An Najaasah

I.                    Definisi

An Najaasah (Najis) bermakna:

النجاسة هي القذارة التي يجب على المسلم أن ينتزه عنها ويغسل ما أصابه منها.
                Najis adalah kotoran yang wajib dibersihkan atas seorang muslim dari dirinya, dan wajib  mencuci  apa saja yang terkena olehnya. (Fiqhus Sunnah, 1/23)
                Secara bahasa (etimologi) bermakna: “Kullu mustaqdzarin – setiap hal  yang kotor.”
                Secara istilah (terminologi) bermakna:
صِفَةٌ حُكْمِيَّةٌ تُوجِبُ لِمَوْصُوفِهَا مَنْعَ اسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ وَنَحْوِهَا
                Sifat hukum yang dengan keadaannya itu membuat terlarangnya kebolehan shalat dan semisalnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 8/56)

II.                  Macam-macam Najis
Jika kita lihat dalam berbagai kitab fiqih, maka kita melihat ada dua model najis, yakni najis yang disepakati, dan najis yang diperselisiakan
  1. Najis yang disepakati
1.       Kotoran manusia dan air seninya
Tak beda pendapat tentang kenajisan kotoran manusia dan air seninya. Hal ini bersadarkan hadits:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اتَّقُوا اللَّاعِنَيْنِ قَالُوا وَمَا اللَّاعِنَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ ظِلِّهِمْ

“Takutlah kalian terhadap dua  hal yang dilaknat.” Mereka bertanya: “Apakah dua hal yang dilaknat itu?” Beliau bersabda: “Orang yang buang air besar di jalan manusia atau di tempat mereka berteduh.” (HR. Muslim No. 269, Abu Daud No. 25, Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 6473, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shughra No. 61, As Sunan Al Kubra No. 473)
Ini menunjukkan najisnya kotoran manusia, ancaman yang ada menunjukkan hal itu. Dalam hadits lain bahkan disebut sebagai suatu yang busuk.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
Janganlah shalat ketika makanan tersedia dan ketika menahan dua hal yang paling busuk. (HR. Muslim No. 560, Abu Daud No. 89, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3805, dalam As Sunan Ash Shughra No. 512, Ibnu Khuzaimah No. 933, Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 744, Abu Ya’la No. 4804)
Dua hal yang paling busuk maksudnya buang air besar (Al Ghaaith) dan buang air kecil (Al Baul), sebagaimana disebut dalam Shahih Ibnu Hibban No. 2073. Ini menunjukkan tinja manusia dan air kencingnya adalah najis.
Ada pun air kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan wajar, masih ASI ekslusif, maka diberikan keringan bagi air kencingnya itu. Dibersihkannya tidak dengan cara dicuci tetapi cukup  dipercikan, tetapi kencing bayi perempuan tetap dicuci.
Hal ini berdasarkan dari Ali bin Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي بَوْلِ الْغُلَامِ الرَّضِيعِ يُنْضَحُ بَوْلُ الْغُلَامِ وَيُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ
Bahsanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berketa tentang air kencing anak laki-laki yang masih menyusui: “Air kencing laki-laki dipercikan dan air kencing perempuan dicuci.” (HR. At Tirmidzi No. 610, katanya: hasan shahih. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Fathul Bari, 1/326)
Qatadah berkata:
وَهَذَا مَا لَمْ يَطْعَمَا فَإِذَا طَعِمَا غُسِلَا جَمِيعًا
 Ini untuk bayi yang belum makan makanan yang wajar, apabila bayi tersebut sudah makan maka dicuci semuanya. (Ibid)
2.       Madzi (Cairan yang keluar dari kemaluan ketika syahwat)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memberikan penjelasan:
وهو ماء أبيض لزج يخرج عند التفكير في الجماع أو عند الملاعبة، وقد لا يشعر الانسان بخروجه، ويكون من الرجل والمرأة إلا أنه من المرأة أكثر، وهو نجس باتفاق العلماء

