Buah dari Tawakkal


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Buah dari tawakkal kepada Allah Ta’ala amatlah banyak. Yang paling utama adalah “Allah akan mencukupi segala urusan orang yang bertawakkal.”

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3)

Barangsiapa yang menyandarkan urusannya pada Allah, hanya menyandarkan kepada Allah semata, ia pun mengakui bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan kebaikan dan menghilangkan bahaya selain Allah, maka sebagaimana dalam ayat dikatakan, “Allah-lah yang akan mencukupinya.” Yaitu Allah menyelamatkannya dari berbagai bahaya. Karena yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan. Ketika seseorang bertawakkal pada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, Allah pun membalasnya dengan mencukupinya, yaitu memudahkan urusannya. Allah yang akan memudahkan urusannya dan tidak menyandarkan pada selain-Nya. Inilah sebesar-besarnya buah tawakkal.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ
Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu.” (QS. Al Anfal: 64)

وَإِنْ يُرِيدُوا أَنْ يَخْدَعُوكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللَّهُ هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ
Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (yang akan mencukupimu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin.” (QS. Al Anfal: 62)

Jadi buah yang paling utama dari tawakkal pada Allah adalah Allah akan memberi kecukupan pada orang yang bertawakkal pada-Nya. Oleh karenanya, Allah berfirman mengenai keadaan Nabi Nuh ‘alaihis salam, di mana beliau berkata pada kaumnya,

إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيرِي بِآَيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ
Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” (QS. Yunus: 71)

Allah berfirman mengenai Nabi Hud ‘alaihis salam,

أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (54) مِنْ دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنْظِرُونِ (55) إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آَخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (56)
Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (QS. Hud: 54-56)

Allah berfirman mengenai Nabi Syu’aib alaihis salam,

وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)

Allah berfirman mengenai Nabinya –Muhammad- ‘alaihish sholaatu was salaam,

قُلِ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ كِيدُونِ فَلَا تُنْظِرُونِ (195) إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ (196) وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَكُمْ وَلَا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ (197)
Katakanlah: “Panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-ku. tanpa memberi tangguh (kepada-ku)”. Sesungguhnya Pelindungku ialah yang telah menurunkan Al kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang shaleh. Dan berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri.” (QS. Al A’rof: 195-197)

Dari penjelasan di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan mengenai para rasul-Nya yang mulia di mana mereka tidak mendapatkan bahaya dari kaum dan sesembahan kaum mereka. Apa kuncinya? Karena mereka bertawakkal pada Allah. Siapa saja yang bertawakkal pada Allah, pasti Allah akan mencukupinya.
Buah tawakkal yang kedua, buah tawakkal yang lain adalah mendapatkan cinta Allah. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imron: 159)

Barangsiapa yang benar-benar bertawakkal pada Allah, maka Allah akan mencintainya. Jika Allah telah mencintainya, maka ia akan merasakan kebahagiaan di dunia dan akhirat, ia akan menjadi orang-orang yang dicintai di sisi-Nya dan menjadi wali-Nya.

Buah tawakkal yang ketiga, orang yang bertawakkal akan mudah mengerjakan hal yang bermanfaat tanpa ada rasa takut dan gentar kecuali pada Allah. Contohnya, orang yang berjihad di medan perang melawan orang-orang kafir, mereka melakukan  hal ini karena mereka tawakkal pada Allah. Usaha mereka dengan tawakkal inilah yang mendatangkan keberanian dan kekuatan saat itu. Musuh-musuh dan kesulitan di hadapan mereka dianggap ringan berkat tawakkal. Mereka akhirnya jika toh mati, akan merasakan mati di jalan Allah. Merekalah yang mendapatkan syahid di jalan Allah. Ini semua karena sebab tawakkal.

Buah tawakkal yang keempat, seseorang akan bersemangat dalam mencari rizki, mencari ilmu dan melakukan segala sesuatu yang bermanfaat. Itulah yang namanya orang yang bertawakkal, ia punya semangat dalam melakukan hal-hal bermanfaat semacam ini. Karena ia tahu bahwa Allah akan bersama dan menolong setiap orang yang bertawakkal. Akhirnya ia pun bersamangat ketika dalam perkara agama dan dunianya yang bermanfaat, ia jadinya tidak bermalas-malasan.

Kita dapat menyaksikan bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum, merekalah orang yang paling bersemangat. Mereka benar-benar merealisasikan tawakkal pada Allah. Sampai-sampai karena sifat ini yang mereka miliki, mereka bisa menaklukan berbagai negeri di ujung timur dan barat melalui jihad mereka.

Mereka pun membuka hati melalui dakwah mereka di jalan Allah. Ini semua bisa terwujud karena mereka benar-benar merealisasikan tawakkal pada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Maidah: 54).

Mereka sama sekali tidak takut pada celaan orang yang mencela ketika mereka berjuang di jalan Allah. Bisa demikian karena mereka benar-benar merealisasikan tawakkal pada Allah. Mereka benar-benar menyandarkan dirinya pada Allah dan mereka tidak berpaling pada yang lain, baik ketika itu manusia ridho atau pun tidak. Yang senantiasa mereka cari adalah ridho Allah. Dalam hadits disebutkan,

من التمس رضا الله بسخط الناس رضي الله عنه وأرضى عنه الناس ، ومن التمس رضا الناس بسخط الله سخط الله عليه وأسخط عليه الناس
Barangsiapa yang mencari ridho Allah dan awalnya manusia murka (tidak suka), maka Allah akan ridho padanya dan membuat manusia pun akan ridho padanya. Sedangkan barangsiapa yang mencari ridho manusia dan membuat Allah murka, maka Allah akan murka padanya dan akan membuat manusia pun murka.[1]

Bersandar pada Allah dan tawakkal pada-Nya serta menyerahkan segala urusan pada Allah Ta’ala, itulah yang menjadi asas tauhid, asas amal dan asas kebaikan. Bahkan Allah menjadi tawakkal ini syarat keimanan. Allah Ta’ala berfirman,
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al Maidah: 23)

Pelajaran Penting

Ada pelajaran penting yang mesti diperhatikan dalam memahami arti tawakkal. Tawakkal harus terkumpul dalamnya dua syarat yaitu: (1) menyandarkan hati pada Allah, dan (2) melakukan usaha (sebab). Sehingga tidak benar jika orang hanya berusaha namun tidak menyandarkan hatinya pada Allah karena segala sesuatu di tangan Allah. Dan tidak tepat pula jika seseorang hanya bersandar pada Allah, namun tidak ada usaha yang ia lakukan.

Ada sebuah kisah yang bisa jadi pelajaran. ‘Umar bin Khottob pernah melihat sekelompok orang yang ngaku-ngaku sebagai orang yang bertawakkal, namun mereka tidak melakukan usaha apa-apa. ‘Umar bertanya pada mereka, “Siapa kalian?” “Kami adalah mutawakkiluun, orang yang bertawakkal”, jawab mereka. ‘Umar lantas menjawab, “Tidak. Kalian adalah muta-akkalun (artinya, orang yang hanya menanti diberi makan).” Yaitu mereka itu sebenarnya hanyalah orang yang hanya butuh pada uluran tangan orang lain dan bukan orang yang bertawakkal. Karena orang yang bertawakkal harusnya melakukan usaha.
‘Umar bin Al Khottob pun pernah mengatakan,

لقد علمتم أن السماء لا تمطر ذهبا ولا فضة
Kalian telah mengetahui bahwa langit sama sekali tidak menurunkan hujan emas atau hujan perak.

