I'jaab bin-Nafsi Atau Membanggakan Diri

Pertama, pengertian I'jaab bin Nafsi mengandung beberapa arti. Antara lain: "Rasa senang, tertarik, atau kagum." A'jabahul-amruartinya "sesuatu itu telah menjadikannya senang", u'jiba bihi, artinya, "ia menjadi terikat dengannya". (Kitab lisanul-Arab, 1/185)

Allah SWT berfirman:

وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (QS. al-Baqarah [2] : 221)

قُل لَّا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ ۚ
Katakanlah, "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu." (QS. al-Maidah [5] : 100)

كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ
Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. (QS. al-Hadiid [57] : 20)

Kedua, kemegahan, kemuliaan, dan kebesaran. A'jabahul-amru, artinya 'merasa megah', 'mulia', atau 'besar dengan sesuatu'. Seorang mu'jib berarti 'orang yang merasa megah, agung dan besar' ketika ia memiliki sesuatu, baik kebaikan atau keburukan. (Kitab lisanul-Arab,1/185)

Allah Ta'ala berfirman:

وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا
Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun. (QS. at-Taubah [9] : 25)

Menurut istilah dalam dakwah, I'jaab bin-nafsi yaitu 'rasa senang dan bahagia, baik pada diri pribadi, kata-kata, ataupun perbuatan yang dilakukannya, tanpa memperhitungkan orang lain'. Sama saja, baik kesenangan itu karena suatu kebaikan atau keburukan, yang terpuji atau tercela. Jika dalam rasa senangnya itu disertai sikap mengejek atau merendahkan perbuatan orang lain, maka hal tersebut disebut ghuruur atau sangat 'ujub'. Dan bila rasa senangnya disertai dengan merendahkan pribadi orang lain, maka hal itu dinamakan takabbur atau sangat 'ujub' sekali. (Mukhtashar Minhaj al-Qashidiin, hal 247-248)

Faktor-Faktor Penyebab I'jaab Bin-Nafsi

Seseorang yang terbiasa hidup di bawah asuhan orang tua yang memiliki suka dipuji, disegani —baik dalam hal kebaikan atau kebathilan, kekbal terhadap nasihat atau kritik, dan hal-hal lain yang termasuk dalam kategori I'jaab bin-nafsi—berpeluang besar terkena penyakit itu, kecuali bagi mereka yang mendapat rahmat Allah.

Oleh karena itu, Islam memberikan penegasan akan keharusan para orang tua untuk selalu berpegang teguh dengan manhaj (aturan Allah) —sebagaimana yang telah saya kemukakan ketika membahas bahaya israaf— karena hanya hal itu sajarah yang dapat memelihara mereka dari segala bentuk penyimpangan serta dapat menjadi suri teladan bagi seluruh anggota keluarganya.

Sanjungan dan Pujian


Ada sebagian orang yang senantiasa memperoleh pujian atau sanjungan secara langsung yang tidak memperhatikan adab memuji yang diajarkan oleh Islam, ia akhirnya tergila-gila dan mabuk kepayang karenanya. Lalu, ia beranggapan bahwa sanjungan dan pujian itu karena kelebihan dan kehebatan yang dimilikinya yang tidak dimiliki orang lain. Cetusan hati ini akan terus-menerus menari-nari dalam jiwanya sampai akhirnya ia tertimpa i'jaab bin-nafsi (membanggakan diri). Semoga Allah melindungi kita hal tersebut.

Barangkali inilah sebabnya Rasulullah shallahu alaihi wassalam mencela sanjungan dan pujian di hadapan orang yang dipuji, tetapi harus memperhatikan adab-adab yang beliau ajarkan. Mujahid bin Abi Mu'ammar meriwayatkan bahwa suatu hari pernah ada seseorang yang memuji seorang pemimpin. Kemudian Miqdad ibnul-Aswad menaburkan tanah ke mukanya, kemudian berkata:
"Rasulullah memerintahkan kami untuk menaburkan tanah kemuka orang yang suka memuji". (HR. Muslim)

Abdul Rahman bin Abi Bakrah meriwyatkan dari ayahnya bahwa pernah seseorang memuji orang lain di dekat Rasulullah shallahu alaihi wassalam. Melihat hal itu lalu beliau bersabda, "Celakalah bagimu, kamu telah memotong leher saudaramu". Rasulullah saw mengatakannya dengan berulang kali, kemudian bersabda lagi,"Jika salah seorang dari kalian harus memuji kawannya, maka hendaklah berkata, 'Aku mengira fulan, dan hanya Allah yang berhak menilai, dan tidak sepatutnya seseorang menyucikan sesuatu mendahului penilaian Allah, aku mengira dia itu -jika telah mengetahuinya- begitu dan begini'."(HR Bukhari dan Muslim)

Berteman Dengan Orang yang Ujub

Sebagaimana kita ketahui, seseorang akan sangat dipengaruhi oleh kawannya, apalagi jika kawan itu memiliki kharisma pribadi yang kuat, keahlian, dan pengalaman dalam kehidupan. Ia akan terpengaruh oleh semua yang diungkapkan kepadanya. Maka jika kawannya menderita penyakit 'ujub', maka dengan mudah ia juga akan dijangkiti penyakit yang sama.