Itu adalah air berwarna putih agak kental yang keluar ketika memikirkan jima’ atau ketika bercumbu, manusia tidak merasakan keluarnya,  terjadi pada laki-laki dan wanita hanya saja wanita lebih banyak keluarnya, dan termasuk najis berdasarkan kesepakatan ulama. (Fiqhus Sunnah, 1/26. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Dalilnya adalah riwayat dari Ali Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَأَمَرْتُ رَجُلًا أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَسَأَلَ فَقَالَ تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ
Saya adalah laki-laki yang mudah keluar madzi, maka saya minta seorang laki-laki untuk bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena kedudukan anak wanitanya, lalu dia bertanya, dan beliau berkata: “Wudhulah dan cuci kemaluanmu.” (HR. Bukhari No. 269)
Laki-laki tersebut adalah Al Miqdad bin Al Aswad, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Bukhari lainnya. (HR. Bukhari No. 132)
Ada pun maksud “karena kedudukan anak wanitanya”, adalah karena fatimah puteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai isterinya, maka sebagai menantu Beliau malu menanyakan langsung masalah ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Itulah sebabnya, Ali Radhiallahu ‘Anhu meminta orang lain untuk menanyakannya.
Oleh karena itu disebutkan dalam riwayat Imam Muslim:
كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
Saya adalah laki-laki yang mudah keluar madzi, saya malu bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena kedudukan puterinya, maka saya perintahkan Al Miqdad bin Al Aswad,  lalu dia bertanya kepadanya, lalu Beliau bersabda: “Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Muslim No. 303)
Apa yang nabi perintahkan, yaitu mencuci kemaluan (baca: cebok) menunjukkan bahwa madzi adalah najis. Ada pun perintah berwudhu menunjukkan bahwa madzi  adalah hadats kecil, jika hadats besar  tentu wajib mandi, bukan sekedar wudhu.
3.       Wadi (Cairan yang keluar dari kemaluan sesaat setelah kencing)
Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan:
وهو ماء أبيض ثخين يخرج بعد البول وهو نجس من غير خلاف
          Wadi adalah air purih kental yang keluar setelah kencing. Itu adalah najis tanpa perselisihan pendapat. (Fiqhus Sunnah, 1/26)
                ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:
الْمَنِيُّ مِنْهُ الْغُسْلُ ، وَالْمَذْيُ وَالْوَدْيُ يُتَوَضَّأُ مِنْهُمَا.
                Air mani wajib mandi karenanya, sedangkan madzi dan wadi adalah berwudhu karena keduanya. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 982)
                ‘Ikrimah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
الْمَنِيُّ وَالْوَدْيُ وَالْمَذْيُ ، فَأَمَّا الْمَنِيُّ فَفِيهِ الْغُسْلُ ، وَأَمَّا الْمَذْيُ وَالْوَدْيُ فَيَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ.
                Ada air mani, wadi, dan madzi. Air mani wajib mandi, ada pun madzi dan wadi, hendaknya mencuci kemaluannya dan berwudhu. (Ibid, No. 985)
                Keterangan ‘Aisyah dan ‘Ikrimah menunjukkan bahwa wadi adalah najis, tetapi bukan termasuk hadats besar, cukup dicuci dan berwudhu saja, bukan mandi besar.
4.       Muntah
Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan bahwa muntah (Al Qai’u) disepakati kenajisannya, tetapi jika sedikit dimaafkan. (Fiqhus Sunnah, 1/25)
Imam empat madzhab juga mengatakan najis, tetapi mereka merinci sebagai berikut:
-          Hanafiyah mengatakan muntah sebagai najis berat (mughallazhah), karena semua yang keluar dari badan manusia adalah wajib disucikan dan tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka. Mereka berdalil dari hadits: “Wahai Amr! Cucilah pakaian dari lima hal: tinja, air kencing, muntah, darah, dan mani.”[1]
-          Syafi’iyah mengatakan muntah adalah najis walaupun makanannya belum berubah,  karena makanan sudah masuk ke rongga perut. Walaupun muntah itu hanya air. Jika sudah masuk rongga perut  yang akan mengalami kerusakan, tetap najis sebagaimana tinja.
-          Hanabilah, menurut mereka muntah itu najis sebab makanan yang telah mengalami perubahan di rongga perut adalah sama dengan tinja. 
-          Malikiyah, menurut mereka najisnya muntah jika sudah mengalami perubuhan wujud dari makanan, jika tidak berubah maka suci. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/86-87)
Tetapi kenyataannya ada ulama yang menolak dikatakan bahwa muntah adalah najis.  Di antaranya adalah Imam Asy Syaukani. Dalil mereka adalah hukum asal segala sesuatu adalah suci, selama tidak ada dalil yang menyebutnya najis. Sedangkan hadits Amr yang diriwayatkan Imam Ad Daruquthni adalah lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. (Lihat As Sail Al Jarar, 1/43). Pendapat ini diikuti oleh Syaikh Al Qaradhawi hafizhahullah, dan Inilah pendapat yang kuat sebab sesuai dengan prinsip-prinsip syariat dan kaidahnya.
5.       Bangkai
Dalilnya adalah:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
                Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al An’am (6): 145)
                Pengertian   bangkai adalah hewan yang matinya tidak dengan cara disembelih. Disebutkan dalam Tafsir Al Muyassar:
حرَّم الله عليكم الميتة، وهي الحيوان الذي تفارقه الحياة بدون ذكاة
                Allah telah mengharamkan bangkai atas kalian,  yaitu hewan yang lenyap kehidupannya dengan tanpa disembelih. (Tafsir Al Muyassar, 2/177)
                Kata (fainnahu rijs – sesungguhnya itu adalah najis) kata “itu” bukan hanya kembali kepada daging babi, tetapi kepada semua hal yang disebutkan dalam ayat ini yakni bangkai, darah mengalir, dan daging babi, semua adalah najis.
                Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:
أي فإن ذلك كله خبيث تعافه الطباع السليمة، فالضمير راجع إلى الانواع الثلاثة، ويجوز الحرز بشعر الخنزير في أظهر قولي العلماء.
                Yaitu semua hal itu adalah menjijikan yang tidak disukai oleh tabiat yang sehat, dan dhamir (kata ganti) “itu” kembali kepada tiga hal itu. Di antara pendapat yang paling kuat dari para ulama, dibolehkan memanfaatkan bulu babi untuk benang jahit. (Fiqhus Sunnah, 1/25)