Ini beliau katakan untuk mengingkari orang yang hanya duduk untuk ibadah namun tidak punya untuk meraih rizki. Mereka sebenarnya orang-orang pemalas yang butuh ularan tangan orang lain. Lantas ‘Umar pun menghardik mereka. Lalu mengatakan perkataan di atas.

Demikian penjelasan singkat mengenai buah tawakkal yang kami sarikan dari penjelasan Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah (Ulama besar di Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia, anggota Al Lajnah Ad Daimah) dalam kumpulan risalahnya.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Reference: Majmu’atu Rosail Da’wiyyah wa Manhajiyyah, Syaikh Sholeh Al Fauzan, hal. 270, 280-283, terbitan Al Mirots An Nabawi.

Riyadh KSA, 11 Shafar 1432 H (15/01/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] HR. Tirmidzi no. 2414, Ibnu Hibban 1/510, dari hadits ‘Aisyah. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih.

Pentingnya Menuntut Ilmu Syar'i

menulisKenapa kita perlu berbicara tentang ilmu syar'i? Tidak diragukan lagi bahwasanya kebangkitan Islam, dalam bentuk apapun juga, jika tidak berdiri di atas ilmu syar'i yang benar, bersumber dari Al-Quran dan sunnah sesuai dengan pemahaman yang benar, maka akan berakibat kehancuran dan kemusnahan. Karena tanpa ilmu syar'i perbuatan laksana bulu diterpa angin. Terkadang digerakkan ke kanan oleh perasaan hati yang kering dari ilmu syar'i, terkadang pula condong ke kiri oleh semangat membabi buta. sehingga kebangkitan seperti ini berakhir dengan keruntuhan dalam waktu yang sangat singkat. 

Berbeda dengan semua itu, apabila seorang pemuda dibina untuk menuntut ilmu syar'i yang sesuai dengan dalil-dalil syar'i dan fenomena Rabbani, lalu mengamalkan isinya dan berpegang teguh dengannya, maka kebangkitan seperti ini akan tumbuh sedikit demi sedikit. Mulai tumbuh dan berkembang hingga mencapai masa matangnya. Setelah itu akan berbuah yang baik dan masak, sebagaimana firman Allah 'azzawajalla:

"Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur." (Al-A'raf: 58)

Adalah penting bagi kita untuk berbicara mengenai motivasi belajar ilmu syar'i mengingat kita tengah berada di zaman yang semangatnya sudah mati, sehingga keingainan belajar ilmu syar'i semakin melemah dan kemauan untuk belajar dan mengajarinya semakin menurun.

Semoga Allah merahmati Ibnu Jarir Ath-Thabrani. Suatu saat ia pernah berkata kepada muridnya, "Apakah kalian siap untuk menulis sejarah?" para murid bertanya, "Berapa lembar?" Ibnu Jarir berkata, "Tiga puluh ribu lembar." Mereka berkata, "Ini suatu yang sulit yang menghabiskan seluruh umat." Ibnu jarir berkata, "la haula wala quwata illa billah, semangat sudah mati." (lihat Tarikh Baghdad, Khatib Al-Baghdady, hal: 2)

Lantas apa sekiranya yang akan dikatakan Ibnu Jarir ketika menjumpai masa kita ini, yang seseorang tidak bisa memaksa dirinya untuk menulis atau menghafal tiga puluh lembar?

Pendapat Ulama Salaf Mengenai Ilmu Syar'i

Imam Ahmad bin Hambal berkata, "Orang-orang lebih butuh kepada ilmu melebihi kebutuhannya akan makanan dan minuman. Yang demikian itu karena seseorang terkadang hanya butuh kepada makan dan minum hanya sekali atau dua kali saja. Sementara kebutuhan dia terhadap ilmu sejumlah detak nafasnya." (lihat Tahdzibu Madarijis Salikin, Ar-Rasyid)

Imam Syafi'i pernah ditanya, "Bagaimana semangat anda untuk ilmu?" Beliau menjawab, "Saya mendengar kalimat yang sebelumnya tidak pernah saya dengar, maka anggota tubuh saya yang lain ingin memiliki pandangan untuk bisa menikmati ilmu tersebut sebagaimana yang dirasakan telinga." Lalu ditanya, "Bagaimana kerakusan anda kepada ilmu?" Beliau menjawab, "Seperti rakusnya orang penimbun harta, yang mencari kepuasan dengan hartanya." "Bagaimana anda mencarinya?" beliau menjawab, "Sebagaimana seorang ibu mencari anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki anak lain, selain dia." (lihat Tawaalit Ta'sis bi Manaqibi Muhammad bin Idris, Ibnu Hajar AL-Asqalani, hlm 106)

Keutamaan Ilmu Syar'i

Ilmu syar'i dimuliakan oleh Allah dengan beberapa kelebihan, dan dikhususkan dengan berbagai kekhususan. Allah tidak memberikan kelebihan dan kekhususan itu pada ibadah-ibadah lainnya. Perhatikanlah wahai saudaraku yang tercinta, tentang kemuliaan ilmu syar'i dan keutamaannya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,:

"Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga." (HR. Muslim)

Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ketika mengomentari hadits di atas berkata, "Setiap jalan, baik konkret maupun abstrak yang ditempuh oleh ahlul ilmi sehingga membantunya mendapatkan ilmu, maka ia termasuk ke dalam sabda Nabi, "Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga." (lihat Kitab Fatawa As-Sa'diyah, As-Sa'di, 1/623)

Allah memerintahkan rasul-Nya untuk berdoa dan meminta kepada-Nya agar ditambahkan ilmu yang bermanfaat. Allah berfirman,

Dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (Thaha: 114)

Allah tidak pernah memerintahkan untuk berdoa meminta tambahan terhadap sesuatu kecuali ilmu syar'i. Karena keutamaan, kemuliaan dan kedudukan ilmu itu tinggi di sisi Allah.

Allah memerintahkan manusia untuk kembali kepada orang-orang yang berilmu, bertanya kepada mereka tentang permasalahan agama, dan menjadikan perbuatan itu sebagai kewajiban, sebagaimana firman-Nya,

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl:43)

Selanjutnya, karena kemuliaan ilmu, Allah membolehkan kita untuk memakan hasil buruan anjing yang terlatih (untuk berburu) dan mengharamkan memakan buruan anjing yang tidak terlatih. Dalil ini menunjukkan bahwa binatang menjadi mulia karena ilmu, dan diberi kedudukan yang berbeda dengan yang tidak berilmu. Bagaimana dengan anak Adam? Allah Berfirman,

Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (Al-Maidah: 4)

Bayangkan, seandainya tidak karena keutamaan ilmu, niscaya hasil buruan anjing yang terlatih dan tidak terlatih akan sama.

