Mencari Orang Yang Jujur itu Sulit

Mencari orang yang jujur di zaman ini amatlah sulit. Sampai pun ia rajin shalat, jidadnya terlihat rajin sujud (karena saking hitamnya), belum tentu bisa memegang amanat dengan baik. Ada cerita yang kami saksikan di desa kami.


Seorang takmir masjid yang kalau secara lahiriyah nampak alim, juga rajin menghidupkan masjid. Namun belangnya suatu saat ketahuan. Ketika warga miskin mendapat jatah zakat dan disalurkan lewat dirinya, memang betul amplop zakat sampai ke tangan si miskin. Tetapi di balik itu setelah penyerahan, ia berkata pada warga, “Amplopnya silakan buka di rumah (isinya 100.000 per amplop). Namun kembalikan untuk saya 20.000.” Artinya, setiap amplop yang diserahkan asalnya 100.000, namun dipotong sehingga tiap orang hanya mendapatkan zakat 80.000. Padahal dari segi penampilan tidak ada yang menyangka dia adalah orang yang suka korupsi seperti itu. Tetapi syukurlah, Allah menampakkan belangnya sehingga kita jadi tahu tidak selamanya orang yang mengurus masjid itu termasuk orang-orang yang jujur.

Perintah untuk Berlaku Jujur

Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At Taubah: 119).

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,

فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)

Dalam hadits dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta.  Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)

Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200, hasan shahih). Jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan. Yang namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam jiwa.

Basyr Al Haafi berkata,

من عامل الله بالصدق، استوحش من الناس
Barangsiapa yang berinteraksi dengan Allah dengan penuh kejujuran, maka manusia akan menjauhinya.” (Mukhtashor Minhajil Qoshidin, 351). Karena memang jujur itu begitu asing saat ini, sehingga orang yang jujur dianggap aneh.

Perintah untuk Menjaga Amanat

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An Nisa’: 58)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ
Tunaikanlah amanat kepada orang yang menitipkan amanat padamu.” (HR. Abu Daud no. 3535 dan At Tirmidzi no. 1624, hasan shahih)

Khianat ketika diberi amanat adalah di antara tanda munafik. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Ada tiga tanda munafik: jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanat, ia khianat.” (HR. Bukhari no. 33)

Jadi, jika dititipi amanat, jagalah amanat tersebut itu dengan baik. Jangan sampai dikorupsi, jangan sampai dikurangi dan masuk kantong sendiri. Ingatlah ancaman dalam dalil di atas sebagaimana dikata munafik.

Kunci Utama

Kunci utama agar kita menjaga amanat ketika dititipi uang misalnya, sehingga tidak dikorupsi atau dikurangi adalah dengan memahami takdir ilahi. Ingatlah bahwa setiap orang telah ditetapkan rizkinya. Allah tetapkan rizki tersebut dengan adil, ada yang kaya dan ada yang miskin. Allah tetapkan ada yang berkelebihan harta dari lainnya, itu semua dengan kehendak Allah karena Dia tahu manakah yang terbaik untuk hamba-Nya. Sehingga kita hendaklah mensyukuri apa yang Allah beri walaupun itu sedikit.

اللهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ القَوِيُّ العَزِيزُ
Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Asy Syura: 19)

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)

 Ibnu Katsir rahimahullah lantas menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/278)

Jika setiap orang memahami hal di atas, maka sungguh ia tidak akan korupsi, tidak akan menipu dan lari dari amanat. Realita yang kami saksikan sendiri menunjukkan bahwa mencari orang yang jujur itu amat sulit di zaman ini. Kita butuh menyeleksi dengan baik jika memberi amanat pada orang lain. Hanya dengan modal iman dan takwa-lah serta merasa takut pada Allah, kita bisa memiliki sifat jujur dan amanat.

Moga Allah Memberi Akhlak Mulia
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ
Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’ [Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar].” (HR. Tirmidzi no. 3591, shahih)
Wallahu waliyyut taufiq.
 
http://rumaysho.com/akhlaq/mencari-orang-yang-jujur-itu-sulit-1873
 

Berkah dari Kejujuran dalam Bisnis

Kejujuran merupakan ajaran Islam yang mulia. Hal ini berlaku dalam segala bentuk muamalah, lebih-lebih dalam jual beli karena di dalamnya sering terjadi sengketa. Jual beli online adalah di antara jual beli yang ditekankan adanya sifat kejujuran. Kejujuran inilah yang nantinya mendatangkan keberkahan.


Islam Mengajarkan Sifat Jujur

Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (QS. At Taubah: 119).

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,

فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka” (QS. Muhammad: 21)

Dalam hadits dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta.  Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta” (HR. Muslim).

Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, hasan shahih).

Jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan. Yang namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam jiwa.

