Pengantar Syariat

Kenapa banyak orang alergi kepada syari'at? Ini pertanyaan menantang yang harus dijawab. 

Ada yang menjawabnya dengan mengatakan karena umumnya manusia tidak memahami syariat, sekalipun mereka termasuk orang Muslim. Lebih aneh lagi, kalau mereka yang alergi itu pimpinan ormas Islam. Ada lagi yang mengatakan, Barat berhasil membentuk citra negatif terhadap syariat, ditopang oleh kekuatan media yang mereka kuasai, banyak masyarakat yang terpengaruh oleh pencitraan itu. 

Di samping itu arus budaya Barat hedonis yang demikian kuat, mengikis semangat keislaman dari jiwa umat Islam. Rata-rata orang yang hidup kebarat-baratan tidak bersimpati kepada syariat padahal syariat adalah hukum yang datang dari Pencipta alam ini. Bahkan mereka beranggapan bahwa syariat menjadi penghambat kehidupan modern yang sudah mereka rasakan enaknya. 

Syariat dicitrakan anti dengan modernisasi, anti kemajuan hidup dengan produk-produk teknologi mutakhir. Syariat mereka citrakan sebagai bentuk kembali ke kehidupan primitif. Darah tertumpah dimana-mana, nyawa banyak melayang, kehidupan penuh dengan kekerasan. Peperangan sering terjadi. Inilah persepsi mereka tentang syariah. Yang ada di kepala mereka tentang syariat adalah ketentuan pidana Islam yang populer dengan sebutan 'hudud'. Sebuah ketentuan untuk kejahatan tertentu yang sudah digariskan oleh Allah swt. 

Anggapan seperti ini jelas keliru dan menggambarkan orang yang menyimpan persepsi seperti itu salah memahami syariat (syariahphobia syndrome), sekalipun dia pimpinan ormas Islam. Atau menerima informasi tentang syariat melalui sumber kedua dan itu adalah barat yang prejudice terhadap Islam. Ada mantan pimpinan ormas mengatakan, kalau syariat Islam dijalankan di Indonesia, yang terwujud bukan persatuan tetapi persatean. 

Beginilah pesimisnya mereka terhadap pelaksanaan syariat di Indonesia. Tentu mereka ini lupa sejarah atau tak membaca sejarah. Sebelum Belanda datang menjajah Nusantara, ketika negeri ini dipimpin oleh kerajaan-kerajaan Islam yang memanjang dari ujung Sumatera di Aceh, Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Irian Barat, hukum apa yang berlaku di wilayah yang dikuasai Islam itu? Apakah hukum Belanda, hukum animisme, hukum Hindu? Jawabannya tidak lain adalah syari'at Islam. Karena kebanyakan kerajaan Islam saat itu menginduk kepada pemerintah pusat Khilafah 'Utsmaniyah di Turki. 

Bahkan hingga masa awal kemerdekaan pun di beberapa wilayah seperti Nusa Tenggara Barat, seperti dilaporkan hasil penelitian Prof. Abd Ghani, masih menjalankan syariat Islam. Ke"berhasilan" belanda waktu itu, kemampuannya menghilangkan atau menyembunyikan data-data pelaksanaan syariat di Nusantara, sehingga umumnya generasi yang datang belakangan buta tentang sejarah Islam di Indonesia. Sebuah kenyataan yang mengejutkan. Keberhasilan penjajah juga membuat umat Islam di Indonesia merasa asing dengan hukum agama mereka yang sudah lama dijalankan oleh leluhur mereka. Namun mereka justru merasa akrab dengan hukum dari luar mereka. 

Jadi pelaksanaan syariah di Indonesia adalah fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri siapapun, ia berjalan ratusan tahun lamanya, bukan mimpi atau khayalan. Dalam Kunjungan saya ke Den Haag, negeri belanda tahun 2006. sempat berdiskusi dengan teman-teman mahasiswa program Pascasarjana khususnya di bidang Hukum, saya juga angkat hal ini, bahwa founding fathers republik ini yang memperjuangkan agar syariat Islam dimasukkan dalam batang tubuh UUD 1945 mengetahui betul bahwa pelaksanaan syariat di negeri ini mempunyai landasan sejarah yang sangat kokoh. 

Justru hukum Belanda lah merupakan sistem hukum asing yang dipaksakan oleh penjajah waktu itu. Mereka para pendiri Republik ini juga adalah sarjana-sarjana lulusan Belanda seperti Mr, Sjafruddin Prawiranegara, M.Natsir, Kasman, Burhanuddin Harahap, dan lainnya bekerjasama dengan lulusan Mesir. Maka perjuangan menegakkan syariat jilid dua perlu digagas oleh ahli-ahli hukum muda dari Belanda. Why not? Kebencian barat pada negara yang menjalankan syariat sebagai sistem hukum, bukan rahasia lagi. 

Contoh nyata di zaman ini adalah Sudan, Negara di Afrika sudah lebih lima tahun menderita di embargo oleh negara-negara barat yang dimotori oleh Amerika. Sudan menjadi sasaran konspirasi negara-negara barat. Image tentang Sudan demikian buruk di dunia Internasional. Mereka dituduh diskriminasi, melanggar hak asasi manusia, dan sederetan tuduhan yang tak jelas. Barang-barang dari luar tidak dibolehkan masuk. Perdagangan luar negerinya menjadi mandeg. Penyebabnya karena negeri di muara sungei Nil itu menerapkan syariat Islam sebagai hukum Nasional. 

