Mustajabnya Do’a pada Hari Arafah


Sebaik-baik do’a adalah do’a hari Arafah -9 Dzulhijjah-. Maksudnya, do’a ini paling cepat diijabahi. Sehingga kita diperintahkan untuk konsen melakukan ibadah yang satu ini di pada hari Arafah, apalagi untuk orang yang sedang wukuf di Arafah.

Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arafah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim no. 1348).

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah.” (HR. Tirmidzi no. 3585. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 10: 33).

Apakah keutamaan do’a ini hanya khusus bagi yang wukuf di Arafah? Apakah berlaku juga keutamaan ini bagi orang yang tidak menunaikan ibadah haji?

Yang tepat, mustajabnya do’a tersebut adalah umum, baik bagi yang berhaji maupun yang tidak berhaji karena keutamaan yang ada adalah keutamaan pada hari. Sedangkan yang berada di Arafah (yang sedang wukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah), ia berarti menggabungkan antara keutamaan waktu dan tempat. Demikian kata Syaikh Sholih Al Munajjid dalam fatawanya no. 70282.

Tanda bahwasanya do’a pada hari Arafah karena dilihat dari kemuliaan hari tersebut dapat kita lihat dari sebagian salaf yang membolehkan ta’rif. Ta’rif adalah berkumpul di masjid untuk berdo’a dan dzikir pada hari Arafah. Yang melakukan seperti ini adalah sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Imam Ahmad masih membolehkannya walau beliau sendiri tidak melakukannya.

Syaikh Sholih Al Munajjid -semoga Allah berkahi umur beliau- menerangkan, “Hal ini menunjukkan bahwa mereka menilai keutamaan hari Arafah tidaklah khusus bagi orang yang berhaji saja. Walau memang berkumpul-kumpul seperti ini untuk dzikir dan do’a pada hari Arafah tidaklah pernah ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu Imam Ahmad tidak melakukannya. Namun beliau beri keringanan dan tidak melarang karena ada sebagian sahabat yang melakukannya seperti Ibnu ‘Abbas dan ‘Amr bin Harits radhiyallahu ‘anhum.” (Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 70282)

Para salaf dahulu saling memperingatkan pada hari Arafah untuk sibuk dengan ibadah dan memperbanyak do’a serta tidak banyak bergaul dengan manusia. ‘Atho’ bin Abi Robbah mengatakan pada ‘Umar bin Al Warod,  “Jika engkau mampu mengasingkan diri di siang hari Arafah, maka lakukanlah.” (Ahwalus Salaf fil Hajj, hal. 44)

Do’a ini bagi yang wukuf dimulai dari siang hari selepas matahari tergelincir ke barat (masuk shalat Zhuhur) hingga terbenamnya matahari.

Semoga Allah memudahkan kita untuk menyibukkan diri dengan do’a pada hari Arafah.

@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 4 Dzulhijjah 1433 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Benarkah Memperbanyak Harta Tercela?

Agama Islam sangat menjunjung tinggi kehidupan akhirat, dan memuji orang-orang yang hidup di dunia lalu mereka mengedepankan dan memiliki cita-cita besar demi kehidupan akhiratnya. Islam juga memberi motivasi agar manusia hendaknya mengejar akhirat mereka ketimbang berlelah letih demi kehidupan dunia.

Lalu apakah yang demikian menunjukkan terlarangnya memperbanyak harta dunia?
"Dianjurkan tetap bekerja mencari kerja meski telah memiliki harta yang telah mencukupi kebutuhan.

Diperbolehkan mencari harta yang halal dengan tujuan memperbanyak harta dan meningkatkan kedudukan di masyarakat, mensejahterakan dan menyenangkan anggota keluarga yang wajib dinafkahi asalkan agama dan kehormatan tetap terjaga serta tidak ada kewajiban agama yang lebih penting yang harus dilaksanakan.

Bekerja mencari harta hukumnya wajib bagi orang yang tidak memiliki makanan pokok bagi dirinya atau bagi orang yang wajib dia nafkahi. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga adalah suatu hal yang harus didahulukan mengingat sabda Nabi,

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ
"Cukuplah seorang itu berdosa manakala dia tidak memenuhi kebutuhan pokok orang yang wajib dinafkahi" [HR Muslim no 996].

Al Qadhi Abu Ya'la mengatakan, "Mencari harta tanpa maksud berlomba memperbanyak harta namun harta tersebut akan dipergunakan sebagai sarana pendukung ketaatan kepada Allah, sebagai biaya untuk menyambung hubungan kekerabatan dan menjaga diri agar tidak meminta minta adalah amalan yang lebih utama karena harta yang berlimpah tersebut bisa memberi manfaat kepada dirinya sendiri dan orang lain.