Penekanan Sifat Jujur bagi Pelaku Bisnis

Terkhusus lagi, terdapat perintah khusus untuk berlaku jujur bagi para pelaku bisnis karena memang kebiasaan mereka adalah melakukan penipuan dan menempuh segala cara demi melariskan barang dagangan.

Dari Rifa’ah, ia mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan transaksi jual beli. Beliau lalu menyeru, “Wahai para pedagang!” Orang-orang pun memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ
Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih dilihat dari jalur lain).

Contoh bentuk penipuan yang terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim). Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban, shahih).

Lebih-lebih sifat jujur ini ditekankan pada pelaku bisnis online karena tidak bertemunya penjual dan pembeli secara langsung. Si penjual kadang mengobral janji, ketika dana telah ditransfer pada rekening penjual, barang pun tak kunjung datang ke pembeli. Begitu pula sebagian penjual kadang mengelabui pembeli dengan gambar, audio dan tulisan yang tidak sesuai kenyataan dan hanya ingin menarik pelanggan.

Jujur Kan Menuai Berkah

Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu” (Muttafaqun ‘alaih).

Di antara keberkahan sikap jujur ini akan memudahkan kita mendapatkan berbagai jalan keluar dan kelapangan. Coba perhatikan baik-baik perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan surat At Taubah ayat 119. Beliau mengatakan, “Berlaku jujurlah dan terus berpeganglah dengan sikap jujur. Bersungguh-sungguhlah kalian menjadi orang yang jujur. Jauhilah perilaku dusta yang dapat mengantarkan pada kebinasaan. Moga-moga kalian mendapati kelapangan dan jalan keluar atas perilaku jujur tersebut.”
 
http://rumaysho.com/muamalah/berkah-dari-kejujuran-dalam-bisnis-2699
 

Muhasabah Diri




يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ,  وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs. al-Hasyr: 18-19 )

 Muhasabah Diri Adalah Salah Satu Bentuk Ketaqwaan 

 Ayat di atas menjadi rujukan utama dalam pembahasan muhasabah (intropeksi). Yang menarik dari ayat  tersebut bahwa Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bertaqwa sebanyak dua kali, hal ini menunjukkan betapa pentingnya kandungan ayat di atas.

Berkata Imam al-Qurthubi di dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (17/29): “Dikatakan bahwa Taqwa yang pertama, maksudnya adalah taubat dari dosa-dosa yang telah lalu. Adapun Taqwa yang kedua adalah menghindari dari maksiat di masa mendatang.“

Setelah Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bertaqwa, kemudian Allah memerintahkan setiap jiwa dari mereka untuk melihat apa saja bekal yang yang sudah disiapkan untuk menyambut hari esok, inilah makna muhasabah dan intropeksi.

Artinya bahwa salah satu bentuk ketaqwaan kepada Allah adalah selalu bermuhasabah diri terhadap apa yang sudah dikerjakan selama ini.

Persiapan Untuk Hari Esok 

Mempersiapkan diri untuk menghadapi hari esok adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Hari esok ada dua; hari esok yang dekat, dan hari esok yang jauh.
Adapun hari esok yang dekat adalah hari-hari mendatang di dalam kehidupan dunia ini bisa satu hari lagi, satu minggu lagi, satu bulan lagi, satu tahun lagi, sepuluh tahun lagi dan seterusnya. Yang jelas, setiap diri kita harus mempersiapkan diri untuk masa depan.

Ayat ini memerintahkan kita umat Islam untuk selalu mempunyai rencana dan rancangan yang matang dalam setiap aktivitas, tidak asal kerja, tidak asal beramal. Sehingga hasil kegiatan yang terencana dan terprogram dengan rapi akan menghasilkan sesuatu yang baik dan bermanfaat, baik di dunia ini maupun di akherat.

 Adapun hari esok yang jauh maksudnya adalah hari akherat, maka setiap diri kita hendaknya mempersiapkan bekal amal untuk dibawa ke akherat.

Berkata Imam al-Qurtubi : “Hari esok adalah hari kiamat. Orang Arab menyebut sesuatu yang akan datang dengan esok hari.“

            Ayat di atas sesuai dengan hadist Abu Ya’la Syadad bin Aus radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

 الكَيْسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنِ اتَّبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّي عَلَي الله
“Orang yang cerdik adalah oraang yang selalu menahan hawa nafsunya dan beramal untuk sesudah mati, sedangkan orang yang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah“ (HR Tirmidzi, dan beliau berkata: hadist ini Hasan Shahih)

 Macam-Macam Muhasabah Diri  

Muhasabah diri bisa dibagi menjadi beberapa macam:

Pertama: Muhasabah Sebelum Beramal.

