ra'du (13): 28]
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

Barakah [QS. Al-A'raf (7): 96]

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Kehidupan Yang Baik [QS. Al-Nahl (16): 97]
Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Surga [QS. Yunus (10): 25-26]

Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.

Mardhotillah [QS. Al-Bayinah (98): 8]
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.

http://www.dakwatuna.com/2008/marifatullah-bagian-1/


Ma’rifatullah (Bagian 2)

Ath-Thariqu Ila Ma’rifatullah, Jalan Menuju Pengenalan Terhadap Allah swt.


Allah swt. tidak menampilkan wujud Dzatnya Yang Maha Hebat di hadapan makhluk-makhluknya secara langsung dan dapat dilihat seperti kita melihat sesama makhluk. Maka, segala sesuatu yang tampak dan dapat dilihat dengan mata kepala kita, pasti itu bukan tuhan. Allah menganjurkan kepada manusia untuk mengikuti Nabi saw. supaya berpikir tentang makhluk-makhluk Allah. Jangan sekali-kali berpikir tentang Dzat Allah. Makhluk-makhluk yang menjadi tanda kebesaran dan keagungan Allah inilah yang disarankan di dalam banyak ayat Al-Qur’an agar menjadi bahan berpikir tentang kebesaran Allah.

Ayat Qauliyah


Ayat-ayat qauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah swt. di dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek, termasuk tentang cara mengenal Allah.

QS. At-Tin (95): 1-5
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman; sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).

Ayat Kauniyah

Ayat kauniah adalah ayat atau tanda yang wujud di sekeliling yang diciptakan oleh Allah. Ayat-ayat ini adalah dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa dan sebagainya yang ada di dalam alam ini. Oleh karena alam ini hanya mampu dilaksanakan oleh Allah dengan segala sistem dan peraturanNya yang unik, maka ia menjadi tanda kehebatan dan keagungan Penciptanya.

QS. Nuh (41): 53
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?

Metode Islam Dengan Naqli dan Akal


Islam menghargai nilai akal yang dimiliki manusia. Karena dengan sarana akal ini, manusia mampu berpikir dan memilih antara yang benar atau salah. Walau begitu, dengan akal semata-mata tanpa panduan dari Pencipta akal, pencapai pemikiran manusia cukup terbatas. Apa lagi jika dicampurkan dengan unsur (anasir) hawa nafsu dan zhan (prasangka). Gabungan antara kemampuan akal dan panduan dari Penciptanya akan menghasilkan pengenalan yang tepat dan mantap terhadap Allah swt. Maka, menjadi satu kesalahan besar apabila manusia tidak menggunakan akalnya untuk berpikir.

QS. Yunus (10): 100-101

Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. Katakanlah, “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.”

QS. Ath-Thalaaq (65): 10
Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah, hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu.

QS. Al-Mulk (67): 10

Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.”

Tasdiq (membenarkan)


Hasil dari berpikir dan meneliti secara terus menurut pedoman-pedoman yang sewajarnya, akan mencetuskan rasa kebenaran, kehebatan dan keagungan Allah. Boleh jadi ia berbetulan dengan firman Allah di An-Najm (53): 11 yang berbunyi, “Tiadalah hatinya mendustakan (mengingkari) apa-apa yang dilihatnya). Hati mula membenarkan dan akur kepada kebijaksanaan Tuhan.”

QS. Ali Imran (3): 191

Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.

QS. Qaf (50): 37

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.

Menghasilkan Iman.

Metode pengenalan kepada Allah yang dibawa oleh Islam ini cukup efektif secara berurutan sehingga akhirnya menghasilkan keimanan sejati kepada Allah azzawajalla.

Metode Selain Islam

Pemikiran berkenaan theologi dan ketuhanan banyak juga dibawa oleh pemikir-pemikir dari penjuru dunia, tetapi tidak berlandaskan kepada metoda yang sebenarnya. Kebanyakannya berlandaskan duga-dugaan, sangka-sangkaan, dan hawa nafsu. Pastinya metoda itu tidak akan sampai kepada tujuan (natijah) yang sebenar karena bayang-bayang khayalan tetap menghantui pemikiran mereka. Ada tuhan angin, tuhan api, tuhan air yang berasingan dengan rupa-rupa yang berbeda seperti yang digambarkan oleh Hindu, Budha, dan seumpamanya.

Dugaan dan Hawa Nafsu

Dua unsur utama dalam metoda mengenal tuhan yang tidak berlandaskan disiplin yang sebenar adalah sangka-sangkaan dan juga hawa nafsu. Campur tangan dua unsur ini sangat tidak mungkin untuk mencapai natijah yang tepat dan shahih.

QS. Al-Baqarah (2): 55
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang,” karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.

QS. Yunus (10): 36
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.

QS. Al-An’am (6): 115
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Ragu-Ragu

Apabila jalan yang dilalui tidak jelas dan tidak tepat, maka hasil yang didapati juga sangat tidak meyakinkan. Mungkin ada hasil yang didapati, tetapi bukan hasil yang sebenarnya. Bagaimanakah kita ingin mengenal Allah tetapi kaidah pengenalan yang kita gunakan tidak menurut neraca dan panduan yang telah ditetapkan oleh Allah. Kadangkala Umar bin Khattab tersenyum sendiri mengenangkan kebodohannya menyembah patung yang dibuatnya sendiri dari gandum sewaktu jahiliyah. Apabila terasa lapar, dimakannya pujaan itu.

QS. Al-Hajj (22): 55
Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al-Qur’an, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.

QS. An-Nur (24): 50
Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu, ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.