Kerja dengan motivasi semacam itu lebih baik dari pada fokus melakukan ibadah yang sunnah karena harta yang banyak itu bisa memberi manfaat kepada banyak orang padahal sebaik baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat kepada orang lain" [Taudhih al Ahkam jilid 4 hal 248-249].

http://pengusahamuslim.com/benarkah-memperbanyak-harta-1697

Doa Yang Sangat Kita Perlukan

Ada sebuah doa yang biasa dibaca oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Isi doa ini jika kita renungkan dalam-dalam ternyata sangat mencakup berbagai permintaan yang sangat kita perlukan. Sebab semuanya sering mewarnai kehidupan sehari-hari manusia. Coba perhatikan:

رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي وَجَهْلِي وَإِسْرَافِي فِي أَمْرِي كُلِّهِ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي خَطَايَايَ وَعَمْدِي وَجَهْلِي وَهَزْلِي وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau biasa berdo’a dengan do’a sebagai berikut; “Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kebodohanku, dan perbuatanku yang berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kemalasanku, kesengajaanku, kebodohanku, gelak tawaku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan dan dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan, Engkaulah yang mengajukan dan Engkaulah yang mengakhirkan, serta Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR Bukhari – Shahih)

Tema sentral di dalam doa ini adalah seorang hamba Allah subhaanahu wa ta’aala memohon ampunan-Nya. Setidaknya ada tigabelas poin yang diajukan hamba tersebut kepada Rabb-nya. Semuanya ia harapkan diampuni oleh Allah subhaanahu wa ta’aala:

Pertama, “Ya Allah, ampunilah kesalahanku”. Kesalahan dapat mencakup perintah Allah yang dilalaikannya atau larangan Allah yang dilanggarnya.

Kedua, “Ya Allah, ampunilah kebodohanku”. Manusia tidak luput dari kebodohan. Tidak ada manusia yang memiliki pengetahuan sempurna. Dan kebodohan seseorang seringkali menyebabkan tingkahlaku yang tidak terpuji. Sehingga ia perlu memohon ampunan Allah subhaanahu wa ta’aala atas kebodohan dirinya.

Ketiga, “Ya Allah, ampunilah perbuatanku yang berlebihan dalam urusanku”. Terkadang kita mengerjakan suatu perbuatan secara tidak adil atau tidak proporsional. Perbuatan berlebihan tersebut sangat mungkin menyakiti hati bahkan menzalimi orang lain. Maka kita berharap ampunan Allah atas perbuatan berlebihan di dalam berbagai urusan.

Keempat, “Ya Allah, ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku”. Manusia sering mengerjakan kesalahan tanpa ia menyadarinya. Orang lain boleh jadi dengan mudah melihat kesalahannya, tetapi ia sendiri tidak menyadarinya. Maka untuk urusan seperti ini seorang mukmin memohon ampunan Allah Yang Maha Tahu segala sesuatunya. Seorang mukmin mengakui jika Allah subhaanahu wa ta’aala merupakan Dzat Yang Maha Tahu perkara yang ghaib  maupun nyata, maka iapun mengembalikan segenap dosa yang ia sendiri tidak ketahui kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Ia serahkan dosa jenis ini kepada Ke-Maha-Tahu-an Allah subhaanahu wa ta’aala. Sebab ia yakin bahwa Allah pasti jauh lebih mengetahui dosa yang dilakukan hamba-Nya daripada si hamba itu sendiri.

Kelima, “Ya Allah, ampunilah kesalahanku”. Manusia bisa terlibat di dalam banyak kesalahan. Maka ia memohon kembali ampunan Allah atas kesalahannya padahal sebelumnya ia telah mengajukannya kepada Allah subhaanahu wa ta’aala.

Keenam, “Ya Allah, ampunilah kemalasanku”. Kemalasan dapat menjadi musuh utama yang menyebabkan seseorang menunda bahkan melalaikan suatu kewajiban yang mestinya ia kerjakan. Pengakuannya di hadapan Allah bahwa dirinya terkadang dilanda kemalasan jelas mesti disertai dengan permohonan ampunan Allah atasnya.

Ketujuh, “Ya Allah, ampunilah kesengajaanku”. Harus diakui bahwa terkadang kita secara sengaja melakukan suatu kesalahan. Entah karena emosi, atau terpengaruh lingkungan atau berbagai alasan lainnya. Yang jelas, semua kesengajaan itu mesti kita istighfari, mesti kita mintakan ampunan Allah atasnya.

