Apa & Kemana Pendidikan Islam?

Prakata
Kata pendidikan dalam bahasa Arab lazim disebuttarbiyah. Untuk memahami apa tujuan pendidikan atau tarbiyah, maka harus mengetahui terlebih dahulu apa pengertian dan hakikat tarbiyah. Islam itu sendiri diimani dan diamalkan oleh pemeluknya melalui proses tarbiyah.

Pertama, tarbiyah dari Allah yang besifat khusus, yaitu taufiq serta pemeliharaan Allah yang diberikan kepada para waliNya hingga mereka menjadi makin sempurna dalam keimanan dan terjaga dari penghalang-penghalang keimanan.

Allah adalah Rabbul-’Alamin, yang salah satu pengertiannya ialah, Allah pentarbiyah danmurabbi segenap makhluk dengan segala nikmat-Nya.[1]

Kedua, tarbiyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga dengan penyampaian-penyampaian yang jelas serta bimbingan-bimbingan beliau, seseorang menjadi semakin memahami akan Islam dan semakin bertanggung jawab mengamalkannya.

Begitulah, umat Islam generasi pertama menjadi umat pilihan karena merupakan hasil didikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang menjadi muslim yang baikpun melalui proses pendidikan.
Tarbiyah, menurut Syaikh Abdurrahman Albaaniy yang dinukil oleh Syaikh Ali Hasan bin ‘Ali bin Abdul Hamid al-Halabiy,[2] adalah sebagai berikut :

”Kata tarbiyah terpulang pada tiga asal kata, yaitu :
Pertama,
رَبَا – يَرْبُوْ
(Rabâ – Yarbû) yang artinya: tumbuh.
Kedua,
رَبِيَ – يَرْبَى
(Rabiya – Yarbâ) yang artinya: berkembang
Ketiga,
رَبَّ – يَرُبُّ
(Rabba – Yarubbu) yang artinya: memperbaiki, mengurusi, mengatur dan memelihara.
Dalam Lisân al-‘Arab, karya Ibn Manzhûr dikemukakan penjelasan berikut (tentang asal kata yang pertama):
رَبَا الشَّيْءَ  يَرْبُوْ  رَبْوًا  وَ رِبَاءً
Rabâsy-Syai’u Yarbû Rabwan wa Ribâ’an; artinya: sesuatu itu bertambah dan tumbuh.
Arbaituhu, artinya: aku menumbuhkannya.
Dalam al-Qur’an al-Kariim, Allah berfirman:
وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
Allah menumbuh suburkan (pahala) sedekah. (Qs. al-Baqarah/2:276).
Dari makna inilah diambil pengertian Riba yang haram. Allah berfirman:
وَمَآءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا لِيَرْبُوا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوا عِندَ اللهِ
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia tumbuh pada harta manusia, maka riba itu tidak tumbuh (bertambah) pada sisi Allah. (Qs. ar-Rûm/30:39).[3]

Al-Ashma’iy berkata:
قَدْ رَبَوْتُ فِى بنى فُلاَنٍ أَرْبُوْ
Artinya: Aku tumbuh (terbentuk) di tengah keluarga Bani Fulan.
Sedangkan kalimat:
رَبَّيْتُ فُلاَنًا أُرَبِّيْهِ تَرْبِيَةً
Rabbaitu Fulânan – Urabbhi – Tarbiyatan, artinya:  Aku menumbuhkembangkan (mentarbiyah/mendidik) Fulan.[4]

Adapun tentang asal kata : Rabba – Yarubbu, maka dalam Lisân al’Arab, Ibnu Manzhûr mengatakan: Rabba Waladahu wash-Shabiyya – Yarubbuhu – Rabban. Wa Rabbabahu – Tarbîban wa Taribbatan; maknanya: memperbaiki, mengurus dan memelihara seorang anak.
Dalam hadits disebutkan:
هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا. رواه مسلم
Apakah engkau mempunyai suatu kesenangan padanya yang dapat engkau pelihara? [5]

Maksudnya, (apakah engkau mempunyai) suatu kesenangan darinya yang dapat engkau jaga, engkau pelihara dan engkau tumbuh kembangkan seperti halnya seseorang menjaga dan menumbuhkembangkan anaknya?[6]

Sementara itu dalam kitab Mufradât ar-Râghib al-Ashfahâniy dikemukakan penjelasan berikut: Ar-Rabbu berasal dari kata tarbiyah. Maknanya, membentuk sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai kesempurnaan. Jadi kata ar-Rabbu merupakan mashdar (kata dasar) yang dipinjam untuk digunakan sebagai fa’il (pelaku perbuatan).

Sedangkan dalam al-Qâmûs al-Muhîth karya Fairuz Abadi dijelaskan: Rabba al-Amra, artinya memperbaiki urusan. Rabba ash-Shabiyya, artinya memelihara seorang anak hingga dewasa.

Rabautu fî Hijrihi – Rabwan – wa Rubuwwan; demikian pula Rabaitu Ribâ`an wa Rubiyyan, artinya aku terbentuk pada asuhannya.

Dari beberapa makna di atas, ada makna yang mendekatkan kata tarbiyah menuju pengertian secara istilah, yaitu perkataan Imam al-Baidhâwiy dalam Kitab Tafsir-nya yang bernama Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl:
Ar-Rabbu asalnya bemakna tarbiyah. Yaitu menjadikan sesuatu sampai pada kesempurnaannya sedikit demi sedikit. Kemudian Allah l disifati dengan kata Rabb ini untuk menunjukkan mubalaghah(sangat sempurna dalam meningkatkan makhluk-Nya menjadi sempurna, Pen.).

Sebelumnya juga telah dijelaskan perkataan ar-Râghib al-Ashfahâniy, bahwa ar-Rabb asalnya dari kata tarbiyah, yang maknanya, membentuk sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai kesempurnaan.
Dengan demikian, dari makna tarbiyah dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Murabbi/pendidik sebenarnya secara mutlak adalah Allah Subhanahu wata’ala , karena Dia-lah al-Khaliq. Pencipta fitrah dan Penganugerah berbagai bakat manusia. Dia pula yang yang telah menyediakan jalan bagi tumbuh, berkembang dan bekerjanya fitrah serta bakat-bakat manusia secara bertahap. Dia-lah yang telah menetapkan syari’at agar fitrah-fitrah itu tumbuh semakin sempurna, bagus dan menjadi berbahagia.
  2. Maka tarbiyah/pendidikan harus dilakukan sejalan dengan cahaya syari’at Ilahi dan selaras dengan hukum-hukum syari’at Ilahi,
  3. Tarbiyah juga harus dijalankan secara terencana dan bertahap dimana tahap yang satu berpijak pada tahap yang lain, dan tahap yang sebelumnya menjadi dasar bagi persiapan tahap berikutnya.
  4. Aktifitas seorang murabbi/pendidik harus mengikuti fitrah yang ditetapkan Allah, dan harus mengikuti syari’at serta hukum-hukum Allah”. Demikian secara ringkas apa yang dinukil oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabiy dari Syaikh ‘Abdur-Rahman al-Albaniy dalam bukunya Madkhal Ila at-Tarbiyah fî Dhau`i al-Islam; hlm. 7-13.
Jadi makna dan hakikat tarbiyah secara istilah ialah: “Kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan cara-cara dan sarana-sarana yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam untuk maksud memelihara serta membentuk seseorang menjadi pemimpin di muka bumi dengan kepemimpinan yang di atur berdasarkan peribadatan hanya kepada Allah saja secara sempurna. Sudah barang tentu kegiatan ini harus dilakukan berbarengan dengan upaya terus menerus menjaga manhaj ilmiah secara teliti agar secara mengakar dapat memahami persoalan-persoalan bid’ah (untuk dihindari), kemudian selalu memperhatikan tata cara penerapannya, apakah sudah terhindar dari bid’ah atau belum?” [7]