Terlena Kenikmatan dan Melupakan Allah

Segolongan aktivis dakwah ada yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, baik berupa harta, ilmu, kemampuan, kedudukan, dan sebagainya. Kemudian ia terlena oleh nikmat itu, dan melupakan Allah yang memberi nikmat itu. Di bawah pengaruh kenikmatan itu, akhirnya ia berbisik di dalam hatinya bahwa yang memperoleh nikmat seperti ia hanyalah orng-orang yang memiliki kemampuan dan kelebihan. Seperti diungkapkan Qur'an:

إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِي ۚ
"Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku."(QS. al-Qashas [28] : 78)

Bisikan seperti itu terus-menerus akan menguasai hatinya, sehingga mengira dirinya dan apa yang dilakukan, sekalipun ia melakukan kebathilan, itu i'jaab bin-nafsi. Wallahu'alam.

Hadits-hadits Seputar Zakat dari Kitab Bulughul Maram

bulughulmarom
Kitab Bulughul Maram
Penyusun al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani
Hadits ke-1
Dari Ibnu Abbas Radhiyallohu'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengutus Mu'adz ke negeri Yaman --ia meneruskan hadits itu-- dan didalamnya (beliau bersabda): "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan mereka zakat dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Hadits ke-2
Dari Anas bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq Radliyallaahu 'anhu menulis surat kepadanya: Ini adalah kewajiban zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam atas kaum muslimin. Yang diperintahkan Allah atas rasul-Nya ialah setiap 24 ekor unta ke bawah wajib mengeluarkan kambing, yaitu setiap kelipatan lima ekor unta zakatnya seekor kambing. Jika mencapai 25 hingga 35 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun kedua, jika tidak ada zakatnya seekor anak unta jantan yang umurnya telah menginjak tahun ketiga. Jika mencapai 36 hingga 45 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun ketiga. Jika mencapai 46 hingga 60 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya telah masuk tahun keempat dan bisa dikawini unta jantan. Jika mencapai 61 hingga 75 ekor unta, zakatnya seekor unta betina yang umurnya telah masuk tahun kelima. Jika mencapai 79 hingga 90 ekor unta, zakatnya dua ekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun kedua. Jika mencapai 91 hingga 120 ekor unta, maka setiap 40 ekor zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga dan setiap 50 ekor zakatnya seekor unta betina yang umurnya masuk tahun keempat. Bagi yang hanya memiliki 4 ekor unta, tidak wajib atasnya zakat kecuali bila pemiliknya menginginkan. Mengenai zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika mencapai 40 hingga 120 ekor kambing, zakatnya seekor kambing. Jika lebih dari 120 hingga 200 ekor kambing, zakatnya dua ekor kambing. Jika lebih dari 200 hingga 300 kambing, zakatnya tiga ekor kambing. Jika lebih dari 300 ekor kambing, maka setiap 100 ekor zakatnya seekor kambing. Apabila jumlah kambing yang dilepas mencari makan sendiri kurang dari 40 ekor, maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menginginkan. Tidak boleh dikumpulkan antara hewan-hewan ternak terpisah dan tidak boleh dipisahkan antara hewan-hewan ternak yang terkumpul karena takut mengeluarkan zakat. Hewan ternak kumpulan dari dua orang, pada waktu zakat harus kembali dibagi rata antara keduanya. Tidak boleh dikeluarkan untuk zakat hewan yang tua dan yang cacat, dan tidak boleh dikeluarkan yang jantan kecuali jika pemiliknya menghendaki. Tentang zakat perak, setiap 200 dirham zakatnya seperempatnya (2 1/2%). Jika hanya 190 dirham, tidak wajib atasnya zakat kecuali bila pemiliknya menghendaki. Barangsiapa yang jumlah untanya telah wajib mengeluarkan seekor unta betina yang seumurnya masuk tahun kelima, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah dua ekor kambing jika tidak keberatan, atau 20 dirham. Barangsiapa yang sudah wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun kelima, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing. Riwayat Bukhari.
 
Hadits ke-3
Dari Mu'adz Ibnu Jabal Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengutusnya ke negeri Yaman. Beliau memerintahkan untuk mengambil (zakat) dari 30 ekor sapi, seekor anak sapi berumur setahun lebih yang jantan atau betina, dan setiap 40 ekor sapi, seekor sapi betina berumur dua tahun lebih, dan dari setiap orang yang telah baligh diambil satu dinar atau yang sebanding dengan nilai itu pada kaum Mu'afiry. Riwayat Imam Lima dan lafadznya menurut riwayat Ahmad. Hadits hasan menurut Tirmidzi dan ia menunjukkan perselisihan pendapat tentang maushulnya hadits ini. Ibnu Hibban dan Hakim menilainya hadits shahih.

