Tidur Cantik Ala Rasulullah SAW

Tidur bagi muslimah merupakan saat yang sangat penting. Karena dalam tidurnya ia mengumpulkan tenaga untuk beribadah kepada Allah. Selain itu, ketika tidur hati seorang muslimah di antara jemari Allah. Seorang muslimah cantik karena agamanya. Jadi tidurnya pun harus cantik. Hendaknya seorang muslimah menjaga adab-adab dalam tidur dengan adab yang diajarkan dalam agama Islam. Bagaimana adab-adabnya?

Tidak tidur terlalu malam setelah sholat isya kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk mengulang (muroja’ah) ilmu atau adanya tamu atau menemani keluarga, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu:

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘allaihi wasallam membenci tidur malam sebelum (sholat Isya) dan berbincang-bincang (yang tidak bermanfaat) setelahnya.” [Hadist Riwayat Al-Bukhari No. 568 dan Muslim No. 647 (235)]

Hendaknya tidur dalam keadaan sudah berwudhu, sebagaimana hadits: “Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tidur), maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan sholat.” (HR. Al-Bukhari No. 247 dan Muslim No. 2710)

Hendaknya mendahulukan posisi tidur di atas sisi sebelah kanan (rusuk kanan sebagai tumpuan) dan berbantal dengan tangan kanan, tidak mengapa apabila setelahnya berubah posisinya di atas sisi kiri (rusuk kiri sebagai tumpuan). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah: “Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (HR. Al-Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila tidur meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanannya.” (HR. Abu Dawud no. 5045, At Tirmidzi No. 3395, Ibnu Majah No. 3877 dan Ibnu Hibban No. 2350)

Tidak dibenarkan telungkup dengan posisi perut sebagai tumpuannya baik ketika tidur malam atau pun tidur siang. “Sesungguhnya (posisi tidur tengkurap) itu adalah posisi tidur yang dimurkai Allah Azza Wa Jalla.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shohih)

Membaca ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain:

a) Membaca ayat kursi.
b) Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqoroh.
c) Mengatupkan dua telapak tangan lalu ditiup dan dibacakan surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas kemudian dengan dua telapak tangan mengusap dua bagian tubuh yang dapat dijangkau dengannya dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan, hal ini diulangi sebanyak 3 kali (HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari XI/277 No. 4439, 5016 (cet. Daar Abi Hayan) Muslim No. 2192, Abu Dawud No. 3902, At-Tirmidzi)

Hendaknya mengakhiri berbagai doa tidur dengan doa berikut:

باسمك ربيوضعت جنبي وبك أرفعه إن أ مسكت نفسي فا ر حمها و إ ن أ ر سلتها فاحفظها بما تحفظ به عبادك الصا لحين

“Bismikarabbii wa dho’tu jambii wa bika arfa’uhu in amsakta nafsii farhamhaa wa in arsaltahaa fahfazhhaa bimaa tahfazha bihi ‘ibaadakasshaalihiin.”

“Dengan Nama-Mu, ya Rabb-ku, aku meletakkan lambungku. Dan dengan Nama-Mu pula aku bangun daripadanya. Apabila Engkau menahan rohku (mati), maka berilah rahmat padanya. Tapi apabila Engkau melepaskannya, maka peliharalah, sebagaimana Engkau memelihara hamba-hamba-Mu yang shalih.” (HR. Al-Bukhari No. 6320, Muslim No. 2714, Abu Dawud No. 5050 dan At-Tirmidzi No. 3401)

Disunnahkan apabila hendak membalikkan tubuh (dari satu sisi ke sisi yang lain) ketika tidur malam untuk mengucapkan doa:

لا إ له إ لاالله الواحدالقهاررب السماوات واﻷرض ومابينهماالعز يزالغفار
“laa ilaha illallahu waahidulqahhaaru rabbussamaawaati wal ardhi wa maa baynahumaa ‘aziizulghaffaru.”

“Tidak ada Illah yang berhak diibadahi kecuali Alloh yang Maha Esa, Maha Perkasa, Rabb yang menguasai langit dan bumi serta apa yang ada diantara keduanya, Yang Maha Mulia lagi Maha Pengampun.” (HR. Al-Hakim I/540 disepakati dan dishohihkan oleh Imam adz-Dzahabi)

Apabila merasa gelisah, risau, merasa takut ketika tidur malam atau merasa kesepian maka dianjurkan sekali baginya untuk berdoa sebagai berikut:

أعوذ بكلمات الله التامات من غضبه و شرعباده ومن همزات الشيا طين وأن يحضرون

“A’udzu bikalimaatillahi attammati min ghadhabihi wa ‘iqaabihi wa syarri ‘ibaadihi wa min hamazaatisysyayaathiin wa ayyahdhuruun.”

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari murka-Nya, siksa-Nya, dari kejahatan hamba-hamba-Nya, dari godaan para syaitan dan dari kedatangan mereka kepadaku.” (HR. Abu Dawud No. 3893, At-Tirmidzi No. 3528 dan lainnya)

Memakai celak mata ketika hendak tidur, berdasarkan hadits Ibnu Umar: “Bahwasanya Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memakai celak dengan batu celak setiap malam sebelum beliau hendak tidur malam, beliau sholallahu ‘alaihi wassalam memakai celak pada kedua matanya sebanyak 3 kali goresan.” (HR. Ibnu Majah No. 3497)

Hendaknya mengibaskan tempat tidur (membersihkan tempat tidur dari kotoran) ketika hendak tidur. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Jika salah seorang di antara kalian akan tidur, hendaklah mengambil potongan kain dan mengibaskan tempat tidurnya dengan kain tersebut sambil mengucapkan ‘bismillah’, karena ia tidak tahu apa yang terjadi sepeninggalnya tadi.” (HR. Al Bukhari No. 6320, Muslim No. 2714, At-Tirmidzi No. 3401 dan Abu Dawud No. 5050)

Jika sudah bangun tidur hendaknya membaca do’a sebelum berdiri dari tempat pembaringan, yaitu:

الحمد لله الذي أحيانابعدماأماتناوإليه النشور
“Alhamdulillahilladzii ahyaanaa ba’damaa amaatanaa wa ilayhinnusyuur.”
“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah ditidurkan-Nya dan kepada-Nya kami dibangkitkan.” (HR. Al-Bukhari No. 6312 dan Muslim No. 2711)

Hendaknya menyucikan hati dari setiap dengki yang (mungkin timbul) pada saudaranya sesama muslim dan membersihkan dada dari kemarahannya kepada manusia lainnya.

Hendaknya senantiasa menghisab (mengevaluasi) diri dan melihat (merenungkan) kembali amalan-amalan dan perkataan-perkataan yang pernah diucapkan.

Hendaknya segera bertaubat dari seluruh dosa yang dilakukan dan memohon ampun kepada Alloh dari setiap dosa yang dilakukan pada hari itu.

Setelah bangun tidur, disunnahkan mengusap bekas tidur yang ada di wajah maupun tangan.

“Maka bangunlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari tidurnya kemudian duduk sambil mengusap wajah dengan tangannya.” [HR. Muslim No. 763 (182)]

Bersiwak.