Kedelapan, “Ya Allah, ampunilah kebodohanku”. Subhaanallah, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mengerti akan kelemahan kita yang satu ini. Manusia memang selalu kekurangan ilmu sehingga ia mustahil luput dari kebodohan. Sehingga permohonan ampunan Allah atas kebodohan diri perlu diajukan berulang-kali.

Kesembilan, “Ya Allah, ampunilah gelak tawaku yang semua itu ada pada diriku.” Apakah tertawa itu berdosa? Tentunya tidak. Tetapi bila dilakukan secara tidak proporsional ia akan mendatangkan masalah. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:

فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS At-Taubah 82)

Sementara itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَاللهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا
Demi Allah, andai kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian jarang  tertawa dan sering menangis.” (HR Tirmidzi  – Shahih)

Kesepuluh, “Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu”. Kita perlu berhati-hati terhadap dosa yang pernah kita lakukan di masa lalu. Sebab boleh jadi dosa tersebut belum sempat kita istighfari di waktu itu. Maka saat ini kita akui dan sesali di hadapan Allah subhaanahu wa ta’aala. Bahkan kita mohonkan ampunan Allah atasnya.

Kesebelas, “Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang mendatang”. Seorang mukmin sadar jika hidupnya bukan hanya terdiri atas masa lalu dan masa kini. Tetapi juga meliputi masa yang akan datang. Demikian pula dengan dosa yang dikerjakan. Ia tidak hanya terjadi di masa lalu dan masa kini semata. Tetapi tentunya sangat mungkin bisa terjadi di masa mendatang. Oleh karenanya dengan penuh kejujuran ia mengharapkan ampunan Allah atas dosa yang mendatang. Dan tentunya ini tidak boleh dilandasi niat buruk berrencana dengan sengaja berbuat dosa di masa mendatang.

Keduabelas, “Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang aku samarkan”. Seorang mukmin sangat khawatir dengan dosa yang ia lakukan sembunyi-sembunyi atau tersamar. Sebab ia teringat hadits sebagai berikut:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari ummatku yang datang pada hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikan kebaikan itu debu yang beterbangan.” Tsauban berkata; “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak mengetahuinya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah jika mereka berkhulwah (menyendiri).” (HR Ibnu Majah – Shahih)

Ketigabelas, “Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan”. Sedangkan terhadap dosa yang ia kerjakan secara tersamar saja ia sudah sangat khawatir, maka apalagi dosa yang dilakukan secara terbuka. Oleh karenanya ia sangat memohon ampunan Allah subhaanahu wa ta’aala atasnya.

Sungguh luar biasa, ketigabelas poin di atas jelas merupakan dosa dan kesalahan yang sangat sering kita lakukan. Betapa beruntungnya ummat Islam diajarkan oleh Nabi mereka suatu doa yang sungguh diperlukan.
Ya Allah, limpahkanlah sholawat dan salam kepada Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Amiin ya rabbal ‘aalamiin. 

http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/doa-yang-sangat-kita-perlukan.htm#.UIUQhFHT1qQ

Sikap Islam Terhadap Perbudakan

Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Bin Shalih Ali Bassam berkata di dalam kitab Taisir ‘Allam juz 2 halaman 567-571 : Beberapa musuh Islam mencela keras pelegalan perbudakan dalam Syari’at Islam, yang menurut pandangan mereka termasuk tindakan biadab. Karena itu saya ingin menjelaskan permasalahan perbudakan di dalam pandangan Islam dan ajaran-ajaran lain, serta secara ringkas akan saya jelaskan sikap Islam terhadap perbudakan.

Sebenarnya perbudakan dahulu telah tersebar ke seluruh penjuru dunia/bumi, tidak hanya pada zaman Islam. Bangsa Romawi, Persia, Babilonia, dan Yunani, seluruhnya mengenal perbudakan. Dan para tokoh Yunani, seperti Plato dan Aristoteles pun hanya mendiamkan tindakan ini. Bahkan mereka memiliki banyak sebab untuk memperbudak seseorang seperti adanya perang, tawanan, penculikan atau karena menjadi pencuri. Tidak hanya itu, mereka pun menjual anak-anak yang menjadi tanggungan mereka untuk dijadikan budak, bahkan sebagian mereka menganggap para petani sebagai budak belian.

