Gadai, Mahalnya Amanah Di Tengah Umat

Pengantar Redaksi
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Amanah kian pudar di zaman sekarang. Utang piutang demikian sering terjadi, demikian sering pula ada pihak-pihak yang terzalimi. Banyak orang yang berutang lantas mangkir dari kewajibanmembayar. Amanah memang mudah diucapkan, namun sulit kala dipraktikkan.

Di zaman yang kejujuran dan sikap amanah menjadi barang mahal, banyak muamalah utang piutang yang menuntut adanya jaminan/agunan untuk memberikan rasa aman bagi pemberi utang (kreditor). Menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syariat sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari jaminan tersebut, itulah yang disebut gadai (ar-rahn).

Gadai sendiri pernah dipraktikkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Kepada seorang Yahudi, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menggadaikan baju perangnya demi membeli sedikit gandum. Tidak berarti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak dipercaya jika “sekadar” utang tanpa agunan. Namun, perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ini mengandung hikmah yang besar.

Tidak hanya sebagai dalil yang memberi keabsahan praktik gadai, namun menunjukkan itikad baik beliau sekaligus kesederhanaan seorang pemimpin umat. Kondisi prihatin dan serba kekurangan yang semestinya dicontoh oleh kita semua, terutama para pemimpin atau pejabat pemerintahan.

Sudah mafhum, tabiat manusia adalah suka menzalimi sesama. Oleh karena itu, Islam pun memagari setiap muamalah (transaksi) dengan aturan-aturan yang indah agar manusia melakukan muamalah secara benar, tidak memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Islam mensyariatkan ar-rahn untuk kemaslahatan bersama dan masyarakat secara luas.

Dengan gadai, orang yang menggadaikan/pemberi gadai (ar-rahin) tertutupi kebutuhannya tanpa harus kehilangan harta miliknya. Adapun pemberi utang/pemegang gadai (al-murtahin), selain mendapat ketenangan dan rasa aman atas haknya, dia juga mendapatkan keuntungan syar’i apabila memang ia niatkan untuk mencari pahala dari Allah Subhanahu wata’ala.

Adapun kemaslahatan yang dirasakan masyarakat, yaitu memperluas interaksi, saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di antara mereka, serta menjauhkan masyarakat dari praktik bunga yang tidak wajar, ijon, dan praktik riba lainnya.

Gadai, pada asalnya mengikuti (bersifat accessoir) akad (perjanjian) pokoknya berupa utang piutang. Ketika terjadi perjanjian utang piutang, barang/objek gadai (marhun) harus diserahterimakan oleh ar-rahin kepada al-murtahin sejak dilangsungkannya akad. Serah terima (qabdh) ini bahkan menjadi syarat mutlak (inbezitstelling) dari gadai. Dengan serah terima tersebut, agunan akan berada di bawah kekuasaan (secara fisik) al-murtahin.

Namun, agunan dalam syariat gadai adalah amanat, hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai. Murtahin dalam hal ini hanya mempunyai hak kebendaan, tidak boleh memanfaatkan atau menyalahgunakan barang gadai. Dengan kata lain, fungsi marhun adalah untuk menjaga kepercayaan setiap pihak, sehingga murtahin meyakini bahwa rahin beritikad baik untuk mengembalikan pinjamannya.

Penjualan objek gadai (baik dengan cara lelang maupun lainnya) hanyalah upaya terakhir yang dilakukan apabila ada rahin yang wanprestasi (hingga batas waktu yang telah ditetapkan rahin masih belum melunasi pinjamannya).

Alhasil, Islam sangat menjaga agar transaksi gadai benar-benar tidak merugikan salah satu pihak, dengan melarang bunga gadai, mencegah timbulnya biaya-biaya yang tidak disebutkan dalam akad awal, dan sebagainya. Akad gadai pun dilarang mengandung syarat fasid, seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas. Islam benar-benar menyeimbangkan hak dan kewajiban secara indah di tengah mahalnya sifat amanah di tengah umat.

والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

http://asysyariah.com/gadai-mahalnya-amanah-di-tengah-umat.html

Seputar Hukum Gadai

Definisi Gadai

Dalam bahasa Arab, gadai disebut rahn (رَهْن), yang secara bahasa berarti sesuatu yang tetap atau tertahan. Hal ini seperti dalam firman Allah Subhanahu wata’ala :
كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
Tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya.” (ath-Thur : 21)

Adapun dalam ilmu fikih, rahn adalah istilah bagi “pemberian harta sebagai jaminan atas suatu utang.” Barang atau harta yang dijadikan gadai juga disebut rahn. (Fathul Bari 5/140, al-Mughni 6/443)

Hikmah dan Tujuan Gadai

Tujuan gadai adalah untuk melunasi utang dengan nilainya apabila penanggungnya tidak dapat membayarnya. Adapun hikmah adanya gadai adalah menjaga harta kekayaan dan demi keamanan dari hilang (ditipu). Ini termasuk rahmat Allah Subhanahu wata’ala kepada para hamba-Nya, yang membimbing mereka kepada sesuatu yang mengandung kebaikan bagi mereka. (lihat al-Mughni 6/443 dan al-Mulakhasal-Fiqhi 2/53)

Hukum Gadai

Hukum gadai adalah jaiz atau boleh, berdasarkan al-Qur’an, al-Hadits, ijma’,  dan qiyas. Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)1. Akan tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa kalbunya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 283)

Adapun dalam al-Hadits, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
اشْتَرَى رَسُولُ اللهِ -صل الله عليه وسلم- مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
“Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tempo, lalu beliau menjadikan baju besinya sebagai gadainya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Adapun ijma’, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan bahwa kaum muslimin secara umum sepakat tentang bolehnya gadai. (al-Mughni, 6/444)

Adapun qiyas, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “… Karena gadai adalah sesuatu yang dibutuhkan, baik kebutuhan penggadai/murtahin maupun pegadai/rahin, maka qiyas dan pandangan yang benar menuntut adanya gadai.” (Mudzakkiratul Fiqh)

Dalam Safar Saja atau Boleh Saat Mukim?

Gadai diperbolehkan dalam keadaan mukim sebagaimana bolehnya dalam keadaan safar, walaupun konteks ayat tersebut di atas terkait dengan safar. Hal ini tidak lain karena gadai lebih dibutuhkan dalam keadaan safar karena biasanya saat semacam itu seseorang sulit mendapatkan saksi atau penulis sehingga membutuhkan jaminan berupa barang gadaian. Hal ini tidak berarti gadai tidak dibolehkan di saat mukim apabila mereka memang membutuhkannya.

Dalam Tafsir as-Sa’di disebutkan, “Karena tujuan gadai adalah untuk menjamin kepercayaan, hal itu diperbolehkan baik saat mukim maupun safar. Allah Subhanahu wata’ala hanya menyebutkan safar (dalam ayat) karena saat semacam itu biasanya dibutuhkan gadai disebabkan tidak adanya penulis (perjanjian). Ini semua bilamana pemilik hak tersebut menyukai untuk mencari kepercayaan atas hartanya. Namun, ketika pemilik harta merasa aman terhadap orang yang berutang dan menyukai untuk bertransaksi dengannya tanpa gadai, hendaknya yang punya tanggungan menunaikan utangnya secara utuh tanpa menzalimi atau mengurangi haknya. ‘Danbertakwalahkepada Allah, Rabb-Nya’ dalam hal menunaikan hak dan membalas orang yang telah berprasangka baik kepadanya dengan kebaikan pula.”

Perbuatan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam membeli gandum dari orang Yahudi dengan tempo lalu memberinya baju besi beliau sebagai gadai juga menunjukkan bolehnya gadai dalam keadaan mukim, karena saat itu beliau berada di Madinah.

Istilah-Istilah Terkait Gadai

Dalam proses pergadaian ada beberapa istilah yang harus kita ketahui terlebih dahulu, karena  istilah-istilah tersebut akan kerap terulang. Selain itu, istilah-istilah tersebut perlu dipahami dengan tepat agar kita dapat memahami masalah dengan benar. Di antara istilah-istilah tersebut adalah:

Menggadai : menerima barang sebagai tanggungan uang yang dipinjamkan kepada pemilik barang tersebut. Contoh, “Siapa yang menggadai sawahmu?” Dalam ungkapan bahasa Arab, irtahana (اِرْتَهَنَ)

Menggadaikan : menyerahkan barang sebagai tanggungan utang. Contoh, “Ia menggadaikan gelang dan kalung istrinya untuk berjudi.” Dalam ungkapan bahasa Arab, arhana (اَرْهَنَ)