Berakibat Kufur

Semua metoda pengenalan yang tidak berasaskan cara yang dianjurkan oleh Islam, yaitu mengikuti aqli dan naqli, akan membawa ke jalan kekufuran terhadap Allah swt.

http://www.dakwatuna.com/2008/marifatullah-bagian-2/


Ma’rifatullah (Bagian 3)

Mawani’ Ma’rifatullah

Sifat yang berasal dari penyakit syahwat.

Fasiq


Yaitu orang-orang yang melanggar janji Allah, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah menghubungkannya dan mereka melakukan bencana di atas muka bumi.

QS. Al-Baqarah (2): 26-27
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? ” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.

QS. Al-Hasyr (59): 19
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Sombong


Adalah orang yang hatinya ingkar dan membantah terhadap ayat-ayat Allah dan mereka tidak beriman dengan Allah

QS. Al-Nahl (16): 22

Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.

QS. Ghaafir (40): 35

(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.

QS. Ghaafir (40): 56
Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha Melihat.

QS. Al-A’raf (7): 12

Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”

Zalim

QS. As-Sajdah (32): 22

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.

Dusta

QS. Al-Baqarah (2): 10
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

QS. Mursalaat (77): 9-19
Dan apabila langit Telah dibelah, dan apabila gunung-gunung Telah dihancurkan menjadi debu, dan apabila rasul-rasul telah ditetapkan waktu (mereka). (Niscaya dikatakan kepada mereka,) “Sampai hari apakah ditangguhkan (mengazab orang-orang kafir itu)?” Sampai hari Keputusan. Dan tahukah kamu apakah hari Keputusan itu? Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Bukankah kami telah membinasakan orang-orang yang dahulu? Lalu kami iringkan (azab kami terhadap) mereka dengan (mengazab) orang-orang yang datang kemudian. Demikianlah kami berbuat terhadap orang-orang yang berdosa. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.

Banyak Dosa

QS. Al-Muthaffifin (83): 14
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.

Semua sifat-sifat yang disebutkan di atas tadi akan berakhir dengan kemurkaan dari Allah swt. Karena itu, sifat-sifat itu harus diobati. Obatnya dengan mujahadah. Manakala kelompok kedua adalah sifat-sifat yang berasal dari penyakit syubhat yang ada pada personaliti seseorang.

Jahil.

QS. Az-Zumar (39): 65

Dan Sesungguhnya Telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.

Ragu-Ragu.

QS. Al-Hajj (22): 55

Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu- raguan terhadap Al Quran, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.

Menyimpang.

QS. Al-Maidah (5): 13

(tetapi) Karena mereka melanggar janjinya, kami kutuki mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya[407], dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka Telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Lalai

QS. Al-A’raf (7): 179
Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.

http://www.dakwatuna.com/2008/marifatullah-bagian-3/

Menggapai Kemuliaan Akhlaq

Akhlaq menurut ahli ilmu yang benar-benar ahli dibidangnya yaitu ilmu syar’i yang mulia dan menjadikan kita tidak salah kaprah dalam memahaminya karena pada umumnya banyak orang yang memandang akhlaq hanya sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia saja, padahal akhlaq juga mencakup hubungan manusia dengan Yang Mahatinggi, Allah swt.

I. Definisi Akhlaq


Beberapa definisi akhlaq antara lain adalah :

1. Menurut Ibnu Abbas Ra ketika menafsirkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’alaa dalam surat Al Qolam ayat 4 yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlaq yang agung”, akhlaq yang agung tersebut adalah dien yang agung (Islam).

Demikian pula pendapat Mujahid, Abu Malik, As Suddi, Rabi bin Anas, Ad Dhahak, dan Ibnu Zaid. Didalam Shohih Muslim, Aisyah ra pernah ditanya tentang akhlaq Nabi Saw, lalu beliau menjawab bahwa akhlaq Beliau Saw adalah Al Quran, karena segala perintah yang terdapat didalam Al Quran beliau laksanakan dan segala larangan yang terdapat didalamnya beliau tinggalkan. Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali berkata “Dengan ini menjadi jelas bahwa akhlaq yang agung dimana Nabi disifati dengannya adalah dien yang mencakup semua perintah-perintah Alloh Ta’alaa dan larangan-Nya, sehingga bersegera untuk melaksanakan segala yang dicintai Alloh dan di ridloi-Nya dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya dengan sukarela dan lapang dada” (Makarimul Akhlaq/23) .

2. Ibnul Atsir menyebutkan dalam An Nihayah (2/70) tentang “al khuluqu” dan “al khulqu” yang berarti dien, tabiat dan sifat. Syaikh ‘Utsaimin menerangkan tentang hakikatnya adalah potret batin manusia yaitu jiwa dan kepribadiannya (Makarimul Akhlaq, hal 9).

3. Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah menyebutkan beberapa pendapat tentang definisi akhlaq didalam bukunya Madarijus Saalikin antara lain akhlaq yang baik adalah berderma, tidak menyakiti orang lain dan tangguh menghadapi penderitaan. Pendapat lain menyebutkan bahwa akhlaq yang baik adalah berbuat kebaikan dan menahan diri dari keburukan. Ada lagi yang mengatakan, “membuang sifat-sifat yang hina dan menghiasinya dengan sifat-sifat mulia

4. Imam Ibnu Qudamah menyebutkan dalam Mukhtashor Minhajul Qoshidiin bahwa akhlaq merupakan ungkapan tentang kondisi jiwa, yang begitu mudah menghasilkan perbuatan tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan, jika perbuatan itu baik maka disebut akhlaq yang baik, dan jika buruk maka disebut akhlaq yang buruk.