Hadits ke-4
Dari Amar Ibnu Syu`aib dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Zakat kaum muslimin diambil di tempat-tempat sumber air mereka." Riwayat Ahmad. Hadits menurut riwayat Abu Dawud: "Zakat mereka tidak diambil kecuali di kampung mereka."

Hadits ke-5
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak wajib zakat bagi orang islam atas hambanya dan kudanya." Riwayat Bukhari. Menurut riwayat Muslim: "Tidak ada zakat bagi hamba kecuali zakat fitrah."

Hadits ke-6
Dari Bahz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Pada setiap 40 ekor unta yang dilepas mencari makan sendiri, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya memasuki tahun ketiga. Tidak boleh dipisahkan anak unta itu untuk mengurangi perhitungan zakat. Barangsiapa memberinya karena mengharap pahala, ia akan mendapat pahala. Barangsiapa menolak untuk mengeluarkannya, kami akan mengambilnya beserta setengah hartanya karena ia merupakan perintah keras dari Tuhan kami. Keluarga Muhammad tidak halal mengambil zakat sedikit pun." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim. Syafi'i memberikan komentar atas ketetapan hadits ini.

Hadits ke-7
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila engkau memiliki 200 dirham dan telah melewati satu tahun, maka zakatnya 5 dirham. Tidak wajib atasmu zakat kecuali engkau memiliki 20 dinar dan telah melewati setahun, maka zakatnya 1/2 dinar. Jika lebih dari itu, maka zakatnya menurut perhitungannya. Harta tidak wajib dikeluarkan zakat kecuali telah melewati setahun." Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud. Ke-marfu'-an hadits ini diperselisihkan.

Hadits ke-8
Menurut riwayat Tirmidzi dari Ibnu Umar Radhiyallohu'anhua: "Barangsiapa memanfaatkan (mengembangkan) harta, tidak wajib zakat atasnya kecuali setelah mencapai masa setahun." Hadits mauquf.

Hadits ke-9
Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Tidak ada zakat atas sapi yang dipekerjakan. Riwayat Abu Dawud dan Daruquthni. Hadits mauquf menurut pendapat yang lebih menang.

Hadits ke-10
Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mengurus anak yatim yang memiliki harta, hendaknya ia memperdagangkan harta itu untuknya, dan tidak membiarkannya sehingga dimakan oleh zakat." Riwayat Tirmidzi dan Daruquthni, sanadnya lemah. Hadits ini mempunyai saksi mursal menurut Syafi'i.

Hadits ke-11
Dari Abdullah Ibnu Aufa bahwa biasanya bila suatu kaum datang membawa zakat kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau berdoa: "Ya Allah, berilah rahmat atas mereka." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-12
Dari Ali bahwa Abbas bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam penyegeraan pengeluaran zakat sebelum waktunya, lalu beliau mengizinkannya. Riwayat Tirmidzi dan Hakim.

Hadits ke-13
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tak ada zakat pada perak yang kurang dari 5 auqiyah (600 gram), unta yang jumlahnya kurang dari 5 ekor, dan kurma yang kurang dari 5 
ausaq (1050 liter)." Riwayat Muslim.

Hadits ke-14
Menurut riwayatnya dari hadits Abu Said Radhiyallohu'anhu: "Tidak ada zakat pada kurma dan biji-bijian yang kurang dari 5 ausaq (1050 liter)." Asal hadits dari Abu Said itu Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-15
Dari Salim Ibnu Abdullah, dari ayahnya Radhiyallohu'anhu, bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tanaman yang disiram dengan air hujan atau dengan sumber air atau dengan pengisapan air dari tanah, zakatnya sepersepuluh, dan tanaman yang disiram dengan tenaga manusia, zakatnya seperduapuluh." Riwayat Bukhari. Menurut riwayat Abu Dawud: "Bila tanaman ba'al (tanaman yang menyerap air dari tanah), zakatnya sepersepuluh, dan tanaman yang disiram dengan tenaga manusia atau binatang, zakatnya setengah dari sepersepuluh (1/20)."

Hadits ke-16
Dari Abu Musa al-Asy'ary dan Mu'adz Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepada keduanya: "Jangan mengambil zakat kecuali dari keempat jenis ini, yakni: sya'ir, gandum, anggur kering, dan kurma." Riwayat Thabrani dan Hakim.

Hadits ke-17
Menurut Daruquthni bahwa Mu'adz Radliyallaahu 'anhu berkata: Adapun mengenai ketimun, semangka, delima dan tebu, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah membebaskan (zakat)-nya. Sanadnya lemah.