Ilmu syar'i adalah warisan Nabi. Khatib Al-Bagdadi menyebutkan seorang Arab Badui yang melintas ketika Abdullah bin Mas'ud mengajarkan hadits kepada para muridnya yang berkumpul di sekelingnya. Badui itu berkata, "Untuk apa mereka berkumpul?" Ibnu Mas'ud menjawab, "Mereka bekumpul untuk bagi-bagi warisan Nabi." (lihat Syarafu Ashabil Hadits, Khatib Al-Baghdadi)

Hal ini sejalan dengan sabda Nabi,

"Keutamaan orang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan purnama dibanding semua bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris Nabi. Seorang Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi ia mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan disahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami', No 4212)

Adalah hak Beliau untuk dijaga warisannya dari kebinasaan dan kemusnahan. Semua ini tidak bisa dilakukan kecuali mempelajari ilmu syar'i dan meraihnya.

Bukti kemuliaan ilmu di sisi Allah adalah pahala mengajarkan ilmu syar'i akan sampai kepada orang yang mengajarkannya, meskipun dia telah mati dan berada di dalam kuburan. Seakan-akan mengalirnya pahala ilmu itu setelah kematiannya adalah kehidupan kedua baginya. Dari Abu Hurairah, bahwasanya rasulullah bersabda,

"Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan (orang tuanya)." (HR.Bukhari & Muslim)

Hukum Menuntut Ilmu Syar'i

Tidak semua hukum menuntut ilmu dalam setiap keadaan adalah sunnah. Yakni, diberikan pahala bagi pelakunya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Ada beberapa keadaan yang menuntut ilmu menjadi sesuatu yang wajib ‘ain bagi setiap orang, dan ia akan berdosa bila tidak melakukannya, sebagaimana sabda Nabi, "Menuntut ilmu adalah wajib bagi seorang muslim." (HR. Muslim)

Kewajiban dalam hal ini berbeda pada setiap orang sesuai dengan kedudukannya. Kewajiban seorang pemimpin mempelajari ilmu tentang rakyatnya tidak sama dengan kewajiban seorang suami pada keluarga dan tetangganya. Kewajiban pedagang untuk mempelajari ilmu tentang jual beli tidak sama dengan mereka yang bukan pedagang. Intinya adalah harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.

Seorang muslim wajib mempelajari ilmu terhadap sesuatu pekerjaan yang akan dilakukannya, yang mana tanpa ilmu, bisa menghalanginya dalam melakukan sesuatu tersebut dengan benar. Misalnya, ketika seseorang hendak mengerjakan shalat, maka ia harus mempunyai ilmu tentang shalat, jika tidak maka ketidaktahuannya tentang shalat akan menghalanginya untuk dapat shalat dengan cara yang benar. Apabila ia mempunyai harta yang harus di zakatkan dan sudah terpenuhi persyaratan wajib zakat, maka wajib baginya mengkaji hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat. Begitulah seterusnya dalam setiap urusan seperti juga puasa, haji, muamalah dan lainnya.

Dalam keadaan yang lain, menuntut ilmu bisa menjadi fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh umat secara umum. Bila tidak ada yang melakukannya atau untuk bisa mewakilinya, maka semua umat Islam akan berdosa. Dan ada kalanya menuntut ilmu itu hanya dihukum sebagai sunnah saja.

Kriteria Ilmu Syar'i

1. Ilmu syar'i yang benar adalah ilmu yang diambil dari Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Sholafush sholeh (generasi sahabat dan tabi'in serta tabi' tabi'in)

2. Ilmu syar'i adalah ilmu yang mengantarkan pemiliknya untuk taat kepada Allah, merasa diawasi oleh-Nya, takut kepada-Nya, dalam keadaan sendiri ataupun bersama orang lain. Abdullah bin Mas'ud berkata, "Bukanlah ilmu dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah rasa takut (kepada Allah). (lihat al-Fawaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)

3. Ilmu syar'i yang harus kita raih adalah ilmu yang mendorong pelakunya untuk beramal dan mempraktekkan ilmunya, bukan sebatas pengetahuan atau penambah wawasan, atau sekedar meraih jabatan dan ijazah. Jangan lupa bahwasanya ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah. Buah ilmu yang sebenarnya adalah mengamalkan ilmu itu.

http://assunnah-qatar.com/artikel/ilmu/item/1356-pentingnya-menuntut-ilmu-syari.html

Haramnya Musik dan Ijmaa'

