Hukum Shalat Berjamaah di Mesjid bagi Kaum laki-laki

Para fuqaha berbeda pendapat tentang hal ini, di antara mereka ada yang mewajibkannya (fardhu ‘ain) dan menilai berdosa jika ditinggalkan, dan bagi merekashalat sendiri adalah bataldan wajib diulangi. Ada juga para ulama yang menyebutnya fardhu kifayah, namun ada juga yang menganggapnya sunah mu’akadah (anjuran yang ditekankan) bukan fardhu.

Hal tersebut diuraikan oleh Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari :

بِأَنَّهَا فَرْضُ عَيْن ذَهَبَ عَطَاء وَالْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَد وَجَمَاعَة مِنْ مُحَدِّثِي الشَّافِعِيَّة كَأَبِي ثَوْر وَابْن خُزَيْمَةَ وَابْن الْمُنْذِر وَابْن حِبَّانَ ، وَبَالَغَ دَاوُدُ وَمَنْ تَبِعَهُ فَجَعَلَهَا شَرْطًا فِي صِحَّة الصَّلَاة

Yang menyebutnya fardhu ‘ain adalah pendapatnya Atha’, Al Auza’i, Ahmad, dan jamaah ahli hadits dari kalangan Syafi’iyah seperti Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, sedangkan Daud dan pengikutnya menekankan bahwa berjamaah merupakan syarat sahnya shalat.

Beliau melanjutkan:

وَظَاهِر نَصِّ الشَّافِعِيّ أَنَّهَا فَرْضُ كِفَايَة ، وَعَلَيْهِ جُمْهُور الْمُتَقَدِّمِينَ مِنْ أَصْحَابه وَقَالَ بِهِ كَثِير مِنْ الْحَنَفِيَّة وَالْمَالِكِيَّة ، وَالْمَشْهُور عِنْد الْبَاقِينَ أَنَّهَا سُنَّة مُؤَكَّدَة

Dan zhahir dari ucapan Asy Syafi’i adalah bahwa berjamaah adalah fardhu kifayah, demikianlah mayoritas pendapat dari para pengikutnya terdahulu, dan demikian pula pendapat kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, dan yang masyhur bagi yang lainnya adalah sunah mu’akkadah.” (Fathul Bari, Juz. 2, Hal. 465. Al Maktabah Asy Syamilah)

Perbedaan ini juga ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah sebagai berikut:

وَ " الْجَمَاعَةُ " وَاجِبَةٌ أَيْضًا عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ الْعُلَمَاءِ بَلْ عِنْدَ أَكْثَرِ السَّلَفِ وَهَلْ هِيَ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الصَّلَاةِ عَلَى قَوْلَيْنِ : أَقْوَاهُمَا كَمَا فِي سُنَنِ أَبِي داود عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يُجِبْ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَلَا صَلَاةَ لَهُ } . وَعِنْدَ طَائِفَةٍ مِنْ الْعُلَمَاءِ : أَنَّهَا وَاجِبَةٌ عَلَى الْكِفَايَةِ . وَ " أَحَدُ الْأَقْوَالِ " أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ وَلَا نِزَاعَ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ وَحْدَهُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا كَمَا ثَبَتَ ذَلِكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . وَلَا نِزَاعَ بَيْنَهُمْ أَنَّ مَنْ جَعَلَ صَلَاتَهُ وَحْدَهُ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهِ فِي جَمَاعَةٍ فَإِنَّهُ ضَالٌّ مُبْتَدِعٌ مُخَالِفٌ لِدِينِ الْمُسْلِمِينَ

Berjamaah adalah juga wajib menurut mayoritas ulama, bahkan menurut mayoritas kaum salaf. Namun apakah itu merupakan syarat sahnya shalat, terdapat dua pendapat: yang paling kuat adalah sebagaimana diriwayatkan dalam Sunan Abu Daud dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa yang mendengarkan panggilan adzan dan dia tidak menyambutnya tanpa ‘udzur, maka tidak ada shalat baginya.” Sedangkan menurut sekelompok ulama: “Sesungguhnya itu fardhu kifayah.” Sementara ada satu pendapat yang mengatakan bahwa itu adalah sunah mu’akadah. Dan tidak ada pertentangan antara ulama bahwa shalatnya seorang laki-laki secara berjamaah lebih baik 25 kali lipat dibanding shalatnya seorang diri, sebagaimana telah shahih hal itu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan tidak ada pertentangan juga di antara mereka, bahwa barangsiapa yang menjadikan shalatnya seorang diri adalah lebih utama dibanding shalat berjamaah, maka dia sesat, pembuat bid’ah, dan bertentangan dengan keyakinan kaum muslimin.” (Majmu’ Al Fatawa, Juz. 3, Hal. 52. Al Maktabah Asy Syamilah)

