Gaza akan Wisuda 12 Ribu Penghafal Al-Qur’an

GAZA--Hampir 12 ribu penghafal alquran di Jalur Gaza, setelah mereka menyelesaikan tahap akhir pemantapan selama 60 hari berturut-turut. Mereka tersebar pada ratusan pusat penghafal tahfidz Al-Qur’an di Gaza. Termasuk kamp-kamp pengungsian yang dijadikan halaqah-halaqah hifdzil Qur’an.

Mereka menamakan halaqah-halaqah tersebut “Generasi Qur’ani Untuk Al-Aqsha” yang berada dibawah pembiayaan pemerintah Palestina pimpinan Ismael Haneya dan langsung dibawah pengawasan departemen waqaf dan urusan agama Palestina.

Halaqah-halaqah ini mendapat sambutan luar biasa dari warga. Mereka berlomba-lomba mendaftarkan anak-anaknya pada halaqah tersebut, hingga banyak diantara para perserta yang ditolak, karena tempatnya sudah tak menampung lagi.

Sukses Besar

Sementara itu, Dr. Thalib Abu Syaer, menteri waqaf dan urusan agama Palestina mengatakan, kami sedang berupaya mewisuda sejumlah penghafal Alqur’an, setelah sebelumnya sukses selama beberapa tahun terakhir dan tentu kami merasa bangga.

Dalam wawancaranya dengan pusat infopalestina, menteri waqaf mengatakan, jauh-jauh hari kami sudah merencanakan dan menyusun perangkat-perangkat yang diperlukan dalam program kamp qur’ani. Ia berharap programnya ini bisa sukses.

Ia menyebutkan, ada sekitar 870 penghafal Alqur’an yang tersebar di 272 pusat tahfidz Alqur’an di Jalur Gaza (Rafah, Khanyunis, Gaza Tengah, Gaza, Gaza Utara).

Ia mengisyaratkan, pihaknya sedang mempersiapkan perhelatan akbar dan spektakuler untuk memberkan penghargaan pada para penghafal Al-Qur’an. Ia mengungkapkan, bangga atas prestasi para penghafal tersebut. Ini adalah kebiasaan yang baik yang digalakan pemerintah Palestina melalui menteru waqaf dan urusan agama secara khusus.

Peningkatan kemampuan dalam membaca dan menghafal

Di sisi lain, Dr. Abdullah Abu Jarbu deputi departemen waqaf mengatakan, proyek hifdzil Alqur’an yang dilakukan departemen waqaf ini bertujuan secara langsung mencetak para penghafal Alqur’an, disamping meningkatkan bacaan dan mereka, melalui penghafalan Alqur’an.

Dr. Abu Jarbu’ menjelaskan, ada sejumlah mahasiswa yang mempunyai predikat al-hafidz. Pihaknya sangat memperhatikan masalah ini dengan memunculkan bakat dan kemampuan mereka dalam menghafal Alqur’an. Mereka dipersiapkan untuk mengikuti kamp musabaqah tilawatil alqur’an regional dan internasional yang dapat mengangkat derajat Palestina di dunia internasional.

Proyek Besar

Di pihak lain, Diyab Radhi, seorang warga Palestina di Gaza sangat menghargai langkah yang dilakukan departemen waqaf dan urusan agama. Ia mengucapkan terima kasih pada pemerintah dalam hal ini, yang telah mengadakan program kamp hifdzil Alqur’an.

Ia menambahkan, kami telah menunggu dengan shabar musim panas tiba untuk memulai proyek besar ini dan agar kita bisa membentuk anak-anak kita dan selanjutnya kita membantu mereka untuk menghafal alqur’an dalam waktu tertentu. (rpblk)

http://alsofwah.or.id/?pilih=lihatakhbar&id=1000

Begini Lo, Etos Islami Muslim Xinjiang

Begini Lo, Etos Islami Muslim Xinjiang
 
Seorang anak laki-laki Xinjiang membantu ayahnya berjualan peci khas Muslim Uighur.
 

Semakin sukses usahanya, maka semakin dekat Muslim Xinjiang pada Tuhannya. Ini harga mati. (Ma Jianguo, pengusaha dan takmir Masjid Urumqi)

REPUBLIKA.CO.ID, URUMQI--Pihak berwenang Cina sering mengaitkan agama dalam hubungannya dengan tindak kekerasan di Xinjiang. Tapi bagi banyak Muslim di Cina barat laut, iman tidak terkait dengan politik. Sebagian besar melihat Islam sebagai kekuatan positif bagi masyarakat, tak lebih.

"Islam adalah tentang bagaimana Anda menjalani hidup selamat di dunia dan akhirat," ujar Ma Jianguo, takmir masjid agung Urumqi. Itu sebabnya, di sela-sela menjalankan usahanya, ia bergegas meninggalkan semua urusan begitu jarum jam menunjukkan pukul 11.00 siang. Ia segera membuka gerbang masjid dan bersiap mengumandangkan adzan. Bersama Ma, puluhan Muslimin -- sebagian besar berusia muda dengan kemeja putih -- turut serta. Satu dua orang adalah karyawannya.

"Kami percaya jika kami melakukan bisnis sehari-hari, minum alkohol, merokok, dan tidak menerima Allah, maka kami akan dihukum dan maka bisnis tidak akan begitu baik," jelas Ma. "Sebaliknya, jika kita tak meninggalkan shalat dan menjauhi segala larangan-Nya, maka Allah pun akan baik kepada kita. Semakin sukses usahanya, maka semakin dekat Muslim Xinjiang pada Tuhannya. Ini harga mati."

Kendati begitu, kata Ma,  iman yang seharusnya tidak didorong oleh keinginan material. Ayahnya, yang pernah menjadi imam di masjid itu, dipaksa bekerja selama tujuh tahun di sebuah tambang batubara selama Revolusi Kebudayaan. Di tengah kerja keras tanpa upah dan dihadapkan pada tindak sewenang-wenang tentara, shalat tak pernah ditinggalkan, kedati sembunyi-sembunyi. "Dia tak ingin sejengkalpun kehilangan kontak dengan Tuhannya," ujarnya.

