Metode dan karakteristik Dakwah Islam

Metode da’wah Islam haruslah bersumber dari Al-Quran dan sejarah para anbiya (para nabi). Bagi yang menerima da’wah dan siap mengemban amanah untuk menyampaikan risalah, maka pertama yang dituntut darinya adalah mau menerima ajaran Islam secara kaffah, dan mensibghah dirinya dan segala urusan kehidupannya dengan Islam, menampakkan prilaku dengan tingkah laku islami sebagai tanda keikhlasan dan tajarrud (lepas diri dari selain Islam) mereka, melepas diri dari ideologi dan ajaran yang menyimpang, dan mensucikannya dari segala sesuatu yang bertolak belakang dengan keimanan mereka.

Dengan demikian akan terbentuk pribadi yang bertaqwa, jiwa yang tangguh dan akhlak yang mulia, biografi mereka akan selalu bersih dan siap menerima dan menghadapi segala macam cobaan dan ujian.

Walaupun diantara tabiat da’wah ini, perjalanan seorang da’iyah tidak selalu berjalan dengan mulus dan bebas dari duri-duri namun akan selalu berhadapan dengan rintangan dan cobaan yang sengaja ditebarkan oleh musuh-musuhnya, untuk membuat sang da’iyah merasa gelisah, atau kadang kala orangtuanya, saudaranya, kerabatnya, sahabatnya, anak-anak dan istrinya bisa menjadi musuh bagi dirinya, sehingga dapat menghambat perjalanan da’wahnya. Sehingga kehidupan yang dahulunya indah dan terasa nyaman akan berubah menjadi kehidupan yang penuh onak dan duri.

Inilah marhalah pertama yang menggerakkan para salaf –atas izin Allah- dalam mentarbiyah para afrad (generasi) yang di idamkan da’wah, yang memiliki sifat mulia, takwa dan ikhlas, pribadi yang kokoh dan suci, bagi mereka yang tidak kuat dan gagal dalam marhalah ini, dipersilahkan untuk menjauh dari da’wah ini. Sedangkan bagi siapa diberikan hidayah dan petunjuk dari Allah dan berhasil melewati ujian ini, maka mereka akan mendapatkan julukan –paling tidak- dalam diri mereka; generasi ideal yang mukhlis, bersih , sabar, teguh dan memiliki citra yang harum serta berani menegakkan kebenaran atas kebatilan. Dan jika tidak memiliki sifat-sifat yang tersebut diatas, maka akan sulit untuk mampu mengemban amanat yang begitu berat dan besar ini, berhadapan dengan ujian dan cobaan yang akan selalu menghadang para aktivis. Dan tentunya kita akan selalu tsiqah kepada mereka dan akan selalu memberikan support (motivasi) melalui sirah, dan membentuk karakter yang baik dalam diri mereka sehingga mampu melewati marhalah pertama.

Dan setelah itu, melatih mereka pada marhalah kedua dengan menempanya dengan beberapa ujian, cobaan dan rintangan yang belum mereka temui pada marhalah pertama.
Ujian dan cobaan pada marhalah ini bertujuan menggembleng mereka menjadi pribadi yang tangguh dan memiliki jiwa yang jeli dan sigap serta mampu membedakan antara yang baik dan buruk dengan nalurinya sendiri, walaupun pada dasarnya manusia mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Namun pada marhalah ini, naluri tersebut akan lebih di tingkatkan.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa jalan yang dipilih para aktivis Islam dalam mencari unsur-unsur kebaikan dan ketegaran, akan selalu menghantarkan mereka pada derajat ketaqwaan, walaupun –menurut ahli sufi- belum mencapai pada tingkat kesempurnaan, tapi setidaknya sudah menjadi bekal hidup dalam berda’wah, sehingga siap dalam mengemban amanat yang begitu berat dan melelahkan.

Perkara kedua yang urgen untuk dilakukan oleh para aktivis dakwah -setelah menerima da’wah ini- adalah memahami secara komperenship kebenaran yang telah Allah anugrahkan kepada mereka dan cahaya Ilahi yang telah menyinari diri mereka, dengan menjalin tali persaudaraan/ukhuwah; baik yang memiliki tali persaudaraan, kekerabatan, pertemanan, tetangga atau hanya dalam hubungan jual-beli di sekitar mereka, dengan selalu menyerukan kepada mereka untuk berada dalam naungan yang indah yaitu Islam.