Syariat dijadikan sebagai sumber utama dalam perundang-undangan. Lalu apakah tekanan, konspirasi dan teror yang dilakukan Barat melalui Badan-badan Internasional membuat Sudan kecut dan mundur dalam tekadnya? Ternyata tidak. Embargo berjalan sudah lima tahun lebih, ternyata bangsa Sudan hidup tegar dan tetap eksis. Pemerintahnya tak bisa ditaklukkan dan tidak mau tunduk pada tekanan dunia barat. Walaupun pemerintahnya sering digoyang oleh lawan-lawannya. Sudan Selatan akan terancam memisahkan diri dari Pemerintahan pusat. Derfour diprovokasi oleh barat untuk melakukan perlawanan terhadap Khartoum. Isu yang digembar gemborkan adalah ketidakadilan, isu HAM, diskriminasi dan lain-lain. Isu-isu basi yang biasa dijadikan komoditas oleh barat terhadap dunia Islam. 

Sementara kekejaman tentara Amerika di Afghanistan dan Irak tidak dianggap melanggar HAM. Kekejaman Pemerintah Hindu terhadap Muslim Kashmir tidak pernah dianggap melanggar HAM. Kebiadaban Israel di Jalur Ghaza dan Palestina secara umum tidak dianggap melanggar HAM. Kekejaman Pemerintah Katholik di Philipina terhadap kaum Muslimin di Philipina Selatan tidak pernah dinilai melanggar HAM. 

Inilah bukti kecurangan Barat terhadap dunia Islam. Ada kejadian kecil tetapi menyentak perhatian warga Inggris sekitar tiga tahun silam. Seorang anggota Parlemen Inggris dari Partai Konservatif, David Kameroon kehilangan sepeda di London. Kabarnya peristiwa pencurian sepeda agak sering terjadi waktu itu. Apa yang terjadi? Ketika David ini memakai sepatunya, ia sempat berucap, andaikan di Inggris ini berlaku hukum Syari'ah, niscaya tidak ada yang kehilangan sepeda. Ucapan beliau itu menjadi santer di media Inggris. Apa yang menarik dari ucapan Politisi Inggris ini? Sedikit banyak, ia sudah memiliki gambaran bahwa pelaksanaan Syari'at di suatu negeri, akan mengurangi kalau tidak menghilangkan seluruhnya kejahatan yang banyak menimpa masyarakat internasional yang tidak menjalankan syari'at. 

Kalau dibanding antara Politisi Inggris itu dengan tokoh ormas Islam di Indonesia, Anda bisa katakan bahwa orang Inggris itu lebih memahami Syari'at ketimbang si tokoh ormas di sini. Di Indonesia, khususnya di kancah politik, isu Syari'at makin tak kedengaran. Masing-masing Parpol sibuk dengan kepentingan Partainya apalagi terkait dengan perebutan kekuasaan baik di Pusat maupun di daerah. Mereka meributkan kasus-kasus korupsi, penyalahgunaan jabatan, tetapi mereka tidak memunculkan solusi mendasar terhadap persoalan hukum yang ramai sekarang ini, yaitu tidak dijalankannya hukum Syari'at. Padahal cara efektif menyelesaikan kasus korupsi dan penyalah gunaan jabatan adalah melaksanakan ketentuan hukum Syari'at. Karena hukum Syari'atadalah hukum yang paling tegas dalam menjatuhkan sanksi. 

Bagi politisi di zaman ini isu syari'at sudah tidak menarik lagi, tidak laku dijual. Oleh karenanya hampir tidak ada lagi Partai yang mengusung penerapan syari'at di Indonesia. Bahkan Partai-partai Islampun sudah larut dalam ideologi Nasionalisme yang ditanamkan oleh Partai-partai sekuler. Kalau dulu di awal reformasi akhir sembilan puluhan, masih terdengar Partai-partai Isalm mendengungkan isu penerapan Syari'at. 

Tetapi tak lama kemudian, merekapun disibukkan oleh hal-hal yang bersifat pragmatis, seperti perebutan kekuasaan, lobi-lobi politik yang memang tidak sejalan dengan Syari'at itu sendiri.Untuk kondisi sekarang, kemungkinan untuk penerapan Syari'at nampaknya semakin jauh. Sadar atau tidak sadar, aspek Syariah di bidang finansial, belakangan ini semakin mendapatkan perhatian, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di negara yang mayoritas non Muslim, seperti negara-negara Barat. Bank Syari'ah berdiri di sejumlah negara Barat, khususnya Inggris. SIstem non interest sudah mulai dilirik oleh para ekonom barat, khususnya setelah krisi yang menimpa lembaga keuangan Amerika 2008 yang lalu. 

Dampaknya terasa di negara-negara maju, termasuk Singapura dan Jepang. Bila aspek finansial Syari'ah menarik bagi mereka, kenapa sisi-sisi lain dari Syariah tidak mereka senangi? Inilah tantangan bagi umat Islam untuk menjjelaskan kepada mereka bahwa Syariah Islam itu adalah satu kesatuan yang utuh, yang satu tak dapat dipisahkan dengan yang lain. Tetapi Barat itu ingin melihat contoh penerapan yang berhasil di negara Muslim sendiri. Maka di sinilah tanggung jawab umat Islam, khususnya para politisi dan negarawan di negara Muslim untuk menjalankan sistem hukum Syari'ah. Namun sayangnya, justru para penguasa di negara muslim sekarang yang menjadi penghambat utama pelaksanaan syariat di negara masing-masing. Wallahul Musta'an. 