Mereka memandang hina terhadap para budak, karena itu para budak diperkerjakan untuk mengurusi pekerjaan-pekerjaan kotor dan berat. Dan karena itu pula Aristoteles menganggap para budak hidupnya tidak kekal di akherat, baik mereka di Surga atau di Neraka, jadi para budak tidak bedanya dengan hewan. Fir’aun pun memperbudak Bani Israil dengan perlakuan yang paling keji, sehingga dengan tega ia membunuh anak laki-laki Bani Israil dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Orang-orang Eropa pun ketika menemukan benua Amerika, mereka memberikan sikap yang paling buruk terhadap penduduk asli. Inilah perbudakan, sebab, pengaruh dan bentuknya di dalam ajaran selain Islam. Contoh yang baru saja kami sampaikan baru sedikit dari sekian banyak perlakuan keji merek kepada para budak.

Sekarang marilah kita perhatikan pandangan Islam terhadap perbudakan.

1. Islam Mempersempit Sebab-Sebab Perbudakan.

Islam menyatakan bahwa seluruh manusia adalah merdeka dan tidak bisa menjadi budak kecuali dengan satu sebab saja, yaitu orang kafir yang menjadi tawanan dalam pertempuran. Dan Panglima perang memiliki kewajiban memberikan perlakuan yang tepat terhadap para tawanan, bisa dijadikan budak, meminta tebusan atau melepaskan mereka tanpa tebusan. Itu semua dipilih dengan tetap melihat kemaslahatan umum.

Inilah satu-satunya sebab perbudakan di dalam Islam berdasarkan dalil naqli yang shahih yang sesuai dengan dalil aqli yang shahih. Karena sesungguhnya orang yang berdiri menghalangi aqidah dan jalan da’wah, ingin mengikat dan membatasi kemerdekaan serta ingin memerangi maka balasan yang tepat adalah ia harus ditahan dan dijadikan budak supaya memperluas jalannya da’wah.

Inilah satu-satunya sebab perbudakan didalam Islam, bukan dengan cara perampasan manusia, ataupun menjual orang merdeka dan memperbudak mereka sebagaimana umat-umat yang lain.

2. Islam Menyikapi Para Budak Dengan Lemah Lembut Dan Penuh Kasih Sayang.

Karena itu Islam mengancam dan memperingatkan orang yang memberikan beban berlebihan kepada para budak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

اتَّقُوا اللهَ وَ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Bertaqwalah kalian kepada Allah dan perhatikanlah budak-budak yang kalian miliki” [1]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ مَا لاَ يُطِيقُ

Budak memiliki hak makan/lauk dan makanan pokok, dan tidak boleh dibebani pekerjaan yang diluar kemampuannya. [2]

Bahkan Islam mengangkat derajat mereka, dari sekedar budak menjadi saudara bagi tuan mereka sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِنَّ إِخْوَانَكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَأَعِينُوهُمْ

”Mereka (para budak) adalah saudara dan pembantu kalian yang Allah jadikan di bawah kekuasaan kalian, maka barang siapa yang memiliki saudara yang ada dibawah kekuasaannya, hendaklah dia memberikan kepada saudaranya makanan seperti yang ia makan, pakaian seperti yang ia pakai. Dan janganlah kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang memberatkan mereka. Jika kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang berat, hendaklah kamu membantu mereka. [3]

Islam tidak hanya meninggikan derajat mereka dalam masalah sikap yang harus diberikan, akan tetapi juga di dalam berbicara dengan mereka, sehingga mereka tidak merasa rendah diri, karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَلاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ عَبْدِي وَ أَمَتِي وَلْيَقُلْ فَتَايَ وَفَتَاتِي

Janganlah salah seorang diantara kalian mengatakan: Hai hamba laki-lakiku, hai hamba perempuanku, akan tetapi katakanlah : Hai pembantu laki-lakiku, hai pembantu perempuanku. [4]

Bukan hanya itu, Islam bahkan tidak menjadikan nasab atau jasad/tubuh sebagai standard kemuliaan seseorang di dunia dan di akhirat, namun kecakapan dan nilai maknawilah standar kemuliaan manusia.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah orang-orang yang paling bertaqwa. [Al-Hujurat:13]

Karena itu, berbekal ilmu dan kemampuan yang dimiliki, beberapa bekas budak bisa menyamai kedudukan tuannya, baik dengan menjadi penglima tentara, pemimpin umat, hakim atau jabatan-jabatan agung yang lainnya. Ini semua karena kemampuan mereka yang merupakan sumber kemuliaan.