Sementara itu Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan:
“Asas-asas tarbiyah dalam masyarakat Islam berdiri dalam rangka mewujudkan aqidah yang benar, perasaan-perasaan yang mulia dan adab-adab yang tinggi. Hal ini tercermin pada hubungan antara anak didik dengan Rabb-nya, dengan pendidiknya, dengan kawannya, dengan kantor lembaga pendidikannya dan kemudian dengan lingkungan keluarganya”.[8]

Dari sini, dapat diketahui bahwa hakikat tarbiyah yang benar bertumpu pada tiga hal penting:
Pertama, tarbiyah harus memusatkan perhatiannya  untuk membangkitkan aqidah tauhid serta membersihkan kehidupan umat dari berbagai bid’ah dan penyimpangan sebagai pendahuluan agar ummat kelak mampu memikul Islam kembali.
Kedua, parameter tarbiyah yang benar ialah bila tarbiyah tersebut berdiri pada landasan Al-Qur`ân dan Sunnah, terjalin dengan praktik keseharian para Salaf, serta terbangun kembali semangat generasi umat untuk menggali Al-Qur`ân dan Sunnah hingga mampu memahami dan mengambil istinbath hukum. Tentu saja dengan mengambil petunjuk secara utuh pada pemahaman Salafush-Shalih dan terus berkonsultasi dengan para Ulama Rabbani yang benar-benar menguasai Al-Qur`ân dan Sunnah.

Ketiga, tarbiyah tidak dapat dipisahkan dari upaya terus menerus dalam memberi pengarahan kepada masyarakat secara umum. Sebab hakikat tarbiyah serta hasilnya selalu berkaitan erat dengan kehidupan keseharian masyarakat, baik yang menyangkut keyakinan, norma, tadisi, hubungan sosial, politik, ekonomi, hukum dan lain-lain.” [9]

Kesimpulannya, jika makna dan hakikat tarbiyah sudah jelas, maka tujuan tarbiyahpun menjadi jelas, yaitu membentuk umat, baik secara individu maupun secara bersama-sama menjadi umat yang bertanggung jawab memenuhi hak-hak Allah, memenuhi hak-hak makhluk sesuai dengan ketentuan Allah, menjauhi segala macam bid’ah, khurafat, kemaksiatan serta penyimpangan-penyimpangan lain, sehingga berbahagialah hidupnya, tidak saja di dunia, tetapi yang lebih penting di akhirat. Intinya menjadi umat yang beribadah hanya kepada Allah saja, sesuai dengan tujuan diciptakannya jin dan manusia. Umat yang lebih mementingkan kehidupan akhirat daripada dunia. Umat yang selalu memikirkan bagaimana selamat dan sukses di akhirat. Meskipun dunia tidak dilupakannya, tetapi tidak menjadi tergantung padanya.

Alangkah indahnya jika tarbiyah serta pendidikan, baik formal maupun non formal, berorientasi pada ibadah hanya kepada Allah saja, dengan senantiasa berpedoman pada petunjuk-petunjuk yang berladaskan Al-Qur`ân dan Sunnah dengan pemahaman para salafush-shalih serta senantiasa berkonsultasi dengan para Ulama Rabbani. Sebab para Ulama Rabbani adalah pendidik umat sesungguhnya sesudah nabinya.

Karena itulah, berkaitan dengan hadits :
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ. رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وغيرهم
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.[10]

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan :
Di dalamnya terdapat sesuatu yang harus diperhatikan oleh para ulama, yaitu hendaknya mereka mendidik umat seperti halnya seorang ayah mendidik anaknya. Maka hendaknya para ulama mendidik umat secara bertahap dan meningkat dari ilmu yang kecil-kecil hingga yang besar-besar. Hendaknya mereka membawa umat secara bertahap menurut kemampuan, seperti yang dilakukan seorang ayah terhadap anaknya ketika menyuapkan makanan.[11]
Wallahu A’lam.
Maraji’:
  1. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî Isti’nâfi al-Hayâti al-Islamiyati, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Dâr at-Tauhid, Riyadh, KSA, Cetakan II, 1414 H (sebagai rujukan utama).
  2. Lisân al-‘ArabTashîh: Amin Muhammad ‘Abdul-Wahab dan Muhammad ash-Shâdiq al-‘Abyadi, Dâr Ihyâ` at-Turâts al-‘Arabi dan Mu’assasah at-Târîkh al-‘Arabi, Beirut, Libanon, Cetakan III, Tahun 1419 H/1999 M.
  3. Majalah As-Sunnah, Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M.
  4. Miftâh Dâr as-Sa’âdah wa Mansyûr Walâyati Ahli al-‘Ilmi wa al-Irâdah, karya Ibnu al-Qayyim, Taqdîm: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi,Muraja’ah: Syaikh Bakr Abu Zaid, Dâr Ibnu al-Qayyim, Riyadh & Dâr Ibnu ‘Affân, Kairo, Cetakan I, Tahun 1425 H/2004 M.
  5. Nidâ` Ila al-Murabbîn wa al-Murabbiyât, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, tanpa tahun, dari Silsilah at-Taujîhiyyât no. 17.
  6. Shahîh Muslim Syarh Nawawi. Tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha, Dâr al-Ma’rifah, Cetakan III, Tahun 1417 H/1996 M.
  7. Shahîh Sunan Abi Dawud, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Cetakan II dari cetakan terbaru, 1421 H/2000 M.
  8. Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Cetakan I dari cetakan terbaru, 1420 H/2000 M.
  9. Shahîh Sunan Ibni Majah, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Cetakan I dari cetakan terbaru, 1417 H/1997 M.
  10. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannn, Syaikh Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’di.
Penulis: Al-Ustadz Ahmas Faiz Asifudin, Lc.

[1] Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannân Syaikh Abdur-Rahmân bin Nashir as-Sa’diy, Tafsir Surat al-Fâtihah. Lihat pula yang senada dengan itu di Majalah As-Sunnah, edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M, rubrik ‘Aqidah, hlm. 37, kolom 2.
[2] At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî isti’naafi al-Hayâti al-Islamiyati, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, hlm. 95-99.
[3] Lisân al-‘Arabmâddah rabâ, Tashîh: Amin Muhammad ‘Abdul-Wahab dan Muhammad ash-Shâdiq al-‘Abyadiy, V/126.
[4] Lisân al-‘Arabmâddah rabâ, V/128.
[5] Shahîh Muslim Syarh NawawiTahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha, Kitab al-Adab wal Birri wash-Shilah, Bab: Fadhlu al-Hubbi Fillâh, no. 6495 – XVI/340.
[6] Lisân al-‘Arabmâddah rabâ, V/96.
[7] At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî Isti’nâfi al-Hayâti al-Islamiyati, hlm. 100. Dinukil oleh penulis serta ditambah dengan yang ada pada foot note dengan bahasa bebas.
[8] Nidâ` Ila al-Murabbîn wa al-Murabbiyât, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, tanpa tahun – dariSilsilah at-Taujîhiyyât, no. 17. hlm. 9 di bawah sub judul Muhimmah al-Murabbi an-Nâjih.
[9] Disimpulkan dengan bahasa bebas dari at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî Isti’nâfi al-Hayâti al-Islamiyati, hlm. 101.
[10] Hadits shahîh. Lihat Shahîh Sunan Abi Dawud (II/407), Kitab al-‘Ilmi, no. 3641, Shahîh Sunan at-Tirmidzi (III/71), Kitab al-‘Ilmi, no. 2682, dan Shahîh Sunan Ibni Majah (I/92), Muqadimah, no. 183.
[11] Miftâh Dâr as-Sa’âdah wa Mansyûr Walâyati Ahli al-‘Ilmi wa al-Irâdah, Ibnu al-Qayyim, Taqdî: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Muraja’ah: Syaikh Bakr Abu Zaid, I/262.

