Melepas Ajal


Ajal tak ubahnya seperti tagihan utang. Tak diharapkan datang, tapi pasti menyambang. Siapa pun akan dapat giliran kunjungan ajal. Tak peduli usia, apalagi status sosial. Kadang, tak pernah terbayang, kalau ajal siap menjemput orang yang tersayang.

Tak semua kita siap menghadapi kematian orang yang kita sayang. Apakah ibu, ayah, suami, isteri, anak, dan sanak keluarga lain. Dalam ketidaksiapan itu aneka reaksi bisa kita ungkapkan secara tidak sadar. Mulai menangis, marah, bahkan pingsan. Dan itulah yang kini dihadapi Bu Neneng.

Sebulan sudah putera kedua Bu Neneng meninggal dunia. Si bungsu usia tiga tahun ini tak lagi berdaya menghadapi penyakit tipes. Padahal, anak itu menyimpan harapan besar buat Bu Neneng: cakep, pintar, lincah, dan penurut. Masih banyak sifat bagus lain yang hanya dipahami Bu Neneng sendiri.

Masih terbayang bagaimana anak itu shalat. Rajin, tapi lucu. Ia kerap memakai kopiah ayahnya yang tentu saja kebesaran. Satu rukun shalat yang paling si bungsu benci: ruku. Pasalnya, di saat rukulah kopiahnya jatuh. “Yah, copot!” ucap si bungsu dalam kenangan Bu Neneng.

Senyum si bungsu pun belum hilang dalam bayang-bayang Bu Neneng. Manis, menawan. Rasa capek selepas repot-repot di dapur bisa lenyap seketika kalau si bungsu senyum. “Capek ya, Ma?” ucapnya sambil melepas senyum. Bibirnya merekah indah. Tatapan matanya begitu tajam menafsirkan sebuah perhatian yang teramat dalam. Seolah, ia ingin memberikan hadiah sebagai ganti kepayahan Bu Neneng. Tapi, hanya senyum yang bisa dipersembahkan.

“Ah, anakku…,” suara Bu Neneng tertahan. Ibu yang juga pegawai di sebuah perusahaan swasta ini seperti terseret dalam bayang-bayang gugatan si bungsu. Kalau sudah begitu, ia tenggelam dalam perasaan bersalah. Ia merasa, kesibukannya di kantor telah memecah dua dunia miliknya. Dunia ibu dan wanita yang ingin mengembangkan potensi dan karir.

Namun, ketajaman gugatan itu acapkali ditumpulkan suami Bu Neneng. “Kamu bukan tipe ibu yang menelantarkan anak. Dan lagi, jam kerja kamu kan cuma enam jam sehari,” ucap sang suami meyakinkan. Saat itu juga, semangat Bu Neneng kembali segar. Ucapan suaminya benar-benar meluruskan kebengkokan rasa hatinya yang sedang tak karuan.

Bu Neneng juga pernah menyalahkan pembantunya. “Gimana sih, Mbok. Anak sakit kok nggak cepet dibawa ke dokter! Dasar dusun!” gertak Bu Neneng suatu hari. Marahnya tak lagi terkendali. Ia lupa kalau marahnya sedang tertuju ke seorang wanita tua yang sebaya dengan ibunya. Santunnya tiba-tiba menguap entah kemana. Dan, air mata Mbok Inahlah yang akhirnya meredam emosi Bu Neneng. Isak tangis wanita yang pernah merawatnya saat kecil kembali meluruskan nalar Bu Neneng.

Sayangnya, nalar itu datang terlambat. Mbok Inah sudah terlanjur sakit. Hatinya seperti terkoyak dengan ucapan majikan mudanya. Mbok Inah sebenarnya ingin protes. Bukan cuma Bu Neneng yang kehilangan, ia pun seperti kehilangan permata yang amat berharga. Itu saja sudah bikin hati terpukul. Apalagi kalau disalah-salahkan dengan sebutan ‘dusun’! Sejak itulah, Bu Neneng tak lagi bisa menikmati layanan Mbok Inah. Ibu tua itu telah pulang kampung.