II. Keutamaan akhlaq yang baik

Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali menyebutkan keutamaan-keutamaan akhlaq yang mulia yaitu :

1. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab masuknya orang yang memiliki akhlaq yang mulia tersebut kedalam Jannah (surga)

Nabi Saw bersabda yang artinya “Saya adalah penjamin bagi orang yang meninggalkan mira (debat kusir) meskipun ia ada dipihak yang benar dengan mendapatkan rumah di jannah terendah dan bagi orang yang baik akhlaqnya akan mendapatkan rumah di jannah yang tertinggi” (hadits riwayat Abu Daud/4800, Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal, dengan sanad yang hasan)

Hadits lainnya yaitu dari Abu Huroiroh Rodliyallohu ‘anhu bahwasannya Rosululloh Saw pernah ditanya tentang perbuatan yang menyebabkan banyak manusia yang masuk Jannah, maka beliau menjawab yang artinya “Takwa kepada Alloh dan akhlaq yang baik”, beliau ditanya pula tentang penyebab yang menjadikan banyak manusia masuk neraka, maka beliau menjawab “mulut dan kemaluan” (diriwayatkan Tirmidzi (2003), Ibnu Majah (4246), Ahmad (2/291, 392, 442), Ibnu Hibban (Mawarid, 1923), Al Baghowi (Ma’alim At Tanziil, 4/377 dan Syarhu As Sunnah 13/79-80, Al Khoroithi (Makarimul Akhlaq hal. 10), dan Bukhori (Al Adab Al Mufrod, 442). Sanad hadits ini hasan

2. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab seorang hamba dicintai Alloh

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Hamba-hamba Alloh yang paling dicintai-Nya adalah yang paling baik akhlaqnya diantara mereka” (hadits riwayat Thabrani (471) dan Hakim (4/399-401)

3. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab seorang hamba dicintai


Rosululloh Saw. Beliau Saw bersabda yang artinya “Sesungguhnya yang paling aku cintai diantara kalian dan yang paling dekat dengan majelisnya dariku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaqnya diantara kalian” (hadits riwayat Tirmidzi (2018) dengan sanad yang hasan, dan memiliki penguat yang diriwayatkan Imam Ahmad (2/189) dengan sanad yang shohih, sehingga kesimpulannya hadits ini shohih lighoirihi)

4. Akhlaq yang mulia mendapatkan timbangan yang paling berat di hari kiamat.

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Sesuatu yang paling berat dalam timbangan seorang mukmin di hari kiamat adalah akhlaq yang baik” (hadits riwayat Abu Daud (4799), Ahmad (6/446-448), Ibnu Hibban (481) dan selain mereka)

5. Akhlaq yang mulia meninggikan derajat seseorang disisi Alloh

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Sesungguhnya seseorang itu dengan sebab akhlaqnya yang baik, sungguh akan mencapai derajat orang yang sholat malam dan shaum di siang hari” (hadits shohih riwayat Abu Daud (4798), Hakim (1/60) dan selainnya). Beliau Saw juga bersabda yang artinya “Sesungguhnya seorang muslim yang dibimbing lurus (oleh Alloh) benar-benar akan mencapai derajat ahli shaum dan ahli ibadah (sholat) yang selalu melantunkan ayat-ayat Alloh disebabkan karakternya yang mulia dan akhlaqnya yang baik” (hadits shohih riwayat Ahmad (2/17 dan 220)

6. Akhlaq yang mulia merupakan sebaik-baik amalan manusia

Rosululloh Saw bersabda yang artinya ” Wahai Abu Dzar, maukah aku tunjukkan kepadamu dua hal ; keduanya itu sangat ringan dipikul dan sangat berat dalam timbangan dibandingkan selain keduanya?” Abu Dzar menjawab, “Tentu wahai Rosululloh.”, beliau bersabda, “Engkau harus berakhlaq yang baik dan harus banyak diam, demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak ada amalan manusia yang menyamai keduanya.” (diriwatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam As Shamt (112 dan 554), Al Bazzar (Kasyful Atsar, 4/220) dan lain-lain. Hadits ini derajatnya hasan

7. Akhlaq yang mulia menambah umur


8. Akhlaq yang mulia menjadikan rumah makmur


Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Akhlaq yang baik dan bertetangga yang baik, keduanya menjadikan rumah makmur dan menambah umur” (hadits shohih riwayat Ahmad, 6/159)

Dari uraian tentang definisi dan keutamaan akhlaq diatas, semoga menjadikan kita dapat mengerti tentang akhlaq menurut ahli ‘ilmu yang benar-benar ahli dibidangnya yaitu ‘ilmu syar’i yang mulia dan menjadikan kita tidak salah kaprah dalam memahaminya karena pada umumnya banyak orang yang memandang akhlaq hanya sebagai sesuatu yang berkaitan tentang hubungan manusia dengan sesama manusia saja, padahal akhlaq juga mencakup hubungan manusia dengan Yang Mahatingg, Yang ada di atas Arsy sana, Yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar, dan tidak ada yang serupa dengan-Nya yaitu Alloh Subhanahu wa Ta’alaa, Dialah Pencipta manusia, sehingga hanya Dialah yang Mahatahu tentang apa yang terbaik buat para hamba-Nya sehingga Dia memerintahkannya melalui KalamNya yang mulia yaitu Al Quran dan melalui lisan utusannya yang mulia yaitu Nabi Muhammad Saw. Wallahu a’lam

http://www.dakwatuna.com/2009/menggapai-kemuliaan-akhlaq/

Tanda Ikhlas: Berusaha Menyembunyikan Amalan

Posting kali ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya "Berusaha untuk Ikhlas". Kami harapkan pembaca bisa membaca tulisan sebelumnya, agar mendapat pemahaman yang utuh. Semoga Allah senantiasa memberi kita taufik agar dapat beramal dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi-Nya.

