PERINGATAN BAGI PARA PERAMPAS HARTA

Ghasbh adalah merampas hak orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan menurut syariat islam walaupun ada pembenaran dari undang-undang yang dianut pada suatu bangsa tertentu.

Hukum Ghashb

Gashb adalah perbuatan dzalim dan kedzaliman adalah kegelapan di hari kiamat. Perbuatan ini amat sangat di haramkan di dalam islam  karena perbuatan ini mengandung unsur merugikan dan mencelakakan orang-orang yang tidak bersalah.
 
Fakta yang kita bisa saksikan adalah bagaimana perbuatan jahat ini dengan begitu maraknya dilakukan oleh setiap orang yang berkuasa terhadap orang-orang lemah, merebut hak-hak pribadi, mengambil tanah dengan dalih pembangunan, mafia pajak dan hukum serta perbuatan-perbuatan keji lainnya seolah-olah sangat akrab dengan bangsa mayoritas umat islam ini. Keadilan hanya milik orang-orang kaya saja yang mampu menyewa pengacara-pengacara handal untuk menutupi kebusukannya, tinggallah orang-orang tak berdaya menyaksikan dengan penuh kepiluan, rumah, tanah, dan harta lainnya harus dirampas dengan paksa tanpa perikemanusiaan.
 
Ketika perbuatan gashb ini menjadi bahagian dalam hidup kita maka kita bukanlah bahagian dari orang-orang yang beriman seperti yang disabdakan oleh Rasulullah RA dari sahabat Abu Hurairah RA: "Tidaklah seseorang berzina ketika berzina dalam keadaan beriman, dan tidaklah seorang peminum khamar ketika meminumnya dalam keadaan beriman, dan tidaklah seseorang mencuri ketika mencuri dalam keadaan beriman dan tidaklah seseorang merampas suatu rampasan yang mana orang-orang mengangkat pandangan kepadanya ketika ia merampasnya dalam keadaan beriman." (Muttafaqun 'alaih /shahih al-jaami'ish shaghiir no.7707).
 
Seorang penyair terkenal bangsa ini pernah menyebutkan : "Hukum di Indonesia layaknya sebuah sarang laba-laba yang jika sarang itu terkena benda yang besar maka akan hancur tapi jika terkena benda yang kecil maka benda itu akan tersangkut. Sungguh tepat apa yang disampaikan penyair ini, orang-orang yang berduit maka akan terlepas dari jeratan hukum namun orang-orang kecil hanya dengan kasus yang sederhana mereka harus menelan pahitnya jeruji besi. Sengketa tanah dan bangunan yang sudah ditempati berpuluh-puluh tahun harus rela diambil dan dihancurkan secara paksa oleh aparat lantaran sipemilik rumah kalah dalam persidangan oleh si konglomerat yang sudah terlebih dahulu menyuap kejaksaaan, sungguh sebuah potret kedzaliman yang luar biasa.
 
Tidak cukup sampai disitu penderitaan rakyat, mereka masih harus dibebani dengan pajak-pajak yang beraneka ragam, mulai dari PPn, PBB, Pajak kendaraan, Pajak reklame, pungli, berbagai jenis retribusi, serta masih banyak pajak-pajak lainnya yang ternyata itu semua hanya untuk membesarkan perut orang-orang serakah saja. Gayus adalah kelas teri dalam penyimpangan pajak namun itu saja telah merugikan rakyat ratusan milyar maka bagaimana dengan kelas kakapnya berapa banyak uang rakyat yang harus diambil secara paksa. Alasan - alasan itulah mengapa islam mengharamkan pajak, bea dan cukai karena sangat kental unsur kedzalimannya akan tetapi islam mengharuskan membayar zakat karena dengan zakat dapat benar-benar mensejahterakan rakyat dan menanggulangi kemiskinan.
 
Sekali lagi kasus mafia pajak (Gayus) memang sangat menyesakkan dada setiap orang yang menyaksikannya, dengan begitu mudahnya pelesiran ke luar negeri dalam masa tahanannya seolah-olah para aparatur penegak hukum di negara ini tunduk di bawah perintahnya. Hukum di dunia bisa dengan mudah dibeli dan dikelabuhi tapi ingatlah bahwa hukum Allah Ta’ala tidak akan pernah keliru dalam menentukan dan membuka seluruh  tabir kebohongan yang dilakukan di dunia.
 
Haram Memanfaatkan Barang yang Dirampas dan harus Dikembalikan
 
1. Dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa berbuat dzalim kepada saudaranya dalam kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia meminta kehalalannya pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang tidak ada dinar tidak pula dirham. Apabila ia mempunyai amalan shalih, maka akan diambil darinya sekedar kedzaliman dan apabila ia tidak mempunyai kebaikan, maka akan diambil dari kejelekan orang yang didzalimi kemudian ditimpakan kepadanya. (Shahih Al- Jami'ish Shaghiir no.6551, Shahih Al-Bukhori V/101. No.2449).Sungguh amat sangat mengerikan kondisi orang-orang yang dzalim, memakan harta saudaranya dengan bathil, merampas kehormatan, maka Allah Ta’ala pasti melakukan perhitungan akan segala kejahatannya dengan menjadikan mereka terhina tanpa membawa bekal amal kebaikan sedikitpun dan ditempatkan pada seburuk-buruk tempat kembali.
 
2. Hukum seluruh macam merampas adalah haram dan terhitung sebagai dosa besar.
 
3. Jika seseorang merampas sesuatu, maka selain telah berbuat haram, dia harus mengembalikannya kepada pemiliknya, dan jika rampasan itu hilang, dia harus menggantinya.
 
