Mewaspadai Kekufuran yang Selalu Mengintai Kita


tauhid-lurusKita harus bersyukur kepada Allah yang telah memberikan nikmat dan hidayah-Nya kepada kita sehingga kita menjadi kaum muslimin. Kita juga merasa senang dan berbangga dengan nikmat tersebut. Tapi ingat, kita harus bisa menjaga nikmat yang besar itu jangan sampai hilang pada diri kita, karena inilah yang terpenting. Dengan cara apa kita menjaganya? Tentunya dengan kembali mempelajari agama Allah, memahaminya dengan pemahaman yang benar sebagaimana difahami oleh Rasulullah dan para shahabatnya, mengamalkannya dan mendakwahkannya serta berdo'a kepada Allah agar kita istiqomah di Jalan-Nya. Ingatlah sabda Rasulullah: "Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan (padanya) niscaya Allah akan fahamkan dia tentang agamanya." (Muttafaqun 'alaih dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan)

Dan juga sabdanya: "...Ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan. Beliau ditanya: "Siapa dia wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "(golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada (di atasnya)." (HR. At-Tirmidzi dari 'Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash).

Artinya kita harus memahami agama Islam sesuai dengan pemahaman Rasulullah dan para shahabatnya serta 'ulama salaf yang mengikuti Rasululah dan para shahabatnya. Jangan memahami Islam dengan akal kita atau hawa nafsu kita atau pendapatnya ahli bid'ah karena nantinya akan masuk ke dalam golongan yang diancam di neraka sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut.

Kalau kita tidak bisa menjaga nikmat tersebut, dengan kita lalai sehingga meninggalkan agama kita, tidak mempelajarinya lagi, melupakan Allah, sibuk dengan urusan dunia sehingga lalai dengan negeri akhirat dan memahami agama dengan hawa nafsu kita, maka kita akan terjerumus kepada berbagai kemaksiatan, bid'ah bahkan kesyirikan dan kekufuran. Wal'iyaadzubillaah (dan kita berlindung kepada Allah dari itu semua).

Ingatlah selalu firman Allah: "Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (Yuusuf:106). Al-Haitsamiy menjelaskan ayat ini: "Banyaknya manusia terjerumus kepada kesyirikan tanpa mereka sadari."
 
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (At-Tahriim:6).

Untuk itu adalah kewajiban bagi kita kaum muslimin untuk menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka dengan cara mempelajari agama kita dengan benar. Dan yang paling pertama kali harus kita pelajari adalah masalah tauhid dan keimanan.
 
Dan tidak akan sempurna mempelajari keimanan kecuali mengetahui lawannya yaitu kekufuran, karena kalau tidak mengetahuinya maka akan mudah terjatuh kepadanya.

Di sini, Insya Allah akan dijelaskan tentang macam-macam kufur akbar yang akan mengeluarkan seseorang dari agama Islam.
 
Pembahasan ini diambil dari kitab "As`ilah wa Ajwibah fil iimaan wal kufr" karya Asy-Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdullah Ar-Rajihiy, pertanyaan pertama dan kedua.

Pertanyaan Pertama:
(Macam-macam Kufur Akbar)
 
Dengan apakah kufur akbar (kekufuran yang besar) atau riddah (kemurtadan) itu terjadi? Apakah hal itu khusus dengan i'tiqaad (keyakinan), juhuud (pengingkaran yang disertai pengetahuan terhadap perkara yang diingkari) dan takdziib (pendustaan) ataukah lebih umum dari hal itu?

Jawaban:
 
Sesungguhnya kekufuran dan kemurtadan -wal'iyaadzubillaah- akan terjadi dengan beberapa perkara:
- Bisa terjadi dengan juhuud (pengingkaran) terhadap perkara yang diketahui dari agama dengan dharuurah (kemestian yaitu mau tidak mau kita harus mengetahuinya)
- Bisa terjadi dengan perbuatan kufur
- Dengan ucapan kufur
- Dan dengan meninggalkan serta berpaling dari agama Allah 'Azza wa Jalla.

