Website Para Ustadz


website_para_ustadz_recommendedPara pengunjung rumaysho.com yang semoga selalu dirahmati oleh Allah, berikut kami sajikan beberapa website dan blog dari para ustadz dan teman dekat kami yang bisa dijadikan rujukan belajar Islam dan bertanya mendalam tentang Islam. Jika para pengunjung memiliki info tambahan website lainnya, silakan beri masukan lewat kolom komentar.



  1. Ustadz-Ustadz Universitas Islam Madinah (http://serambimadinah.com/)
  2. Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA (http://dzikra.com)
  3. Ustadz Abdullah Taslim, MA (http://manisnyaiman.com)
  4. Ustadz Firanda Andirja, MA. (http://firanda.com/)
  5. Ustadz Abdullah Zaen, MA (http://tunasilmu.com)
  6. Ustadz Abdullah Roy, MA. (http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/)
  7. Ustadz Aris Munandar, MA (http://ustadzaris.com/) [Guru favourit dalam belajar Islam]
  8. Ustadz Muhammad Wasitho, MA (http://www.abufawaz.wordpress.com/)
  9. Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc. (http://cintasunnah.com)
  10. Ustadz Abu Hudzaifah, Lc. (http://basweidan.wordpress.com/)
  11. Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc [Dammam - KSA] (http://www.dakwahsunnah.com/)
  12. Ustadz Zainal Abidin, Lc. (http://www.zainalabidin.org/)
  13. Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. (http://www.ustadzkholid.com/)
  14. Ustadz Ahmad Faiz Asifuddin, Lc (http://ustadzfaiz.com)
  15. Ustadz Musyaffa Ad Darini, Lc. (http://addariny.wordpress.com/)
  16. Ustadz Abu Zubair, Lc. (http://abuzubair.net/)
  17. Ustadz Ahmad Sabiq, Lc (http://ahmadsabiq.com/)
  18. Ustadz Sa’id Yai Ardiyansyah, Lc. (http://kajiansaid.wordpress.com/)
  19. Ustadz Abu Ihsan Al Atsari (http://abuihsan.com/)
  20. Ustadz Abdullah Shaleh Hadrami (http://kajianislam.net)
  21. Ustadz Fariq Gasim (http://fariqgasimanuz.wordpress.com)
  22. Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi (http://abiubaidah.com/)
  23. Ustadz Muslim Al Atsari (http://ustadzmuslim.com)
  24. Ustadz Marwan Abu Dihyah (http://abu0dihyah.wordpress.com)
  25. Ustadz Abu Ali, ST.,MEng.,Phd. (http://noorakhmad.blogspot.com/)
  26. Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi, SSi. (http://abumushlih.com/)
  27. Ustadz Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST (http://ikhwanmuslim.com)
  28. Ustadz Abul Jauzaa (http://abul-jauzaa.blogspot.com)
  29. Ustadz Abu Salma (http://abusalma.wordpress.com/)
  30. Ustadz Yulian Purnama (http://kangaswad.wordpress.com)
  31. Ustadz dr. Muhaimin Ashuri (http://attaubah.com)
  32. Ustadz Didik Suyadi (http://abukarimah.wordpress.com)
  33. Ustadz Abu Khaleed Resa Gunarsa (http://sabilulilmi.wordpress.com) [Sahabat dekat kami dalam tholabul 'ilmi di Riyadh]
  34. Ustadz Dzulqarnain (http://dzulqarnain.net) [Ustadz favorit kami di Indonesia dan ingin seperti beliau]
  35. Ustadz Abdul Malik, sopir pribadi Syaikh Sholih Al Fauzan (http://abdoelmalik.com)

Sumber: Muslim.Or.Id, serta hasil searching-an lainnya
Semoga Allah selalu memberkahi ilmu yang bermanfaat.
http://rumaysho.com/pusat-informasi/website-islam/2750-situs-para-ustadz-rujukan-bertanya-tentang-islam.html

Habiskan Kesedihan dan AirMata di Dunia

Engkau memiliki air mata yang terbatas. Jika air matamu tidak tumpah didunia, maka ia akan tumpah di akherat. Engkau memiliki gudang kesedihan. Jika engkau habiskan di dunia, maka kesedihan akan terhapus dalam ingatanmu di akherat. Dan engkau akan besama orang orang yang tidak sedih dalam menghadapi goncangan yang dasyat. Oleh karena itu, bayarlah harga seluruhnya pada hari ini, karena di sana tidak ada lagi kesempatan tawar menawar.