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun malam membersihkan mulutnya dengan bersiwak.” (HR. Al Bukhari No. 245 dan Muslim No. 255)

Beristinsyaq dan beristintsaar (menghirup kemudian mengeluarkan atau menyemburkan air dari hidung). “Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka beristintsaarlah tiga kali karena sesunggguhnya syaitan bermalam di rongga hidungnya.” (HR. Bukhari No. 3295 dan Muslim No. 238)
Mencuci kedua tangan tiga kali, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila salah seorang di antara kamu bangun tidur, janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana, sebelum ia mencucinya tiga kali.” (HR. Al-Bukhari No. 162 dan Muslim No.278)

Anak laki-laki dan perempuan hendaknya dipisahkan tempat tidurnya setelah berumur 6 tahun. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi)

Tidak diperbolehkan tidur hanya dengan memakai selimut, tanpa memakai busana apa-apa. (HR. Muslim)
Jika bermimpi buruk, jangan sekali-kali menceritakannya pada siapapun kemudian meludah ke kiri tiga kali (diriwayatkan Muslim IV/1772), dan memohon perlindungan kepada Alloh dari godaan syaitan yang terkutuk dan dari keburukan mimpi yang dilihat. (Itu dilakukan sebanyak tiga kali) (diriwayatkan Muslim IV/1772-1773). Hendaknya berpindah posisi tidurnya dari sisi sebelumnya. (diriwayatkan Muslim IV/1773). Atau bangun dan shalat bila mau. (diriwayatkan Muslim IV/1773).

Tidak diperbolehkan bagi laki-laki tidur berdua (begitu juga wanita) dalam satu selimut. (HR. Muslim)
Maraji’:
Adab Harian Muslim Teladan

***
(muslimah.or.id)

Tanda Tanda Kematian Dalam Keadaan Khusnul Khotimah


Meninggalkan dunia yang fana ini dalam keadaan husnul khatimah merupakan dambaan setiap insan yang beriman, karena hal itu sebagai bisyarah, kabar gembira dengan kebaikan untuknya. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyebutkan beberapa tanda husnul khatimah dalam kitabnya yang sangat bernilai Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha.

Berikut ini kami nukilkan secara ringkas untuk pembaca yang mulia, disertai harapan dan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kita termasuk orang-orang yang mendapatkan husnul khatimah dengan keutamaan dan kemurahan dari-Nya. Amin!

Pertama: mengucapkan syahadat ketika hendak meninggal, dengan dalil hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Siapa yang akhir ucapannya adalah kalimat ‘La ilaaha illallah’ ia akan masuk surga.” (HR. Al-Hakim dan selainnya dengan sanad yang hasan1)

Kedua: meninggal dengan keringat di dahi.

Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu ketika berada di Khurasan menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Didapatkannya saudaranya ini menjelang ajalnya dalam keadaan berkeringat di dahinya. Ia pun berkata, “Allahu Akbar! Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَوْتُ الْمُؤْمِنِ بِعَرَقِ الْجَبِيْنِ

“Meninggalnya seorang mukmin dengan keringat di dahi.” (HR. Ahmad, An-Nasa`i, dll. Sanad An-Nasa`i shahih di atas syarat Al-Bukhari)

Ketiga: meninggal pada malam atau siang hari Jum’at, dengan dalil hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, beliau menyebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ

“Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi. Hadits ini memiliki syahid dari hadits Anas, Jabir bin Abdillah g dan selain keduanya, maka hadits ini dengan seluruh jalannya hasan atau shahih)

Keempat: syahid di medan perang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ. فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلاَّ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ. يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللهَ لاَ يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang masih berjihad di jalan Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 169-171)

Dalam hal ini ada beberapa hadits:

1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ الْفَزَعَ الْأَكْبَرَ، وَيُحَلَّى حِلْيَةَ الْإِيْمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِيْنَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ

“Bagi orang syahid di sisi Allah ia beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan dengan hurun ‘in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad yang shahih)

2. Salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan: Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kaum mukminin mendapatkan fitnah (ditanya) dalam kubur mereka kecuali orang yang mati syahid?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

كَفَى بِبَارَقَةِ السُّيُوْفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً

“Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah (ujian).” (HR. An-Nasa`i dengan sanad yang shahih)

Kelima: meninggal di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا تَعُدُّوْنَ الشَّهِيْدَ فِيْكُمْ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ. قَالَ: إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيْلٌ. قَالُوْا: فَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ, وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فيِ الطَّاعُوْنَ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَالْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ

“Siapa yang terhitung syahid menurut anggapan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid.” Beliau menanggapi, “Kalau begitu, syuhada dari kalangan umatku hanya sedikit.” “Bila demikian, siapakah mereka yang dikatakan mati syahid, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Beliau menjawab, “Siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit tha’un2 maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit perut maka ia syahid, dan siapa yang tenggelam ia syahid.” (HR. Muslim)

Keenam: meninggal karena penyakit tha’un. Selain disebutkan dalam hadits di atas juga ada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الطَّاعُوْنُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

“Tha’un adalah syahadah bagi setiap muslim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tha’un, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadanya:

إِنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلىَ مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ اللهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُوْنُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

“Tha’un itu adalah adzab yang Allah kirimkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Maka Allah jadikan tha’un itu sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Siapa di antara hamba (muslim) yang terjadi wabah tha’un di tempatnya berada lalu ia tetap tinggal di negerinya tersebut dalam keadaan bersabar, dalam keadaan ia mengetahui tidak ada sesuatu yang menimpanya melainkan karena Allah telah menetapkan baginya, maka orang seperti ini tidak ada yang patut diterimanya kecuali mendapatkan semisal pahala syahid.” (HR. Al-Bukhari)

Ketujuh: meninggal karena penyakit perut, karena tenggelam, dan tertimpa reruntuhan, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Syuhada itu ada lima, yaitu orang yang meninggal karena penyakit tha’un, orang yang meninggal karena penyakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang meninggal karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Kedelapan: meninggalnya seorang ibu dengan anak yang masih dalam kandungannya, berdasarkan hadits Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu ‘anhu. Ia mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa syuhada dari umatnya di antaranya:

الْمَرْأَةُ يَقْتُلُهَا وَلَدُهَا جَمْعَاءَ شَهَادَةٌ، يَجُرُّهَا وَلَدُهَا بِسَرَرِهِ إِلَى الْجَنَّةِ

“Wanita yang meninggal karena anaknya yang masih dalam kandungannya adalah mati syahid, anaknya akan menariknya dengan tali pusarnya ke surga.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, dan Ath-Thayalisi dan sanadnya shahih)

Kesembilan: meninggal dalam keadaan berjaga-jaga (ribath) fi sabilillah.

Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu menyebutkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ، وَأًُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتّاَنَ

“Berjaga-jaga (di jalan Allah) sehari dan semalam lebih baik daripada puasa sebulan dan shalat sebulan. Bila ia meninggal, amalnya yang biasa ia lakukan ketika masih hidup terus dianggap berlangsung dan diberikan rizkinya serta aman dari fitnah (pertanyaan kubur).” (HR. Muslim)

Kesepuluh: meninggal dalam keadaan beramal shalih.

Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ الله ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Siapa yang mengucapkan La ilaaha illallah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang berpuasa sehari karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang bersedekah dengan satu sedekah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga.” (HR. Ahmad, sanadnya shahih)

Kesebelas: meninggal karena mempertahankan hartanya yang ingin dirampas orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ

“Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka ia syahid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu bila datang seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Ia bertanya lagi, “Apa pendapatmu jika orang itu menyerangku?” “Engkau melawannya,” jawab beliau. “Apa pendapatmu bila ia berhasil membunuhku?” tanya orang itu lagi. Beliau menjawab, “Kalau begitu engkau syahid.” “Apa pendapatmu jika aku yang membunuhnya?” tanya orang tersebut. “Ia di neraka,” jawab beliau. (HR. Muslim)

Keduabelas: meninggal karena membela agama dan mempertahankan jiwa/membela diri.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ

“Siapa yang meninggal karena mempertahankan hartanya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela keluarganya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela agamanya maka ia syahid, dan siapa yang meninggal karena mempertahankan darahnya maka ia syahid.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa`i, dan At Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu dan sanadnya shahih)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

http://mulyliani.blogspot.com/2010/07/tanda-tanda-kematian-dalam-keadaan.html

Tahun 2050 Rusia Menjadi Negeri Muslim

 

Bayangkan Rusia pada tahun 2050! Menurut Paul Goble, seorang spesialis yang secara khusus melakukan kajian terhadap minoritas etnis di Federasi Rusia, nampaknya ia memperkirakan dalam beberapa dekade mendatang, Rusia akan menjadi sebuah negara mayoritas Muslim. Sekarang jumlah Muslim di seluruh Rusia mencapai 16 juta jiwa.

Disisi lain, ada berita buruk dengan penurunan yang cepat jumlah populasi negeri Beruang Merah ini. Melihat kecenderungan populasi penduduk Rusia yang terus cenderung menurun itu telah menjadi "pusing" bagi para politisi Rusia dan para pembuat kebijakan.

Presiden Vladimir Putin telah menyerukan kepada perempuan Rusia untuk memiliki anak lagi. Karena ahli demografi memprediksi bahwa populasi Rusia akan turun secara drastis dari 143 juta jiwa menjadi 100 juta jiwa pada tahun 2050.

 

Perkembangan dan situasi ini mengejutkan bagi para pemimpin Rusia dan Barat, karena bersamaan menurunnya populasi penduduk Rusia, para analis memperkirakan jumlah umat Islam akan menjadi kelompok mayoritas di Russia. Hanya kurang dari lima dekade Rusia akan menjadi negeri Muslim, yang mayoritas peduduknya beragama Islam.

Laju pertumbuhan populasi Muslim sejak tahun 1989, dieprkirakan mencapai antara 40 dan 50 persen, dan ini kecenderungan semua kelompok etnis. Saat ini Rusia memiliki sekitar 8.000 masjid sementara 15 tahun yang lalu, hanya terdapat 300 masjid di seluruh Rusia.

 

Menurut data statistik, pada akhir 2015, jumlah masjid di Rusia akan meningkat drastis menjadi 25.000 masjid di seluruh Rusia. Statistik ini menakutkan banyak etnis Rusia lainnya, yang sangat phobi dengan Islam, yang selalu mengaitkan Islam dengan perang dan terorisme. Seperti, sering terjadinya konflik bersenjata antara aparat keamanan Rusia dengan kelompok Chechnya, dan wilayah Kaukasus yang mayoritas Muslim. Namun, kekawatiran itu meluai menyurut, bersamaan dengan perubahan-perubahan yang ada, khususnya dikalangan penduduk Muslim dan para pemimpinnya yang semakin akomdatif.

Menghadapi penurunan populasi atau jumlah penduduk etnis Rusia itu, yang terus menurun, Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin telah menawarkan insentif kepada wanita yang akan memiliki anak lagi.

 

Dia mengatakan bahwa pemerintah akan menawarkan 1.500 rubel untuk anak pertama, dan 3.000 rubel untuk anak kedua. Dia lebih lanjut mengatakan bahwa pemerintah akan menawarkan insentif keuangan bagi pasangan yang akan mengadopsi anak yatim Rusia. Tapi, tanggapan terhadap seruan Vladimir Putin hampir nol. Alasan utama di balik penurunan cepat dalam populasi non-Muslim di Rusia, terutama sebagian besar perempuan muda di negara ini tidak tertarik dan mendukung memiliki anak lagi.

Jika seseorang terbatas hanya memilik anak satu-satunya, dan kemudian generasi berikutnya sama sekali tidak ingin memiliki anak, maka pertumbuhan penduduk Rusia menjadi nol. Di sisi lain, hampir semua pasangan muslim sedikitnya memiliki tiga anak. Jumlah keluarga muslim umumnya mereka mempunyai anak antara 3-5 orang anak.

 

Berbicara dengan Blitz, seorang pemimpin Moscow, daerah yang paling padat penduduknya, mengatakan jika pertumbuhan penduduk Muslim terus meningkat, dan dengan penurunan yang serius pada populasi komunitas agama lain, Rusia pada akhirnya akan menjadi sebuah negara Muslim pada dua dekade mendatang.

Dia menyarankan propaganda besar-besaran demi memiliki anak lagi di Rusia dengan menggunakan media massa serta peningkatan jumlah insentif. Ia juga menunjuk fakta bahwa, dalam banyak kasus, insentif tersebut jatuh lagi ke ibu muslim, yang umumnya memiliki lebih dari satu anak.

 

Ini bukan masalah tentang insentif, yang lebih penting realisasinya bagi penduduk seluruh Rusia yang non-Muslim. Mereka harus memahami bahwa dengan jumlah anak Muslim yang banyak, mereka secara bertahap ikut mendorong nasib negara Rusia menuju federasi Islam.

Mengomentari masalah ini, mantan seorang diplomat mengatakan, setelah jatuhnya Uni Soviet, sayangnya, seluruh bangsa Rusia telah kehilangan semangat nasionalisme mereka, karena kemiskinan dan kondisi yang sangat malang yang mereka hadapi, baik di bidang ekonomi, politik, dan sosial.

 

Sekarang mereka takut memiliki lebih dari satu anak dalam keluarga, karena akibat biaya hidup yang sangat mahal. Sementara dalam banyak kasus, keluarga perempuan Rusia dipaksa untuk bekerja di berbagai sektor bidang untuk mendapatkan uang ekstra bagi k keluarga mereka.

Ia mengatakan, tidak hanya jumlah populasi Muslim di Rusia,yang mengalami pertumbuhan cepat, karena memang perempuan Muslim memiliki lebih satu anak, tapi dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah besar LSM Islam aktif bekerja di dalam negeri Rusia, yang memainkan peran penting, terutama bagi penduduk Rusia yang putus asa, dan sebagian besar mereka memilih jalan hidup yang baru, dan mereka bertobat kemudian masuk Islam. Mereka umumnya meninggalkan agama sebelumnya yang mereka anut. Dia lebih lanjut mengatakan, terutama kelompok atheis secara bertahap semakin cenderung ke arah Islam, karena propaganda luas dan kegiatan LSM Islam.