Demikian perbedaan dalam hal ini, namun nampak bahwa Imam Ibnu Taimiyah sendiri cenderung menguatkan yang mewajibkannya, bahkan itu sebagai syarat sahnya shalat, seperti yang terlihat pada yang digaris bawahi. Di halaman lain dari kitabnya pun, beliau berulang-ulang mengatakan wajibnya shalat fardhu berjamaah bersama kaum muslimin.

Namun pandangan jumhur (mayoritas) bahwa shalat berjamaah di masjid adalah sunah atau fardhu kifayah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid:

فإن العلماء اختلفوا فيها، فذهب الجمهور إلى أنها سنة أو فرض على الكفاية وذهبت الظاهرية إلى أن صلاة الجماعة فرض متعين على كل مكلف.

Sesungguhnya para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, adapun madzhab jumhur adalah shalat jamaah adalah sunah atau fardhu kifayah, sedangkan madzhab zhahiriyah berpendapat shalat berjamaah adalah fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf.” (Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz.1,Hal. 114. Al Maktabah Asy Syamilah)

Perbedaan para ulama ini, lantaran mereka berbeda faham dalam menafsirkan hadits, di antaranya berikut ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

Dari Ibnu Abbas, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mendengarkan panggilan (adzan), lalu dia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali bagi yang ‘udzur (berhalangan).” (HR. Ibnu Majah, Kitab Al Masajid wal Jama’at Bab At Taghlizh fi at Takhallufi ‘an Al Jama’ah, Juz. 3, Hal. 14, No hadits. 785. Al Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai syarat syaikhan (Bukhari-Muslim) tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Al Mustadrak, Juz. 3, Hal. 410, No. 854. Disepakati oleh Adz Dzahabi. Syaikh Al Albany menshahihkan. Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, Juz. 2, Hal. 365. Al Maktabah Asy Syamilah)

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu ditanya apakah ‘udzur itu?, beliau menjawab:

خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ

Takut dan sakit.” (HR. Abu Daud, Kitab Ash Shalah Bab Fi Tasydidi Fi Tarkil Jama’ah, Juz. 2, Hal. 155, No hadits. 464. Syaikh Al Albany menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Juz. 2 Hal. 51. Al Maktabah Asy Syamilah)

Masalah utama dalam perbedaan menafsirkan hadits ini adalah pada kalimat “Falaa Shalata Lahu” (Tidak ada shalat baginya), sebagaimana yang diterangkan Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:

وَالْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى تَأَكُّدِ الْجَمَاعَةِ وَهُوَ حُجَّةٌ لِمَنْ يَقُولُ إنَّهَا فَرْضُ عَيْنٍ وَمَنْ يَقُولُ إنَّهَا سُنَّةٌ يُؤَوِّلُ قَوْلَهُ " فَلَا صَلَاةَ لَهُ " أَيْ كَامِلَةً

Hadits ini merupakan dalil atas kuatnya anjuran berjamaah, dan ini merupakan hujjah bagi pihak yang berpendapat bahwa berjamaah adalah fardhu ‘ain, sedangkan yang berpendapat sunah, menakwilkan ucapan “Falaa Shalata lahu” yakni (tidak) sempurna.” (Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Juz. 2 Hal. 307. Al Maktabah Asy Syamilah)

Namun, yang jelas dalam hadits ini tidak bermakna wajib secara mutlak, sebab hadits tersebut telah memberikan taqyid (pembatasnya) yakni kalimat “Illa man ‘Udzrin” kecuali bagi orang yang ‘udzur. Sebab, sesuatu yang mutlak jika sudah ada pengecualinya, maka hilanglah kemutlakannya.