Habiskan semua air mata dan kesedihan di dunia dengan bekal Dzikrullah…

Bagimana cara berdzikirnya,  Ibnu Qayyim berkata, “Pada suatu hari aku berkata kepada Ibnu Taimiyah,” Ada seorang alim yang bertanya, mana yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba, tasbih (Subhanallah) atau Istighfar? Ibnu Taimiyah menjawab , “Jika baju yang sudah bersih, maka kapur barus dan air bunga mawar lebih bermanfaat baginya; jika baju kotor, maka sabun dan air panas lebih bermanfaat baginya.’ Kemudian ia berkata kepadaku, “Namun bagaimana dengan baju baju yang selalu kotor?”

Abdullah ibnu Umar berkata, “Aku menangis karena takut kepada Allah lebih aku sukai daripada aku bersedekah seribu dinar.”

Abul Faraj ibn Jauzi berkata,” Setetes air mata dipipi lebih bermanfaat daripada seribu tetes air hujan di bumi.”

http://www.eramuslim.com/peradaban/bercermin-salaf/habiskan-kesedihan-dan-airmata-di-dunia.htm#.UQFShP_T_5Y

Bid'ah Bukan Dalam Urusan Dunia


Dikit-dikit dibilang bid’ah, dikit-dikit bid’ah? mau baca surat Yasin tiap malam Jumat dibilang bid’ah, mau dzikir 7777 kali tiap malam Rabu Pahing dibilang bid’ah, ini bid’ah, itu bid’ah. Kalo begitu pergi haji pake unta aja kayak zaman Nabi, pesawat kan ga ada di zaman Nabi, itu bid’ah pakai pesawat…”

Komentar di atas adalah komentar orang yang belum mengerti hakikat bid’ah. Padahal memahami bid’ah sama pentingnya dengan memahami sunnah, sebagaimana pentingnya memahami syirik lawan dari tauhid.

Pengertian bid’ah secara ringkas

Sebelumnya ada baiknya kita mengetahui apa itu bid’ah. Sebenarnya untuk lebih memahami bid’ah maka butuh pemahasan yang agak panjang dengan berbagai jenis dan macam serta kaidah-kaidahnya. Akan tetapi kami bawakan pejelasan ringkasnya agar lebih memahami judul dari tulisan ini.
Bid’ah secara ringkas adalah:

Pakar Bahasa Al-Fairuz Abadi rahimahullah berkata mengenai pengertian bid’ah,

الحدث في الدين بعد الإكمال
Suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna “1
atau
ما أحدث في الدين من غير دليل
Sesuatu yang baru (dibuat-buat) dalam masalah agama tanpa adanya dalil.2

Dan pengertian yang cukup lengkap sebagaimana dijelaskan Ast-Syathibi dalam kitab Al-I’tisham (kitab yang membahas seluk-beluk bid’ah). Beliau menjelaskan bid’ah adalah:

طريقة في الدين مخترعة، تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه
“Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah .”

Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi). Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah

طريقة في الدين مخترعة، تضاهي الشرعية، يقصد بالسلوك عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية
Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah).3

Bid’ah adalah dalam urusan agama saja

Dari berbagai penjelasan ulama mengenai pengertian bid’ah, sudah jelas bahwa bid’ah adalah dalam urusan agama bukan urusan dunia.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْأَحْدَثَفِىأَمْرِنَاهَذَامَالَيْسَمِنْهُفَهُوَرَدٌّ
Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”4

Demikian juga penjelasan ulama yang lain.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata mengenai bid’ah,

مَنْاِخْتَرَعَفِيالدِّينمَالَايَشْهَدلَهُأَصْلمِنْأُصُولهفَلَايُلْتَفَتإِلَيْهِ
Siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama lalu tidak didukung oleh dalil, maka ia tidak perlu ditoleh.”5