Buku tipis yang ada di tangan Anda ini adalah salah satu tulisan saya yang awalnya bermula dari perdebatan dengan dua tokoh dari dua ormas Islam, kedua-duanya menolak ide penerapan Syari'at Islam. Sungguh aneh dan ajaib memang, tetapi inilah realita pahit yang kita hadapi di saman sekarang. Yang menolak justru adalah pihak yang mengatasnamakan ormas Islam. Bukan mustahil, ormas-ormas Islam sekarang sudah disusupi oleh pemikiran Liberal agen-agen Barat untuk menghancurkan ormas Islam itu dari dalam. Jadi serangan dilancarkan bukan hanya dari luar, tetapi dari dalam kamar sendiri. La hawla wala quwwata illa billah. Karena cetakan pertama dan kedua telah habis dari pasar, sementara keperluan atas buku ini masih terasa tinggi, maka kami menerbitkannya kembali, Semoga bermanfaat untuk meluruskan pandangan terhadap Syari'at. Syari'at adalah rahmat bagi seluruh alam. 

Jakarta Jumada al-Ula 1431/Mei 2010

Hukum Islam : Sebuah Pengantar

Syari'at Islam adalah hukum yang diturunkan oleh Allah Swt kepada ummat manusia melalui NabiNya Muhammad Saw untuk mengatur seluruh aspek kehidupan mereka.

Pengertian Syari'at (syara') pada dasarnya identik dengan dienul Islam itu sendiri. Jadi, Syari'at mencakup tiga komponen Islam : Aqidah, Ahkam dan Akhlaq.

Namun kajian Akademik yang berkembang, menetapkan istilah Syari'at dipakai untuk bidang yang berkaitan dengan Ahkam (hukum) saja, dan mengeluarkan bidang Aqidah yang merupakan bidang kajian Ushuluddin, dan bidang Akhlaq dan etika yang merupakan bidang kajian Ilmu Akhlaq.

Syariah sebagai sebuah system hukum dalam Islam bersifat komprihensif, mencakup berbagai bidang hukum yang biasa dikenal oleh system hukum modern. Jadi Syari'at Islam mencakup aspek public dan privat dari hukum yang ada. Bidang-bidang hukum public, demikian pula bidang-bidang hukum privat, semuanya terkandung di dalam system hukum Syari'at. Misalnya Hukum Pidana, Tata Negara, Administrasi Negara, Internasional Publik, Hukum Acara dan cabang-cabang hukum public lainnya, dikenal pula di dalam system Syari'at. Sebagaimana halnya hukum Perdata, keluarga, dagang, Internasional Privat juga diatur di dalam Syari'at. Jadi pembidangan di dalam system syari'at juga didapatkan seperti yang ada di dalam system hukum lainnya. Karena kaidah-kaidah dan materi-materi hukum dalam bidang-bidang tersebut didapatkan juga dalam system hukum Syari'at. 

Adalah kekeliruan besar, menganggap bahwa syari'at hanya mengatur persoalan hubungan manusia dengan pencipta (Allah Subhanahu wa Ta'ala). Sebuah pendapat yang biasa dianut oleh sarjana-sarjana hukum Barat dan kaum sekularis. Karena mereka mensejajarkan Islam dengan agama-agama lain seperti Kristen, Hindu, Budha dan lainnya. Islam sama sekali tidak sama dengan agama-agama lain. Islam tidak hanya mengatur soal hubungan manusia dengan Allah Swt, tetapi juga mengatur hubungan antar sesame manusia, bahkan aturan-aturan dalam hal ini jauh lebih komplit dan luas pembahasannya dalam literature hukum Islam.

Di sinilah titik perbedaan utama antara cara pandang kalangan sarjana hukum barat dengan sarjana-sarjana Muslim. Sarjana Barat memasukkan aturan-aturan (hukum) Islam ke dalam norma-norma agama sebagaimana norma-norma lainya seperti adat istiadat yang ada di masyarakat tertentu, yang berarti ketentuannya tidak tertulis. Kemudian keharusan untuk tunduk kepada aturan-aturan norma itu diserahkan kepada pribadi warga masyarakat masing-masing, dan sanksinya tidak bersifat fisik. Akan tetapi, aturan-aturan (hukum) Islam sesungguhnya sama persis seperti norma hukum yang berlaku di Negara-negara modern. Aturan-aturannya tertulis dan jelas. Aturan-aturan itu bersifat memaksa, yang jika dilanggar, mempunyai konsekuensi hukuman (penalty), dan hukuman itu juga bersifat fisik, bukan saja hukuman moral seperti hukum Adat.

Akibat penjajahan Barat terhadap Negara-negara Muslim di dunia, meninggalkan sejumlah ekses yang sangat negative bagi kajian Hukum Islam dan pelaksanaannya di tengah masyarakat Muslim. Harus dicatat, setiap Negara yang pernah dijajah oleh Barat, hampir tidak satupun yang dapat melepaskan dirinya dari jeratan hukum Barat Eropah itu secara umum, kecuali hanya bagian-bagian tertentu saja dari hukum Islam yang diadopsi. Seperti Indonesia, Mesir, Suriah, Malaysia, Nigeria, dan lain-lain. Jika ada di antara Negara-negara itu yang berusaha lepas dari jeratan hukum Barat, maka negeri itu praktis menjadi bulan-bulanan Barat, yang tidak henti-hentinya diserang baik secara opini maupun fisik. Ambil sebagai contoh Sudan dan Pakistan.