Mereka yang berpendidikan sarjana terlibat aktif dalam memberikan khotbah di masjid-masjid dan tempat-tempat umum lainnya secara teratur, yang mempunyai dampak luar biasa pada pikiran orang-orang Rusia, terutama generasi mudanya. Para ulama Islam dengan jas dan wajah dicukur bersih, mereka berbicara dengan bahasa yang berbeda serta lancar, yang merupakan titik yang sangat kuat bagi mereka untuk menarik perhatian orang Rusia yang berpendidikan, yang berada dalam kesulitan ekonomi dan sosial yang serius.

Dia mengatakan, kegiatan LSM Islam mempunyai pengaruh yang luas, dibandingkan hampir tidak ada atau sangat sedikit kegiatan misionaris dari agama agama lain di Rusia. Meskipun ulama Islam dan mereka memiliki misi yang sering disebut "tersembunyi" , tetapi dari wajah mereka, saat menyampaikan khotbah, sangat sulit untuk mengidentifikasi apa pun yang negatif terhadap kegiatan mereka.

 

Mereka awalnya menyebarkan pesan perdamaian, tetapi mereka juga menyampaikan nilai-nilai agama dan jihad. LSM-LSM Islam secara bertahap menggunakan media Rusia, melalui investasi negara-negara Barat, yang sebenarnya menggunakan dana dari negara-negara Arab. Mereka juga ikut terlibat dalam aktivitas politik, seperti pemilihan, dan memberikan suara dan kekuatan untuk para calon pemimpin Muslim, tentu dengan tujuan nantinya akan memiliki akses kekuasaan di Kremlin.

Membandingkan Muslim Rusia dengan Muslim di negara-negara lain, katanya, mereka memiliki komitmen yang lebih kuat, dan keyakinan mereka yang mendalam berakar dalam pikiran mereka yang bernar-benar dari ajaran Islam. Mereka secara terbuka menyatakan bahwa, alasan utama di balik menerima Islam adalah menyelamatkan hari depan mereka. Mereka menghadapi situasi yang sulit berkaitan dengan konflik yang masih terjadi di wilayah Chechnya dan Kaukasus. Tetapi, mereka tetap optimis terhadap kehidupan mereka.

 

Seorang wartawan senior kantor berita Rusia Interfax, Blitz mengatakan, berdasarkan dari sumber Afro-Arab, sejumlah negara Arab melakukan investasi jutaan dolar kepada sejumlah LSM Islam di Rusia. Dalam waktu dekat, cukup banyak kursi penting di parlemen Rusia juga akan jatuh ke tangan para pemimpin Muslim.

Dia mengatakan, di klub pers Rusia, sejumlah wartawan Muslim terus meningkat. Dia mengatakan, jutaan dolar yang dihabiskan untuk membangun masjid dan lembaga-lembaga Islam di berbagai belahan Moskow dan bagian lain di Rusia.

LSM Islam bahkan membangun panti asuhan, tempat anak-anak dari berbagai agama yang diadopsi, dan mereka mendapatkan pendidikan Islam, dan menjadi Muslim yang taat. Masa depan Islam di Rusia sangat menggembirakan. (mh)

An Najaasah

I.                    Definisi

An Najaasah (Najis) bermakna:

النجاسة هي القذارة التي يجب على المسلم أن ينتزه عنها ويغسل ما أصابه منها.
                Najis adalah kotoran yang wajib dibersihkan atas seorang muslim dari dirinya, dan wajib  mencuci  apa saja yang terkena olehnya. (Fiqhus Sunnah, 1/23)
                Secara bahasa (etimologi) bermakna: “Kullu mustaqdzarin – setiap hal  yang kotor.”
                Secara istilah (terminologi) bermakna:
صِفَةٌ حُكْمِيَّةٌ تُوجِبُ لِمَوْصُوفِهَا مَنْعَ اسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ وَنَحْوِهَا
                Sifat hukum yang dengan keadaannya itu membuat terlarangnya kebolehan shalat dan semisalnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 8/56)

II.                  Macam-macam Najis
Jika kita lihat dalam berbagai kitab fiqih, maka kita melihat ada dua model najis, yakni najis yang disepakati, dan najis yang diperselisiakan
  1. Najis yang disepakati
1.       Kotoran manusia dan air seninya
Tak beda pendapat tentang kenajisan kotoran manusia dan air seninya. Hal ini bersadarkan hadits:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اتَّقُوا اللَّاعِنَيْنِ قَالُوا وَمَا اللَّاعِنَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ ظِلِّهِمْ

“Takutlah kalian terhadap dua  hal yang dilaknat.” Mereka bertanya: “Apakah dua hal yang dilaknat itu?” Beliau bersabda: “Orang yang buang air besar di jalan manusia atau di tempat mereka berteduh.” (HR. Muslim No. 269, Abu Daud No. 25, Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 6473, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shughra No. 61, As Sunan Al Kubra No. 473)
Ini menunjukkan najisnya kotoran manusia, ancaman yang ada menunjukkan hal itu. Dalam hadits lain bahkan disebut sebagai suatu yang busuk.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
Janganlah shalat ketika makanan tersedia dan ketika menahan dua hal yang paling busuk. (HR. Muslim No. 560, Abu Daud No. 89, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3805, dalam As Sunan Ash Shughra No. 512, Ibnu Khuzaimah No. 933, Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 744, Abu Ya’la No. 4804)
Dua hal yang paling busuk maksudnya buang air besar (Al Ghaaith) dan buang air kecil (Al Baul), sebagaimana disebut dalam Shahih Ibnu Hibban No. 2073. Ini menunjukkan tinja manusia dan air kencingnya adalah najis.
Ada pun air kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan wajar, masih ASI ekslusif, maka diberikan keringan bagi air kencingnya itu. Dibersihkannya tidak dengan cara dicuci tetapi cukup  dipercikan, tetapi kencing bayi perempuan tetap dicuci.
Hal ini berdasarkan dari Ali bin Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي بَوْلِ الْغُلَامِ الرَّضِيعِ يُنْضَحُ بَوْلُ الْغُلَامِ وَيُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ
Bahsanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berketa tentang air kencing anak laki-laki yang masih menyusui: “Air kencing laki-laki dipercikan dan air kencing perempuan dicuci.” (HR. At Tirmidzi No. 610, katanya: hasan shahih. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Fathul Bari, 1/326)
Qatadah berkata:
وَهَذَا مَا لَمْ يَطْعَمَا فَإِذَا طَعِمَا غُسِلَا جَمِيعًا
 Ini untuk bayi yang belum makan makanan yang wajar, apabila bayi tersebut sudah makan maka dicuci semuanya. (Ibid)
2.       Madzi (Cairan yang keluar dari kemaluan ketika syahwat)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memberikan penjelasan:
وهو ماء أبيض لزج يخرج عند التفكير في الجماع أو عند الملاعبة، وقد لا يشعر الانسان بخروجه، ويكون من الرجل والمرأة إلا أنه من المرأة أكثر، وهو نجس باتفاق العلماء

