Toleransi Beragama Bukan Partisipasi



Ustadz Abu Deedat Syihab, Pakar Kristologi


Sebagai salah satu inisiator yang membidani lahirnya FAKTA (Forum Anti Gerakan Pemurtadan), Ustadz Abu Deedat Syihab otomatis tercatat sebagai pengagas lembaga anti pemurtadan dan kristenisasi yang pertama kali berdiri di Indonesia. Karena secara formal, memang FAKTA yang pertama kali berdiri di negeri ini, pada tahun 1998. Meski begitu, Ustadz Abu Deedat, tak pernah melupakan akar sejarah gerakan anti pemurtadan dan kristenisasi di negeri ini.

Menurutnya, jauh sebelum FAKTA berdiri, kawan-kawan di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Muhammadiyah sudah bergerak melakukan dakwah khusus membentengi akidah umat dan melawan misi kristenisasi di berbagai daerah. ”Karenanya, jika ditelusuri, dai atau ustadz yang konsen berdakwah membentengi akidah umat dari serbuan misi kristenisasi dan memiliki kemampuan sebagai kristolog, sebagian besar berasal dari DDII dan Muhammadiyah,” terangnya.

Tapi dalam beberapa tahun terakhir ini, kiprah lembaga-lembaga anti pemurtadan yang kian menjamur jumlahnya terasa makin menurun. Sementara gerakan kristenisasi dan pemurtadan terus berkreasi mengembangkan metoda dan caranya. Terlebih menjelang akhir Desember, yang bertepatan dengan Natal dan Tahu Baru, para misionaris solah-olah menemukan momen paling tepat untuk unjuk kekuatan.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Wartawan Sabili Dwi Hardianto dan Eman Mulyatman, serta Fotografer Arief Kamaludin mendiskusikannya dengan dai yang juga dimemegang amanah sebagai Wakil Ketua Dakwah Khusus MUI Pusat ini. Diskusi berlangsung di Ruang Pertemuan Graha Sabili, Jakarta, Selasa (15/12/2009). Berikut petikannya:

Sebagai pionir, bagaimana FAKTA mengembangkan organisasi?

Dari awal saya menginginkan agar di semua daerah di negeri ini memiliki lembaga yang konsen menghadapi pemurtadan dan kristenisasi, tapi tidak harus menggunakan nama FAKTA. Karena pemurtadan terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Makanya, sampai sekarang FAKTA tidak memiliki cabang di daerah-daerah. Orientasi kami bukan seperti itu, tapi yang penting di semua daerah ada lembaga anti pemurtadan dan kristenisasi yang siap melakukan koordinasi bersama FAKTA, ormas Islam dan MUI.

Meski saya melakukan banyak pelatihan dai dan kristologi di berbagai daerah, yang disusul dengan membentuk lembaga anti pemurtadan, saya tidak memaksakan pada mereka agar menggunakan nama FAKTA. Semuanya saya serahkan pada daerah untuk membentuk sendiri, dengan sistem dan nama sendiri. Yang penting, ketika ada kasus, lembaga ini harus siap berkordinasi dengan FAKTA, ormas Islam dan MUI.

Jadi secara nasional terkoordinasi?


Yang berada dalam binaan FAKTA sampai sekarang masih terkoordinasi dengan baik. Beberapa lembaga yang berada dalam koordinasi FAKTA, Muhammadiyah, DDII, dan MUI antara lain: Forbumi (Balikpapan), Forsab (Forum Bersama) di Purwokerto dan Banyumas, Fakad (Samarinda), Garis (Cianjur dan Sukabumi), Agap (Bandung dan sekitarnya), FKPM Bitung (Sulawesi Utara), di Sumatera Barat juga ada beberapa lembaga, dan lainnya. Hampir semuanya, terbentuk setelah melakukan pelatihan bersama FAKTA, tapi kami tidak memaksakan untuk menggunakan nama FAKTA.