Dia mengajarkan empat anaknya tentang Islam dan bagaimana untuk percaya. "Apakah Anda punya uang atau tidak, sesuatu untuk dimakan atau tidak, jangan berhitung tentang itu. Berdoalah kepada Allah dan kondisi apapun, itulah firman Allah," kata Ma.

Banyak pemuda Muslim di Urumqi mendengarkan musik Barat dan mengenakan pakaian Barat. Mereka bahkan mungkin punya pacar atau berkencan sebelum menikah. Namun begitu panggilan adzan berkumandang, mereka terpekur di dalam masjid.

Bahkan, tradisi ini terbawa hingga mereka keluar dari Urumqi dan mencari peruntungan baru di kota lain. Alwina misalnya. Dia baru saja menyelesaikan studi ekonominya di Universitas Xinjiang. Dia bekerja selama musim panas di bar. "Sulit untuk berbicara tentang iman," katanya. "Jika Anda meyakini sesuatu, maka Anda akan total. Buat saya berdoa (shalat) adalah sebuah kebutuhan," ujarnya.

Dari sisi pemikiran, mereka juga lebih terbuka. Islam, kata Alina, seorang Muslimah Urumqi yang berjilbab, bukan kotak kubik yang memasung pemeluknya. Menuntut ilmu di Beijing, dia lebih terbuka dalam segala hal, termasuk mencari pasangan hidup. Agama, katanya, tak harus membatasi cinta. "Aku tidak akan menikah dengan seorang Cina Han, agama kami tidak memerintahkan itu," ujarnya.

Ia meyayangkan orang berpandangan miring tentang Islam. "Saya tak habis pikir, apa yang ada dalam benak mereka tentang Islam, ya?" ujarnya menerawang.

Ia mengaku dari sisi pergaulan, prestasi akademik, gaya hidup, dan kebiasaan, tak beda dengan teman-teman yang lain. Satu yang membedakan hanyalah: ia melakukan shalat lima kali sehari, tak minum alkohol, dan makananan non-halal. "Tapi mereka tak mengizinkan saya melakukan praktik keagamaan -- shalat lima waktu -- di lingkungan kampus," ujarnya.

Setelah kerusuhan tahun lalu di Urumqi, pihak berwenang menetapkan bahwa masjid tidak bisa lagi dibuka sepanjang waktu. Pintu gerbang dikunci rapat dan baru dibuka pada waktu-waktu shalat. Mengutip omongan Ma, para pejabat negara datang setiap hari Jumat untuk memastikan bahwa imam tidak memasukkan omongan tentang separatisme dan kekerasan sebagai bagian dari khotbahnya.

Penindasan terhadap Muslim Uighur terutama Sunni meningkat sejak kerusuhan tahun lalu. Pengamat politik di Cina memandang hal ini kuntraproduktif yang justru memicu munculnya ekstremisme di wilayah itu, yang sampai sekarang telah memiliki pemahaman sebagian besar liberal Islam. "Bagi Muslim Xinjiang kebanyakan, etos Islam yang dipegang, bukan pragmatisme seperti yang dianut sebagian kecil saja dari mereka," ujarnya.
Red: Siwi Tri Puji.B
Sumber: DW-World

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/07/01/122561-begini-lo-etos-islami-muslim-xinjiang 

Ittiba’ An-Nabiy Salallahhu Alaihi Wasalam Dalam Perspektif Sunnah

Saudaraku kaum muslimin... Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam bersabda
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ، وَوَالِدِهِ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga dia mencintai diriku melebihi cintanya kepada anak dan orang tuanya serta seluruh manusia yang lainnya” (HR. al-Bukhāriy No. 15 dan Muslim No. 44)

Suatu ketika, ‘Umar bin al-Khaththab Radhiallahuanhu berkata kepada Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam:
(( يَا رَسُوْلَ اللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي ))
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau benar-benar sangat saya cintai melebihi siapapun juga, kecuali dari diriku sendiri”
Maka Rasulullah Salallahualaihi Wasalam bertutur kepadanya:
(( لاَ، وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ ))
“Tidak demikian halnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya aku lebih dicintai olehmu walaupun dari dirimu sendiri”
Kemudian ‘Umar Radhiallahuanhu pun berkata kepada beliau Salallahhu Alaihi Wasalam:
(( فَإِنَّهُ اْلآنَ وَاللهِ! َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي )
“Adapun sekarang, demi Allah, sesunguhnya engkau benar-benar sangat saya cintai melebihi dari diriku sendiri”
Kemudian Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam bersabda:
(( اْلآنَ يَا عُمَرُ ))
“Sekarang (benar), wahai ‘Umar!” (HR. al-Bukhāriy No. 3694)

Saudaraku kaum muslimin...

Di antara sarana paling utama agar kita dapat merealisasikan konsep ittibā’ adalah dengan mahabbah (mencintai) Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam:
melebihi cinta kita kepada siapapun atau apapun, juga dengan senantiasa mengutamakan sabda-sabda dan perintah-perintahnya lebih dari pendapat dan perintah selainnya.
Benih mahabbah (cinta) kepada Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam:

mulai bersemi dari adanya mahabbah qalbiyyah (kecintaan hati) ke-padanya serta tamannī ru’yatihi (harapan untuk dapat bertemu) dan tamannī shuhbatihi (berkawan) dengannya, ke-mudian ditutup dengan upaya keras untuk mengamalkan seluruh syari’at-nya dengan penuh kecintaan dan ke-rinduan kepadanya, secara lahir maupun batin.
Benih mahabbah (cinta) ini akan se-makin tumbuh dan mengkristal apabila kita merenungkan sabda beliau Salallhu Alaihi Wasalam berikut:

مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِي لِيْ حُبًّا نَاسٌ يَكُوْنُوْنَ بَعْدِيْ، يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَآنِيْ بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ
“Ummatku yang sangat mencintai diriku adalah orang-orang yang hidup sepeninggalku, hingga salah satu di antara mereka sampai-sampai ada yang sangat berkeinginan untuk berjumpa denganku beserta segenap keluarga dan hartanya” (HR. al-Bukhāriy No. 3694)

Saudaraku kaum muslimin...