4. Jika dia merusakkan barang rampasannya, maka harus mengembalikan kepada pemiliknya berikut ongkos per-baikan. Jika setelah perbaikan, harganya menjadi lebih murah dari harga sebelumnya, dia harus membayar selisih harganya.
 
5. Jika dia mengubah barang rampasannya menjadi lebih bagus-misalnya dia memperbaiki sepeda rampasan menjadi lebih bagus-lalu pemiliknya menuntutnya agar mengembalikan barang rampasan dengan keadan yang sudah lebih bagus itu, maka dia harus menye-rahkannya kepada pemiliknya dan tidak boleh meminta ongkos perbaikan, juga tidak berhak untuk mengubahnya lagi menjadi seperti semula.

Orang yang Terbunuh Karena Mempertahankan Hartanya Adalah Syahid
 
Dari Abu Hurairah RA ia berkata, seseorang datang kepada Nabi SAW seraya berkata : "Wahai Rasulullah apakah pendapatmu jika seseorang datang ingin mengambil hartaku?" Beliau menjawab, "jangan engkau berikan", ia berkata, "Apa pendapatmu jika ia memerangiku?"Beliau mejawab, "maka engkau syahid", ia berkata, "Apa pendapatmu jika aku yang membunuhnya?"Beliau menjawab, "dia di neraka". (Shahih Muslim I/124 no.140)
 
Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bekerja dan mencari harta guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga. Merupakan jihad di jalan Allah Ta’ala ketika seorang ayah keluar rumah untuk mencari nafkah demi membiayai anak dan istrinya, maka wajib hukumnya menjaga harta benda yang dititipkan oleh Allah Ta’ala kepada kita dari gangguan orang-orang jahat. Kejahatan hari ini sangat beraneka ragam, mencuri hak milik orang lain sudah sangat terang-terangan dengan berkedok pembangunan, maka bagi orang-orang yang dirugikan dan terancam harta bendanya oleh orang-orang dzalim pertahankanlah sehingga ia mati sungguh Allah Ta’ala menggolongkannya kepada orang-orang yang syahid.

Hukuman Bagi Para Perampas Harta
 
Barang siapa merampas tanah lalu ia membangunnya maka ia harus menghancurkannya.
Dari Salim dari ayahnya RA ia berkata, Nabi SAW bersabda: "Barang siapa yang mengambil tanah sedikit saja dengan cara yang tidak dibenarkan, maka ia dibenamkan ke dalam tanah tersebut pada hari kiamat hingga tujuh lapis bumi". (Shahih Jami'ish Shaghiir no.6385, Shahih Bukhori V/103 no.2454)

Seruan Bagi Para Perampas Harta
 
Sebelum Allah Ta’ala tampakkan perkaranya maka segeralah berhenti mengambil hak milik orang lain dengan dzalim dan bertaubat lah kepada Allah Ta’ala, kembalikan hak orang lain yang sudah diambil, dan berjanji di hadapan Allah Ta’ala  tidak akan mengulangi perbuatan itu kembali. Wallahu'alam Bissowab

Iqbal Quro
http://dewandakwahjakarta.or.id/index.php/buletin/69-feb11/184-feb11.html

Beruswah Kepada Nabi Muhammad



dakwatuna.com – Sahabatku, kita punya cara untuk mengenang orang paling mulia di dunia, Nabi Muhammad saw.. Catatan ringkas ini semoga menjadi renungan buat kita. Berteladan kepada Nabi saw. Dia sejatinya uswah, pasti tidak akan membuat kita kecewa!

1) Kalau ada pakaian yang koyak, Nabi saw menambalnya sendiri tanpa perlu menyuruh isterinya. Beliau juga memerah susu kambing untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual.

2) Setiap kali pulang ke rumah, bila belum tersaji makanan karena masih dimasak, sambil tersenyum beliau menyingsingkan lengan bajunya untuk membantu isterinya di dapur. Aisyah menceritakan bahwa kalau Nabi berada di rumah, beliau selalu membantu urusan rumahtangga.

3) Jika mendengar azan, beliau cepat-cepat berangkat ke masjid, dan cepat-cepat pula kembali sesudahnya.

4) Pernah beliau pulang menjelang pagi hari. Tentulah beliau teramat lapar waktu itu. Namun dilihatnya tiada apa pun yang tersedia untuk sarapan. Bahkan bahan mentah pun tidak ada karena ‘Aisyah belum ke pasar. Maka Nabi bertanya, “Belum ada sarapan ya Khumaira?’  Aisyah menjawab dengan agak serba salah, ‘Belum ada apa-apa wahai Rasulullah.’ Rasulullah lantas berkata, ‘Jika begitu aku puasa saja hari ini.’ tanpa sedikit tergambar rasa kesal di raut wajah beliau.

5) Sebaliknya Nabi saw sangat marah tatkala melihat seorang suami sedang memukul isterinya. Rasulullah menegur, ‘Mengapa engkau memukul isterimu?’ Lantas lelaki itu menjawab dengan gementar, “Isteriku sangat keras kepala! Sudah diberi nasihat dia tetap membangkang juga, jadi aku pukul dia.” Jelas lelaki itu.
“Aku tidak bertanya alasanmu,” sahut Nabi saw.
“Aku menanyakan mengapa engkau memukul teman tidurmu dan ibu dari anak-anakmu?”

6) Kemudian Nabi saw bersabda,”Sebaik-baik suami adalah yang paling baik, kasih dan lemah-lembut terhadap isterinya.’ Prihatin, sabar dan tawadlu’nya beliau dalam posisinya sebagai kepala keluarga langsung tidak sedikitpun merubah kedudukannya sebagai pemimpin umat.