Janganlah Tergesa-gesa

Alhamdullillahilladzi hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fiih kamaa yuhibbu robbuna wa yardho. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

tergesa-gesa 

Suatu kisah yang sangat bagus dikisahkan oleh Al Hasan Al Bashri. Sungguh sangat menyentuh. Banyak pelajaran berharga dapat kita gali dari kisah ini. Semoga bermanfaat.

Al Hasan Al Bashri berkata, “Ada seorang pria meninggal dunia lalu meninggalkan seorang anak dan seorang budak. Dia pun berwasiat menyerahkan budak tersebut pada anaknya. Bekas budak tadi memang sangat giat merawat anak dari tuannya. Akhirnya anak tersebut menyukai budak tadi dan dia pun menikahinya.
(Suatu saat), anaknya berkata pada budaknya, “Siapkan aku untuk mencari ilmu“. Budaknya lalu menyiapkannya. Dia lalu mendatangi seorang yang alim dan bertanya padanya.

Orang alim itu lalu berkata padanya, “Jika engkau akan berangkat maka beritahulah aku, engkau akan kuajari.” Anak itu berkata, “Saya akan berangkat, ajarilah aku“.
Alim itu menasehatkan padanya,
اتق الله، واصبر ولا تستعجل
“Bertakwalah kepada Allah, sabarlah dan jangan engkau terburu – buru”.
Hasan Al Bashri berkata,
في هذا الخير كله
“Dalam nasehat alim di atas ada seluruh kebaikan”.
Anak itu hampir tidak pernah melupakan tiga nasehat dari alim tersebut.
Ketika dia pulang menemui keluarganya lalu memasuki rumah, ternyata ada seorang pria yang tidur bersitirahat di samping seorang wanita. Wanita itu pun ikut tidur! Anak itu berkata, “Saya tidak sabar menunggu untuk membunuhnya“.

Dia lalu kembali ke kendaraannya mengambil pedang. Ketika akan mengambil pedang, dia teringat nasehat alim tadi, “Bertakwalah kepada Allah , sabarlah, dan jangan engkau terburu – buru”. Dia lalu kembali ke rumah itu. Ketika dia berada di dekat kepala orang itu, dia tidak sabar, lalu dia kembali lagi ke kendaraannya. Ketika akan mengambil pedangnya, dia pun mengingat nasehat alim tadi. Dia lalu kembali pada orang itu. Ketika dia berada di kepalanya, orang itu lantas bangun. Ketika orang itu melihatnya dia langsung dirangkulnya dan diciumnya.

Lelaki itu lalu bertanya padanya, “Apa yang kau lakukan ketika meninggalkanku?
Anak itu menjawab, “Kudapatkan kebaikan yang sangat banyak setelah meninggalkanmu. Setelah meninggalkanmu, aku berjalan di antara pedang dan kepalamu sebanyak tiga kali, namun ilmu telah menghalangiku dari membunuhmu“. (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod Bab 266. Hasan secara sanad)

Catatan: Dijelaskan dalam Syarh Shohih Adabil Mufrod (Husein Al ‘Uwaisyah, 2/230) bahwa bekas budak tadi dengan pria di sampingnya adalah masih mahrom.


hand3
Pelajaran Berharga

Pertama:

Dalam hadits ini terdapat ajakan kepada kita semua untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bersikap sabar dan tidak tergesa-gesa.
 
Kedua:

Dengan bekal ilmu, seseorang bisa menahan dirinya dari tindakan maksiat dan kecerobohan karena tidak mau sabar.
 
Ketiga:

Sangat penting jika kita selalu berdiskusi dengan ulama atau orang berilmu dalam menghadapi suatu masalah dan kita selalu memegang teguh nasehat mereka dalam menghadapi setiap persoalan.
 
Keempat:

Seharusnya ilmu yang diperoleh bukan hanya sekedar wacana dan kebanggaan, namun hendaklah ilmu dicari untuk diamalkan.

Marilah kita selalu membekali diri dengan tiga sifat ini yaitu takwa kepada Allah Ta’ala, sabar dan tidak tegesa-gesa. Apalagi sifat yang terakhir, mungkin kita –juga termasuk penulis- sering lalai dari memperhatikan sifat yang satu ini. Padahal sifat tidak tergesa-gesa inilah yang dicintai oleh Allah.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Asyaj ‘Abdul Qois,
إن فيك لخصلتين يحبهما الله : الحلم والأناة
“Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan tidak tergesa-gesa.”(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 586. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Waspadalah pula dari sifat yang jelek ini yaitu tergesa-gesa karena sifat ini sebenarnya berasal dari was-was setan.
Dari Anas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
التَّأَنيِّ مِنَ اللهِ وَ العُجْلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal dari setan.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Baihaqi dalam Sunanul Qubro. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shoghir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Ya Allah tambahkanlah kami ilmu yang bermanfaat dan bekalilah kami dengan akhlak yang mulia.
Walhamdulillahi robbil ‘alamin wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

*****
 
Diselesaikan pada malam hari, 1 Rabiul Awwal 1430 H di Yogyakarta
Oleh hamba yang selalu mengharapkan rahmat dan ampunan Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal

Shalat di Masjidil Haram di Masa Lalu

Shalat di Masjidil Haram di Masa Lalu
Shalat di Masjidil Haram
 
REPUBLIKA.CO.ID,Bagi pendatang di Makkah, menara jam menjadi patokan lokasi Masjidil Haram. Dari berbagai tempat, dari sela gedung dan dari balik bukit, menara jam itu bisa terlihat, meski terkadang hanya terlihat puncaknya.

Maka, ketika beberapa jamaah dari Jakarta tercecer dari rombongannya di kompleks jamarat, mereka memilih ke Masjidil Haram. Tanpa mengenal jalan, perjalanan kaki diarahkan ke posisi menara jam.

Banyak jamaah yang harus melakukan tawaf wada’, sehingga banyak jamaah yang memilih bersegera ke Masjidil Haram daripada bingung mencari pondokan. Ada lima kelonmpok terbang yang harus bersegera melakukan tawaf wada’ karena harus segera pulang ke Tanah Air.

Ada lima kelompok terbang jamaah Indonesia yang harus meninggalkan Bandara King Abdul Aziz, Jepah, mulai Sabtu (20/11) siang. Jumat (19/11) adalah hari tasyrik ketiga, haris terakhir jamaah melontar jumrah bagi yang mengikuti ketentuan nafar tsani, baru kemudian melakukan tawaf wada.

Tawaf wada’ adalah tawaf perpisahan, seperti tawaf-tawaf lainnya, jamaah juga tujuh kali mengelilingi Ka’bah. Jangan dibayangkan semua jamaah tawaf dengan ihram. Karena sudah tahalul, maka jamaah cukup mengenakan pakaian biasa. Masing-masing jamaah memilih pakaian mereka sendiri. Ada yang memakai kain batik (biasanya dari Indonesia), ada yang memakai kain motif bunga-bunga seperti batik (bisanya dari India). Ada pula yang memakai jins dan pkaian tradisional masing-masing daerah/negaranya.