Itu adalah air berwarna putih agak kental yang keluar ketika memikirkan jima’ atau ketika bercumbu, manusia tidak merasakan keluarnya,  terjadi pada laki-laki dan wanita hanya saja wanita lebih banyak keluarnya, dan termasuk najis berdasarkan kesepakatan ulama. (Fiqhus Sunnah, 1/26. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Dalilnya adalah riwayat dari Ali Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَأَمَرْتُ رَجُلًا أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَسَأَلَ فَقَالَ تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ
Saya adalah laki-laki yang mudah keluar madzi, maka saya minta seorang laki-laki untuk bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena kedudukan anak wanitanya, lalu dia bertanya, dan beliau berkata: “Wudhulah dan cuci kemaluanmu.” (HR. Bukhari No. 269)
Laki-laki tersebut adalah Al Miqdad bin Al Aswad, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Bukhari lainnya. (HR. Bukhari No. 132)
Ada pun maksud “karena kedudukan anak wanitanya”, adalah karena fatimah puteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai isterinya, maka sebagai menantu Beliau malu menanyakan langsung masalah ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Itulah sebabnya, Ali Radhiallahu ‘Anhu meminta orang lain untuk menanyakannya.
Oleh karena itu disebutkan dalam riwayat Imam Muslim:
كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
Saya adalah laki-laki yang mudah keluar madzi, saya malu bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena kedudukan puterinya, maka saya perintahkan Al Miqdad bin Al Aswad,  lalu dia bertanya kepadanya, lalu Beliau bersabda: “Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Muslim No. 303)
Apa yang nabi perintahkan, yaitu mencuci kemaluan (baca: cebok) menunjukkan bahwa madzi adalah najis. Ada pun perintah berwudhu menunjukkan bahwa madzi  adalah hadats kecil, jika hadats besar  tentu wajib mandi, bukan sekedar wudhu.
3.       Wadi (Cairan yang keluar dari kemaluan sesaat setelah kencing)
Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan:
وهو ماء أبيض ثخين يخرج بعد البول وهو نجس من غير خلاف
          Wadi adalah air purih kental yang keluar setelah kencing. Itu adalah najis tanpa perselisihan pendapat. (Fiqhus Sunnah, 1/26)
                ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:
الْمَنِيُّ مِنْهُ الْغُسْلُ ، وَالْمَذْيُ وَالْوَدْيُ يُتَوَضَّأُ مِنْهُمَا.
                Air mani wajib mandi karenanya, sedangkan madzi dan wadi adalah berwudhu karena keduanya. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 982)
                ‘Ikrimah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
الْمَنِيُّ وَالْوَدْيُ وَالْمَذْيُ ، فَأَمَّا الْمَنِيُّ فَفِيهِ الْغُسْلُ ، وَأَمَّا الْمَذْيُ وَالْوَدْيُ فَيَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ.
                Ada air mani, wadi, dan madzi. Air mani wajib mandi, ada pun madzi dan wadi, hendaknya mencuci kemaluannya dan berwudhu. (Ibid, No. 985)
                Keterangan ‘Aisyah dan ‘Ikrimah menunjukkan bahwa wadi adalah najis, tetapi bukan termasuk hadats besar, cukup dicuci dan berwudhu saja, bukan mandi besar.
4.       Muntah
Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan bahwa muntah (Al Qai’u) disepakati kenajisannya, tetapi jika sedikit dimaafkan. (Fiqhus Sunnah, 1/25)
Imam empat madzhab juga mengatakan najis, tetapi mereka merinci sebagai berikut:
-          Hanafiyah mengatakan muntah sebagai najis berat (mughallazhah), karena semua yang keluar dari badan manusia adalah wajib disucikan dan tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka. Mereka berdalil dari hadits: “Wahai Amr! Cucilah pakaian dari lima hal: tinja, air kencing, muntah, darah, dan mani.”[1]
-          Syafi’iyah mengatakan muntah adalah najis walaupun makanannya belum berubah,  karena makanan sudah masuk ke rongga perut. Walaupun muntah itu hanya air. Jika sudah masuk rongga perut  yang akan mengalami kerusakan, tetap najis sebagaimana tinja.
-          Hanabilah, menurut mereka muntah itu najis sebab makanan yang telah mengalami perubahan di rongga perut adalah sama dengan tinja. 
-          Malikiyah, menurut mereka najisnya muntah jika sudah mengalami perubuhan wujud dari makanan, jika tidak berubah maka suci. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/86-87)
Tetapi kenyataannya ada ulama yang menolak dikatakan bahwa muntah adalah najis.  Di antaranya adalah Imam Asy Syaukani. Dalil mereka adalah hukum asal segala sesuatu adalah suci, selama tidak ada dalil yang menyebutnya najis. Sedangkan hadits Amr yang diriwayatkan Imam Ad Daruquthni adalah lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. (Lihat As Sail Al Jarar, 1/43). Pendapat ini diikuti oleh Syaikh Al Qaradhawi hafizhahullah, dan Inilah pendapat yang kuat sebab sesuai dengan prinsip-prinsip syariat dan kaidahnya.
5.       Bangkai
Dalilnya adalah:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
                Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al An’am (6): 145)
                Pengertian   bangkai adalah hewan yang matinya tidak dengan cara disembelih. Disebutkan dalam Tafsir Al Muyassar:
حرَّم الله عليكم الميتة، وهي الحيوان الذي تفارقه الحياة بدون ذكاة
                Allah telah mengharamkan bangkai atas kalian,  yaitu hewan yang lenyap kehidupannya dengan tanpa disembelih. (Tafsir Al Muyassar, 2/177)
                Kata (fainnahu rijs – sesungguhnya itu adalah najis) kata “itu” bukan hanya kembali kepada daging babi, tetapi kepada semua hal yang disebutkan dalam ayat ini yakni bangkai, darah mengalir, dan daging babi, semua adalah najis.
                Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:
أي فإن ذلك كله خبيث تعافه الطباع السليمة، فالضمير راجع إلى الانواع الثلاثة، ويجوز الحرز بشعر الخنزير في أظهر قولي العلماء.
                Yaitu semua hal itu adalah menjijikan yang tidak disukai oleh tabiat yang sehat, dan dhamir (kata ganti) “itu” kembali kepada tiga hal itu. Di antara pendapat yang paling kuat dari para ulama, dibolehkan memanfaatkan bulu babi untuk benang jahit. (Fiqhus Sunnah, 1/25)