Bergadai : meminjam uang dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan. Contoh, “Ia terpaksa bergadai untuk membayar kontrak rumahnya.” Dalam ungkapan bahasa Arab, rahana (رَهَنَ)

Pegadai : orang yang bergadai. Dalam ungkapan bahasa Arab, rahin (رَاهِنٌ)

Penggadai: orang yang menggadai. Contoh, “Para penggadai itu makin menjerat petani.” Dalam bahasa Arab, murtahin ( مُرْتَهِنٌ ). (lihat dan al-Mu’jamul Wasith)

(oleh : al Ustadz Qomar Suaidi, Lc.)
1. Yakni barang gadaian
http://asysyariah.com/seputar-hukum-gadai.html 

Persyaratan antara Rahin dan Murtahin


1. Syarat antara rahin dan murtahin dalam rahn, syarat sah dan syarat fasid

Persyaratan yang terjadi antara kedua belah pihak pada barang gadaian dibagi menjadi dua, syarat yang sahih (benar) dan syarat yang fasid (rusak/batal). 

Syarat sahih, misalnya, salah satunya memberikan syarat bahwa barang gadaian diamanatkan kepada seorang jujur yang dia tentukan, atau dua orang, atau sekelompok orang. 

Atau ia mempersyaratkan, nanti yang menjualnya adalah orang yang jujur tersebut di saat jatuh tempo dan rahin tidak dapat membayar. Kata Ibnu Qudamah, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang sahnya hal ini.” Atau, ia mensyaratkan bahwa yang menjualnya nanti adalah penggadai/ murtahin. Ini juga sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik, ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah. 

Sementara itu, asy-Syafi’i memandang tidak sah pada syarat yang terakhir ini. Yang rajih adalah pendapat pertama, dengan alasan bahwa selama boleh mewakilkan kepada selain murtahin, boleh pula mewakilkan kepada murtahin, sebagaimana penjualan barang-barang yang lain. 

Syarat fasid, globalnya adalah semisal syarat yang bertolak belakang dengan maksud rahn. Contohnya:
  • Agar barang gadaian tidak dijual ketika jatuh tempo dan tidak bisa bayar.
  • Agar utang tidak dilunasi dengan nilai dari barang itu.
  • Tidak boleh dijual saat dikhawatirkan rusak.
  • Barang dijual berapa pun harganya.
  • Tidak dijual selain dengan harga yang diridhai oleh rahin.
Ini semua adalah syarat-syarat yang rusak karena menghilangkan tujuan pelunasan.
  • Agar rahin punya hak khiyar (pilih).
  • Akad rahn tidak menetap padanya.
  • Rahn dibatasi waktu tertentu.
  • Sehari menjadi barang gadaian, sehari tidak.
  • Rahn/barang gadaian harus berada di tangan rahin.
  • Rahin/pegadai boleh memanfaatkannya.
  • Murtahin/penggadai memanfaatkannya.
  • Apabila rusak, ditanggung murtahin.
  • Apabila rusak, ditanggung oleh orang yang diamanati.
Ini semua adalah syarat yang rusak, karena di antaranya ada syarat yang bertentangan dengan maksud akad pergadaian atau tidak sejalan dengan akad pergadaian, serta tidak memerhatikan maslahat barang gadaian tersebut. 

Termasuk syarat yang rusak adalah apabila jatuh tempo dan rahin tidak mampu bayar, maka barang menjadi milik murtahin, dan telah dibahas sebelum ini. 

Apabila terjadi persyaratan yang fasid, apakah akad pergadaiannya batal?
Yang rajih adalah tidak batal, hanya syaratnya yang batal. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (lihat al-Mughni, 6/505—507, 510)

2. Sepakat untuk menyerahkan rahn kepada seseorang yang dipercaya atau lebih
 
Ini termasuk kesepakatan yang diperbolehkan. Orang tersebut menjadi wakil murtahin dalammengqabdh barang gadaian tersebut. Ini adalah pendapat Atha’, Thawus, Malik, asy-Syafi’i, dan yang lain. Apabila diamanatkan kepada dua orang, keduanya harus menjaga rahn sesuai dengan amanat. Ketika orang yang diamanati menyatakan ketidaksanggupan, harus diterima. (al-Mughni, 6/470—472) 

3. Sepakat untuk dijual olehnya saat tidak bisa bayar
 
Apabila kedua belah pihak juga sepakat bahwa orang yang diamanatilah yang menjual barang tersebut apabila telah jatuh tempo, ini adalah kesepakatan atau persyaratan yang sah menurut Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafi’i. Ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.

