Pembagian Kaum Kafir

Kaum kuffar terbagi ke dalam beberapa golongan, setiap golongan memilki hukum tersendiri.
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Dahulu kaum musyrikin terbagi menjadi dua golongan di hadapan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Diantara mereka ada golongan yang dinamakan ahlul harb, nabi memerangi mereka dan mereka pun memerangi beliau. Ada golongan yang disebut ahlul ahd, nabi tidak memerangi mereka, dan mereka tidak memerangi beliau.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaum kuffar terbagi menjadi ahlul harb dan ahlul ahd. Dan ahlul ahd ini terbagi menjadi tiga golongan, ahlu dzimmah, ahlu hudnah, ahlu aman. Para ahli fiqih telah membuat pembahasan tersendiri untuk setiap golongan, ada bab Al Hudnah,bab Al Aman, bab ‘Aqdudz Dzimmah.

Lafadz “adz dzimmah” dan “al ‘ahd” pada asalnya mencakup tiga jenis orang kafir di atas. Demikian pulan lafadz “ash shulh”, sehingga lafadz “adz dzimah” sejenis dengan lafadz “al ‘ahd” dan “al ‘aqd”.

Kemudian beliau berkata, “Demikian juga lafadz “ash shulh” merupakan lafadz yang umum dan mencakup seluruh perjanjian, baik yang diadakan oleh sesama kaum muslimin, maupun yang diadakan dengan kaum kuffar. Namun, yang kerap digunakan oleh para ahli fiqih, ahludz dzimmah merupakan istilah untuk orang kafir yang menunaikan jizyah, sehingga mereka mendapatkan perlindungan dari kaum muslimin sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Mereka mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin untuk memberlakukan hukum Allah dan rasul-Nya terhadap diri mereka dikarenakan mereka menetap di negeri yang memberlakukan hukum Allah dan rasul-Nya.

Golongan tersebut berbeda dengan ahlul hudnah, golongan ini mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin, baik perjanjian itu megandung kompensasi materi ataupun tidak, sementara mereka berada di negeri mereka masing-masing. Hukum islam tidak diberlakukan pada mereka sebagaimana ahludz dzimmah, namun mereka berkewajiban untuk tidak memerangi kaum muslimin. Golongan inilah yang dinamakan ahlul ‘ahd, ahlush shulh atau ahlul hudnah.

Adapun al mustakman adalah golongan yang mendatangi negeri kaum muslimin namun tidak menetap disana. Golongan ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu
  • Para utusan
  • Para pedagang
  • Orang-orang yang meminta perlindungan kepada kaum muslimin sehingga punya kesempatan untuk mempelajari Islam dan al qur-an kepada mereka. Jika mereka ingin, mereka dapat masuk islam, jika tidak mereka pun dikembalikan ke negara mereka masing-masing.
  • Orang-orang yang berkepentingan di negeri kaum muslimin, seperti orang kafir yang berkunjung (baca:turis, ed) dan semisalnya.
Golongan ini tidak diperangi dan dibunuh serta tidak diberlakukan jizyah terhadap mereka. Orang yang meminta perlindungan dari golongan ini ditawari untuk masuk islam, apabila dia menerimanya itulah yang diinginkan, namun jika dia hendak kembali ke negeri asalnya, maka dirinya pun diantarkan menuju ke sana dan islam tidak ditawarkan kembali kepadanya sebelum sampai di negerinya. Apabila dirinya telah sampai di negeri asalnya, maka statusnya kembali menjadi ahlul harb yang boleh diperangi.” (Ahkamu Ahlidz Dzimmah 2/873).



Ketentuan dalam Perjanjian Hudnah

Syari’at tidak membolehkan untuk mengadakan perjanjian hudnah yang bersifat kekal antara kaum muslimin dengan kuffar. Hal ini sebagaimana kesepakatan (ijma’) yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim (Ahkamu Ahlidz Dzimmah 2/876). Hal tersebut tidak diperbolehkan karena akan menihilkan pensyari’atan jihad.

Adapun bentuk perjanjian hudnah dengan pembatasan tempo, maka hal ini dibolehkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya bersama kaum kafir Quraisy sebagaimana perjanjian Hudaibiyah yang beliau adakan selama 10 tahun.