Seorang da’iyah yang baik adalah yang selalu mengutamakan kehidupannya untuk da’wah sebelum yang lainnya. Karenanya dalam mengemban amanah ini, seorang da’iyah akan sealu diintai oleh sosok mata-mata dari berbagai penjuru, arah dan sisi, jika dalam sisi kehidupannya ditemui suatu kesalahan atau kelalaian maka musuh-musuh Islam akan segera menyebarkannya yang bertujuan menafikan keabsahan da’wah dan aqidahnya, dan tentunya masalahnya akan diperbesar hingga memaksa seorang da’iyah melepas dan menanggalkan da’wahnya dan aqidahnya.

Dari sini patutlah disadari, bahwa seorang da’iyah ketika yakin terhadap da’wah yang diemban secara ikhlas dan jujur, selamanya tidak akan merasa gentar dan merasa sempit hatinya terhadap terpaan cobaan dan rintangan yang menimpanya, terhadap kritikan yang selalu dilontarkan oleh musuh-musuhnya, namun juga tidak berusaha menutup-nutupi kesalahannya jika dijumpai ada kesalahan dan kealpaan dalam aktivitasnya, namun justru berusaha mengambil ibrah dari apa yang telah di sampaikan oleh para pengkritik tanpa melakukan konfrontasi dan perlawanan, walaupun dalam hati sekalipun.

Kemudian dalam mengemban amanah da’wah ini, kami berusaha membina anggota yang memiliki beragam karakter dan sifat, sehingga tidak hanya membutuhkan sekali pengarahan, namun membutuhkan beberapa kali, dan membutuhkan keseriusan dan ketabahan. Seorang aktivis harus menyadari bahwa dalam medan da’wah mereka akan selalu diiringi dengan situasi dan kondisi yang sangat keras, yang kadang -jika tidak memiliki kesabaran dan ketabahan- akan melemahkan ketegaran hatinya dan menjatuhkan himmahnya (semangat kegigihannya).

Namun, jika memiliki keteguhan dan ketegaran hati yang mantap, maka berbagai cibiran, cacian, cercaan yang dilontarkan, bahkan siksaan dan intimidasi tidak bisa melunturkan jihadnya, karena sebagian manusia akan terus berusaha menentang mereka dengan berbagai cara; baik dengan melontarkan cacian, cercaan, melepas panah beracun (fitnah) dengan mengobarkan debu-debu fitnah dan tuduhan menghinakan, membentuk kekuatan tandingan untuk bisa dengan leluasa menyebarkan tipu muslihat dan menyimpangkan kebenaran. Bahkan -jika bisa- dengan mengusir mereka dari tempat tinggal, mengharamkan hak warisan dari keluarganya sendiri, baik dari bapak atau ibu, memutus tali persaudaraan dan hubungan kerabat, hingga para da’iyah merasa dunia ini menjadi sempit baginya padahal bumi ini sangatlah luas, serta dengan mengaburkan kebenaran da’wah yang dibawanya. Kesemua itu merupakan contoh konkrit yang akan mengiringi kehidupan para da’iyah, jika bukan karena azimah (kemauan keras) dalam hati seorang da’iyah dan tidak disertai obsesi yang kuat, maka dia akan mudah tergelincir dari jalan kebenaran dan terjerumus pada lembah kebatilan, menghilangkan kestabilan dan keseimbangan naluri berfikirnya. Namun dengan keyakinan yang dimiliki dan keteguhan yang ada dalam hatinya, seorang da’iyah akan terus berjuang dan tetap tegar dengan manhaj yang diyakininya melalui hujjah yang nyata, hikmah dan tadabbur (teliti), berbuat benar, ikhlas dan amanah, serta berusaha semampunya memperbaiki lingkungan secara berkesinambungan. Sehingga terbentuk dari mereka pribadi yang memiliki sifat yang terpuji, karakter yang mulia, yang sangat dibutuhkan dalam mengemban amanah ini pada masa yang akan datang.