7) Pada suatu ketika Nabi saw menjadi imam shalat. Dilihat oleh para sahabat, pergerakan Nabi antara satu rukun ke rukun yang lain agak melambat dan terlihat sukar sekali. Dan mereka mendengar bunyi gemeretak seakan sendi-sendi di tubuh Nabi mulia itu bergeser antara satu dengan yang lain. Lalu Umar ra  tidak tahan melihat keadaan Nabi yang seperti itu langsung bertanya setelah shalat.

‘Ya Rasulullah, kami melihat sepertinya engkau menanggung penderitaan yang amat berat. Sakitkah engkau ya Rasulullah?”
“Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat wal ‘afiat.”
“Ya Rasulullah.. .mengapa setiap kali engkau menggerakkan tubuh, kami mendengar suara gemeretak pada sendi-sendi tulangmu? Kami yakin engkau sedang sakit…” desak Umar penuh cemas.

Akhirnya Rasulullah mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Ternyata perut beliau yang kempis, kelihatan dililit sehelai kain yang berisi batu kerikil, untuk menahan rasa lapar beliau. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi gemeretak setiap kali bergeraknya tubuh beliau.

“Ya Rasulullah! Apakah saat engkau menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kemudian kami tidak akan mengusahakannya buat engkau?’

Lalu Nabi saw menjawab dengan lembut, “Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan ALLAH nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya?’ ‘Biarlah kelaparan ini
sebagai hadiah ALLAH buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.”

8) Nabi saw pernah tanpa rasa canggung sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang dipenuhi kudis, miskin dan kotor.

9) Beliaupun hanya diam dan bersabar ketika kain sorbannya ditarik dengan kasar oleh seorang Arab Badawi hingga berbekas merah di lehernya. Begitupun dengan penuh rasa kehambaan beliau membersihkan tempat yang dikencingi seorang arab Badawi di dalam masjid sebelum beliau tegur dengan lembut perbuatan itu.

10) Kecintaannya yang tinggi terhadap ALLAH swt dan rasa penghambaan yang sudah menghunjam dalam diri Rasulullah saw menolak sama sekali rasa ingin diistimewakan (dipertuan).

11) Seolah-olah anugerah kemuliaan dari ALLAH langsung tidak dijadikan sebab untuknya merasa lebih dari yang lain, ketika di depan keramaian (publik) maupun saat seorang diri.

12) Pintu Syurga terbuka seluas-luasnya untuk Nabi, namun beliau masih tetap berdiri di sepinya malam, terus-menerus beribadah hingga pernah beliau terjatuh lantaran kakinya bengkak-bengkak.

13) Fisiknya sudah tidak mampu menanggung kemauan jiwanya yang tinggi. Bila ditanya oleh ‘Aisyah, ‘Ya Rasulullah, bukankah engaku telah dijamin Syurga? Mengapa engkau masih bersusah payah begini?’ Jawab baginda dengan lembut, ‘Ya ‘Aisyah, bukankah aku ini hanyalah seorang hamba? Sesungguhnya aku ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur.’

آللّهُمَ صَلّیۓِ ۈسَلّمْ عَلۓِ سَيّدنَآ مُحَمّدْ وَ عَلۓِ آلِ سَيّدنَآ مُحَمَّدٍ

PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH FUTUR

Seorang penuntut ilmu tidak boleh futur dalam usahanya untuk memperoleh dan mengamalkan ilmu. Futur yaitu rasa malas, enggan, dan lamban dimana sebelumnya ia rajin, bersungguh-sungguh, dan penuh semangat.

Futur adalah satu penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan aktivitas kebaikan.

Orang yang terkena penyakit futur ini berada pada tiga golongan, yaitu:

1). Golongan yang berhenti sama sekali dari aktivitasnya dengan sebab futur, dan golongan ini banyak sekali.

2). Golongan yang terus dalam kemalasan dan patah semangat, namun tidak sampai berhenti sama sekali dari aktivitasnya, dan golongan ini lebih banyak lagi.

3). Golongan yang kembali pada keadaan semula, dan golongan ini sangat sedikit. [1]

Futur memiliki banyak dan bermacam-macam sebab. Apabila seorang muslim selamat dari sebagiannya, maka sedikit sekali kemungkinan selamat dari yang lainnya. Sebab-sebab ini sebagiannya ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.

Di antara sebab-sebab itu adalah.

1). Hilangnya keikhlasan.
2). Lemahnya ilmu syar’i.
3). Ketergantungan hati kepada dunia dan melupakan akhirat.
4). Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak.
5). Hidup di tengah masyarakat yang rusak.
6). Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dan cita-cita duniawi.
7). Melakukan dosa dan maksiyat serta memakan yang haram.
8). Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah).
9). Lemahnya iman.
10). Menyendiri (tidak mau berjama’ah).
11). Lemahnya pendidikan. [2]

Futur adalah penyakit yang sangat ganas, namun tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan Dia pun menurunkan obatnya. Akan mengetahuinya orang-orang yang mau mengetahuinya, dan tidak akan mengetahuinya orang-orang yang enggan mengetahuinya.

Di antara obat penyakit futur adalah.