Kedua negeri ini tak henti-hentinya menghadapi serangan-serangan Barat. Mereka dikucilkan dalam pergaulan internasional, disudutkan dalam public opini dunia, dan dijatuhi hukuman secara fisik seperti embargo, memunculkan konflik internal yang tak berkesudahan. Sudan, negeri yang tak ada akhirnya dalam menghadapi konflik internal. Belum selesai persoalan Sudan Selatan yang menjadi boneka Amerika, sudah muncul persoalan Darfour yang menguras energi dan waktu pemerintah Sudan. Begitu juga halnya dengan Pakistan, Afghanistan dan Negara-negara lainnya.

Penyebab utama, Negara-negara Muslim yang tak kunjung mengakhiri konflik di dalam negerinya, adalah karena Negara-negara itu mencoba bangkit melawan belenggu Barat, dengan menjalankan system Syari'at Islam di dalam negerinya. Akan tetapi jika Negara-negara itu tetap dalam komitmen sekularismenya, Negara itu akan dilindungi, dan tidak dikacau oleh kekuasaan Barat, seperti Turki, Tunisia, dan Indonesia.

Dalam sebuah Negara yang menjalankan system Syari'at, maka peraturan hukum yang dijalankan tidak hanya menghukum penduduk atau warga yang beragama Islam, tetapi juga menghukum seluruh penduduk dan warga yang berada di wilayah hukum yang menjalankan hukum Syari'at itu,apapun agamanya dan keyakinannya. Seperti syari'at yang dijalankan di Daerah Istimewa Aceh, maka ketentuan hukum syari'at tidak hanya berlaku bagi warga muslim yang tinggal di wilayah Aceh, tetapi beraku bagi semua warga yang tinggal di wilayah hukum Aceh, sekalipun dia tidak menganut Islam atau bukan penduduk asli Aceh. Karena syari'at Islam menganut system unifikasi Hukum. 

Pada zaman Rasul Saw, seorang Yahudi di Madinah melakukan pembunuhan terhadap Muslim, maka kepadanya dijatuhkan hukuman Qisas. Walaupun sebenarnya hukum Qisas adalah hukum yang sudah ditetapkan bagi penganut Yahudi dan Nasrani pada masa Nabi Musa dan Isa Alaihimassalam melalui Kitab Tawrat dan Injil. Tetapi penganut agama-agama tersebut mencoba mengingkarinya dan tidak menerima hukuman itu.

Indonesia, sebagai salah satu Negara Muslim, pernah memberlakukan syari'at selama satu hari, yaitu sejak tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Sukarno dan Hatta waktu itu, adalah proklamasi berdirinya sebuah Negara Republik Indonesia dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang mukaddimahnya masih mencantumkan kata-kata "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya" atau yang lebih popular dengan sebutan "Piagam Jakarta".

Akan tetapi sehari sesudahnya, yaitu tanggal 18 Agustus 1945, tujuh kata itupun dihapus, tidak atas dasar kerelaan tokoh-tokoh Islam di Konstituante maupun ummat Islam di zaman itu.

Namun perjuangan-perjuangan berikutnya untuk mengembalikan tujuh kata itu tak kunjung berhasil sampai hari ini.

Bahkan lebih disayangkan lagi di era Reformasi ini, pelaksanaan syari'at tak kunjung berhasil, padahal sejumlah tokoh-tokoh Islam memegang kunci kekuasaan. Professor M. Amin Rais, mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah pernah menjadi Ketua MPR RI dan Abdurrahman Wahid, mantan Ketua Umum PB NU yang pada masa kepemimpinan mereka ini pernah dilakukan amandemen (perubahan) UUD 1945, namun upaya untuk mengembalikan kata-kata Syari'at ke UUD 1945 tak kunjung berhasil. Padahal jika mereka itu membaca kembali sejarah perjuangan politik Islam di Konstituante, mereka akan diingatkan kembali kepada sejarah perjuangan Piagam Jakarta, bahwa yang paling gigih dalam perjuangan itu adalah tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah yang duduk di Konstituante. Apakah bedanya tokoh NU dan Muhammadiyah dulu dengan yang ada sekarang?

Di era pasca Reformasi ini perjuangan untuk menjalankan syari'at Islam berjalan merangkak. Ada upaya dari kalangan politisi Muslim dan aktifis-aktifis Islam untuk menempuh jalur politik local, dengan memasukkan unsur-unsur Syari'at di dalam Peraturan Daerah (Perda). Kendati usaha ini tetap dihargai, tetapi itu masih jauh dari harapan para tokoh-tokoh Islam masa awal kemerdekaan dulu, disamping posisinya tidak terlalu strategis.

Perlu disadari bahwa menjalankan Syari'at Islam, adalah kewajiban mutlak setiap muslim dalam hidup. Kewajiban ini tak dapat ditawar-tawar. Syari'at adalah hukum yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw untuk dilaksanakan dalam kehidupan seluruh ummat manusia. Syari'at bukan hukum produk manusia, tetapi ia adalah hukum Allah Ta'ala.