                Lalu, dalam ayat lain Allah Ta’ala merinci tentang hewan yang matinya tidak disembelih sesuai syariat Islam, yaitu:
وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأَزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْق
 (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.  (QS. Al Maidah (5): 3)
                Termasuk juga hewan yang mati karena sakit, seperti terjangkit virus atau sebab lainnya, dan hewan sakit itu matinya tanpa sempat disembelih, maka dia bangkai.
                Selain itu, hewan yang kehilangan anggota tubuhnya dan dia masih dalam keadaan hidup, maka anggota tubuh yang putus tersebut juga bangkai. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَمَا قُطِعَ مِنْهَا فَهُوَ مَيْتَةٌ
                Bagian apa saja yang terpotong dari hewan, dan hewan itu dalam keadaan hidup, maka bagian yang terpotong itu adalah bangkai. (HR. At Tirmidzi No. 1480, dari Abu Waqid. Ibnu Majah No. 3216, dari Ibnu Umar, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 78, dari Abu Waqid, juga No. 18703, Ad Daruquthni dalam Sunannya No. 83, dari Abu Waqid Al Laitsi, No. 84, dari Ibnu ‘Umar, Ad Darimi dalam Sunannya No. 2018, dari Abu Waqid Al Laitsi, Ibnu Al Ju’di dalam Musnadnya No. 2652, dari Abu Waqid,  Ibnu ‘Asakir dalam Mu’jamnya No. 1383, dari Abu Waqid, Abdurrazzaq dalam Mushannafnya No. 8611, dari Zaid bin Aslam, Ath Thabarani dalam Al Kabirnya No. 1277, dari Tamim Ad Dari, juga No. 3304, dari Abu Waqid)
                Hadits ini dihasankan oleh Imam At Tirmidzi. (Sunan At Tirmidzi No. 1480), Syaikh Salim Husein Asad mengatakan: isnadnya shahih sesuai syarat Al Bukhari. (Sunan Ad Darimi No. 2018, Cet. 1, 1407H. Darul Kutub Al ‘Arabi), juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani. (Shahihul Jami’ No. 5652)
Bangkai yang dikecualikan
                Ada beberapa bangkai yang dikecualikan dari keumuman ayat di atas. Bangkai-bangkai ini suci, bahkan sebagian boleh dimakan.
                Mereka terdiri atas:
  1. Bangkai Ikan dan Belalang
Allah Ta’ala berfirman:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu. (QS. Al Maidah (5): 96)
Shaidul Bahr - Buruan laut” maksudnya hewan laut yang ditangkap lewat memancing, memukat, atau menombaknya, dan ini berlaku untuk di danau, sungai, dan kolam, dan hewan tersebut dalam keadaan hidup.
“Tha’amuhu – makanan laut” para ahli tafsir menyebutkan hewan yang didapatkan sudah jadi bangkai, ada yang menyebut hewan yang sudah ditombak (qadzaf). (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/197)
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ ، فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ ، وَأَمَّا الدَّمَانِ ، فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
Dihalalkan buat kalian dua bangkai dan dua darah; ada pun dua bangkai itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa. (HR. Ibnu Majah No. 3314, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shaghir No. 3074, juga As Sunan Al Kubra No. 1128, 1129, 18776, 19481, katanya: isnad hadits ini shahih, Ahmad No. 5723, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. Asy Syafi’i dalam Musnadnya No. 1569, ‘Abdu bin Humaid dalam Musnadnya No. 820. Syaikh Al Albani menshahihkannya. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1118)