1). Memperbaharui keimanan.
Yaitu dengan mentauhidkan Allah dan memohon kepada-Nya agar ditambah keimanan, serta memperbanyak ibadah, menjaga shalat wajib yang lima waktu dengan berjama’ah, mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib, melakukan shalat Tahajjud dan Witir. Begitu juga dengan bersedekah, silaturahmi, birrul walidain, dan selainnya dari amal-amal ketaatan.
2). Merasa selalu diawasi Allah Ta’ala dan banyak berdzikir kepada-Nya.
3). Ikhlas dan takwa.
4). Mensucikan hati (dari kotoran syirik, bid’ah dan maksiyat).
5). Menuntut ilmu, tekun menghadiri pelajaran, majelis taklim, muhadharah ilmiyyah, dan daurah-daurah syar’iyyah.
6). Mengatur waktu dan mengintrospeksi diri.
7). Mencari teman yang baik (shalih).
8). Memperbanyak mengingat kematian dan takut terhadap suul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).
9). Sabar dan belajar untuk sabar.
10). Berdo’a dan memohon pertologan Allah. [3]

PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH PUTUS ASA DALAM MENUNTUT ILMU DAN WASPADA TERHADAP BOSAN

Sebab, bosan adalah penyakit yang mematikan, membunuh cita-cita seseorang sebesar sifat bosan yang ada pada dirinya. Setiap kali orang itu menyerah terhadap kebosanan, maka ilmunya akan semakin berkurang. Terkadang sebagian kita berkata dengan tingkah lakunya, bahkan dengan lisannya, “Saya telah pergi ke banyak majelis ilmu, namun saya tidak bisa mengambil manfaat kecuali sedikit.”

Ingatlah wahai saudaraku, kehadiran Anda dalam majelis ilmu cukup membuat Anda mendapatkan pahala. Bagaimana jika Anda mengumpulkan antara pahala dan manfaat? Oleh karena itu, janganlah putus asa. Ketahuilah, ada beberapa orang yang jika saya ceritakan kisah mereka, maka Anda akan terheran-heran. Di antaranya, pengarang kitab Dzail Thabaqaat al-Hanabilah. Ketika menulis biografi, ia menyebutkan banyak cerita unik beberapa orang ketika mereka menuntut ilmu.

‘Abdurrahman bin an-Nafis -salah seorang ulama madzhab Hanbali- dulunya adalah seorang penyanyi. Ia mempunyai suara yang bagus, lalu ia bertaubat dari kemunkaran ini. Ia pun menuntut ilmu dan ia menghafal kitab al-Haraqi, salah satu kitab madzhab Hanbali yang terkenal. Lihatlah bagaimana keadaannya semula. Ketika ia jujur dalam taubatnya, apa yang ia dapatkan?

Demikian pula dengan ‘Abdullah bin Abil Hasan al-Jubba’i. Dahulunya ia seorang Nashrani. Kelurganya juga Nashrani bahkan ayahnya pendeta orang-orang Nashrani sangat mengagungkan mereka. Akhirnya ia masuk Islam, menghafal Al-Qur-an dan menuntut ilmu. Sebagian orang yang sempat melihatnya berkata, “Ia mempunyai pengaruh dan kemuliaan di kota Baghdad.”

Demikian juga dengan Nashiruddin Ahmad bin ‘Abdis Salam. Dahulu ia adalah seorang penyamun (perampok). Ia menceritakan tentang kisah taubatnya dirinya: Suatu hari ketika tengah menghadang orang yang lewat, ia duduk di bawah pohon kurma atau di bawah pagar kurma. Lalu melihat burung berpindah dari pohon kurma dengan teratur. Ia merasa heran lalu memanjat ke salah satu pohon kurma itu. Ia melihat ular yang sudah buta dan burung tersebut melemparkan makanan untuknya. Ia merasa heran dengan apa yang dilihat, lalu ia pun taubat dari dosanya. Kemudian ia menuntut ilmu dan banyak mendengar dari para ulama. Banyak juga dari mereka yang mendengar pelajarannya.

Inilah sosok-sosok yang dahulunya adalah seorang penyamun, penyanyi dan ada pula yang Nashrani. Walau demikian, mereka menjadi pemuka ulama, sosok mereka diacungi jempol dan amal mereka disebut-sebut setelah mereka meninggal.

Jangan putus asa, berusahalah dengan sungguh-sungguh, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah. Walaupun Anda pada hari ini belum mendapatkan ilmu, maka curahkanlah terus usahamu di hari kedua, ketiga, keempat,.... setahun, dua tahun, dan seterusnya...[4]

Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu syar’i. Menuntut ilmu syar’i tidak bisa kilat atau dikursuskan dalam waktu singkat. Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan kepada Allah agar tetap istiqamah dalam kebenaran.


Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
__________
Foote Notes
[1]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 22).
[2]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 43-71).
[3]. Ibid (hal. 88-119) dengan diringkas.
[4]. Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 278-279

Amalan Mencari Barang Hilang

Assalamualaikum, ustadz..

Ibu saya kehilangan perhiasan di rumah. Saat kehilangan ibu saya tidak ada dirumah.
Ketika itu di rumah hanya ada dua orang dewasa. Kami sudah melakukan pencarian di dalam rumah, tetapi perhiasan itu tidak ada.

Untuk menghindari su'uzhon, saya bertanya kepada ustadz, adakah tata cara/amalan yang bisa dilakukan dalam Islam untuk mencari barang yang hilang/menemukan pelaku pencurian?
syukron, ustadz, wassalam..
sfn

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Doa yang bisa dilakukan oleh seseorang yang kehilangan sesuatu darinya adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Abi Syaibah di dalam Mushannif nya dan Ath-Thabrani dari hadits Ibnu Umar yang maknanya adalah barangsiapa yang kehilaangan sesuatu maka hendaklah dirinya berwudhu, shalat dua rakaat, tasyahhud lalu mengucapkan :

بِسمِ اللهِ يَا هَادِي الضَّلاَل وَرَادَّ الضَّالَّةِ اردُد عَلَيَّ ضَالَتِي بِعِزَّتِكَ وَسُلطَانِكَ فَإِنَّهَا مِن عَطَائِكَ وَفَضلِكَ"

Bismillah Yaa Hadii adh Dhalal wa Roodda adh Dhaalah Urdud ‘alayya Dhalatiy bi ‘Izzatika wa Sulthanika Fa Innaha min Athaaika wa Fadhlika (Dengan nama Allah, Wahai Yang Menunjuki yang tersesat dan Yang Mengembalikan yang hilang (maka) kembalikanlah kepadaku (sesuatu) yang hilang (dari) ku dengan keagungan-Mu dan kekuasaan-Mu. Sesungguhnya ia (sesuatu) itu adalah pemberian-Mu dan karunia-Mu).”