Hadits ke-18
Sahal Ibnu Abu Hatsmah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami apabila kamu menaksir, maka kerjakanlah, tetapi bebaskan sepertiga. Apabila kamu enggan membebaskan sepertiga, maka bebaskan seperempat. Riwayat Imam Lima kecuali Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-19
Attab Ibnu Asid Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan agar anggur ditaksir sebagaimana kurma, dan zakatnya diambil setelah dalam keadaan kering. Riwayat Imam Lima dan sanadnya terputus.

Hadits ke-20
Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersama putrinya yang mengenakan dua gelang emas ditangannya. Lalu beliau bertanya: "Apakah engkau mengeluarkan zakat gelang ini?" Dia menjawab: Tidak. Beliau bersabda: "Apakah engkau senang pada hari kiamat nanti Allahakan menggelangi kamu dengan dua gelang api neraka?" Lalu perempuan itu melepaskan kedua gelang tersebut. Riwayat Imam Tiga dengan sanad yang kuat. Hadits shahih menurut Hakim dari hadits 'Aisyah.

Hadits ke-21
Dari Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu bahwa dia mengenakan perhiasan dari emas, lalu dia bertanya: Ya Rasulullah, apakah ia termasuk harta simpanan? Beliau menjawab: "Jika engkau mengeluarkan zakatnya, maka ia tidak termasuh harta simpanan." Riwayat Abu Dawud dan Daruquthni. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-22
Samurah Ibnu Jundab Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami agar mengeluarkan zakat dari harta yang kita siapkan untuk berjualan. Riwayat Abu Dawud dan sanadnya lemah.

Hadits ke-23
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Zakat rikaz (harta peninggalan purbakala) adalah seperlima." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-24
Dari Amar Ibnu Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tentang harta simpanan yang ditemukan seseorang di suatu tempat yang tidak berpenghuni. Jika engkau menemukannya pada kampung yang dihuni orang, maka umumkan. Jika engkau menemukannya pada kampung yang tidak dihuni orang, maka zakatnya sebagai rikaz itu seperlima." Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dengan sanad hasan.

Hadits ke-25
Dari Bilal Ibnu Harits Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengambil zakat dari barang-barang tambang di Qalibiyah. Riwayat Abu Dawud.

Hadits ke-26
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho' kurma atau satu sho' sya'ir atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, besar kecil dari orang-orang islam; dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-27
Menurut riwayat Ibnu Adiy dan Daruquthni dengan sanad yang lemah: "Cegahlah mereka agar tidak keliling (untuk minta-minta) pada hari ini.

Hadits ke-28
Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu berkata: Pada zaman Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kami selalu mengeluarkan zakat fitrah satu sho' makanan, atau satu sho' kurma, atau satu sho' sya'ir, atau satu sho' anggur kering. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat lain: Atau satu sho' susu kering. Abu Said berkata: Adapun saya masih mengeluarkan zakat fitrah seperti yang aku keluarkan pada zaman Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dalam riwayat Abu Dawud: Aku selamanya tidak mengeluarkan kecuali satu sho'.

Hadits ke-29
 
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak berguna dan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum sholat, ia menjadi zakat yang diterima dan barangsiapa mengeluarkannya setelah sholat, ia menjadi sedekah biasa. 
Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-30
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tujuh macam orang yang akan dilindungi Allah pada hari yang tidak ada lindungan kecuali lindungan-Nya - kemudian ia menyebutkan hadits dan didalamnya disebutkan - orang yang bersedekah dengan sedekah yang ia tutupi sehingga tangannya yang kiri tidak mengetahui apa yang dikeluarkan oleh tangan kanannya." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-31
Dari Uqbah Ibnu Amir bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Setiap orang bernaung di bawah sedekahnya sehingga ia diputuskan (amal perbuatannya) antara manusia." Riwayat Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-32
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Siapa saja orang islam yang memberi pakaian orang Islam yang tidak memiliki pakaian, niscaya Allah akan memberinya pakaian dari hijaunya surga; dan siapa saja orang Islam yang memberi makan orang Islam yang kelaparan, niscaya Allah akan memberinya makanan dari buah-buahan surga; dan siapa saja orang Islam yang memberi minum orang Islam yang kehausan, niscaya Allah akan memberinya minuman dari minuman suci yang tertutup." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan dalam sanadnya ada kelemahan.

Hadits ke-33
Dari Hakim Ibnu Hazm Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima); dan mulailah dari orang-orang yang banyak tanggungannya; dan sebaik-baik sedekah ialah yang diambil dari sisa kebutuhan sendiri, barangsiapa menjaga kehormatannya Allah akan menjaganya dan barangsiapa merasa cukup Allah akan mencukupkan kebutuhannya." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari.

Hadits ke-34
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya: Wahai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, sedekah apakah yang paling mulia? Beliau menjawab: "Sedekah orang yang tak punya, dan mulailah (memberi sedekah) atas orang yang banyak tanggungannya. Dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim.

