Kisah Muslim di Kamp Puttalam


Atas undangan Kedutaan Besar Indonesia untuk Sri Lanka, wartawan Republika, Andri Saubani, berkesempatan mengunjungi negara yang baru reda dari perang saudara itu. Berikut laporan pertama dari dua tulisan.

Memori getir Abdhul Matheen mengiringi Republika menyusuri jalan-jalan kamp pengungsian di Distrik Puttalam, Sri Lanka. Pria Muslim paruh baya itu bercerita soal peristiwa pengusiran kelompok separatis Macan Tamil Elam (LTTE), yang membuat dirinya terusir dari Sri Lanka bagian utara pada 1990.

''Kami umat Muslim, diusir dan akhirnya sampai di kamp pengungsian ini,'' kenang Matheen. Sambil mengarahkan jalan kepada Republika, Matheen menyambung cerita; bersama sembilan anggota keluarganya, dia berlayar mengarungi laut dekat teluk Mannar hingga sampai di Kalipitia, Puttalam.

Setelah terkatung-katung selama 12 jam di lautan lepas, ia dan keluarganya berlabuh di Puttalam. Di kamp itulah, Matheen bergabung dengan ratusan ribu warga Muslim lainnya yang juga terusir dari tanah kelahirannya.

Sejarah mencatat, pengusiran warga Muslim diawali dengan peristiwa pembantaian di dua masjid dekat Kota Batticaloa, yang berakibat tewasnya 100 orang. LTTE menuduh kaum Muslim di Utara Sri Lanka pro kepada pemerintah.

Puttalam, salah satu distrik yang terletak di pantai barat Sri Lanka dan jaraknya sekitar 134 kilometer dari ibu kota Kolombo. Jarak itu sama dengan tiga jam perjalanan darat.

Saat itu adalah hari pertama bulan Ramadhan (22/8) ketika Republika sampai di kamp Zahira. Begitu tahu penulis berasal dari Indonesia, jabatan tangan dan senyum para penghuni kamp pengungsian selalu disambung ucapan hangat ''Assalamualaikum.''

Kamp Zahira adalah salah satu dari 167 kamp pengungsian yang ada di Distrik Puttalam. Di Puttalam, bermukim 18.912 keluarga korban pengusiran LTTE dengan jumlah total 76.631 jiwa.

Kamp Zahira ditinggali 131 keluarga yang menetap di gubuk-gubuk pengungsian yang kondisinya memprihatinkan. ''Lima tahun pertama adalah masa paling sulit bagi kami,'' sebut Matheen yang kini bekerja untuk pemerintah di bawah Kementrian Pemulihan Bencana.

Kalimat terakhir Matheen diamini SM Jinnah (30), salah satu pengungsi Muslim yang diwawancarai penulis di kamp Zahira. Saat diusir dari Kilinochchi pada 1990, Jinnah berusia 11 tahun. Bersama ayahnya, Sayeed Mohamed, dan delapan anggota keluarga yang lain, Jinnah berjalan kaki sejauh 48 kilometer, selama satu hari satu malam hingga Vavuniyaa.

Barulah perjalanan Vavuniyaa-Puttalam sejauh 135 kilometer dilanjutkan dengan cara menumpang van.

Jinnah ingat, begitu tiba di Puttalam, keluarganya ditampung di Masjid Agung. Setelah mendapat bantuan tenda dari wali kota setempat, keluarga Jinnah kemudian berhenti menumpang di masjid.

Pada 1995, seluruh pengungsi mulai membangun tempat tinggal semacam gubuk yang atapnya dari daun kelapa dan dindingnya dari seng. Luas gubuk setiap keluarga dibatasi ukurannya tiga kali tiga meter. Saat malam, gubuk gelap gulita, sementara di musim hujan, banjir pasti menggenang.

''Saat itu sudah biasa yang laki-laki tidur di luar gubuk karena di dalam tidak cukup,'' kata Jinnah. Pada 1997, kamp Zahira sempat kebakaran. Sekitar 220 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal.

Setahun kemudian, pemerintah mencoba menarik jaringan listrik ke kamp-kamp pengungsi di Puttalam. Namun, tampaknya jumlah sambungan listrik terbatas dan tidak gratis. Tidak semua gubuk atau rumah sementara di Puttalam hingga kini yang dialiri listrik.

Berangsur-angsur bantuan kemanusian dari Pemerintah Sri Lanka atau lembaga donasi dalam dan luar negeri berdatangan setiap tahunnya. Mulai dari makanan pokok hingga pembangunan fasilitas-fasilitas umum, seperti WC, sarana ibadah (masjid), dan sekolah tingkat pendidikan dasar. Khusus WC, luas bangunannya satu meter persegi dengan tinggi dua meter dan fasilitas toilet jongkok di dalamnya.

Setelah 19 tahun tinggal di Puttalam, anggota keluarga Sayeed hingga saat ini berjumlah 29 orang. Beberapa anggota keluarga termasuk Jinnah telah memiliki keluarga sendiri.

Jinnah dan beberapa kakaknya bekerja menjadi pelayan warung makan di pinggir-pingir jalan Puttalam. Hasil dari bekerja disisihkan untuk membangun rumah semipermanen, yang dindingnya dari batako tanpa plester semen dan atap dari asbes. taq

http://www.republika.co.id/berita/73760/Kisah_Muslim_di_Kamp_Puttalam

No comments:

Post a Comment