Sedangkan bentuk perjanjian hudnah yang bersifat mutlak, diperbolehkan berdasarkan pendapat yang terkuat dari dua pendapat ulama. Yang dimaksud dengan perjanjian mutlak adalah kaum muslimin mengadakan perjanjian dengan kaum kuffar tanpa ada pembatasan jangka waktu berlakunya perjanjian. Kaum muslimin berniat apabila keadaan mereka kuat, maka mereka akan membatalkan perjanjian setelah adanya pemberitahuan kepada pihak kafir.

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Boleh mengadakan perjanjian hudnah baik bersifat mutlak maupun dengan adanya penentuan waktu perjanjian. Perjanjian yang disertai penentuan waktu bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, wajib untuk untuk dipenuhi selama pihak musuh tidak membatalkannya serta tidak boleh dibatalkan semata-mata didorong adanya rasa khawatir akan dikhianati oleh pihak musuh, hal ini berdasarkan pendapat yang terkuat dari dua pendapat ulama. Adapun perjanjian yang bersifat mutlak, maka hal itu tergolong akad yang jaiz (boleh dibatalkan oleh kedua belah pihak-pent), imam boleh melakukannya jika terdapat maslahah.” (Al Ikhtiyaraat Al Fiqhiyyah hal. 542).

Beliau mengatakan pula, “Sesungguhnya kaum musyrikin terbagi menjadi dua golongan. Yang pertama golongan yang memiliki perjanjian mutlak (yang diadakan dengan kaum muslimin-pent) tanpa adanya penentuan batas waktu berakhirnya perjanjian. Perjanjian ini tergolong akad yang jaiz, bukan akad lazim.

Golongan kedua adalah mereka yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin dengan disertai penentuan batas waktu perjanjian. Maka Allah memerintahkan rasul-Nya untuk membatalkan perjanjian mutlak yang beliau adakan dengan kaum musyrikin, karena perjanjian jenis tersebut tergolong akad yang jaiz, bukan akad lazim dan Dia memerintahkan beliau untuk mengumumkan pembatalan tersebut kepada mereka denga jangka waktu empat bulan. Adapun golongan yang mengadakan perjanjian disertai penentuan batas waktu perjanjian, maka hal ini tergolong akad perjanjian yang bersifat lazim dan Allah memerintahkan beliau untuk memenuhi perjanjian tersebut.

Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa perjanjian hudnah harus dilaksanakan dengan disertai penentuan batas waktu perjanjian. Sedangkan sebagian lain berpendapat imam diperbolehkan untuk membatalkan perjanjian hudnah meski mereka tidak melanggar kewajiban.

Yang tepat dalam hal ini adalah pendapat ketiga, yaitu diperbolehkan mengadakan perjanjian hudnah baik secara mutlak atau disertai dengan penentuan batas waktu. Perjanjian hudnah yang bersifat mutlak tergolong akad yang jaiz, bukan lazim, dan kedua pihak dapat memilih tetap meneruskan perjanjian atau membatalkannya. Sedangkan perjanjian hudnah yang disertai penentuan batas waktu, maka jenis ini tergolong akad lazim.” (Al Jawabus Shahih 1/175). Kemudian beliau membawakan permulaan surat Bara-ah hingga ayat 13.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Apabila hal ini telah diketahui, kemudian yang menjadi pertanyaan apakah boleh bagi penguasa untuk mengadakan perjanjian hudnah dengan kaum kuffar secara mutlak tanpa menentukan batas waktu perjanjian, dengan sekedar ucapan “Kami mengadakan perjanjian dengan kalian sekehendak yang kami inginkan.” Pihak yang hendak membatalkan perjanjian boleh membatalkan perjanjian tersebut dengan syarat memberitahukan niat pembatalannya kepada pihak lain dan tidak melakukan pengkhianatan, atau dengan sekedar ucapan, “Kami mengadakan perjanjian dengan kalian dan membuat ketentuan terhadap kalian sekehendak yang kami inginkan.”

Dalam permasalahan ini pendapat para ulama- dalam madzhab imam Ahmad maupun selain beliau-, terbagi menjadi dua:

Pertama:

Hal tersebut tidak diperbolehkan. Hal ini merupakan pendapat Asy Syafi’I dalam salah satu kesempatan dan disetujui oleh sebagian ulama madzhab Hambali seperti Al Qadli (Abu Ya’la, ed) dalam Al Mujarrad dan Asy Syaikh (Ibnu Qudamah, ed) dalam Al Mughni dan para mereka tidak menyebutkan pendapat lainnya.