Al Hakim mengatakan bahwa para perawinya adalah orang-orang yang bisa dipercaya (mautsuq) dari orang-orang Madinah dan tak satu pun dari mereka cacat. (Markaz al Fatwa No. 6815)

Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo, Lc. al-Hafidz
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hukum-mencari-barang-hilang.htm 

Fiqih Jamak dan Qashar

Pertanyaan:
Assalamu'alaikum .........
Apakah syarat sholat jamak dan qashar?ada teman saya yg sholat jama terus di Malang alasannya musafir,dia dari jawa tengah kuliah di Malang. (Dari Juvefans)
 
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man walah, wa ba’du:

Jamak Shalat

Menjamak Shalat ketika bepergian adalah boleh menurut jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ                                                                             
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا
               
Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia mengadakan perjalanan sebelum matahari tergelincir (meninggi), maka dia akan akhirkan shalat zhuhur pada waktu Ashar, lalu dia turun dan menjamak keduanya.” [1]

                Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
الجمع بين الصلاتين في السفر في وقت إحداهما جائز في قول أكثر أهل العلم لا فرق بين كونه نازلا أو سائرا.
“Menjamak dua shalat dalam perjalanan, pada waktu  salah satu dari dua shalat itu, adalah boleh menurut mayoritas para ulama, sama saja baik ketika dalam perjalanannya atau ketika turun (berhenti).”  [2]

                Sebenarnya masyaqqat (kepayahan, kesempitan, kesulitan) yang membuat dibolehkannya jamak, bukan hanya perjalanan, melainkan juga hujan, sakit, dan keperluan yang mendesak.

Jamak ketika hujan

                Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
روى الاثرم في سننه عن أبي سلمة ابن عبد الرحمن أنه قال: من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء. وروى البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بين المغرب والعشاء في ليلة مطيرة.     
“Al Atsram meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa dia berkata: “Termasuk sunah jika turun hujan menjamak antara Maghrib dan Isya’.” Bukhari telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjamak antara maghrib dan isya’ pada malam hujan.” [3]
 
Jamak ketika Sakit

                Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
الجمع بسبب المرض أو العذر: ذهب الامام أحمد والقاضي حسين والخطابي والمتولي من الشافعية إلى جواز الجمع تقديما وتأخيرا بعذر المرض لان المشقة فيه أشد من المطر. قال النووي: وهو قوي في الدليل.
               
Menjamak Shalat lantaran sakit atau udzur, menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al Khathabi, dan Mutawalli dari golongan Syafi’iyyah, adalah boleh baik secara taqdim atau ta’khir, sebab kesulitan lantaran sakit adalah lebih berat dibanding hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan Alasan hal itu  kuat.” [4]

Jamak karena adanya keperluan (kesibukan)

                Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَئِمَّة إِلَى جَوَاز الْجَمْع فِي الْحَضَر لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لَا يَتَّخِذهُ عَادَة ، وَهُوَ قَوْل اِبْن سِيرِينَ وَأَشْهَب مِنْ أَصْحَاب مَالِك ، وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنْ الْقَفَّال وَالشَّاشِيّ الْكَبِير مِنْ أَصْحَاب الشَّافِعِيّ عَنْ أَبِي إِسْحَاق الْمَرْوَزِيِّ عَنْ جَمَاعَة مِنْ أَصْحَاب الْحَدِيث ، وَاخْتَارَهُ اِبْن الْمُنْذِر وَيُؤَيِّدهُ ظَاهِر قَوْل اِبْن عَبَّاس : أَرَادَ أَلَّا يُحْرِج أُمَّته ، فَلَمْ يُعَلِّلهُ بِمَرَضٍ وَلَا غَيْره وَاللَّهُ أَعْلَم .
                “Sekelompok para imam, membolehkan jamak ketika tidak bepergian apabila ia memiliki keperluan, namun hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Demikianlah pendapat dari Ibnu Sirin, Asyhab dari golongan Malikiyah. Al Khathabi menceritakan dari Al Qaffal dan Asy Syasyil kabir dari madzhab Syafi’i, dari Abu Ishaq al Marwazi dan dari jamaah ahli hadits. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, yang didukung oleh zhahir ucapan Ibnu Abbas, bahwa yang dikehendaki dari jamak adalah ‘agar umatnya keluar dari kesulitan.’ Karena itu, tidak jelaskan alasan jamak, apakah karena sakit atau yang lainnya. Wallahu A’lam.” [5]

Hal ini berdasarkan riwayat berikut, dan  inilah hadits yang yang dijadikan hujjah oleh Imam An Nawawi di atas.
 عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ
                Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menjamak antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah, pada hari saat tidak ketakutan dan tidak hujan.”    [6]

                Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menambahkan:
قال ابن تيمية: وأوسع المذاهب في الجمع مذهب أحمد فإنه جوز الجمع إذا كان شغل كما روى النسائي ذلك مرفوعا إلى النبي صلى الله عليه وسلم إلى أن قال: يجوز الجمع أيضا للطباخ والخباز ونحوهما ممن يخشى فساد ماله.
“Berkata Ibnu Taimiyah: “Madzhab yang paling luas dalam masalah jamak adalah madzhab Imam Ahmad, dia membolehkan jamak karena kesibukkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam An  Nasa’i[7] secara marfu’ (sampai)  kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai-sampai dibolehkan jamak juga bagi juru masak dan pembuat roti dan semisalnya, dan juga orang yang ketakutan hartanya menjadi rusak.” [8]