            Sebelum beramal hendaknya kita bermuhasabah, apakah amal yang akan kita kerjakan sudah benar-benar diniatkan karena Allah semata, atau ada niat lain?  seandainya sudah ikhlas, maka apakah sudah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

            Berkata Imam Hasan al-Bashri :
رَحِمَ الله عَبْداً وَقَفَ عِنْدَ هَمِّهِ، فّإِنْ كَانَ لِلهِ مَضَى، وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهِ تَأَخَّرَ.
            “Mudah-mudahan Allah selalu memberikan rahmat kepada seorang hamba yang selalu merenungi sebelum melakukan aktifitas, jika diniatkan karena Allah, maka ia lakukan aktivitas tersebut, tetapi jika bukan karena Allah, dia urungkan aktivitas tersebut. “

Kedua: Muhasabah Pada Saat Beramal.

          Ketika sedang beramal, hendaknya  kita terus berusaha agar amal kita tetap berada pada jalur yang telah digariskan Allah, jangan sampai lengah dan keluar dari jalur, maka kita akan celaka.
  
          Jika kita sedang sholat umpamanya, hendaknya tetap berusaha agar sholat kita tetap khusu’ dan diniatkan hanya karena Allah hingga akhir sholat. Jangan sampai di tengah-tengah sholat muncul hal-hal yang mengganggu kekhusu’an dan keikhlasan kita. 

 Ketiga: Muhasabah Setelah Beramal

          Setelah melakukan suatu amal, hendaknya seseorang melakukan muhasabah kembali, apakah amalnya sudah bermanfaat bagi orang lain atau belum, jika sudah bermanfaat, sejauh mana manfaat tersebut, sedikit atau banyak, jika masih sedikit hendaknya ditingkatkan kembali.    

          Melihat amal perbuatan yang dikerjakannya belum sempurna, maka hendaknya disempurnakan kembali di masa mendatang. Amal perbuatannya yang belum ikhlas, hendaknya diusahakan untuk benar-benar ikhlas karena Allah di masa-masa mendatang, dan seterusnya.  

            Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu berkata:

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوَزِّنُوا، فَإِنّ أَهْوَنَ عَلَيْكُمْ فِي الحِسَابِ غَداً أَنْ تُحَاسَبُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْم، وتُزَيِّنُوا للْعَرْضِ الأكْبِر، يَوْمَئِذ تُعْرَضُوْنَ لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَة
           
“ Bermuhasabalah atas diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab pada hari kiamat, dan timbanglah amal kalian di dunia ini sebelum nanti ditimbang pada hari kiamat. Sesungguhnya kalian akan merasa ringan dengan bermuhasabah pada hari ini untuk menghadapi hisab kelak. Dan berhiaslah kalian (dengan amal sholeh) untuk menghadapi hari pameran agung. Pada hari itu perbuatan kalian akan ditampilkan tidak ada yang tersembunyi sedikitpun. “  

            Berkata Imam Hasan al-Bashri :
إنّ العَبْدَ لَا يَزَالُ بِخَيْرٍ مَا كَانَ لَهَ وَاعِظُ مِنْ نَفْسِهِ، وِكِانَتْ المُحَاسِبِةُ هِمَّتَهُ.
            “Sesungguhnya seorang hamba akan selalu dalam keadaan baik selama dia mempunyai penasehat dari dirinya sendiri, dan selalu bermuhasabah diri.“
            Berkata Maimun Mahran:
لَا يَكُوْنُ العَبْدُ تَقِياً حَتَّى يَكُوْنَ لِنَفْسِهِ أَشَدّ مُحاسَبة مِنَ الشَّرِيْكِ لشريكه
            “ Seseorang tidak akan mendapatkan predikat ketaqwaan sampai dia melakukan muhasabah kepada dirinya lebih ketat dibanding seorang teman yang bermuhasabh terhadap temannya . “

            Diriwayatkan dari Imam Ahmad dari Wahab, telah tertulis di dalam Hikmah Keluarga Nabi Daud  ‘alaihi as-salam bahwa :

” Orang yang berakal hendaknya membagi waktunya menjadi 4 bagian ; waktu untuk bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala, waktu untuk intropeksi terhadap diri sendiri, waktu untuk bergaul dengan teman-temannya yang bisa memberitahu kekurangannya, dan waktu untuk bertafakkur tentang dirinya dan kenikmatan yang didapatkan. Sesungguhnya waktu-waktu tersebut bisa membantu untuk memperbaiki hati. “ 

Orang Fasik Adalah Orang Yang Lupa Kepada Allah. 

Allah berfirman : 
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“ Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs. al-Hasyr : 18-19 )

 Salah satu bentuk muhasabah dan intropeksi diri adalah tidak lupa kepada Allah, sebaliknya dia selalu berdizikir dan mengingat Allah, serta mempersiapkan diri dan mencari bekal untuk hari dimana dia akan bertemu dengan Allah.