***

Pertama: Menyembunyikan Amalan


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ

Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri.”[1] Mengasingkan diri berarti amalannya pun sering tidak ditampakkan pada orang lain.

Ibnul Mubarok mengatakan, “Jadilah orang yang suka mengasingkan diri (sehingga amalan mudah tersembunyi, pen), dan janganlah suka dengan popularitas.

Az Zubair bin Al ‘Awwam mengatakan, “Barangsiapa yang mampu menyembunyikan amalan sholihnya, maka lakukanlah.

Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan.

Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.

Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.

Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?

Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak.”[2]

:: Contoh para salaf dalam menyembunyikan amalan mereka ::

Pertama: Menyembunyikan amalan shalat sunnah


Ar Robi bin Khutsaim –murid ‘Abdullah bin Mas’ud- tidak pernah mengerjakan shalat sunnah di masjid kaumnya kecuali hanya sekali saja.[3]

Kedua: Menyembunyikan amalan shalat malam


Ayub As Sikhtiyaniy memiliki kebiasaan bangun setiap malam. Ia pun selalu berusaha menyembunyikan amalannya. Jika waktu shubuh telah tiba, ia pura-pura mengeraskan suaranya seakan-akan ia baru bangun ketika itu. [4]

Ketiga: Bersedekah secara sembunyi-sembunyi.

Di antara golongan yang mendapatkan naungan Allah di hari kiamat nanti adalah,

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ

Seseorang yang bersedekah kemudian ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.”[5] Permisalan sedekah dengan tangan kanan dan kiri adalah ungkapan hiperbolis dalam hal menyembunyikan amalan. Keduanya dipakai sebagai permisalan karena kedekatan dan kebersamaan kedua tangan tersebut.[6]

Contoh yang mempraktekan hadits di atas adalah ‘Ali bin Al Husain bin ‘Ali. Beliau biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari. Beliau pun membagi roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi. Beliau mengatakan,

إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِىءُ غَضَبَ الرَّبِّ عَزَّ وَ جَلَّ

“Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredam kemarahan Rabb ‘azza wa jalla.” Penduduk Madinah tidak mengetahui siapa yang biasa memberi mereka makan. Tatkala ‘Ali bin Al Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya. Di punggung Ali bin Al Husain terlihat bekas hitam karena seringnya memikul karung yang dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam hari. Subhanallah, kita mungkin sudah tidak pernah melihat makhluk semacam ini di muka bumi ini lagi.[7]

Keempat: Menyembunyikan amalan puasa sunnah.

Dalam rangka menyembunyikan amalan puasa sunnah, sebagian salaf senang berhias agar tidak nampak lemas atau lesu karena puasa. Mereka menganjurkan untuk menyisir rambut dan memakai minyak di rambut atau kulit di kala itu. Ibnu ‘Abbas mengatakan,

إِذَا كَانَ صَوْمُ أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلاً

Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaklah ia memakai minyak-minyakan dan menyisir rambutnya.”[8]

Daud bin Abi Hindi berpuasa selama 40 tahun dan tidak ada satupun orang, termasuk keluarganya yang mengetahuinya. Ia adalah seorang penjual sutera di pasar. Di pagi hari, ia keluar ke pasar sambil membawa sarapan pagi. Dan di tengah jalan menuju pasar, ia pun menyedekahkannya. Kemudian ia pun kembali ke rumahnya pada sore hari, sekaligus berbuka dan makan malam bersama keluarganya.[9] Jadi orang-orang di pasar mengira bahwa ia telah sarapan di rumahnya. Sedangkan orang-orang yang berada di rumah mengira bahwa ia menunaikan sarapan di pasar. Masya Allah, luar biasa trik beliau dalam menyembunyikan amalan.

Begitu pula para ulama seringkali membatalkan puasa sunnahnya karena khawatir orang-orang mengetahui kalau ia puasa. Jika Ibrohim bin Ad-ham diajak makan (padahal ia sedang puasa), ia pun ikut makan dan ia tidak mengatakan, “Maaf, saya sedang puasa”.[10] Itulah para ulama, begitu semangatnya mereka dalam menyembunyikan amalan puasanya.

Kelima: Menyembunyikan bacaan Al Qur’an dan dzikir


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ

Orang yang mengeraskan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang terang-terangan dalam bersedekah. Orang yang melirihkan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang sembunyi-sembunyi dalam bersedekah.”[11]

Setelah menyebutkan hadits di atas, At Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini bermakna bahwa melirihkan bacaan Qur’an itu lebih utama daripada mengeraskannya karena sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih utama dari sedekah yang terang-terangan sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama. Mereka memaknakan demikian agar supaya setiap orang terhindar dari ujub. Seseorang yang menyembunyikan amalan tentu saja lebih mudah terhindar dari ujub daripada orang yang terang-terangan dalam beramal.