Kekufuran dengan Keyakinan
 
Maka kekufuran bisa terjadi dengan keyakinan sebagaimana seandainya (seseorang) berkeyakinan (bahwa) Allah memiliki istri atau anak atau berkeyakinan bahwasanya Allah mempunyai sekutu pada kerajaan(Nya) atau bahwasanya Allah bersama-Nya ada yang mengatur terhadap alam ini atau berkeyakinan bahwa seseorang bersekutu dengan Allah dalam nama-nama-Nya atau sifat-sifat-Nya atau perbuatan-perbuatan-Nya atau berkeyakinan bahwasanya seseorang selain Allah berhak mendapatkan ibadah atau berkeyakinan bahwasanya Allah mempunyai sekutu pada rububiyyah(Nya), maka sesungguhnya dia (menjadi) kafir dengan keyakinan ini dengan kekufuran yang besar yang mengeluarkan dari agama.

Kekufuran dengan Perbuatan
 
Dan akan terjadi kekufuran dengan perbuatan sebagaimana seandainya (seseorang) sujud kepada patung atau melakukan sihir atau melakukan jenis yang manapun dari jenis-jenis kesyirikan seperti berdo'a kepada selain Allah atau menyembelih untuk selain Allah atau bernadzar untuk selain Allah atau thawaf kepada selain Baitullah dalam rangka mendekatkan diri kepada selain Allah tersebut (maka dia juga kafir keluar dari Islam dengan perbuatannya tersebut, pent.). Maka kekufuran itu bisa terjadi dengan perbuatan sebagaimana bisa terjadi dengan ucapan.

Kekufuran dengan Ucapan
 
Dan kekufuran bisa terjadi dengan ucapan sebagaimana seandainya (ada orang yang) mencela Allah atau mencela rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam atau mencela agama Islam atau memperolok-olok Allah atau kitab-Nya atau rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam atau agama-Nya. Allah Ta'ala berfirman tentang sekelompok orang pada perang Tabuk yang memperolok-olok Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya: "Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kalian selalu berolok-olok. Tidak usah kalian minta maaf karena kalian telah kafir sesudah beriman." (At-Taubah:65-66).
 
Maka Allah menetapkan kekufuran kepada mereka setelah mereka beriman, maka (hal ini) menunjukkan bahwasanya kekufuran itu bisa terjadi dengan perbuatan sebagaimana bisa terjadi dengan keyakinan dan juga dengan ucapan sebagaimana telah lewat pada ayat ini bahwasanya sekelompok orang ini telah kafir dengan ucapan.

Kekufuran dengan Juhuud (Pengingkaran)
 
Dan kekufuran bisa terjadi dengan pengingkaran dan keyakinan dan keduanya adalah sesuatu yang satu dan kadang-kadang keduanya ada perbedaan. Maka (kekufuran dengan) pengingkaran itu (adalah) seperti mengingkari perkara yang diketahui dari agama dengan kemestian seperti mengingkari rububiyyahnya Allah atau mengingkari uluhiyyahnya Allah atau haknya Allah terhadap ibadah atau mengingkari seorang malaikat dari kalangan para malaikat atau mengingkari seorang rasul dari para rasul atau sebuah kitab dari kitab-kitab yang telah diturunkan atau mengingkari (hari) kebangkitan atau surga atau neraka atau pembalasan atau perhitungan (di hari akhir nanti, pent.) atau mengingkari kewajiban shalat atau kewajiban zakat atau kewajiban haji atau kewajiban puasa atau mengingkari kewajiban berbakti kepada kedua orang tua atau kewajiban menyambung shilaturrahmi atau yang lainnya dari perkara-perkara yang diketahui dari agama dengan keharusan mengetahuinya akan kewajibannya.
 
Atau mengingkari pengharaman zina atau pengharaman riba atau pengharaman minum khamr atau pengharaman durhaka kepada kedua orang tua atau pengharaman memutus shilaturrahmi atau pengharaman suap atau yang lainnya dari perkara-perkara yang diketahui dari agama dengan keharusan mengetahuinya akan pengharamannya.

