Jadikan Rumah Tangga Kita sebagai “Baiti Jannati”








DALAM kehidupan setiap manusia ada detik-detik yang sangat berkesan di hati, tidak mudah dihapus dari ingatan sepanjang hayat. Di antaranya adalah aqad nikah. Oleh karena itu Nabi kita Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), selalu membaca khutbah hajah pada suasana seperti ini. Bahkan suasana aqad nikah ini diperkenankan untuk diisi dengan suasana yang semarak, seperti memukul rebana atau diperdengarkan nasyid-nasyid (nyanyian) yang menggema. “Mahasuci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan.”

Memang mengucapkan ijab qabul sangat ringan di lidah, namun pada hakikatnya sangat berat dalam timbangan. Ucapan ijab qabul adalah ikrar, janji setia antara suami dan istri untuk membangun rumah tangga (usrah). Begitu pentingnya istilah ini sehingga Allah menggunakan istilah `miitsaqan gholiidhan' artinya perjanjian yang kuat, kokoh dan teguh.

Dalam al-Qur'an ada tiga katagori yang menerangkan istilah tersebut. Pertama, perjanjian antara Allah dengan Rasul. Kedua, perjanjian Allah dengan satu ummat. Dan ketiga, perjanjian antara seorang suami dengan istri. Adanya istilah dalam ketiga perjanjian tersebut menunjukkan bahwa aqad nikah adalah ikrar yang sakral dan suci.

Oleh karena itu Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) berpesan kepada para suami: “Takutlah kepada Allah dalam persoalan wanita. Karena susungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang berada di bawah kekuasaan kamu, dan kamu ambil mereka itu dengan amanah Allah dan kamu dihalalkan menggauli mereka berdasarkan kalimat Allah.”
Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa pernikahan bukan sekadar memenuhi dorongan (kebutuhan) biologis, tetapi melaksanakan amanah Allah yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhir zaman.

Hak dan kewajiban suami-istri

Agar sukses dalam memikul amanah tersebut, suami istri mempunyai hak dan kawajiban yang harus dilaksanakan secara seimbang. Setiap suami mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh istri, sebab itu kewajiban istri. Dan setiap istri mempunyai hak, dan hak ini harus dipenuhi oleh suami dan itu kewajiban suami.

Menjadi suami yang baik memiliki posisi tersendiri (khusus) di hadapan Allah. Sehingga perbuatan yang kecil, remeh lagi sepele yang diberikan kepada istrinya dengan tulus ikhlas, akan diganjar oleh Allah. “Sesungguhnya seorang suami bila memberi minum air kepada istrinya diberi pahala.”
Kalau hanya seteguk air saja yang diberikan kepada istri dijamin oleh Allah dengan pahala, maka bisa dibayangkan bagaimana besarnya pahala atas pemberian-pemberian lainnya yang jauh lebih berharga daripada air.

Oleh karena itu jadilah suami teladan. Jangan sekali-kali menjadi suami yang mudah menyia-nyiakan istri. “Cukuplah berdosa bagi seorang yang menyia-nyiakan istrinya,” sabda Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم).

Bahkan tingkat keshalihan seseorang sangat ditentukan oleh sejauh mana sikapnya terhadap istrinya. Kalau sikapnya terhadap istri baik, maka ia adalah seorang pria yang baik. Sebaliknya, jika perlakuan terhadap istrinya buruk maka ia adalah pria yang buruk. "Hendaklah engkau beri makan istri itu bila engkau makan dan engkau beri pakaian kepadanya bilamana engkau berpakaian, dan janganlah sekali-kali memukul muka dan jangan pula memburukkan dia dan jangan sekali-kali berpisah darinya kecuali dalam rumah.” (al-Hadits).

“Sebaik-baik kamu (suami ) adalah yang paling baik kepada istrinya dan aku adalah yang paling baik kepada istriku,” demikian sabda Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم).

Sebaliknya, juga istri harus berupaya menjadi istri teladan, yang mampu tampil sebagai pendidik, istri, sekaligus ibu.

Pernah Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)bertanya kepada seorang wanita tentang sikapnya terhadap suaminya. Wanita tersebut menjawab, “Segala sesuatu yang sanggup aku kerjakan bagi suamiku, aku lakukan, kecuali apa-apa yang tidak sanggup aku lakukan.”