Hadits ke-35
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Bersedekahlah." Lalu seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar? Beliau bersabda: "Bersedekahlah pada dirimu sendiri." Orang itu berkata: Aku mempunyai yang lain. Beliau bersabda: "Sedekahkan untuk anakmu." Orang itu berkata: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: "Sedekahkan untuk istrimu." Orang itu berkata: Aku masih punya yang lain. Beliau bersabda: "Sedekahkan untuk pembantumu." Orang itu berkata lagi: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: "Kamu lebih mengetahui penggunaannya." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-36
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila perempuan menafkahkan sebagian makanan di rumahnya tanpa merusak (anggaran harian) maka baginya pahala atas apa yang ia nafkahkan, bagi suaminya juga pahala karena ia yang bekerja, dan begitu pula bagi yang menyimpannya. Sebagian dari mereka tidak mengurangi sedikit pun pahala atas sebagian lainnya." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-37
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Zainab, istri Abu Mas'ud, bertanya: Wahai Rasulullah, baginda telah memerintahkan untuk bersedekah hari ini, dan aku mempunyai perhiasan padaku yang hendak saya sedekahkan, namun Ibnu Mas'ud menganggap bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak untuk aku beri sedekah. Lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ibnu Mas'ud memang benar, suamimu dan anakmu adalah orang yang lebih berhak untuk engkau beri sedekah." Riwayat Bukhari.

Hadits ke-38
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang yang selalu meminta-minta pada orang-orang, akan datang pada hari kiamat dengan tidak ada segumpal daging pun di wajahnya." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-39
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa meminta-minta harta orang untuk memperkaya diri, sebenarnya ia hanyalah meminta bara api. Oleh karenanya, silahkan meminta sedikit atau banyak." Riwayat Muslim.

Hadits ke-40
Dari Zubair Ibnu al-'Awwam Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang di antara kamu yang mengambil talinya, lalu datang dengan seonggok kayu di atas punggungnya, kemudian menjualnya dan dengan hasil itu ia menjaga kehormatannya adalah lebih baik daripada ia meminta-minta orang yang terkadang mereka memberinya atau menolaknya." Riwayat Bukhari

Hadits ke-41
Dari Samurah Ibnu Jundab Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Meminta-minta adalah cakaran seseorang terhadap mukanya sendiri, kecuali meminta kepada penguasa atau karena suatu hal yang amat perlu." Hadits shahih riwayat Tirmidzi.

Hadits ke-42
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Zakat itu tidak halal diberikan kepada orang kaya kecuali lima macam, yaitu: Panitia zakat, atau orang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang berhutang, atau orang yang berperang di jalan Allah, atau orang miskin yang menerima zakat kemudian memberikannya pada orang kaya." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim, namun ia juga menilainya cacat karena mursal.

Hadits ke-43
Dari Ubaidillah Ibnu Adiy Ibnu al-Khiyar Radliyallaahu 'anhu bahwa dua orang menceritakan kepadanya bahwa mereka telah menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk meminta zakat pada beliau. Lalu beliau memandangi mereka, maka beliau mengerti bahwa mereka masih kuat. Lalu beliau bersabda: "Jika kalian mau, aku beri kalian zakat, namun tidak ada bagian zakat bagi orang kaya dan kuat bekerja." Riwayat Ahmad dan dikuatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i.

Hadits ke-44
Dari Abdul Muttholib Ibnu Rabi'ah Ibnu Harits bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya zakat itu tidak patut bagi keluarga Muhammad, karena ia sebenarnya adalah kotoran manusia." Dan menurut suatu riwayat: "Sesungguhnya ia tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad." Riwayat Muslim.

Hadits ke-45
Jubair Ibnu Muth'im Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku dan Utsman Ibnu Affan pernah menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu kami bertanya: Wahai Rasulullah, baginda telah memberi seperlima dari hasil perang Khaibar kepada Banu al-Mutthalib dan baginda meninggalkan kami, padahal kami dan mereka adalah sederajat. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya Banu al-Mutthalib dan Banu Hasyim adalah satu keluarga." Riwayat Bukhari.

Hadits ke-46
 
Dari Abu Rafi' Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengutus seseorang dari Banu Makhzum untuk mengambil zakat. Orang itu berkata kepada Abu Rafi': Temanilah aku, engkau akan mendapatkan bagian darinya. Ia menjawab: Tidak, sampai aku menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk menanyakannya. Lalu keduanya menghadap beliau dan menanyakannya. Beliau bersabda: "Hamba sahaya suatu kaum itu termasuk kaum tersebut, dan sesungguhnya tidak halal zakat bagi kami." Riwayat Ahmad, Imam Tiga, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban.