Permasalahan hukum musik adalah permasalahan yang telah dibahas para ulama kita semenjak dulu hingga sekarang. Dalam blog ini telah dibahas apa hukum musik dan nyanyian. Adapun sekarang, apakah benar bahwasannya larangan musik merupakan ijma’ di kalangan ulama ? Sebagian besar rekan-rekan tentu akrab dengan pernyataan ijma’ tentang pengharamannya. Adapun selain itu – taruhlah kita memakai termin yang seringkali dipakai di grassroot :‘non salafiy’ (= yang sependapat dengan Dr. Yuusuf Al-Qaraadlawiy dan yang semisal dengannya) – berpendapat tidak terjadi ijma’.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وأما الالات فسيأتى الكلام على اختلاف العلماء فيها عند الكلام على حديث المعازف في كتاب الأشربة وقد حكى قوم الإجماع على تحريمها وحكى بعضهم عكسه وسنذكر بيان شبهة الفريقين إن شاء الله تعالى ولا يلزم من إباحة الضرب بالدف في العرس ونحوه إباحة غيره من الالات كالعود ونحوه
“Adapun alat musik, maka akan datang perkataan tentang ikhtilaaf para ulama padanya terhadap bahasan hadits ma’aazif dalam kitab Al-Asyribah (dalamShahih Al-Bukhaariy – Abul-Jauzaa’). Sekelompok ulama mengatakan adanya ijmaa’pengharamannya. Namun sebagian yang lain mengatakan sebaliknya. Dan akan kami sebutkan penjelasan syubhat dua kelompok tersebut, insya Allahu ta’ala. Dan tidaklah melazimkan kebolehan memukul duff sewaktu pernikahan dan yang semisalnya dengan kebolehan memukul selain duff dari macam alat-alat musik seperti ‘uud (semacam kecapi) dan yang semisalnya” [Fathul-Baariy, 3/371].
Mafhum yang diambil dari perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di atas adalah bahwa Ibnu Hajar mengakui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama selain klaim ijma’dalam permasalahan hukum musik dan nyanyian. Wallaahu a’lam.
Di antara ulama yang menetapkan adanya ijma’ antara lain Abu Bakr Al-Aajurriy (w. 360 H), Abuth-Thayyib Ath-Thabariy Asy-Syaafi’iy (450 H), Ibnu ‘Abdil-Barr (w. 463 H), Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy (w. 540 H), Ibnush-Shalaah (w. 643 H), Abul-‘Abbaas Al-Qurthubiy (w. 656 H), Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), Taajuddiin As-Subkiy (w. 756 H), Ibnu Rajab (w. 795 H), Ibnu Hajar Al-Haitamiy (w. 974 H), dan yang lainnya dari kalangan ulama kontemporer.[1]
Adapun Asy-Syaukaaniy – dan ia orang yang paling menonjol dalam hal ini – menyebutkan pendapat yang ‘menyelisihi’ ijma’ tersebut dalam bukunya Nailul-Authaar :
وذهب أهل المدينة ومن وافقهم من علماء الظاهر وجماعة من الصوفية إلى الترخيص في السماع ولو مع العود واليراع وقد حكى الأستاذ أبو منصور البغدادي الشافعي في مؤلفه في السماع أن عبد اللّه بن جعفر كان لا يرى بالغناء بأسًا ويصوغ الألحان لجواريه ويسمعها منهن على أوتاره وكان ذلك في زمن أمير المؤمنين علي رضي اللّه عنه‏.‏ وحكى الأستاذ المذكور مثل ذلك أيضًا عن القاضي شريح وسعيد بن المسيب وعطاء بن أبي رباح والزهري والشعبي‏.‏
وقال إمام الحرمين في النهاية وابن أبي الدم نقل الأثبات من المؤرخين أن عبد اللّه بن الزبير كان له جوار عوادات وأن ابن عمر دخل عليه وإلى جنبه عود فقال ما هذا يا صاحب رسول اللّه فناوله إياه فتأمله ابن عمر فقال هذا ميزان ، قال ابن الزبير‏:‏ يوزن به العقول‏.
وروى الحافظ أبو محمد ابن حزم في رسالته في السماع سنده إلى ابن سيرين قال‏:‏ إن رجلا قدم المدينة بجوار فنزل على عبد اللّه بن عمر وفيهن جارية تضرب فجاء رجل فساومه فلم يهو منهن شيئًا قال انطلق إلى رجل هو أمثل لك بيعًا من هذا قال من هو قال عبد اللّه بن جعفر فعرضهن عليه فأمر جارية منهن فقال لها خذي العود فأخذته فغنت فبايعه ثم جاء إلى ابن عمر إلى آخر القصة‏.‏
وروى صاحب العقد العلامة الأديب أبو عمر الأندلسي أن عبد اللّه بن عمر دخل على أبي جعفر فوجد عنده جارية في حجرها عود ثم قال لابن عمر هل ترى بذلك بأسًا قال لا بأس بهذا وحكى الماوردي عن معاوية وعمرو بن العاص أنهما سمعا العود عند ابن جعفر‏.‏
Penduduk Madinah dan orang yang sependapat dengan mereka dari kalangan ulama Dhaahiriyyah dan kelompok Shuufiyyah berpendapat diberikanannya keringanan dalam masalah nyanyian (simaa’) meskipun diiringi ‘uud dan yaraa’ (seruling). Dan Al-Ustaadz Abu Manshuur Al-Baghdaadiy Asy-Syaafi’iy dalam bukunya tentang masalahsimaa’ meriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak mengapa tentang nyanyian dan membolehkan budak-budak perempuannya untuk memainkan musik sedangkan ia sendiri mendengarkan mereka dengan alat musik yang dimainkannya. Itu terjadi pada jaman Amiirul-Mukminiin ‘Aliy (bin Abi Thaalib). Abu Manshuur juga meriwayatkan hal yang serupa dengan itu dari Al-Qaadliy Syuraih, Sa’iid bin Al-Musayyib, ‘Athaa’ bin Abi Rabaah, Az-Zuhriy, dan Asy-Sya’biy. Telah berkata Al-Imaam Al-Haramain dalam An-Nihaayah dan Ibnu Abid-Damm yang menukil adanya penetapan dari kalangan muarrikhiin bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair mempunyai budak yang memainkan ‘uud. Dan bahwasannya Ibnu ‘Umar masuk menemuinya dimana di sisinya terdapat ‘uud, lalu Ibnu ‘Umar berkata : “Apa ini wahai shahabat Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam - ?”. Lalu Ibnuz-Zubair mengambikan untuknya. Lalu Ibnu ‘Umar merenungkannya dan berkata : “Ini adalahmiizaan (timbangan) orang Syaam”. Ibnuz-Zubair berkata : “Yang akan menyeimbangkan akal”.
Dan diriwayatkan oleh Al-Haafidh Abu Muhammad bin Hazm dalam risalahnya tentang masalah nyanyian dengan sanad sampai pada Ibnu Siiriin, ia berkata : ‘Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang datang ke Madiinah bersama budak-budak perempuannya, lalu ia menemui ‘Abdullah bin ‘Umar. Di antara budak-budak itu ada yang bisa memukul (alat musik). Datanglah seorang laki-laki, lalu si pemilik budak menawarkan budak-budak perempuan itu kepadanya (untuk dibeli), namun ternyata laki-laki tersebut tidak merasa cocok dengan mereka. Namun ia berkata : ‘Pergilah engkau ke seseorang yang ia  sama sepertimu dalam penjualan daripada ini’. Ia berkata : ‘Siapakah ia ?’. Orang itu menjawab : ‘Abdullah bin Ja’far. Lalu laki-laki pemilik budak tadi pergi menawarkannya kepada ‘Abdullah bin Ja’far. Lalau ‘Abdullah memerintahkan salah seorang budak tersebut, dan berkata : ‘Ambillah ‘uud’. Budak perempuan itu pun mengambilnya lalu bernyanyi. Maka ‘Abdullah bin Ja’far membelinya, kemudian mendatangi Ibnu ‘Umar…. hingga akhir kisah.[2]
Dan diriwayatkan pula oleh penulis kitab Al-‘Aqd Al-‘Allamah Al-Adiib Abu ‘Umar Al-Andalusiy : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar pernah masuk menemui ‘Abdullah bin Ja’far. Lalu ia mendapatinya bersama seorang budak wanita di kamarnya dengan ‘uud. ‘Abdullah bin Ja’far berkata kepada Ibnu ‘Umar : “Apakah engkau memandang hal itu tidak apa-apa ?”. Ia menjawab : “Tidak mengapa”. Al-Maawardiy meriwayatkan dari Mu’aawiyyah dan ‘Amru bin Al-‘Aash bahwasannya mereka berdua mendengarkan ‘uuddi sisi Ibnu Ja’far….” [selengkapnya dalam Nailul-Authaar, 9/100-101, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islaamiyyah].
Kemudian Asy-Syaukaaniy menyebutkan daftar siapa-siapa saja yang membolehkan musik dan nyanyian dengan menukil perkataan Ibnun-Nahwiy :