Saat tawaf ataupun sai, jamaah bercampur, meski ada beberapa jamaah yang membuat barisan khusus. Rombongan jamaah Indonsia kini banyak yang juga membuat barisan khusus, meniru rombongn dari Turki. Paling depan adalah pembimbing haji, yang membacakan doa dengan keras di setiap putaran, lantas diikuti jamaah.

Ibnu Battuta memiliki catatan tawaf di abad ke-14. ‘’Pada acara mengelilingi Kabah, bangunan kubus dari bahan-bahan batuan besar yang berdiri di tengah-tengah mesjid, orang-orang Turki dan Azerbaijan berjalan bersama orang Malinke dari Sudan-Barat. Orang Berber dari Atlas dengan orang India dari Gujarat.’’

Saat shalat pun, masing-masing mazhab melakukannya sendiri-sendiri dalam waktu bersamaan. Ada empat mazhab, ditambah aliran Syiah, Zaydi, ‘Ibadi, dn aliran-aliran lainnya. Cara lahiriah shalatnya tentu berbeda.

Mazhab Imam Syafi’i penganutnya sangat besar di Arab saat itu. Ia memperoleh penghormatan besar. Imam mazhab ini dilantik oleh pemerintah. Tempat shalatnya berada di Maqm Ibrahim dan Hatim (bangunan yang melindungi sumur zamzam, tak jauh dari Maqm Ibrahim).

Jamaah dari mazhab Maliki baru akan memulai shalat di sisi dinding Rukun Yamani-Hijr Ismail jika jamah mazhab Syafi’i telah selesai shalat. Selanjutnya, giliran jamaah mazhab Hambali, yang shalat di dinding sisi Hajar Aswad-Rukun Yamani. Jamaah mazhab Hanafi kebagian tempat menghadap ke sisi Hijr Ismail. Saat mereka shalat, lilin dinyalakan dekat tempat imam shalat berada.

Pada waktu shalat Maghrib, mereka serentak melakukn shalat. Masing-masing imam bersama pengikutnya. Muadzin akan mengeraskan suara penanda pergantian gerak shalat. Akibatnya, ada yang keliru mengikuti suara muadzin itu.

‘’Para pengikut mazhab Maliki seringkali melakukan ruku bersamaan waktunya dengan rukunya para pengikut Shafi'i melakukan sujud bersamaan dengan sujudnya para pengikut mazhab Hambali, dan Anda melihat mereka sedang mendengarkan penuh perhatian masing-masing suara muazin yang sedang melakukan doa ditujukan kepada makmumnya, sehingga ia tidak jadi korban ketakacuhan,’’ tulis Ibnu Battuta.

Ketetapan ini diberikan untuk mengakomodasi semua mazhab, karena tak bisa memaksakan satu mzhab mengikuti mazhab lainnya.Tapi, sejak zaman kekalifahan Utsmaniah jatuh, kemudian dikuasai oleh kaum Wahabi, tak ada lagi pembedaan shalat empat mazjab di Masjidil Haram.

Di Museum Haramain, petugas museum Abdul Rahman, menunjukkan kepada kami foto Masjidil Haram di tahun1320 Hijriyah (1902 Masehi). Ka’bah masih ada pagar melingkar sebagai batas tempat tawaf, dan di sisi luarnya ada bangunan-bangunan kecil menghadap ke maing-masing sisi Ka’bah. ‘’Bangunan-bangunan kecil itu tempat shalat masing-masing Mazhab,’’ ujar Abdul rahman. Foto yang dibuat tahun 1372 Hijriyah, masih menunjukkan kondisi yang sama.

Jika saat ini shalat bergiliran itu diberlakukan, betapa lamanya waktu yang dibutuhkan. Jamaah selalu memenuhi Masjidil Haram saat ini. Pintu masjid akan ditutup jika masjid sudah penuh atau shalat sudah berlangsung. Jamaah yang terlambat, jika ingin shalat di dalam masjid ya harus menunggu shalat selesai.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/umroh-haji/10/11/19/147770-shalat-di-masjidil-haram-di-masa-lalu

Bolehkan Membagikan Harta Warisan Sebelum Meninggal?

Sebagian orang membagikan warisan sebelum meninggal dunia. Apakah itu dibenarkan dalam syariat?

Hidayatullah.com--Banyak masyarakat yang sering menanyakan tentang hukum membagikan harta warisan sebelum meninggal dunia. Di antara alasan yang mereka kemukakan adalah khawatir jika dibagikan setelah meninggal dunia, para ahli waris akan berselisih, selanjutnya akan mengakibatkan terputusnya tali silaturahim di antara mereka, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang berakhir dengan pembunuhan.

Pertanyaannya adalah apakah alasan tersebut bisa membenarkan tindakan tersebut? Bagaimana syariat Islam memandang masalah ini? Bagaimana hubungannya dengan hukum-hukum Islam terkait dengan pembagian warisan?

Harta Pemberian, Wasiat dan Warisan

Sebelum menerangkan masalah di atas, terlebih dahulu harus dibedakan antara tiga jenis harta:

1. Harta Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara cuma-cuma pada masa hidupnya. (Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 6/246)

2.
Harta Warisan menurut pengertian ulama faroidh adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit. (Sholeh Fauzan, at Tahqiqat al Mardhiyah fi al Mabahits al Fardhiyah, Riyadh, Maktabah al Ma’arif, hlm 24). Jadi harta yang pemiliknya masih hidup bukanlah harta warisan, sehingga hukumnya berbeda dengan hukum harta warisan.

3. Harta Wasiat adalah harta yang diwasiatkan seseorang sebelum meninggal dunia dan seseorang tersebut baru berhak menerimanya setelah yang memberi wasiat meninggal dunia. (Abu Bakar Al Husaini, Kifayah al Akhyar, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, hlm 454)

Ketiga istilah di atas, masing-masing mempunyai hukum tersendiri, dan dengan dasar perbedaan tersebut, kita bisa mengklasifikasikan masalah yang sedang dihadapi masyarakat sebagai berikut:

Masalah Pertama:

Jika seorang bapak membagikan hartanya sebelum meninggal dunia, maka harus dirinci terlebih dahulu:

Pertama : Jika pembagian harta tersebut dilakukan dalam keadaan sehat wal afiyat, artinya tidak dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematian, maka pembagian atau pemberian tersebut disebut Hibah (harta pemberian), bukan pembagian harta warisan. Adapun hukumnya adalah boleh. (Ibnu Rusydi, Bidayat al Mujtahid wa Nihayah al Maqasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/ 327).

Kedua : Adapun jika pembagiannya dilakukan dalam keadaan sakit berat yang kemungkinan akan berakibat kematian, maka para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya:

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah termasuk katagori hibah, tetapi sebagai wasiat, sehingga harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut:

1.      Dia tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, seperti : anak, istri , saudara, karena mereka sudah mendapatkan jatah dari harta warisan, sebagai yang tersebut dalam hadist: “Tidak ada wasiat untuk ahli waris “ ( HR Ahmad dan Ashabu as-Sunan ). Tetapi dibolehkan berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka dalam hal ini dia mendapatkan dua manfaat, pertama: sebagai bantuan bagi yang membutuhkan, kedua: sebagai sarana silaturahim.