Maka Allah melarang kita untuk menyerupai orang –orang yang melupakan Allah, karena lupa kepada Allah akan menyebabkan seseorang melupakan dirinya sendiri. Bagaimana hal itu terjadi ?
Kalau seseorang lupa bahwa Allah adalah Rabb dan Penciptanya, maka dia akan lupa terhadap dirinya, lupa terhadap asal-usulnya yang dulu tidak ada, kemudian menjadi ada. Dulu, dia hanya berupa air mani yang hina, kemudian Allah menjadikannya menjadi orang yang dewasa dan kuat, yang kemudian akan kembali lemah dan akhirnya akan mati dan kembali lagi kepada Allah.

Maka kalau seseorang lupa kepada Allah, dia akan lupa kepada hal-hal tersebut, selanjutnya dia akan berbuat semena-mena dan semau-maunya di muka bumi ini, tanpa ada aturan yang mengikatnya, orang-orang seperti ini akan menjadi orang  yang merugi di dunia, karena akan dijauhi masyarakat, akan dikucilkan bahkan akan ditahan karena daya rusaknya yang begitu hebat di masyarakat.

Maka Allah selalu mengingatkan manusia akan asal usulnya dan mengingat juga bahwa dia akan kembali kepada asalnya dan pemiliknya yaitu Allah. Lihat umpamanya di dalam Qs al-Mukminun, Qs. al-Haj, Qs. ar-Rum, Qs. al Insan, Qs. as-Sajdah dan banyak lagi ayat-ayat yang serupa. 

Ibnu Katsir di dalam “ Tafsir al-Qur’an al-Adhim ‘ (  4/432 ) berkata :

“ Maksudnya janganlah kalian melupakan untuk mengingat Allah, maka Allah akan membuat kalian lupa beramal sholeh yang akan membawa manfaat bagi kalian di akherat. Sesungguhnya ganjaran itu sesuai dengan amal perbuatan. “

Berkata Syekh Abdurrahman as-Sa’di di dalam :

بل أنساهم الله مصالح أنفسهم، وأغفلهم عن منافعها وفوائدها، فصار أمرهم فرطا، فرجعوا بخسارة الدارين، وغبنوا غبنا، لا يمكنهم تداركه،
“ Bahkan Allah menjadikan mereka lupa terhadap maslahat mereka sendiri, Allah memalingkan mereka sehingga lupa terhadap hal-hal yang bermanfaat untuk diri mereka sendiri, sehingga urusan mereka menjadi kacau, dan akhirnya mereka rugi dunia dan akherat, kerugian yang tidak mungkin bisa diganti lagi. “

Kesibukan mengumpulkan harta dan memikirkan masa depan anak-anak mereka membuat mereka lupa kepada Allah sehingga mereka menjadi orang yang merugi.  Ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ .
            “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Qs. al-Munafiqun : 9). Wallahu A’lam

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA
http://www.ahmadzain.com/read/tsaqafah/451/muhasabah-diri/

Memakai Sorban Disunnahkan?

Sorban atau serban atau turban adalah salah satu jenis pakaian yang dikenakan di kepala, biasanya berupa kain yang digelung atau diikat di kepala. Dalam bahasa arab disebut imamah. Yang sejenis dengan imamah juga ghuthrah dan syimagh. Ghuthrah biasanya berwarna putih, di pakai di atas peci. Sedangkan syimagh itu mirip seperti ghuthrah, namun ada corak-corak merah.

sorban

Tidak diragukan lagi bahwa sorban dan sejenisnya ini awalnya berasal dari budaya Arab. Namun yang menjadi masalah sekarang, apakah memakai sorban ini dikatakan pakaian yang Islami? Karena jika kita katakan memakai sorban atau imamah adalah pakaian Islami artinya ini dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah dalam salah satu ceramahnya pernah mengatakan bahwa, “sesuatu yang dinisbatkan kepada Islam artinya ia dia diajarkan oleh Islam atau memiliki landasan dari Islam”. Dan apakah memakai sorban ini lebih utama dan dinilai sebagai ibadah yang berpahala?