Bahkan dibolehkan pula menjamak, karena sedang menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu. Ini berdasarkan riwayat Imam Muslim berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ يَوْمًا بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى غَرَبَتْ الشَّمْسُ وَبَدَتْ النُّجُومُ وَجَعَلَ النَّاسُ يَقُولُونَ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ قَالَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ لَا يَفْتُرُ وَلَا يَنْثَنِي الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ
فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَتُعَلِّمُنِي بِالسُّنَّةِ لَا أُمَّ لَكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيقٍ فَحَاكَ فِي صَدْرِي مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ فَأَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَسَأَلْتُهُ فَصَدَّقَ مَقَالَتَهُ

Dari Abdullah bin Syaqiq, dia berkata: Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami, pada hari setelah ‘ashar sampai matahari terbenam, hingga nampak bintang-bintang, sehingga manusia berteriak: “shalat .. shalat ..!” Lalu datang laki-laki dari Bani Tamim yang tidak hentinya berteriak: shalat.. shalat!. Maka Ibnu Abbas berkata: “Apa-apaan kamu, apakah kamu hendak mengajari saya sunah?”, lalu dia berkata: “Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menjamak antara zhuhur dan ashar, serta maghrib dan isya.” Berkata Abdullah bin Syaqiq: “Masih terngiang dalam dada saya hal itu, maka aku datang kepada Abu Hurairah, aku tanyakan dia tentang hal itu, dia membenarkan keterangan Ibnu ‘Abbas tersebut.” [9] 

Demikian. Wallahu A’lam.

Qashar (meringkas shalat) 

Shalat Qashar (meringkas empat rakaat menjadi dua) adalah sedekah yang diberikan Allah Ta’ala kepada umat Islam. (HR. Jamaah). Mayoritas ulama menyatakan bahwa qashar lebih utama dilakukan dibanding shalat dengan sempurna (empat rakaat) jika syarat untuk mengqashar sudah terpenuhi. Karena qashar merupakan rukhshah (keringanan) yang Allah Ta’ala berikan kepada hambaNya, dan Dia senang jika keringanannya itu kita laksanakan. Sebagaimana hadits yang berbunyi:

Dari Ibnu  Umar Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan)nya dilaksanakan, sebagaimana ia benci jika maksiat dikerjakan.” [10]

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, “Sesungguhnya Rasulullah jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa.” [11]

Allah Ta’ala berfirman:
“Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat ...” (QS. An Nisa’: 101)

Menurut ayat di atas, jelas sekali bahwa qashar disyariatkan jika dalam bepergian, atau sudah bertolak dari tempatnya berasal, alias sudah keluar dari kotanya. Adapun jika masih ditempat kediamannya, belum boleh dilakukan qashar. Berkata Imam Ibnul Mundzir, “Aku tidak menemukan sebuah keterangan pun bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengqashar dalam bepergian, kecuali setelah keluar dari Madinah.”
 
Ketika bepergian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu qashar, tidak ada keterangan yang kuat yang menyebutkan bahwa beliau shalat empat rakaat jika bepergian. Karena itu, tidak sedikit para sahabat Nabi yang menyatakan bahwa qashar hukumnya wajib. Mereka yang berpendapat wajib adalah Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin Abdullah. Kalangan madzhab Hanafi menguatkan pendapat ini. Adapun kalangan Maliki mengatakan bahwa qashar adalah sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan), bahkan menurut mereka lebih utama dibanding shalat berjamaah. Makruh hukumnya shalat secara sempurna. Sedangkan kalangan Hambali mengatakan qashar itu mubah (boleh) tetapi lebih utama dibanding shalat sempurna. Demikian juga pendapat kalangan Syafi’i. Ini semua jika sudah pada jarak dibolehkannya qashar. 

Imam Ibnul Mundzir dan lainnya menyebutkan bahwa ada dua puluh pendapat tentang jarak dibolehkannya qashar.  Perbedaan ini terjadi karena memang tak ada satupun hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang menyebutkan jarak. Berkata Syaikh  Sayyid Sabiq Rahimahullah, “Tidak ada sebuah hadits pun yang menyebutkan jarak jauh atau dekatnya bepergian itu.” [12]

Namun, di antara hadits-hadits tersebut ada yang paling kuat -di antara yang lemah- yang menyebutkan jarak, yakni:

Yahya bin Yazid bertanya kepada Anas bin Malik mengenai mengqashar shalat. Ia menjawab,”Rasulullah mengerjakan shalat dua rakaat (qashar) jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau satu farsakh.” [13]

Satu farsakh adalah 5.541 Meter, satu mil adalah 1.748 meter. Bahkan Imam Ibnu Abi Syaibah  meriwayatkan dengan sanad yang shahih, dari Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa jarak minimal mengqashar shalat adalah satu mil! Jika kurang dari itu maka tidak boleh qashar. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm. 

Namun, jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa jarak dibolehkannya qashar adalah empat burd yakni 16 farsakh (88,656 Km). Inilah pandangan Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, dan pengikut ketiga imam ini. Alasannya adalah perbuatan sahabat, yakni  Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat dan berbuka puasa jika jarak tempuh sudah empat burd (16 farsakh = 88,656 Km).