Kedua:

Hal tersebut diperbolehkan. Inilah pendapat yang ditegaskan oleh Asy Syafi’I dalam Al Mukhtashar dan dua pendapat ini disebutkan oleh beberapa ulama sebagai dua pendapat yang ada dalam mazhab Hambali. Diantara yang menyebutkan demikian adalah Ibnu Hamdan.

Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau berpendapat bahwa hal tersebut tergolong akad yang jaiz, sehingga diperbolehkan bagi imam untuk membatalkan perjanjian tersebut kapan pun dia menginginkannya. Pendapat ini berseberangan dengan pendapat pertama dari Asy Syafi’i.

Ketiga:

Pendapat yang mengambil jalan tengah diantara kedua pendapat yang telah lalu.

Asy Syafi’i mengomentari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk Khaibar,
“Kami biarkan kalian selama Allah membiarkan kalian.” Beliau mengatakan bahwa maksudnya adalah kami akan membiarkan kalian selama Allah mengizinkan kami untuk membiarkan kalian berdasarkan hukum syar’i.

Syafii mengatakan, ketentuan dalam hadits ini hanya bisa diketahui berdasarkan wahyu. Sehingga ini khusus untuk Nabi dan tidak berlaku untuk selain Nabi.

Mereka yang berpendapat dengan perkataan Asy Syafi’i ini (pendapat pertama-pent) seakan-akan memandang apabila perjanjian hudnah diadakan secara mutlak, maka akan menjadikannya sebagai akad yang lazim dan berlaku selamanya sebagaimana akad dzimmah. Oleh karenanya, hal ini tidak diperbolehkan mengingat adanya ijma’ yang melarang mengadakan perjanjian damai selama-lamanya. Dan dikarenakan perjanjian hudnah berubah menjadi akad lazim, maka tentu harus dipenuhi, dan Allah ‘azza wa jalla memerintahkan untuk memenuhinya dan melarang untuk melakukan khianat, dan menunaikan perjanjian tidaklah diperintahkan melainkan jika akad perjanjian merupakan akad yang lazim.

Pendapat kedua -dan inilah pendapat yang benar-, menyatakan diperkenankan bagi imam untuk mengadakan perjanjian hudnah baik bersifat mutlak maupun disertai penentuan batas waktu perjanjian. Apabila perjanjian disertai penentuan batas waktu, maka boleh dijadikan sebagai akad lazim. Sebagaimana dibolehkan jika dijadikan sebagai akad jaiz, dimana kedua pihak boleh membatalkannya kapanpun seperti akad syirkah, wikalah, mudlarabah dan sejenisnya, dengan syarat pembatalan tersebut dengan cara yang jujur (kedua belah pihak sama-sama tahu).

Selain itu boleh mengadakan perjanjian hudnah secara mutlak. Apabila bentuknya mutlak, maka bukan berarti akad tersebut berlaku selamanya. Bahkan perjanjian dapat dibatalkan kapan saja diinginkan. Hal itu disebabkan hukum asal dalam berbagai perjanjian adalah seluruh perjanjian diadakan berdasarkan maslahat yang ada, dan terkadang maslahat ditemui ketika meneruskan perjanjian atau membatalkannya.

Bagi pihak yang mengadakan perjanjian boleh baginya mengadakan perjanjian dengan akad lazim dari kedua pihak, dan boleh baginya mengadakan perjanjian dengan akad jaiz, yang memungkinkan untuk dibatalkan apabila tidak terdapat faktor yang menghalangi hal tersebut. Dalam  perjanjian seperti ini (dengan akad jaiz-pent) tidak terdapat faktor penghalang tersebut, bahkan terkadang terdapat maslahah di dalamnya. Maka, apabila penguasa membuat perjanjian dengan waktu yang cukup lama terkadang terdapat maslahat bagi kaum muslimin dalam mempersiapkan diri untuk berperang sebelum batas waktu perjanjian berakhir.

Bagaimanakah kiranya apabila hal itu telah ditunjukkan oleh Al Qur-an dan As Sunnah?