Kekufuran dengan Berpaling dari Agama Allah
 
Dan kekufuran bisa terjadi dengan berpaling dari agama Allah, meninggalkan dan menolak terhadap agama Allah seperti menolak agama Allah dengan berpaling dari agama Allah tidak mempelajarinya dan tidak pula beribadah kepada Allah, maka dia (menjadi) kafir dengan berpalingnya tersebut dan meninggalkan (agama Allah). Allah Ta'ala berfirman: "Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa-apa yang diperingatkan kepada mereka." (Al-Ahqaaf:3) dan Allah Ta'ala (juga) berfirman: "Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya kemudian ia berpaling darinya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa." (As-Sajdah:22)
 
Maka (kesimpulannya) kekufuran itu bisa terjadi dengan keyakinan, pengingkaran, perbuatan, ucapan dan berpaling, meninggalkan dan menolak (agama Allah).

Hukum Orang yang Dipaksa untuk Kufur
 
Dan barangsiapa yang dipaksa mengucapkan kalimat kufur atau melakukan perbuatan kufur maka sesungguhnya dia dalam keadaan ma'dzuur (dimaafkan) apabila keadaan pemaksaannya itu benar-benar dalam keadaan dipaksa yang sangat, seperti dipaksa oleh seseorang yang mampu untuk membunuhnya lalu orang itu mengeraskan ancamannya tersebut dalam keadaan dia mampu (untuk membunuh, pent.) atau diletakkan pedang dilehernya maka dia ma'dzuur dalam keadaan ini apabila melakukan kekufuran atau mengucapkan kalimat kufur dengan syarat hatinya tetap mantap dengan keimanan, adapun apabila hatinya mantap dengan kekufuran maka sesungguhnya dia kufur walaupun dalam keadaan dipaksa, nas`alullaahas salaamah wal 'aafiyah.

Pembagian Orang yang Berbuat Kufur
 
Maka orang yang melakukan kekufuran mempunyai lima keadaan:
1. apabila melakukan kekufuran dalam keadaan sungguh-sungguh maka orang ini kafir
2. apabila melakukan kekufuran dalam keadaan bergurau (atau main-main) maka orang ini (juga) kafir
3. apabila melakukan kekufuran dalam keadaan takut maka orang ini (juga) kafir
4. apabila melakukan kekufuran dalam keadaan dipaksa sedangkan hatinya mantap dengan kekufuran maka orang ini (juga) kafir
5. apabila melakukan kekufuran dalam keadaan dipaksa sedangkan hatinya mantap dengan keimanan maka orang ini tidak kafir berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang (mantap) dengan keimanan (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya 'adzab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih daripada akhirat dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir." (An-Nahl:106-107)

Pertanyaan Kedua:
(Iman adalah Ucapan, Amalan & Keyakinan)
 
Di sana ada orang yang mengatakan: "Iman adalah ucapan, amalan dan keyakinan, akan tetapi amalan adalah syarat kesempurnaan padanya (iman)", dan dia berkata juga: "Tidak ada kekufuran kecuali dengan keyakinan", apakah ini dari perkataannya Ahlus Sunnah atau bukan?

Jawaban:
 
Perkataan ini bukanlah dari perkataannya Ahlus Sunnah, Ahlus Sunnah mengatakan: "Iman adalah ucapan dengan lisan, ucapan dengan hati, amalan dengan anggota badan dan amalan dengan hati", dan di antara perkataan mereka (Ahlus Sunnah): "Iman adalah ucapan dan amalan", dan di antara perkataan mereka (juga): "Iman adalah ucapan, amalan dan niat" (semua ungkapan tersebut adalah satu makna, pent.), maka iman itu mesti terdiri dari empat perkara:
1. Ucapan lisan yaitu mengucapkan dengan lisan
2. Ucapan hati yaitu iqraar (penetapan) dan tashdiiq (pembenaran)
3. Amalan hati yaitu niat dan keikhlashan
4. Amalan anggota badan

Amalan Adalah Bagian dari Iman
 
Maka amalan adalah satu bagian dari bagian-bagian iman yang empat, maka tidak boleh dikatakan: "Amalan adalah syarat kesempurnaan (iman) atau bahwasanya amalan adalah kelaziman (keharusan) iman, karena sesungguhnya ini adalah ucapan-ucapannya murji`ah (yaitu golongan dari kalangan ahli bid'ah yang mengatakan bahwa iman itu sesuatu yang satu, tidak bertambah dan tidak berkurang sehingga imannya penduduk bumi sama dengan imannya penduduk langit dan mengatakan juga bahwa amalan bukan bagian dari iman, pent.) dan kita tidak mengetahui dari kalangan Ahlus Sunnah suatu ucapan pun bahwasanya amalan adalah syarat kesempurnaan (iman).