Apabila pegadai membatalkan amanat, hal ini juga sah menurut asy-Syafi’i. (lihat al-Mughni, 6/473)

4. Apabila sekelompok orang menggadaikan sebuah barang Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Apabila sekelompok orang bergadai dan menggadaikan barangnya kepada seseorang, atau (sebaliknya) seseorang bergadai dan menggadaikan barangnya pada sekelompok orang, siapa saja dari kelompok tersebut yang melunasi utangnya, lepaslah bagiannya dari barang gadaian tersebut. Adapun bagian teman-temannya tetap menjadi barang gadaian sesuai dengan nilainya. 

Demikian pula apabila satu orang yang bergadai tersebut melunasi utangnya kepada sebagian kelompok tersebut namun belum kepada yang lainnya, hak orang yang dilunasi atas barang gadaian tersebut berarti hilang. Dengan demikian, senilai itu pula hak kembali kepada pegadai, sedangkan yang lain masih tetap sebagai barang yang tergadai pada para penggadai tersebut.” (al-Muhalla, 8/107)

5. Apabila pegadai/rahin atau penggadai/murtahin meninggal dunia

Para fuqaha berpendapat bahwa akad pergadaian tidak terbatalkan dengan kematian salah satu dari kedua orang yang berakad setelah barang gadaian itu tetap statusnya sebagai barang gadaian.
Apabila pegadai meninggal dunia, ahli warisnya mewakilinya dan barang tersebut tetap di tangan murtahin atau ahli warisnya. Barang gadaian tidak lepas melainkan dengan dilunasinya utang atau dilepaskannya oleh penggadai/ murtahin, maka murtahin lebih berhak atas barang gadaian itu dan harganya apabila dijual selama masa hidup rahin atau setelah wafatnya. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyahal-Kuwaitiyyah, melalui program asy-Syamilah 7/32) 

Namun, tampaknya Ibnu Hazm menyelisihi mereka. Beliau mengatakan, “Apabila rahin atau murtahin meninggal dunia, akad pergadaian menjadi batal, dan barang gadaian tersebut wajib dikembalikan kepada rahin atau ahli  warisnya….” (al-Muhalla, 8/100)

6. Apabila terjadi perbedaan antara rahin dan murtahin

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah membuat bab dalam masalah ini dengan judul “Bab apabila rahin dan murtahin berselisih dan semacamnya, bukti-bukti adalah kewajiban pendakwa dan sumpah adalah kewajiban terdakwa yang mengingkari.” 

Maksudnya, apabila pendakwa memiliki bukti yang dapat diterima secara syar’i, hal itu menjadi patokan dalam menentukan hukum. Namun, apabila pendakwa tidak dapat mendatangkan bukti dan terdakwa ingin mengingkarinya, terdakwa cukup bersumpah. Lalu beliau menyebutkan hadits dari Ibnu Abi Mulaikah,
كَتَبْتُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَكَتَبَ إِلَيَّ أَنَّ النَّبِيَّ -صل الله عليه وسلم- قَضَى أَنَّ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
“Aku menulissuratkepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau menulis pula (jawabannya) kepadaku bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam memutuskan bahwa sumpah itu kewajiban orang yang tertuduh.”
Demikian pula hadits Abu Wail, bahwa Abdullah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَسْتَحِقُّ بِهَا مَالاً وَهْوَ فِيهَا فَاجِرٌ، لَقِيَ اللهَ وَهْوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَصْدِيقَ ذَلِكَ {إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلاً –فَقَرَأَ إِلَى– عَذَابٌ أَلِيمٌ{
Barangsiapa bersumpah dengan sebuah sumpah yang menjadikan dirinya berhak atas suatu harta padahal sumpahnya palsu, dia akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan Allah marah kepadanya. Lalu Allah menurunkan ayat yang membenarkannya (artinya), ‘Sesungguhnya orang -orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata kepada mereka, tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat, dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih’.” (Ali Imran: 77)