Disamping mengangkat derajat mereka, syari’at juga mengawasi dan memperhatikan pembebasan dengan cara mendorong perbuatan tersebut dan menjanjikan keselamatan dari neraka serta keberuntungan dengan masuk syurga bagi seorang yang membebaskan budak. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim :

مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ الهُأ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ حَتَّى يُعْتِقَ فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ

Barang siapa membebaskan budak yang muslim niscaya Allah akan membebaskan setiap anggota badannya dengan sebab anggota badan budak tersebut, sehingga kemaluan dengan kemaluannya. [5]

Cukuplah didalam keutamaan membebaskan budak, hadits shohih diatas dan sebuah hadits yang diriwayat oleh Tirmidzi dari Abu Umamah dan shahabat yang lain.

أَيُّمَا امْرِئٍ مُسْلِمٍ أَعْتَقَ امْرَأً مُسْلِمًا كَانَ فِكَاكَهُ مِنَ النَّارِ

Siapa saja seorang muslim yang membebaskan seorang budak yang muslim, maka perbuatannya itu akan menjadi pembebas dirinya dari api neraka.[6]

Hadits dan atsar yang mendorong untuk membebaskan budak banyak sekali, dan tidak ada perbuatan baik yang lebih besar daripada membebaskan seorang muslim dari perbudakan. Karena dengan kemerdekaan dirinya sempurnalah derajat kemanusiaan yang ia miliki setelah dahulunya berstatus seperti hewan.

Kemudian Islam memiliki beberapa sebab kemerdekaan seorang budak, baik merdeka secara terpaksa atau merdeka secara ikhtiari. Jalan merdeka secara paksa adalah.

1. Barang siapa melukai tubuh budaknya maka ia wajib membebaskan budaknya tersebut. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang mengisahkan adanya seorang tuan yang memotong hidung budaknya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada budak itu.

اذْهَبْ فَأَنْتَ حُرٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ الهِن فَمَوْلَى مَنْ أَنَا ؟ قَالَ : مَوْلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ

Pergilah engkau karena sekarang engkau orang yang merdeka, maka budak itu berkata: “Ya Rasulullah saya ini maula (budak) siapa”, Beliau menjawab : “Maula Allah dan RasulNya. [7]

2. Seorang budak dimiliki oleh beberapa orang, lalu salah seorang pemilik membebaskan bagiannya, maka pemilik tadi harus membebaskan bagian sekutunya secara paksa. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي مَمْلُوكٍ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعْتِقَ كُلَّهُ

Barangsiapa membebaskan bagiannya dari seorang budak, maka ia wajib membebaskan seluruhnya. [8]

Dalam hal ini perlu ada rincian yang memerlukan pembahasan tersendiri.

3. Barang siapa memiliki budak yang ternyata masih kerabat dekatnya (mahramnya) maka wajib atas pemiliknya untuk membebaskan secara terpaksa. Berdasarkan hadits :

مَنْ مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ فَهُوَ حُرٌّ

Barang siapa memiliki budak yang termasuk kerabatnya bahkan mahromnya maka budak itu merdeka. [9]

Inilah sebab-sebab secara terpaksa yang menghilangkan hak milik tuan terhadap budaknya. Sebab-sebab terpaksa ini di syari’atkan karena adanya rahasia syar’iyah dan pengaruh khusus sehingga syari’at tidak menjadikannya sebagai sebab pilihan atau sebab yang bisa dirujuk/di batalkan.

Disamping mendorong untuk membebaskan budak, syari’at juga menjadikan pembebasan budak sebagai kafarah pertama untuk selamat dari dosa-dosa, pembebasan budak sebagai alternatif pertama untuk kafarah bersetubuh di siang bulan Ramadlan, zhihar (seorang suami mengatakan kepada istrinya bahwa punggungnya seperti punggung ibunya, yakni suami tidak mau menggauli istrinya-red) dan membunuh secara tidak sengaja.

ISLAM AGAMA KEMULIAAN, KEAGUNGAN DAN KEADILAN
.

Setelah keterangan diatas, bagaimana mungkin orang-orang Barat atau orang yang kebarat-baratan mencela sikap Islam terhadap masalah perbudakan. Kemudian mereka membuka mulut lebar-lebar seraya meneriakkan kemerdekaan dan hak asasi manusia, sedangkan merekalah yang memperbudak rakyat dan menghinakan banyak bangsa. Mereka memperbudak bangsa lain di tengah-tengah bangsa itu sendiri, merampas harta benda dan menghalalkan negeri untuk dijajah. Mereka mengangkat kepala untuk meneriakkan HAM, sedangkan mereka sendiri menyikapi golongan masyarakat di dalam negeri mereka lebih rendah dari pada cara bergaul dengan budak.