Kekufuran Tidak Mesti Adanya Keyakinan
 
Dan demikian juga ucapan orang yang mengatakan: "Tidak ada kekufuran kecuali dengan keyakinan", maka ini adalah ucapannya murji`ah, dan di antara ucapan mereka (murji`ah): "Amalan-amalan dan ucapan-ucapan adalah daliil (sesuatu yang menunjukkan) atas apa-apa yang ada di dalam hati dari keyakinan" dan ini adalah bathil, bahkan ucapan kufur itu sendiri adalah kekufuran dan amalan kufur itu sendiri (seperti sujud kepada patung, pent.) adalah kekufuran sebagaimana telah lewat pada firman Allah Ta'ala: "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja. Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kalian selalu berolok-olok. Tidak usah kalian minta maaf karena kalian telah kafir sesudah beriman." (At-Taubah:65-66), yaitu (mereka telah kafir) dengan ucapan ini (yaitu memperolok-olok Rasulullah).

Dalam ayat ini Allah tidak mensyaratkan adanya keyakinan dalam hati ketika mengucapkan ucapan kufur tersebut, artinya semata-mata dia mengucapkan ucapan kufur walaupun dengan bersenda gurau atau main-main maka telah jatuh kepada kekufuran, wal'iyaadzubillaah, pent.

Mudah-mudahan Allah selalu memberikan hidayah kepada kita dan menjaga kita dari terjatuh kepada perbuatan syirik dan kufur.
"Rabbanaa Laa Tuzigh Quluubanaa ba'da Idz hadaitanaa wa Hablanaa min Ladunka Rahmah Innaka Antal Wahhaab." (Aali 'Imraan:8)
"Allaahumma Innaa Na'uudzubika min An-nusyrika bika Syai`an-na'lamuh wa Nastaghfiruka limaa Laa Na'lam." (Hasan, HR. Ahmad)
Aamiin Yaa Mujiibassaa`iliin. Wallaahu A'lam. 

Dari: Buletin Al wala' wal Bara' Edisi ke-26 Tahun ke-2 / 02 Rabi'uts Tsani 1425 H
http://assunnah-qatar.com/artikel/tauhid/695-mewaspadai-kekufuran-yang-selalu-mengintai-kita.html

Pesona Memandang Ka'bah

Pesona Memandang Ka'bah
Ka'bah

REPUBLIKA.CO.ID, Rasa haru dan bahagia ketika memandang Ka'bah hanyalah dapat dirasakan bagi mereka yang memiliki hati yang bersih. Banyak sekali terlihat di antara jamaah haji yang menangis ketika memandang Ka'bah. Mengapakah bisa demikian? Apakah yang kita bayangkan ketika memandangnya?

Pada saat Ka‘bah telah tampak di depan mata, hendaknya kita menghadirkan keagungan Rumah Allah tersebut dalam hati kita. Banyak ulama yang mengatakan, ketika memandang Ka'bah hendaklah membayangkan seolah-olah sedang memandang Sang Pemilik Ka'bah itu sendiri, yaitu Allah SWT.

Ketika memandang Ka'bah dan membayangkan Sang Pemilik Ka'bah, hendaklah berharap semoga di Akhirat kelak mendapatkan anugrah untuk memandang wajah Allah SWT.

Kesempatan memandang wajah Allah di surga kelak adalah suatu kesempatan dan anugrah tertinggi bagi seorang mu'min. Kesempatan agung tersebut jauh lebih tinggi dari segala kenikmatan yang ada di surga. Tidak semua orang yang bisa mendapatkan kesempatan tersebut.

Ketika melihatnya, hendaklah memperbanyak doa. Diperbolehkan berdoa menurut apa yang disukai. Dalam sunnah, doa yang masyhur dibaca ketika memandang Ka'bah adalah;

"Allahumma zid hazal baita tasyrifan wata'zlman wataknman wamahabatan wazid man syarrafahu wa azzamahu wa karramahu mimman hajjahu awi'tamarahu tasyrifan wa ta’zTman wa taknman wabirran."