Yang dipraktekan oleh para ulama, mereka sampai-sampai menutupi mushafnya agar orang tidak tahu kalau mereka membaca Qur’an. Ar Robi’ bin Khutsaim selalu melakukan amalan dengan sembunyi-sembunyi. Jika ada orang yang akan menemuinya, lalu beliau sedang membaca mushaf Qur’an, ia pun akan menutupi Qur’annya dengan bajunya.[12] Begitu pula halnya dengan Ibrohim An Nakho’i. Jika ia sedang membaca Qur’an, lalu ada yang masuk menemuinya, ia pun segera menyembunyikan Qur’annya.[13] Mereka melakukan ini semua agar amalan sholihnya tidak terlihat oleh orang lain.

Keenam: Menyembunyikan tangisan


Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Tangisan itu ada sepuluh bagian. Sembilan bagian biasanya untuk selain Allah (tidak ikhlas) dan satu bagian saja yang biasa untuk Allah. Jika ada satu tangisan saja dilakukan dalam sekali setahun (ikhlas) karena Allah, maka itu pun masih banyak.”[14]

Dalam rangka menyembunyikan tangisnya, seorang ulama sampai pura-pura mengatakan bahwa dirinya sedang pilek karena takut terjerumus dalam riya’. Itulah yang dicontohkan oleh Ayub As Sikhtiyaniy. Ia pura-pura mengusap wajahnya, lalu ia katakan, “Aku mungkin sedang pilek berat.” Tetapi sebenarnya ia tidak pilek, namun ia hanya ingin menyembunyikan tangisannya.[15]

Sampai-sampai salaf pun ada yang pura-pura tersenyum ketika ingin mengeluarkan tangisannya. Tatkala Abu As Sa-ib ingin menangis ketika mendengar bacaan Al Qur’an atau hadits, ia pun pura-pura menyembunyikan tangisannya (di hadapan orang lain) dengan sambil tersenyum.[16]

Mu’awiyah bin Qurroh mengatakan, “Tangisan dalam hati lebih baik daripada tangisan air mata.”[17]

Ketujuh: Menyembunyikan do’a

‘Uqbah bin ‘Abdul Ghofir mengatakan, “Do’a yang dilakukan sembunyi-sembunyi lebih utama 70 kali dari do’a secara terang-terangan. Jika seseorang melakukan amalan kebaikan secara terang-terangan dan melakukannya secara sembunyi-sembunyi semisal itu pula, maka Allah pun akan mengatakan pada malaikat-Nya, “Ini baru benar-benar hamba-Ku.”[18]

Amalan-amalan apa saja yang mesti disembunyikan? [19]


Para ulama ada yang menjelaskan bahwa untuk amalan sunnah –seperti sedekah sunnah dan shalat sunnah-, maka lebih utama dilakukan sembunyi-sembunyi. Melakukan seperti inilah yang lebih mendekatkan pada ikhlas dan menjauhkan dari riya’. Sedangkan amalan wajib –seperti zakat yang wajib dan shalat lima waktu-, lebih utama dengan ditampakkan.[20]

Namun kadang amalan sholih juga boleh ditampakkan jika memang ada faedah, misalnya agar memotivasi orang lain untuk beramal atau ingin memberikan pengajaran kepada orang lain.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Kaum muslimin sudah mengetahui bahwa amalan yang tersembunyi itu lebih baik. Akan tetapi amalan tersebut kadang boleh ditampakkan jika ada faedah.

Yang pantas menampakkan amalan semacam ini agar bisa sebagai contoh atau uswah bagi orang lain adalah amalan para Nabi ‘alaihimus sholaatu wa salaam.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21) Yang semisal dengan para Nabi yang pantas menjadi uswah (teladan) adalah para Khulafaur Rosyidin, pewaris Nabi yaitu ulama dan da’i serta setiap orang yang menjadi uswah (teladan).

Imam Al-Iz bin ‘Abdus Salam telah menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara lebih terperinci. Beliau berkata, “Ketaatan (pada Allah) ada tiga:

Pertama: Amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir ketika shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain.

Kedua: Amalan yang jika diamalkan secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada jika ditampakkan. Contohnya seperti membaca Qur’an dengan sir (lirih) dalam shalat siriyah (zhuhur dan ashar, pen), dan berdzikir dalam solat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijahrkan.

Ketiga:
Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan seperti amalan sedekah. Jika dia kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ

Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271)

Adapun orang yang aman dari riya’ maka ada dua keadaan sebagai berikut.

Pertama: Dia bukanlah termasuk orang yang jadi uswah (jadi contoh), maka lebih baik dia menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi dia tertimpa riya’ tatkala menampakkan amalannya.

Kedua: Dia adalah orang yang jadi uswah, maka menampakan amalan –seperti amalan sedekahnya- lebih baik karena hal itu akan membuat lebih akrab dengan orang miskin dan dia pun bisa jadi uswah bagi orang lain. Dia telah memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan dia juga bisa mendorong orang-orang kaya untuk bersedekah pada fakir miskin karena mencontohi dia, dan dia juga telah memberi manfaat pada orang-orang kaya tersebut karena mengikuti dia beramal soleh.”

Termasuk point ketiga ini adalah menjahrkan atau mensirkan bacaan surat pada shalat malam (shalat tahajud). Yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah terkadang mengeraskan bacaan dan terkadang melirihkan bacaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah shalat ketika bersama Abu Bakr beliau memelankan suaranya dan ketika bersama Umar beliau mengeraskan suaranya. Suatu saat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Abu Bakr untuk mengeraskan suara dan memerintahkan ‘Umar untuk melirihkan suaranya.[21]

An Nawawi mengatakan, “Terdapat berbagai hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan suara ketika membaca al Qur’an dan juga terdapat hadits yang menjelaskan keutamaan melirihkan bacaan. Dari sini, para ulama menjelaskan bahwa kompromi dari hadits-hadits tersebut yaitu: melirihkan bacaan jadi lebih utama pada orang yang khawatir tertimpa riya’. Jika tidak khawatir demikian, maka bacaannya boleh dikeraskan asalkan tidak mengganggu orang lain yang sedang shalat atau tidur.”[22]

Bagaimana dengan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan? Apakah boleh ditampakkan?