Kemudian, Asy’ats bin Qais keluar menemui kami lalu berkata, “(Abdullah) Abu Abdurrahman menyebutkan hadits apa kepada kalian?” Kami pun menyebutkannya. Beliau mengatakan,
صَدَقَ، لَفِيَّ وَاللهِ أُنْزِلَتْ، كَانَتْ بَيْنِي وَبَيْنَ رَجُلٍ خُصُومَةٌ فِي بِئْرٍ فَاخْتَصَمْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ -صل الله عليه وسلم-: فَقَالَ رَسُولُ اللهِ  -صل الله عليه وسلم-  شَاهِدُكَ أَوْ يَمِينُهُ قُلْتُ: إِنَّهُ إِذًا يَحْلِفُ وَلاَ يُبَالِي. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ-صل الله عليه وسلم- مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَسْتَحِقُّ بِهَا مَالاً  هُوَ فِيهَا فَاجِرٌ، لَقِيَ اللهَ وَهْوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ.  فَأَنْزَلَ اللهُ تَصْدِيقَ ذَلِكَ، ثُمَّ اقْتَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ: {إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلاً – إِلَى – وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ{
“Benar beliau. Dalam urusanku -demi Allah- ayat ini turun. Dahulu antara aku dan seseorang ada pertikaian dalam urusan sebuah sumur. Kami mengadukannya kepada Rasululah Shalallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau mengatakan,‘Saksimu atau sumpahnya.’ Aku menjawab,‘Kalau begitu, dia akan bersumpah dan tidak akan peduli.’ Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata,‘Barangsiapa bersumpah dengan sebuah sumpah yang menyebabkan dirinya berhak atas sebuah harta padahal sumpahnya palsu, ia akan berjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala  dalam keadaan Allah Subhanahu wata’ala marah kepadanya.’ Allah Subhanahu wata’ala lalu menurunkan ayat yang membenarkan hal itu.” Lalu beliau membacaayat ini (artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) diakhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata kepada mereka, tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat, dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (Ali Imran: 77) 

Maksud al-Bukhari rahimahullah adalah memahamkan hadits ini sesuai dengan keumumannya, menyelisihi pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan dalam hal pergadaian, yang diterima adalah pendapat murtahin selama (nilai utang yang diklaimnya) tidak melebihi nilai barang gadaian. Demikian kata Ibnu Hajar rahimahullah. (Fathul Bari, 5/145)

Dengan demikian, kaidah pemutusan perselisihan dalam hal ini secara garis besar sama dengan perselisihan dalam masalah lain. Untuk melihat pendapatpendapat para ulama secara lebih luas bisa dirujuk pada kitab al-Mughni (6/524). 

7. Apabila rahin tidak lagi diketahui orangnya atau tempat tinggalnya.

Abul Harits menukil dari al-Imam Ahmad rahimahullah tentang masalah barang gadaian yang ada dalam kekuasaannya selama bertahun-tahun. Ia telah putus asa untuk mengetahui para pemiliknya. Kata al-Imam Ahmad rahimahullah, “Ia menjualnya dan menyedekahkan sisanya.” Tampak dari riwayat ini bahwa penggadai mengambil haknya terlebih dahulu. (al-Mughni: 6/534-535)

Ada pula riwayat lain dari beliau yang dipahami bahwa murtahin tidak mengambil haknya. Adapun apabila dia membawa urusannya kepada hakim lalu hakim menjualnya dan memberikan haknya kepadanya, itu pun boleh. (al-Mughni, 6/535)

http://asysyariah.com/persyaratan-antara-rahin-dan-murtahin.html

Hukum-Hukum Barang Gadaian Selama Dalam Status Digadaikan

1. Biaya barang gadaian/rahin ditanggung oleh pegadai/rahin

Pembiayaan barang gadaian ditanggung oleh pegadai/rahin, mulai makannya, pakaiannya, tempat tinggal atau penyimpanannya, penjaganya, pengawetannya, hingga apa saja yang memerlukan pembiayaan. Ini adalah pendapat Malik dan asy-Syafi’i. Alasannya, pembiayaan tersebut adalah bagian dari nafkah terhadapnya, dan barang tersebut tetap berstatus sebagai miliknya. Dalam hal ini ada sebuah riwayat yang mursal (lemah),
لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
“Barang gadaian tidak boleh ditutup, miliknyalah keuntungannya dan atasnyalah kerugiannya.” (HR. ad-Daraquthni, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi. Lihat Irwa’ul Ghalil no. 1410)