1. Kelompok Yang Mewajibkan

Sebenarnya kelompok ini tidak berhujjah dengan hadits di atas saja, telapi berhujjah dengan nash Al Quran, sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga Fatwa Saudi Arabia yakni Lajnah Da’imah. Berikut adalah fatwa Lajnah Da’imah yang dimaksud:

من صلى الفرائض الخمس أو واحدة منها في بيته بلا عذر فليس بكافر، ولكنه أثم لتركه واجبًا وهو الصلاة مع الجماعة بالمسجد لقول الله تعالى: { وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً } الآية

Barangsiapa yang melaksanakan shalat fardhu yang lima atau salah satunya di rumahnya tanpa ada’udzur tidaklah kafir tetapi dia berdosa karena meninggalkan kewajiban, yakni shalat bersama jamaah di mesjid, karena Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. … (QS.An Nisa (4): 102) ( Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al’Ilmiah wal Ifta’, Juz. 9, Hal. 307. fatwa no. 1591. Al Maktabah Asy Syamilah)

Bagi kelompok ini, ayat tersebut menunjukan kewajiban berjamaah dalam shalat, sebab jika dalam keadaan perang saja, yang waktunya sangat sempit dan ada rasa takut, Allah Ta’ala tetap mewajibkan berjamaah, tentu apalagi ketika dalam keadaan normal, maka kewajibannya lebih kuat lagi.

Sementara bagi kelompok yang tidak menganggapnya wajib, tidak menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya berjamaah dalam shalat yang lima , sebab ayat ini hanya menguraikan tentang tata cara shalat berjamaah ketika perang, bukan tentang wajibnya berjamaah ketika perang dan tidak ada indikasi pada ayat tersebut tentang kewajiban ini.

Imam Ibnu Tamiyah, termasuk ulama yang mewajibkan, beliau Rahimahullah juga berdalil dengan hadits lain, yakni hadits Abdullah bin Ummi Maktum Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:

وَالصَّلَاةَ فِي جَمَاعَةٍ : مِنْ الْوَاجِبَاتِ كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ : أَنَّ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ قَالَ : { يَا رَسُولَ اللَّهِ إنِّي رَجُلٌ شَاسِعُ الدَّارِ وَلِي قَائِدٌ لَا يُلَائِمُنِي . فَهَلْ تَجِدُ لِي رُخْصَةً أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِي ؟ قَالَ : هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ ؟ قَالَ : نَعَمْ قَالَ : مَا أَجِدُ لَك رُخْصَةً }

Shalat bersama jamaah merupakan di antara kewajiban, sebagaimana telah shahih, bahwa Ibnu Ummi Maktum berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidakada orang yang menuntun saya kemesjid, apakah ada rukhshah (dispensasi) bagi saya untukshalat di rumah?” Rasulullah bertanya: “Apakah kau mendengar adzan?” Dia menjawab: “Ya.” Rasulullah bersabda: “Aku tidak temukan rukhshah bagimu.” (Majmu’ Al Fatawa, Juz. 5, Hal. 235. Al Maktabah Asy Syamilah)

Beliau juga menjelaskan perbedaan para ulama, apakah shalatnya batal atau tidak, wajibkah diulangi atau tidak?

لَكِنْ إذَا تَرَكَ هَذَا الْوَاجِبَ فَهَلْ يُعَاقَبُ عَلَيْهِ وَيُثَابُ عَلَى مَا فَعَلَهُ مِنْ الصَّلَاةِ أَمْ يُقَالُ . إنَّ الصَّلَاةَ بَاطِلَةٌ عَلَيْهِ إعَادَتُهَا كَأَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهَا ؟ . هَذَا فِيهِ نِزَاعٌ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ . وَعَلَى هَذَا قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إذَا فَعَلْت هَذَا فَقَدْ تَمَّتْ صَلَاتُك وَمَا انْتَقَصْت مِنْ هَذَا فَإِنَّمَا انْتَقَصْت مِنْ صَلَاتِك } . فَقَدْ بَيَّنَ أَنَّ الْكَمَالَ الَّذِي نُفِيَ هُوَ هَذَا التَّمَامُ الَّذِي ذَكَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . فَإِنَّ التَّارِكَ لِبَعْضِ ذَلِكَ قَدْ انْتَقَصَ مِنْ صَلَاتِهِ بَعْضَ مَا أَوْجَبَهُ اللَّهُ فِيهَا . وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ : { فَإِذَا فَعَلَ هَذَا فَقَدَ تَمَّتْ صَلَاتُهُ } . وَيُؤَيِّدُ هَذَا : أَنَّهُ أَمَرَهُ بِأَنْ يُعِيدَ الصَّلَاةَ . وَلَوْ كَانَ الْمَتْرُوكُ مُسْتَحَبًّا لَمْ يَأْمُرْهُ بِالْإِعَادَةِ

