Ucapan Selamat bagi Orang tua yang Baru Lahir Anaknya

Sering bingung mau mengucapkan apa ketika mendengar ada ikhwah yang baru mendapatkan bayi? Saya juga. Maunya sih mengucapkan doa tertentu, tapi tidak tahu ada atau tidaknya dalil syar’i dalam perkara ini. Terkadang hanya mengucapkan doa umum, “Selamat ya, barakallahu fiikum”. Tapi sekarang alhamdulillah, sudah ketemu atsar dari salaf, bagaimana ucapan selamat mereka kepada orang tua yang baru dianugerahi bayi oleh Allah ta’ala.

Di dalam buku Menyambut si Buah Hati yang ditulis oleh Salim Rasyid As-Sibli dan Muhammad Khalifah (terbitan Ash-Shaf Media, halaman 30-31), penulis buku tersebut mengatakan,

“Tidak terdapat satu hadits pun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ucapan selamat, dan tidak ada sesuatu pun kecuali atsar yang diriwayatkan dari para tabi’in.

Di antaranya:
Dari Hasan Al-Bashri rahimahullah, bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Bagaimana cara saya mengucapkan ucapan selamat (kelahiran)?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah olehmu,

جَعَلَ اللهُ مُبَارَكًا عَلَيْكَ وَ عَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Ja’alallahu mubaarokan ‘alaika wa ‘ala ummati Muhammadin”
Artinya, “Semoga Allah menjadikannya anak yang diberkahi atasmu dan atas umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”
(Atsar ini hasan, dikeluarkan oleh Imam Thabrani).” >>nukilan sampai di sini.

Sebenarnya masih ada atsar lain dari Ayyub As-Sikhtiyani, namun karena lafazhnya sama, kita cukupkan dengan atsar Hasan Al-Bashri. Untuk melihat atsar tersebut serta takhrij atsar yang lebih komplit bisa dilihat di buku terjemahannya.

Kemudian, penulis juga berkata,

“Atsar-atsar seperti ini jauh lebih baik daripada apa yang kami lihat berupa ucapan yang diada-adakan yang bisa digunakan pada hari ini. Dan tidak seorang pun di antara ahlul ilmi yang memperbolehkannya. Akan tetapi bersamaan dengan itu kami tidak melazimkan (membiasakan) memberi ucapan selamat seperti di atas, layaknya amalan itu disebutkan oleh sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak juga kami menjadikannya seperti dzikir-dzikir yang lain yang telah pasti di dalam as-sunnah. Maka barangsiapa yang mengucapkannya pada suatu kali, tidak mengapa. Adapun yang tidak mengucapkannya maka tidak ada ruginya.” >> Sampai di sini nukilan dari buku tersebut.

Demikianlah apa yang bisa kita bagi pada kesempatan kali ini.. Semoga bisa bermanfaat. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

TAMBAHAN :
Selain dari ucapan tersebut, ada ucapan lainnya yang shahih,

بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي الْمَوْهُوْبِ لَكَ، وَشَكَرْتَ الْوَاهِبَ، وَبَلَغَ أَشُدَّهُ، وَرُزِقْتَ بِرَّهُ. وَيَرُدُّ عَلَيْهِ الْمُهَنَّأُ فَيَقُوْلُ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَزَاكَ اللهُ خَيْرًا، وَرَزَقَكَ اللهُ مِثْلَهُ، وَأَجْزَلَ ثَوَابَكَ
‘Baarokallohu laka fil mauhuubi laka wa sayakartal Waahib wa balagho asyuddahu wa ruziqta birrohu’.” 

“Semoga Allah memberkahimu dalam anak yang diberikan kepadamu. Kamu pun bersyukur kepada Sang Pemberi, dan dia dapat mencapai dewasa, serta kamu dikaruniai kebaikannya.”
Sedang orang yang diberi ucapan selamat membalas dengan mengucapkan:

Baarokallohu laka wa baaroka ‘alaika wa jazaakallohu khoiron wa rozaqokallohu mitslahu aw ajzalallohu tsawaabak.

“Semoga Allah juga memberkahimu dan melimpahkan kebahagiaan untukmu. Semoga Allah membalasmu dengan sebaik-baik balasan, mengaruniakan kepadamu sepertinya dan melipat gandakan pahalamu.”
[Lihat Al-Adzkar, karya An-Nawawi, hal. 349, dan Shahih Al-Adzkar lin Nawawi, oleh Salim Al-Hilali 2/713

 http://kaahil.wordpress.com/2011/09/29/terbaru-doa-ucapan-bacaan-kelahiran-anakbayi-yang-shahih-%E2%80%98baarokallohu-laka-fil-mauhuubi-laka-wa-sayakartal-waahib-wa-balagho-asyuddahu-wa-ruziqta-birrohu%E2%80%99%E2%80%9D-atau/


Kabar Gembira Dengan Kelahiran Anak


Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur’ah
Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah.