Hadits-Hadits Imamah

Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa memakai imamah. Diantaranya sahabat ‘Amr bin Harits menyatakan:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خطب الناسَ وعليه عمامةٌ سوداءُ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berkhutbah di hadapan orang-orang dengan memakai sorban hitam di kepalanya” (HR. Muslim 1359)

Demikian juga hadits mengenai mengusap imamah ketika wudhu, dari Al Mughirah bin Syu’bah beliau mengatakan:

أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ توضأ . فمسح بناصيتِه . وعلى العمامَةِ . وعلى الخُفَّينِ
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berwudhu beliau mengusap jidatnya dan imamah-nya serta mengusap kedua khuf-nya” (HR. Muslim 274)

Juga hadits dari Abu Sa’id Al Khudri mengenai doa memakai baju baru:

كان رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إذا استجدّ ثوبا سمّاهُ باسمهِ عمامةً أو قميصا أو رداءً ثم يقول اللهمّ لكَ الحمدُ أن كسوتنِيهِ أسألكُ خيرهُ وخيرَ ما صُنِعَ لهُ وأعوذُ بكَ من شرّهِ وشرّ ما صُنِعَ لهُ

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika memakai pakaian baru, beliau menamainya, baik itu imamah, gamis atau rida, kemudian berdoa: ”Ya Allah segala puji bagi-Mu atas apa yang engkau pakaikan padaku ini. Aku memohon kebaikan darinya dan dari apa yang dibuatnya. Dan aku memohon perlindungan dari kejelekannya dan kejelekan yang dibuatnya” (HR. At Tirmidzi 1767, ia berkata: “hasan gharib shahih”)
dan hadits-hadits lainnya.

Hukum Memakai Imamah

Pada asalnya, hukum suatu model pakaian adalah mubah-mubah saja. Namun mengingat adanya beberapa hadits yang menyebutkan kebiasaan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memakai imamah, para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya apakah mubah saja ataukah sunnah? Sebagian ulama menyatakan hukumnya sunnah, dalam rangka meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun yang rajih, hukum memakai imamah adalah mubah saja, tidak sampai sunnah dan tidak bernilai ibadah. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memakai imamah hanya sekedar kebiasaan atau adat orang setempat, bukan dalam rangka taqarrub atau ibadah. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “Imamah, paling maksimal bisa jadi hukumnya mustahab (sunnah). Namun yang rajih, memakai imamah adalah termasuk sunnah ‘adah (adat kebiasaan), bukan sunnah ibadah (Silsilah Adh Dha’ifah, 1/253, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani, 480).

Apakah Memakai Imamah Lebih Utama?

Jika seseorang tinggal di daerah yang mayoritas masyarakatnya biasa memakai sorban atau sejenisnya, atau jika tidak memakai sorban di daerah tersebut malah jadi perhatian orang-orang, maka lebih utama memakai sorban. Adapun jika masyarakat setempat tidak biasa dengan sorban, maka ketika itu tidak utama memakai sorban, karena membuat pemakainya menjadi perhatian sehingga termasuk dalam ancaman pakaian syuhrah. Sebagaimana hadits:

من لبِسَ ثوبَ شُهرةٍ في الدُّنيا ألبسَه اللَّهُ ثوبَ مذلَّةٍ يومَ القيامةِ
barangsiapa memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan di hari kiamat” (HR. Ahmad 9/87. Ahmad Syakir menyatakan: “shahih”).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, “Memakai imamah bukanlah sunnah. Bukan sunnah muakkadah ataupun sunnah ghayru muakkadah. Karena Nabi Shallallahu’alaihi 
Wasallam dahulu memakainya dalam rangka mengikuti adat pakaian yang dikenakan orang setempat pada waktu itu. Oleh karena itu tidak ada satu huruf pun dari hadits yang memerintahkannya. Maka memakai imamah termasuk perkara adat kebiasaan yang biasa dilakukan orang-orang. Seseorang memakainya dalam rangka supaya tidak keluar dari kebiasaan orang setempat, sehingga kalau memakai selain imamah, pakaiannya malah menjadi pakaian syuhrah. Jika orang-orang setempat tidak biasa menggunakan imamah maka jangan memakainya. Inilah pendapat yang rajih dalam masalah imamah” (dinukil dari Fatawa IslamWeb no. 138986).

Memakai imamah di daerah yang masyarakat biasa memakainya itu lebih utama, dalam rangka menyelisihi orang kafir. Sehingga dari penampilan saja bisa terbedakan mana orang kafir dan mana orang Muslim. Syaikh Al Albani menyatakan, “Seorang Muslim lebih butuh untuk memakai imamah di luar shalat daripada di dalam shalat, Karena imamah adalah bentuk syiar kaum Muslimin yang membedakan mereka dengan orang kafir. Lebih lagi di zaman ini, dimana model pakaian kaum Mu’minin tercampur baur dengan orang kafir” (Silsilah Adh Dha’ifah, 1/254, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani, 480).

Hukum Ghuthrah, Syimagh dan Penutup Kepala Lainnya

Lalu bagaimana hukum ghuthrah, syimagh dan penutup kepala lainnya yang ada dimasing-masing daerah?