Hadits ke-47
Dari Salim Ibnu Abdullah Ibnu Umar, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memberikan sesuatu kepada Umar Ibnu Khattab. Lalu ia berkata: Berikanlah pada orang yang lebih membutuhkan daripada diriku." Beliau bersabda: "Ambillah, lalu simpanlah atau bersedekahlah dengannya. Dan apa yang datang kepadamu dari harta semacam ini, padahal engkau tidak membutuhkannya dan tidak meminta, maka ambillah. Jika tidak demikian, maka jangan turuti nafsumu." Riwayat Muslim.

Hadits ke-48
Dari Qobishoh Ibnu Mukhoriq al-Hilaly Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah seorang di antara tiga macam, yakni orang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia berhenti; orang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup; dan orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga tiga orang dari kaumnya yang mengetahuinya menyatakan: "Si fulan ditimpa kesengsaraan hidup." ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain tiga hal itu, wahai Qobishoh, adalah haram dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram." Riwayat Muslim, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban.

Last modified on Monday, 22 August 2011 19:04

Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (1/3): Fenomena Kenakalan Anak


Beberapa contoh cara mendidik anak yang nakal

Mendidik anak merupakan perkara yang mulia tapi gampang-gampang susah dilakukan, karena di satu sisi, setiap orang tua tentu menginginkan anaknya tumbuh dengan akhlak dan tingkah laku terpuji, tapi di sisi lain, mayoritas orang tua terlalu dikuasai rasa tidak tega untuk tidak menuruti semua keinginan sang anak, sampai pun dalam hal-hal yang akan merusak pembinaan akhlaknya.

Sebagai orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita meyakini bahwa sebaik-baik nasihat untuk kebaikan hidup kita dan keluarga adalah petunjuk yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an dan sabda-sabda nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ. قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat dari Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala), penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia) dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari perhiasan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.’” (QS. Yunus: 57-58).

Dalam hal yang berhubungan dengan pendidikan anak, secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan orang-orang yang beriman akan besarnya fitnah yang ditimbulkan karena kecintaan yang melampaui batas terhadap mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS. at-Taghabun: 14).

Makna “menjadi musuh bagimu” dalam firman-Nya adalah “melalaikan kamu dari melakuakan amal shalih dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[1]

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya….”[2]

Fenomena kenakalan anak

Fenomena ini merupakan perkara besar yang cukup memusingkan dan menjadi beban pikiran para orangtua dan pendidik, karena fenomena ini cukup merata dan dikeluhkan oleh mayoritas masyarakat, tidak terkecuali kaum muslimin.

Padahal, syariat Islam yang sempurna telah mengajarkan segala sesuatu kepada umat Islam, sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, apalagi masalah besar dan penting seperti pendidikan anak. Sahabat yang mulia, Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu pernah ditanya oleh seorang musyrik, “Sungguhkah Nabi kalian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar?” Salman menjawab, “Benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau ketika buang air kecil….[3]

Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mensyariatkan agama ini Dialah yang menciptakan alam semesta beserta isinya dan Dialah yang maha mengetahui kondisi semua makhluk-Nya serta cara untuk memperbaiki keadaan mereka? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Bukankah Allah yang menciptakan (alam  semesta besrta isinya) Maha Mengetahui (keadaan mereka)?, dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui (segala sesuatu dengan terperinci).” (QS. al-Mulk: 14).

Akan tetapi, kenyataan pahit yang terjadi adalah, untuk mengatasi fenomena buruk tersebut, mayoritas kaum muslimin justru lebih percaya dan kagum terhadap teori-teori/ metode pendidikan anak yang diajarkan oleh orang-orang barat, yang notabene kafir dan tidak mengenal keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mereka rela mencurahkan waktu, tenaga dan biaya besar untuk mengaplikasikan teori-teori tersebut kepada anak-anak mereka.

Mereka lupa bahwa orang-orang kafir tersebut sendiri tidak mengetahui dan mengusahakan kebaikan untuk diri mereka sendiri, karena mereka sangat jauh berpaling dan lalai dari mengenal kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla yang menciptakan mereka, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka lupa kepada segala kebaikan dan kemuliaan untuk diri mereka sendiri.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa (lalai) kepada Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hasyr: 19)

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Renungkanlah ayat (yang mulia) ini, maka kamu akan menemukan suatu makna yang agung dan mulia di dalamnya, yaitu barangsiapa yang lupa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan dia lupa kepada dirinya sendiri, sehingga dia tidak mengetahui hakikat dan kebaikan-kebaikan untuk dirinya sendiri. Bahkan, dia melupakan jalan untuk kebaikan dan keberuntungan dirinya di dunia dan akhirat. Dikarena dia telah berpaling dari fitrah yang Allah jadikan bagi dirinya, lalu dia lupa kepada Allah, maka Allah menjadikannya lupa kepada diri dan perilakunya sendiri, juga kepada kesempurnaan, kesucian dan kebahagiaan dirinya di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa (nafsu)nya, dan keadaannya itu melampaui batas.” (QS. al-Kahfi: 28).