  1. Dia boleh berwasiat kepada orang lain yang bukan kerabat dan keluarga selama itu membawa maslahat.
  2. Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang dimilikinya.
  3. Wasiat ini berlaku ketika pemberi wasiat sudah meninggal dunia.

Ada sebagian ulama yang menyatakan kebolehan seseorang untuk membagikan hartanya kepada anak-anaknya atau ahli warisnya dalam keadaan sakit, dan tetap disebut hibah, bukan wasiat. Maka jika dia mengambil pendapat ini, maka dia harus memperhatikan ketentuan-ketentuan di bawah ini :

  1. Pemberian ini sifatnya mengikat, artinya harta yang dibagikan tersebut langsung menjadi hak anak-anaknya atau ahli warisnya, tanpa menunggu kematian orang tuanya.
  2. Sebaiknya dia membagikan sebagian saja hartanya, tidak semuanya. Adapun hartanya yang tersisa dibiarkan saja hingga dia meninggal dunia dan berlaku baginya hukum harta warisan.
  3. Semua ahli waris harus mengetahui jatah masing-masing dari harta warisan menurut ketentuan syari’ah, setelah itu dibolehkan bagi mereka untuk membagi harta pemberian orang tua tersebut menurut kesepakatan bersama (tanpa ada unsur paksaan atau pekewuh).

Masalah Kedua:

Jika seorang bapak membagikan hartanya kepada anak-anaknya dalam keadan sehat wal afiat, sebagaimana telah diterangkan di atas, maka dibolehkan baginya untuk membagi seluruh hartanya.

Apakah pembagian tersebut harus sama besarnya antara satu anak dengan lainnya, atau antara laki-laki dan perempuan, ataukah harus dibedakan antara satu dengan yang lainnya?

Para ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini. Mayoritas ulama menyatakan bahwa semua anak harus disamakan, tidak boleh dibedakan antara satu dengan yang lainnya. (Ibnu Juzai, al Qawanin al Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits, 2005, hlm : 295). Sedangkan ulama hanabilah (para pengikut imam Ahmad) menyatakan bahwa pembagian harus disesuaikan dengan pembagian warisan yang telah ditentukan dalam al Qur’an dan hadist.

Tetapi pendapat yang lebih tepat adalah dirinci terlebih dahulu, yaitu sebagai berikut:

Pertama : jika tidak ada unsur yang membedakan antara mereka, seperti semua anak masih kecil-kecil semua, sebaiknya disamakan, agar terjadi keadilan.

Dalilnya adalah beberapa hadits di bawah ini:

  1. Hadist Nu’man Bin Basyir yang datang kepada Nabi Muhammad shollahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata: “Ya Rasulullah, aku memberikan sesuatu ini kepada anakku. Kemudian Rasulullah bertanya: “Apakah semua anakmu kamu beri seperti itu“? “Tidak Ya Rasulullah,“  Jawab Nu’man. “ Kalau begitu cabut kembali pemberian tersebut! “ kata Rasulullah. (HR Bukhari dan Muslim).
  2. “Bertaqwalah kepada Allah dan berbuatlah adil di antara anak-anak kalian.“ (HR Bukhari dan Muslim)
  3. “Perlakukanlah sama antara anak-anakmu, jika dibolehkan untuk membedakan tentunya akan lebih memperhatikan perempuan.“ (HR Said bin Mansur, dihasankan Ibnu Hajar) (DR. Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqh al-Islami, Damaskus, Dar al Fikr, 1989, Cet ke 3, Juz :5, hlm : 34-35)

Kedua : jika ada hal yang menuntut untuk dibedakan karena ada unsur maslahatnya, maka dibolehkan untuk membedakan antara anak satu dengan yang lainnya, seperti anak yang satu sudah menikah dan mempunyai tanggungan istri dan anak, sedangkan dia termasuk orang yang membutuhkan bantuan, maka anak ini boleh diberikan jatah lebih banyak. Apalagi anak yang lain masih kecil-kecil dan belum mempunyai banyak keperluan. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Abu bakar as Siddiq terhadap anaknya Aisyah ra, ketika memberinya harta yang lebih (20 wisq)  dari anak-anaknya yang lain.

Sebagian ulama menyatakan, jika seorang ayah memberikan salah satu anaknya uang yang cukup banyak, seperti membantunya di dalam membayarkan mahar pernikahannya, atau membayarkan uang perkulihannya, maka seharusnya dia juga memberikan kepada anak-anaknya yang lain dalam jumlah yang sama. Tetapi, jika sebagian dari anaknya menderita cacat seperti buta, atau lumpuh kakinya, sehingga tidak bisa bekerja dengan maksimal, maka dibolehkan bagi orang tua untuk memberinya lebih dari anak-anaknya yang lain. (Majalah Al Azhar, Kairo , edisi III, tahun ke- 14). 

Wallahu A’lam.
Oleh: Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A*  

KRITERIA MASLAHAT

KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor:  6/MUNAS VII/MUI/10/2005
Tentang
KRITERIA MASLAHAT
 Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M., setelah
MENIMBANG                     :  a.   bahwa akhir-akhir ini istilah maslahat sering diguna-kan pihak-pihak tertentu sebagai dalil untuk menetapkan hukum tanpa mengindahkan batasan-batasan dan kaedah-kaedah yang baku (bi ghairi hududin wa laa dlawabith);
                                                  b.   bahwa pemahaman dan penggunaan maslahat yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah hukum Islam tersebut, telah mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam menetapkan hukum Islam sehinga menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat;
                                                  c.   bahwa dalam rangka memelihara dan mendudukkan hukum Islam secara proporsional Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang kriteria maslahat untuk dijadikan pedoman agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
MENGINGAT                      :  1.   Firman Allah SWT.; a.l.:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (al-Anbiya [21]: 107).
“Dan Kami turunkan (Al Qur'an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur'an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan”. (al-Isra' [17]: 105)
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan mem-bawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan…” (QS. Fathir ayat [35]: 24).
“…Allah tidak hendak menyulitkan kamu …”  (QS. al-Maidah [5]: 6).
“… dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS. al-Hajj [22]: 78)
”… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” (QS. al-Baqarah [2]: 185)
“Dan sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. al-Naml [27]: 77).
 “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS. al-Mu’minun: [23]: 71).
2.   Hadis Nabi s.a.w.; a.l.:
“Kalian diutus untuk memberikan kemudahan, dan bukan untuk memberikan kesulitan” (HR. al-Bukhari)
“Tidak boleh menimbulkan mudarat bagi diri sendiri maupun orang lain”. (HR. Imam Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain, dari Abu Sa’id al-Khudri)
MEMPERHATIKAN:           1.      Pendapat al-Khawarizmi sebagaimana dikutip oleh al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul, h. 242:
 “Maslahat adalah memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak/ menghindarkan bencana (kerusakan, hal-hal yang merugikan) dari makhluk (manusia)”.
2.   Pendapat Hujatul-Islam Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa, juz 1, h. 286-287):
“Maslahat menurut makna asalnya berarti menarik manfaat atau menolak mudarat (hal-hal yang merugikan). Akan tetapi, bukan itu yang kami maksud, sebab meraih manfaat dan menghindarkan mudarat adalah tujuan makhluk (manusia). Kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka. Yang kami maksud dengan maslahat adalah memelihara tujuan syara’ (hukum Islam). Tujuan hukum Islam yang ingin dicapai dari makhuk ada lima; yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal ini disebut maslahat; dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat”.
3. Pendapat Asy-Syathibi (al-Muwafaqat, juz 2, h. 39-40):
 “Setiap dasar agama (kemaslahatan) yang tidak ditunjuk oleh nash tertentu dan ia sejalan dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara’, maka hal itu benar, dapat dijadikan landasan hukum dan dijadikan rujukan. Demikian itu apabila kemaslahatan tersebut --berdasarkan kumpulan beberapa dalil-- dapat dipastikan kebenarannya. Sebab dalil-dalil itu tidak mesti menunjukkan kepastian hukum secara berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan dalil yang lain, sebagaimana penjelasan terdahulu. Hal tersebut karena yang demikian itu nampaknya sulit terjadi”.
4.        Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.
   Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN                  : FATWA TENTANG KRITERIA MASLAHAT
1.   Maslahat/kemaslahatan menurut hukum Islam adalah tercapainya tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah) yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer (al-dharuriyyat al-khams), yaitu agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan.
2.   Maslahat yang dibenarkan oleh syari’ah adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash. Oleh karena itu, mashlahat tidak boleh bertentangan dengan nash.
3.   Yang berhak menentukan maslahat-tidaknya sesuatu menurut syara’ adalah lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syari’ah dan dilakukan melalui ijtihad jama’i.

