Adakah Riba Pada Uang Kertas?


Kebanyakan ulama', di antaranya yang tergabung dalam ketiga mazhab; Maliki, Syafi'i dan Hambali, menegaskan bahwa alasan berlakunya riba pada emas dan perak karena keduanya adalah alat untuk jual beli, dan sebagai alat ukur nilai harta benda lainnya. Dengan demikian, kegunaan emas dan perak (dinar dan dirham) terletak pada fungsi ini, tidak hanya pada nilai intrinsik bendanya. (Baca Al Mughi oleh Ibnu Qudamah 6/56, As Syarhul Kabir oleh Abul Faraj Ibnu Qudamah 12/12, Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/471 dan Al Fatawa Al Kubra 5/391)

Di antara hal yang menguatkan penjelasan ini ialah fakta sejarah uang dinar dan dirham. Sejarah telah membuktikan bahwa nilai ekstrinsik dinar dan dirham bersifat fluktuatif layaknya nilai mata uang kertas zaman sekarang. Perubahan nilai uang dinar dan dirham dipengaruhi oleh berbagai faktor ekstenal, diantaranya:

1. Banyaknya pemalsuan uang dinar dan dirham. Al Mawardi pada kitabnya Al Ahkaam As Sulthaniyah mengisahkan bahwa bersama redupnya kejayaan bangsa Persia redup pula mata uang mereka, akibat dari banyaknya pemalsuan mata uang mereka, yang kala itu berupa dinar dan dirham.

Bahkan Ibnu Atsir dalam kitabnya Al Kamil mengisahkan bahwa pada tahun 462 H, pemalsuan mata uang merajalela, sehingga Khalifah yang berkuasa kala itu memerintahkan agar dicantumkan nama putra mahkota pada setiap mata uang dinar, dan selanjutnya dinar ini dikenal dengan dinar Al Amiri. Dan agar tindak pemalsuan uang tidak berkepanjangan, ia melarang masyarakat menggunakan mata uang selain mata uang dinar yang baru ini.

2. Banyaknya pemotongan uang dinar dan dirham yang kemudian diubah fungsinya menjadi perhiasan atau batangan atau lainnya.

Tindak kejahatan ini menjadikan mata uang menjadi langka sehingga nilainya melambung tinggi. Keadaan semacam ini tentu menyusahkan masyarakat, karenanya para ulama' melarang/mengharamkan perbuatan ini. Dan bahkan para khalifah sejak dahulu bersikap terhadap para pelaku kejahatan ini. Dikisahkan bahwa Marwan bin Al Hakam berhasil menangkap seseorang yang memotong-motong (merusak) mata uang dirham. Dan iapun menjatuhkan hukuman yang tidak tanggung-tanggung, yaitu berupa potong tangan.

Gubernur kota Madinah, yang bernama Aban bin Utsman, juga bersikap keras kepada para perusak (dinar dan dirham -ed). Ia menghukumi mereka dengan dicambuk sebanyak 30 kali, lalu mereka diarak keliling kota.

Seusai menyebutkan kisah kedua ini, Al Mawardi dalam kitab Al Ahkaam As Sulthaniyah menyatakan: "Apa yang dilakukan oleh Aban bin Utsman adalah tindakan yang tepat, ia tidak melampaui batas yang berlaku pada hukum ta'zir. Sedangkan menjatuhkan hukuman ta'zir atas tindak pemalsuan ini dibenarkan."

3. Hukum pasar, yang terwujud pada perbandingan antara penawaran dan permintaan (supply and demand).

Ahli sejarah, diantaranya Ibnul Atsir dalam kitabnya Al Kamil fi At Tarikh mengisahkan bahwa pada tahun 329 H, terjadi paceklik, sampai-sampai rumah atau tanah yang sebelumnya seharga 1 dinar, hanya laku dijual 1 dirham.

Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah wa An Nihayah mengisahkan bahwa pada tahun 462 H di Mesir terjadi paceklik yang luar biasa. Begitu parahnya paceklik yang terjadi, sampai-sampai penduduk setempat memakan bangkai dan anjing. Kala itu, seekor anjing dijual seharga 5 dinar.

Anda bisa bayangkan, betapa jatuhnya nilai mata uang kala itu, sehingga anjingpun dibeli seharga 5 dinar.

Dengan demikian, tidak ada alasan untuk membedakan antara dinar dan dirham dari mata uang kertas yang berlaku sekarang ini.

Bila anda pikirkan matang-matang, sejatinya faktor utama yang menyebabkan terjadinya kekacauan pada mata uang kertas zaman sekarang bukan karena letak nilai jualnya. Akan tetapi pada sikap dan ulah umat manusia sendiri. Ambisi umat manusia zaman sekarang telah melebihi segala batasan, sampai-sampai uang yang sejatinya menjadi alat ukur nilai kekayaan, turut mereka jadikan sebagai komoditi perniagaan. Akibatnya umat manusia kehilangan alat ukur yang baku. Yang tersisa hanyalah ambisi dan keserakahan untuk mengeruk keuntungan. Tidak heran bila mereka menempuh cara-cara yang tidak terpuji demi melampiaskan ambisi mereka. Tidak jarang mereka merekayasa suatu kondisi untuk menjatuhkan nilai mata uang suatu negeri, agar selanjutnya mereka bisa mengeruk keuntungan dari bencana yang menimpa negeri tersebut.

Andai, mata uang yang berlaku zaman sekarang tidak diperdagangkan, kecuali pada batas yang sempit, yaitu bila benar-benar ada keperluan dan dengan ketentuan yang telah digariskan dalam syari'at, yaitu:

* Pembayaran kontan.
* Dan dalam jumlah yang sama bila pertukaran antara mata uang yang sama jenis, atau dengan pembayaran kontan walaupun berbeda jumlah bila pertukaran antara mata uang yang berbeda jenis, niscaya tidak terjadi kekacauan seperti yang kita alami saat ini.

Dengan demikian anggapan bahwa bunga perbankan yang ada pada zaman sekarang halal, karena sebagai antisipasi terhadap terjadinya perubahan nilai mata uang, tidak benar adanya. Perubahan nilai mata uang, baik uang kertas atau uang emas, telah terjadi sejak zaman dahulu kala, akibat dari beberapa faktor yang disebutkan di atas dan juga lainnya.

Untuk membuktikan kepada para pembaca tentang fenomena mata uang dinar dan dirham pada zaman dahulu, marilah kita menyimak kisah sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhuma. Dikisahkan, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Aku biasa berdagang onta di daerah baqi'. Aku menjual dengan harga dinar, akan tetapi ketika pembayaran aku menerima pembayaran dengan uang dirham. Dan kadang kala sebaliknya, aku menjual dengan harga dirham, akan tetapi aku menerima pembayaran dengan uang dinar. Demikianlah, aku menjual dengan mata uang ini, akan tetapi ketika pembayaran aku menerimanya atau membayarnya dalam bentuk mata uang lainnya." Menanggapi pertanyaan sahabatnya ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak mengapa engkau melakukan hal itu dengan harga yang berlaku pada hari itu juga, asalkan ketika engkau berpisah (dari lawan transaksi) tidak tersisa sedikitpun pembayaran yang harus dibayarkan." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Menurut banyak ulama' jalur sanad hadits ini sejatinya hanya berhenti pada sahabat Ibnu Umar)

Kisah ini telah menjadi bukti nyata bahwa nilai mata uang dinar dan dirham bersifat fluktuatif, naik dan turun selaras dengan perubahan berbagai faktor terkait.

Dengan demikian, adanya perubahan nilai mata uang bukanlah alasan berlakunya hukum riba pada dinar dan dirham. Akan tetapi alasan berlakunya hukum riba pada keduanya, karena keduanya sebagai alat ukur nilai harta kekayaan. Diberlakukannya hukum riba pada keduanya, bertujuan untuk menjaga kestabilan hidup umat manusia, sehingga nilai harta kekayaan mereka stabil dan benar-benar riil dan selaras dengan hukum pasar yang berlaku pada setiap masa. Sebagaimana dengan hukum ini, masyarakat dapat terhindar dari kejahatan dan ambisi segelintir orang yang berjiwa keji, yang berusaha mempermainkan kehidupan mereka.

Ditambah lagi, anggapan bahwa nilai mata uang akan senantiasa turun sejatinya adalah salah satu belenggu para rentenir yang dililitkan pada leher masyarakat. Mereka menghembuskan bisikan "MADESU"; Masa Depan Suram, dengan demikian, masyarakat dengan mudah digiring masuk ke jaring-jaring riba.

Bila anda cermati dengan seksama, sebenarnya nilai mata uang tidak selalu bergerak menyusut turun, akan tetapi bergerak dinamis, naik dan turun.

Kesimpulan ini semakin kuat dengan fakta yang terjadi dalam dunia fiqih kontemporer. Dapat dikatakan bahwa seluruh ulama' kontemporer atau kalaupun tidak seluruh mereka, maka mayoritas dari mereka mengharamkan bunga bank.

Belum lagi bila ditinjau di sisi lain, yaitu dari jenis transaksi yang mengikat antara bank dengan nasabah. Nyata-nyata akad yang mengikat antara mereka sejatinya adalah akad hutang piutang.

Dalam syari'at Islam, akad hutang piutang digolongkan ke dalam akad sosial, yang biasanya bertujuan memberikan uluran tangan kepada orang yang sedang dalam kesulitan. Karenanya, tidak dibenarkan adanya bunga atau riba atau keuntungan padanya.

عن أبي بردة قال قدمت المدينة، فلقيت عبد الله بن سلام، فقال: انطلق معي المنزل فأسقيك في قدح شرب فيه رسول الله صلى الله عليه و سلم وتصلي في مسجد صلى فيه؟ فانطلقت معه، فسقاني سويقا، وأطعمني تمرا، وصليت في مسجده. فقال لي: إنك في أرض، الربا فيها فاش، وإن من أبواب الربا: أن أحدكم يقرض القرض إلى أجل، فإذا بلغ أتاه به، وبسلة فيها هدية، فاتق تلك السلة وما فيها. رواه البخاري والبيهقي

Dari Abu Burdah, ia mengisahkan: "Aku tiba di Madinah, lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam, maka beliau berkata (kepadaku): 'Mari singgah ke rumahku, dan akan aku hidangkan untukmu minuman di bejana yang pernah digunakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk minum, dan engkau dapat menunaikan sholat di tempat yang pernah beliau gunakan untuk shalat.' Maka akupun pergi bersamanya. Selanjutnya ia menghidangkan untukku minuman dari gandum (sawiq), dan kurma. Lalu aku menunaikan sholat di tempat ia sholat (musholla dalam rumah-pen). Selanjutnya beliau berpesan kepadaku: 'Sesungguhnya engkau tinggal di suatu negeri yang padanya praktek riba merajalela, dan sesungguhnya di antara pintu-pintu riba ialah: Seseorang dari kalian memberikan piutang hingga tempo tertentu, dan bila telah jatuh tempo, penghutang (debitur) datang dengan uang yang ia hutang sambil membawa serta keranjang yang berisikan hadiah. Hendaknya engkau menghindari keranjang beserta isinya itu.'" (HR Bukhari dan al-Baihaqi).

Dan para ulama' ahli fiqih telah menuangkan ketentuan ini dalam suatu kaidah yang sangat masyhur, yaitu:

كل قرض جر نفعا فهو ربا.

"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba." (Baca Al-Muhazzab oleh As Syairazi 1/304, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211&213, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu 'Uyun al-Basha'ir 5/187, As-Syarhul Mumthi' 9/108-109 dan lain-lain)

Adapun anda merasa berdosa atau tidak merasa bila memungut bunga perbankan, maka itu tidak dapat dijadikan dasar hukum. Hukum Syari'at halal dan haram hanya bisa ditentukan melalui study terhadap dalil-dalil dari Al Qur'an dan As sunnah, dan bukan melalui perasaan atau persepsi manusia. Betapa banyak orang yang berbuat dosa, akan tetapi ia tidak menyadarinya, bahkan sebaliknya ia merasa berbuat baik.

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً {103} الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا {104} أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا {105} ذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikian balasan mereka itu neraka jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai bahan perolok-olokan. (Qs. Al Kahfi: 103-106)

Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita semua termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa patuh dan taat yang senantiasa berkata:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan: 'Kami mendengar dan kami patuh'. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Qs. An Nur: 51)

Wallahu Ta'ala a'alam bisshawab.

***

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com

No comments:

Post a Comment