Benih mahabbah (cinta) tidaklah tumbuh begitu saja, tetapi memerlukan faktor pendorong dan bahkan alasan kuat. Di antara faktor yang dapat menum-buhkan mahabbahta’zhīm(pengagungan) kepada Rasulul-lah sa, adalah: (kecintaan) dan

1. Harapan untuk dapat merealisasikan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan perintah-Nya yang menegaskan kepada kita untuk mencintai dan mengagung-kan Rasul-Nya Salallahhu Alaihi Wasalam.

  • · Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersumpah dengan masa hidup (umur) beliau Salallahhu Alaihi Wasalam, sebagai ben-tuk pengagungan-Nya kepadanya:
“(Allah berfirman): “Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)”[QS. al-Hijr (15): 72]

  • · Allah Subhanahu Wa Ta’ala memujinya Salallahhu Alaihi Wasalam:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” [QS. al-Qalam (68): 4]
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” [QS. asy-Syarh(94): 4]

  • · Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dipuji dan diagungkan nama-nya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala selain Rasul Salallahhu Alaihi Wasalam, bahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikannya sebagai khalīl(kekasih)-Nya. (Lihat: HR. Muslim 2/1855 No. 2383)
Ibnu al-Qayyim Rahimahullah berkata:

( وَكُلُّ مَحَبَّةٍ وَتَعْظِيْمٍ لِلْبَشَرِ فَإِنَّمَا تَجُوْزُ تَبَعًا لِمَحَبَّةِ اللهِ وَتَعْظِيْمِهِ، كَمَحَبَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَتَعْظِيْمِهِ، فَإِنَّهَا مِنْ تَمَامِ مَحَبَّةِ مُرْسِلِهِ وَتَعْظِيْمِهِ، فَإِنَّ أُمَّتَهُ يُحِبُّوْنَهُ لِمَحَبَّةِ اللهِ لَهُ، وَيُعَظِّمُوْنَهُ ِلإِجْلاَلِ اللهِ لَهُ، فَهِيَ مَحَبَّةٌ ِللهِ مِنْ مُوْجِبَاتِ مَحَبَّةِ اللهِ... )
“Setiap bentuk kecintaan dan pen-gagungan kepada manusia hanya di-perbolehkan sebagai kelanjutan dari bentuk kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Seperti halnya kecin-taan dan pengagungan kepada Rasulullah, maka ini merupakan penyem-purna bagi kecintaan dan pengagungan kepada Dzat yang mengutusnya, yaitu Allah. Oleh karena itu, ummatnyapun mencintainya karena adanya kecintaan Allah kepadanya dan mengagungkan-nya karena adanya pengagungan Allah kepadanya. Kecintaan kepada Rasu-lullah merupakan persembahan cinta kepada Allah, sekaligus sebagai bukti cinta kepada-Nya...”(Lihat: Jalā’ al-Afhām: 297)

2. Kecintaan dan pengagungan kepada Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam adalah syarat bagi ke-imanan seseorang.
Ibnu Taymiyyah Rahimahullah berkata:

إِنَّ قِيَامَ المَدْحَةِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ وَالتَّعْظِيْمِ وَالتَّوْقِيْرِ لَهُ قِيَامُ الدِّيْنِ كُلِّهِ، وَسُقُوْطُ ذَلِكَ سُقُوْطُ الدِّيْنِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya terealisasinya pu-jian, pengagungan dan penghormatan kepadanya (Rasulullah) merupakan pilar bagi tegaknya seluruh syi’ar agama. Sebaliknya, runtuh atau hilangnya pilar tersebut adalah kehancuran bagi selu-ruh syi’ar agama”(Lihat: ash-Shārim al-Maslūl: 211)

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan berba-gai keistimewaan dan karakteristik agung kepada Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam; yaitu nasab (keturunan) dan keluarga yang mulia lagi pilihan, pertumbuhan hidup yang baik serta kesempur-naan akhlak, sifat dan tingkah laku.

4. Besarnya kecintaan, kasih sayang dan welas asih Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam kepada ummatnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya telah datang kepada-mu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas ka-sihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min” [QS. at-Tawbah (9): 128]
Banyak sekali lantunan dan kumandang do’a beliau sa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar ummatnya dilimpahkan berbagai karunia dan kebaikan!

Begitu banyak beban derita yang beliau pikul demi tersebarnya dakwah, walaupun harus menghadapi berbagai ejekan dan siksaan dari orang-orang musyrik! (Lihat: at-Ta’addub Ma’a Rasūlillah fī Dhaw’ al-Kitāb wa as-Sunnah: 37-123, oleh Hasan Nūr Hasan)

Saudaraku kaum muslimin...
Sesungguhnya mencintai Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam termasuk salah satu pilar agama yang paling utama, sehingga tidaklah mengherankan bahwa tidak ada kei-manan bagi orang-orang yang tidak menjadikan Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam sebagai insan yang paling dicintainya melebihi anak dan keluarganya serta seluruh manusia yang lainnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih dari-pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” [QS. at-Tawbah (9): 24]
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri…” [QS. al-Ahzāb (33): 6]
Berkaitan dengan ayat tersebut, Rasu-lullah Salallahhu Alaihi Wasalam bersabda:
(( مَا مِنْ مُؤْمِنٍ إِلاَّ وَأَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِهِ فِيْ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ ))
“Tidak ada seorang mukminpun kecuali dia akan lebih mencintai diriku, baik di dunia maupun di akhirat” (HR. al-Bukhāriy 6/22 no. 4781)
Dalam riwayat lain, beliau bersabda:
(( أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ ))
“Saya adalah orang yang harus lebih dicintai oleh sorang mukmin, walaupun dari dirinya sendiri” (HR. Muslim 1/592 No. 687)

Saudaraku kaum muslimin...
Mahabbah (kecintaan) kepada Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam memiliki dua tingkatan, yaitu:

1. Wajib atau Fardhu.
Yaitu mahabbah yang mengandung konsekuensi untuk merealisasikan se-gala perintah Rasulullah sa dan men-jauhi larangannya, rela atau ridha ter-hadap segala ketetapannya, mendasar-kan pengambilan berbagai perintah dan larangan dari ajaran yang dibawa-nya dan tidak memilih jalan kecuali jalan yang telah ditempuh olehnya.