Artinya; "Ya Allah tambahkanlah kemuliaan, keagungan, kehormatan dan kehebatan pada Baitullah ini dan tambahkanlah pada orang-orang yang memuliakannya dan mengagungkannya dari orang-orang yang berhaji dan umrah kemuliaan, kebesaran, kehormatan dan kebaikan."

Ketika berdoa, hendaklah mencari posisi multazam, yaitu posisi antara hajar aswad dan pintu ka'bah. Sebagaimana diriwayatkan dari banyak hadist, multazam adalah salah satu tempat yang mustajabah (dijamin terkabulnya doa) bagi orang yang berdoa disana.

Selanjutnya, bersyukurlah kepada Allah SWT atas karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan untuk mengunjungi rumah-Nya. Banyak sekali orang yang merindukan untuk berangkat haji, namun belum juga kesampaian. Begitu juga orang yang hidup bergelimang harta, namun belum juga terpanggil hatinya untuk menunaikan haji.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Hannan Putra
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/06/23/m61kyc-pesona-memandang-kabah

TUNTUNAN SHALAT menurut Al-Qur'an & As-Sunnah


Telah banyak tulisan-tulisan tentang tuntunan shalat yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Namun, sedikit sekali yang memperhatikan keshahihan dan akurasi dalilnya. Inilah salah satu motivasi mengapa tulisan  ini diterbitkan. Yakni menyampaikan tata cara shalat yang benar sesuai tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih.

Tulisan ini adalah terjemahan dari salah satu bahasan dalam buku "Syarhu Arkaanil Islaam" (Penjelasan Rukun-rukun Islam) yang ditulis oleh seorang penuntut ilmu dan diberi pengantar oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin.


Link : alqiyamah.files.wordpress.com/2008/03/tuntunan-shalat.doc


Ta'awun Antar Umat Islam

Manhaj perjuangan, jalan yang secara sengaja hendak dilewati untuk memperjuangkan Islam di era kita sekarang ini telah berkembang dan tak sepenuhnya ter-integrasi seperti pada kali pertama RasululLah shallalLaahu 'alayhi wa sallam menempuhnya. Abu Mush'ab As-Suri dalam Ad-Da'wah Al-Muqowamah al-Islamiyah menyebut adanya beberapa tiyar (aliran, arus) dalam pergerakan perjuangan umat Islam, diantaranya : tiyar da'awiy, tiyar tarbawiy, tiyar jihadiy dan tiyar siyasiy (aliran dakwah, pendidikan, jihad dan politik). 
 
Pemilihan aliran tersebut lebih sering disebabkan oleh perkembangan kondisi kehidupan sekarang, sejak sekularisme barat berkuasa, yang menjadikan kehidupan masyarakat manusia di fait accompli dalam pilihan-pilihan ekstrem, dimana ketika seseorang memilih satu spesialisasi, berarti dia harus meninggalkan spesialisasi yang lain. Tanpa mengingkari kenyataan adanya orang-orang muslim yang memang telah terkalahkan secara konsepsi bahwa memang harus begitu dan mereka menerima kenyataan itu dengan suka rela. Ada juga yang pemilihan tiyar tersebut dilatar-belakangi oleh keinginan untuk sebisa mungkin menghindari 'resiko' duniawi perjuangan, tetapi tetap mendapatkan pengakuan sebagai pejuang.
 
Kenyataannya, kehidupan umat Islam memang tidak terlepas dari fokus-fokus pekerjaan tersebut. Ketika para kader umat yang menginginkan dirinya menjadi bagian dari proses kebangkitan kembali umat Islam mengambil tanggung jawab dalam salah satu fokus pekerjaan tersebut dengan didasari pemikiran yang utuh dan benar, disertai dengan sikap obyektif memandang bahwa apa yang dikerjakannya merupakan  bagian tidak terpisahkan dari pekerjaan umat, mengakui dan menganggap apa yang dikerjakan oleh elemen umat yang lain yang mengambil fokus pada amal yang lain juga merupakan perkara yang penting dan saling membutuhkan, insya Allah semua pekerjaan itu merupakan faktor-faktor kebangkitan umat yang saling menguatkan dan saling membutuhkan.
 