Tetapi jika meninggalkan kewajiban ini, apakah diberikan hukuman atasnya, dan diberikan ganjaran atas apa-apa yang dikerjakannya dari shalatnya, atau dikatakan: sesungguhnya shalatnya batal dan wajib baginya mengulanginya seakan dia belum mengerjakannya?. Dalam hal ini terjadiperbedaan pendapat para ulama. Dalam hal ini terdapat hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Jikaengkau melakukan hal itu, maka telah sempurna shalatmu, dan jika engkau menguranginya, maka shalatmu pun juga terkurangi.” Ini telah menjelaskan bahwa kesempurnaan yang diingkari dalam hadits ini adalah kesempurnaan (totalitas) yang telah disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sesungguhnya orang yang meninggalkan sebagian dari kesempurnaan, maka telah berkurang kesempurnan shalatnya, sebagian apa-apa yang telah Allah Ta’ala wajibkan dalam shalat tersebut. Juga telah disebutkan dalam hadits lainnya: “Maka, jika hal itu dilaksanakan maka telah sempurna shalatnya.” Halini menguatkan: Bahwa beliau memerintahkan agar mengulangi shalatnya. Seandainya sesuatu yang ditinggalkan tersebut adalah hal yang mustahab (sunah), maka tentunya beliau tidak akan mengulangi shalatnya.” (Ibid)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkata tentang hadits Ibnu Abbas di atas:

و قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا عَلَى التَّغْلِيظِ وَالتَّشْدِيدِ وَلَا رُخْصَةَ لِأَحَدٍ فِي تَرْكِ الْجَمَاعَةِ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

Sebagian Ahli ilmu berkata, bahwa hadits ini sangat kuat dan keras,dan tidak ada rukhshah bagi seorang pun untuk meninggalkan shalat jamaah kecuali bagi yang memiliki ‘udzur.” (Sunan At Tirmidzi, Kitab Ash Shalah Bab Maa Ja’a fii man Yasma’u An Nida’a falaa yujibu, Juz. 1,Hal. 368, No hadits. 201. Al Maktabah Asy Syamilah)

Sementara dalam Fathul Qadir (Fiqih madzhab Hanafi –bukan Fathul Qadirnya Imam Asy Syaukani), disebutkan:

وَفِي الْغَايَةِ قَالَ عَامَّةُ مَشَايِخِنَا : إنَّهَا وَاجِبَةٌ ، وَفِي الْمُفِيدِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ

Berkata umumnya masyaikh kami dalam kitab Al Ghayah: “Hal itu sesungguhnya adalah wajib,” dalam kitab Al Mufid: “Hal itu sesungguhnya wajib.” (Imam Ibnu Hummam, Fathul Qadir, Juz. 2,Hal. 196. Al Maktabah Asy Syamilah)

وَسُئِلَ الْحَلْوَانِيُّ عَمَّنْ يَجْمَعُ بِأَهْلِهِ أَحْيَانًا هَلْ يَنَالُ ثَوَابَ الْجَمَاعَةِ ؟ فَقَالَ : لَا ، وَيَكُونُ بِدْعَةً وَمَكْرُوهًا بِلَا عُذْرٍ .

Al Halwani ditanya tentang orang yang kadang-kadang berjamaah dengan keluarganya (di rumah), apakah dia mendapatkan pahala shalat berjamaah?, Dia menjawab: Tidak, itu adalah bid’ah dan makruh, jika tanpa ‘udzur.” (Ibid)

Dalam Bada’i Shana’i disebutkan:

فَالْجَمَاعَةُ إنَّمَا تَجِبُ عَلَى الرِّجَالِ ، الْعَاقِلِينَ ، الْأَحْرَارِ ، الْقَادِرِينَ عَلَيْهَا مِنْ غَيْرِ حَرَجٍ فَلَا تَجِبُ عَلَى النِّسَاءِ ، وَالصِّبْيَانِ ، وَالْمَجَانِين ، وَالْعَبِيدِ ، وَالْمُقْعَدِ ، وَمَقْطُوعِ الْيَدِ ، وَالرِّجْلِ مِنْ خِلَافٍ ، وَالشَّيْخِ الْكَبِيرِ الَّذِي لَا يَقْدِرُ عَلَى الْمَشْيِ ، وَالْمَرِيضِ ( أَمَّا ) النِّسَاءُ فَلِأَنَّ خُرُوجَهُنَّ إلَى الْجَمَاعَاتِ فِتْنَةٌ .