                Lalu, dalam ayat lain Allah Ta’ala merinci tentang hewan yang matinya tidak disembelih sesuai syariat Islam, yaitu:
وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأَزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْق
 (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.  (QS. Al Maidah (5): 3)
                Termasuk juga hewan yang mati karena sakit, seperti terjangkit virus atau sebab lainnya, dan hewan sakit itu matinya tanpa sempat disembelih, maka dia bangkai.
                Selain itu, hewan yang kehilangan anggota tubuhnya dan dia masih dalam keadaan hidup, maka anggota tubuh yang putus tersebut juga bangkai. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَمَا قُطِعَ مِنْهَا فَهُوَ مَيْتَةٌ
                Bagian apa saja yang terpotong dari hewan, dan hewan itu dalam keadaan hidup, maka bagian yang terpotong itu adalah bangkai. (HR. At Tirmidzi No. 1480, dari Abu Waqid. Ibnu Majah No. 3216, dari Ibnu Umar, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 78, dari Abu Waqid, juga No. 18703, Ad Daruquthni dalam Sunannya No. 83, dari Abu Waqid Al Laitsi, No. 84, dari Ibnu ‘Umar, Ad Darimi dalam Sunannya No. 2018, dari Abu Waqid Al Laitsi, Ibnu Al Ju’di dalam Musnadnya No. 2652, dari Abu Waqid,  Ibnu ‘Asakir dalam Mu’jamnya No. 1383, dari Abu Waqid, Abdurrazzaq dalam Mushannafnya No. 8611, dari Zaid bin Aslam, Ath Thabarani dalam Al Kabirnya No. 1277, dari Tamim Ad Dari, juga No. 3304, dari Abu Waqid)
                Hadits ini dihasankan oleh Imam At Tirmidzi. (Sunan At Tirmidzi No. 1480), Syaikh Salim Husein Asad mengatakan: isnadnya shahih sesuai syarat Al Bukhari. (Sunan Ad Darimi No. 2018, Cet. 1, 1407H. Darul Kutub Al ‘Arabi), juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani. (Shahihul Jami’ No. 5652)
Bangkai yang dikecualikan
                Ada beberapa bangkai yang dikecualikan dari keumuman ayat di atas. Bangkai-bangkai ini suci, bahkan sebagian boleh dimakan.
                Mereka terdiri atas:
  1. Bangkai Ikan dan Belalang
Allah Ta’ala berfirman:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu. (QS. Al Maidah (5): 96)
Shaidul Bahr - Buruan laut” maksudnya hewan laut yang ditangkap lewat memancing, memukat, atau menombaknya, dan ini berlaku untuk di danau, sungai, dan kolam, dan hewan tersebut dalam keadaan hidup.
“Tha’amuhu – makanan laut” para ahli tafsir menyebutkan hewan yang didapatkan sudah jadi bangkai, ada yang menyebut hewan yang sudah ditombak (qadzaf). (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/197)
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ ، فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ ، وَأَمَّا الدَّمَانِ ، فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
Dihalalkan buat kalian dua bangkai dan dua darah; ada pun dua bangkai itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa. (HR. Ibnu Majah No. 3314, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shaghir No. 3074, juga As Sunan Al Kubra No. 1128, 1129, 18776, 19481, katanya: isnad hadits ini shahih, Ahmad No. 5723, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. Asy Syafi’i dalam Musnadnya No. 1569, ‘Abdu bin Humaid dalam Musnadnya No. 820. Syaikh Al Albani menshahihkannya. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1118)
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bercerita:
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air, jika kami berwudhu maka kami akan kehausan, apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah menjawab: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. At Tirmidzi No. 69, katanya: hasan shahih, Abu Daud No. 83, Ibnu Majah No. 386, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 197, Ibnu Hibban No. 1243, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 58, Ahmad No. 7232, Ibnu Khuzaimah No. 111, 112)
Segenap ahli hadits menshahihkan hadits ini seperti Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 7232), Syaikh Mushthafa  Al A’zhami (Tahqiq Shahih Ibnu Khuzaimah No. 112), Syaikh Al Albani. (As Silsilah Ash Shahihah No. 480)
  1. Bangkai Manusia
Bangkai manusia dibagi menjadi dua: mayit muslim dan mayit non muslim.
Pertama, mayit muslim.
Mayit muslim adalah suci menurut ijma’, baik keadaan hidup dan matinya. Hal ini juga ditegaskan dalam hadits: Al Muslim Laa yanjus (seornag muslim tidaklah najis), kadang dengan lafaz:  Al Mu’min Laa yanjus (Orang beriman tidaklah najis). Semuanya diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, An Nasa’i, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Ad Daruquthni, Ath Thabarani, Al Baghawi, Ath Thahawi, dan lainnya.
Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata:
الْمُسْلِمُ لَا يَنْجُسُ حَيًّا وَلَا مَيِّتًا
Seorang muslim tidaklah najis baik hidup dan mayitnya. (Lihat Shahih Bukhari, Kitab Al Janaiz,  Bab Al Ghusl Al Mayyit wa Wudhu’ihi bil Ma’i was Sadri wal Hanath. Imam Al Bushiri menghukumi hadits ini sebagai marfu’ yaitu sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lihat Ittihaf Al Khairah, 4/1873)
Kedua, mayit non muslim.
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وَذَكَرَ الْبُخَارِيّ فِي صَحِيحه عَنْ اِبْن عَبَّاس تَعْلِيقًا : الْمُسْلِم لَا يَنْجُس حَيًّا وَلَا مَيِّتًا . هَذَا حُكْم الْمُسْلِم . وَأَمَّا الْكَافِر فَحُكْمه فِي الطَّهَارَة وَالنَّجَاسَة حُكْم الْمُسْلِم هَذَا مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْجَمَاهِير مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف . وَأَمَّا قَوْل اللَّه عَزَّ وَجَلَّ : { إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس } فَالْمُرَاد نَجَاسَة الِاعْتِقَاد وَالِاسْتِقْذَار ، وَلَيْسَ الْمُرَاد أَنَّ أَعْضَاءَهُمْ نَجِسَة كَنَجَاسَةِ الْبَوْل وَالْغَائِط وَنَحْوهمَا . فَإِذَا ثَبَتَتْ طَهَارَة الْآدَمِيّ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا ، فَعِرْقه وَلُعَابه وَدَمْعه طَاهِرَات سَوَاء كَانَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاء ، وَهَذَا كُلّه بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا قَدَّمْته فِي بَاب الْحَيْض
                “Imam Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya, dari Ibnu Abbas secara mu’alaq (tidak disebut sanadnya): Seorang muslim tidaklah najis baik hidup dan matinya. Ini adalah hukum untuk seorang muslim. Ada pun orang kafir maka hukumnya dalam masalah  suci dan najisnya adalah sama dengan hukum seorang muslim (yakni suci). Ini adalah madzhab kami dan mayoritas salaf dan khalaf. Ada pun ayat (Sesungguhnya orang musyrik itu najis) maka maksudnya adalah najisnya aqidah  yang kotor, bukan maksudnya anggota badannya najis seperti najisnya kencing,  kotorannya , dan semisalnya. Jika sudah pasti kesucian manusia baik dia muslim atau kafir, maka keringat, ludah, darah, semuanya suci, sama saja apakah dia sedang berhadats, atau junub, atau haid, atau nifas. Semua ini adalah ijma’ kaum muslimin sebagaimana yang telah lalu saya jelaskan dalam Bab Haid.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/87. Mawqi’ Ruh Al Islam) 
Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa mayit non muslim adalah sama dengan mayit muslim, yakni suci. Bahkan Imam An Nawawi mengklaim telah terjadi ijma’ kaum muslimin.
Namun, faktanya tidak  ijma’. Sebagian salaf dan ahli zhahir menyatakan bahwa kaum kafir adalah najis ketika hidupnya, tentu apalagi mayitnya.
 Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma  berpendapat bahwa sesuai zahir ayat: innamal musyrikun najasun – (sesungguhnya orang musyrik itu najis), maka tubuh orang musyrik itu najis sebagaimana najisnya babi dan anjing. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Al Hasan Al Bashri, katanya: “Barang siapa yang bersalaman dengan mereka maka hendaknya berwudhu.”  (Lihat Tafsir Ayat Al Ahkam, 1/282)
Ini juga menjadi pendapat kaum zhahiriyah. Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:
فالجمهور على أنه ليس بنجس البدن والذات؛ لأن الله تعالى أحل طعام أهل الكتاب، وذهب بعض الظاهرية إلى نجاسة أبدانهم.
Maka, menurut jumhur bukanlah najis badan dan zatnya, karena Allah Ta’ala menghalalkan makanan Ahli Kitab, dan sebagian Zhahiriyah menajiskan badan mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/131)
Namun yang shahih adalah pendapat jumhur bahwa mereka adalah suci, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ayat Al Ahkam berikut ini:
الترجيح : الصحيح رأي الجمهور لأن المسلم له أن يتعامل معهم ، وقد كان عليه السلام يشرب من أواني المشركين ، ويصافح غير المسلمين والله أعلم .
Tarjih: yang shahih adalah pendapat jumhur (mayoritas) karena seorang muslim berinteraksi dengan mereka, dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum dari wadah kaum musyrikin, dan bersalaman dengan  non muslim. Wallahu A’lam (Ibid)
Selesai.
6.       Darah mengalir
Dalilnya adalah:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا      ...
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir .. (QS. Al An’am (6): 145)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
سواء كان دما مسفوحا - أي مصبوبا - كالدم الذي يجري من المذبوح، أم دم حيض، إلا أنه يعفى عن اليسير منه
Sama saja, apakah darah mengalir –yaitu tertumpah – seperti darah yang mengalir dari hewan yang disembelih, atau darah haid, hanya saja itu dimaafkan jika mengalir sedikit. (Fiqhus Sunnah, 1/25)
Tentang najisnya darah haid, diisyaratkan oleh riwayat dari Asma binti Abu Bakar, katanya:
جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
Seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Salah satu di antara kami pakaiannya kena darah haid bagaimana yang mesti dilakukan?” Beliau bersabda: “Hendaknya dia mengeriknya, kemudian menggosok-gosoknya dengan air, kemudian mencucinya, lalu shalatlah dengan pakaian itu.” (HR. Bukhari No. 227, Muslim No. 291, dan ini adalah lafaznya Muslim)
Jawaban nabi menunjukkan bahwa darah haid adalah najis yang mesti dihilangkan dari pakaian jika terkena olehnya.