Dikarenakan dia lalai dari mengingat Allah, maka keadaan dan hatinya pun melampaui batas (menjadi rusak), sehingga dia tidak memperhatikan sedikit pun kebaikan, kesempurnaan serta kesucian jiwa dan hatinya. Bahkan, (kondisi) hatinya (menjadi) tak menentu dan tidak terarah, keadaannya melampaui batas, kebingungan serta tidak mendapatkan petunjuk ke jalan (yang benar).”[4]

Maka orang yang keadaannya seperti ini, apakah bisa diharapkan memberikan bimbingan kebaikan untuk orang lain, sedangkan untuk dirinya sendiri saja kebaikan tersebut tidak bisa diusahakannya? Mungkinkah orang yang seperti ini keadaannya akan merumuskan metode pendidikan anak yang baik dan benar dengan pikirannya, padahal pikiran mereka jauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memahami kebenaran yang hakiki? Adakah yang mau mengambil pelajaran dari semua ini?


[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 4/482.
[2] Taisirul Karimir Rahman, hlm. 637.
[3] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 262.
[4] Kitab Miftahu Daris Sa’adah: 1/86.

Sebab kenakalan anak menurut syariat Islam

Termasuk sebab utama yang memicu penyimpangan akhlak pada anak, bahkan pada semua manusia secara umum, adalah godaan setan yang telah bersumpah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyesatkan manusia dari jalan-Nya yang lurus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Iblis (setan) berkata, ‘Karena Engkau telah menghukumi saya tersesat, sungguh saya akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat kepada-Mu).’” (QS. Al-A’raf: 16-17).

Dalam upayanya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar, setan berusaha menanamkan benih-benih kesesatan pada diri manusia sejak pertama kali mereka dilahirkan ke dunia ini, untuk memudahkan usahanya selanjutnya setelah manusia itu dewasa.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).”[1]

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) yang berasal dari setan.[2]

Perhatikanlah hadits yang agung ini! Betapa setan berupaya keras untuk menyesatkan manusia sejak mereka dilahirkan ke dunia. Padahal, bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia, dan godaan-godaan duniawi lainnya, maka bagaimana keadaannya kalau dia telah dewasa dan mengenal semua godaan tersebut?[3]

Di samping sebab utama di atas, ada faktor-faktor lain yang memicu dan mempengaruhi penyimpangan akhlak pada anak, berdasarkan keterangan dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, pengaruh didikan buruk kedua orangtua

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua bayi (manusia) dilahirkan di atas fithrah (kecenderungan menerima kebenaran Islam dan tauhid), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”[4]

Hadits ini menunjukkan bahwa semua manusia yang dilahirkan di dunia memiliki hati yang cenderung kepada Islam dan tauhid, sehingga kalau dibiarkan dan tidak dipengaruhi maka nantinya dia akan menerima kebenaran Islam. Akan tetapi, kedua orang tuanyalah yang memberikan pengaruh buruk, bahkan menanamkan kekafiran dan kesyirikan kepadanya.[5]

Syekh Bakr Abu Zaid berkata, “Hadits yang agung ini menjelaskan sejauh mana pengaruh dari kedua orangtua terhadap (pendidikan) anaknya, dan (pengaruh mereka dalam) mengubah anak tersebut dalam penyimpangan dari konseuensi (kesucian) fitrahnya kepada kekafiran dan kefasikan….

(Di antara contoh pengaruh buruk tersebut adalah) jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahram-nya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktik (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu. Inilah yang dinamakan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’.”[6]

Kedua, pengaruh lingkungan dan teman bergaul yang buruk

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Perumpamaan teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul) yang buruk (adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kiir (tempat menempa besi). Maka, penjual minyak wangi bisa jadi memberimu minyak wangi atau kamu membeli (minyak wangi) darinya, atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup al-kiir (tempat menempa besi), bisa jadi (apinya) akan membakar pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap darinya.[7]

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan orang-orang yang baik akhlak dan tingkah lakunya, karena adanya pengaruh baik yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadits tersebut sekaligus menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk akhlaknya dan pelaku maksiat karena pengaruh buruk yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka.[8]

Ketiga, sumber bacaan dan tontonan

Pada umumnya, anak-anak mempunyai jiwa yang masih polos, sehingga sangat mudah terpengaruh dan mengikuti apa pun yang dilihat dan didengarnya dari sumber bacaan atau berbagai tontonan.
Apalagi, memang kebiasan meniru dan mengikuti orang lain merupakan salah satu watak bawaan manusia sejak lahir, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف
Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama. Maka, yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling berdekatan, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih.”[9]

Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.

Syekh Abdurrahman as-Sa’di berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 120).