Disini kami telah berusaha mengerahkan tenaga dan fikiran kami, guna mengarahkan para anggota dan aktivis agar mampu dan siap berjuang bersama kami dan menyambut seruan Allah SWT dalam kitab-Nya yang mulia :

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Yaitu dengan memberikan penjelasan kepada mereka -sebelum orang lain- akan prinsip-prinsip dasar agama Islam, kemudian menyeru untuk mengaplikasikan tuntutan da’wah ini sedikit demi sedikit, dan berusaha mengcounter mereka agar tidak menyentuh perkara yang batil sehingga menjerumuskan mereka pada kema’siatan, tidak mendahulukan perkara yang furu’ dari yang pokok, hukum-hukum yang parsial dari yang sifatnya kulli dan kaidah-kaidah yang global. Tidak ragu dalam membasmi kemungkaran, tidak menganggap kelalaian dan penyimpangan mereka dengan sikap sinis, apalagi merasa rendah diri dan acuh, namun berusaha memberikan solusi yang terbaik, karena seorang da’iyah layaknya seorang dokter yang sedang mengobati pasiennya, yang bisa memberikan motivasi untuk bisa sembuh dari penyakit dan masih ada harapan untuk hidup walaupun seorang dokter mengetahui dan menyadari bahwa sakitnya tidak bisa disembuhkan lagi.

Seorang da’i berusaha melatih diri untuk bersikap bijak terhadap orang yang menuduh mereka dan berusaha mengambil simpati dengan memahami karakteristik mereka. Membentengi diri dengan kesabaran terhadap cacian, celaan, hinaan dan kezhaliman yang dilancarkan atasnya, menjauhkan diri dari bantahan dan perdebatan orang-orang bodoh, selalu melebarkan sayap da’wahnya dan meluangkan waktu untuk memperbaiki mereka, dengan cara menyampaikan da’wah kepada mereka yang mengidamkan petunjuk dan kebenaran walau dalam segi materi keadaan mereka sangat miskin dan tidak memiliki wibawa, yang biasanya tidak terlintas dalam fikiran mereka untuk menolak dan bersikap sombong serta acuh kecuali keikhlasan dan kesucian jiwa untuk menerima da’wah ini, siap mengemban amanah semampu mereka walaupun siksaan, cobaan dan intimidasi akan selalu mengiringi mereka. Berusaha memperbaiki niat dalam geraknya, bahwa yang dilakukan merupakan kewajiban dan harus dijalankan dengan niat karena Allah SWT dan berjalan diatas syariat-Nya. Meyakini akan ganjaran Allah, baik ganjaran yang sifatnya zhahir (tampak) atau tersembunyi, ganjaran yang ada di dunia ataupun yang akan datang (di akhirat), sehingga memotivasi dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam beramal, yang diiringi dengan kesabaran dan berkesinambungan, yang pada akhirnya akan menghasilkan seorang da’iyah yang tangguh dan tegar.

Maka dari itu, terbentuknya jiwa seorang da’iyah –dari satu sisi- adalah dengan memiliki ketegaran iman, kejelian hujjah, kesungguhan, kharisma, kewibawaan, kemuliaan akhlak, dan bijaksana dalam menghadapi berbagai permasalahan, yang mana semua itu merupakan kebutuhan pokok yang harus dimiliki seorang da’i dalam meniti fase-fase da’wah pada masa mendatang. Dan -pada sisi lain-, bahwa da’wah walaupun tampak pertumbuhannya lamban namun memiliki tujuan yang sangat suci dan kongkrit; menjadikan kejumudan lingkungan sebagai ladang da’wah dan meningkatkan taraf hidup dan wawasan mereka, sehingga dengannya akan tampak keceriaan hidup masyarakat dalam menjalankan roda kehidupan mereka di dunia, dan -sekaligus- melahirkan jundi-jundi yang handal –walaupun sedikit-, mukhlis dan sabar serta memiliki kharisma di tengah masyarakatnya. Kesemua itu tentunya membutuhkan kesabaran dan jalan yang sangat panjang serta waktu yang lama.

Bagian terpenting lainnya dari manhaj da’wah kami adalah haram bagi kami memback up sistem kebatilan dan pemerintahan yang zhalim, mengabsahkan undang-undang yang mereka buat demi meraih harta yang sedikit, atau karena ingin menyelamatkan jiwa, harta dan keluarga, karena kami telah mengikrarkan diri; bahwa kami tidak akan rela membantu nizham (rezim) kebatilan demi menyelamatkan jiwa, harta dan kehormatan belaka dari murka Allah SWT.

Walaupun hal ini kami tidak mewajibkan kepada anggota kami kecuali telah meletakkan pilar-pilarnya yang untuk selanjutnya mereka bebas memilih, apakah mereka mau meninggikan dan memuliakan pilar ini atau melecehkan dan merendahkannya, sehingga kemudian manuai kekalahan dan kehinaan di hadapan para penguasa zhalim. Maka dari itu kami membuat batasan terendah, bahwa kami tidak akan menerima anggota yang memiliki sifat plin-plan dan tidak memiliki komitmen yang baik terhadap ajaran Islam dan suka menggunakan agama sebagai sarana mencari kesenangan sesaat dengan menjual ayat-ayat Allah dengan harta yang hina dan sedikit. Karenanya seseorang yang memiliki sifat demikian berarti ia telah melakukan kesaksian palsu atau melakukan pelanggaran yang tidak memiliki dasar sama sekali kecuali hanya mencari kesenangan sesaat dan kepentingan pribadi, atau mencari fanatisme kelompok, golongan dan keluarga.

Bagi mereka yang memandang permasalahan pada sisi permukaannya saja, dan mencermati gerak-gerik kami dengan mencari kesalahan untuk dijadikan bahan mengklaim kami sebagai gerakan/sempalan ektrimis, militan atau fundamentalis kepada kami.

Dalam menanggapi permasalahan ini ada bebarapa faedah yang dapat kita petik :

1. Bahwa dengan keteguhan hati, kami dapat memperlihatkan bahwa kami adalah jamaah yang berdiri diatas prinsip, dan kami tidak mencari kehidupan kecuali dengannya. Saat kami mengatakan bahwa tidak ada syariat yang mengatur kehidupan manusia kecuali syariat Allah, saat kami berpendapat bahwa tidak ada hakim (penguasa) yang sah kecuali Allah SWT, dan tidak ada yang berhak membuat hukum di muka bumi ini sehingga patut disembah dan ditaati akan undang-undangnya kecuali Dia, serta berkeyakinan bahwa setiap undang-undang yang dibuat oleh manusia tanpa bersandar pada undang-undang yang diturunkan Allah dan sesuai dengannya, maka undang-undang tersebut adalah bathil, kufur dan zhalim, dan kami tidak akan mengakui undang-undang yang tidak berlandaskan syariat Allah dan kami tidak akan membiarkannya menyebar ke tengah masyarakat. Kami akan beruasaha untuk merealisasikan keyakinan kami dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan akidah kami hingga darah penghabisan, walaupun rintangan, ancaman, intimidasi bahkan siksaan akan menyertai kami. Karena yang demikian merupakan konsekwensi logis yang harus kami hadapi sebagai perwujudan akan ketulusan hati, kemantapan jiwa, ketegaran akhlak, dan kesesuaian amal terhadap akidah kami. Namun, bagi siapa berambisi ingin meraih manfaat yang sesaat, atau takut menghadapi ancaman yang akan menimpa harta dan jiwa, sehingga mendorong untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan akidah, maka hal tersebut merupakan dalil yang sangat nyata akan inkonsistensi azimah dan ketidak tegaran jalan hidup.

2. Kami dapat mengetahui kemurnian akidah dan ketsiqahan sebagian anggota kami, kami akan dapat dengan mudah mencari siapa diantara mereka yang murni keimanan dan akidah mereka, dan kami hanya bisa berharap dan berdoa semoga mereka bisa bersabar dan tabah atas segala macam ujian, cobaan dan musibah yang akan mereka hadapi kelak

3. Selain itu juga kami dapat menemukan diantara anggota kami yang tsiqah dan komitmen terhadap manhaj yang mereka yakini, lalu kami dapat memobilisasi mereka untuk tidak mendukung undang-undang yang dibuat oleh manusia, kalaupun keadaannya mengharuskan demikian, maka kami akan menyarankan untuk dapat berinteraksi sebatas kebutuhan dengan didasari akhlak yang mulia, prilaku yang suci, sehingga memberikan ciri khas tersendiri di tengah masyarakat, karena kemuliaan akhlak dan kesucian prilaku, kebaikan beragama, amanah, salih, taqwa dan sifat-sifat yang baik lainnya merupakan ciri orang yang beriman, dan dapat memberikan pengaruh positif pada masyarakat luas sehingga musuh-musuh Allah tidak leluasa mengahalangi aktivitas dakwah mereka, karena secara tidak langsung masyarakat menyenangi orang yang baik kepribadiannya, paling tidak kalaupun masyarakat tidak mengikuti jejaknya, atau belum berani, mereka akan memberikan dukungan spiritual kepadanya. Namun jika mereka mengharamkan diri untuk berinteraksi dan menajuhkan diri dari undang-undang tanpa mau mencermati sisi kebaikan dan keburukannya, maka akan sulit mendapatkan simpati dari masyarakat apalagi dukungan moral.

4. Adapun faedah yang terakhir –yang tidak kalah pentingnya dengan faedah-faedah sebelumnya-; adalah, bahwa kami telah menghantarkan harta dan jiwa kami ke jalan yang penuh onak dan duri, terjal dan berlubang. Dengan itu kami bertekad akan menghalau dan menghadapi para penghalang da’wah dengan penuh ketabahan dan kesabaran serta hikmah, jika kebanyakan dari manusia memusuhi da’wah ini, maka jelas dan tampak kebobrokan masyarakat itu, dan kami juga akan dapat melihat siapa diantara mereka yang memiliki sifat ambivalensi, yang pada satu saat mau mengikuti da’wah kami dengan baik, namun pada saat lain dia akan mudah melakukan khianat, kebohongan, penipuan dan ingkar janji, jika berada pada saat yang menyenangkan mereka dan jauh dari undang-undang.

Dan kami juga akan dapat mengetahui : betapa banyak orang yang hanya memakai kedok dalam beragama, bersembunyi di balik logika dan kelicikan prilaku, mau melakukan ketaatan saat ada undang-unadang atau polisi yang memantaunya, namun saat keadaan sepi dan jauh dari pantauan, maka berbagai macam pelanggaran akan muncul darinya ; dekadensi moral, atheisme, dan hamjiyyah (kebiadaban). Moral yang tercela ini sangat banyak kita temui di tengah hiruk pikuk kehidupan masyarakat yang muncul dalam bentuk adat istiadat dan aturan-aturan buatan manusia. Kami berusaha membuka kedok para perusuh tersebut sehingga masyarakat dapat memahami mana jalan yang benar dan mana yang bathil, mana kelompok yang berada di jalan kebenaran dan mana kelompok yang berada di jalan kesesatan, sekaligus membangkitkan dlamir (hati) masyarakat untuk dapat mengerti bahwa penyakit moral yang berbahaya ini masih saja berkeliaran dan akan terus merajalela dan menancapkan kukunya di muka bumi ini hingga seluruh umat manusia bobrok dibuatnya.

* Makalah ini merupakan bagian dari ceramah Ustadz Abul A’la Al-Maududi yang berjudul “Ad-Da’wah Al-Islamiyah Fikrotan wa Manhajan –da’wah Islam secara fikrah dan manhaj-“ pada acara pertemuan jama’ah Islamiyah yang diadakan di desa “Darul Islam di India” pada bulan April, tahun 1945 M, yang dihadiri oleh seluruh anggota jamaah Islamiyah di India saat itu.

Penterjemah:
Abu Ahmad

http://www.al-ikhwan.net/sentuhan-sentuhan-tarbiyah-metode-dan-karakteristik-dakwah-islam-416/

No comments:

Post a Comment