KONSEP ISLAM TENTANG HARTA

Konsep Islam Tentang HartaMuqaddimah
Dalam memandang dunia manusia terbagi kepada dua paham. Pertama ; Paham yang menolak dunia secara mutlak, yang menganggap dunia adalah sumber kejahatan yang dapat melalaikan, maka paham ini menolak dan menjauhi hal yang berbau keduniaan seperti, melahirkan keturunan, berpaling dari kesenangan dunia, makanan, minuman, pakaian, perhiasan dan kesenangan-kesenangan lainnya, seperti ajaran filsafat Brahma Hindu, Budha dan Cina kerahiban dalam Kristen dan lainnya. 

Kedua, paham yang menjadikan dunia sebagai tujuan akhir, sesuatu yang final dan dijadikan sebagai pujaan atau sesembahan. Dunia dijadikan Tuhan oleh paham ini, dan pengikut paham ini akan berbuat dan bekerja hanya untuk kepentingan dunia, paham seperti ini dianut oleh materialisme dan hedonisme. Atau paham semisal yaitu paham yang tidak mengenal kehidupan setelah mati dan menafikan kehidupan akhirat. Sedangkan Islam memandang harta dan kehidupan dunia, bersikap tengah-tengah dan seimbang, antara tafrith dan ifrath, yaitu menjadikan harta sebagai wasilah (media) untuk menggapai kehidupan akhirat. [QS. Al-Qashash[28]: 77)

Definisi Harta

    Harta dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang dianggap sebagai kekayaan, barang-barang yang dimiliki. Kamus Lisanul 'arab menyebutkan bahwa  harta (mâl) sudah dikenal yaitu apa-apa yang kamu punya dari segala sesuatu. Dalam al-Munjid, mâl jamaknya adalah amwâl yaitu apa-apa yang kamu miliki dari segala sesuatu, dan dikalangan badui termasuk pula binatang ternak seperti onta dan kambing. Harta berarti pula sesuatu yang digandrungi dan dicintai manusia. Al-muyûl yang artinya kecenderungan mempunyai akar kata yang sama dengan al-mâl, yaitu sesuatu yang hati manusia cenderung ingin memilikinya. Menurut Monzer Kahf harta adalah karunia Allah, oleh karena itu, harta harus digunakan untuk kepentingan dan pemenuhan kebutuhan manusia.

Hakikat Harta

      Harta pada hakekatnya adalah milik Allah Ta’ala, karena Allah-lah sebagai Zat Pemilik seluruh alam raya, adapun manusia hanya diberikan amanah untuk mengatur, memanfaatkan, dan menyalurkan sebaik-baiknya harta yang diamanahkan kepadanya. Allah Ta’ala telah memberikan wewenang-Nya kepada manusia untuk menguasai harta dengan cara-cara atau syari'at yang telah ditentukan-Nya. Islam telah mengatur dan menentukan bahwa substansi dan cara mendapatakan harta harus sesuai dengan ketentuan Allah Ta’ala sebagai Pemilik Hakiki harta. Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa apa-apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah Ta’ala dengan ungkapan lillâhi mâ fissamâwâti wa mâ fil ardhi, sebagaimana dalam QS. al-Baqarah [2]: 284, QS. an-Nisâ' [4]: 170.

Konsep Kepemilikan Harta

    Kepemilikan berdasarkan Islam adalah : 1. Kepemilikan tidaklah sebagai penguasaan mutlak, tetapi setiap orang, kelompok atau badan dituntut untuk mendayagunakan harta tersebut. 2. Kepemilikan terhadap harta atau kekayan terbatas selama orang tersebut masih hidup di dunia. 3. Sumber daya atau kekayaan yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi kebutuhan orang banyak arus menjadi milik umum, berdasarkan hadits Nabi SAW riwayat Ahmad dan Abu Daud : "Semua orang berserikat mengenai tiga hal, yaitu air (termasuk garam), rumput dan api". Sumber alam yang disebutkan nabi SAW tersebut dapat dikembangkan papa zaman sekarang menjadi minyak dan gas bumi, barang tambang dan kebutuhan pokok manusia lainnya.Kepemilikan harta dalam sistem Islam berdasarkan subyek pemiliknya terbagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardiyah) seperti : hasil kerja bekerja, warisan, hibah, hadiah. 2. Kepemilikan umum (al-milkiyah al-'âmmah) seperti : fasilitas umum, bahan tambang dan sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, dan 3. kepemilikan negara (al-milkiyah ad-dawlah) yaitu harta seluruh kaum muslimin, sementara pengelolaannya menjadi wewenang dan amanah negara, sehingga negara dapat memanfaatkannya untuk kepentingan rakyatnya.

Fungsi Harta

     Harta Sebagai Perhiasan ; Allah Ta’ala berfirman : "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternakdan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga"). (QS. Ali Imran [3] :14). Ayat tersebut menyebutkan bahwa harta adalah perhiasan hidup. Harta menjadi sesuatu yang disenangi untuk dimiliki, dipergunakan bahkan sekadar untuk dilhat. Dengan harta sesuatu menjadi mudah, dengan harta sesuatu menjadi indah. Kecenderungan terhadap harta menjadikan motivasi bekerja dengan keras untuk mendapatkan harta tersebut. Harta dan anak-anak tidak akan berarti apa-apa di akhirat bila tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk ibadah, karena yang akan kekal, bermanfaat dan membahagiakannya adalah al-bâqiyâtus shâlihât, yang mencakup ketaatan baik yang wajib maupun sunnah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, shadaqah, umrah, tasbih al-amru bil ma'ruf wan nahyu 'anil mungkar dan amalan-amalan lainnya. Al Maraghi menjelaskan bahwa al-mâl (harta) didahulukuan daripada al-banûn (anak-anak) karena harta bagi manusia lebih dirasa menjadikan mulya, dan lebih diperlukan.

Harta Sebagai Ujian dan Cobaan

Harta bukan hal yang jahat dan musibah yang membahayakan sebagaimana pendapat sebagian orang, dan harta tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai kemuliaan atau kehinaan seseorang. Harta hanyalah kenikmatan dari Allah Ta’ala sebagai ujian bagi hamba-Nya untuk melhat apakah dia menjadi kufur atau syukur. Hal ini dijelaskan oleh firman Allah Ta’ala : Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.... (QS. Ali-Imran [3]: 186). Sehingga harta tidak menjadikan hal yang melalaikan terhadap mengingat Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya : Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka itulah orang-orang yang merugi.  (QS. Al Munâfiqun/ [63] :9). Ibnu Katsir menafsirkan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin untuk banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala, dan melarang untuk disibukkan dengan harta dan anak, dan mengkhabarkan bahwa siapa saja yang dilalaikan dengan kenikmatan dunia dan perhiasannya dari ketaatan dan mengingat kepada-Nya, niscaya dirinya akan merugi pada hari kiamat. Dalam menafsirkan ayat QS. At-Taghabun [64]: 15):"sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)..". Ibnu Katsir menjelaskan bahwa maksud harta dan anak menjadi fitnah (cobaan) ialah untuk cobaan dan ujian dari Allah Ta’ala atas makhuknya, untuk mengetahui apakah ia bersyukur dengan harta dan anak itu, atau mereka menjadi durhaka dan bermaksiat kepada-Nya. Karena harta dapat  berperan untuk mementingkan diri sendiri dan ia menjadi bakhil, tidak mau mengeluarkan kepada yang berhak dari hartanya dan ia merasa berat untuk berinfaq atau berbagi kepada orang lain.

Harta Sebagai Media Ibadah dan Perjuangan

Fungsi harta dalam Islam adalah sebagai media ibadah dan perjuangan. Dengan harta yang dimiliki, seorang muslim akan melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang paling berharga, yaitu surga. Dengan hartanya itu seseorang muslim membeli surga dengan perniagaan yang Allah Ta’ala bimbingkan dalam firman-Nya :Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Ash-Shaf [61]: 10-11). Harta yang dimiliki seorang muslim harus dijadikan sebagai peluang ibadah kepada Allah Ta’ala, peluang untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat, menyejahterakan kehidupan bersama, dan peluang untuk meningkatkan da'wah Islamiyah dalam berbagai aspek kehidupan manusia.

Pertanggungjawaban Harta

Hartamempunyai pertanggungjawaban yang lebih, karena harta ditanya bagaimana cara mendapatkannyadan memanfaatkannyaatau membelanjakannya. Allâhu a'lam .

Abu Ukasyah Aunulah Al Hawwas

No comments:

Post a Comment