Yang menjadi persoalan, ketika pemilihan tiyar amal tadi bukan dilandasi dengan pemahaman konsepsi yang utuh dan benar. Dilatar-belakangi dengan menganggap rendah dan menafikan fokus 'amal yang dipilih oleh umat Islam yang lain. Ditambah dengan arogansi bahwa fokus 'amal yang dipilihnya merupakan amal terpenting dan yang lain boleh diabaikan. Ini menyemai bibit bencana, wal-'iyaadzu bilLaah
 
Para abnaa' ash-shohwah al-Islamiyah selayaknya menyadari, sesuatu yang direncanakan dengan baik dan dilandasi dengan niat baik saja, banyak godaan, tantangan, hambatan dan ancaman yang dapat menyelewengkan dari tujuannya. Apalagi yang sejak keberangkatannya memang diliputi dengan kelemahan konsepsi dan atau salah niat. Kemungkinan untuk tidak sampai kepada tujuan kemuliaan Islam jauh lebih besar.

Masalah Skala Prioritas.

Perbedaan pemilihan fokus amal, kadang juga dilatar-belakangi dengan pemahaman mengenai skala prioritas amal dalam upaya menggapai kebangkitan kembali umat. Ada yang beranggapan bahwa yang penting berjihad untuk memenangkan Islam terlebih dahulu, baru setelah kemenangan diraih, kita menangani masalah dakwah, siyasah dan pendidikan. Ada juga yang memandang bahwa yang perlu diprioritaskan adalah pendidikan, dengan pendidikan, umat akan tumbuh kesadaran terhadap harga dirinya, mampu menguasai teknologi untuk kemaslahatan umat dan pada akhirnya umat akan kembali menang dan memimpin. Elemen yang fokus kepada politik berpandangan bahwa yang penting umat memiliki kesadaran politik, sehingga dengan adanya partai politik yang didukung umat Islam mayoritas, partai Islam akan meraih kekuasaan politik dan umat Islam akan menang. Demikian pula yang mengambil tiyar yang lain akan berpendapat sesuai dengan jalan pikirannya masing-masing.
 
Meskipun argumentasi yang diajukan menunjukkan kualitas kedalaman pemahaman terhadap tashowwur Islam yang dimiliki, tak sepatutnya dikritisi seketika, jika tidak ingin menampakkan arogansi dan membuat jarak sejak awal. Hal itu dikarenakan kesadaran dan kematangan itu sendiri berproses. Tidak jarang suatu kebenaran ditolak, bukan karena kurangnya kadar kebenaran itu, tetapi karena perangkat yang dimiliki untuk mempersepsi kebenaran itu belum sempurna. Tatkala perangkat itu sempurna, dibarengi dengan tingkat kematangan yang diraih, maka kebenaran itu diterima.

Pemilihan Fokus 'Amal, Kesadaran Sebagai 'Bagian Dari', Saling Melengkapi dan Menguatkan.

Jika pemilihan fokus amal dilakukan oleh satu jamaa'ah minal-muslimin (komunitas umat Islam) atas dasar bahwa pada amal tersebut Allah memberikan karunia kemampuan untuk mengelola, disertai sikap merasa merupakan 'bagian tak terpisahkan' dari umat secara keseluruhan, diikuti dengan kesediaan untuk membangun komunikasi dan menerima masukan dari pihak lain, dan mendedikasikan fokus amalnya sebagai kontribusi positif bagi kebangkitan umat, maka usaha tersebut tentu positif, konstruktif dan kontributif terhadap kebangkitan, serta maqbul disisi-Nya insya Allah.
 
Sebaliknya jika tidak dilandasi dengan sikap seperti di atas, maka tak ada satu elemen umat Islam pun, betapapun bagus konsepnya, rapi administrasi dan disiplin organisasinya,  yang mampu memenangkan Islam sendirian. Terlebih jika hanya menyandarkan kepada usahanya semata dan melupakan ma'iyyah (keikutsertaan) dan nashr (pertolongan) dari Allah. Jika demikian, tentu saja persoalannya lebih serius, sebab menyangkut kelemahan dalam keimanan.
 