قال ابن النحوي في « العمدة » : وقد روى الغناء وسماعه عن جماعة من الصحابة والتابعين , فمن الصحابة عمر - كما رواه ابن عبد البر وغير- وعثمان - كما نقله الماوردى وصاحب البيان والرافعى - وعبد الرحمن بن عوف كما رواه ابن أبى شيبة - وأبو عبيدة بن الجراح - كما أخرجه البيهقى- وسعد بن أبى وقاص - كما أخرجه ابن قتيبة - وأبو مسعود الأنصاري - كما أخرجه البيهقى - وبلال وعبد الله بن الأرقم وأسامة بن زيد - كما أخرجه البيهقى أيضا - وحمزة كما في الصحيح - وابن عمر - كما أخرجه ابن طاهر - والبراء بن مالك - كما أخرجه أبو نعيم - وعبد الله بن جعفر - كما رواه ابن عبد البر - وعبد الله بن الزبير - كما نقل أبو طالب المكى - وحسان - كما رواه أبو الفرج الأصبهانى - وعبد الله بن عمرو - كما رواه الزبير بين بكار - وقرظة بن كعب - كما رواه ابن قتيبة - وخوات بن جبير ورباح المعترف كما أخرجه صاحب الأغاني - والمغيرة بن شعبة - كما حكاه أبو طالب المكى- وعمرو بن العاص - كما حكاه الماوردى - وعائشة والربيع - كما في صحيح البخاري وغيره .
وأما التابعون فسعيد بن المسيب , وسالم بن عبد الله بن عمر , وابن حسان , وخارجة بن زيد , وشريح القاضى , وسعيد بن جبير , وعامر الشعبي , وعبد الله ابن أبى عتيق , وعطاء بن أبى رباح , ومحمد بن شهاب الزهري , وعمر بن عبد العزيز , وسعد بن إبراهيم الزهري .
وأما تابعوهم , فخلق لا يحصون , منهم : الأئمة الأربعة , وابن عيينة , وجمهور الشافعية
“Telah berkata Ibnun-Nahwiy dalam Al-‘Umdah : Dan telah diriwayatkan tentang kebolehan nyanyian dan mendengarkannya dari sekelompok shahabat dan tabi’iin. Dari kalangan shahabat : ‘Umar – sebagaimana diriwayatkan Ibnu ‘Abdil-Barr dan yang lainnya -, ‘Utsmaan - sebagaimana dinukil Al-Maawardiy dan penulis kitab Al-Bayaan dan Ar-Raafi’iy - , ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarraah – sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy - , Sa’d bin Abi Waqqaash – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah - , Abu Mas’uud Al-Anshaariy – sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy - , Bilaal, ‘Abdullah bin Arqam, Usaamah bin Zaid – sebagaimana diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy - , Hamzah – sebagaimana dalam kitab Ash-Shahiih - , Ibnu ‘Umar – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Thaahir - , Al-Barraa’ bin Maalik – sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim - , ‘Abdullah bin Ja’far – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr - , ‘Abdullah bin Az-Zubair – sebagaimana dinukil oleh Abu Thaalib Al-Makkiy - , Hassaan – sebagaimana diriwayatkan oleh Abul-Farj Al-Ashbahaaniy - , ‘Abdullah bin ‘Amru – sebagaimana diriwayatkan oleh Az-Zubair bin Bakkaar - , Qaradhah bin Ka’b – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah, Khawaat bin Jubair, Rabbaah bin Al-Mu’tarif – sebagaimana diriwayatkan oleh penulis kitab Al-Aghaaniy - , Al-Mughiirah bin Syu’bah – sebagaimana dihikayatkan oleh Abu Thaalib Al-Makkiy, ‘Amru bin Al-‘Aash – sebagaimana dihikayatkan oleh Al-Maawardiy - , ‘Aaisyah, Ar-Rabii’ – sebagaimana terdapat dalam Shahih Al-Bukhaariy dan yang lainnya.
Dari kalangan taabi’iin : Sa’iid bin Al-Musayyib, Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, Ibnu Hassaan, Khaarijah bin Zaid, Syuraih Al-Qaadliy, Sa’iid bin Jubair, ‘Aamir Asy-Sya’biy, ‘Abdullah bin Abi ‘Atiiq, ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, Muhammad bin Syihaab Az-Zuhriy, ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, dan Sa’d bin Ibraahiim Az-Zuhriy.
Adapun dari kalangan yang mengikut mereka tidak terhitung jumlahnya, diantaranya : imam yang empat, Ibnu ‘Uyainah, dan jumhur Syaafi’iyyah” [lihat : Nailul-Authaar, 8/101-102].
Bahkan ia (Asy-Syaukaaniy) menulis buku khusus yang berjudul : Ibthaalu Da’waa Al-Ijmaa’ ‘alaa Tahriimi Muthlaqis-Simaa’.
Adz-Dzahabiy berkata :
قال ابن معين: كنا نأتي يوسف بن الماجشون يحدثنا، وجواريه في بيت آخر يضربن بالمعزفة.
قلت: أهل المدينة يترخصون في الغناء، هم معروفون بالتسمح فيه.
“Ibnu Ma’iin berkata : ‘Kami pernah mendatangi Yuusuf bin Al-Maajisyuun lalu ia meriwayatkan hadits kepada kami. Budak-budak perempuannya di rumahnya yang lain saat itu sedang memukul alat musik’. Aku (Adz-Dzahabiy) berkata : ‘Penduduk Madiinah memberikan rukhshah/kelonggaran dalam hal nyanyian. Dan mereka memang dikenal sebagai orang-orang yang longgar dalam masalah ini” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 8/372. Lihat pula : Tahdziibut-Tahdziib 11/430].
Al-Khaliiliy berkata : “Ia (Ibnul-Maajisyuun) dan saudara-saudara laki-lakinya memberikan rukhshah dalam masalah simaa’” [Tahdziibut-Tahdziib, 11/430].
Yuusuf bin Al-Maajisyun, lengkapnya adalah Yuusuf bin Ya’quub bin Abi Salamah Al-Maajisyuun, Abu Salamah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. 185 H), dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [lihat biografinya dalam Tahdziibul-Kamaal32/479-482 no. 7166 dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 8/371-373 no. 110].
Ibnu Ma’iin saat mengomentari Ibnul-Maajisyuun berkata : “Tsiqah”. Di riwayat lain : “Shaalih”.  Di riwayat lain : “Tidak mengapa dengannya”.
Nampaknya, Ibnu Ma’iin tidak menggugurkan ‘adalah Ibnul-Maajisyuun dalam periwayatan hadits karena membolehkan mendengarkan nyanyian dan alat musik,wallaahu a’lam.
Tentang penukilan Asy-Syaukaaniy dari Ibnun-Nahwiy rahimahumallah tentang daftar para shahabat dan ulama setelahnya yang membolehkan nyanyian dan musik, tidak diragukan lagi beberapa di antaranya tidaklah akurat.
Misalnya penisbatan kepada ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhu. Ini jelas keliru, sebab telah tetap adanya riwayat darinya yang berseberangan dengan itu :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ زُهَيْرٍ التُّسْتَرِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ بْنِ ثَعْلَبَةَ، ثنا أَبُو يَحْيَى الْحِمَّانِيُّ، ثنا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ أَبِي الْمُسَاوِرِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ، عَنْ عُثْمَانِ، قَالَ : فَوَاللَّهِ مَا تَغَنَّيْتُ وَلا تَمَنَّيْتُ وَلا مَسِسْتُ فَرْجِي بِيَمِينِي مُنْذُ أَسْلَمْتُ أَوْ مُنْذُ بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Zuahir At-Tustariy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid bin Tsa’labah : Telah menceritakan kepada kami Abu Yahyaa Al-Himmaaniy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa bin Abil-Musaawir, dari Asy-Sya’biy, dari Zaid bin Al-Arqam, dari ‘Utsmaan, ia berkata : “…Demi Allah, aku tidak pernah menyanyi, berangan-angan, dan menyentuh farjiku dengan tangan kananku sejak aku masuk Islam atau sejak aku berbaiat kepada Rasulullah shallallaaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalamAl-Kabiir 5/192-193; hasan].
Juga penisbatan kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
Ibnul-Jauzi meriwayatkan sebagai berikut :
ومر ابن عمر رضي الله عنه بقوم محرمين وفيهم رجل يتغنى قال ألا لا سمع الله لكم
”Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhu pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan ihram dimana bersama mereka ada seorang laki-laki yang sedang bernyanyi. Maka Ibnu ’Umar berkata kepada mereka : ”Ketahuilah, semoga Allah tidak mendengar doa kalian” [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 209 – Daarul-Fikr 1421].
Ini selaras dengan riwayat :