Dimanakah keadilan Islam dibandingkan dengan sikap orang-orang Amerika terhadap orang-orang Negro dengan adanya larangan masuk sekolah, menjabat atau bekerja sebagai pegawai negeri. Seolah-olah mereka menganggap orang-orang Negro sama dengan hewan.

Dan dimanakah “Ihsan” dan rasa santun Islam dibandingkan dengan tindakan orang-orang Barat kepada para tahanan yang kini masih terdapat di dalam penjara yang gelap, padang belantara dan tempat-tempat yang tidak dikenal (di pembuangan)

Dimanakah negeri Isam yang penuh cinta kasih sayang yang memberikan keadilan kepada seluruh penduduknya dari berbagai jenis strata sosial, agama dan ras sebagai bangsa dalam hak dan kewajiban, bila dibandingkan dengan perbuatan kriminil orang-orang Prancis terhadap manusia-manusia merdeka di Aljazair (dahulu Aljazair dijajah Prancis), di tengah-tengah negeri mereka sendiri dan di tengah-tengah bangsa mereka sendiri. Nyatalah sudah bahwa tuduhan yang mereka kumandangkan adalah tuduhan palsu/batil.

Setelah keterangan ini, apakah belum tiba saatnya bagi para reformis dan pecinta kedamaian untuk membuka mata mereka kemudian kembali kepada ajaran Islam dengan penuh perenungan dan kesadaran, sehingga mereka menjadi sadar akan kebahagiaan manusia dalam ajaran Islam, baik untuk saat ini atau masa yang akan datang.

TAMBAHAN

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarh al-Aqidah al Washithiyah juz 1 hal 229-230 takhrij Sa’ad bin Fawwaz ash Shomil cet. II Dar Ibnu Jauzi : “Disini kami wajib mengingatkan perbuatan sebagian orang yang menggantkan (istilah) keadilan dengan dengan persamaan. Ini merupakan kesalahan, keadilan tidak boleh dikatakan persamaan, karena kata persamaan terkadang menuntut adanya persamaan antara dua hal yang seharusnya dibedakan.

Karena seruan yang tidak adil ini (ajakan kepada persamaan) mereka berkata: “Apakah perbedaan laki-laki dengan perempuan? Samakanlah laki-laki dengan perempuan!”. Sampai-sampai orang-orang Komunis mengatakan: “Apakah perbedaan antara pemerintah dengan rakyat, tidak mungkin orang bisa menguasai orang lain meskipun orang tua dengan anak, orang tua tidak mungkin mempunyai kekuasaan terhadap anak”, demikian seterusnya!

Akan tetapi jika kita mengatakan “keadilan” yang maknanya memberikan hak kepada setiap orang yang memiliki hak tersebut, niscaya hilanglah bahaya (dari istilah persamaan) ini dan (kalimat yang) diungkapkan akan menjadi selamat dari makna yang batil. Karena itu selamanya tidak ada di dalam al-Qur’an ayat yang berbunyi : "Sesungguhnya Allah memerintahkan persamaan". Tetapi yang ada adalah :

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ

Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan. [An-Nahl :90]

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

Dan jika engkau menghukumi manusia maka hukumilah dengan adil. [An-Nisa’ : 58]

Maka orang yang mengatakan "Islam adalah agama persamaan" telah salah, akan tetapi yang benar adalah "Islam adalah agama keadilan", yang bermakna: menyamakan perkara yang sama dan memisahkan perkara yang berbeda. Jika yang dia maksudkan dengan persamaan adalah makna keadilan di atas tetapi dia menggunakan istilah persamaan, maka orang ini salah dalam memilih kata/istilah walaupun yang dimaksudkan benar.

Karena ini mayoritas ayat al-Qur’an meniadakan persamaan seperti :

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Adakah orang yang mengetahui sama dengan orang tidak mengetahui? [Az-Zumar : 9]

هَلْ يَسْتَوِي اْلأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ

Adakah orang yang buta sama dengan orang yang melihat ? ataukah kegelapan-kegelapan sama dengan sebuah cahaya ? [Ar-Ra’d : 16]

لاَ يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولاَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا

Tidaklah sama orang yang berinfaq dan berperang sebelum datangnya kemenangan (fathu Makkah), mereka lebih besar derajatnya dari pada orang yang berinfaq dan berperang sesudah kemenangan kemenangan (Fathu Makkah). [Al-Hadid : 10]

لاَ يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ

Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak turut berperang ) yang tidak memiliki udzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah. [An-Nisa: 95]

Dan selamanya tidak ada satu huruf pun dalam al-Qur’an yang memerintahkan persamaan, yang ada hanyalah ayat yang memerintahkan keadilan, dan kata keadilan lebih diterima oleh jiwa.