Syaikh Musthafa Al ‘Adawi menjelaskan, “ghuthrah disebut juga khimar, yaitu penutup kepala yang umum dipakai (orang Arab dan Mesir). Dan ada hadits bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika wudhu beliau mengusap khimarnya. Apakah khimar di sini adalah imamah ataukah sekedar sesuatu yang menutupi kepala? Jawabnya, semuanya memungkinkan. Maka intinya, memakai ghuthrah hukumnya mubah saja”. (Sumber: http://www.mostafaaladwy.com/play-6587.html).

Dari penjelasan Syaikh Musthafa di atas, dapat diambil faidah hukum memakai ghutrah atau juga syimagh dan juga penutup kepala lainnya itu sama dengan hukum imamah. Yaitu jika itu merupakan pakaian yang biasa dipakai masyarakat setempat, hukumnya mubah.

Tentunya selama tidak melanggar aturan syariat, semisal tidak meniru ciri khas orang kafir, tidak menyerupai wanita dan lainnya. Dan jika menyelisihi kebiasaan masyarakat setempat atau membuat pemakainya jadi perhatian orang, maka makruh atau bahkan bisa haram karena termasuk pakaian syuhrah.

Wabillahi at taufiq wa sadaad.

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/memakai-sorban-disunnahkan.html

Madzhab Di Makkah dan Madinah

Pertanyaan : Assalammualaikum, Saya mendengar dari seorang ustadz bahwa jaman dahulu di masjid nabawi dan mekkah, orang yang naik haji bisa belajar banyak mahzab, tapi sekarang orang-orang luar mekah jika naek haji hanya bisa belajar satu mahzab karena menganggap satu mahzab ini adalah yang paling benar. Benarkah seperti keadaannya? Mahzab apakah yang dipakai oleh ulama di mekkah dan madina? Jazakallahu khoir

Dari sdr. Agung H.

Jawaban: Wa alaikumus salam.  Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ada beberapa informasi yang pelu kita luruskan dari apa yang disampaikan Sang Ustadz. Ada sebagian yang tidak sesuai realita, dan ada yang bisa menimbulkan kesalah-pahaman.

Pertama, fikih yang diajarkan di universitas islam di Mekah dan Madinah adalah fikih perbandingan madzhab.

Sejak semester pertama di fakultas Syariah jurusan fikih, mata kuliah fikih sudah diajarkan fikih perbandingan madzhab. Dengan kitab rujukan Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd. Kitab ini layaknya ensiklopedi ikhtilaf ulama dalam masalah fikih. Hampir dalam setiap masalah, Ibnu Rusyd menyebutkan berbagai pendapat ulama dari berbagai madzhab.

Sebagai bagian dari keterbukaan informasi tentang metode belajar di Universitas Islam Madinah, pihak Universitas menyebarkan informasi ini kepada masyarakat. Anda yang tertarik untuk menilik kurikulum dan metode belajar Universitas Islam Madinah, bisa mengunduh di http://www.islamhouse.com/64948/ar/ar/programsv/برنامج_المناهج_الدراسية_بالجامعة_الإسلامية_بالمدينة_النبوية
Oleh karena itu, klaim bahwa pemerintah Saudi hanya mengajarkan satu madzhab dalam pendidikan mereka, jelas klaim yang tidak sesuai realita.

Kedua, madzhab resmi Mekah dan Madinah

Hampir semua negara islam, punya madzhab resmi. Tidak hanya Saudi, termasuk Indonesia, Malaysia, dan negara islam lainnya. Bagi departemen agama, madzhab resmi fikih mereka adalah syafiiyah. Karena itu, dalam banyak keputusan, Depag lebih banyak merujuk keterangan madzhab Syafii. Demikian halnya yang terjadi di Malaysia. Sementara madzhab resmi Mesir, yang digunakan sebagai rujukan dalam hukum dan peradilan adalah madzhab hanafi. Demikian pula, dulu madzhab resmi yang dianut oleh Turki Utsmani adalah madzhab hanafiyah.

Saudi menjadikan madzhab hambali sebagai madzhab resminya. Madzhab hambali menjadi aturan resmi untuk setiap peradilan.

Dan kita sepakat, memilih satu madzhab sebagai acuan, bukanlah sikap yang tercela. Karena hampir semua negara islam memilikinya, dan tentu saja atas lisensi dari para ulama.

Ulama Belajar Semua Madzhab

Meskipun madzhab resminya adalah hambali, namun para ulama besar yang tergabung dalam Haiah Kibar Ulama Saudi (semacam MUI di Indonesia), mereka mengkaji semua madzhab. Sebagaimana hal ini dituturkan oleh salah satu anggota Haiah Kibar Ulama, Dr. Muhammad Alu Isa,

غالبية أعضاء الهيئة أكاديميون يدرسون المذاهب الأربعة، ولا يعتمدون إلا القول الراجح بدليله أيا كانت مدرسته

”Umumnya anggota Haiah adalah lulusan akademi, yang mereka mempelajari semua madzhab yang empat. Dan mereka tidak memutuskan, kecuali pendapat yang kuat berdasarkan dalilnya, dari manapun mereka belajar.