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bercerita:
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air, jika kami berwudhu maka kami akan kehausan, apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah menjawab: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. At Tirmidzi No. 69, katanya: hasan shahih, Abu Daud No. 83, Ibnu Majah No. 386, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 197, Ibnu Hibban No. 1243, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 58, Ahmad No. 7232, Ibnu Khuzaimah No. 111, 112)
Segenap ahli hadits menshahihkan hadits ini seperti Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 7232), Syaikh Mushthafa  Al A’zhami (Tahqiq Shahih Ibnu Khuzaimah No. 112), Syaikh Al Albani. (As Silsilah Ash Shahihah No. 480)
  1. Bangkai Manusia
Bangkai manusia dibagi menjadi dua: mayit muslim dan mayit non muslim.
Pertama, mayit muslim.
Mayit muslim adalah suci menurut ijma’, baik keadaan hidup dan matinya. Hal ini juga ditegaskan dalam hadits: Al Muslim Laa yanjus (seornag muslim tidaklah najis), kadang dengan lafaz:  Al Mu’min Laa yanjus (Orang beriman tidaklah najis). Semuanya diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, An Nasa’i, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Ad Daruquthni, Ath Thabarani, Al Baghawi, Ath Thahawi, dan lainnya.
Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata:
الْمُسْلِمُ لَا يَنْجُسُ حَيًّا وَلَا مَيِّتًا
Seorang muslim tidaklah najis baik hidup dan mayitnya. (Lihat Shahih Bukhari, Kitab Al Janaiz,  Bab Al Ghusl Al Mayyit wa Wudhu’ihi bil Ma’i was Sadri wal Hanath. Imam Al Bushiri menghukumi hadits ini sebagai marfu’ yaitu sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lihat Ittihaf Al Khairah, 4/1873)
Kedua, mayit non muslim.
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وَذَكَرَ الْبُخَارِيّ فِي صَحِيحه عَنْ اِبْن عَبَّاس تَعْلِيقًا : الْمُسْلِم لَا يَنْجُس حَيًّا وَلَا مَيِّتًا . هَذَا حُكْم الْمُسْلِم . وَأَمَّا الْكَافِر فَحُكْمه فِي الطَّهَارَة وَالنَّجَاسَة حُكْم الْمُسْلِم هَذَا مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْجَمَاهِير مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف . وَأَمَّا قَوْل اللَّه عَزَّ وَجَلَّ : { إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس } فَالْمُرَاد نَجَاسَة الِاعْتِقَاد وَالِاسْتِقْذَار ، وَلَيْسَ الْمُرَاد أَنَّ أَعْضَاءَهُمْ نَجِسَة كَنَجَاسَةِ الْبَوْل وَالْغَائِط وَنَحْوهمَا . فَإِذَا ثَبَتَتْ طَهَارَة الْآدَمِيّ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا ، فَعِرْقه وَلُعَابه وَدَمْعه طَاهِرَات سَوَاء كَانَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاء ، وَهَذَا كُلّه بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا قَدَّمْته فِي بَاب الْحَيْض
                “Imam Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya, dari Ibnu Abbas secara mu’alaq (tidak disebut sanadnya): Seorang muslim tidaklah najis baik hidup dan matinya. Ini adalah hukum untuk seorang muslim. Ada pun orang kafir maka hukumnya dalam masalah  suci dan najisnya adalah sama dengan hukum seorang muslim (yakni suci). Ini adalah madzhab kami dan mayoritas salaf dan khalaf. Ada pun ayat (Sesungguhnya orang musyrik itu najis) maka maksudnya adalah najisnya aqidah  yang kotor, bukan maksudnya anggota badannya najis seperti najisnya kencing,  kotorannya , dan semisalnya. Jika sudah pasti kesucian manusia baik dia muslim atau kafir, maka keringat, ludah, darah, semuanya suci, sama saja apakah dia sedang berhadats, atau junub, atau haid, atau nifas. Semua ini adalah ijma’ kaum muslimin sebagaimana yang telah lalu saya jelaskan dalam Bab Haid.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/87. Mawqi’ Ruh Al Islam) 
Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa mayit non muslim adalah sama dengan mayit muslim, yakni suci. Bahkan Imam An Nawawi mengklaim telah terjadi ijma’ kaum muslimin.
Namun, faktanya tidak  ijma’. Sebagian salaf dan ahli zhahir menyatakan bahwa kaum kafir adalah najis ketika hidupnya, tentu apalagi mayitnya.
 Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma  berpendapat bahwa sesuai zahir ayat: innamal musyrikun najasun – (sesungguhnya orang musyrik itu najis), maka tubuh orang musyrik itu najis sebagaimana najisnya babi dan anjing. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Al Hasan Al Bashri, katanya: “Barang siapa yang bersalaman dengan mereka maka hendaknya berwudhu.”  (Lihat Tafsir Ayat Al Ahkam, 1/282)
Ini juga menjadi pendapat kaum zhahiriyah. Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:
فالجمهور على أنه ليس بنجس البدن والذات؛ لأن الله تعالى أحل طعام أهل الكتاب، وذهب بعض الظاهرية إلى نجاسة أبدانهم.
Maka, menurut jumhur bukanlah najis badan dan zatnya, karena Allah Ta’ala menghalalkan makanan Ahli Kitab, dan sebagian Zhahiriyah menajiskan badan mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/131)
Namun yang shahih adalah pendapat jumhur bahwa mereka adalah suci, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ayat Al Ahkam berikut ini:
الترجيح : الصحيح رأي الجمهور لأن المسلم له أن يتعامل معهم ، وقد كان عليه السلام يشرب من أواني المشركين ، ويصافح غير المسلمين والله أعلم .
Tarjih: yang shahih adalah pendapat jumhur (mayoritas) karena seorang muslim berinteraksi dengan mereka, dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum dari wadah kaum musyrikin, dan bersalaman dengan  non muslim. Wallahu A’lam (Ibid)
Selesai.
6.       Darah mengalir
Dalilnya adalah:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا      ...
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir .. (QS. Al An’am (6): 145)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
سواء كان دما مسفوحا - أي مصبوبا - كالدم الذي يجري من المذبوح، أم دم حيض، إلا أنه يعفى عن اليسير منه
Sama saja, apakah darah mengalir –yaitu tertumpah – seperti darah yang mengalir dari hewan yang disembelih, atau darah haid, hanya saja itu dimaafkan jika mengalir sedikit. (Fiqhus Sunnah, 1/25)
Tentang najisnya darah haid, diisyaratkan oleh riwayat dari Asma binti Abu Bakar, katanya:
جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
Seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Salah satu di antara kami pakaiannya kena darah haid bagaimana yang mesti dilakukan?” Beliau bersabda: “Hendaknya dia mengeriknya, kemudian menggosok-gosoknya dengan air, kemudian mencucinya, lalu shalatlah dengan pakaian itu.” (HR. Bukhari No. 227, Muslim No. 291, dan ini adalah lafaznya Muslim)
Jawaban nabi menunjukkan bahwa darah haid adalah najis yang mesti dihilangkan dari pakaian jika terkena olehnya.