Beliau juga berkata,

أصلهاماأحدثعلىغيرمثالسابق،وتطلقفيالشرعفيمقابلالسنّةفتكونمذمومة
(Bid’ah) Asalnya adalah apa-apa yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya dan dimutlakkan dalam syariat (agama) yang menyelisihi sunnah sehingga menjadi tercela.”6

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata mengenai bid’ah,

فكلُّمنأحدثشيئاً،ونسبهإلىالدِّين،ولميكنلهأصلٌمنالدِّينيرجعإليه،فهوضلالةٌ،والدِّينُبريءٌمنه،وسواءٌفيذلكمسائلُالاعتقادات،أوالأعمال،أوالأقوالالظاهرةوالباطنة.
Setiap yang dibuat-buat lalu disandarkan pada agama dan tidak memiliki dasar dalam Islam, itu termasuk kesesatan. Islam berlepas diri dari ajaran seperti itu termasuk dalam hal i’tiqad (keyakinan), amalan, perkataan yang lahir dan batin.”7

Bid’ah bukan dalam urusan dunia

Mereka yang tidak paham mungkin rancu dengan istilah bid’ah secara bahasa. Secara bahasa bid’ah adalah segala sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya. Jadi pesawat, HP dan laptop di zaman ini adalah bid’ah secara bahasa, bukan pengertian bid’ah dalam syariat.

Pengertian bid’ah secara bahasa adalah:
أنشأه على غير مِثَال سَابق
Membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. 8
Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
بَدِيعُالسَّمَاوَاتِوَالْأَرْضِ
Allah Pencipta (Badii’) langit dan bumi.” ( Al Baqarah: 117)

Yaitu mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman-Nya,
قُلْمَاكُنْتُبِدْعًامِنَالرُّسُلِ
Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” (Al Ahqaf: 9)

Muhammad Al-Ruwaifi’ Al-Irfiqiy menjelaskan,
أي ما كنت أول من أرسل، قد أرسل قبلي رسل كثير
Maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus, sesungguhnya telah diutus sebelumku banyak rasul.”9

Jadi jelaslah bahwa pergi haji dengan naik pesawat bukanlah hal bid’ah dalam agama sebagimana pengertian bid’ah secara syariat. Akan tetapi pesawat adalah bid’ah dalam bahasa (penemuan baru yang tidak ada contoh sebelumnya). Dan macam-macam transportasi adalah masalah dunia. Begitu juga dengan perkara dunia yang lainnya.

Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Perpus FK UGM, 7 Rabi’ul Awwal 1434 H

Penulis: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslim.or.id
1 Al-Qamus Al-Muhith hal. 702, Mu’assasah Risalah, Beirut, cet. VIII, 1426 H, Syamilah
2 Qawa’id Ma’rifatil Bida’ hal. 8, syamilah
3 AI-I’tisham hal 51-52, Dar Ibnu Affan, Saudi, cet. I, 1412 H, Syamilah
4 HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718
5 Fathul Bari 5/302, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, syamilah
6 Fathul Bari 4/532, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, syamilah
7 Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam 2/128, Mu’assasah Risalah, Beirut, cet. VII, 1422 H, syamilah
8 Al-Mu’jam Al-Wasith, 1/43, Majma’ Al Lugah Al ‘Arabiyah, Darud Dakwah, Syamilah
9 Lisanul Arab 8/6, Dar Shadir, Beirut, cet. III, 1414 H, Syamilah

Merasa Yang Lain Lebih Mulia Dari Diri Sendiri

Ibnu Hajar berkata, “Tawadhu’ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fathul Bari, 11: 341). Berikut kita akan melihat perkataan seorang tabi’in yang alim nan mulia, Al Fudhail bin ‘Iyadh mengenai sifat tawadhu’ (rendah hati).

Fudhail bin ‘Iyadh ditanya mengenai tawadhu’. Beliau menjawab, “Yang namanya tawadhu’ adalah tunduk pada kebenaran dan menerima kebenaran tersebut dari siapa pun.” Fudhail mengatakan pula,

“Seandainya aku mendengar suatu kebenaran dari anak kecil, maka aku akan menerimanya. Begitu pula ketika aku mendengarnya dari orang yang bodoh, aku akan menerimanya.”