Ketiga, pengajar di Masjid Nabawi

Meskipun madzhab resmi negara adalah madzhab hambali, namun saudi tidak memaksa kaum muslimin untuk mengajarkan madzhab lain di sana. Kita jumpai ada beberapa ulama yang berasal dari madzhab Maliki, seperti Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi, penulis kitab Minhajul Muslim, yang beliau bermadzhab Maliki. Dan sebelumnya sudah ada Syaikh Muhammad Amin as-Syinqithy, pengajar masjid nabawi, sekaligus penulis Tafsir Adwaul Bayan, beliau juga bermadzhab Maliki.
Bahkan di Saudi bagian timur, terdapat ulama besar madzhab Syafii, hingga beliau digelari dengan Syaikhul Madzhabi as-Syafii [شيخ المذهب الشافعي], guru besar madzhab Syafii. Beliau adalah Syaikh Ahmad bin Abdillah ad-Daughan. Beliau meninggal akhir tahun 2003, semoga Allah merahmatinya.

Keempat, pernyataan: ‘sekarang orang-orang luar mekah jika naek haji hanya bisa belajar satu mahzab’

Keterangan ini penuh tanda tanya. Karena umumnya jamaah haji Indonesia tidak mengikuti kajian atau halaqah para masyayikh di masjidil haram maupun Masjid nabawi. Karena :
  • Nara sumbernya berbahasa arab, dan umumnya orang Indonesia tidak paham.
  • Mereka yang paham bahasa arab, umumnya adalah pembimbing, dan biasanya sudah sibuk ngurusi jamaah
  • Banyak jamaah Indonesia yang lebih sibuk belanja, kuliner, dan mengambil gambar suasana masjid dan sekitarnya.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina http://www.KonsultasiSyariah.com)
http://abangdani.wordpress.com/2014/03/10/madzhab-di-makkah-dan-madinah/
 

Pria yang Meninggalkan Shalat Jama’ah Sungguh Merugi

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’ain.

Sungguh prihatin melihat kondisi umat Islam saat ini. Jika kita sedikit memalingkan pandangan ke masjid-masjid, kita akan menyaksikan bahwa rumah Allah yang ada sangat sedikit sekali dihuni oleh jama’ah ketika mu’adzin meneriakkan hayya ‘ala shalah. Berlatar belakang inilah, dalam risalah yang ringkas ini kami berusaha mendorong setiap orang yang membaca tulisan ini untuk melakukan shalat yang memiliki banyak keutamaan yaitu shalat berjama’ah. Semoga Allah selalu memberi hidayah dan taufik kepada kita sekalian.

Pertama: Shalat Jama’ah Memiliki Pahala yang Berlipat daripada Shalat Sendirian

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” [1]

Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّلاَةُ فِى جَمَاعَةٍ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ صَلاَةً فَإِذَا صَلاَّهَا فِى فَلاَةٍ فَأَتَمَّ رُكُوعَهَا وَسُجُودَهَا بَلَغَتْ خَمْسِينَ صَلاَةً
Shalat jama’ah itu senilai dengan 25 shalat. Jika seseorang mengerjakan shalat ketika dia bersafar, lalu dia menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka shalatnya tersebut bisa mencapai pahala  50 shalat.” [2]

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Kadang keutamaan shalat jama’ah disebutkan sebanyak 27 derajat, kadang pula disebut 25 kali lipat, dan kadang juga disebut 25 bagian. Ini semua menunjukkan berlipatnya pahala shalat jama’ah dibanding dengan shalat sendirian dengan kelipatan sebagaimana yang disebutkan.” [3]


Kedua: Dengan Shalat Jama’ah Akan Mendapat Pengampunan Dosa

Dari ‘Utsman bin ‘Affan, beliau berkata bahwa saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِى الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ذُنُوبَهُ
Barangsiapa berwudhu untuk shalat, lalu dia menyempurnakan wudhunya, kemudian dia berjalan untuk menunaikan shalat wajib yaitu dia melaksanakan shalat bersama manusia atau bersama jama’ah atau melaksanakan shalat di masjid, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya.”[4]


Ketiga: Setiap Langkah Menuju Masjid untuk Melaksanakan Shalat Jama’ah akan Meninggikan Derajatnya dan Menghapuskan Dosa; juga Ketika Menunggu Shalat, Malaikat Akan Senantiasa Mendo’akannya

Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَصَلاَتِهِ فِى سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لاَ يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ لاَ يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِى الصَّلاَةِ مَا كَانَتِ الصَّلاَةُ هِىَ تَحْبِسُهُ وَالْمَلاَئِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِى مَجْلِسِهِ الَّذِى صَلَّى فِيهِ يَقُولُونَ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ
Shalat seseorang dalam jama’ah memiliki nilai lebih 20 sekian derajat daripada shalat seseorang di rumahnya, juga melebihi shalatnya di pasar. Oleh karena itu, jika salah seorang di antara mereka berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian mendatangi masjid, tidaklah mendorong melakukan hal ini selain untuk melaksanakan shalat; maka salah satu langkahnya akan meninggikan derajatnya, sedangkan langkah lainnya akan menghapuskan kesalahannya. Ganjaran ini semua diperoleh sampai dia memasuki masjid. Jika dia memasuki masjid, dia berarti dalam keadaan shalat selama dia menunggu shalat.  Malaikat pun akan mendo’akan salah seorang di antara mereka selama dia berada di tempat dia shalat. Malaikat tersebut nantinya akan mengatakan: Ya Allah, rahmatilah dia. Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, terimalah taubatnya. Hal ini akan berlangsung selama dia tidak menyakiti orang lain (dengan perkataan atau perbuatannya) dan selama dia dalam keadaan tidak berhadats. ” [5]


Keempat: Melaksanakan Shalat Jama’ah Berarti Menjalankan Sunnah Nabi, Meninggalkannya Berarti Meninggalkan Sunnahnya

Terdapat sebuah atsar dari dari ‘Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ
Barangsiapa yang ingin bergembira ketika berjumpa dengan Allah besok dalam keadaan muslim, maka jagalah shalat ini (yakni shalat jama’ah) ketika diseru untuk menghadirinya. Karena Allah telah mensyari’atkan bagi nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam sunanul huda (petunjuk Nabi). Dan shalat jama’ah termasuk sunanul huda (petunjuk Nabi). Seandainya kalian shalat di rumah kalian, sebagaimana orang yang menganggap remeh dengan shalat di rumahnya, maka ini berarti kalian telah meninggalkan sunnah (ajaran) Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan sesat.” [6] Ibnu ‘Allan Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika kalian melaksanakan shalat di rumah kalian yaitu melaksanakan shalat wajib sendirian atau melaksanakan shalat jama’ah namun di rumah (bukan di masjid) sehingga tidak nampaklah syi’ar Islam, sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang yang betul-betul meremehkannya … , maka kalian berarti telah meninggalkan ajaran Nabi kalian yang memerintahkan untuk menampakkan syi’ar shalat berjama’ah. Jika kalian melakukan seperti ini, niscaya kalian akan sesat. Sesat adalah lawan dari mendapat petunjuk.” [7]


Catatan: Ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat jama’ah ini ditujukan bagi kaum pria, sedangkan wanita lebih utama shalat di rumahnya berdasarkan kesepakatan kaum muslimin (baca: ijma’ kaum muslimin).

Semoga dengan risalah yang singkat ini dapat mendorong kita untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid. Semoga masjid-masjid kaum muslimin dapat terisi terus dengan banyaknya jama’ah.
Pembahasan ini masih akan dilanjutkan dengan hukum shalat jama’ah. Semoga Allah memudahkan urusan ini.


Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

****

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Endnote:
[1] HR. Bukhari dan Muslim. [Bukhari: 15-Kitab Al Jama’ah wal Imamah, 1-Bab Kewajiban Shalat Jama’ah. Muslim: 6-Kitab Al Masajid, 43-Bab Keutamaan Shalat Jama’ah dan Penjelasan Mengenai Hukuman Keras Apabila Seseorang Meninggalkannya]
[2] HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[3] Syarh Shohih Al Bukhari li Ibni Baththol, 2/271, Maktabah Ar Rusyd
[4]  HR. Muslim. [Muslim: 3-Kitab Ath Thoharoh, 4-Bab Keutamaan Wudhu dan Shalat Sesudahnya]
[5] HR. Bukhari dan Muslim. [Bukhari: 15-Kitab Al Jama’ah wal Imamah, 1-Bab Wajibnya Shalat Jama’ah. Muslim: 6-Kitab Al Masajid, 50-Bab Keutamaan Shalat Jama’ah dan Keutamaan Menunggu Shalat]
[6] HR. Muslim. [Muslim: 6-Kitab Al Masajid, 45-Bab Shalat Jama’ah adalah Sunanul Huda]
[7] Dalil Al Falihin Li Thuruqi Riyadhis Sholihin, 6/402, Asy Syamilah
 
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/pria-yang-meninggalkan-shalat-jamaah-sungguh-merugi.html