Fokus amal dalam masalah pendidikan Islam, misalnya, merupakan hal yang sangat penting, sebagaimana hal itu dilakukan oleh Imaduddien Zanki dalam mempersiapkan umat menghadapi kaum salibis yang pada saat itu telah berhasil menancapkan kukunya di Syam, bahkan berhasil menguasai Bayt al-Maqdis, membentuk kerajaan-kerajaan Kristen di sekitar Al-Quds. Tarbiyah Islamiyah yang secara sungguh-sungguh merekonstruksi tashowwur Islam yang benar, meluruskan kembali irodah umat Islam dalam beramal, menumbuhkan kesadaran pengorbanan dalam perjuangan menegakkan Islam, memasok sektor-sektor kehidupan umat Islam dengan kader-kader hasil dari tarbiyah Islamiyah yang shohihah, merupakan langkah awal kebangkitan umat Islam. Jika ini yang dilakukan dalam pemilihan fokus tiyar tarbawiy, maka hal itu merupakan hulu dari kebangkitan umat.
 
Jika fokus amal jihadiy dimulai dari hulu penyiapan kekuatan umat agar mampu untuk berjihad, maka pasti akan banyak amal Islamiy yang dikerjakan beririsan dengan amal Islamiy yang dikerjakan oleh komunitas yang mengambil fokus pada tiyar yang lain seperti da'awiy dan tarbawiy. Sebab tak mungkin satu komunitas umat Islam mau melakukan jihad fie sabiililLah boleh mengabaikan da'wah dan tarbiyah. Sebab jihad yang benar pasti harus memikirkan dan melalui fase-fase tersebut untuk sampai kepada 'amal jihadiy. Meski tidak sebaliknya. 
 
Demikianlah contoh hubungan yang jika dilakukan secara jujur, obyektif dan dewasa merupakan rangkaian 'amal yang saling terkait, saling membutuhkan dan saling melengkapi dalam derap langkah menuju kebangkitan umat. Namun jika dilakukan dengan saling menafikan, saling membelakangi, diliputi sikap arogansi dan menutup pintu komunikasi ; kemenangan di dunia merupakan utopia dan keberhasilan di akherat hanya impian.
 
Allah telah men-syariatkan ta'awun untuk merealisasikan kebaikan dan taqwa. Karena memang tidak seluruh 'amal dalam Islam dapat dilaksanakan hanya dengan bersendirian. Banyak 'amal Islamiy yang mashlahat-nya berlaku luas bagi umat, tetapi pelaksanaannya mensyaratkan saling menolong, saling membantu, saling menopang dan saling menguatkan untuk dapat direalisasikan.  Nabi shallalLaahu 'alayhi wa sallam menshifati umat ini seperti bangunan yang sebagian terhadap sebagian yang lain saling menguatkan :
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا
Seorang mu'min terhadap orang mu'min yang lain seperti bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. (dishahihkan oleh Syaikh al-Albaniy dalam Shohih al-Jami' ash-Shoghir no. 6654).
 
Beliau shallalLaahu 'alayhi wa sallam bahkan memerinci perkara-perkara yang menjadi penghalang ta'awun dan melarangnya, memerintahkan umat agar menjadi hamba-hamba yang bersaudara dalam ikatan iman, bahkan menetapkan batas maksimal toleransi seorang muslim boleh mendiamkan saudara seimannya maksimal 3 hari.
 
لا تباغضوا و لا تحاسدوا و لا تدابروا وكونوا عباد الله إخوانا و لا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاث ليال
Janganlah kalian saling membenci, jangan saling mendengki, jangan saling membelakangi dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudara muslimnya lebih dari tiga hari. (dishahihkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shahih Adab al-Mufrad).
 
Memang, jika diteropong keadaan umat hari ini, dimana setiap kelompok umat Islam menjaga tapal batas kelompoknya, sibuk dengan agendanya sendiri, hampir tidak menyisakan waktu untuk berkomunikasi dengan umat Islam di luar kelompoknya, rasanya menyedihkan. Mungkin saat kebangkitan yang sesungguhnya, apalagi kemenangan, masih panjang. Hanya, keyakinan orang yang beriman, akan datangnya kemenangan adalah kepastian.
 
http://on-thesunnah.blogspot.com/2011/07/taawun-antar-umat-islam.html