2. Sunnah atau Mandub.
Yaitu mahabbah yang mengandung konsekuensi untuk mengikuti dan men-contoh dengan baik beragam sunnah, akhlak, adab dan ibadah-ibadah sun-nah yang beliau kerjakan. (Lihat: IstinsyāqNasīm al-Uns min Nafahāt Riyādh al-Quds: 34-35 dan Fath al-Bāriy 1/61)

Saudaraku kaum muslimin...
Pangkal utama sebuah mahabbah (cinta) adalah ath-thā’ahal-inqiyād (tunduk patuh) dan at-taslīm (menerima dengan totalitas), bahkan hal ini meru-pakan kewajiban mahabbahtersebut. (taat),
Oleh karena itu, tidak diperkenan-kan bagi seorangpun untuk keluar atau membangkang dari ketaatan kepada Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam dan perintahnya. Bahkan wajib baginya untuk merealisasikan segala perintah dan meninggalkan segala larangannya, serta dengan lebih mengutamakan kecintaan kepadanya dari pada kecintaan kepada keinginan jiwa dan hawa nafsunya sendiri. (Lihat: Fath al-Bāriy 1/53)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga me-reka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, ke-mudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka mene-ima dengan sepenuhnya” [QS. an-Nisā’ (4): 65]

Saudaraku kaum muslimin...
Sebagai penutup, marilah kita renungkan sabda Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam berikut:
(( ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ: أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ للهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ ))
“Tiga hal yang apabila seseorang dapat merealisasikannya, maka ia akan mera-sakan lezatnya keimanan, yaitu; 1. Men-jadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai sesuatu yang paling dicintainya dari selainnya, 2. Mencintai seseorang, tiada lain mencintainya kecuali hanya karena Allah, 3. Benci apabila dirinya terjeru-mus kembali kepada kekafiran seperti kebenciannya apabila dijerumuskan ke dalam api” (HR. Muslim 1/592 No. 687)
Seorang penyair bijak berkata:
َعْصِي اْلإِلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ ذَاكَ لَعُمْرِي فِي الْقِيَاسِ بَدِيْعُ لَـوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا َلأَطَعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِـمَنْ أَحَبَّ مُطِيْعُ
Engkau bermaksiat kepada Allah, padahal kau mengaku mencintai-Nya
Dalam pandanganku, itu bukanlah timbangan yang pantas
Seandainya cintamu tulus, tentu kau akan mentaati-Nya
Karena sang pencinta kan taat pada yang dirindukannya
Kitab-kitab yang mengupas secara khusus tentang mahabbahta’zhīm danittibā’ kepada Rasulullah sa, di antaranya:
· al-Ittibā’ –Anwā’uhu–wa Atsaruhu fī Bayān al-Qur’ān, karya Muhammad bin Mushthafā as-Sayyid (2 jilid).
- Jilid 1: al-Ittibā’ al-Mahmūd
- Jilid 2: al-Ittibā’ al-Madzmūm
· Huqūq an-Nabiy sa Bayna al-Ijlāl wa al-Ikhlāltaqdīm. Dr. Shālih al-Fawzān, Dr. Muhammad ar-Rāwiy, Syaykh Muhammad Shafwat Nūr ad-Dīn (kumpulan risalah).
- Risalah 1: Dam’atun ‘Alā Hubb an-Nabiy sa, karya ‘Abdullah bin Shālih al-Khudhayriy.
- Risalah 2: Mahabbah an-Nabiy sa wa Ta’zhīmuhu, karya ‘Abd al-Lathīf bin Muhammad al-Hasan.
- Risalah 3: Ittibā’ an-Nabiy sa fi Dhaw’ al-Wahyayn, karya Fayshal bin ‘Alī al-Ba’dāniy.
- Risalah 4: Hukm al-Ihtifāl bi Dzikrā al-Mawlid an-Nabawiy, karya Dr. Shālihbin Fawzān al-Fawzān.
- Risalah 4: Zhāhirah al-Ihtifāl bi al-Mawlid an-Nabawiy wa Ātsāruhu, karya ‘Abd al-Karīm al-Hamdān.
- Risalah 6: Mazhāhir al-Ghuluw fī Qashā’id al-Madīh an-Nabawiy, karya Sulaymān bin ‘Abd al-Karīm al-Furayjiy.
- Risalah 7: Qawādih ‘Aqadiyyah fī Burdah al-Būshīriy, karya Dr. ‘Abd al-Azīz bin Muhammad Ali ‘Abd al-Lathīf.

Harta Yang Penuh Berkah



Sering sekali kita mendengar perihal harta barokah. Namun apakah sebenarnya yang dimaksud dengan harta yang barokah itu, dan apakah hubungannya dengan zakat?
Harta yang barokah ialah harta yang menyebabkan seseorang yang mempergunakannya memperoleh ketenangan dan ketenteraman jiwa sehingga mampu mendorongnya untuk berbuat kebaikan kepada sesama. Harta yang demikian inilah pada hakekatnya sangat didambakan dan dicari oleh setiap orang; sebab ketenangan dan ketenteraman jiwa itulah yang menjadi faktor penentu bagi kebahagiaan hidup seseorang.
Dalam kitab Riyadus Shalihin dijelaskan bahwa yang dimaksud barokah adalah
sesuatu yang dapat menambah kebaikan kepada sesama, ziyadatul khair 'ala al ghair. Bila dikaitkan dengan harta, maka yang dimaksud dengan harta yang barokah itu sebagaimana dipaparkan di atas.