Ada yang mengatakan pula bahwa tawadhu’ adalah engkau menilai dirimu tidak ada apa-apanya. Siapa yang melihat dirinya begitu istimewa, maka tidak ada bagian tawadhu’ pada dirinya. (Dinukil dari kitab Sholahul Ummah fii ‘Uluwil Himmah, Dr. Sayyid bin Husain Al ‘Affani, 5: 449)

Inilah pendapat Al Fudhail bin ‘Iyadh mengenai sifat tawadhu’. Semoga Allah memupuk pada diri kita sifat yang mulia ini.

Wallahu waliyyut taufiq.

http://rumaysho.com/belajar-islam/akhlak/4171-merasa-yang-lain-lebih-mulia-dari-diri-sendiri.html

Begini Adab Bertamu Sesuai Tuntunan Nabi



Maksud daripada meminta izin adalah, meminta izin untuk memasuki area yang tidak dimiliki oleh orang yang meminta izin tersebut. Boleh juga dikatakan, bahwa meminta izin karena khawatir terlihatnya aurat sipemilik rumah.

Kebanyakan orang tidak mengetahui bagaimana etika seorang tamu terhadap penerimanya dan penerima tamu kepada tamunya, apakah hanya sebatas ketok pintu dan salam saja? Dalam Islam etika dan adab dalam bertamu telah dibahas, pembahasan ini terdapat dalam kitab Hadits dan Fiqih, seperti Imam Muslim membuat satu bab dalam kitab Shahihnya yang berjudul Bab Dhiyafah wa Nahwiha dan dalam kitab al-Umm dan al-Majmu’ dalam fiqih Syafi’i. Pada kesempatan ini akan kami bahas adab-adab bertamu sesuai tuntunan Rasulullah SAW, baik dengan selain mahram, maupun dengan mahram sendiri, yang disebut dengan isti’dzaanul khariji dan isti’dzaanul dakhili.

Isti’dzaanul Kharij

Maksud daripada isti’dzaanul khariji, yaitu meminta izin yang berlaku diantara sesama orang yang bukan mahram. Hukumnya adalah wajib. Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat.” [ QS. An-Nuur : 27 ].

Maksud dari kata “janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu” menunjukkan larangan masuk rumah tanpa izin. Oleh karena itu seharusnya ia memberitahu kepada sipemilik rumah dengan dimintai izin terlebih dahulu.

Kemudian maksud dari kalimat “sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya” menunjukkan bukti bahwa meminta izin itu hukumnya wajib.

Adab Minta Izin Khariji

Pertama: Berdiri didepan pintu. Sebagaimana dalam hadits Sa’ad bin Ubadah ra, ia berkata, “Seorang lelaki datang berkunjung kepada Nabi SAW , lalu ia berdiri didepan pintu beliau sambil meminta izin, lantas Nabi SAW bersabda: “Beginilah kamu seharusnya, sebab permintaan izin itu diperintahkan untuk menjaga pandangan mata.” (HR. Abu Daud)

Hikmah perintah tersebut tentunya sudah sangat jelas. Bahwa tidak berdiri menghadap pintu, agar disaat pintu tersebut dibuka, pandangan mata tidak melihat hal-hal yang tidak disukai oleh penghuni rumah jika terlihat oleh orang lain.

Kedua: Ucapan permintaan izin. Dari salah seorang lelaki dari Bani ‘Amir, bahwasanya ia meminta izin kepada Nabi SAW yang pada saat itu beliau sedang di dalam rumah. Lelaki itu berkata, “Boleh aku masuk?” lalu beliau bersabda kepada pembantunya, “Pergilah keluar dan ajarkanlah orang ini bagaimana cara meminta izin, lalu katakanlah kepadanya, “Ucapkanlah assalaamu’alikum, apakah aku boleh masuk.” (HR. Abu Daud)

Boleh menggunakan kalimat permintaan izin yang lain menurut kebiasaan setempat, dengan dua syarat: Pertama: diucapkan seperlunya, selama tidak bertentangan dengan syari’at dan tidak menyerupai orang-orang kafir. Kedua: tamu tidak mampu berbahasa arab. Dalam kondisi seperti ini ia boleh menggunakan bahasa lain sesuai dengan kebiasaan setempat. Namun jika ia mampu mengungkapkan kalimat “assalaamu’alikum”, maka ia wajib melakukannya, karena sebagai bentuk pengagungan terhadap bahasa al-Qur’an.