Namun, banyak ulama yang sependapat dengan kandungan riwayat tersebut karena selaras dengan alasan bahwa barang itu masih menjadi miliknya, sebagaimana apabila berkembang tetap miliknya, ketika berkurang dan membutuhkan biaya pun menjadi tanggungannya. (al-Mughni 6/517, ManarusSabil 2/89, al-Mulakhash al-Fiqhi 2/55)

2. Apabila murtahin mengeluarkan biaya, bolehkah ia meminta ganti kepada rahin?

Apabila penggadai mengeluarkan biaya, ada dua kemungkinan:
a. Dengan niat sedekah, maka tidak ada hak meminta ganti tentunya.
b. Dengan niat meminta kembali, ini pun ada beberapa macam :
• Dalam keadaan mungkin untuk meminta izin lantas ia tidak memintanya, maka ia tidak boleh meminta ganti rugi karena ini adalah kesalahannya.
• Dalam keadaan mungkin untuk meminta izin dan ia memintanya, maka boleh meminta ganti rugi karena dia di sini ibarat wakil pemilik barang.
• Dalam keadaan tidak mungkin meminta izin karena halangan tertentu yang diterima secara syar’i, maka ia boleh meminta ganti rugi karena diamengeluarkan biaya demi menjaga haknya. Bahkan, ia telah berbuat baik kepadapegadai/rahin.(ManarusSabil, 2/89)

3. Murtahin memanfaatkan barang gadaian/rahn

Untuk menerangkan masalah ini, barang gadaian dibagi menjadi dua keadaan :

Pertama, yang tidak membutuhkan biaya, seperti rumah dan perhiasan. Barang jenis ini tidak boleh dimanfaatkan tanpa seizin pegadai/rahin. Bahkan, dengan izin pun tidak boleh dimanfaatkan apabila itu adalah barang gadaian dari sebuah utang, karena memanfaatkannya berarti telah mengambil sebuah manfaat dari utangnya. Sementara itu, kaidah menyebutkan, “Setiap utang yang membawa kepada pengambilan manfaat, maka itu adalah riba.”

Kedua, yang membutuhkan biaya, maka sama dengan sebelumnya. Lain halnya apabila dalam bentuk hewan yang menghasilkan susu dan hewan yang dapat ditunggangi. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Sebagian ulama membolehkan pengambilan manfaat dari susu dan punggungnya walaupun tanpa seizing pegadai/rahin, selama dia mengeluarkan biaya makan hewan tersebut, maka ia dapat memanfaatkan seukuran biayanya. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian dapat ditunggangi dengan member biayanya apabila dalam keadaan tergadai, dan susu juga dapat diminum dengan nafkahnya apabila dalam keadaan tergadai, dan kewajiban yang menaiki dan meminumnya untuk memberi nafkah.” (Shahih, HR. al-Bukhari).

Ini adalah pendapat Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah.

Pendapat lain, tidak boleh memanfaatkan barang gadaian tersebut sama sekali. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafi’i rahimahumullah.

Pendapat pertama lebih kuat, sesuai dengan teks hadits. Masalah lain, barang gadaian selain yang dapat diambil susunya atau ditunggangi.

Barang seperti ini bisa dibagi menjadi dua: (1) hewan atau budak; (2), rumah dan semisalnya. Adapun hewan, budak, dan sejenisnya, tidak boleh dimanfaatkan menurut pendapat yang rajih. Abu Bakr al-Atsram mengatakan, “Yang diamalkan adalah tidak boleh memanfaatkan barang gadaian sedikit pun selain yang dikhususkan oleh syariat. Sebab, qiyasnya menuntut, tidak boleh memanfaatkan sedikit pun darinya. Adapun kami membolehkan pemanfaatan hanya pada yang diperah dan dinaiki karena adanya hadits.”

Pendapat lain membolehkan jika pemilik/rahin tidak mau menafkahi. Namun, pendapat ini lemah. Adapun rumah yang butuh pembiayaan, misalnya rumah yang rusak, murtahin tidak boleh memanfaatkannya walaupun telah memperbaikinya. Sebab, pemiliknya saja tidak punya kewajiban memperbaiki, sehingga apabila murtahin memperbaikinya, itu dianggap sedekah.