Harta-harta yang barokah itu, haruslah yang halal dan baik, karena sesuatu yang diambil dari yang tidak halal dan tidak baik tidak mungkin mampu mendorong kita kepada kebaikan diri maupun orang lain, sebagaimana isyarat Allah swt. dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 168 yang artinya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الاَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ .

"Wahai manusia, makanlah dari apa-apa yang ada di bumi yang halal dan yang baik. Dan janganlah kamu sekalian mengikuti jejak langkah dari Syaithan, karena sesungguhnya Syaithan itu adalah musuhmu yang nyata".
Dalam kesempatan yang lain Nabi Muhammad juga pernah menyatakan kullu lahmin nabata minal harom, fan naaru aula bihi. Setiap daging yang timbul atau dihasilkan dari sesuatu yang haram maka hanyalah neraka yang patut menerimanya.
Secara rinci yang dimaksudkan dengan halal di sini adalah:
  1. Halal wujudnya, yaitu apa saja yang tidak dilarang oleh agama Islam, seperti makanan dan minuman yang tidak diharamkan oleh syari'at agama Islam.
  2. Halal cara mengambil atau memperolehnya, yaitu cara mengambil atau cara memperoleh yang tidak dilarang oleh syari'at agama Islam, seperti harta yang diperoleh dari ongkos pekerjaan yang halal menurut pandangan syari'at agama Islam, sedang ongkos tersebut juga berasal dari hasil pekerjaan yang halal.
  3. Halal karena tidak tercampur dengan hak milik orang lain, karena sudah dikeluarkan zakatnya. Harta yang demikian itu, jika berupa bahan makanan dan dimakan oleh seseorang, maka pengaruhnya sangat positif bagi kesehatan mental atau jiwa seseorang.
Setiap orang yang lahir di dunia ini oleh Allah swt. telah dibekali dengan dua macam dorongan nafsu, yakni: nafsu yang mendorong manusia untuk berbuat durhaka dan nafsu yang mendorong untuk berbuat taqwa (kebajikan). Dalam surat As Syams ayat 7 dan 8 Allah swt. telah berfirman:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا .

"Demi jiwa dan apa-apa yang menyempurnakannya, maka Allah mengilhamkan pada jiwa tersebut kedurhakaan dan ketaqwaannya".

Kedua macam dorongan tersebut tidak dapat berwujud menjadi perbuatan yang nyata, manakala dalam diri seseorang tidak ada energi. Sedangkan energi itu adalah berasal dari bahan makanan. Sehingga apabila bahan makanan yang dimakan oleh seseorang adalah halal, maka energi yang ditimbulkan oleh bahan makanan tersebut adalah energi yang halal. Energi yang halal inilah yang mudah diserap dan dipergunakan oleh dorongan yang mengajak kepada perbuatan-perbuatan yang baik, benar dan haq. Sedang perbuatan-perbuatan yang baik, benar dan haq yang dilakukan oleh seseorang akan diserap oleh organ jiwa yang oleh Sigmund Freud disebut dengan "Ego Ideal". Ego Ideal inilah yang selalu menghibur dan menenteramkan jiwa seseorang. Sebaliknya, jika bahan makanan yang dimakan oleh seseorang adalah berasal dari harta yang haram, maka energi yang timbul dari bahan makanan tersebut adalah energi yang haram, yang akan diserap oleh nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kesalahan dan kebatilan.
Manakala seseorang telah melakukan perbuatan yang jelek atau salah atau batil, maka perbuatan ini akan diserap oleh organ jiwa yang oleh Sigmund Freud disebut conscience. Kemudian conscience ini selalu menuntut jiwa manusia itu sendiri atas kejelekan atau kesalahan atau kebatilan yang telah dilakukan, sehingga ketenteraman jiwa menjadi terganggu. Semakin banyak kejelekan atau kesalahan atau kebatilan yang dilakukan oleh seseorang, maka semakin besar tuntutan dari consciense dan semakin goncang ketenangan dan ketenteraman jiwanya, sehingga pada akhinya orang yang selalu memakan makanan yang berasal dari harta yang haram akan dihadapkan pada dua alternatif, yaitu:
  1. Jika kondisi jasmaninya kuat, maka jiwanya akan jebol dan akan terkena penyakit jiwa.
  2. Jika kondisi jiwanya kuat, maka dia akan terserang penyakit psychosomatica.
Sedang yang dimaksud dengan makanan yang baik menurut ayat 168 dari surat Al Baqarah di atas, adalah baik menurut syarat-syarat kesehatan. Sebab makanan yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan akan menyebabkan kondisi jasmani menjadi mudah terserang oleh berbagai macam penyakit. Seseorang tidak akan memperoleh ketenangan dan ketenteraman jiwa manakala badan jasmaninya selalu sakit-sakitan.
Disamping itu perlu kita ketahui bahwa harta yang diberikan oleh Allah swt. kepada seseorang itu di dalamnya terdapat hak milik fakir miskin yang dititipkan oleh Allah swt. kepadanya. Hal ini telah diterangkan oleh Allah swt. dalam Al Qur'an surat Adz Dzaariyaat ayat 19:

وَفِى أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُوْمِ.

"Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian"
Harta orang miskin yang dititipkan oleh Allah swt. pada orang-orang kaya itu harus dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak, baik berupa zakat wajib maupun zakat sunnat, agar harta orang-orang kaya tersebut menjadi halal, karena tidak lagi tercampur dengan hak milik orang-orang miskin. Jadi zakat ini mempunyai peranan yang penting sekali untuk membuat harta yang kita miliki menjadi barokah karena zakat juga merupakan elemen yang menjadikan harta itu bisa memberikan kebahagiaan dan kebaikan kepada orang lain.
Jika kita mau mengadakan penelitian atau research terhadap orang-orang kaya yang hartanya tercampur oleh harta yang tidak halal, baik wujudnya, atau cara mengambilnya, atau belum dizakati, maka kita akan mendapati kehidupan keluarga mereka itu ternyata tidak bahagia sebagaimana yang kita bayangkan. Kebahagiaan yang mereka dambakan ternyata hanya sebagai fatamorgana belaka.
Dalam Al Qur'an surat An Nur ayat 39 Allah swt. telah berfirman:

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيْعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَآءً حَتَّى اِذَا جَــآءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ؛ وَاللّهُ سَرِيْعُ الحِسَابِ .

" Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungannya".
Jadi harta yang barokah itu sangat besar peranannya dalam mencapai kebahagiaan hidup seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Itulah sebabnya maka Nabi Muhammad saw. pernah bersabda:

طَلَبُ الْحَلاَلِ فَرِيْضَةٌ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ .

"Mencari yang halal itu adalah kewajiban sesudah shalat fardlu".


http://masjidakbaralikhlas.com/index.php?option=com_content&view=article&id=11:harta-yang-penuh-berkah&catid=1:dakwah&Itemid=4

Menjadi Muslimah Ideal

 
Sebab itu maka Wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) .(QS. An-Nisa’(4):34).

Dalam ayat ini setidaknya ada tiga karakteristik utama wanita muslimah yang ditampilkan oleh Allah , di antaranya sebagai berikut; 

Pertama, shalihat yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh keikhlasan hanya mengharap ridha-Nya semata, bukan sanjungan dan pujian manusia. Dan dalam beribadah kepada-Nya, ia selalu mencontohi Rasulullah . Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk dan patuh. Sedangkan menurut Istilah seperti yang dikatakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah,” ibadah adalah sebuatan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun yang batin.

Ibadah bisa dibagi menjadi tiga macam yaitu; 
A)- Ibadah Qalbiyah (hati) seperti khauf (takut), Raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), Tawakkal, Ragbah (senang). 
B)- Ibadah badaniyah (badan) seperti shalat, puasa, zakat, haji. 
C)- Ibadah lisaniyah (lisan), seperti zikir, membaca al-Qur’an dan lainnya. Dengan demikian ibadah mencakup seluruh tingkah laku dan ucapan seorang mukmin jika itu diniatkan mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan adat dan kebiasaan yang mubah bisa menjadi Ibadah apabila diniatkan sebagai bekal untuk taat kepada Allah. Seperti tidur, makan, mencari nafkah dan lainnya.

Kesalahan persepsi tentang ibadah bisa terjadi dengan cara mengurangi makna ibadah serta membatasi pelaksanaannya pada ibadah ritual dan syiar-syiar tertentu saja. Tidak ada ibadah yang berkaitan dengan masalah sosial, akhlak dan muamalah. Begitu juga mereka yang berlebih-lebihan dalam masalah ibadah, sehingga yang sunah kadang dianggap wajib, atau yang mubah (boleh) dianggap haram. Ibadah yang benar harus berlandaskan pada tiga filar yang utama yaitu; 
A)- Al-Hubb (cinta), yang harus dibarengi dengan sikap rendah diri. 
B)- Al-Khauf (takut), yang harus dibarengi dengan rasa raja (harap). 
C)- Ar’raja’ (mengharap). 

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dienullah adalah menyembahnya dengan taat dan tunduk kepadaNya. Akan tetapi ibadah yang diperintahkan mengandung makna tunduk dan cinta. Siapa yang tunduk kepada seseorang dengan perasaan benci kepadanya maka ia bukanlah menghamba (menyembah) kepadanya. Dan jika ia menyukai sesuatu tetapi tidak tunduk kepadanya maka diapun tidak menghamba padanya. Karena itu tidak cukup salah satu dari keduanya dalam beribadah kepada Allah, tetapi hendaknya Allah lebih dicintainya dari segala sesuatu dan Allah lebih diagungkan dari segalanya. Tidak ada yang berhak mendapatkan kecintaan dan ketundukan yang sempurna selain Allah ”. (Majmu’ Tauhid Najdiyah, hal.542)

Syekhul Islam berkata, “ Inti agama adalah dua yaitu kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang disyariatkan Allah

Muslimah juga tidak menyekutukan Allah dalam ibadahnya baik Syirik Akbar (besar), yaitu menyekutukan-Nya dalam do’a, sebagaimana firman-Nya,”Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya, tetapi tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan Allah”, (QS. al-Ankabut;65)

Atau syirik dalam niat dengan menjadikan tujuan amalnya hanya semata untuk dunia, Allah berfirman, “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan”, (QS.Hud;15)
 
Syirik dalam ketaatan dengan memberi ketaatan yang sama antara Allah dengan makhluk-Nya, Sebagaimana firman-Nya, ”Mereka menjadikan orang-orang alim dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”, (QS.at-Taubah;31)
 
Syirik dalam cinta dengan mencintai selain Allah menyamai cintanya kepada Allah , sebagaimana firman-Nya,” Dan di antara manusia ada yang menjadikan sekutu-sekutu selain Allah, mereka mencintainya seperti mencintai Allah”, (QS. al- Baqarah;165). 

Kedua; syirik Ashghar (kecil), yaitu beberapa perbuatan yang yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan hadits sebagai syirik tetapi tidak termasuk syirik besar seperti bersumpah dengan selain Allah dan riya’ sebagaimana hadits Nabi yang artinya, “Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatir kepada kalian adalah syirik kecil yaitu riya’, (HR.Ahmad)
 
Ketiga; Syirik khofi (samar) , yaitu syirik yang terselubung seperti yang digambarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya, “Bagaimana sekiranya aku beritau kalian tentang sesuatu yang lebih aku takuti (terjadi) pada kalian daripada AL-Masih Ad-Dajjal?, mereka menjawab, Ya, wahai Rasulullah!. Beliau bersabda, “Syirik yang samar, seperti seorang yang berdiri lalu dia melakukan shalat maka dia perbagus shalatnya karena dia melihat ada orang lain yang melihatnya”, ( HR.Ahmad , dari Abi Sa’id Al-Khudri). 

 Dalam riwayat al-Hakim Rasulullah pernah mengilustrasikan syirik itu lebih samar dari semut yang merayap di atas batu hitam di tengah malam yang gelap- gulita. Oleh sebab itu beliau mengajarkan do’a sebagai berikut; 

اَلَّلهُمَّ ِإنيِّ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ نُشْرِكَ شَيْئًا وَأنَا اَعْلَمْ وَاَسْتَغْفِرُكَ مِنَ الذَّنْبِ اّلَذِي لاَ أَعْلَمُ
 
Artinya, “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari segala perbuatan syirik yang kuketahui, dan aku memohon ampunan-Mu dari dosa yang tidak kuketahui”. 