Siapa lagi yang bisa disalahkan? Perasaan itulah yang kerap menusuk-nusuk hati Bu Neneng. Alam bawah sadarnya masih belum bisa menerima kenyataan yang terjadi. Kenapa harus si bungsu. Kenapa bukan orang lain. Kenapa Allah tidak adil!

Buat yang satu ini, kesadaran Bu Neneng benar-benar dalam tingkat yang paling rendah. Dan saat itulah konflik batinnya sudah merenggut pemahamannya tentang takdir. Ia kecewa dengan putusan Allah. Padahal, ia paham sekali kalau Allah Maha Bijaksana. Ia tahu betul kalau sebuah kejadian buruk punya dua sisi: ujian dan hikmah.

Tapi, di situlah masalahnya. Kekecewaan Bu Neneng telah mengubur kesadarannya. Ia tak lagi bisa melihat dua sisi itu. Ujian itu terasa berat buat takaran rasa Bu Neneng. Dan, pandangannya tentang hikmah di balik itu seperti tertutup asap buruk sangka pada takdir. Kenapa harus si bungsu yang baru menikmati hidup tiga tahun? Kenapa bukan dirinya. Ia lebih ridha kalau si bungsulah yang merasakan apa yang saat ini ia rasakan.

Mungkin, saat inilah Bu Neneng merasakan sesuatu yang nyata dari takdir. Bahwa takdir, apalagi yang bersentuhan dengan ajal akan bersinggungan dengan banyak hal. Soal pemahaman, kematangan, kesiapan, kesadaran, dan kesabaran. Betapa sering, ia mengucapkan ‘terimalah apa adanya’ kepada teman yang tertimpa musibah.Tapi, semua itu hanya sebatas pemahaman. Belum yang lain.

Kesadaran Bu Neneng mulai pulih ketika ia mengamati sekitar ruangan rumahnya. Sepi. Tak ada lagi cekikikan tawa renyah si bungsu. Tak ada lagi ucapan ‘Capek, ya Ma?’. Tak ada lagi hiburan kopiah jatuh. Tak ada lagi senyum menawan yang bikin hati nyaman. Itulah kenyataan. Kehidupan itu nyata, kematian pun ada. Kalau berani menerima kehidupan, kenapa takut menemui kematian. “Bungsuku memang telah tiada,” bisik hatinya yang paling dalam. Pelan tapi pasti, kesadarannya mulai bangkit.

Kesadaran Bu Neneng mengingatkannya pada sosok seorang muslimah di masa Rasulullah, Ummu Sulaim. Seorang ibu yang justru menyembunyikan berita kematian putera tunggalnya dari sang ayah yang berpergian jauh. Ia khawatir kalau suaminya kaget. Dengan kesabaran, kesadaran, dan kedewasaan, berita itu tertutur manis dari mulutnya. “Sang Pemilik telah mengambil milik yang dititipkanNya,” itulah ucapan Ummu Sulaim ke suaminya.

Betapa ia sudah sangat hafal tentang kisah itu, tapi baru kali ini bisa melahirkan kekaguman. Tidak semua pengetahuan membuahkan kesadaran. Dan kali ini, ia benar-benar merasa kerdil jika dibandingkan dengan kisah yang sering ia ucapkan itu. Bagaimana mungkin seorang ibu bisa menyiasati berita kematian putera tunggalnya.

“Astaghfirullah!” Bu Neneng mulai menyesali diri. Entah berapa korban yang telah jadi sasaran kepicikannya. Entah bagaimana perasaan Mbok Inah yang kini di kampung. Dan satu lagi, ia telah menggugat kebijaksanaan Yang Maha Bijak, Allah swt.

Kehidupan dan kematian memang rahasia Allah. Tak seorang pun yang tahu, apa yang dilahirkan kehidupan. Dan tak satu pun mengira, siapa yang dijemput kematian. Ajal memang tak ubahnya seperti tagihan utang. Cuma bedanya, ajal datang tak bilang-bilang.

(muhammadnuh@eramuslim.com)
http://eramuslim.com/hikmah/jendela/melepas-ajal.htm

No comments:

Post a Comment