Ketiga: Jawaban tamu jika ditanya oleh pemilik rumah.Perlu diketahui, jangan menggunakan jawaban kata “saya!” jika pemilik rumah mengatakan “Siapa?”. Dari Jabir ra ia berkata, “Aku mendatangi Nabi SAW untuk membayar hutang yang ada pada ayahku. Lalu aku mengetuk pintu beliau dan beliau bertanya, “Siapa?” aku menjawab, “Saya”. Beliau berkata, “Saya..saya..” seakan-akan beliau tidak suka dengan jawaban tersebut. Ibnu Jauzy mengomentari, “bahwa dibencinya jawaban panggilan dengan ucapan kata “Saya”, sebab jawaban tersebut mengandung sikap sombong.”

Keempat: Aturan mengetuk pintu. Dianjurkan mengetuk pintu dengan perlahan dan beradab. Kita memiliki suri tauladan yang baik dari generasi pertama dari kalangan sahabat, dimana mereka meiliki adab yang tinggi ketika mengetuk pintu yang ia ingin temui. Para sahabat mengetuk pintu saja dengan menggunakan kuku mereka, sebagaimana Anas ra berkata, “Pintu-pintu rumah Rasulullah SAW diketuk dengan kuku.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ini menunjukkan bagaimana ketinggian adab, dan tindakan seperti ini bagus bila si pemilik rumah berada dekat dari pintu. Adapun jika pemilik rumah berada jauh dari pintu, yang mana jika pintu tersebut dengan kuku dikhawatirkan tidak akan terdengar oleh pemiliknya, maka dianjurkan mengetuknya dengan cara lain menurut kebutuhan. Lantas bagaimana dengan zaman sekarang yang menggunakan peralatan canggih, seperti bell, apakah dengan itu gugurlah kewajiban meminta izin?. Maka pertanyaan ini harus diajukan dan dipelajari menurut nash-nash syari’at. Kebanyakan orang mengira bahwa dengan adanya peralatan-peralatan ini, meminta izin tidak lagi diperlukan. Sesungguhnya syari’at tidak melarang menggunakan semua peralatan ini selama tetap menjaga adab secara Islamiyah yang tinggi.

Kelima : Larangan meminta izin lebih dari tiga kali. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Tetapi yang diambil pendapat yang kuat adalah bahwa batas meminta izin hanya tiga kali saja, sebagaimana Ibnu Hajar dan mayoritas ulama berkata bahwa, “Tidak boleh meminta izin lebih dari tiga kali.”

Berdasarkan dalil yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Ketika aku bertemu Abu Musa, Umar bertanya, “Apa yang mengahalangimu untuk masuk rumahku?”, aku katakan, “Aku sudah minta izin kepadamu tiga kali, namun aku belum juga diberi izin, kemudian aku pun pergi. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Apabila salah seorang kalian meminta izin tiga kali dan belum juga diberi izin, maka hendaklah ia kembali pulang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Isti’dzaanul Dakhili

Yang dimaksud dengan minta izin dakhili yaitu meminta izin yang berlaku diantara sesama mahram atau penghuni rumah.

Dalil yang menunjukkan mengenai keharusan meminta izin diantara sesama kerabat adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala QS QS. An-Nuur : 58. Pembantu atau budak, anak-anak mumayyiz yang belum baligh boleh masuk tanpa meminta izin, kecuali pada tiga waktu yang biasa membuka auratnya. Yaitu: Pertama, Sebelum shalat fajar. Dimana biasanya orang masih memakai pakaian tidur atau sedang menukarnya dengan pakaian untuk keluar. Kedua, Tengah hari ketika tidur siang. Dimana biasanya orang sedang menanggalkan pakaian dan kembali memakai pakaian tidur untuk beristirahat. Ketiga, Setelah shalat isya’. Dimana orang menanggalkan pakaiannya dengan pakaian malam.