Kedua, Qhanithat (taat). Al-Hafidz Imaduddin Abil Fida’ Ismail Ibnu Katsir menulis perkataan Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan Qhanithat dalam ayat ini adalah taat kepada suaminya. karena lafadz ayat ini umum, maka taat yang dimaksud juga meliputi taat kepada kedua orang tua, sebagaimana firman Allah , “ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan ”ah”, dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkan kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah; “Wahai Tuhanku kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS.Al -Isra’; 23-24)

Ibu dan bapak adalah orang yang pertama setelah Allah yang berjasa mewujudkan kita di dunia. Tidak ada seorangpun setelah Nabi Adam dan Nabi Isa yang terlahir tanpa proses kedua orang tua. Perjalanan panjang sejak dari setetes mani, menjadi darah kemudian segumpal daging yang akhirnya menjadi manusia yang sempurna membutuhkan perjuangan yang berat dari mereka berdua. Al-Qur’an sendiri mengilustrasikan perjuangan berat tersebut dengan lafaz “Wahnan Ala Wahnin” (lemah di atas kelemahan), (QS.Lukman;13), di ayat lain dengan kata-kata “Hamalathu Kurhan wa Wadha’athu Kurhan” (Mengandungnya dengan susah dan melahirkan dengan susah pula). (QS.Al-Ahqaf;15). 

Allah menceritakan semuanya dengan tujuan sebagaimana di akhir ayat, agar setiap anak manusia bisa bersyukur kepada Allah dan kepada orang tuanya. Bersyukur kepada Allah kata Syekh As-Sa’di,”Yaitu dengan beribadah kepada Allah yang menciptakanya dan jangan sampai keberadaannya di dunia untuk maksiat kepada Allah. Adapun bersyukur kepada orang tua yaitu dengan berbuat baik dan taat kepada keduanya. (Taisir Karimurrahman; hal. 597)

Kewajiban berbuat baik kepada orang tua diperintahkan oleh Allah dengan menggunakan lafaz “Wawasshaina” (Kami wasiatkan) kepada manusia (QS.Al-Ankabut;8, Lukman;14). Ini dimaksudkan agar manusia tetap ingat kepada kewajiban tersebut apapun profesi dan kedudukannya kelak. Juga Allah mensejajarkan perintah berbuat baik pada orang tua, dengan kewajiban beribadah kepada-Nya (QS.Isra’; 23), menunjukkan betapa agungnya perintah tersebut. Maka ketika Rasulullah ditanya perbuatan apa yang paling afdhal, beliau menjawab setelah shalat di awal waktu adalah berbakti pada orang tua (HR.Bukhari Muslim). 

Suatu hari di musim haji seorang laki-laki menggendong ibunya ketika tawaf dalam keadaan yang berdesakan. Ia bertanya kepada Ibnu Umar,”Apakah dengan ini aku sudah membalas jasa ibuku ?”. Ibnu Umar menjawab,“Belum, sekalipun setetes air susunya. Dan seorang tidak akan mungkin bisa membalas jasa kedua orang tuanya kata Rasulullah, kecuali ia dapatkan bapaknya tertawan menjadi budak kemudian dia tebus dan memerdekakannya. (HR.Muslim). 

Sebagai orang yang mengandung, melahirkan dan menyusui bahkan sampai dua tahun (QS.Al-Baqarah;233), ibu mestinya mendapatkan perlakuan yang lebih dibandingkan ayah. Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah ,”Siapakah orang yang paling berhak untuk dilayani dengan sebaik-baiknya ?”. Beliau menjawab “Ibumu !”. “Lalu siapa lagi ?”. Beliau menjawab,“Ibumu !”. “Lalu siapa lagi ?”, Beliau menjawab ,“Ibumu !”. “Lalu siapa lagi ?”. Beliau menjawab,“Bapakmu !”. (HR.Bukhari Muslim). 

Mentaati orang tua kata Imam Ahmad diwajibkan pada semua yang mubah (dibolehkan dalam agama). Kalau orang tua melarang melakukan sesuatu atau memerintahkan melakukan sesuatu sekalipun itu dalam masalah pribadi, anak harus mentaatinya. Seperti seorang ibu yang memerintahkan anaknya untuk menceraikan isterinya yang tidak taat dan tidak bisa berbuat baik pada mertuanya, ia harus melakukannya. Sebagaimana yang diceritakan oleh Abdullah bin Umar bahwa bapaknya Umar bin Khattab pernah menyuruhnya untuk menceraikan isterinya yang sangat dia cintai. Ketika itu diadukan kepada Rasulullah, beliau bersabda, “Ceraikanlah isterimu !” (HR.Abu Daud dan Tirmidzi, shahih). 

Bahkan seorang tidak boleh mengorbankan hak orang tuanya sekalipun dengan tujuan ibadah Selama ibadah itu bukan hal yang wajib. Ada seorang yang datang kepada Rasulullah meminta ikut berjihad untuk mencari ridha Allah. Nabi bertanya,“Apakah orang tuamu masih hidup ?”. Dia menjawab,“Ya”. Nabi bersabda,“Maukah engkau mencari ridha Allah ?. Pulanglah dan perbaikilah cara berbaktimu pada keduanya !” (HR.Bukhari Muslim)

Dalam riwayat lain Nabi bersabda,“Pulanglah dan berjihadlah pada keduanya”, (HR.Bukhari Muslim). 

Maksudnya berjihad dengan cara berbuat baik kepadanya. Hadits ini menunjukkan agungnya kedudukan orang tua. Berbuat baik kepadanya lebih utama daripada jihad fisabilillah. Dan kalau jihad itu Fardhhu Kifayah maka diharamkan seorang anak pergi tanpa seizin kedua orang tuanya (Riyadhusshalihin; 137).
 