Setelah kita mengetahui dari penjelasan di atas, untuk amalan ketaatan diberi keringanan dalam beberapa kondisi untuk ditampakkan semisal untuk amalan wajib dan amalan sunnah (dalam beberapa keadaan). Sedangkan untuk maksiat sudah sepatutnya untuk disembunyikan.

Menyembunyikan dosa dan tidak menampakkan aib-aibnya pada manusia, itu malah terpuji dilihat dari beberapa sebab.

Pertama: Kita diperintahkan untuk menutup maksiat yang kita lakukan dan tidak perlu membuka kejelekan-kejelekan diri kita.

Disebutkan dalam hadits,

اِجْتَنِبُوْا هَذِهِ القَاذُوْرَةَ الَّتِي نَهَى اللهُ عَنْهَا ، فَمَنْ أَلَمَّ فَلْيَسْتَتِرْ بِسَتْرِ اللهِ

Jauhilah dosa yang telah Allah larang. Siapa saja yang telah terlajur melakukan dosa tersebut, maka tutuplah rapat-rapat dengan apa yang telah Allah tutupi.”[23]

Juga jika kita tidak suka dengan maksiat, maka kita pun hendaklah tidak suka orang lain mengetahuinya atau sampai melakukan hal yang sama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Seseorang di antara kalian tidak dikatakan beriman (dengan iman yang sempurna) hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”[24] Kebalikannya (mafhumnya) adalah jika engkau tidak suka sesuatu pada dirimu, maka engkau haruslah tidak suka hal itu menimpa saudaramu. Oleh karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan iman dalam hadits ini, maka menunjukkan bahwa hal tersebut wajib dilakukan[25]. Sehingga menutup dosa dan maksiat adalah wajib.

Kedua: Agar jangan sampai ‘aib tersebut terbuka dan terkoyak di hadapan orang lain. Karena jika seseorang sudah merasa takut ‘aibnya terbuka di dunia, maka niscaya ‘aib tersebut sampai di akhirat akan terus tertutup. Oleh karena itu, orang-orang sholih seringkali berdo’a: “Ya Allah, sebagaimana engkau menutupi ‘aib-‘aibku di dunia, maka janganlah buka ‘aib-‘aibku di akhirat.”

Ketiga: Agar orang lain tidak ikut-ikutan melakukan maksiat yang telah dilakukan dan agar maksiat tersebut tidak tersebar luas di muka bumi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya ‘aib atau maksiat ditutupi sampai pula pada orang terdekat kita (misalnya kerabat dan orang tua).

Keempat: Agar kita lebih mudah mendapatkan ampunan dari Allah dan tidak termasuk orang-orang yang dicela dan tidak diterimanya taubatnya karena memamerkan maksiat yang ia lakukan.

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُولُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.”[26]

Kelima: Agar ia termasuk orang-orang yang memiliki rasa malu. Rasa malu inilah yang akan menghalangi dirinya menampakkan maksiat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ

Rasa malu tidaklah datang kecuali membawa kebaikan.”[27]

Keenam:
Agar ia tidak mendapat ejekan atau celaan dari manusia. Karena celaan biasanya akan menusuk ke hati. Sedangkan hukuman had hanya akan menyakiti anggota badan.

Demikian pembahasan tanda ikhlas yang pertama.

Hanya Allah yang memberi taufik untuk berbuat ikhlas.


Semoga Allah memudahkan kita untuk membaca posting lanjutan dari pembahasan tanda ikhlas yaitu tidak mencari ketenaran dan merasa diri selalu kurang dalam beramal.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com

[1] HR. Muslim no. 2965, dari Sa’ad bin Abi Waqqash.
[2] Lihat Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afaniy,hal. 230-232,Darul ‘Afani, cetakan pertama, 1421 H.
[3] Az Zuhud, Imam Ahmad, 5/60, Mawqi’ Jami’ Al Hadits.
[4] Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim Al Ash-bahaniy, 3/8, Darul Kutub Al ‘Arobiy, Beirut.
[5] HR. Bukhari no. 1423 dan Muslim no.1031,dari Abu Hurairah.
[6] Syarh Muslim, 3/481.
[7] Lihat Hilyatul Auliya’, 3/135-136.
[8] Disebutkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahihnya tanpa sanad (secara mu’allaq).
[9] Lihat Shifatus Shofwah, Ibnul Jauziy, 3/300, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, 1399 H.
[10] Lihat Ta’thirul Anfas,hal. 246
[11] HR. Abu Daud no. 1333 dan At Tirmidzi no. 2919, dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhaniy. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[12] Lihat Hilyatul Awliya’, 2/107, Darul Kutub ‘Arobiy, cetakan keempat, 1405 H.
[13] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 246.
[14] Hilyatul Awliya’, 7/11.
[15] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 248
[16] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 251.
[17] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 252.
[18] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 253.
[19] Diringkas dari Ta’thirul Anfas, hal. 263-267.
[20] Syarh Muslim, An Nawawi, 3/481, Mawqi’ Al Islam.
[21] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1/410-411, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[22] Dinukil dari footnote Faidul Qodir, Al Munawi, 3/354, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, Mesir, cetakan pertama, tahun 1356 H.
[23] HR. Al Hakim, dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim.
[24] HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45, dari Anas bin Malik.
[25] Faedah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al Iman.
[26] HR. Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990, dari Abu Hurairah.
[27] HR. Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37, dari ‘Imron bin Hushain.

http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2784-tanda-ikhlas-berusaha-menyembunyikan-amalan-.html

Iman Kepada Takdir

Qadar yaitu ketentuan Allah yang berlaku bagi setiap makhluk-Nya, sesuai dengan ilmu dan hikmah yang dikehendak-Nya.