Beliau berkata, “Yaitu, supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para rasul ‘alaihimus sallam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shalih, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan….”[10]


[1] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2865.
[2] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2367.
[3] Lihat kitab Ahkamul Maulud fis Sunnatil Muthahharah, hlm. 23.
[4] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 1319, dan Muslim no. 2658.
[5] Lihat kitab ‘Aunul Ma’bud: 12/319–320.
[6] Kitab Hirasatul Fadhilah, hlm. 130–131.
[7] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5214, dan Muslim no. 2628.
[8] Lihat kitab Syarhu Shahihi Muslim: 16/178 dan Faidhul Qadir: 3/4.
[9] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 3158, dan Muslim no. 2638.
[10] Kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 392.

Syariat Islam yang agung mengajarkan kepada umatnya beberapa cara pendidikan bagi anak yang bisa ditempuh untuk meluruskan penyimpangan akhlaknya. Di antara cara-cara tersebut adalah:

Pertama, teguran dan nasihat yang baik

Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.[1]

Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”[2]

Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah

Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”[3]

Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.[4]

Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”[5]

Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu[6] menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.

Bolehkah memukul anak yang nakal untuk mendidiknya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat (lima waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.[7]

Hadits ini menunjukkan bolehnya memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar syariat, jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya bisa menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya –dan ini biasanya di usia sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut tidak terlalu keras dan tidak pada wajah.[8]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya, “Bolehkah menghukum anak yang melakukan kesalahan dengan memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau pedis di mulutnya, seperti cabai/ lombok?”, beliau menjawab, “Adapun mendidik (menghukum) anak dengan memukulnya, maka ini diperbolehkan (dalam agama Islam) jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil pelajaran dari pukulan tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.

Adapun memberikan sesuatu yang pedis (di mulutnya) maka ini tidak boleh, karena ini bisa jadi mempengaruhinya (mencelakakannya)…. Berbeda dengan pukulan yang dilakukan pada badan maka ini tidak mengapa (dilakukan) jika anak tersebut bisa mengambil pelajaran darinya, dan (tentu saja) pukulan tersebut tidak terlalu keras.

Untuk anak yang berusia kurang dari sepuluh tahun, hendaknya dilihat (kondisinya), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membolehkan untuk memukul anak (berusia) sepuluh tahun karena meninggalkan shalat. Maka, yang berumur kurang dari sepuluh tahun hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang, seorang anak kecil yang belum mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman (yang baik), kecerdasan dan tubuh yang besar (kuat) sehingga bisa menerima pukulan, celaan, dan pelajaran darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul), dan terkadang ada anak kecil yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini tidak boleh dipukul).”[9]

Cara-cara menghukum anak yang tidak dibenarkan dalam Islam[10]

Di antara cara tersebut adalah:

1. Memukul wajah

Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, yang artinya, “Jika salah seorang dari kalian memukul, maka hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.”[11]

2. Memukul yang terlalu keras sehingga berbekas

Ini juga dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.[12]

3. Memukul dalam keadaan sangat marah

Ini juga dilarang karena dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara berlebihan.
Dari Abu Mas’ud al-Badri, dia berkata, “(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti, maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Akan tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau yang berkata, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Maka aku pun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada kamu terhadap budak ini,’ maka aku pun berkata, ‘Aku tidak akan memukul budak selamanya setelah (hari) ini.‘”[13]

4. Bersikap terlalu keras dan kasar

Sikap ini jelas bertentangan dengan sifat lemah lembut yang merupakan sebab datangnya kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terhalang dari (sifat) lemah lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang dari (mendapat) kebaikan.”[14]

5. Menampakkan kemarahan yang sangat

Ini juga dilarang karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi),  tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.[15]

Penutup

Demikianlah bimbingan yang mulia dalam syariat Islam tentang cara mengatasi penyimpangan akhlak pada anak, dan tentu saja taufik untuk mencapai keberhasilan dalam amalan mulia ini ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, banyak berdoa dan memohon kepada-Nya merupakan faktor penentu yang paling utama dalam hal ini.

Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dalam mendidik dan membina keluarga kita, untuk kebaikan hidup kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya 

Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 9 Dzulhijjah 1431 H,
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim, M.A


[1] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5061, dan Muslim no. 2022.
[2] Hadits riwayat At-Tirmidzi no. 2516, Ahmad: 1/293), dan lain-lain; dinyatakan shahih oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir, no. 7957.
[3] Hadits riwayat Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf: 9/477 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 10671; dinyatakan hasan oleh Al-Haitsami dan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 1447.
[4] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 97.
[5] Dinukil oleh Imam Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir: 4/325.
[6] Dalam kitab beliau Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 95–97.
[7] Hadits riwayat Abu Daud, no. 495; dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.
[8] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi: 2/370.
[9] Kitab Majmu’atul As`ilah Tahummul Usratal Muslimah, hlm. 149–150.
[10] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 89–91.
[11] Hadits riwayat Abu Daud, no. 4493; dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.
[12] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1218.
[13] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1659.
[14] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2529.
[15] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5763, dan Muslim no. 2609.