Sebagian besar perjanjian yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adakan bersama kaum musyrikin bersifat mutlak tanpa adanya penentuan batas waktu perjanjian, berupa akad jaiz bukan akad lazim. Diantaranya adalah perjanjian yang beliau adakan dengan penduduk Khaibar, di saat Khaibar ditaklukkan dan dikuasai kaum muslimin dan yang mendiami wilayah tersebut adalah kaum Yahudi yang tidak terdapat seorang muslim pun diantara mereka. Dan pada saat itu ayat jizyah belum diturunkan karena ayat tersebut tercantum dalam surat Bara-ah dan turun pada saat perang Tabuk tahun 9 H, sedangkan Khaibar ditaklukkan sebelum Mekkah setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah tepatnya pada tahun 7 H. Maka kaum Yahudi berada di bawah kekuasaan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan seluruh harta (seperti tanah, rumah dan lahan pertanian-pent) menjadi milik kaum muslimin.

Terdapat riwayat dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka,
“Kami biarkan kalian sekehendak yang kami inginkan”, atau dengan lafadz lain, “selama Allah membiarkan kalian.”
Sabda beliau, “selama Allah membiarkan kalian.” ditafsirkan oleh lafadz yang lain. Dan yang dimaksudkan adalah kapanpun kami menginginkan, kami akan mengusir kalian dari wilayah Khaibar. Oleh karena itu menjelang kematiannya, beliau memerintahkan untuk mengusir kaum Yahudi dan Nasrani dari jazirah Arab dan hal tersbut dilakukan oleh ‘Umar radliallahu ‘anhu pada masa pemerinahannya.” (Ahkamu Ahlidz Dzimmah 2/874).

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Dalam kisah ini terdapat dalil bolehnya mengadakan perjanjian hudnah secara mutlak. Bahkan kapanpun imam menginginkan (perjanjian dengan bentuk seperti itu boleh diadakan-pent). Dan tidak terdapat dalil yang menghapus ketentuan tersebut, sehingga pendapat yang benar adalah perjanjian hudnah secara mutlak boleh diadakan. Hal ini telah ditegaskan oleh Asy Syafi’i sebagaimana keterangan Al Muzanni dan para imam selain beliau juga menegaskan hal yang serupa. Namun tidak diperkenankan menyerbu dan memerangi mereka sebelum melakukan pemberitahuan agar mereka dan imam kaum muslimin sama-sama mengetahui bahwa perjanjian telah dibatalkan.” (Zaadul Ma’aad 3/146).

Perhatian:
Pihak yang mampu menentukan manfaat dan bahaya dalam permasalahan ini adalah para ulama. Allah ta’alaa berfirman,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (An Nisaa: 83).

Sedangkan pihak yang berhak menetapkan perjanjian dan hudnah adalah penguasa sebagaimana yang telah disebutkan dalam pembahasan jihad. Berbagai maslahah dan mafsadat dalam permasalahan ini tidak ditentukan oleh para mujahid sebagaimana yang didengungkan sebagian diantara mereka dikarenakan dua alasan:
  • Tatkala terjadi perselisihan, sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk mengembalikan permasalahan kepada para mujahid, bahkan Dia memerintahkan kita untuk merujuk pada syari’at-Nya. Sedangkan pihak yang paling mengetahui syari’at-Nya adalah para ulama’, oleh karenanya Dia berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An Nahl: 43).
  • Telah jelas kesalahan para mujahidin di berbagai kejadian kontemporer yang baru saja terjadi tatkala mereka menyelisihi para ulama rabbaniyyin yang memiliki pengetahuan mendalam dalam ilmu syar’i. akan tetapi adakah adakah orang yang mau mengambil pelajaran?! Allah ta’alaa berfirman,
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
“Maka jadikanlah (kejadian itu) sebagai pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Al Hasyr: 2).

Hanya Allah yang tahu berapa banyak Islam dan kaum muslimin menjadi korban dikarenakan berbagai ijtihad yang mereka lakukan. Ribuan jiwa terbunuh, ratusan kehormatan telah dilanggar, banyak kota yang sudah berkembang menjadi rata dengan tanah, belum lagi yang terluka, berada dalam pengungsian, penjara dan hal ini merupakan realita yang tidak dapat dihitung.

Tidak ada yang senang akan ulah mereka melainkan dua golongan. Mereka yang bodoh dan hanya mengandalkan semangat, perasaanlah motor penggerak mereka, bukan akal mereka. Dan golongan yang lain adalah kaum kuffar yang senantiasa menanti berbagai kesempatan yang tepat untuk memperdaya islam dan kaum muslimin.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id

No comments:

Post a Comment