Ditetapkan di        :  Jakarta
Pada tanggal         :  21 Jumadil Akhir 1426 H.
28        J u l i        2005 M


MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA


Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa
 
 Ketua,                                                             Sekretaris,
 Ttd,                                                                  Ttd,

K.H. MA’RUF AMIN                                     Drs. H. HASANUDIN, M.Ag




Pimpinan Sidang Pleno

Ketua,                                                               Sekretaris,
Ttd.                                                                   Ttd.

Prof. Dr. H. UMAR SHIHAB                       Prof. Dr. H.M. DIN SYAMSUDDIN

http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=102%3Akriteria-maslahat&catid=25%3Afatwa-majelis-ulama-indonesia&Itemid=71

Kesempurnaan Islam

Saat itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sedang melaksanakan haji Wada’ (perpisahan), yaitu haji pertama dan terakhir yang dilakukan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Pada waktu itu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan, “Ambilllah manasik haji dariku”. Ini menunjukkan tanda-tanda perpisahan antara Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan para sahabatnya.

 
Hal itu lebih dikuatkan lagi dengan turunnya ayat terakhir dari Al Qur`an di mana Alloh berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu Dien (agama/jalan hidup)-mu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Aku ridhoi Islam sebagai dien-mu.” (Al Maidah: 3)

Makna kesempurnaan Islam
 
Al Imam Al Hafidz Ibnu Katsir rohimahulloh berkata, “Ini merupakan nikmat Alloh terbesar atas ummat ini di mana Alloh telah menyempurnakan Islam bagi mereka. Sehingga tidak membutuhkan agama selain Islam dan tidak membutuhkan nabi selain Nabi mereka -semoga Alloh melimpahkan sholawat dan salam kepadanya-. Dan karena itulah Alloh menjadikan Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Tidak ada yang halal kecuali yang dihalalkan oleh Rosululloh dan tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya. Pelaksanaan agama tidak diakui kecuali dengan apa yang telah disyari’atkannya. Setiap berita yang berasal darinya adalah kebenaran yang wajib dibenarkan, tidak boleh didustakan dan ditentang.” (Tafsir Ibnu Katsir)
 
Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’dy berkata, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu Dien-mu …dengan pertolongan yang sempurna, dan penyempurnaan syari’at baik dhohir maupun batin, masalah ushul (pokok) maupun furu’ (cabang). Dengan demikian cukuplah Al Qur`an dan As Sunnah sebagai pedoman dan petunjuk untuk setiap permasalahan agama ini. Maka anggapan orang yang berlebih-lebihan dalam beragama yang menyangka bahwa manusia sekarang ini harus mempelajari ilmu-ilmu kalam dan ilmu selain Al Qur`an dan As Sunnah -untuk memahami aqidah dan hukum-hukum agama mereka- merupakan suatu kebodohan dan kebatilan. Terlebih lagi ketika mereka menyangka bahwa agama ini tidak akan sempurna tanpa ilmu kalam dan yang sejenisnya, sungguh ini adalah kejahatan dan pembodohan terhadap Alloh dan Rosul-Nya.” (Taisir Karim Ar Rahman)
 
Thoriq bin Syihab berkata : “Seorang Yahudi datang kepada ‘Umar bin Khaththab dan berkata : “Wahai Amirul Mukminin, kalian membaca satu ayat dalam kitab kalian yang kalau ayat itu turun kepada kaum Yahudi, maka kami akan menjadikan hari tersebut sebagai hari raya.” ‘Umar berkata: “Ayat yang manakah itu?” Si Yahudi menjawab: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian…” Maka ‘Umar berkata: “Demi Alloh! Sungguh aku lebih mengetahui hari dan saat ketika ayat itu diturunkan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Yaitu pada sore hari ‘Arofah di hari Jum’at. (Shohih Bukhori)

Mensyukuri nikmat Islam
 
Jelaslah bahwa ini merupakan nikmat yang besar dan wajib disyukuri. Alloh berfirman: “Sungguh jika kalian bersyukur (terhadap nikmat-Ku) niscaya Aku menambah (nikmat-Ku) kepadamu, dan jika kalian kufur (terhadap nikmat-Ku), niscaya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrohim 7). Mensyukuri nikmat Islam yaitu dengan mempelajari, mengamalkan dan mendakwahkan Islam yang murni sebagaimana diajarkan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
 
Konsekuensi dari ayat yang agung ini adalah bahwa bid’ah tidaklah mendapatkan tempat sedikitpun dalam urusan agama yang suci ini. Bid’ah adalah perkataan atau perbuatan yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh dan para sahabatnya dalam masalah agama. Contohnya : mengatakan bahwa Alloh tidak punya sifat, atau mengkhususkan bacaan surat Yasin untuk orang yang sudah meninggal, dan banyak lagi yang lainnya. (Lihat Risalah Bid’ah oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)
 
Dikatakan demikian karena kebid’ahan yang timbul dalam agama ini merupakan penolakan terhadap kesempurnaan Islam. Apa artinya Firman Alloh tentang kesempurnaan Islam jika ternyata di kemudian hari (zaman sekarang) kita masih perlu mengerjakan suatu ibadah yang tidak ada contohnya dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam? Kalau memang benar Islam belum sempurna mengapa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam diwafatkan? Bukankah tidak ada Nabi dan Rosul lagi setelah Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam? Lantas apa yang mendorong orang berbuat bid’ah?
 
Islam adalah agama yang sempurna. Masalah apapun yang ada didalam kehidupan makhluk, Islam telah memberikan solusinya. Misalkan saja kehidupan manusia, dari bangun tidur sampai akan tidur kembali, dari keluar rumah sampai masuk kembali, dari masuk wc sampai keluar wc, semua diatur dalam Islam.