Sekalipun orang tua berbeda agama, seorang anak tetap berkewajiban untuk berbuat baik kepadanya. (QS. Lukman;15). Asma’ binti Abu Bakar pernah mengadukan ibunya yang non muslim kepada Rasulullah yang selalu datang kepadanya minta untuk minta diperlakukan dengan baik. Nabi bersabda,“Perlakukanlah ibumu dengan cara yang baik”, (HR.Bukhari Muslim).  

Dan berbuat baik kepada keduanya masih diwajibkan sekalipun mereka sudah meninggal dunia. Seorang sahabat bertanya kepada Nabi, apakah masih ada hak orang tuanya setelah ia meninggal dunia. Nabi menjawab,“Mendoakannya, memohonkan ampunan untuknya, dan menyambung persahabatan yang pernah dia bina di masa hayatnya”. (HR.Ahmad )

Begitu agungnya kedudukan orang tua, maka Allah melarang untuk durhaka kepada keduanya. Sekalipun hanya dengan perkataan,“Uffin !(ah), (QS.Isra’; 23). Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan,“Jangan mereka mendengar kata yang tidak baik darimu walaupun sekedar perkataan “ah”, yaitu perkataan yang sangat sepele. Jangan pula keluar darimu perbuatan yang tidak layak baginya. Tetapi sebaliknya mengatakan perkataan yang lunak dan berisi penghormatan dan do’a baginya”,(Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim;III/50). 

Rasulullah menganggap, durhaka kepada orang tua, termasuk salah satu dosa besar. (HR.Bukhari Muslim). Dan akibat kedurhakaannya, seorang anak bisa merasakannya semenjak di dunia. Kita masih mengingat kisah Si Malin Kundang anak durhaka. Syekh Athiyah Muhammad Salim, seorang guru besar di Masjid Nabawi pernah bercerita kepada penulis, ketika beliau menjabat sebagai Ketua Mahkamah Syariah di Madinah. Beliau pernah mengadili seorang anak yang membunuh ayahnya dengan cara menyembelihnya di balik batu besar di tengah padang pasir. Ketika ditanya kenapa melakukan pembunuhan itu dan kenapa memilih tempat di sana ?. Anak tersebut menjawab,”Sebelum saya membunuhnya, ayah saya berkata,”Di sinilah aku dulu juga membunuh ayahku”.

Allah mengajarkan do’a untuk orang tua,” Ya, Allah ! Tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang salih yang engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. (QS.Al-Ahqaf;15)

Juga taat kepada pemimpin dan siapaun selama tidak mengajak kepada kemaksiatan, Rasulullah bersabda,” Tidak boleh ta’at kepada makhluk, dalam maksiat kepada Khaliq (Allah). Juga tidak boleh taat pada orang tua dalam kemaksiatan, atau mengajak kepada kemusyrikan (QS.Lukman;15 ). 

Bagi seorang isteri ta’at kepada suami merupakan sebuah ibadah dan kewajiban. Rasulullah bersabda, “Apabila wanita telah shalat lima waktu, dan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka dikatakan kepadanya; masuklah ke surga lewat pintu mana yang disuka”, (HR.Ahmad dari Abdurrahman bin Auf). 

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,”Kalau wanita diajak oleh suaminya ke ranjang, kemudian dia menolak maka malaikat akan melaknatnya sampai pagi”, (HR.Bukhari Muslim). 

Semuanya ini karena besarnya tanggungjawab suami kepada isteri, sehingga dia berhak mendapatkan perlakuan dan hak seperti itu. 

Ketiga, Hafidzaat (menjaga diri). Islam memuliakan wanita muslimah dari kedzaliman jahiliyah yang memperbudak wanita bahkan membunuh anak-anak wanitanya, sebagaimana firman Allah , “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS. An-Nahl (16):58-59). 

Al-Qur’an sangat memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan jender sebagaimana yang bisa dianalisa dengan lewat beberapa variabel sebagai standar di antaranya; laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah yang mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal (muttaqin), (QS. 49:13). 

 Penghargaan dan balasan yang akan diperoleh oleh hamba adalah sama tanpa melihat status jendernya, (QS.16:97). Sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi di dunia dan di akherat, (QS.3:195), (QS.4:124), (QS.16:97), (QS.40:40).  

Beberapa bentuk kekhususan yang diberikan kepada laki-laki seperti sebagai qawwamah (pelindung) bagi perempuan, (QS.4:34), mendaptakan warisan yang lebih, (QS.4:11), diperkenankan poligami bagi yang memenuhi persyaratan, (QS.4:3), tidaklah menyebakan laki-laki menjadi hamba yang utama, tetapi harus dipahami sebagai bentuk tanggung jawab yang lebih besar kepada laki-laki dalam kapasitasnya yang mempunyai peran publik dan sosial yang lebih dari perempuan. 

Untuk menjaga kehormatan dan kesucian itulah, Allah memerintahkan muslimah untuk menutup auratnya dan tidak dipamerkan kepada orang yang bukan mahramnya. Allah berfirman, » Katakanlah kepada wanita yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. al-Nur (24): 31). 

 Juga firman Allah ,” Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab (33):59)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,” Wanita yang paling baik adalah muslimah yang apabila anda melihatnya, kau akan senang, apabila kau menyuruhnya dia akan taat, dan apabila engkau tidak ada di sampingnya, dia akan menjaga dirinya dan hartamu, (HR. Ibnu Jarir)

Inilah beberapa karakteristik utama muslimah yang ideal menurut al-Qur’an dan Sunnah. semoga Allah memberikan kita hidayah dan inayah-Nya kepada kita agar kita bisa menjagi hamba-hamba-Nya yang ideal, Amin!.

Wallahu A’lam bishshawab 
 Ustadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin, Lc., M.Ag
 
Rujukan:
- Tafsir al-Qur’an al-Adzim oleh Imaduddin Isma’il Ibnu Katsir juz 1/653-655).
- Riyadushshalihin

http://ummusalma.wordpress.com/2007/12/26/menjadi-muslimah-ideal/#more-132