Orang yang membaca kandungan (materi) syari'at serta pelaksanaannya dari kurun ke kurun menemukan, tidak ada satu unsurpun yang menimbulkan kekhawatiran akibat pelaksanaan syari'at ini. Mustahil Allah Swt yang menurunkan hukum ini, menimbulkan bencana dan kesulitan bagi umat manusia. Tetapi mereka yang sinis dengan hukum Syari'at, membacanya dengan semangat kebencian dan kecurigaan, bukan semangat obyektifitas dan akademik. Kita hanya berharap agar mereka yang tidak menyukainya, mencoba untuk berfikir obyektif dan rasional dalam membaca aturan demi aturan yang terkandung dalam Syari'at. Wassalamu ala manittaaba'a al-Huda.

Kampung Tengah, Rajab 1428H



Buah penerapan syariah

Apakah Sasaran dari Penerapan Syari’at Islam itu?

  1. Keadilan
  2. Keamanan dan ketenteraman
  3. Kemakmuran
  4. Persaudaraan

1. Di antara eksesnya adalah tegaknya keadilan. Keadilan dalam arti yang sesungguhnya terwujud dalam formulasi berikut:

  • Keadilan dalam Hak: Orang-orang yang berhak, benar-benar mendapatkan hak-haknya. Hak-hak itu tidak dirampas oleh orang yang justru tidak berhak dan menguasainya.
  • Keadilan Sosial dan Ekonomi :
Kesenangan tidak hanya dinikmati oleh orang-orang kaya dan berada saja, sementara orang miskin hanya menonton dan menelan ludahnya.
  • Keadilan dalam Hukum :
Keadilan dalam hukum dimana orang-orang yang benar harus dibenarkan, dan yang salah harus disalahkan/dihukum.
Hukuman dijatuhkan sesuai dengan prinsip keadilan. Pencuri trilyunan rupiah dari uang rakyat, harus dihukum lebih berat dari maling ribuan rupiah.
2. Keamanan. Dengan beratnya hukuman terhadap pelaku kejahatan tertentu, akan membuat orang-orang jahat untuk menggagalkan niatnya melakukan kejahatan. Hukuman berat untuk kejahatan tertentu tak bisa ditawar-tawar. Seperti hukuman mati untuk pelaku pembunuhan, pemerkosa, provokator dan bandar narkoba. Sebab kejahatan-kejahatan itu mengancam ketenteraman umum, menciptakan situasi chaos dan sejenisnya. Di sinilah keunggulan Syari’ah Islam dalam menciptakan keamanan dan ketenteraman di masyarakat. Dapat dipastikan, komunitas yang memberlakukan Syari’at Islam, akan merasakan keamanan dan ketenteraman itu. Demikian juga sebaliknya, masyarakat yang tak menjalankan Syari’at Islam, seperti negara-negara non Islam, termasuk juga negara-negara Muslim yang berorientasi ke Barat, keamanan dan ketenteraman di sana sangat bermasalah. Lihat tingkat kriminal seperti pembunuhan di Amerika yang konon katanya negara maju, sangat tinggi. Demikian pula dengan Indonesia, yang tidak hanya tinggi dari segi frekwensi, tetapi juga tingkat kesadisan dan keganasan. Bandingkan pula dengan negara Saudi Arabia, yang menjalankan Syari’at, khususnya dalam bidang Pidana, keamanan itu benar-benar dapat dirasakan. Orang tidak merasa was-was kalau keluar rumah membawa uang berapa pun banyaknya. Seseorang tidak merasa khawatir akan ancaman pembunuhan jika keluar rumah pada jam berapapun di waktu malam. Bahkan mobil-mobil mewah diparkir di jalan raya siang dan malam hari, tak ada yang mengusik.

3. Kemakmuran

Syari’at Islam akan mewujudkan kemakmuran. Ini bisa dilihat dari dua sisi ; sisi keyakinan relijius, dan sisi realitas sosial. Dari sisi keyakinan, masyarakat yang menjalankan Syari’at (hukum) Allah, akan senantiasa mendapatkan ridho-Nya yang pada gilirannya mendapatkan keberkahan dari-Nya. Itu terwujud dengan meningkatnya sumber-sumber pendapatan yang ada dan terbukanya sumber-sumber baru, baik dari alam, maupun dari manusia. Keyakinan ini didasarkan pada firman Allah swt : "Sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa (kepada Allah) niscaya akan Kami bukakan untuk mereka, keberkahan dari langit dan bumi,..". (Q.S. Al-A`raf : 96)
Dari sisi realitas sosial, bahwa penerapan Syari’at Islam, akan memakmurkan kehidupan rakyat. Karena ajaran yang terkandung dalam Syari’at sangat kental dengan keadilan sosial. Dengan sistem zakat, kekayaan tidak akan terkonsentrasi pada lapisan masyarakat tertentu. Karena dalam zakat terdapat konsep pemerataan kekayaan pada kalangan kaum lemah. Ketentuan Syari’at yang mengharamkan monopoli, penumpukan kekayaan, anti korupsi juga akan membantu pemerataan kekayaan itu. Pada gilirannya, akan memakmurkan rakyat. Di lain sisi Syari’at juga merangsang untuk hidup mandiri, menumbuhkan usaha swadaya, semangat membantu kaum Dhu’afa, dan lain-lain, akan mempercepat terwujudnya kemakmuran itu.