Meraih kebahagiaan dunia akhirat dengan iman dan takwa
 
Jika demikian maka sungguh sangat rugi orang-orang yang berpaling dari syari’at Islam, keseluruhan maupun sebagian dan sungguh beruntung orang-orang yang senantiasa menjalani kehidupannya dengan menyesuaikan terhadap aturan-aturan syari’at. Keberuntungan yang akan diraih oleh orang-orang yang senantiasa berada dalam bingkai syari’at bukan hanya kelak di akhirat, bahkan di dunia pun Alloh menjanjikannya. Sebagaimana firman-Nya :

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al A’raf: 96)
 
Syaikh As Sa’dy berkata dalam kitab tafsirnya, …Seandainya para penduduk negeri itu mau beriman dengan hati-hati mereka kemudian amal mereka membenarkannya, mereka melaksanakan ketakwaan kepada Alloh secara lahir maupun batin dengan meninggalkan seluruh perkara yang diharamkan Alloh maka niscaya Alloh akan membukakan bagi mereka barokah dari langit dan bumi….(Taisir Karim Ar Rahman)

Masuklah ke dalam Islam secara kaffah
 
Maka kesimpulannya adalah marilah kita mensyukuri nikmat yang agung ini dengan cara masuk ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh), bukan juz’iyyah (sebagian saja) karena itu merupakan tipu daya setan. Alloh Ta’ala berfirman :

Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah kalian mengikuti jejak langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuhmu yang nyata.”(Al Baqarah: 208). 

Syaikh As Sa’dy berkata dalam kitab tafsirnya, …Inilah perintah dari Alloh agar orang-orang yang beriman masuk ke dalam Islam secara menyeluruh yakni keseluruhan syari’at agama tanpa meninggalkan sedikitpun darinya, dan supaya mereka tidak termasuk orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan. Sehingga apabila syari’at itu sesuai dengan hawa nafsunya maka dilakukannya, sedangkan apabila syari’at tidak sesuai dengan hawa nafsunya maka ditinggalkannya. Tetapi yang wajib ialah menundukkan hawa nafsu untuk mengikuti aturan agama…(Taisir Karim Ar Rahman). Wallohu A’lam bish showaab. [Abu Yazid]

 http://assunnahsurabaya.wordpress.com/2007/11/01/kesempurnaan-islam/

Adab Bermasyarakat

Manusia adalah makhluk sosial, satu dengan lainnya saling bergantung dan membutuhkan. Seseorang akan merasa tentram bila hidup bersama makhluk sejenisnya dan akan merasa kesepian manakala hidup sendirian.

Jika demikian keadaannya maka mau tidak mau seseorang harus memiliki perangai yang dengannya akan terwujud keberlangsungan hidup yang baik di tengah-tengah masyarakatnya.
 

Dalam hidup bermasyarakat setiap orang akan menghadapi manusia dengan berbagai corak dan watak yang berbeda-beda. Tentunya sebagai bagian dari masyarakat, seseorang ada kalanya menjadi pelaku (fa’il/ subjek) atau yang diperlakukan (maf’ul bihi/ objek). Terkadang memberi dan adakalanya diberi. Bila ingin menjadi anggota masyarakat yang baik, hendaklah berusaha memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya. 

Membimbing mereka kepada jalan kebaikan dan kemaslahatan serta mencegah mereka dari hal-hal yang membahayakan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna bagi manusia.” (HR. Ath-Thabarani dan Ad-Daruquthni dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 3289)
 

Apa yang manusia berikan kepadanya adalah salah satu dari dua perkara:
 

1. Kadang ia diperlakukan baik oleh mereka, maka hendaklah ia berterima kasih dan membalas kebaikan mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ
“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1954)
 

2. Adakalanya dia diperlakukan jelek, maka dalam kondisi seperti ini hendaknya dia bersabar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi berita gembira kepada orang yang bersabar terhadap gangguan manusia dengan sabdanya (yang artinya): “Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (Shahih Al-Adabul Al-Mufrad no. 300)

Akhlak yang Mulia dan Pengaruhnya dalam Pergaulan
 

Biasanya orang menilai baik dan buruknya seseorang dengan melihat perilaku kesehariannya. Mereka tidak akan menaruh simpati kepada seseorang sedalam apapun ilmunya dan sebesar apapun ketaatannya, manakala akhlak yang mulia tidak bisa tercermin dalam kehidupannya. Memang benar, jika lahiriah seseorang tidak menunjukkan kebaikan, itu merupakan bukti bahwa di batinnya ada kejelekan. Dahulu orang Arab mengatakan bahwa “Setiap bejana bila dituangkan akan mengeluarkan isinya masing-masing.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala di banyak ayat Al-Qur`an telah memerintahkan para hamba-Nya agar menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia serta memberi berita gembira dengan surga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali 'Imran: 133-134)
 

Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak haditsnya menganjurkan umatnya untuk menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia. Sampai-sampai ketika beliau ditanya tentang sebaik-baik anugerah yang diberikan kepada seseorang, beliau menjawab: “Akhlak yang baik.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2789)
 

Seseorang bisa jadi tidak diberi kemudahan untuk banyak shalat malam dan puasa sunnah di siang hari. Namun bila baik akhlaknya, dia bisa menyusul dan mendapatkan derajat orang-orang yang melakukan shalat dan puasa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
“Sesungguhnya seorang mukmin mendapat derajat orang yang berpuasa dan shalat malam dengan sebab baiknya akhlak.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 1932)
 

Berbicara tentang akhlak yang mulia sangat luas cakupannya. Apa yang telah disebutkan kiranya telah cukup untuk mengingatkan kaum mukminin supaya yang lalai terbangun dan yang lupa menjadi ingat. Hendaklah seorang mengaca diri, apakah terhadap orang lain dia berlemah lembut, berwajah ceria dan murah senyum?! 

Di mana dengan sikap itu mereka akan tenteram dengannya, suka berada di sisinya, dan mau bercengkrama dengannya. Mereka berlomba-lomba untuk menemaninya dalam perjalanan. Jiwa mereka tenang dari kejahatannya sebagaimana mereka merasa aman pada harta dan kehormatan mereka. Jual belinya mudah, ucapannya jujur, janjinya ditepati, dan tutur katanya baik. Tangannya terhindar dari kejahatan dan matanya tercegah dari khianat. Ucapan salamnya diberikan kepada pembantunya sebagaimana dia berikan kepada pemimpinnya. Wajahnya tersenyum ceria kepada orang yang tidak dia kenal seperti kalau ia tersenyum kepada rekan sejawatnya. Kedengkian hatinya telah tercabut dan prasangkanya terhadap saudaranya baik serta persaudaraannya tulus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
 

“Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan rasul-Nya mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)
 

(Diambil dari kitab Al-Mau’izhah Al-Hasanah karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani dari hal. 4-23 secara ringkas)
 

Adapun hakikat akhlak yang baik dalam bergaul bersama masyarakat adalah seperti yang dikatakan oleh Abdullah bin Mubarak rahimahullahu yaitu: wajah yang lapang (tersenyum), memberikan kebaikan, dan 
menahan diri dari menyakiti orang. (lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2005)
 

Berikut ini penjelasannya:

- Berseri-serinya wajah di saat berjumpa dengan orang tidak diragukan lagi merupakan bentuk meresapkan kebahagiaan kepada orang lain serta menarik kecintaan mereka, di samping pelakunya juga akan mendapat pahala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apapun, meski kamu berjumpa dengan saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.” (Mukhtashar Shahih Muslim no. 1782).
 