Di daerah lain memang ada sebagian yang menggunakan nama FAKTA seperti di Palembang, Batam, Lampung, dan Malang. Sebenarnya, yang di Palembang pun awalnya namanya bukan FAKTA tapi GERAM. Baru belakangan ini mereka menggunakan nama FAKTA. Anggota GERAM cukup beragam, bahkan banyak juga yang PNS, dosen PTN dan swasta di sana. Bagi saya, yang penting bukan nama, tapi kinerja dan kekuatan jaringan. Kekuatan utama Nasrani adalah jaringan, sedangkan kita jaringannya lemah. Makanya, saya berkomitmen membangun jaringan di seluruh Indonesia yang bersifat otonom.



Bisa dicontohkan efektifnya kekuatan jaringan?

Ketika ada kasus Bandung Festival, kita kirim orang bekerjasama dengan rekan-rekan dari AGAP untuk investigasi. Kami pun menemukan data-data kristenisasi. Ketika peristiwa yang sama terjadi di Balikpapan (Balikpapan Festival), ternyata teman-teman di sana tak mampu membatalkan acara ini, karena izinnya dari Mabes Polri. Maka saya kontak almarhum Husein Umar (Ketua DDII) agar menghubungi Ahmad Soemargono yang saat itu menjadi anggota DPR-RI. Selanjutnya, Bang Gogon (panggilan Ahmad Soemargono, red) yang menelepon Mabes Polri. Cuma dalam 30 menit acara itu langsung dibatalkan izinnya oleh Mabes Polri, padahal saat itu, ketegangan di Balikpapan sangat tinggi. Jika acaranya dibatalkan, penyelenggara mengancam akan menjadikan Balikpapan sebagaimana kerusuhan Sampit. MUI Balikpapan pun angkat tangan.
Sebagai bukti, bahwa Balikpapan Festival adalah acara kristenisasi saya kirimkan data-data dan VCD acara Bandung Festival yang sama-sama diselenggarakan oleh Pendeta Peter Young Rane ke Balikpapan melalui kargo pesawat. Ongkos kirimnya sekitar Rp 150.000. Saya seumur hidup belum pernah membawa mobil sendiri ke bandara, tapi saat itu saya nekad, subuh-subuh berangkat, nyetir mobil tua sendiri, biar pagi-pagi VCD dan data-data itu sudah sampai di Balikpapan. Pulang dari bandara, saya bermaksud mengisi pengajian di Pasar Minggu. Masih di Tol Dalam Kota, saya ingin buang air kecil. Lalu mobil saya arahkan keluar tol di Pancoran dan mampir ke Kampus STEKPI Kalibata. Begitu di parkir dan saya keluar dari mobil, mobil saya langsung meledak, rupanya radiatornya pecah.

Kabarnya MUI membentuk Komite Dakwah Khusus (KDK) untuk menangani kristenisasi, pemurtadan dan aliran sesat. Bagaimana pembentuannya?

Awalnya, MUI kedatangan tamu, yakni Ketua MPU Aceh, pertengahan 2005. Beliau menceritakan kasus pemurtadan pasca tsunami di Aceh yang menimpa anak-anak korban tsunami. Anak-anak Aceh banyak yang dibawa ke luar Aceh. Melihat banyaknya laporan sejenis, MUI pun menganggap penting hadirnya lembaga khusus yang menangani masalah pemurtadan di Indonesia. Maka, pada awal 2006, MUI membentuk Komite Nasional Penanggulangan Bahaya Pemurtadan (Komnas PBP). Tapi setelah berjalan beberapa bulan sambil mencermati situasi dan kondisi bangsa, akhirnya Komnas PBP ini diganti namanya menjadi Komite Dakwah Khusus (KDK) MUI.

Di dalam MUI, KDK yang dilahirkan dari rahim Komisi Dakwah ini berbentuk semi otonom, tapi tidak seperti LP-POM MUI yang sudah full otonom. Artinya, KDK berdiri sendiri tidak berada di bawah satu komisi tapi tetap berada dalam koordinasi Komisi Dakwah, Komisi Ukhuwah, dan Komisi Pengkajian MUI. Kenapa Komisi Pengkajian dimasukkan? Karena KDK tidak hanya menangani masalah pemurtadan dan kristenisasi tapi juga menangani masalah aliran sesat.

Kedudukan KDK dengan lembaga anti pemurtadan yang sudah ada?