Jeritan Pertama Ketika Bayi Baru Lahir

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Jeritan anak ketika dilahirkan adalah (karena) tusukan dari syaitan” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (3248), Muslim (15/128 Nawawi) dan At-Thabrani dalam As-Shaghir (29), dan riwayat yang lain darinya dan Ibnu HIbban (6150-6201-6202)]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, "Tidak ada seorang anakpun yang lahir melainkan syaitan menusuknya hingga menjeritlah si anak akibat tusukan syaithan itu kecuali putra Maryam (Isa) dan ibunya (Maryam)”

Kemudian Abu Hurairah berkata: Bacalah bila kalian mau (ayat yang berbunyi), "Dan aku meminta perlindungan untuknya kepada-Mu dan juga untuk anak keturunannya dari syaitah yang terkutuk” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (3/110 –As-Sindi), Muslim (15/128 Nawawi) dan Abu Ya’la (5971)]


Anak kecil ini belum mengenal dunia sedikitpun, namun syaitan sudah menyatakan permusuhan dengan menusuknya. [Lihat Syrahu Shahih Muslim oleh Imam An-Nawawi tentang hadits ini (15/129-130)]

Lalu bagaimana keadaan si anak jika ia telah dapat berbicara dan merasakan segala sesuatu. Bagaimana keadaannya jika telah bergerak syahwatnya untuk mencari dunia atau selainnya. Maka penyesatan dan upaya penyimpangan yang dilakukan syaitan ini harus dihalangi, karena itulah syari’at datang untuk melindungi manusia sejak mudanya, bahkan sejak lahir ke dunia ini hingga nanti menemui Tuhannya.

Kami akan mengumpulkan semua tahapan kehidupan manusia secara ringkas. Sejak anak manusia belum melewati tujuh hari pertama dari umurnya, penetap syaria’at telah menerangkan jalan-jalan penjagaan bagi anak tersebut dan menjelaskan perkara-perkara yang seharusnya dilakukan sepanjang tujuh hari (dari awal kelahiran anak).

Maka siapa yang mencintai anaknya dan ingin menjaganya dari syaitan, hendaklah ia mengikuti metodenya sayyidil mursalin Shalallahu’alaihi wasallam dan beliau bagi kita adalah sebaik-baik pemberi nasihat. 

Beliau Shallallahu’alaihi wasallam sebagaimana diceritakan oleh Abu Dzar Al-ghifari Radhiyallahu ‘anhu: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burungpun yang membolak-balikkan sayapnya di udara melainkan beliau sebutkan ilmunya kepada kami”.

Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada sesuatu yang dapat mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan pada kalian” [Dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (1647) dan Ash-Shaghir (1/268), Ahmad dalam Al-Musnad (5/153-162) baris pertama darinya]

Termasuk upaya penjagaan terhadap anak dari gangguan syaithan adalah doa seorang suami ketika mendatangi istrinya.

بِسْمِ اللهِ اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
"Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau rezkikan kepada kami”

Maka bila Allah tetapkan lahirnya anak dari hubungan keduanya itu maka syaitan tidak akan membahayakannya selamanya” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (9/228 Fathul Bari), Muslim (10/1434 Nawawi) dan selain keduanya]

Kabar Gembira Dengan Kelahiran Anak

Al-Qur’an telah menyebutkan kabar gembira tentang kelahiran anak dalam banyak ayat dalam rangka mengajarkan kaum muslimin tentang kebiasaan ini, karena padanya ada pengaruh yang penting untuk menumbuhkan kasih sayang dan cinta di hati-hati kaum muslimin. [Dinukil dari kitab Ukhti Muslimah Kaifa Tastaqbilin Mauludikil Jadid, penulis Nasyat Al-Mishri]
Allah Ta’ala berfirman,

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ اسْمُهُ يَحْيَى
"Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira padamu dengan kelahiran seorang anak yang bernama Yahya" [Maryam: 7]
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ
"Maka berilah kabar gembira padanya dengan kelahiran anak yang sangat penyabar" [Ash-Shaaffaat: 101]

قَالُوا لا تَوْجَلْ إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ عَلِيمٍ
"Mereka (para malaikat) berkata: Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim" [Al-Hijr: 53]

فَنَادَتْهُ الْمَلائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ
"Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): ‘Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh" [Ali-Imran: 39]

Seharusnya kita kaum muslimin mencintai kebaikan bagi saudara-saudara kita. Kita turut bahagia dengan kebahagiaan mereka dan turut sedih dengan kesedihan mereka. jika kita memang orang muslim yang sebenar-benarnya, maka kita merasa seperti satu jasad. Bila salah satu anggotanya merasa sakit, maka semua anggota lainnya terpanggil untuk bergadang dan merasa demam.