Darah yang dimaafkan

                Darah yang najis adalah yang mengalir (masfuuha) dan tumpah (mashbuuba), ada pun kebanyakan darah yang kita kenal adalah dimaafkan. Seperti darah bisul, darah nyamuk, darah yang masih menyisa pada leher bekas sembelihan, urat, daging, tulang, periuk, bahkan kaum muslimin tetap shalat dengan keadaan masih luka-luka. (HR. Bukhari). Nanah tidak masalah, karena yang disebut oleh Allah Ta’ala adalah darah. Imam Ibnu Taimiyah mengatakan tidak ada dalil tentang najisnya nanah, tetapi membersihkan kain yang terkena darah adalah wajib.  Tetapi, yang lebih utama adalah agar kita menjaga diri dari darah dan nanah. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/25)   

7.       Daging babi
Najisnya daging babi juga sudah disepakati para ulama, ada pun selain dagingnya seperti kulit dan bulunya, terjadi khilafiyah di antara mereka (Insya Allah akan dibahas pada bagiannya).
 Dalilnya adalah:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ    ...
                Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor  ... ". (QS. Al An’am (6): 145)
                Tertulis dalam Tafsir Al Muyassar:
قل -أيها الرسول- : إني لا أجد فيما أوحى الله إليَّ شيئًا محرمًا على من يأكله مما تذكرون أنه حُرِّم من الأنعام، إلا أن يكون قد مات بغير تذكية، أو يكون دمًا مراقًا، أو يكون لحم خنزير فإنه نجس
                Katakanlah –wahai Rasul: sungguh aku tidak temukan pada apa yang Allah wahyukan kepadaku  makanan yang diharamkan untuk dimakan, dari apa yang kalian sebutkan bahwa telah diharamkan hewan ternak, melainkan hewan yang matinya tidak disembelih, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena itu adalah najis. (Tafsir Al Muyassar, 2/440)
                Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah menjelaskan:
{ أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ } يعني نجساً حراماً
                (atau daging babi, karena itu adalah rijs/kotor) yakni najis lagi haram. (An Nukat wal ‘Uyun, 1/453)
                Namun Imam Asy Syaukani berbeda dengan kesepakatan ini, menurutnya daging babi adalah suci. Makna rijs bukanlah najis, tetapi haram. Tak ada hubungan antara haramnya sesuatu dengan kenajisannya. Sebab yang haram belum tentu najis, seperti menikahi ibu dan anak kandung sendiri adalah haram, tapi mereka bukan najis. (As Sailul Jarar, 1/38)
8.       Binatang Jalaalah
Binatang  jalaalah adalah hewan yang makan kotoran, yang akhirnya dnegan kotoran itu menjadi zat yang menyusun tubuhnya dan membuatnya bau.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:
والجلالة: هي التي تأكل العذرة، من الابل والبقر والغنم والدجاج والاوز وغيرها، حتى يتغير ريحها. فإن حبست بعيدة عن العذرة زمنا،عفلت طاهرا فطاب لحمها وذهب اسم الجلالة عنها حلت، لان علة النهي والتغيير، وقد زالت.
                Binatang jalaalah adalah binatang yang makan kotoran, baik itu unta, sapi, kambing, ayam, itik dan lainnya, sampai baunya berubah. Tetapi jika dia dikurung dan dipisahkan dari kotoran-kotoran itu pada jangka waktu yang tertentu dan kembali makan yang baik-baik, sehingga dagingnya menjadi baik, maka hilanglah nama jalalah, dan dia menjadi halal, karena ‘ilat (alasan) larangannya adalah karena adanya perubahan, dan sekarang perubahan itu sudah tidak ada. (Fiqhus Sunnah, 1/29)

                Dalilnya adalah Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma berkata:

نُهِيَ عَنْ رُكُوبِ الْجَلَّالَةِ
                Kami dilarang menunggangi binatang jalaalah. (HR. Abu Daud No. 2557, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 10110. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2557)

                Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, katanya:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ وَعَنْ الْجَلَّالَةِ عَنْ رُكُوبِهَا وَأَكْلِ لَحْمِهَا

                Pada perang Khaibar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memakan daging keledai peliharaan dan binatang jalaalah, baik menungganginya dan memakan dagingnya. (HR. Abu Daud No. 3811, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 19263, Al Hakim dalam Mustadrak ‘alash Shahihain No. 2498. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: sanadnya hasan. Lihat Fathul Bari,  9/648. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3811)  

                Dilarang memakannya karena dia haram, dilarang menungganginya karena dia najis.