Saya mengingatkan hal ini, supaya omongan kita tidak seperti ocehan beo, karena sebagian manusia meniru ucapan orang lain tanpa perenungan, tanpa dipikirkan apa isinya, siapa yang membuatnya dan apa maksud kata tersebut menurut orang yang membuatnya.

Syaikh Abu Bakar al-Jazairy berkata dalam Minhajul Muslim hal. 459: "Jika ada orang yang bertanya: Mengapa Islam tidak mewajibkan pembebasan budak, sehingga seorang muslim tidak memiliki alternatif lain dalam hal ini?

Jawabannya: Sesungguhnya Islam datang pada saat perbudakan telah tersebar dimana-mana, karena itu tidaklah pantas bagi syari’at Islam yang adil, yang yang menjaga jiwa, harta dan kehormatan seseorang manusia untuk mewajibkan kepada manusia agar membuang harta mereka secara sekaligus. Sebagaimana juga, banyak budak yang tidak layak untuk dimerdekakan, seperti anak-anak kecil, para wanita, dan sebagian kaum laki-laki yang belum mampu mengurusi diri mereka sendiri dikarenakan ketidak mampuan mereka untuk bekerja dan dikarenakan ketidak tahuan mereka tentang cara mencari penghidupan. Maka (lebih baik) mereka tetap tinggal bersama tuannya yang muslim yang memberi mereka makanan seperti yang dimakan tuannya, memberi mereka pakaian seperti yang dipakai tuannya, dan tidak membebani mereka pekerjaan yang tidak sanggup mereka kerjakan. Ini semua adalah beribu-ribu derajat lebih baik dari pada hidup merdeka, jauh dari rumah yang memberi mereka kasih sayang dan jauh dari perbuatan baik kepada mereka untuk kemudian menuju tempat yang menyengsarakan laksana neraka jahim”.

KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas penerjemah menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Perbudakan saat ini masih diakui oleh Islam.
2. Syarat untuk diperbudaknya seorang manusia adalah : (a) Kafir (non Muslim) (b) Menjadi tawanan kaum muslimin (c) Ditawan karena peperangan (d) Panglima perang muslim tidak memberikan alternatif lain kepada orang tersebut.
3. Islam menilai seorang budak sebagai saudara bagi tuannya.
4. Disisi lain, Islam mengusahakan kemerdekaan seorang budak dengan beberapa jalan, baik secara paksa maupun sukarela atau sebagai kafarah (penebus) dosa.

(Diterjemahkan dan diberi catatan kaki oleh: Aris Munandar bin S. Ahmadi al-Lamfunji)

Daftar Referensi/Maraji’:
• Taisir ‘Allam, Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam, Juz II, Darul Faiha dan Darus Salam cet. I tahun 1414 H
• Minhajul Muslim, Syeikh Abu Bakar al-Jazairi, Darul Fikr, cet. I tahun 1995 M.
• At-Targhib wat-Tarhib, al-Imam al-Mundziri, Darul Fikr, tahun 1993 M.
• Bahjatun Nazhirin, Syeikh Abu Usamah Salim al Hilali, Daar Ibnul Jauzi, cet. I tahun 1415 H.
• Fathul Majid Syarh kitab Tauhid, Takhrij Syeikh Ali bin Sinan, Darul Fikr, tahun 1412 H
• Fathul Baari, Ibnu Hajar al-Ashqalani , al Maktabah as-Salafiyah.
• Ghoits alMakdud takhrij Muntaqo ibnil Jaruud, Abu Ishaq al-Huwaini, Darul kitab al-Arabi, cet. II tahun 1414 H.
• Irwa’ul Ghalil, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami, cet. I tahun 1408 H.
• Shahih Jami’ ash-Shagir, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami.
• Dha’if Sunan Abu Dawud, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami, cet. I tahun 1412 H.
• Dha’if Sunan Ibnu Majah, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami, cet. I tahun 1408 H.
• Sunan Ibnu Maajah, Toha Putra Semarang.
• Tuhfatul Awadzi, Syeikh al-Mubarakfury, Daarul Fikri, th. 1415 H
• Dhaif Sunan Tirmidzi, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami, cet. I tahun 1411 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Saya tidak menemukan lafazh hadits sebagaimana yang ada diatas yang saya temukan adalah lafazh berikut :

إِتَّقُوااللهَ فِيْمَا مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ (صحيح) صحيح الجامع رقم 106 والإرواء 2178 . إِتَّقُوااللهَ فِي الصَّلاَةِ وَ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ (صحيح) رواه الخطيب البغدادى عن أم سلمة. صحيح الجامع رقم 105 و الصحيحة رقم :868

[2 Dalam Shahih Muslim saya tidak menemukan lafazh yang ada diatas, yang saya temukan adalah sebagai berikut :

لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا يُطِيقُ (صحيح) رواه مسلم وأحمد والبيهقي ]صحيح الجامع رقم 5191 والإرواء 2172 وفى رواية : "...فَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ مَالاَ يُطِيقُ" رواه أحمد والبيهقى أنظر تخريجه فى الإرواء 2172

3]. Shahih, Diriwayatkan oleh Bukhari I/16, II/123-124 dan IV/125, juga terdapat dalam Adabul Mufrad No. 189, Muslim V/93, Abu Daud No. 5158, Tirmidzi I/353, Ibnu Majjah No. 3690, Baihaqi VIII/7 dan Ahmad V/158 dan 161 dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu
[4]. Shahih, Diriwayatkan oleh Bukhari kitab Al-‘Itqu No. 2552 dan Muslim No. 2449.
[5]. Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari (lihat Fathul Bari V/146 dan Shahih Muslim No. 1509
[6]. Imam al-Mundziri berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dan beliau mengatakan hadits ini Hasan Shahih (No. 1547), juga diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud semakna dengan hadits diatas diriwayatkan dari Ka’ab Bin Murrah, dan juga Ibnu Majah dari riwayat Ka’ab Bin Murrah atau Murrah Bin Ka’ab (No. 2522) Lihat at-Targhib juz 2 hal. 421-424 No. 2947. Hadits ini tidak saya jumpai dalam Dhaif Sunan Abi Daud kitab al-‘Itqu hal 389-391, juga tidak saya temukan dalam Dhaif Sunan Ibnu Majjah kitab al-‘Itqu hal. 199-201, juga tidak saya temukan dalam Dhaif Sunan Tirmizi pada Abwabun Nudzur wal aiman hal. 180-181
[7]. Hasan diriwayatkan oleh Ahmad II/182 dan lafaz ini adalah lafaz dari Ahmad. Juga diriwayatkan oleh Abu Daud No. 4519, Ibnu Majah No. 2680, Ahmad II/225. Semakna dengan lafaz diatas juga diriwayatkan oleh Baihaqi VIII/36
[8]. Diriwayatkan oleh Bukhari No. 2503. Lihat Fathul Baari juz 5 hal. 137 dan lengkapnya adalah sbb :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي مَمْلُوكٍ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعْتِقَ كُلَّهُ إِنْ كَانَ لَهُ مَالٌ قَدْرَ ثَمَنِهِ يُقَامُ قِيمَةَ عَدْلٍ وَيُعْطَى شُرَكَاؤُهُ حِصَّتَهُمْ وَيُخَلَّى سَبِيلُ الْمُعْتَقِ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membebaskan bagiannya dari seorang budak, maka ia wajib membebaskan seluruhnya jika dia mempunyai harta sekadar dengan harganya yang diukur dengan adil, dan diberikan kepada para sekutunya bagian mereka, kemudian orang yang dimerdekakan dilepaskan.
[9].Hadits tersebut termasuk hadits dhaiful isnad shahihul matan (sanadnya dha’if, tetapi maknanya/isinya shahih-red). Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan oleh Abu Daud No. 3949, Tirmizi 1365, Ahmad V/15 dan 20, Ath-Thayalisi No. 910, Ath-Thobrani dalam al-Kabir juz 7 No. 5852, Hakim II/214 dan Baihaqi X/289. Lihat penjelasan kedhaifannya dalam Ghaitsul Makdud no. 972. Namun hadits ini memiliki syahid yang diriwayatkan oleh Tirmizi III/289 secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh Nasa’i dalam al’Itqu sebagaimana tersebut di dalam al-Athrof V/451, Ibnu Majah No. 2525 dan Baihaqi X/289 dan sanad syahid dishahihkan oleh Syeikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam Gahitsul Makdud no. 972, Lihat juga Irwa’ul Ghalil juz 6 hal. 169-171 no. 1746. Lihat juga Shahih Sunan Abu Daud No. 3342 dan 3949, Shahih Ibnu Maajah No. 2046 dan 2047 dan Miskatul Mashobih (tahqiq Al-Bani) No. 3393. Hadits dengan lafaz ini juga diriwayatkan dari Umar Bin Khattab z secara mauquf namun sanadnya dhaif. Lihat Dhaif Sunan Abu Daud no. 850

http://almanhaj.or.id/content/3062/slash/0/sikap-islam-terhadap-perbudakan/