Coba kita berangkat dari sesuatu yang mudah dan tidak membutuhkan modal yaitu tersenyum. Niscaya kita akan sampai kepada sesuatu yang tinggi. Tetapi jika yang seperti ini saja diremehkan, mana mungkin bisa melakukan yang lebih besar? Kita justru menyaksikan pemandangan yang sebaliknya. Banyak manusia bila berpapasan dengan orang bukannya menebar salam dan senyuman, bahkan menampilkan wajah cemberut dan muka yang berpaling. Bila kaum muslimin bakhil dengan adab yang seperti ini, adab mana lagi yang akan dijalankan?! Maka, orang yang mengikuti jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Salafush Shalih semestinya tahu bahwa ini merupakan salah satu jalan untuk diterimanya dakwah al-haq. Jadikanlah orang tertarik dan cinta dengan dakwah ini dan jangan membuat mereka lari. Sapalah orang yang berjumpa denganmu dan yang duduk semajelis denganmu, terutama mereka yang baru mengenal dakwah dan mulai tertarik dengan dakwah al-haq. Jangan bermuka sangar dan seram, karena hal itu akan memudaratkanmu dan kebenaran yang ada pada dirimu.

- Adapun memberikan kebaikan kepada orang maka sangat banyak bentuknya. Adakalanya dengan memberikan materi kepada orang yang membutuhkan, atau menyumbangkan tenaga, pikiran dan saran, atau apa saja yang bisa kita suguhkan dalam rangka mewujudkan maslahat bersama.
 

Memang manusia pada umumnya memiliki sifat egois dan mementingkan diri sendiri. Namun watak yang tercela ini bukan berarti tidak bisa diobati. Sesungguhnya membaca kisah-kisah keteladanan yang ada dalam Al-Qur`an, hadits, dan kitab-kitab sejarah para ulama Islam adalah salah satu jalan untuk seorang bisa meninggalkan sifat egois. Misalnya kisah Nabi Musa q ketika beliau lari dari Mesir, saat Fir’aun dan pasukannya hendak membunuhnya. Beliau berjalan kaki berhari-hari dengan rasa lapar yang luar biasa dan keletihan yang tiada tara. Sesampainya di Madyan, beliau melihat sekelompok manusia tengah memberi minum ternaknya. Di sana ada pula dua wanita penggembala yang tidak ikut berdesakan memberi minum ternaknya. Watak baik Nabi Musa q mendorongnya untuk membantu dua wanita yang lemah tadi untuk memberi minum ternak mereka, meski tubuhnya letih, pikirannya capek, dan perutnya kosong. Dibantunya dua wanita tadi tanpa meminta upah sedikitpun, padahal kondisinya sangat membutuhkan.
 

Demikian pula di masa khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Manusia ditimpa kekeringan dan paceklik. Tatkala kondisi semakin parah, mereka datang kepada Abu Bakr dan mengatakan: “Wahai khalifah Rasulullah, langit tidak menurunkan hujan dan tanah tidak bisa tumbuh. Sementara manusia memperkirakan akan binasa, lalu apa yang harus kita lakukan?”
 

Abu Bakr mengatakan: “Beranjaklah kalian dan bersabarlah! Sungguh aku berharap kalian tidak sampai memasuki sore melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melepaskan derita kalian.” Tatkala sore telah tiba, datang berita bahwa unta ‘Utsman telah datang dari Syam dan akan sampai Madinah besok pagi. Tatkala telah sampai, manusia keluar untuk menyambutnya. Ternyata ada seribu unta yang membawa gandum, minyak, dan kismis, lalu berhenti di depan rumah ‘Utsman.
 

Para pedagang mendatanginya dengan mengatakan: “Juallah barang ini kepada kami, karena kamu tahu manusia sangat membutuhkannya!”
‘Utsman mengatakan: “Dengan penuh kecintaan. Berapa kalian mau memberi untung barang daganganku?”
Mereka mengatakan: “Setiap kamu beli satu dirham kami membeli darimu dua dirham.”
‘Utsman berkata: “Ada yang berani memberi untung kepadaku lebih dari ini?”
Mereka berkata: “Kami beli empat dirham.”
‘Utsman mengatakan: “Ada yang berani lebih dari ini?”
Mereka mengatakan: “Lima dirham.”
‘Utsman mengatakan: “Ada yang berani lebih dari ini?”
Mereka mengatakan: “Wahai Abu 'Amr (‘Utsman), tidak ada di Madinah para pedagang selain kami? Siapa lagi yang akan bisa membeli dengan harga ini?”
 

‘Utsman mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah memberi untung kepadaku sepuluh setiap satu dirham. Apakah kalian bisa lebih?” Mereka mengatakan: “Tidak.”
 

‘Utsman berkata: “Sesungguhnya aku jadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai saksi bahwa aku telah menjadikan seluruh yang dibawa unta-unta ini adalah shadaqah untuk orang-orang fakir miskin dan yang membutuhkan.”
 

Ya, ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu telah menjualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan laba yang tidak bisa dihitung oleh manusia. (lihat Al-Khulafa` Ar-Rasyidun wad Daulah Umawiyah hal. 75-76).
 

Masih adakah orang-orang seperti ‘Utsman dan para pedagang tadi yang bersegera untuk melepaskan krisis yang hampir menelan banyak korban, tanpa mereka mencari keuntungan duniawi setitikpun? Padahal kalau mereka ingin memanfaatkan kesempatan, niscaya mereka meraup keuntungan sebesar-besarnya. Keinginan untuk mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tertanamnya sifat belas kasihan menghalangi mereka dari nafsu serakah. Apakah kiranya para saudagar kaya bisa mengambil pelajaran dari ini?! Atau bahkan mereka akan tetap larut di atas kerakusan mereka serta menari-nari di atas penderitaan umat? Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita adukan nasib kita.

- Sedangkan yang ketiga adalah menghindarkan dari menyakiti orang.
 

Cukuplah jika seseorang belum bisa berbuat baik kepada orang untuk menahan dirinya dari mengganggu manusia, baik terhadap nyawa, harta, atau kehormatannya. Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengumumkan haramnya seorang muslim mengganggu orang lain di saat perkumpulan akbar yaitu ketika haji wada’ (haji perpisahan).
 

Siapa saja yang mengganggu orang lain dengan mengambil hartanya, menipu, mencerca dan semisalnya maka tidak dikatakan baik akhlaknya. Akan semakin jelek manakala orang yang disakiti memiliki hak yang besar atasnya. Menyakiti kedua orangtua lebih besar dosanya daripada kepada orang lain. Mengganggu karib kerabat lebih jahat daripada kepada orang jauh. Demikian pula terhadap tetangga lebih besar dosanya daripada kepada selain tetangga.
 

Oleh karena itu Islam telah menentukan adanya hukum had seperti qishash bagi yang membunuh dengan sengaja, potong tangan bagi yang mencuri, hukuman dera bagi yang meminum khamr, dan lainnya. Ini semua dalam rangka menjaga kehormatan manusia agar tidak diganggu tanpa hak.
 

Bahkan orang-orang yang rentan untuk dizalimi seperti para budak, istri, anak-anak, orang fakir dan semisalnya, hak mereka telah dilindungi oleh syariat Islam. Kita ambil contoh, peristiwa Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika suatu hari budaknya lengah di saat menggembalakan kambingnya sehingga ada yang dimakan serigala. Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu marah dan mencambuknya. Lalu dari belakang terdengar suara: “Wahai Abu Mas’ud, sungguh Allah lebih mampu untuk menghukum kamu daripada kamu menghukum budakmu!” Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menoleh, ternyata itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Wahai Rasulullah, budak itu saya merdekakan ikhlas karena Allah!” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Ketahuilah, jika kamu tidak melakukan demikian niscaya kamu disentuh oleh api neraka.” (lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 127)
 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَاءِهِمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang terbaik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah orang yang terbaik akhlaknya terhadap istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
 

Wallahu a’lam bish-shawab.
 Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc