Ittiba’ An-Nabiy Salallahhu Alaihi Wasalam Dalam Perspektif Sunnah

Saudaraku kaum muslimin... Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam bersabda
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ، وَوَالِدِهِ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga dia mencintai diriku melebihi cintanya kepada anak dan orang tuanya serta seluruh manusia yang lainnya” (HR. al-Bukhāriy No. 15 dan Muslim No. 44)

Suatu ketika, ‘Umar bin al-Khaththab Radhiallahuanhu berkata kepada Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam:
(( يَا رَسُوْلَ اللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي ))
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau benar-benar sangat saya cintai melebihi siapapun juga, kecuali dari diriku sendiri”
Maka Rasulullah Salallahualaihi Wasalam bertutur kepadanya:
(( لاَ، وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ ))
“Tidak demikian halnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya aku lebih dicintai olehmu walaupun dari dirimu sendiri”
Kemudian ‘Umar Radhiallahuanhu pun berkata kepada beliau Salallahhu Alaihi Wasalam:
(( فَإِنَّهُ اْلآنَ وَاللهِ! َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي )
“Adapun sekarang, demi Allah, sesunguhnya engkau benar-benar sangat saya cintai melebihi dari diriku sendiri”
Kemudian Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam bersabda:
(( اْلآنَ يَا عُمَرُ ))
“Sekarang (benar), wahai ‘Umar!” (HR. al-Bukhāriy No. 3694)

Saudaraku kaum muslimin...

Di antara sarana paling utama agar kita dapat merealisasikan konsep ittibā’ adalah dengan mahabbah (mencintai) Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam:
melebihi cinta kita kepada siapapun atau apapun, juga dengan senantiasa mengutamakan sabda-sabda dan perintah-perintahnya lebih dari pendapat dan perintah selainnya.
Benih mahabbah (cinta) kepada Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam:

mulai bersemi dari adanya mahabbah qalbiyyah (kecintaan hati) ke-padanya serta tamannī ru’yatihi (harapan untuk dapat bertemu) dan tamannī shuhbatihi (berkawan) dengannya, ke-mudian ditutup dengan upaya keras untuk mengamalkan seluruh syari’at-nya dengan penuh kecintaan dan ke-rinduan kepadanya, secara lahir maupun batin.
Benih mahabbah (cinta) ini akan se-makin tumbuh dan mengkristal apabila kita merenungkan sabda beliau Salallhu Alaihi Wasalam berikut:

مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِي لِيْ حُبًّا نَاسٌ يَكُوْنُوْنَ بَعْدِيْ، يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَآنِيْ بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ
“Ummatku yang sangat mencintai diriku adalah orang-orang yang hidup sepeninggalku, hingga salah satu di antara mereka sampai-sampai ada yang sangat berkeinginan untuk berjumpa denganku beserta segenap keluarga dan hartanya” (HR. al-Bukhāriy No. 3694)

Saudaraku kaum muslimin...

Benih mahabbah (cinta) tidaklah tumbuh begitu saja, tetapi memerlukan faktor pendorong dan bahkan alasan kuat. Di antara faktor yang dapat menum-buhkan mahabbahta’zhīm(pengagungan) kepada Rasulul-lah sa, adalah: (kecintaan) dan

1. Harapan untuk dapat merealisasikan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan perintah-Nya yang menegaskan kepada kita untuk mencintai dan mengagung-kan Rasul-Nya Salallahhu Alaihi Wasalam.

  • · Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersumpah dengan masa hidup (umur) beliau Salallahhu Alaihi Wasalam, sebagai ben-tuk pengagungan-Nya kepadanya:
“(Allah berfirman): “Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)”[QS. al-Hijr (15): 72]

  • · Allah Subhanahu Wa Ta’ala memujinya Salallahhu Alaihi Wasalam:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” [QS. al-Qalam (68): 4]
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” [QS. asy-Syarh(94): 4]

  • · Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dipuji dan diagungkan nama-nya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala selain Rasul Salallahhu Alaihi Wasalam, bahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikannya sebagai khalīl(kekasih)-Nya. (Lihat: HR. Muslim 2/1855 No. 2383)
Ibnu al-Qayyim Rahimahullah berkata:

( وَكُلُّ مَحَبَّةٍ وَتَعْظِيْمٍ لِلْبَشَرِ فَإِنَّمَا تَجُوْزُ تَبَعًا لِمَحَبَّةِ اللهِ وَتَعْظِيْمِهِ، كَمَحَبَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَتَعْظِيْمِهِ، فَإِنَّهَا مِنْ تَمَامِ مَحَبَّةِ مُرْسِلِهِ وَتَعْظِيْمِهِ، فَإِنَّ أُمَّتَهُ يُحِبُّوْنَهُ لِمَحَبَّةِ اللهِ لَهُ، وَيُعَظِّمُوْنَهُ ِلإِجْلاَلِ اللهِ لَهُ، فَهِيَ مَحَبَّةٌ ِللهِ مِنْ مُوْجِبَاتِ مَحَبَّةِ اللهِ... )
“Setiap bentuk kecintaan dan pen-gagungan kepada manusia hanya di-perbolehkan sebagai kelanjutan dari bentuk kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Seperti halnya kecin-taan dan pengagungan kepada Rasulullah, maka ini merupakan penyem-purna bagi kecintaan dan pengagungan kepada Dzat yang mengutusnya, yaitu Allah. Oleh karena itu, ummatnyapun mencintainya karena adanya kecintaan Allah kepadanya dan mengagungkan-nya karena adanya pengagungan Allah kepadanya. Kecintaan kepada Rasu-lullah merupakan persembahan cinta kepada Allah, sekaligus sebagai bukti cinta kepada-Nya...”(Lihat: Jalā’ al-Afhām: 297)

2. Kecintaan dan pengagungan kepada Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam adalah syarat bagi ke-imanan seseorang.
Ibnu Taymiyyah Rahimahullah berkata:

إِنَّ قِيَامَ المَدْحَةِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ وَالتَّعْظِيْمِ وَالتَّوْقِيْرِ لَهُ قِيَامُ الدِّيْنِ كُلِّهِ، وَسُقُوْطُ ذَلِكَ سُقُوْطُ الدِّيْنِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya terealisasinya pu-jian, pengagungan dan penghormatan kepadanya (Rasulullah) merupakan pilar bagi tegaknya seluruh syi’ar agama. Sebaliknya, runtuh atau hilangnya pilar tersebut adalah kehancuran bagi selu-ruh syi’ar agama”(Lihat: ash-Shārim al-Maslūl: 211)

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan berba-gai keistimewaan dan karakteristik agung kepada Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam; yaitu nasab (keturunan) dan keluarga yang mulia lagi pilihan, pertumbuhan hidup yang baik serta kesempur-naan akhlak, sifat dan tingkah laku.

4. Besarnya kecintaan, kasih sayang dan welas asih Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam kepada ummatnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya telah datang kepada-mu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas ka-sihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min” [QS. at-Tawbah (9): 128]
Banyak sekali lantunan dan kumandang do’a beliau sa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar ummatnya dilimpahkan berbagai karunia dan kebaikan!

Begitu banyak beban derita yang beliau pikul demi tersebarnya dakwah, walaupun harus menghadapi berbagai ejekan dan siksaan dari orang-orang musyrik! (Lihat: at-Ta’addub Ma’a Rasūlillah fī Dhaw’ al-Kitāb wa as-Sunnah: 37-123, oleh Hasan Nūr Hasan)

Saudaraku kaum muslimin...
Sesungguhnya mencintai Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam termasuk salah satu pilar agama yang paling utama, sehingga tidaklah mengherankan bahwa tidak ada kei-manan bagi orang-orang yang tidak menjadikan Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam sebagai insan yang paling dicintainya melebihi anak dan keluarganya serta seluruh manusia yang lainnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih dari-pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” [QS. at-Tawbah (9): 24]
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri…” [QS. al-Ahzāb (33): 6]
Berkaitan dengan ayat tersebut, Rasu-lullah Salallahhu Alaihi Wasalam bersabda:
(( مَا مِنْ مُؤْمِنٍ إِلاَّ وَأَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِهِ فِيْ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ ))
“Tidak ada seorang mukminpun kecuali dia akan lebih mencintai diriku, baik di dunia maupun di akhirat” (HR. al-Bukhāriy 6/22 no. 4781)
Dalam riwayat lain, beliau bersabda:
(( أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ ))
“Saya adalah orang yang harus lebih dicintai oleh sorang mukmin, walaupun dari dirinya sendiri” (HR. Muslim 1/592 No. 687)

Saudaraku kaum muslimin...
Mahabbah (kecintaan) kepada Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam memiliki dua tingkatan, yaitu:

1. Wajib atau Fardhu.
Yaitu mahabbah yang mengandung konsekuensi untuk merealisasikan se-gala perintah Rasulullah sa dan men-jauhi larangannya, rela atau ridha ter-hadap segala ketetapannya, mendasar-kan pengambilan berbagai perintah dan larangan dari ajaran yang dibawa-nya dan tidak memilih jalan kecuali jalan yang telah ditempuh olehnya.

2. Sunnah atau Mandub.
Yaitu mahabbah yang mengandung konsekuensi untuk mengikuti dan men-contoh dengan baik beragam sunnah, akhlak, adab dan ibadah-ibadah sun-nah yang beliau kerjakan. (Lihat: IstinsyāqNasīm al-Uns min Nafahāt Riyādh al-Quds: 34-35 dan Fath al-Bāriy 1/61)

Saudaraku kaum muslimin...
Pangkal utama sebuah mahabbah (cinta) adalah ath-thā’ahal-inqiyād (tunduk patuh) dan at-taslīm (menerima dengan totalitas), bahkan hal ini meru-pakan kewajiban mahabbahtersebut. (taat),
Oleh karena itu, tidak diperkenan-kan bagi seorangpun untuk keluar atau membangkang dari ketaatan kepada Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam dan perintahnya. Bahkan wajib baginya untuk merealisasikan segala perintah dan meninggalkan segala larangannya, serta dengan lebih mengutamakan kecintaan kepadanya dari pada kecintaan kepada keinginan jiwa dan hawa nafsunya sendiri. (Lihat: Fath al-Bāriy 1/53)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga me-reka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, ke-mudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka mene-ima dengan sepenuhnya” [QS. an-Nisā’ (4): 65]

Saudaraku kaum muslimin...
Sebagai penutup, marilah kita renungkan sabda Rasulullah Salallahhu Alaihi Wasalam berikut:
(( ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ: أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ للهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ ))
“Tiga hal yang apabila seseorang dapat merealisasikannya, maka ia akan mera-sakan lezatnya keimanan, yaitu; 1. Men-jadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai sesuatu yang paling dicintainya dari selainnya, 2. Mencintai seseorang, tiada lain mencintainya kecuali hanya karena Allah, 3. Benci apabila dirinya terjeru-mus kembali kepada kekafiran seperti kebenciannya apabila dijerumuskan ke dalam api” (HR. Muslim 1/592 No. 687)
Seorang penyair bijak berkata:
َعْصِي اْلإِلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ ذَاكَ لَعُمْرِي فِي الْقِيَاسِ بَدِيْعُ لَـوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا َلأَطَعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِـمَنْ أَحَبَّ مُطِيْعُ
Engkau bermaksiat kepada Allah, padahal kau mengaku mencintai-Nya
Dalam pandanganku, itu bukanlah timbangan yang pantas
Seandainya cintamu tulus, tentu kau akan mentaati-Nya
Karena sang pencinta kan taat pada yang dirindukannya
Kitab-kitab yang mengupas secara khusus tentang mahabbahta’zhīm danittibā’ kepada Rasulullah sa, di antaranya:
· al-Ittibā’ –Anwā’uhu–wa Atsaruhu fī Bayān al-Qur’ān, karya Muhammad bin Mushthafā as-Sayyid (2 jilid).
- Jilid 1: al-Ittibā’ al-Mahmūd
- Jilid 2: al-Ittibā’ al-Madzmūm
· Huqūq an-Nabiy sa Bayna al-Ijlāl wa al-Ikhlāltaqdīm. Dr. Shālih al-Fawzān, Dr. Muhammad ar-Rāwiy, Syaykh Muhammad Shafwat Nūr ad-Dīn (kumpulan risalah).
- Risalah 1: Dam’atun ‘Alā Hubb an-Nabiy sa, karya ‘Abdullah bin Shālih al-Khudhayriy.
- Risalah 2: Mahabbah an-Nabiy sa wa Ta’zhīmuhu, karya ‘Abd al-Lathīf bin Muhammad al-Hasan.
- Risalah 3: Ittibā’ an-Nabiy sa fi Dhaw’ al-Wahyayn, karya Fayshal bin ‘Alī al-Ba’dāniy.
- Risalah 4: Hukm al-Ihtifāl bi Dzikrā al-Mawlid an-Nabawiy, karya Dr. Shālihbin Fawzān al-Fawzān.
- Risalah 4: Zhāhirah al-Ihtifāl bi al-Mawlid an-Nabawiy wa Ātsāruhu, karya ‘Abd al-Karīm al-Hamdān.
- Risalah 6: Mazhāhir al-Ghuluw fī Qashā’id al-Madīh an-Nabawiy, karya Sulaymān bin ‘Abd al-Karīm al-Furayjiy.
- Risalah 7: Qawādih ‘Aqadiyyah fī Burdah al-Būshīriy, karya Dr. ‘Abd al-Azīz bin Muhammad Ali ‘Abd al-Lathīf.

No comments:

Post a Comment