Sebagaimana hal ini dimisalkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya. Akan tetapi di mana kita dari hal yang demikian itu ? Sementara permusuhan dan kebencian telah menyala-nyala di kalangan kaum muslimin sendiri dan hasad menjalar di tengah mereka dan kebaikan telah menipis. Hanya kepada Allahlah tempat mengadu.

Ucapan Selamat Dan Keterangan Salaf Tentangnya

Tidak ada satu haditspun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah mengucapkan selamat bagi keluarga yang kelahiran. Yang ada hanyalah atsar yang diriwayatkan dari tabi’in, di antaranya.

Dari Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah. Ada seseorang bertanya kepadanya tentang ucapan selamat tersebut ; "Bagaimana cara aku mengucapkannya ?" Kata Al-Hasan: Ucapkanlah:
"Semoga Allah menjadikannya barakah atas kalian dan atas ummat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam" [1]

Dari Hammad bin Ziyad ia berkata: "Ayyub As-Sikhtiyani bila memberi ucapan selamat kepada seseorang yang kelahiran anak ia berkata:

"Semoga Allah menjadikannya barakah atas kalian dan atas ummat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam" [2]
Atsar semisal ini jauh lebih baik dibanding ucapan selamat yang banyak diamalkan manusia pada hari ini.

Namun bersamaan dengan itu kita tidak boleh melazimkan ucapan selamat ini (seperti tersebut dalam atsar di atas), berbeda bila ada satu hadits (yang shahih) yang menerangkan tentangnya. Dan kita tidak menjadikan ucapan tersebut seperti dzikir-dzikir yang tsabit dalam As-Sunnah (yakni kita tidak terus menerus mengamalkannya karena tidak ada satu hadits pun yang menyebutkan hal ini, -pent). Siapa yang mengucapkannya kadang-kadang maka tidak apa-apa dan siapa yang tidak mengucapkannya maka tidak ada masalah.

[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, Penulis Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah dan Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah, Penerjemah Ummu Ishaq Zulfa bint Husain, Penerbit Pustaka Al-Haura]
__________
Foote Note
[1]. Hadits hasan. Dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Kitab Ad-Du’a (2/1243) dengan sanad yang rijalnya (rawi-rawinya) tsiqah (orang kepercayaan) selain syaikhnya (gurunya) At-Thabrani yakni Yahya bin Utsman bin Shalih, kata Al-Hafidh tentangnya: "Ia shaduq, tertuduh tasyayyu’ (kesyiah-syiahan), dan sebagian ulama menganggapnya layyin (lemah) karena keadaannya yang meriwayatkan dari selain asalnya".
Berkata Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (9/175): "Aku menulis (hadits) darinya dan juga ayahku, dan mereka memperbincangkannnya".
Dalam Al-Mizan, Ad-Dzahabi berkata: "Ia shaduq Insya Allah’. Berkata Al-Mundziri dalam At-Targhib (2/17): "Dia tsiqah dan padanya ada perbincangan".
Kami katakan: orang yang semisal Yahya ini haditsnya tidak turun dari derajat Hasan.
[2]. Dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Kitab Ad-Du’a (2/1244) dengan sanad yang lemah. Namun atsar yang lemah ini mendukung atsar sebelumnya. Wallahu a’lam
Catatan Admin Blog Sunniy Salafy: Selain dari ucapan tersebut, ada ucapan lainnya yang shahih,
بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي الْمَوْهُوْبِ لَكَ، وَشَكَرْتَ الْوَاهِبَ، وَبَلَغَ أَشُدَّهُ، وَرُزِقْتَ بِرَّهُ. وَيَرُدُّ عَلَيْهِ الْمُهَنَّأُ فَيَقُوْلُ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَزَاكَ اللهُ خَيْرًا، وَرَزَقَكَ اللهُ مِثْلَهُ، وَأَجْزَلَ ثَوَابَكَ
“Semoga Allah memberkahimu dalam anak yang diberikan kepadamu. Kamu pun bersyukur kepada Sang Pemberi, dan dia dapat mencapai dewasa, serta kamu dikaruniai kebaikannya.”
Sedang orang yang diberi ucapan selamat membalas dengan mengucapkan: “Semoga Allah juga memberkahimu dan melimpahkan kebahagiaan untukmu. Semoga Allah membalasmu dengan sebaik-baik balasan, mengaruniakan kepadamu sepertinya dan melipat gandakan pahalamu.” [Lihat Al-Adzkar, karya An-Nawawi, hal. 349, dan Shahih Al-Adzkar lin Nawawi, oleh Salim Al-Hilali 2/713


http://sunniy.wordpress.com/2009/01/29/kabar-gembira-dengan-kelahiran-anak/

Memperbaiki Tauhid Ibarat Memperbaiki Jantung pada Badan

Memperbaiki tauhid pada diri kita itu sangatlah penting. Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya memperbaiki tauhid bagi agama -seseorang- seperti kedudukan perbaikan jantung bagi badan.” (Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 16)