Darah yang dimaafkan

                Darah yang najis adalah yang mengalir (masfuuha) dan tumpah (mashbuuba), ada pun kebanyakan darah yang kita kenal adalah dimaafkan. Seperti darah bisul, darah nyamuk, darah yang masih menyisa pada leher bekas sembelihan, urat, daging, tulang, periuk, bahkan kaum muslimin tetap shalat dengan keadaan masih luka-luka. (HR. Bukhari). Nanah tidak masalah, karena yang disebut oleh Allah Ta’ala adalah darah. Imam Ibnu Taimiyah mengatakan tidak ada dalil tentang najisnya nanah, tetapi membersihkan kain yang terkena darah adalah wajib.  Tetapi, yang lebih utama adalah agar kita menjaga diri dari darah dan nanah. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/25)   

7.       Daging babi
Najisnya daging babi juga sudah disepakati para ulama, ada pun selain dagingnya seperti kulit dan bulunya, terjadi khilafiyah di antara mereka (Insya Allah akan dibahas pada bagiannya).
 Dalilnya adalah:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ    ...
                Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor  ... ". (QS. Al An’am (6): 145)
                Tertulis dalam Tafsir Al Muyassar:
قل -أيها الرسول- : إني لا أجد فيما أوحى الله إليَّ شيئًا محرمًا على من يأكله مما تذكرون أنه حُرِّم من الأنعام، إلا أن يكون قد مات بغير تذكية، أو يكون دمًا مراقًا، أو يكون لحم خنزير فإنه نجس
                Katakanlah –wahai Rasul: sungguh aku tidak temukan pada apa yang Allah wahyukan kepadaku  makanan yang diharamkan untuk dimakan, dari apa yang kalian sebutkan bahwa telah diharamkan hewan ternak, melainkan hewan yang matinya tidak disembelih, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena itu adalah najis. (Tafsir Al Muyassar, 2/440)
                Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah menjelaskan:
{ أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ } يعني نجساً حراماً
                (atau daging babi, karena itu adalah rijs/kotor) yakni najis lagi haram. (An Nukat wal ‘Uyun, 1/453)
                Namun Imam Asy Syaukani berbeda dengan kesepakatan ini, menurutnya daging babi adalah suci. Makna rijs bukanlah najis, tetapi haram. Tak ada hubungan antara haramnya sesuatu dengan kenajisannya. Sebab yang haram belum tentu najis, seperti menikahi ibu dan anak kandung sendiri adalah haram, tapi mereka bukan najis. (As Sailul Jarar, 1/38)
8.       Binatang Jalaalah
Binatang  jalaalah adalah hewan yang makan kotoran, yang akhirnya dnegan kotoran itu menjadi zat yang menyusun tubuhnya dan membuatnya bau.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:
والجلالة: هي التي تأكل العذرة، من الابل والبقر والغنم والدجاج والاوز وغيرها، حتى يتغير ريحها. فإن حبست بعيدة عن العذرة زمنا،عفلت طاهرا فطاب لحمها وذهب اسم الجلالة عنها حلت، لان علة النهي والتغيير، وقد زالت.
                Binatang jalaalah adalah binatang yang makan kotoran, baik itu unta, sapi, kambing, ayam, itik dan lainnya, sampai baunya berubah. Tetapi jika dia dikurung dan dipisahkan dari kotoran-kotoran itu pada jangka waktu yang tertentu dan kembali makan yang baik-baik, sehingga dagingnya menjadi baik, maka hilanglah nama jalalah, dan dia menjadi halal, karena ‘ilat (alasan) larangannya adalah karena adanya perubahan, dan sekarang perubahan itu sudah tidak ada. (Fiqhus Sunnah, 1/29)