UNSUR-UNSUR IMAN KEPADA TAKDIR

Beriman terhadap qadar atau takdir mengandung empat unsur:

Pertama

Beriman bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara rinci dan global sejak zaman dulu dan azali, baik yang berhubungan dengan pekerjaan Dzat-Nya maupun hamba-Nya.

Kedua


Beriman bahwa Allah menulis semua ketentuan (qadar) tersebut di Lauh Mahfuzh.

Untuk dua hal ini Allah berfirman, ''Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikaan itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfudz). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.'' (Al-Hajj: 70).


Dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu'anhuma berkata, ''Saya mendengar Rasulullah bersabda, 'Allah telah menulis ketentuan seluruh makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi selang waktu lima puluh ribu tahun.'' (HR. Muslim)

Ketiga

Beriman bahwa semua yang ada di alam tidak ada kecuali atas kehendak Allah, baik yang berhubungan dengan perbuatan-Nya atau perbuatan ciptaan-Nya.

Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan-Nya, ''Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.''(Al-Qashash:68).

''Dan Allah membuat apa saja yang Ia kehendaki.''(Ibrahim: 27)

''Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya.'' (Ali Imran:6).

Adapun yang berhubungan dengan perbuatan hamba-Nya, Allah berfirman
''Kalau menghendaki tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu.''(An-Nisa': 90).

''Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.''(Al-An'am:112).

Keempat

Beriman bahwa segala makhluk yang ada adalah ciptaan Allah, baik dzatnya, sifatnya maupun gerakannya.

Firman Allah ''Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.''(Az-Zumar: 62).

Firman Allah tentang pribadi Nabi Ibrahim ‘alaihis salam ''Padahal Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat.''(Ash-Shaffat: 96)

Firman Allah ''Dan Dialah menciptakan segala sesuatu dan menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.'' (Al-Furqan: 2)

BERIMAN KEPADA TAKDIR TIDAK MENAFIKAN KEHENDAK MAKHLUK

Beriman terhadap qadar (takdir) seperti yang telah kita jelaskan tidak menafikan bahwa hamba memiliki kehendak untuk memilih sesuatu perbuatan karena secara dalil naqli dan aqli menunjukkan hal itu.

Dalil syar'i (naql)

Allah berfirman menjelaskan bahwa manusia memiliki kehendak
''Maka barangsiapa siapa menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya'' (An-Naba': 39)

''Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.'' (Al-Baqarah: 223).

''Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah'' (At-Taghabun:16).

Firman-Nya ''Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, ia mendapat pahata (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.'' (Al Baqarah: 286).


Secara Fakta


Setiap orang mengetahui bahwa ia memiliki kehendak dan kemampuan untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan. Ia sendiri bisa membedakan antara perbuatan yang ia lakukan dengan kehendaknya, seperti berjalan dengan perbuatan yang terjadi di luar kehendak, seperti gemetar. Akan tetapi kehendak dan kemampuan hamba tersebut terjadi atas kehendak dan kekuasaan Allah, karena Allah berfirman ''(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta-alam.'' (At-Takwir: 28-29).

Setiap yang ada di alam adalah milik Allah dan tidak mungkin sesuatu yang menjadi hak milik-Nya terjadi tanpa sepengetahuan dan kehendak-Nya.

IMAN KEPADA TAKDIR BUKAN DALIH DIBOLEHKANNYA MELAKUKAN MAKSIAT

Beriman terhadap qadar (takdir) bukan berarti menjadi alasan untuk meninggalkan kewajiban atau mengerjakan kemaksiatan. Siapa yang menjadikan takdir sebagai alasan untuk meninggalkan kewajiban atau mengerjakan kemaksiatan maka hujjah dan alasan tersebut batal karena hal-hal dibawah ini:

Pertama

Firman Allah: ''Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan, 'Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun'. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, 'Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakan kepada kami? Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.''(Al-An'am:148).

Seandainya alasan mereka dalam ayat ini benar pasti Allah tidak mengadzab mereka.

Kedua


Firman Allah ''(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.'' (An-Nisa':165).

Jika takdir dibenarkan untuk menjadi alasan mereka yang membangkang para rasul, maka hujah dan alasan tersebut tidak ditiadakan setelah datang rasul-rasul tersebut karena pembangkangan mereka setelah diutusnya rasul juga terjadi atas takdir dan ketentuan Allah.

Ketiga

Hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dan lafazh dari riwayat Imam al-Bukhari dari Ali bin Abi Thalib, sesungguhnya Nabi bersabda.
''Setiap orang dari kalian telah ditentukan tempatnya di Surga atau di Neraka. Seseorang bertanya, 'Kenapa kita tidak pasrah saja, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab: 'Jangan, akan tetapi berbuatlah karena masing-masing akan dimudahkan”. Kemudian beliau membaca ayat, 'Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.'' (AI-Lail: 5)

Dalam riwayat Muslim dengan lafahz ''Masing-masing dimudahkan sesuai takdirnya.''
Maka Rasulullah memerintahkan untuk berbuat dan melarang pasrah kepada takdir.