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَمَخْلَدُ بْنُ يَزِيدَ، أَخْبَرَنَا سَعِيدٌ، الْمَعْنَى، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، عَنْ نَافِعٍ مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ، " سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ، وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ، وَهُوَ يَقُولُ: يَا نَافِعُ، أَتَسْمَعُ؟ فَأَقُولُ: نَعَمْ، قَالَ: فَيَمْضِي، حَتَّى قُلْتُ: لاَ، قَالَ: فَوَضَعَ يَدَيْهِ، وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ، وَقَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا "
Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Abdil-‘Aziiz dan Makhlad bin Yaziid; Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’’id dengan makna, dari Sulaimaan bin Muusaa, dari Naafi’ maulaa Ibnu ‘Umar :Bahwasannya Ibnu ’Umar pernah mendengar suara seruling yang ditiup oleh seorang penggembala. Maka ia meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya (untuk menyumbat/menutupinya) sambil membelokkan untanya dari jalan (menghindari suara tersebut). Ibnu ’Umar berkata : ”Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengarnya ?”. Maka aku berkata : ”Ya”. Maka ia terus berlalu hingga aku berkata : ”Aku tidak mendengarnya lagi”. Maka Ibnu ’Umar pun meletakkan tangannya (dari kedua telinganya) dan kembali ke jalan tersebut sambil berkata : ”Aku melihat Rasulullahshallallaahu ’alaihi wasallam ketika mendengar suara seruling melakukannya demikian” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/38. Diriwayatkan pula 2/8, Abu Abu Dawud no. 4924 dan 4926; Al-Ajurri dalam Tahriimun-Nard wasy-Syatranj wal-Malaahi no. 64; dan yang lainnya. Shahih].
Juga penisbatan kepada imam empat.
Ibnul-Jauzi berkata :
أخبرنا هبة الله بن أحمد الحريري عن أبي الطيب الطبري قال كان أبو حنيفة يكره الغناء مع إباحته شرب النبيذ ويجعل سماع الغناء من الذنوب قال وكذلك مذهب سائر أهل الكوفة إبراهيم والشعبي وحماد وسفيان الثوري وغيرهم لا أختلاف بينهم في ذلك قال ولا يعرف بين أهل البصرة خلاف في كراهة ذلك والمنع منه
“Telah mengkhabarkan kepada kami Hibatullah bin Ahmad Al-Hariry, dari Abuth-Thayyib Ath-Thabary ia berkata : “Adalah Abu Haniifah membenci nyanyian dan memperbolehkan perasan buah. Dan beliau menjadikan perbuatan mendengarkan nyanyian termasuk di antara dosa-dosa…” [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 205 – Daarul-Fikr 1421].
حدثني أبي، قال: حدثنا إسحاق بن الطباع، قال: سألت مالك بن أنس عما يترخص فيه بعض أهل المدينة من الغناء، فقال: إنما يفعله عندنا الفساق.
“Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ath-Thabbaa’, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Maalik bin Anas tentang nyanyian yang diperbolehkan penduduk Madiinah, maka ia menjawab : “Hal itu bagi kami hanyalah dilakukan oleh orang-orang fasiq” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Al-‘Ilal, no. 1499; shahih].
وَأَخْبَرَنِي زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى النَّاقِدُ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ الْحَرُورِيِّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، قَالَ: سَمِعْتُ يُونُسَ بْنَ عَبْدِ الأَعْلَى، قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ، قَالَ: " تَرَكْتُ بِالْعِرَاقِ شَيْئًا يُسَمُّونَهُ التَّغْبِيرَ، وَضَعَتْهُ الزَّنَادِقَةُ يَشْغِلُونَ بِهِ عَنِ الْقُرْآنِ "
Dan telah mengkhabarkan kepadaku Zakariyyaa bin Yahyaa An-Naaqid : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Al-Haruuriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ya’quub, ia berkata : Aku mendengar Yuunus bin ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : “Aku meninggalkan ‘Iraaq sesuatu karena munculnya sesuatu di sana yang mereka namakan dengan At-Taghbiir yang telah dibuat oleh kaum Zanadiqah. Mereka memalingkan manusia dengannya dari Al-Qur’an” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyu ‘anil-Munkar, hal. 151; shahih].
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبِي عَنِ الْغِنَاءِ، فَقَالَ: " الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
Telah mengkhabarkan kepadaku ’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang nyanyian, lalu ia menjawab : ”Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyi ’anil-Munkar hal. 142; shahih].
Juga penisbatan kepada Ibnul-Musayyib rahimahullah.
أخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن يحيى بن سعيد عن سعيد بن المسيب قال إني لأبغض الغناء وأحب الرجز
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, dari Ma’mar, dari Yahyaa bin Sa’iid, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, ia berkata : “Sesungguhnya aku membenci nyanyian, dan lebih menyukai rajaz” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 19743; shahih. Disebutkan pula oleh Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 3411].
Juga penisbatan kepada Asy-Sya’biy rahimahullah.
حَدَّثَنَا يَحْيَى، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دُكَيْنٍ، عَنْ فِرَاسِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، قَالَ: " إِنَّ الْغِنَاءَ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ، وَإِنَّ الذِّكْرَ يُنْبِتُ الإِيمَانَ فِي الْقَلْبِ، كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ"
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Dukain, dari Firaas bin ‘Abdillah, dari Asy-Sya’biy : “Sesungguhnya nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya dzikir itu menumbuhkan iman dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 691; hasan].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدَةُ، وَوَكِيعٌ، عَنْ إسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ: أَنَّهُ كَرِهَ أَجْرَ الْمُغَنِّيَةِ "، زَادَ فِيهِ عَبْدَةُ: وَقَالَ: " مَا أُحِبُّ أَنْ آكُلَهُ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdah dan Wakii’, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Asy-Sya’biy : Bahwasannya ia membenci upah penyanyi. ‘Abdah menambahkan : Dan Asy-Sya’biy berkata : “Aku tidak mau memakannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 22476 –Jawaami’ul-Kalim; shahih].
Dan yang lainnya.
Oleh karena itu, ada kemungkinan penisbatan kepada sebagian ulama/salaf yang membolehkan itu tidak benar karena tidak shahih sanadnya atau penukilannya; atau seandainya benar, tidak ada dilalah yang menunjukkan tentang kebolehannya.[3]
Saya juga tidak berani mengatakan bahwa semua yang dikatakan Asy-Syaukaaniy itu tidak valid, karena memang ada sebagiannya yang valid. Namun setidaknya, apa yang saya pahami sampai detik ini, bahwa penisbatan ijma’ dari para imam di atas perlu diteliti kembali.
Itu saja yang dapat saya tuliskan secara ringkas dari pokok artikel ini.
Sebagai catatan penting : Tulisan ini sama sekali tidak bertujuan membela pendapat yang membolehkan nyanyian dan musik, menyokongnya, memberikan angin segar, atau yang semisalnya. Sekali lagi, tulisan ini hanyalah sebagai pembuka diskusi, mungkin, untuk meneliti kebenaran ijma’ tersebut. Adapun pengharaman atas dua hal itu adalah sangat kuat karena didasarkan oleh nash-nash yang shahih dan jelasdilalah-nya. Dan khilaf dalam masalah ini termasuk khilaf yang lemah.[4]
Wallaahu a’lam.