4. Persaudaraan

Implikasi penerapan syari`ah juga terlihat dalam membangun persaudaraan. Karena rasa persaudaraan adalah salah satu inti ajaran Islam, maka orang yang taat menjalankan Syari`at Islam akan sangat memperhatikan soal persaudaraan ini. Faktor yang sangat mendukung terwujudnya rasa persaudaraan itu ialah iklim atau suasana dalam masyarakat Islam. Masyarakat yang Islami adalah masyarakat di mana setiap individunya berlomba-lomba beramal sosial dan membantu saudaranya sesuai dengan tuntunan Hadits Nabi saw : "Tak beriman seseorang kamu, sebelum ia menyukai untuk saudaranya apa yang ia sukai untuk dirinya."
Hadits tersebut menuntut sikap seorang mukmin, bukan sekedar tidak menyakiti saudaranya, tapi menyukai untuk saudaranya seperti apa yang ia sukai untuk dirinya. Persaudaraan juga tampak jelas dalam sejarah perjuangan Islam, antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Rasa persaudaraan yang terjalin waktu itu, tak ada tandingannya dalam masyarakat manusia. Nabi juga pernah mengingatkan sahabatnya : "Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara."




Sistem Hukum (at-Tasyri`) di sini, aspek yang mensinkronisasikan antara prilaku hidup dengan ketentuan hukum yang ditetapkan Allah swt. 

Definisi ‘Syari`at’ ‘Syari`at’secara bahasa, berarti : ‘jalan yang lurus’ atau ‘sumber mata air’. Secara terminologi, artinya : "Semua yang ditetapkan Allah atas hambaNya berupa agama (dien) dari berbagai hukum".

Karakteristik ‘Syari`at

1. Sumbernya Allah Swt. Konsekuensinya :

- Hukum Syari`at bersih dari segala bentuk kecurangan, kelemahan, dan unsur-unsur kepentingan. Karena legislatornya Allah swt. Berbeda dengan Hukum Positif yang tak lepas dari faktor-faktor di atas, karena legislatornya manusia.

Umpamanya, Syari`at meletakkan prinsip "PERSAMAAN DI MATA HUKUM" (al-Musawah Baynan-Nas) yang pertama sekali dikenal adalah di dalam Islam. Syari`at tidak membeda-bedakan orang atas dasar warna kulit, etnis atau bahasa. (Surat al-Hujurat 13), dan Hadits ‘Perempuan dari Bani Makhzum’. Prinsip itu lahir di tengah masyarakat yang diskriminatif oleh faktor etnis dan kabilah. Tetapi Islam berhasil menghapus diskriminasi itu dengan semboyan Hadits Nabi saw : " Tidak ada kelebihan orang Arab dari orang Non-Arab, selain dalam ketakwaan".

Sementara Di AS, hingga sekarang, warga negara dibedakan atas dasar warna kulit. Kulit Putih adalah warga negara kelas satu. Hingga dalam pemukiman pun, kulit putih dan Hitam dipisahkan di AS. Ada kota-kota tertentu terpisah antara orang kulit hitam dengan kulit putih.
Sebagian negara bagian di AS konstitusinya menetapkan perkawinan antara seorang kulit putih dengan kulit merah, tidak sah.
Usaha-usaha yang mengarah pada tuntutan persamaan hak-hak sosial dan perkawinan antara kulit putih dan hitam -baik melalui selebaran, brosur, walau sekadar menyampaikan saran- merupakan perbuatan kriminal dan dapat diancam dengan hukuman denda $ 500 dan penjara enam bulan.

- Syari`at mempunyai wibawa hukum dan penghargaan di mata orang beriman. Contoh : Proses pelarangan miras di Madinah pada masa Nabi Saw, cukup dengan kata "Fajtanibuh" (hindari kamulah!), lorong-lorong kota Madinah menjadi banjir miras. Padahal bangsa Arab terkenal sebagai masyarakat yang sangat suka minuman keras.

Sementara di AS, larangan mengkonsumsi alkohol berakhir dengan kegagalan. Pemerintah AS pernah mengeluarkan UU Pelarangan Miras tahun 1930. Larangan memproduksi, menjual, membeli, mengekspor dan mengimpor miras. Kampanye anti Miras dan iklan di media massa dilakukan secara gencar dengan biaya $ 65 juta US. Berdasarkan statistik, dalam tempo 3 tahun (1930-1933), telah terbunuh 200 jiwa, 500.000 orang ditangkap, denda jutaan dolar. Akhirnya, pemerintah AS mencabut kembali UU tsb akhir 1933.

2. Karakteristik Kedua : Sanksi Hukum Syari`at bersifat duniawi dan ukhrawi

Hukuman asli bagi suatu kejahatan bersifat ukhrawi yaitu siksaan atas orang yang berdosa di hari Akhirat. Tetapi, karena tuntutan keamanan dan ketenteraman masyarakat, syari`at menetapkan hukuman duniawi, baik berbentuk hukuman pidana, ataupun perdata. (Surat an-Nisa’ 13, 14, Al-Ma’idah 33, An-Nisa’ 10).