Nah, bagaimanakah yang benar melihat berbagai riwayat  yang saling bertentangan ini? Imam Abul Qasim Al Kharqi memberikan jawaban di dalam kitab Al Mughni, “Aku tidak menemukan alasan (yang bisa diterima) yang dikemukan oleh para imam itu. Sebab, keterangan dari para sahabat Nabi juga saling bertentangan sehingga tidak dapat dijadikan dalil. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berbeda dengan dalil yang digunakan oleh kawan-kawan kami (para ulama).  Kemudian, seandainya belum ditemukan dalil yang kuat, maka ucapan mereka (para sahabat) tidak bisa dijadikan dalil jika bertentangan dengan sabda dan perilaku Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan demikian ukuran jarak yang mereka tetapkan tidaklah bisa diterima, disebabkan dua hal berikut:

Pertama, bertentangan dengan sunah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana yang telah dijelaskan. Kedua, teks ayat firman Allah Ta’ala yang membolehkan qashar shalat bagi orang yang dalam perjalanan: “Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat ...” (QS. An Nisa’: 101)

Syarat karena adanya rasa takut dengan orang kafir ketika bepergian, sudah dihapuskan dengan keterangan hadits Ya’la bin Umayyah. Dengan demikian, teks ayat ini bermakna  mencakupi seluruh macam jenis bepergian.” [14]

Kesimpulannya, qashar dapat dilakukan jika,1. sudah keluar dari daerahnya, 2. lalu dengan jarak yang sudah layak, patut, dan pantas disebut sebagai perjalanan (safar). Mengingat dalil-dalil yang ada satu sama lain saling bertentangan. Inilah pandangan para Imam Muhaqiqin (peneliti) seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Asy Syaukani,  Asy Syaikh Sayyid Sabiq, juga Ustadz Ahmad Hasan dan lainnya. 3. Perjalanannya bukan perjalanan maksiat.

Tenggang Waktu Dibolehkannya Qashar

                Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat. Namun, kita akan lihat dalil yang kuat yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat, dan itulah pandangan yang seharusnya kita pilih.

                Dalam Musnadnya Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallami bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dan beliau senantiasa mengqashar shalatnya.[15]

                Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bermukim dalam salah satu perjalanan selama sembilan belas hari dan selalu mengerjakan shalat dua rakaat.” [16]

                Hafsh bin Ubaidillah mengatakan bahwa Anas bin Malik bermukim di Syam selama dua tahun dan terus mengerjakan qashar sebagaimana shalatnya musafir.

                Menurut Anas bin Malik, para sahabat Nabi bermukim di daerah Ramhurmuz selama tujuh bulan dan tetap mengqashar shalat.

                Berkata Al Hasan, “Aku pernah bermukim bersama Adurrahman bin Samurah di kota Kabul selama dua tahun, dan dia terus mengqashar shalatnya.”

                Ibrahim juga pernah mengatakan bahwa para sahabat pernah bermukim di Ray selama satu tahun atau lebih dan di Sijistan selama dua tahun, tetap mengqashar shalat. 

                Ibnu Umar  pernah tinggal di Azarbaijan selama enam bulan dan tetap mengqahar sebab terhalang oleh salju. 

                Adapun pendapat para Imam, seperti Imam Said bin al Musayyib, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, yang membatasi paling lama adalah empat hari, tidak memiliki dasar yang kuat. Begitu pula pendapat Imam Abu Hanifah yang menyebutkan lima belas  hari saja, dan ikuti oleh Imam Laits bin Saad.

                Berkata Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah tentang bermukimnya Nabi selama dua puluh hari di Tabuk, bahwa hal tersebut kebetulan saja, artinya jika masa perang Tabuk lebih panjang dari itu, ia akan tetap mengqasharnya. Katanya, “Bermukim (singgah) dalam bepergian tidak dapat dianggap sudah keluar dari hukum bepergian, baik singgahnya lama atau sebentar, dengan syarat ia tidak bermaksud menetap di sana sebagai penduduk.”  

                Berkata Syaikh Sayyid Sabiq, “Seorang musafir itu boleh terus mengqashar shalatnya selama ia masih dalam bepergian. Jika ia bermukim (singgah) karena ada keperluan yang harus diselesaikannya, ia tetap boleh mengqashar sebab masih terhitung dalam bepergian, walau bermukimnya selama bertahun-tahun lamanya.”

                Imam Ibnul Mundzir berkata dalam penelitiannya bahwa para ulama ijma’ (sepakat) bahwa seorang musafir diperbolehkan tetap qashar selama ia tidak bermaksud akan terus menetap di suatu tempat, walau singgahnya itu selama bertahun-tahun. [17]

                Inilah pandangan yang sangat kuat berdasarkan dalil yang kuat pula, baik perilaku Rasulullah dan para sahabat,  beserta pemikiran yang cerdas dari para ulama peneliti seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnul Mundzir, Syaikh Sayyid Sabiq,dan lain-lain.

Sekian. Wallahu A’lam 


[1] HR. Bukhari No. 1111. Muslim No. 804
[2] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz.1, Hal. 289.