KDK berfungsi mengkoordinasikan semua kekuatan umat Islam seperti ormas, lembaga anti pemurtadan dan aliran sesat di seluruh Indonesia. Karenanya, KDK berusaha menyatukan program dan geraknnya dalam satu visi dan misi bersama. Dalam rangka ini, KDK menyelenggarakan semi loka tentang ”Bahaya Pemurtadan, Kristenisasi, dan Aliran Sesat di Indonesia” beberapa bulan lalu. Acara ini dihadiri semua ormas Islam dan jaringan lembaga anti pemurtadan, kristenisasi, dan aliran sesat, serta tokoh dan individu yang selama ini konsen pada masalah ini.

Kenapa penanganan kristenisasi selama ini bersifat reaktif?


Karena itulah, kami di KDK sudah membuat program jangka pendek, menengah, dan panjang untuk menanggulangi masalah kristenisasi, pemurtadan dan aliran sesat. Kami tidak hanya melakukan penanggulangan yang sifatnya reaktif semata, tapi juga edukasi dan pemahaman. Program pertama kami adalah semiloka tadi. Dari semiloka ini lahir program berikutnya seperti, membuat dan memperkuat jaringan di seluruh daerah dalam koordinasi MUI Pusat dan MUI daerah. Akhirnya, untuk mewadahi lembaga yang ada di daerah, dibentuklah Forum Komite Dakwah Khusus (FKDK) MUI. Jadi, FKDK kedudukannya ada di daerah.

Apa tugas dan fungsi FKDK?

Pertama, memberikan berbagai pelatihan dan training seperti, pelatihan dai dan kristologi. Kedua, menjawab atau meluruskan tulisan di media massa dan buku-buku yang berisi tentang pemurtadan, kristenisasi, dan aliran sesat. Ketiga, menindaklanjuti berbagai kasus pemurtadan, kristenisasi, dan aliran sesat ke pihak yang berwajib untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. Karenanya, FKDK juga dilibatkan pakar hukum, advokat, dan pengacara. Sedangkan program FKDK yang diprioritaskan adalah menangani pemurtadan di Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Banten.

Berarti gerakan anti pemurtadan dan aliran sesat akan mengedepankan penyelesaian secara hukum?

Iya, kita akan mengedepankan proses hukum, sebagai bentuk komitmen dan penghormatan kami pada sistem hukum di negeri ini. Persoalannya, delik pemurtadan tidak ada dalam sistem hukum kita, baik di KUHP, KUHAP, atau UU yang telah ada. Berbeda dengan Malaysia, yang menetapkan Islam sebagai agama resmi negara, sehingga orang-orang di luar Islam diwajibkan melakukan reduksi agama. Tapi, meski tidak ada delik pemurtadan tapi kita bisa menyelesaikannya dengan pasal penodaan agama di dalam KUHP.

Tapi dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas lembaga anti pemurtadan seperti mandeg?


Mandeg sih nggak, masing-masing tetap berjalan sesuai kasus yang dihadapi. Sesuai dengan tugas para ulama, yakni membimbing, membina umat, kami juga mempunyai tugas mengawal akidah umat. Karenanya, kami tetap melakukan pembinaan rutin pada umat, pada jamaah dengan pengajian rutin, termasuk kepada para mualaf yang sudah berhasil kami Islamkan. Bahkian, bisa dikatakan tiap hari kami tetap menangani kasus-kasus pemurtadan.

Tapi kenapa kasus pemurtadan makin merajalela dan berani?

Mereka makin berani, salah satu sebabnya karena ketidaktegasan pemerintah dalam memproses hukum kasus pemurtadan dan aliran sesat. Contoh, masalah Ahmadiyah, keputusan pemerintah sangat ngambang tidak berani memutuskan agar Ahmadiyah berada di luar Islam. Berbeda dengan di India dan Pakistan yang sudah memutuskan bahwa Ahmadiyah adalah agama di luar Islam, karenanya tidak lagi menimbulkan masalah dengan umat Islam di kedua negara itu. Di sana sudah berlakulah prinsip lakum dinnukum waliyaddin.