Mendengar jawaban tersebut Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)bersabda, “Masukmu ke dalam surga atau neraka itu bergantung sikapmu terhadap suamimu.”
Ketaatan seorang istri kepada suami dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah jalan menuju surga di dunia dan akhirat. “Bilamana seorang wanita melakukan shalat lima waktu dan berpuasa pada bulan Ramadhan serta menjaga kehormatan dan mentaati suaminya, maka dia berhak masuk surga dari pintu manapun yang engkau kehendaki.” [HR. Ibnu Hibban dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Demikian pentingnya unsur ketaatan istri kepada suami sehingga Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) bersabda, “Sekiranya aku menyuruh seorang untuk sujud kepada orang lain. Maka aku akan menyuruh wanita bersujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadap mereka.”
Bahkan Rasulullah menjelaskan bahwa derajat wanita sangat ditentukan oleh perlakuannya terhadap suaminya. “Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan hatimu jika engkau memandangnya dan mentaatimu jika engkau memerintahkan kepadanya, dan jika engkau bepergian dia menjaga kehormatan dirinya serta dia menjaga harta dan milikmu.”


Tentu, ajaran mulia seperti ini tak akan masuk pada hati para pendengki dan yang hatinya masih dipenuhi sakwa sangka kepada pencipta alam semesta, Allah Azza Wa Jalla. Tanpa iman, ajaran mulia seperti ini hanya akan dianggap "penindasan atau diskriminasi jender.
Sakinah, mawaddah, dan rahmah

Rumah tangga dalam Islam adalah `tempat berteduh', tempat terwujudnya suasana sakinah (tenteram) yang disempurnakan dalam mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih-sayang). Sebagaimana yang disabdakan Rasululah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)`baitii jannatii', rumahku adalah surgaku.

Suasana sakinah, mawaddah, dan rahmah inilah yang sangat dibutuhkan oleh setiap bayi yang lahir sebagai buah dari perkawinannya.

Anak yang dibesarkan dalam usrah yang tenteram, diliputi oleh rasa kasih sayang, pasti akan menjadi anak yang tumbuh normal, dewasa, dan matan kepribadiannya.

Sebaliknya bayi yang lahir dari kegelisahan, kebencian, dan kekejaman dalam rumah tangga kelak akan menjadi anak-anak yang membalas dendam kepada masyarakat di mana dia hidup. Akan fatal akibatnya apabila seorang ibu sibuk di luar rumah dan melupakan tugas memberikan sentuhan kasih sayang secara optimal kepada anaknya.

Anak yang merasakan sentuhan kasih sayang sejak dini akan mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Sebaliknya, anak yang kehilangan kasih sayang sejak kecil akan menjadi anak yang rendah diri, minder, dan sulit menyayangi orang lain. Ia akan protes melihat kenyataan hidup yang dihadapi.

Oleh karena itu, menjadi tugas kita, utamanya para ibu untuk kembali ke rumah. Rawatlah anak-anakmu dengan penuh kasih sayang dan tanamkanlah nilai-nilai keislaman kepada putra-putri Anda. Bentengilah mereka dari hal-hal yang dapat merusak masa depan mereka.

Begitupun kepada kaum bapak. Janganlah kesibukan Anda mencari nafkah di luar rumah lantas melupakan tanggung jawab sebagai pemimpin keluarga. Sebab Allah mentakdirkan kaum lelaki sebagai pemimpin keluarga.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” [QS. An Nisa’:34].

Ayat di atas menunjukkan kepada kita semua, betapa berat tanggungjawab kaum pria. Selain mencarikan nafkah, melindungi, mengontrol, mengawasi pendidikan (akhlaq) anak istri di rumah, agar mereka senantiasa mematuhi perintah Allah dan terbebas dari siksa api neraka. Tugas utama pemimpin keluarga yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akherat adalah menjaga keluarganya dari api neraka).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [QS. At Tahrim: 6]

Semoga Alla Subhanahu Wata’ala menjadikan rumah dan keluarga kita menjadi kita “baiti jannati”, rumah-rumah ibarat surga, yang dikelilingi kasih dan sayang, suami-istri dan anak-anak yang sholeh dan sholehah dan senantiasa mengagungkan “asma” Allah.  Tak kalah penting, mudah-mudahan semua keturunan kita terhindar dari api neraka dan agar keharmonisan tetap terjaga selamanya.*

Red: Cholis Akbar
http://hidayatullah.com/read/20796/24/01/2012/jadikan-rumah-tangga-kita-sebagai-%E2%80%9Cbaiti-jannati%E2%80%9D-.html