-Konsekuensinya, setiap muslim patuh dan tunduk pada hukum secara sukarela, tanpa paksaan. Karena, sekalipun ia lepas dari hukuman dunia, tapi ia tidak akan lepas dari hukuman akhirat.
-Kesadaran (Disiplin) Hukum yang Tinggi. Seseorang yang sudah terlanjur berbuat kesalahan, tetapi karena kesadaran hukum yang tinggi ia menyerah pada kekuasaan agar dihukum. Contohnya, kasus Ma`iz yang meminta agar dirinya dijatuhi hadd zina.

3. Karakteristik Ketiga : Berlaku Umum

Syari`at Islam berlaku umum untuk semua orang di semua tempat. Firman Allah Swt : "Katakanlah, wahai umat manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kalian semuanya." (Al-A`raf 158), (Saba’ 28).

Konsekuensinya, hukum-hukum syari`at berikut kaedahnya harus mampu mewujudkan kemaslahatan seluruh umat manusia, kapan dan di mana saja. Dan mampu mengantarkan masyarakat ke derajat yang paling tinggi (masyarakat ideal). Syari`at Islam memiliki perangkat-perangkat untuk itu.
Alasannya adalah sbb:
  1. Syari`at dibangun atas landasan "Demi Mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerugian" (Jalbu al-Mashalih wa Dar’u al-Mafasid). Ketentuan hukum syari`at di bidang apa saja, semuanya mengacu pada kemaslahatan umat manusia.
  2. Prinsip ini didasarkan pada :
    1. Firman Allah yang menerangkan alasan diutusnya Rasul Saw : "Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam." (Al-Anbiya’ 107).
    2. Setiap hukum dilandasi oleh alasan (`illat) "merealisasi kemaslahatan" (tahqiq al-Mashalih). Umpamanya, kenapa Allah mewajibkan hukum Qishash dalam pembunuhan? Alasannya adalah demi menjamin kelangsungan hidup manusia. (Al-Baqarah 18). Pelaksanaan Qishash akan meredam kejahatan terhadap jiwa manusia. Allah mengharamkan khamar (miras) dan judi, untuk menghindarkan masyarakat dari permusuhan dan perkelahian. (Al-Ma’idah 91)
    3. Dibukanya pintu ‘rukhshah’ dalam kondisi sulit menetapkan hukum.
    4. Dengan penelitian, terbukti bahwa maslahat manusia tidak terlepas dari 3 kategori (primer, sekunder dan tertier). Hukum-hukum Syari`at bertujuan mewujudkan dan melindungi ketiga faktor tsb.
  3. Prinsip-prinsip syari`at dan kandungannya

Hukum syari`at dapat dibagi atas 2 klassifikasi :
  1. Hukum Yang Terperinci
  2. Kaedah Umum

1. Hukum-hukum yang terperinci dan bernilai universal, menyangkut :

  • `Aqidah dan rukun Iman
  • Persoalan Ibadah
  • Akhlaq
  • Sebagian masalah yang menyangkut hubungan antarsesama manusia, seperti: Hukum Keluarga, Tata cara Perkawinan, Pemeliharaan anak, Hukum Waris, Pelarangan Riba, Ketentuan pidana untuk kejahatan tertentu seperti kejahatan murtad, zina, menuduh orang lain berzina, pencurian, perampokan, minum khamar, dan Qishash.

  1. Kaedah Umum yang pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Seperti, prinsip ‘Musyawarah’, ‘Persamaan’, ‘Keadilan’, penetapan kaedah ‘Tidak boleh menimpakan kumudaratan kepada diri sendiri maupun kepada orang lain’ (La Dharar Wa la Dhirar).
  2. Sumber-sumber Hukum Syari`at yang fleksibel, seperti Ijtihad yang merupakan dasar bagi Ijma`, Qiyas, Istihsan, Mashlahat dsb.

4. Karakteristik Keempat : UNIVERSAL

Syari`at dapat dibagi atas 3 kelompok besar :

1. Hukum tentang `Aqidah.
2. Hukum tentang Akhlaq.
3. Hukum yang berkaitan dengan prilaku manusia (`Amaliyah atau Fiqh).

Hukum `Amaliyah dapat dibagi dua :

1 `Ibadat (dimensi vertikal)
2 Mu`amalat (dimensi Horizontal), dapat dibagi atas :
-Hukum Keluarga (Family Law)
-Hukum Finansial dan Transaksi
-Peradilan
-Hukum tentang warganegara asing (Musta’min) dalam Negara Islam
-Hukum Antar Bangsa (International Law)
-Hukum Tata Negara
-Hukum tentang Sumber-sumber Pendapatan Negara
-Hukum Pidana.
Tujuan Hukum Islam

1. Hubungan antar sesama manusia didasarkan atas prinsip ‘KEADILAN’. Tidak membeda-bedakan antara kaya-miskin, kuat-lemah, Arab-Ajam, putih-hitam, melainkan atas dasar ketakwaan. (Al-Hadid 25)

2. Menjalin "PERSAUDARAAN", saling percaya, dan saling pengertian di satu sisi, serta menghindari bibit-bibit permusuhan dan pertikaian. Contohnya penentuan hak dan kewajiban, larangan berlaku curang, zalim, dan penipuan dalam bisnis dan transaksi.

3. Memelihara 3 Pokok Kepentingan manusia : Primer (Pokok), Sekunder (Penting) dan Tertier (Pelengkap).

4. Konsentrasi dalam menjalankan tugas manusia - ‘Ibadah, Membangun Bumi, Wakil Allah di atas bumi, dan Menyeru dunia untuk bergabung dalam missi Islam’ (`IBADAH, `IMAROH, KHILAFAH, DAK`WAH).