Keempat


Allah melarang dan memerintah hamba-Nya sesuai dengan kemampuannya dan tidak membebankan kepadanya kecuali yang dia sanggup.

Firman Allah ''Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu.'' (At-Taghabun:l6).

Firman-Nya ''Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupunnya.''(Al-Baqarah: 286)

Jika seorang hamba melakukan perbuatan dengan terpaksa, tentu ia akan mendapatkan beban yang tidak mungkin ia bisa lepas darinya. Ini jelas tidak benar.

Oleh karena itu jika ia berbuat sesuatu maksiat karena bodoh, lupa atau dipaksa maka ia tidak berdosa.

Kelima

Qadar (takdir) Allah adalah suatu rahasia yang tidak bisa diketahui, kecuali setelah terjadi. Kehendak manusia untuk berbuat dan melakukan tindakan mendahului perbuatannya, ini berarti kehendaknya untuk berbuat dan melakukannya ada sebelum ia tahu tentang takdir Allah tersebut, maka batallah hujjahnya dengan takdir tersebut, karena tidak dibenarkan seseorang berdalih dengan sesuatu yang tidak ia ketahui.

Keenam

Dalam hal keduniawian setiap orang berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan hati dan tak seorang pun yang ingin mendapatkan kepahitan dunia lalu berdalih dengan takdir, tetapi kenapa di saat ia ingin berbuat kemudharatan dalam masalah agama dan akhiratnya kemudian berdalih dengan takdir? Bukankah keduanya sama?

Suatu contoh, Jika seseorang di hadapannya ada pilihan dua jalan. Jalan yang satu menuju negeri yang kacau dan tidak aman, banyak terjadi pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, kelaparan dan segala yang menakutkan sedang jalan lainnya menuju negeri yang aman, tertib, tenang penuh kedamaian dan keselamatan bagi kehormatan, harta benda serta jiwa. Jalan manakah yang akan ia tempuh? Ia pasti memilih jalan yang kedua, jalan aman yang mengantarkannya menuju negeri yang aman dan tertib. Tidak mungkin bagi orang yang berakal sehat memilih jalan yang menuju negeri yang kacau dan menakutkan lalu berdalih dengan takdir. Kenapa ia memilih dalam perkara akhirat jalan Neraka bukannya jalan Surga lalu berdalih dengan takdir?

Contoh lain: Orang sakit yang disuruh dokter minum obat pahit yang berlawanan dengan keinginan nafsunya dan ia dilarang memakan suatu makanan yang membahayakan kesehatannya sementara nafsunya sangat menginginkan. Semua ini dalam rangka mendapatkan kesembuhan dan kesehatan tubuh. Tidak mungkin ia menolak meminum obat atau memakan makanan yang dilarang oleh dokter tersebut lalu berdalih dengan takdir. Tapi kenapa di saat ia menolak perintah Allah dan Rasul-Nya atau mengerjakan larangan Allah dan Rasul-Nya ia berdalih dengan takdir?

Ketujuh

Jika orang yang berdalih dengan takdir di saat melanggar kewajiban atau mengerjakan kemaksiatan diganggu hak dan kehormatannya oleh orang lain dengan dalih takdir dan orang itu mengatakan, Jangan salahkan saya jika saya mengganggu hak dan kehormataan Anda karena semua ini terjadi atas takdir Allah, pasti ia tidak akan menerima alasan tersebut. Kenapa ia tidak bisa menerima alasan tersebut jika ia yang diganggu dan dinodai hak dan kehormatannya, sementara ia membuat alasan yang sama dalam melanggar hak Allah?

Disebutkan dalam suatu riwayat dari Umar bin Khathab bahwa beliau pernah memotong tangan pencuri, maka pencuri tersebut berkata: Sebentar, wahai Amirul Mukminin, Sebetulnya saya mencuri ini atas takdir Allah. Umar menjawab: Kami memotong tanganmu ini juga karena takdir Allah.

BUAH BERIMAN KEPADA TAKDIR


Beriman terhadap qadar (takdir) membuahkan basil yang sangat besar:

Pertama

Bersandar kepada Allah disaat melakukan usaha, tidak bersandar pada hukum sebab akibat semata karena segala sesuatu yang terjadi atas takdir dan kehendak Allah.

Kedua

Seseorang menjadi tidak bangga diri di saat mendapatkan keinginannya karena seluruhnya pemberian dan karunia Allah. Sebab bangga diri akan membuat seseorang lalai untuk mensyukuri nikmat Allah.

Ketiga

Merasa tenang dan tentram jiwanya dalam menghadapi segala yang terjadi pada dirinya dan tidak merasa gundah dan gelisah di saat ditimpa musibah atau kehilangan sesuatu yang dicintainya. Karena hal itu terjadi atas kehendak dan takdir Allah yang menguasai langit dan bumi, semua yang Dia kehendaki pasti terjadi.

Firman Allah: ''Tiada suatu musibahpun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirmu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya, sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan kepadamu dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri'' (Al-Hadid:22-23)

Nabi bersabda: ''Sungguh menakjubkan segala urusan orang mukmin, seluruhnya baik, yang itu tidak terjadi kecuali pada diri orang mukmin. Jika ia mendapatkan kenikmatan lalu bersyukur maka itu baik baginya, jika tertimpa musibah lalu bersabar maka itu juga baik baginya.''(HR. Muslim)

Diambil dari Syarh Tsalatsatil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Sumber: www. perpustakaan-islam.com

http://www.fiqhislam.com/artikel-utama/8951-iman-kepada-takdir.html