Catatan: Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, apabila murtahin memanfaatkan rahn dengan memakainya, menungganginya (selain cara yang dibolehkan), mengenakan baju gadaian, menyusukan anak kepadanya (apabila seorang budak wanita), memanfaatkan hasil lainnya, menempatinya, atau selainnya, hal itu dihitung sebagai pengurang piutangnya seukuran itu. Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa utang pegadai/rahin dianggap terbayar seukuran dengan nilainya, karena manfaat dari barang gadai tersebut adalah milik pegadai…. (lihat al-Mughni, 6/509—513)

4. Rahin memanfaatkan barang gadaian/rahn

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh bagi pegadai memanfaatkan barang gadaiannya… dan tidak boleh bertransaksi atasnya, baik menyewakan, meminjamkan, atau selain keduanya tanpa keridhaan murtahin. Ini adalah pendapat ats-Tsauri. Adapun menjaga dan memperbaikinya, ini adalah keharusan bagi rahin.”(al-Mughni, 6/516—517)

Akan tetapi, apabila pegadai/ rahin diberi izin oleh murtahin untuk memanfaatkannya, hal ini diperbolehkan. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm. Dasarnya adalah keumuman hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam,

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian ditunggangi dengan nafkahnya apabila digadaikan, dan susu hewan yang mengeluarkan susu dapat diminum dengan nafkahnya apabila digadaikan, dan kewajiban yang menunggangi dan meminum adalah member nafkah.” (Shahih, HR. al- Bukhari dan yang lain)

Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa barang siapa menggadaikan hewan yang dapat diperah dan ditunggangi, ia tidak dihalangi untuk memerah susunya dan menungganginya. Namun, tentu pemanfaatan tersebut selama tidak bermudarat terhadap barang gadaian. (Abhats Hai’ah Kibar Ulama, Bab “ar-Rahn”)

5. Hasil dari rahn

Globalnya, seluruh perkembangan dan hasil dari rahn menjadi barang gadaian di tangan pemegang barang gadaian tersebut, seperti pokoknya. Apabila dibutuhkan untuk dijual maka dijual bersama pokoknya, baik hasil yang berkembang itu tersambung dengan pokoknya -seperti kegemukan atau kepintaran-maupun yang terpisah- seperti penghasilan keterampilan, upah, anak, buah, susu, wol, dan bulu. Pendapat semacam ini yang diambil oleh an-Nakha’i dan asy-Sya’bi. Alasannya, hukum gadai telah tetap pada barang tersebut dengan akad dari pemilik sehingga termasuk di dalamnya perkembangan dan manfaat yang dihasilkannya, sebagaimana kepemilikan dalam hal pembelian dan perkembangan itu adalah perkembangan dari barang gadaian tersebut. (al-Mughni, 6/513)

Masih ada pendapat lain selain pendapat di atas, namun inilah yang rajih.

6. Apabila rahn rusak atau mati

Apabila terjadi kerusakan pada sebagian barang gadaian, yang masih tersisa tetap menjadi barang gadaian sebagai jaminan atas seluruh utangnya. Namun, kerusakan selama dalam pegangan penggadai/murtahin, siapakah yang menanggungnya? Ada dua kemungkinan.

a. Kerusakan tersebut karena kesengajaan penggadai atau kelalaiannya, maka dia yang menanggungnya. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Apabila murtahin melakukan perusakan pada barang gadaian atau menyepelekan penjagaan barang gadaian yang berada dalam pemeliharaannya, dia harus menanggung ganti rugi. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal wajibnya ditanggung penggadai. Sebab, ini adalah amanat yang ada di tangannya. Ia juga wajib menggantinya apabila rusak karena kesengajaan atau kelalaiannya, layaknya sebuah barang titipan (wadi’ah).”

b. Apabila rusak tanpa kesengajaan atau kelalaiannya, ia tidak wajib mengganti. Kerusakan ini jika terjadi pada harta pegadai/rahin. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, dan dipegangi oleh Atha’, az-Zuhri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir. (al-Mughni, 6/522)

http://asysyariah.com/hukum-hukum-barang-gadaian-selama-dalam-status-digadaikan.html

No comments:

Post a Comment