 Namun, kalangan Syafi’iyah memakruhkan secara mutlak binatang jalaalah, jika dagingnya telah berubah lantaran memakan hal yang najis. (Fathul Bari, 9/649)

9.       Kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya

Hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya, maka kotorannya adalah najis.

Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berkata:

أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ هَذَا رِكْسٌ

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hendak buang air besar, dia memerintahkan saya untuk membawakan untuknya tiga buah batu, aku dapatkan dua buah batu dan masih mencari yang ketiga tapi tidak dapat. Maka saya ambil  kotoran yang sudah kering dan saya bawakan kepadanya. Beliau mengambil dua bua batu itu, dan membuang kotoran kering. Beliau berkata: “Ini adalah najis.” (HR. Bukhari No. 156)

Hewan yang termasuk ini adalah keledai, bighal, dan kuda. Kotoran dan kencing mereka adalah najis. Ada pun hewan yang dimakan dagingnya, maka tahi dan kencingnya adalah suci. Dalilnya adalah:

Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu bercerita:

قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا
“Orang-orang ‘Ukl dan ‘Urainah datang ke Madinah dan mengalami sakit perut, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk mencari unta perahan untuk diminum kencing dan susunya.” (HR. Bukhari No. 233)

Hadits ini menjadi dalil sucinya kencing unta dan hewan lain yang boleh dimakan dagingnya diqiyaskan dengan ini.

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menjelaskan:

وَبَوْلُ مَا أُكِلَ لَحْمُهُ وَرَوْثُهُ طَاهِرٌ، لَمْ يَذْهَبْ أَحَدٌ مِنْ الصَّحَابَةِ إلَى تَنَجُّسِهِ بَلْ الْقَوْلُ بِنَجَاسَتِهِ قَوْلٌ مُحْدَثٌ لَا سَلَفَ لَهُ مِنْ الصَّحَابَةِ
Kencing dan tahi hewan yang bisa dimakan dagingnya adalah suci, belum pernah ada seorang pun sahabat nabi yang berpendapat itu adalah najis, bahkan yang mengatakan najis adalah pendapat muhdats (mengada-ada) yang belum ada pendahulunya dari kalangan sahabat nabi. (Al Fatawa Al Kubra, 5/313. Cet. 1, 1987M-1408H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah memaparkan lima belas hujjah tentang sucinya kotoran hewan yang bisa dimakan dagingnya. (

Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan tentang hadits kaum ‘Ukl dan ‘Urainah:

وقد استدل بهذا الحديث من قال بطهارة بول ما يؤكل لحمه وهو مذهب العترة والنخعي والأوزاعي والزهري ومالك وأحمد ومحمد وزفر وطائفة من السلف ووافقهم من الشافعية ابن خزيمة وابن المنذر وابن حبان والاصطخري والروياني . أما في الإبل فبالنص وأما في غيرها مما يؤكل لحمه فبالقياس
 قال ابن المنذر ومن زعم أن هذا خاص بأولئك الأقوام فلم يصب إذ الخصائص لا تثبت إلا بدليل ويؤيد ذلك تقرير أهل العلم لمن يبيع أبعار الغنم في أسواقهم واستعمال أبوال الإبل في أدويتهم

Pihak yang menyatakan sucinya kencing hewan yang bisa dimakan dagingnya berdalil dengan hadits ini. Ini adalah pendapat dari Al ‘Itrah (ahlul bait), Nakha’i, Al Awza’i, Az Zuhri, Malik, Ahmad, Muhammad, Zufar, sekelompok kaum salaf, dan segolongan syafi’iyah menyepakati mereka seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban,  Al Ishthakhri, dan Ar Ruyani. Ada pun tentang unta ada nashnya, sedangkan  hewan lain yang dimakan dagingnya diqiyaskan dengan unta.

Ibnul Mundzir berkata: siapa yang menyangka bahwa ini hanya khusus bagi orang-orang itu (‘Ukl dan ‘Urainah) tidaklah benar, sebab kekhususan tidaklah pasti kecuali dengan adanya dalil. Apalagi hal ini didukung oleh pembiaran para ulama kepada orang yang menjual kotoran kambing di pasar-pasar, dan menggunakan kencing unta sebagai obat mereka.  (Nailul Authar, 1/59. Idarah Ath Thiba’ah Al Muniriyah)

Imam Asy Syaukani Rahimahullah juga menjelaskan:

والظاهر طهارة الأبوال والأزبال من كل حيوان يؤكل لحمه تمسكا بالأصل واستصحابا للبراءة الأصلية والنجاسة حكم شرعي ناقل عن الحكم الذي يقتضيه الأصل والبراءة فلا يقبل قول مدعيها إلا بدليل يصلح للنقل عنهما ولم نجد للقائلين بالنجاسة دليل
Yang benar adalah sucinya kencing dan sisa makanan dari setiap hewan yang dimakann dagingnya, berpegang pada kaidah dasar Bara’atul Ashliyah (kembali ke hukum dasar).  Najis adalah hukum syar’i, yang diambil dari hukum yang ditetapkan oleh hukum asal dan bara’atul ashliyah. Maka, tidak dapat diterima ucapan pihak yang mengklaim kenajisannya, kecuali dengan dalil yang merubah keduanya (hukum asal dan bara’ah), namun saya belum menemukan dalil bagi pihak yang menyatakan najis. (Nailul Authar, 1/59)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah juga menjelaskan:

فدل ذلك على طهارة الأبوال والأرواث مما هو مأكول اللحم، ومما يدل على طهارته أن النبي صلى الله عليه وسلم أذن للعرنيين أن يشربوا من أبوال الإبل للاستشفاء، ولو كان بولها نجساً لما أذن لهم النبي صلى الله عليه وسلم؛ لأنه نهى عن التداوي بالحرام، فدل هذا على أن روث وبول ما يؤكل لحمه طاهر وليس بنجس.

Hadits ini menunjukkan bahwa sucinya kencing dan kotoran hewan yang bisa dimakan, di antara yang menunjukkan kesuciannya adalah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan kaum ‘Uraniyin meminum kencing unta untuk berobat, seandainya kencingnya najis kenapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan mereka, sebab Beliau melarang berobat dengan yang haram. Kisah ini menunjukkan bahwa kencing dan tahi hewan yang bisa dimakan dagingnya adalah suci dan bukan najis. (Syarh Sunan Abi Daud, 10/20)

Sedangkan Al Hafizh Ibnu Hajar termasuk yang menyatakan najis. Beliau mengomentari pendapat Imam Ibnul Mundzir - yang mengatakan pembiaran para ulama sejak dulu dan sekarang atas penjualan kotoran kambing dan kencing unta di pasar-pasar untuk obat sebagai dalil penguatan atas kesuciannya- sebagai pendapat yang lemah. Sebab, urusan yang masih diperselisihkan tidak wajib diingkari, maka pembiaran ulama   itu bukanlah menunjukkan kebolehannya apalagi menunjukkan kesuciannya. Menurutnya, seluruh kencing hewan adalah najis. Ini juga pendapat Imam Ibnul ‘Arabi. (rinciannya lihat Fathul Bari, 1/338)

Wallahu A’lam
 Oleh: Farid Nu’man Hasan
(bersambung ....)