Salah satu strategi Yahudi adalah menghancurkan agama samawi di luar Yahudi. Caranya, dengan melahirkan agama baru yang menyesatkan. Untuk menghancurkan Kristen dibuatlah sekte-sekte baru Kristen. Jika dilihat, lahirnya sekte-sekte Kristen semuanya berasal dari Amerika. Ini semua memang agenda besar Yahudi untuk menghancurkan agama. Demikian juga dengan agenda menghancurkan Islam di negeri Muslim, dengan membuat aliran sesat yang mengatasnamakan Islam. Al-Qiyadah yang memiliki nama baru Komunitas Millah Abraham, Salamullah, Ahmadiyah dan lainnya tak lepas dari permainan Yahudi.

Jadi, gerakan pemurtadan dan kristenisasi memang tidak akan pernah berhenti. Jika berhenti, berarti ayat al-Qur’an salah, karena ayat al-Qur’an sendiri yang memberitahukan pada umat Islam bahwa mereka tidak akan pernah berhenti sampai kita mengikuti millah mereka, kecuali jika kiamat, baru misi kristenisasi dan pemurtadan berhenti.

Apakah lembaga anti pemurtadan juga menangani kasus pemurtadan yang melalui jalur kekuasaan?

Metoda pemurtadan bisa dilakukan melalui cara apa pun, termasuk kekuasaan, legislasi, dan lainnya. Tapi untuk menghadapi gerakan pemurtadan di bidang politik, yang bisa menghadapi adalah kawan-kawan di partai politik Islam dan ormas Islam. Sedangkan lembaga anti pemurtadan bertugas membagi bola dari luar arena politik, seperti kasus yang di Balikpapan itu. Karenanya, kami sangat membutuhkan dukungan dan partisipasi dari kawan-kawan yang ada di parlemen, eksekutif, bahkan yudikatif.

Berarti penting juga mengawasi jalur politik dari misi pemurtadan?

Oh ya. Contoh, sebelum berlakunya pilkada langsung. Di Sumatera Utara ada kebiasaan, jika gubernurnya Islam maka wakilnya Kristen. Seolah-olah ini menjadi sesuatu yang ideal. Tapi ketika gubernur kecelakaan dan wakilnya yang Kristen otomatis menggantikannya, baru terbukti bahwa sistem ini tidak ideal. Pasalnya, selama ini di Medan tidak ada yang namanya Festival Natal, tapi begitu Wakil Gubernur Rudolf Pardede menjadi gubernur, festival itu tiba-tiba berlangsung meriah dan buku-buku bergambar Salib dibagikan ke masyarakat Islam. Itulah mereka.

Apa PR utama lembaga anti pemurtadan saat ini?


Yang harus dibangun adalah kesadaran untuk melakukan kerja dakwah secara bersinergi. Meski sudah dimulai oleh MUI, tapi jika lembaga anti pemurtadan juga melakukan langkah serupa akan makin kuat ke depannya. Jadi harus dimulai melakukan kerja sama antar lembaga tidak hanya ”sama-sama kerja” tapi tidak saling terkoordinasi. Jika berjalan sendiri-sendiri mudah dipatahkan dan diadudomba oleh musuh-musuh Islam. Memang, penyakit utama lembaga Islam termasuk lembaga anti pemurtadan adalah ”ego”. Jika bersedia menghilangkan minimal merendahkan ”ego” masing-masing, insya Allah akan terjadi sinergi yang kuat di antara lembaga-lembaga Islam. Contoh, orang yang mengkaji kristologi saja dicap bid’ah, jika ceramah ustadz-nya bukan dari kalangan sendiri tidak bersedia mendengarkan. Ini kan repot.

Bagaimana cara menyatukan ukhuwah di antara lembaga anti pemurtadan?