Maka, shalat berjamaah sesungguhnya wajib bagi laki-laki, berakal, merdeka, mampu melaksanakan tanpa ada kesempitan, dan tidak wajib bagi wanita, anak-anak, orang gila, hamba sahaya, orang yang tangan dan kakinya buntung secara silang, orang tua yang sudah tidakmampu berjalan, dan orang sakit, dan wanita yang jika keluar menuju jamaah akan melahirkan fitnah.” (Imam al Kasani, Bada’i Ash Shana’i, Juz.2, Hal. 119. Al Maktabah Asy Syamilah)

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah berkata:

ليس لاحد من خلق الله تعالى في الحضر والقرية يسمع النداء والاقامة رخصة في ان يدع الصلاة

Tidak ada rukhshah bagi seorang makhluk Allah mana pun, baik dikota dan desa, untuk meninggalkan shalat (berjamaah) ketika dia mendengar adzan dan iqamah.” (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz. 4, Hal. 196. Al Maktabah Asy Syamilah)

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menegaskan wajibnya shalat berjamaah kecuali bagi yang ‘udzur, namun berjamaah bukan syarat sahnya shalat, sebagaimana yang dikatakan Imam Ahmad. (Al Mughni, Juz. 3, Hal. 407. Al Maktabah Asy Syamilah)

Demikianlah pandangan ulama yang mewajibkan dengan dalil yang mereka miliki.

2. Kelompok Ulama Yang Tidak Mewajibkan

Kelompok ini, juga menggunakan hadits Ibnu Abbas. Mereka berpendapat bahwa shalat berjamaah di mesjid adalah fardhu kifayah atau sunah mu’akkadah. Bagi mereka kalimat Falaa Shalata Lahu bukan berarti shalatnya tidak sah, tetapi tidak sempurna dan shalatnya tetap sah. Sebagaimana kalimat hadits La yu’minu ahadukum hatta yuhibbu akhihi …dst (Kalian tidaklah beriman sampai kalian mencintai saudaranya …) maksudnya tidak sempurna iman kalian (Fathul Bari, Juz. 1, Hal. 20. No. 12) Atau hadits La Diinan Liman laa amanata lahu (tidak beragama bagi orang yang tidak amanah), maksudnya tidak sempurna agamanya, bukan berarti dia murtad.

Ada banyak kitab dari berbagai madzhab yang menyebutkan bahwa yang dimaksud kalimat tersebut adalah tidak sempurna shalatnya, di antaranya:

- Imam Ibnu ‘Abidin, Hasyiyah Radd al Muhtar, Juz. 2, Hal. 254. (Di dalamnya disebutkan makna hadits, “Tidak ada shalat bagi yang bertetangga dengan mesjid kecuali di mesjid,” maksudnya adalah tidak sempurna shalatnya.)
- Imam al Hafizh Ibnu Hummam, Fathul Qadir, Juz. 2, Hal.171. (Di situ ada bantahan bahwa kewajiban tidak cukup dikuatkan dengan hadits ahad, dan juga berhujjah dengan ucapan Ibnu Mas’ud)
- Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Juz. 5, Hal. 23
- Imam Abu Bakar ad Dimyathi, I’anatut Thalibin, Juz. 2, Hal. 57.
- Imam Zakariya al Anshari, Fathul Wahhab, Juz. 1,Hal. 108.
- Imam Zakariya al Anshari, Asna al Mathalib, Juz. 3, Hal. 253
- Imam Zakariya al Anshari, Syarhul Bahjah al Wardiyah, Juz. 4, Hal. 215
- Imam Zakariya al Anshari, Hasyiyah Al Jumal, Juz. 4, Hal. 434
- Imam Abdul Karim ar Rafi’i, Fathul ‘Aziz Syarh al Wajiz, Juz. 4, Hal. 304 (di sini sebutkan bahwa hukumnya sunah atau fardhu kifayah)
- Hasyiyahnya Al Qalyubi dan ‘Amirah, Juz. 3, Hal. 213.
- Imam Ibnu Hajar al Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Juz. 7, Hal. 472
- Imam Khathib asy Syarbini,Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al Minhaj,Juz.3, Hal.198.
- Imam Syihabuddin ar Ramli, Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Juz. 5,Hal. 461
- Imam Sulaiman bin Umar bin Muhammad al Bajirumi, Syarh Al Bajirumi ‘alal Minhaj, Juz. 3, Hal. 240.

Demikian masalah ini. Semoga bermanfaat, wallahu a’lam.

Oleh: Farid Nu’man
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/67

No comments:

Post a Comment