[3] Ibid, Hal. 290
[4] Ibid, Juz. 1, Hal. 291.
[5] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Juz.3, Hal. 17
[6] HR. Muslim No. 705.
[7] Dia adalah Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Bahr. Lahir di kota Nasa di daerah Khurasan tahun 215 H, namun dia lebih memilih Mesir untuk tempatnya mengajar.  Dia seorang muhaddits (ahli hadits) cerdas, wara’, dan  Al Hafizh (bahkan sebagian orang ada yang menilainya lebih hafizh dibanding Imam Muslim). Beliau dikenal sangat ketat dalam mengkritik para perawi hadits, sehingga jika ada seserang yang dinilainya dhaif, maka ulama lain tidak terima begitu saja. Karyanya yang terkenal adalah As Sunan Al Kubra (dikenal dengan Sunan An Nasa’i), dan Al Mujtaba’ merupakan seleksi hadits-hadits shahih dari kitab As Sunan Al Kubra). Beliau berguru kepada banyak ulama, di antaranya Qutaibah bin Said, Ishaq bin Rahawaih, Hisyam bin Ammar, Muhammad bin Nashr Al Marwazi, dan lainnya. Muruid-muridnya yang terkenal adalah Abu Ja’far Ath Thahawi, Abu Awwanah, Abu Ja’far Al ‘Uqaili, Abu Ali An Naisaburi, dan lainnya. Wafat di Palestina (di Ramallah) 13 Shafar 302H (ada juga yang menyebut wafat di Mekkah Sya’ban 303H, namun yang benar adalah yang pertama)

[8] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 291. Dar Al Kitab Al ‘Arabi
[9] HR. Muslim No. 705
[10] HR. Ahmad No. 5866, 5873. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5201, Ibnu Hibban No. 545 – Mawarid Azh Zham’an. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 5866), ada pun yang No.5873 kayanya: hasan.  Imam Al Haitsami mengatakan: “diriwayatkan oleh Ahmad, para perawinya adalah perawi shahih, dan juga oleh Al Bazzar dan Ath Thabarani dalam Al Awsath, sanadnya hasan. (Majma’ Az Zawaid, 3/162)
[11] HR. Bukhari dan Muslim, Al Lu’lu wal Marjan. Kitab al Fadhail, Bab Muba’adatuhu Shallallahu ‘alaihi wa Sallam  lil Atsam …,no. 1502. Darul Fikri. Beirut- Libanon
[12] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid I, hal. 239. Darul Fikri, Beirut - Libanon
[13] HR. Muslim No. 691.  Ahmad  No. 12335.   Abu Daud No. 1201,   Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5231.  Abu Ya’la No. 4198. Shahih Ibnu Hibban, Juz. 11, Hal. 470, no. 2800, Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 2368. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 8207
[14] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid I, hal. 240.

[15] HR.  Ahmad  No. 14172.  Abu Daud No. 1235.  Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5260, Abdu bin Humaid dalam Musnadnya No. 1139, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 4335. Ibnu Hibban No. 546, Mawarid Azh Zham’an. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat Bukhari Muslim. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 14172)
[16] HR. Bukhari No. 1080. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5244
[17] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jild I, hal. 243. Dar Al Kitab Al ‘Arabi

Dahsyatnya Hari Kiamat


Hari akhir adalah hari Kiamat, di mana seluruh manusia dibangkitkan pada hari itu untuk dihisab da dibalas. Hari itu disebut hari Akhir, karena tidak ada hari lagi setelahnya. Pada hari itulah penghuni Surga dan penghuni Neraka masing-masing menetap di tempatnya.
Iman kepada hari Akhir mengandung tiga unsur. (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)
[1]. Mengimani ba'ts (kebangkitan), yaitu menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati ketika tiupan sangkakala yang kedua kali. Pada waktu itu semua manusia bangkit untuk menghadap Rabb alam semesta dengan tidak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak disunat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya".[Al-Anbiyaa : 104]

[2]. Mengimani hisab (perhitungan) dan jaza' (pembalasan) dengan meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Hal ini dipaparkan dengan jelas di dalam Al-Qur'an, Sunnah dan ijma (kesepakatan) umat Islam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Artinya : Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka". [Al-Ghasyiyah : 25-26]
"Artinya : Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya ; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi balasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)". [Al-An'am : 160]
[3]. Mengimani Surga dan Neraka sebagai tempat manusia yang abadi. Surga tempat kenikmatan yang disediakan Allah untuk orang-orang mukmin yang bertaqwa, yang mengimani apa-apa yang harus diimani, yang taat kepada Allah dan rasulNya, dan kepada orang-orang yang ikhlas.
Di dalam Surga terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, serta tidak terlintas dalam benak manusia.
"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya". [Al-Bayyinnah : 7-8]
Tanda-tanda kiamat adalah alamat kiamat yang menunjukkan akan terjadinya kiamat tersebut. Dan tanda-tanda kiamat ada dua: tanda-tanda kiamat besar dan tanda-tanda kiamat kecil.
Tanda kiamat kecil adalah tanda yang datang sebelum kiamat dengan waktu yang relatif lama, dan kejadiannya biasa, seperti dicabutnya ilmu, dominannya kebodohan, minum khamr, berlomba-lomba dalam membangun, dan lain-lain. Terkadang sebagiannya muncul menyertai tanda kiamat besar atau bahkan sesudahnya.
Tanda kiamat besar adalah perkara yang besar yang muncul mendekati kiamat yang kemunculannya tidak biasa terjadi, seperti muncul Dajjal, Nabi Isa a.s., Ya’juj dan Ma’juj, terbit matahari dari Barat, dan lain-lain.
Para ulama berbeda pendapat tentang permulaan yang muncul dari tanda kiamat besar. Tetapi Ibnu Hajar berkata, “Yang kuat dari sejumlah berita tanda-tanda kiamat, bahwa keluarnya Dajjal adalah awal dari tanda-tanda kiamat besar, dengan terjadinya perubahan secara menyeluruh di muka bumi. Dan diakhiri dengan wafatnya Isa a.s. Sedangkan terbitnya matahari dari Barat adalah awal dari tanda-tanda kiamat besar yang mengakibatkan perubahan kondisi langit. Dan berakhir dengan terjadinya kiamat.” Ibnu Hajar melanjutkan, ”Hikmah dari kejadian ini bahwa ketika terbit matahari dari barat, maka tertutuplah pintu taubat.” (Fathul Bari)