Allah SWT menamakan di tiga waktu ini dengan aurat, karena biasanya aurat terbuka pada tiga waktu ini. Oleh karena itu, pembantu dan anak-anak yang hampir baligh harus meminta izin agar mereka tidak melihat aurat penghuni rumah tersebut. Walaupun kamar ibunya sendiri, maka ia harus meminta izin terlebih dahulu, tidak beradab jika seorang anak melihat aurat ibunya. Ada seorang lelaki bertanya kepada Hudzaifah, “Apakah aku perlu meminta izin kepada ibuku?” ia menjawab, “Jika kamu masuk tanpa izin terlebih dahulu kepadanya, kamu akan melihat sesuatu yang tidak kamu sukai.”

Terlebih dengan kakak perempuannya sendiri. Ada sebuah atsar dan sanad yang shahih menceritakan bahwa ‘Atha’ berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, “Apakah aku juga meminta izin kepada kakakku sendiri?” Ibnu ‘Abbas ra menjawab, “Ya.” Aku menimpali, “Tetapi ia tinggal dirumahku?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Apakah kamu suka melihatnya ketika ia telanjang?”. Wallahu ‘Alam Bisshawab [Nurwalad (Alumnus Ma'had 'Aly Al-Islam)]

Referensi :
1. Tafsir qur’aanil ‘azhim, Ibnu katsir, jilid III.
2. Fathul baari, Ibnu Hajar al-Asqalani jilid XI.
3. Shahihul jaami’, Muhammad Nashiruddin al-Albani, no : 8016.

http://alislamu.com./tips/5673-begini-adab-bertamu-sesuai-tuntunan-nabi.html

Takabbur, Diktator, Ananiyah: Trio Perusak Jiwa



 
Musollini, simbol kediktatoran!


IMAM Al Ghazali dalam karya monumentalnya “Ihya Ulumuddin” pernah menjelaskan; Pangkal pokok kerusakan pikiran adalah berselingkuh kepada Allah Subhanahu Wata’ala (syirik), sedangkan sumber kerusakan moral adalah sombong. Sifat yang pertama mengotori, dan merusak pola pikir (tashawwur), orientasi (ittijah), cara pandang (al wijhah), sifat yang kedua menghancurkan mata hati (bashirah).

Penyakit sombong adalah warisan dari iblis, sesuai dengan makna etimologisnya, membangkang (ablasa). Awalnya iblis menempati surga diatas surga Adam (versi tafsir Ash Showi).

Ketika Allah mengadakan suksesi di surga, terbukti Adam yang terpilih menjadi khalifah berkat kualitas yang dimiliknya.. Pilihan ini terlalu pahit untuk diterima iblis, apalagi dia diperintahkan oleh Allah untuk sujud (hormat) kepada Adam. Keputusan Allah sangat menyakitan hati Iblis. Ia naik banding. Menolak untuk bersujud, kepada Adam dan mulai membanggakan asal-usul.

Sejak saat ia terusir dari surga, tetapi ia bersumpah di hadapan Allah untuk menggoda anak Adam. Dari arah belakang (supaya serakah terhadap dunia), muka (supaya ragu-ragu dengan kehidupan akhirat), kanan (syak terhadap al Haq) dan kiri (supaya pro kebatilan). Kecuali  arah atas dan arah bawah (hamba-Nya yang ikhlas). Arah atas lambang ketinggian Allah, dan arah bawah simbol ketundukan makhluq kepada Allah. Dua arah ini yang tidak bisa dimasuki iblis.

Penyakit akut inilah yang ditularkan kepada anak cucu Adam yang miskin iman (faqrul iman). Tokoh klasik yang sangat populer, dan mewarisi penyakit iblis, sehingga berulangkali dikisahkan di dalam Al Quran adalah Fir’aun di Mesir dan Namrud di Mesopotamia . Dengan keberhasilan dan kegagahannya dalam menjayakan bangsa Mesir semasa Nabi Musa as dilahirkan, telah berani menganggap dirinya sebagai penguasa tunggal. Ia menobatkan dirinya menjadi tuhan atau maharaja, pembuat dan penentu hukum. Ia menganggap harta dan tahtanya akan mengekalkannya, tanpa pensiun. Rakyat yang mengaguminya terbius dan menerima saja tuntutan Fir’aun (sendiko dhawuh – suarga nunut neroko katut – Bhs Jawa).
           
Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata:

فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَّا يَبْلَى

“Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (pohon kekekalan) dan kerajaan yang tidak akan binasa.” (QS: Thoha (20): 120).

