Dari Anas bin Malik r.a. dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Tiga sifat yang jika dimiliki orang akan mendapatkan manisnya iman; Orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari yang lain; Orang yang mencintai seseorang semata karena Allah; Dan orang yang tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya seperti ia tidak suka dilemparkan ke dalam kobaran api.” (H.R. Bukhari-Muslim)
Hadits ini diriwayatkan oleh dua Imam besar, Imam Bukhari dan Imam Muslim. Teks hadits diambil dari kitab Shahih Bukhari. Selain dua imam ini, hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad. Hadits di atas berbunyi:
عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ- متفق عليه
مَنْ كُنَّ فِيهِ, yakni orang yang memiliki tiga sifat tersebut.
وَجَدَ بِهِنَّ, yakni dengan sebab sifat tersebut ia akan mendapatkan.
حَلاَوَةَ اْلإِيمَانِ, yakni manis iman, bukan manis gula atau madu, tetapi sesuatu yang paling manis di antara yang manis. Rasa manis yang dirasakan manusia pada dadanya, pada hatinya. Suatu kelezatan yang tidak ada bandingnya, ia mendapatkan rasa lega pada hatinya, rasa ingin melakukan kebaikan, rasa suka dan cinta kepada orang-orang baik. Rasa manis yang hanya dapat diketahui hakikatnya oleh orang yang telah merasakannya setelah lama tidak mendapatkan rasa manis itu.
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا , yakni orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya. Dalam hadits tidak digunakan ta’bir, ungkapan ثم رسوله karena kecintaan kepada Rasulullah saw mengikut kecintaannya kepada Allah. Manusia akan mencintai Allah sebesar manusia itu mencintai Allah. Ketika kecintaannya kepada Allah bertambah, maka bertambah pula kecintaannya kepada Rasulullah saw. Kecintaan kepada Rasul mengikuti kadar kecintaannya kepada Allah.
Yang patut disayangkan adalah ada sebagian orang yang kecintaannya kepada Rasulullah saw melebihi kecintaannya kepada Allah. Orang seperti ini berarti mencintai Rasulullah saw bersama mencintai Allah. Jika kecintaan kepada Rasulullah saw melebihi kecintaan kepada Allah, maka hal ini termasuk salah satu jenis kemusyrikan, karena menjadikan Rasulullah saw sebagai sekutu dalam kecintaan. Orang ini akan bergetar ketika disebutkan nama Rasulullah saw dan tidak bergetar ketika disebut nama Allah hatinya tidak ada respon dan tidak ada getar.
Karena itulah dalam surat Ali Imran ayat 31 Allah menyebutkan bahwa jika kita benar-benar mencintai Allah, maka kita harus mengikuti Rasulullah saw. sehingga Allah akan mencintai kita. Pusat dan sumber alasan kecintaan kita kepada sesuatu adalah Allah, termasuk juga kecintaan kepada Rasulullah saw.
Dengan kelemahan manusia seperti disebutkan Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 72 bahwa manusia adalah makhluk yang zhalim dan jahil, terkadang manusia lupa dengan cinta yang hakiki. Manusia hidup dalam perburuan cinta palsu, terutama di zaman hedonisme ini. Segala kemajuan materialis sangat meninakbobokan manusia untuk mengenal diri dan penciptanya, apalagi untuk memahami hakikat hidup dan tujuannya. Itulah kondisi masyarakat di negara-negara maju dan di sebagian di negara-negara berkembang.
وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ, yakni orang yang mencintai orang lain karena Allah. Mencintai dan membenci karena Allah. Mencintai orang bukan karena kekerabatan. Juga bukan karena harta dan jabatan atau alasan duniawi semata. Mencintai orang karena Allah. Sama halnya juga dengan membenci seseorang semata karena Allah. Nafsu manusia sering menghalangi kita untuk mencinta dan membenci seseorang karena Allah. Manusia mencintai karena ada sesuatu yang ingin ia dapatkan dari orang tersebut.
Ada sebagian orang yang ketika mendapatkan jasa seseorang akan membuat dia tidak dapat mencinta dan membenci karena Allah. Segala pemberian yang ia terima akan membuat dirinya tidak dapat memposisikan diri apakah harus mencinta atau membenci ketika orang yang pernah menanamkan jasa tersebut bertentangan dengan syariat Allah. Karena itulah seorang dai harus memelihara izzahnya untuk tidak dengan mudah menerima segala pemberian yang membuat ia tidak dapat memberikan nasihat. Kesederhanaan dan kemandirian seorang dai menjadi tuntutan agar ia tetap dapat menyampaikan kebenaran kepada semua orang.
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ, yakni benci untuk kembali kepada kekafiran setelah kembali kepada Allah sama seperti bencinya dilemparkan ke dalam kobaran api. Orang yang tidak ingin kembali kepada kekafiran setelah mendapatkan hidayah Islam dan petunjuk yang benar. Orang yang telah mendapatkan hidayah Islam kemudian kembali kepada kekafiran dan kemusyrikan disebut dengan murtad. Orang-orang murtad adalah golongan yang boleh diperangi hingga kembali kepada aqidah Islam.
Orang yang dipaksa mengatakan kalimat kekufuran, tetapi hatinya tenang dengan keimanan, maka orang ini tidak termasuk orang yang murtad dari hidayah Islam. Allah berfirman, “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” (An-Nahl: 106-107)
Sebagaimana manusia mendapatkan hidayah secara bertahap, maka orang yang murtad juga menjadi murtad tentunya dengan suatu tahapan dan proses.
Jika ketiga sifat ini dimiliki oleh seorang muslim, maka ia dapat merasakan manisnya iman. Jika manisnya gula atau madu semua orang dapat merasakannya dan tidak ada yang mengingkari bahwa gula dan madu adalah manis. Tapi ketika kita mendengar kata iman, kita tidak serta merta mengenal bahwa rasa iman itu adalah manis, beda dengan gula dan madu. Karena itulah tidak semua orang yang mengaku beriman merasa bahwa iman itu manis. Karena keimanan orang itu bertingkat-tingkat antara satu orang dengan orang lain, maka tidak semua orang dapat merasakan manisnya iman.
Ketika kita tidak dapat merasakan manisnya iman bukan berarti iman itu tidak manis, tapi kita belum sampai pada tingkat keimanan yang membuat kita merasakan bahwa beriman itu manis dan menyenangkan. Senang beramal saleh. Senang berbuat baik. Senang memberikan kegembiraan kepada orang lain. Senang melihat orang mendapatkan kesenangan. Senang jika masyarakat mengamalkan Islam. Senang jika kemaksiatan ditumpas. Wallahu a’lam.
Oleh: Samin Barkah, Lc
http://www.dakwatuna.com/2007/rasa-manis-sebuah-keimanan/
No comments:
Post a Comment