Sebuah Missi yang tujuannya : ‘Kebenaran, Kebaikan, Etika yang Mulia’.
Metodenya : ‘Beriman, Amal Shaleh, dan Saling Berpesan untuk komitmen dalam kebenaran dan Kesabaran’. (Surat al-`Ashr 1-3).



Penerapan Syariah dalam aspek mu'amalat

Mukaddimah Aspek Mu`amalah merupakan bagian yang tak kalah pentingnya dalam syari`at Islam, dibanding aspek Jinayat. Karena Mu`amalat adalah hubungan antar sesama manusia dalam bidang kontrak/perjanjian/perikatan. Masyarakat manusia tidak mungkin terlepas dari praktek tukar-menukar
Oleh karena itu, Syari`at mengatur persoalan ini dalam sejumlah ayat dan dijabarkan oleh Hadits Nabi saw. dan diperkaya oleh Fuqaha’ dalam format ijtihad fiqh.

Hanya saja, Al-Qur’an memang mengatur prinsip-prinsip umum/kaedah global, yang kemudian dijabarkan oleh sabda-sabda Nabi saw.


  • Hukum Mu`amalat dan Ekonomi Islam




  • Antara Hukum Mu`amalat dengan Ekonomi Islam, dapat dibedakan, bahwa Hukum Mu`amalat adalah hukum tentang ekonomi Islam. Sedang Ekonomi Islam adalah penerapan dari sistem ekonomi yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul saw. 
    Dalam kajian literatur fiqh klasik, kedua bidang ini terangkum menjadi satu dan itulah yang dikenal dengan ‘Fiqh Mu`amalat’. Namun dalam kajian modern, kedua bidang itu sudah dibedakan menjadi bidang yang berdiri sendiri. Jika ada ekonomi kapitalis, sosialis, maka rivalnya ada ‘ekonomi Islam’. Sementara Hkm Muamalat tetap mengkhususkan pada kajian hukum ekonomi Islam.
    Bidang-bidang Garapan Mu`amalat 
    Dalam konteks penerapan Syari`at di Aceh, aspek-aspek Syari`ah pada dasarnya tidak dibeda-bedakan dalam penerapannya. Semua ketentuan syari`at wajib diterapkan dalam kehidupan. Hanya saja karena persoalan yang dihadapi sangat kompleks, penulis setuju jika penerapan syari`at dalam mu`amalat itu dilaksanakan secara bertahap. Namun harus ada schedule yang jelas, tahapan-tahapan yang telah dirancang bagi penerapan menyeluruh.
    Yang cukup mendesak untuk sementara waktu:
    1. Menghidupkan perbankan syari`ah seluas-luasnya untuk menggantikan perbankan konvensional.
    2. Bank-bank Konvensional yang ada digiring untuk menerapkan sistem syari`ah dan secara perlahan-lahan sistem ribawi hapus dari bumi Aceh. Sebagaimana perbankan konv. Jumlahnya banyak, maka bank Islam juga demikian. Masing-masing bersaing dengan profesional.
    3. Menggalakkan lembaga-lembaga Keuangan Islam.
    4. Lembaga-lembaga Keuangan Islam yang mulai tumbuh di Ibukota, seharusnya mendapat tempat lebih khusus di Aceh. Seperti Asuransi Syari`ah, Reksadana Syari`ah, Baitul-Mal Wat-Tamwil dll. Bahkan lembaga-lembaga keuangan ini tidak hanya dibatasi untuk Indonesia, tetapi lembaga keuangan luar negeri juga dipersilahkan untuk ambil bagian, seperti Malaysia, Kuwait, Mesir dll.
    5. Menghidupkan Kajian Fiqh Muamalat dan Ekonomi Islam.
    Hal yang tak kalah pentingnya ialah menggalakkan kajian fiqh dan Ekonomi Islam, baik di tingkat Perguruan Tinggi Islam dan PT Umum seperti Fakultas Ekonomi. Di setiap Fak. Ekonomi mutlak harus ada jurusan ekonomi Islam sebagai langkah awal untuk merubah fak. Ekonomi yang ada menjadi ‘Ekonomi Islam’. Hal ini bisa dijalin kerjasama dengan UIA Malaysia, Pakistan dan Mesir.
    Demikian pula membuka kursus-kursus dan penataran-penataran fiqh mu`amalat bagi praktisi dagang, hakim, dan segenap pihak yang berkepentingan.
    4. Membuat perundang-udangan Mu`amalat.
    Yang sangat mendasar dalam penerapan syari`ah adalah lahirnya perundang-undangan syari`ah yang mencakup perdata dan dagang. Inilah tugas yang paling berat, karena memerlukan keahlian di bidang hukum dan syari`ah sekaligus. Tanpa ada aturan perundangan yang tertulis dan sah, semua norma itu tidak mempunyai kekuatan hukum. Bidang ini sudah pernah dikerjakan oleh Khilafah Otsmaniah yang menghasilkan kodifikasi Hukum Perdata dan Dagang Islam (Mu`amalat) yang disebut "Majallah al-Ahkam al-`Adliyah" yang berlaku untuk wilayah hukum Imperium Otsmaniah.
    5. Mempersiapkan tenaga-tenaga peradilan (Hakim) yang akan memutus perkara-perkara perdata dan dagang Islam.

    No comments:

    Post a Comment