                Dalilnya adalah Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma berkata:

نُهِيَ عَنْ رُكُوبِ الْجَلَّالَةِ
                Kami dilarang menunggangi binatang jalaalah. (HR. Abu Daud No. 2557, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 10110. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2557)

                Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, katanya:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ وَعَنْ الْجَلَّالَةِ عَنْ رُكُوبِهَا وَأَكْلِ لَحْمِهَا

                Pada perang Khaibar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memakan daging keledai peliharaan dan binatang jalaalah, baik menungganginya dan memakan dagingnya. (HR. Abu Daud No. 3811, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 19263, Al Hakim dalam Mustadrak ‘alash Shahihain No. 2498. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: sanadnya hasan. Lihat Fathul Bari,  9/648. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3811)  

                Dilarang memakannya karena dia haram, dilarang menungganginya karena dia najis.

 Namun, kalangan Syafi’iyah memakruhkan secara mutlak binatang jalaalah, jika dagingnya telah berubah lantaran memakan hal yang najis. (Fathul Bari, 9/649)

9.       Kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya

Hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya, maka kotorannya adalah najis.

Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berkata:

أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ هَذَا رِكْسٌ

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hendak buang air besar, dia memerintahkan saya untuk membawakan untuknya tiga buah batu, aku dapatkan dua buah batu dan masih mencari yang ketiga tapi tidak dapat. Maka saya ambil  kotoran yang sudah kering dan saya bawakan kepadanya. Beliau mengambil dua bua batu itu, dan membuang kotoran kering. Beliau berkata: “Ini adalah najis.” (HR. Bukhari No. 156)

Hewan yang termasuk ini adalah keledai, bighal, dan kuda. Kotoran dan kencing mereka adalah najis. Ada pun hewan yang dimakan dagingnya, maka tahi dan kencingnya adalah suci. Dalilnya adalah:

Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu bercerita:

قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا
“Orang-orang ‘Ukl dan ‘Urainah datang ke Madinah dan mengalami sakit perut, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk mencari unta perahan untuk diminum kencing dan susunya.” (HR. Bukhari No. 233)

Hadits ini menjadi dalil sucinya kencing unta dan hewan lain yang boleh dimakan dagingnya diqiyaskan dengan ini.

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menjelaskan:

وَبَوْلُ مَا أُكِلَ لَحْمُهُ وَرَوْثُهُ طَاهِرٌ، لَمْ يَذْهَبْ أَحَدٌ مِنْ الصَّحَابَةِ إلَى تَنَجُّسِهِ بَلْ الْقَوْلُ بِنَجَاسَتِهِ قَوْلٌ مُحْدَثٌ لَا سَلَفَ لَهُ مِنْ الصَّحَابَةِ
Kencing dan tahi hewan yang bisa dimakan dagingnya adalah suci, belum pernah ada seorang pun sahabat nabi yang berpendapat itu adalah najis, bahkan yang mengatakan najis adalah pendapat muhdats (mengada-ada) yang belum ada pendahulunya dari kalangan sahabat nabi. (Al Fatawa Al Kubra, 5/313. Cet. 1, 1987M-1408H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah memaparkan lima belas hujjah tentang sucinya kotoran hewan yang bisa dimakan dagingnya. (

Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan tentang hadits kaum ‘Ukl dan ‘Urainah:

وقد استدل بهذا الحديث من قال بطهارة بول ما يؤكل لحمه وهو مذهب العترة والنخعي والأوزاعي والزهري ومالك وأحمد ومحمد وزفر وطائفة من السلف ووافقهم من الشافعية ابن خزيمة وابن المنذر وابن حبان والاصطخري والروياني . أما في الإبل فبالنص وأما في غيرها مما يؤكل لحمه فبالقياس
 قال ابن المنذر ومن زعم أن هذا خاص بأولئك الأقوام فلم يصب إذ الخصائص لا تثبت إلا بدليل ويؤيد ذلك تقرير أهل العلم لمن يبيع أبعار الغنم في أسواقهم واستعمال أبوال الإبل في أدويتهم

Pihak yang menyatakan sucinya kencing hewan yang bisa dimakan dagingnya berdalil dengan hadits ini. Ini adalah pendapat dari Al ‘Itrah (ahlul bait), Nakha’i, Al Awza’i, Az Zuhri, Malik, Ahmad, Muhammad, Zufar, sekelompok kaum salaf, dan segolongan syafi’iyah menyepakati mereka seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban,  Al Ishthakhri, dan Ar Ruyani. Ada pun tentang unta ada nashnya, sedangkan  hewan lain yang dimakan dagingnya diqiyaskan dengan unta.

Ibnul Mundzir berkata: siapa yang menyangka bahwa ini hanya khusus bagi orang-orang itu (‘Ukl dan ‘Urainah) tidaklah benar, sebab kekhususan tidaklah pasti kecuali dengan adanya dalil. Apalagi hal ini didukung oleh pembiaran para ulama kepada orang yang menjual kotoran kambing di pasar-pasar, dan menggunakan kencing unta sebagai obat mereka.  (Nailul Authar, 1/59. Idarah Ath Thiba’ah Al Muniriyah)

Imam Asy Syaukani Rahimahullah juga menjelaskan:

والظاهر طهارة الأبوال والأزبال من كل حيوان يؤكل لحمه تمسكا بالأصل واستصحابا للبراءة الأصلية والنجاسة حكم شرعي ناقل عن الحكم الذي يقتضيه الأصل والبراءة فلا يقبل قول مدعيها إلا بدليل يصلح للنقل عنهما ولم نجد للقائلين بالنجاسة دليل
Yang benar adalah sucinya kencing dan sisa makanan dari setiap hewan yang dimakann dagingnya, berpegang pada kaidah dasar Bara’atul Ashliyah (kembali ke hukum dasar).  Najis adalah hukum syar’i, yang diambil dari hukum yang ditetapkan oleh hukum asal dan bara’atul ashliyah. Maka, tidak dapat diterima ucapan pihak yang mengklaim kenajisannya, kecuali dengan dalil yang merubah keduanya (hukum asal dan bara’ah), namun saya belum menemukan dalil bagi pihak yang menyatakan najis. (Nailul Authar, 1/59)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah juga menjelaskan:

فدل ذلك على طهارة الأبوال والأرواث مما هو مأكول اللحم، ومما يدل على طهارته أن النبي صلى الله عليه وسلم أذن للعرنيين أن يشربوا من أبوال الإبل للاستشفاء، ولو كان بولها نجساً لما أذن لهم النبي صلى الله عليه وسلم؛ لأنه نهى عن التداوي بالحرام، فدل هذا على أن روث وبول ما يؤكل لحمه طاهر وليس بنجس.

Hadits ini menunjukkan bahwa sucinya kencing dan kotoran hewan yang bisa dimakan, di antara yang menunjukkan kesuciannya adalah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan kaum ‘Uraniyin meminum kencing unta untuk berobat, seandainya kencingnya najis kenapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan mereka, sebab Beliau melarang berobat dengan yang haram. Kisah ini menunjukkan bahwa kencing dan tahi hewan yang bisa dimakan dagingnya adalah suci dan bukan najis. (Syarh Sunan Abi Daud, 10/20)

Sedangkan Al Hafizh Ibnu Hajar termasuk yang menyatakan najis. Beliau mengomentari pendapat Imam Ibnul Mundzir - yang mengatakan pembiaran para ulama sejak dulu dan sekarang atas penjualan kotoran kambing dan kencing unta di pasar-pasar untuk obat sebagai dalil penguatan atas kesuciannya- sebagai pendapat yang lemah. Sebab, urusan yang masih diperselisihkan tidak wajib diingkari, maka pembiaran ulama   itu bukanlah menunjukkan kebolehannya apalagi menunjukkan kesuciannya. Menurutnya, seluruh kencing hewan adalah najis. Ini juga pendapat Imam Ibnul ‘Arabi. (rinciannya lihat Fathul Bari, 1/338)

Wallahu A’lam
 Oleh: Farid Nu’man Hasan
(bersambung ....)

No comments:

Post a Comment