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak/sakit maka sakitlah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu)

Oleh sebab itu mendakwahkan tauhid merupakan program yang sangat mulia. Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu para da’i yang menyerukan tauhid adalah da’i-da’i yang paling utama dan paling mulia. Sebab dakwah kepada tauhid merupakan dakwah kepada derajat keimanan yang tertinggi.” (Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 16)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah laa ilaaha illallaah, sedangkan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Jati diri seorang muslim sangat ditentukan oleh sejauh mana kualitas tauhidnya. Karena tauhid dalam jiwanya laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Tauhid ini memiliki kedudukan penting laksana pondasi bagi suatu bangunan.” (Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 13)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Manakah yang lebih baik; orang yang menegakkan bangunannya di atas pondasi ketakwaan kepada Allah dan keridhaan-Nya, ataukah orang yang menegakkan bangunannya di atas tepi jurang yang akan runtuh dan ia pun akan runtuh bersamanya ke dalam neraka Jahannam.” (QS. at-Taubah: 109)

Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Hal itu dikarenakan ayat ini turun berkenaan dengan kaum munafikin yang membangun masjid untuk sholat padanya. Akan tetapi tatkala mereka tidak membarengi amalan yang agung dan utama ini -yaitu membangun masjid- dengan keikhlasan yang tertanam di dalam hatinya, maka amalan itu sama sekali tidak memberikan manfaat bagi mereka. Bahkan, justru amalan itu yang akan menjerumuskan mereka jatuh ke dalam Jahannam, sebagaimana ditegaskan di dalam ayat tersebut.” (Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 13)

Tauhid ibarat sebatang pohon. Cabang-cabangnya adalah amalan. Adapun buahnya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan kenikmatan tiada tara di akhirat. Demikian pula syirik, dusta dan riya’ seperti sebatang pohon, yang buah-buahnya di dunia adalah cekaman rasa takut, kekhawatiran, sempit dada, dan gelapnya hati. Dan di akhirat nanti pohon yang jelek itu akan membuahkan siksaan dan penyesalan (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 14)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan suatu kalimat yang baik seperti pohon yang indah, pokoknya tertanam kuat -di dalam tanah- sedangkan cabangnya menjulang ke langit.” (QS. Ibrahim: 24). Yang dimaksud ‘kalimat yang baik’ di dalam ayat ini adalah syahadat laa ilaaha illallaah (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 425)

Saudara-saudaraku, sangat banyak ayat maupun hadits yang menerangkan tentang keutamaan memperbaiki dan mendakwahkan tauhid ini. Tidak sanggup rasanya lisan dan tangan ini untuk menggambarkan betapa agungnya dakwah tauhid ini. Bagaimana tidak? Sementara inilah hak Allah Rabb penguasa alam semesta dan intisari dakwah para Rasul ‘alaihimush sholatu was salam!

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, agama yang murni adalah milik Allah.” (QS. az-Zumar: 2-3)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, semuanya untuk Allah Rabb seru sekalian alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dengan itulah aku diperintahkan. Dan aku adalah orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. al-An’aam: 162-163)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya; Tidak ada sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiyaa’: 25)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Ma’idah: 23)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah pun membuat mereka lupa akan diri mereka sendiri.” (QS. al-Hasyr: 19)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka merasa tentram dengan mengingat Allah. Ketahuilah, dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tentram.” (QS. ar-Ra’d: 28)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku adalah orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dengan ikhlas dari dalam hatinya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah laa ilaha illallaah niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Abu Dawud dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu)

Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Berdasarkan hal ini, maka sesungguhnya seluruh seruan yang ditegakkan dengan klaim ishlah/perbaikan sedangkan ia tidak memiliki pusat perhatian dalam masalah tauhid, tidak pula berangkat dari sana, niscaya dakwah semacam itu akan tertimpa penyimpangan sebanding dengan jauhnya mereka dari pokok yang agung ini. Seperti halnya orang-orang yang menghabiskan umur mereka dalam upaya memperbaiki hubungan antara sesama makhluk semata, akan tetapi hubungan mereka terhadap al-Khaliq -yaitu aqidah mereka- sangat menyelisihi petunjuk salafus shalih.” (Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 17)

Maka tidaklah berlebihan jika kita katakan, “Di mana pun bumi dipijak, maka di situlah dakwah tauhid harus ditegakkan!”. Kebahagiaan seperti apakah yang anda idamkan, kejayaan macam apakah yang anda impikan, apabila semangat dakwah tauhid sama sekali tidak bergejolak di dalam hati anda?!

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id