Sebetulnya, persoalan ini mudah, asal tiap kita, para aktivis lembaga anti pemurtadan, berhati bersih, insya Allah, ukhuwah dan kerjasama akan terwujud dengan sendirinya. Tapi jika setiap pribadi aktivis memiliki penyakit hazad, ya, susah akan terwujud. Kedua, fiqrah-nya (pemikirannya) juga harus Islami, bukan sekuler, pluralis atau liberal. Ketiga, motivasi dakwah dalam bidang ini untuk apa? Jika memang untuk membendung dan menangani pemurtadan, ya, semua potensi yang kita miliki, kita arahkan ke situ semata-mata untuk mencari ridha Allah, bukan mencari tujuan lain apakah itu ekonomi, kemahsyuran, kedudukan yang semuanya bersifat duniawi. Keempat, harus ada sinergi dan kerjasama, karena masing-masing lembaga dan aktivis memiliki kelebihan dan kelemahan. Jika kelebihan ini disatukan pasti akan menjadi kekuatan besar. Persamaan yang ada dalam masing-masing lembaga harus didahulukan dari pada perbedaan yang tidak prinsip. Kecuali jika perbedaan itu, merupakan perbedaan yang prinsip, harus diluruskan, misalnya keberadaannya ternyata hanya untuk mengadu-domba antar lembaga atau antar tokoh, sistem, dan metoda yang ditempuh tidak islami, dan lainnya.

Sebentar lagi Natal dan Tahun Baru, apa sikap kita?


Sekarang, seolah-olah ada kewajiban agar negara melakukan perayaan Natal Bersama. Ini mitos, ini di-setting. Jika Natal dilakukan di antara penganut Katolik dan Protestan, silakan saja. Tapi jika umat Islam dan tokoh-tokoh Islam harus dilibatkan, bagaimana ini? Bahkan sebagian kecil tokoh Islam justru mengusulkan istilah ”Maulud Nabi Isa”. Orang Kristen Advent saja tak mau merayakan Natal tanggal 25 Desember, karena dianggap bid’ah dalam Kristen, kenapa sebagian kecil tokoh Islam justru mengajak memperingati Natal 25 Desember, kan aneh?

Apa akibatnya jika Natal Bersama menjadi kewajiban yang harus diperingati oleh negara?

Jika seolah-olah menjadi program nasional yang wajib dirayakan, akan berdampak negatif bagi kehidupan beragama di Idonesia, khususnya umat Islam. Saat ini saja, ketika belum diwajibkan, pejabat-pejabat Muslim, pengurus Ormas Islam, dan Parpol Islam, jika tidak datang pada perayaan itu takut dicap tidak toleran. Ini memang sudah di-setting. Karenanya, saya selalu mengingatkan bahwa toleransi beragama jangan sampai diubah menjadi partisipasi. Toleransi adalah saling menghargai, bukan ikut terlibat dalam perayaan agama orang. Jika ada kebaktian di Gereja atau pemujaan di Wihara, orang Islam tidak boleh mengganggu. Demikian juga sebaliknya. Ini namanya toleransi.

Makanya, setiap Idul Fitri misalnya, umat Islam tidak pernah mengajak umat agama lain untuk ikut Shalat Id, karena mereka memang tidak berkewajiban menjalankan apa yang harus dijalankan umat Islam. Jika kita ajak mereka, justru kita yang tidak toleran dan tidak menghargai mereka. Tapi yang terjadi saat ini, justru mereka mengajak kita, bahkan ada umat Islam yang dilibatkan dalam kepanitiaan Natal Bersama. Tak hanya itu, MUI dianggap tidak toleran karena mengeluarkan Fatwa Natal Bersama. Padahal, MUI hanya mengharamkan umat Islam yang merayakan Natal Bersama, bukan melarang orang Kristen Natalan.

Data Pribadi:

Nama : Drs Abu Deedat Syihab, Msi
Tempat/Tgl Lahir : Tamala, 28 Juni 1960
Pekerjaan : Wiraswasta (berdagang)
Pendidikan terakhir: Program Pasca sarjana Magister Ilmu Administrasi
Aktivitas : Ketua Umum FAKTA, Wakil Ketua Komisi Dakwah Khusus
MUI Pusat,Pengurus Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah.
Moto Hidup : Istiqamah di jalan Allah (Qs 41:30)
Keluarga : 1 istri dan 4 anak.

http://sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1108:toleransi-beragama-bukan-partisipasi&catid=83:wawancara&Itemid=200

No comments:

Post a Comment