Rakyat Mesir akhirnya ditindas oleh Fir’aun, dan mulai menganggap dirinya tidak bersalah. Dia menerapkan pemerintahan bercirikhas “Ath Thughyan” (tirani kekuasaan) Berbuat sewenang-wenang. Bersikap zhalim dan menindas. Menterlantartarkan kehidupan rakyatnya, menyakiti hatinya, merampas hak-haknya, menyumbat aspirasinya, merendahkan kehormatannya.

Yang berhak mengeluarkan pendapat, yang sesuai dengan keinginan penguasa. Demokrasi menjadi tersumbat. Dia memandang kritik dari intelektual yang bersikap obyektif, tetapi berseberangan dengan pendapat penguasa di identikkan dengan intrik (politik menjatuhkan). Penyakit iblis yang akut ini pun menular kepada rakyat Mesir. Mereka mempersepsikan bahwa tokohnya ini manusia berdarah biru, lebih mulia dari manusia yang lain. Mereka memandang di Mesir terdiri dari masyarakat berkelas. Ada kelas satu dan kelas dua. Hukum yang dijalankan pun laksana pisau. Tumpul untuk kelas atas dan tajam untuk kelas bawah. Pengisian jabatan, distribusi wewenang dan ekonomi juga dilakukan dengan semangat kelas. Inilah awal kehancuran roda kehidupan pada masa itu.

Jika di dalam strukutur masyarakat ada yang merasa mulia, tentu ada yang berada di pihak lawannya, yaitu yang kurang derajatnya. Orang-orang Yahudi (Ya’qubiin) yang dibawa Nabi Yusuf dan para saudaranya ke Mesir  beberapa generasi sebelumnya, telah berkembang dengan makmur di bawah raja-raja sebelumnya. Rasa iri yang timbul di kalangan bangsa Mesir yang asli (qibthi) menyebabkan mereka tega menindas Yahudi.

Segala pekerjaan kotor dan berat ditugaskan hanya khusus oleh kaum Yahudi.  Bahkan mereka dijadikan budak bangsa Mesir yang harus bekerja, membanting tulang, memeras keringat, siang malam tanpa upah.

Allah Subhanahu Wata’ala melahirkan Musa  di kalangan bangsa Yahudi yang sedang tertindas. Musa sempat mengecap pendidikan tinggi di bawah asuhan Fir’aun. Ketika Musa as – menerima wahyu – menyatakan ajaran tauhid di hadapan Fir’aun bahwa satu-satunya yang benar dan paling berkuasa adalah Allah Al Khaliq, Fir’aun dengan atribut kemegahan dan kemegahan dunia menolak. Dan mengatakan seperti dalam statemen berikut:

 مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي

“…..Aku tidak menyangka bahwa kalian masih memiliki tuhan selain diriku… “(QS. Al Qashash: (28) : 38).”

Sesungguhnya pintu masuk sikap sombong, dimulai dari gila harta, kemudian gila tahta. Setelah semuanya dimiliki tanpa ditemani iman maka biasanya dirinya di personifikasikan sebagai simbol kekuasaan atau personifikasi dari Tuhan. Bukan berarti Fir’aun anti Tuhan.

Fir’aun yakin dengan wujudnya Allah Subhanahu Wata’ala. Tetapi dia ingin mempertahankan status quo sebagai satu-satunya pembuat dan penentu undang-undang di negeri Mesir. Sehingga untuk memakmurkan Mesir, dia harus menghisap darah dan menindas, serta memperbudak kaum Yahudi. Ketika Musa mengingatkan dengan membawa ajaran Tauhid yang diantaranya menawarkan konsep musawah (persamaan derajat) ia menjadi gelap mata dan kebal telinga serta buta hati.

Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ?. Mereka itulah orang-orang yang dila’nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka (QS. Muhammad (47) : 22-23).

Dari Masa Ke Masa
Penyakit jiwa Fir’aun ini juga menular kepada Namrud. Ketika Ibrahim dilahirkan untuk meluruskannya, dan membuka pintu dialog ilmiah yang selama ini tertutup,, terpaksa harus menelan pil pahit, putra pembuat patung Azar itu dicitrakan sebagai biang keladi gerakan teroris. Setelah pihak kerajaan tidak berdaya menghadapi logika sehat dan argumentasi ilmiah Ibrahim, akhirnya ia di bakar hidup-hidup tanpa proses pengadilan.