[1]      Silakan baca beberapa perkataan para ulama kita tentang penetapan ijma’ di :http://ustadzaris.com/kata-sepakat-ulama-dalam-haramnya-musik.
[2]      Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah mengatakan bahwa kisah ini terdapat dalamAl-Muhallaa dengan sanad shahih [lihat Tahriim Aalaatith-Tharb, hal. 101-102; Muassasah Ar-Rayyaan, Cet. 3/1426 H]. Namun beliau mengkritik penyebutan ‘uud, sebab dalam sanad kisah tersebut, Ayyuub mengatakan duff (rebana), sedangkan Hisyaam mengatakan ‘uud. Di sini, Syaikh merajihkan penyebutan duff.
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Akan tetapi, baik penyebutan duff ataupun ‘uud, maka dua-duanya merupakan jenis alat musik yang ditabuh di luar waktu-waktu yang diperbolehkan (sebagaimana tercantum nash-nya dalam hadits), dan ‘Abdullah bin Ja’far pun mendengarkannya/menyimaknya.

“Berselisih” dengan Imam


Perbedaan Mazhab merupakan hal yang tidak dapat dihindari, masalah timbul  ketika kita harus mempraktekkan apa yang kita yakini benar itu terbentur oleh perbedaan tersebut.
Konsekwensi perbedaan Mazhab ini terkadang amat merepotkan  ketika terjadi didalam sholat, Bagaimana para Ulama memandang permasalahan Ini, terutama pendapat ibnu taimiyah yang merupakan isu utama dalam blog ini?
Kaidah utama yang dipegang oleh Ibnu taimiyah adalah sahnya sholat makmum sekalipun ada perbedaan antara imam dan makmum dalam gerakan atau bacaan sholat tertentu. Beliau pernah ditanya mengenai hal tersebut:
وسئل شيخ الإسلام ابن تيمية رَحمه اللّه : هل تصح صلاة المأموم خلف من يخالف مذهبه
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah pernah ditanya: Apakah sah sholat seorang makmum yang sholat mengikuti Imam yang berbeda mazhabnya?
فأجاب : وأما صلاة الرجل خلف من يخالف مذهبه فهذه تصح باتفاق الصحابة والتابعين لهم بإحسان والأئمة الأربعة ولكن النزاع في صورتين : إحداهما : خلافها شاذ وهو ما إذا أتى الإمام بالواجبات كما يعتقده المأموم لكن لا يعتقد وجوبها مثل التشهد الأخير إذا فعله من لم يعتقد وجوبه والمأموم يعتقد وجوبه فهذا فيه خلاف شاذ . والصواب الذي عليه السلف وجمهور الخلف صحة الصلاة
والمسألة الثانية : فيها نزاع مشهور إذا ترك الإمام ما يعتقد المأموم وجوبه مثل أن يترك قراءة البسملة سرا وجهرا والمأموم يعتقد وجوبها . أو مثل أن يترك الوضوء من مس الذكر أو لمس النساء أو أكل لحم الإبل. أو القهقهة أو خروج النجاسات أو النجاسة النادرة والمأموم يرى وجوب الوضوء من ذلك فهذا فيه قولان . أصحهما صحة صلاة المأموم وهو مذهب مالك وأصرح الروايتين عن أحمد في مثل هذه المسائل وهو أحد الوجهين في مذهب الشافعي بل هو المنصوص عنه فإنه كان يصلي خلف المالكية الذين لا يقرءون البسملة ومذهبه وجوب قراءتها . والدليل على ذلك ما رواه البخاري وغيره عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : { يصلون لكم فإن أصابوا فلكم ولهم وإن أخطئوا فلكم وعليهم } فجعل خطأ الإمام عليه دون المأموم
Beliau menjawab:
Adapun sholat seseorang dibelakang orang yang berbeda mazhab adalah sah berdasarkan kesepakatan para sahabat dan yang mengikuti mereka dalam kebaikan serta empat Imam. Namun pertentangan terjadi pada dua kasus:
Pertama: perbedaannya itu ganjil yaitu jika seorang imam melakukan perbuatan yang wajib seperti apa yang diyakini oleh makmum namun ia tidak meyakini bahwa perbuatan tersebut adalah wajib. Misalnya Tasyahud akhir jika dilakukan oleh orang (imam) yang tidak meyakini kewajibannya sementara makmum meyakininya sebagai kewajiban. Inilah  perbedaan yang ganjil. Yang benar sesuai dengan pendapat salaf dan jumhur sahabat adalah sahnya sholat tersebut.
Masalah kedua: terdapat perbedaan yang terkenal jika seorang Imam meninggalkan perbuatan yang diyakini kewajibannya oleh makmum. Misalnya Imam meninggalkan membaca bismillah sedangkan makmum meyakininya sebagai kewajiban. Atau Imam tidak berwudhu karena menyentuh kemaluan, menyentuh wanita, makan daging unta, tertawa keras, keluar banyak najis, atau najis yang jarang sedangkan makmum menganggap wajib berwudhu. Dalam hal ini ada dua pendapat: yang paling sohih adalah sahnya sholat makmum dan itu merupakan mazhab malik dan merupakan pendapat yang paling tegas diantara dua pendapat dari Imam Ahmad pada masalah-masalah seperti ini. Ini juga merupakan salah satu dari dua pendapat didalam mazhab Syafii bahkan yangmanshus dari Imam Syafii. Sesungguhnya beliau pernah sholat dibelakang penganut mazhab maliki yang tidak membaca bismillah sedangkan mazhab beliau mewajibkannya. Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh al Bukhori dan lainnya dari Nabi Shallallaahu alaihi Wasallam bahwasanya beliau bersabda: “Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka”. Beliau menjadikan kesalahan Imam sebagai tanggungan Imam sendiri berbeda dengan makmum.
Ijma tentang sahnya mengikut imam yang berbeda mazhab dikuatkan oleh ibnu Qudamah:
فأما المخالفون في الفروع كأصحاب أبي حنيفة , ومالك , والشافعي : فالصلاة خلفهم صحيحة غير مكروهة ، نصَّ عليه أحمد ; لأن الصحابة والتابعين ومن بعدهم : لم يزل بعضهم يأتم ببعض , مع اختلافهم في الفروع , فكان ذلك إجماعاً” انتهى
Adapun perbedaan dalam masalah furu’ seperti pengikut Mazhab Abu Hanifah, Malik, dan  Syafii: Maka sholat dibelakang mereka adalah sah tidak makruh. Hal ini diputuskan oleh Imam Ahmad; karena para sahabat, tabiin dan orang-orang setelah mereka senantiasa berimam satu sama lain padahal mereka berbeda dalam masalah furu. Hal itu adalah Ijma. selesai[1]
Boleh berbeda dengan Imam tapi mengikuti lebih utama
Permasalah berbedanya makmum dengan Imam berkutat pada hadits Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam:
إنما جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا وإذا رَفَعَ فَارْفَعُوا وإذا قال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وإذا صلى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

“Hanyalah dijadikan imam adalah untuk diikuti, maka jika imam sholat berdiri maka sholatlah kalian (wahai para mekmum-pent) berdiri juga, jika imam ruku’ maka ruku’lah kalian, dan jika imam bangkit maka bangkitlah, dan jika imam berkata “Sami’allahu liman hamidahu” ucapkanlah “Robbanaa wa lakalhamdu”. Jika imam sholat berdiri maka sholatlah berdiri, dan jika imam sholat duduk maka sholatlah kalian seluruhnya dengan duduk”[2]
Hadits diatas juga senada dengan hadits berikut:
أَمَا يَخْشَى الَّذِيْ يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ اْلإِمَامِ أَنْ يُحَوِّلَ اللهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَا
Tidakkah takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam bahwa Allah akan mengganti kepalanya dengan kepala keledai?”[3]
Dari hadits diatas terdapat gambaran jelas bahwa terlarangnya penyelisihan makmum terhadap Imam adalah Jika perselisihan tersebut terjadi pada Hal-hal yang dzohir dan dapat membuat makmumnya tertinggal atau mendahului Imam.
Imam Nawawi berkata:
وَأَمَّا قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَام لِيُؤْتَمّ بِهِ فَمَعْنَاهُ عِنْد الشَّافِعِيّ وَطَائِفَة فِي الْأَفْعَال الظَّاهِرَة
“Adapun sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: (Sesungguhnya imam diangkat untuk diikuti) maka maknanya menurut Syafi’iy dan sebagian ulama adalah di dalam perbuatan-perbuatan yang dhahir ” [4]
Ibnu Taimiyah menyinggung sebuah perbedaan yang boleh dilakukan oleh makmum ketika dia sedang berimam dengan orang yang berbeda pendapatnya tentang duduk istirahat.
سئل عن رجل يصلي مأموما ويجلس بين الركعات جلسة الاستراحة ولم يفعل ذلك الإمام فهل يجوز ذلك له ؟ وإذا جاز : هل يكون منقصا لأجره لأجل كونه لم يتابع الإمام في سرعة الإمام ؟
Beliau ditanya tentang seseorang yang sholat menjadi makmum dan melakukan duduk istirahat antara rakaat sementara Imam tidak melakukannya. Apakah itu boleh? Kalau itu boleh, apakah tidak mengurangi pahalanya karena tidak bersegera mengikuti Imam
وفأجاب : جلسة الاستراحة قد ثبت في الصحيح أن النبي صلى الله عليه وسلم جلسها ; لكن تردد العلماء هل فعل ذلك من كبر السن للحاجة أو فعل ذلك لأنه من سنة الصلاة
فمن قال بالثاني : استحبها كقول الشافعي وأحمد في إحدى الروايتين
ومن قال بالأول : لم يستحبها إلا عند الحاجة كقول أبي حنيفة ومالك وأحمد في الرواية الأخرى . ومن فعلها لم ينكر عليه وإن كان مأموما ; لكون التأخر بمقدار ما ليس هو من التخلف المنهي عنه عند من يقول باستحبابها وهل هذا إلا فعل في محل اجتهاد فإنه قد تعارض فعل هذه السنة عنده والمبادرة إلى موافقة الإمام فإن ذلك أولى من التخلف لكنه يسير فصار مثل ما إذا قام من التشهد الأول قبل أن يكمله المأموم والمأموم يرى أنه مستحب أو مثل أن يسلم وقد بقي عليه يسير من الدعاء هل يسلم أو يتمه ؟ ومثل هذه المسائل هي من مسائل الاجتهاد والأقوى أن متابعة الإمام أولى من التخلف لفعل مستحب والله أعلم
Beliau menjawab:
“Duduk istirahat merupakan hal yang telah valid dilakukan oleh  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didalam kitab sohih, akan tetapi para ulama berselisih antara apakah Nabi melakukannya karena kebutuhan beliau yang sudah tua?, ataukah Nabi melakukannya karena termasuk sunnah dalam sholat?. Barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan kedua maka ia menganggapnya mustahab sebagaimana pendapat As-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Ahmad. Dan barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan pertama maka ia tidak menganggapnya mustahab kecuali jika memerlukannya sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Malik, dan salah satu riwayat dari Ahmad.
Barangsiapa yang melakukan duduk istirahat maka tidak boleh diingkari meskipun posisinya sebagai makmum (sementara imam tidak melakukannya-pent) karena keterlambatannya mengikuti (imam yang tidak duduk istirahat) hanya sedikit dan tidak termasuk keterlambatan yang dilarang –menurut mereka yang berpendapat akan mustahabnya duduk istirahat-. Bukankah ini cuma perbuatan yang merupakan perkara ijtihad? Karena sesungguhnya telah bertentangan antara melakukan sunnah ini –yaitu menurutnya- dengan bersegera mengikuti imam?, sesungguhnya mengikuti imam lebih utama daripada terlambat. Akan tetapi keterlambatan tersebut hanya sedikit, maka perkaranya seperti jika imam berdiri dari tasyahhud awal sebelum makmum menyelesaikan (bacaan) tasyahhud awal padahal makmum memandang mustahabnya menyempurnakan bacaan tasyahhud awal (sehingga akhirnya sang makmum terlambat beridiri-pent). Atau seperti jika imam salam padahal sang makmum masih ingin berdoa sedikit lagi, apakah sang makmum segera salam ataukah menyempurnakan dahulu doanya?. Permasalahan-permasalahan seperti ini termasuk permasalahan ijtihad, dan yang paling kuat adalah bahwa bersegera mengikuti imam itu lebih utama dari pada terlambat karena melakukan perkara yang mustahab. Wallahu A’lam[5]
Pendapat ini dikuatkan oleh Faqihuzzaman Muhammad Bin Sholih al Utsaimin
فإذا سقط الجلوس في التشهد من أجل المتابعة فليسقط الجلوس للاستراحة من أجل المتابعة لكني أقول لما كان التخلف في جلسة الاستراحة يسيراً فإن الجلسة لا تعد مخالفة للإمام ولا تبطل الصلاة لو جلس لكننا نأمره أن لا يجلس
Jika duduk tasyahud bisa gugur karena mengikuti Imam (yang lupa, pent) maka duduk istirahat juga bisa gugur karena mengikuti Imam. Tapi aku menganggap ketinggalan yang ringan dalam duduk istirahat tidak dianggap menyalahi Imam dan tidak batal sholat kalau ia melakukannya, tapi saya memerintahkan agar tidak duduk istirahat (mengikuti imam, pent)[6]
Jadi jelas untuk hal-hal yang merupakan ijtihad dan bisa mempengaruhi dalam hal tertinggal atau mendahului imam dan atau terlihat mencolok secara dzohir maka makmum wajib mengikuti Imam. Namun jika tertinggalnya ringan saja, maka makmum boleh melakukannya namun tetap disarankan untuk mengikuti Imam.
Semoga bermanfaat

[1] al Mughni Jilid 11/2
[2] Hadits riwayat Al-Bukhari no 657
[3] Hadits riwayat Muslim
[4] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Bin Al-Hajjaj 4/134
[5] Majmû Al-Fatâwâ Jilid 22/451-452
[6] Majmû Al-Fatâwâ Jilid 13/538