Di atas pentas sejarah kemanusiaan berikutnya, setiap diktator (thaghut) selalu meletakkan kekuasaan tanpa pensiun. Kekuasaan adalah segala-galanya. Nyawa rakyat tidak menjadi perhitungan sama sekali, kecuali berkaitan langsung dengan kelanggengan tahta. Politik menghalalkan segala cara asalkan tujuan tercapai (al ghayatu tubarrirul wasaail). Tiada persahabatan sejati, yang abadi adalah kepentingan.

Setiap tiran (diktator) biasanya memiliki hak-hak istimewa dan dikawal oleh tpendukung setia (penjilat), barisan (korps) tentara terlatih yang disiapkan untuk menumpas orang, kelompok yang dianggap sebagai pesaingnya. Yang berbeda dianggap sebagai bughat (pembangkang).

Yang mendukung (mbata, Bhs Jawa) ghalibnya mendapat imbalan khusus. Biasanya berbentuk cipratan (bagian-bagian kecil) dari kekuasaan dan ekonomi. Tetapi, tetap dibatasi oleh wewenang dan ekonomi tertentu (income yang kecil) dibandingkan dengan luasnya kekuasaan dan berlimpahnya ekonomi yang dimilikinya. Terjadilah ketidakadilan dalam pengisian jabatan, distribusi wewenang dan ekonomi. Dari sinilah pangkal kerusakan setiap negara.

Obor iman dan ilmu pada fase-fase awal islam juga menjadi redup, ketika format ketatanegaraan yang islami di masa Khulafa ar Rasyidin yang adil  berubah menjadi sistem muluk (feodalisme), yang sudah sekian lama merupakan darah daging masyarakat Arab jahiliyah. Perubahan sistem ketatanegaraan yang berawal dari perbedaan pendapat dan berkembang menjadi pertentangan paham tentang konsep kepemimpinan, merupakan cikal bakal perpecahan dan berakhir dengan pertumpahan darah. Semula perang saudara ini hanya melibatkan sejumlah kecil daerah, dan umat yang terbatas serta muda dikelola pengaruh iman dan ilmu para sahabat.

Setelah generasi sahabat, perang saudara kembali meledak dan menodai masyarakat yang dengan susah payah dibangun oleh Rasulullah saw. Sistem feodalisme (the man show) tidak berhasil mengawal dan mengelola daya kritis ilmuawan muslim. Perbedaan pendapat di kalangan ulama islam, ditunggangi oleh kepentingan politik yang sedang berkuasa.

Mulai perbedaan pendapat yang bersifat furu’iyah (cabang-cabaang ajaran) islam disikapi dengan ushul (pokok-pokok islam). Pengikut mazhab tertentu mencela pengikut ilmuan yang lain. Semula perbedaan pendapat berawal dari konsep kepemimpinan, berlanjut kepada berbagai persoalan kehidupan yang lain.  Perpecahan ini membuat umat islam lemah, tidak berdaya, jatuh terpuruk. Inferior dalam menghadapi benturan peradaban.

Para ulama yang berfikir ilmiyah dan obyektif, Imam Ahmad bin Hamabal, Ibnu Taimiyah, mendapat penyiksaan dari penguasa yang tidak manusiawi di penjara. Sehingga menghembuskan nyawanya yang terakhir. Sebelum meninggal, beliau dipisahkan dari tinta dan kertasnya dan dijauhkan dari pengikut-pengikutnya. Dan siksaan yang terberat adalah pencabutan  hak menyatakan pendapat.

Namun, sejarah juga berkali-kali membuktikan bahwa pemimpin yang takabur, batharul haq wa ghamthun nas (menolak kebenaran dan meremehkan manusia), thughyan, yujawizul hadd (tirani, menabrak batasan), ananiyah (individualistis dan egois, mengutamakan diri sendiri) akan terpuruk dalam lubang yang digalinya sendiri. Lihat diktator Hilter, Mussolini, Syah Pahlevi Iran , Marcos, Duvalier, Soekrano dan Soeharto dll.*

oleh: Shalih Hasyim
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah