Al-Khulu', Gugatan Cerai Dalam Islam

AL-KHULU’, GUGATAN CERAI DALAM ISLAM

Sakinah, mawaddah dan kasih sayang adalah asas dan tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga. Dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum : 21]

Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang isteri melakukan gugatan cerai dengan segala alasan. Fenomena ini banyak terjadi dalam media massa, sehingga diketahui khalayak ramai. Yang pantas disayangkan, mereka tidak segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya sekedar untuk bisa memenangkan gugatan,. Padahal, semestinya persoalan gugatan cerai ini harus dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam. Dengan demikian, kita semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna dan menyeluruh).

PENGERTIAN GUGATAN CERAI

Gugatan cerai, dalam bahasa Arab disebut Al-Khulu. Kata Al-Khulu dengan didhommahkan hurup kha’nya dan disukunkan huruf Lam-nya, berasal dari kata ‘khul’u ats-tsauwbi. Maknanya melepas pakaian. Lalu digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”[Al-Baqarah : 187]

Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya [1]. Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khusus” [2]

HUKUM AL-KHULU’

Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’ [Al-Baqarah : 229]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.

Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari]

Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ pada masalah tersebut, sebagaimana dinukilkan Ibnu Qudamah [3], Ibnu Taimiyyah [4], Al-Hafizh Ibnu Hajar [5], Asy-Syaukani [6], dan Syaikh Abdullah Al-Basam [7], Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma tentang syari’at Al-Khulu, kecuali seorang tabi’in bernama Bakr bin Abdillah Al-Muzani… dan telah terjadi ijma’ setelah beliau tentang pensyariatannya. [8]

KETENTUAN HUKUM AL-KHULU[9]


Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum taklifi sebagai berikut.

[1]. Mubah (Diperbolehkan).
Ketentuannya, sang wanta sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”
[Al-Baqarah : 229]

Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu ini dengan pernyataannya, bahwasanya Al-Khulu, ialah seorang suami menceraikan isterinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian, karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra (Perceraian besar atau Talak Tiga) [10]

Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu (gugat cerai) bagi wanita, apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian. [11]

[2]. Diharamkan Khulu’, Hal Ini Karena Dua Keadaan.

a). Dari Sisi Suami.
Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan dengan lafazh thalak, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” [An-Nisa : 19] [12]

Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri tersebut membayar terbusan dengan Al-Khulu, maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas” [13]

b). Dari Sisi Isteri
Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035] [14]

[3]. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Al-Khulu).

Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan Al-Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal. [15]

[4]. Wajib
Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan

Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah, maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari suaminya tersebut Al-Khulu walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur. [16]

Wallahu a’lam
Oleh Ustadz Kholid Syamhudi

Maraji’.
[1]. Fathul Bari
[2]. Jami Ahkamun Nisa, Musthafa Al-Adawi, Dar Ibnu Affan, Kairo, Cetakan Pertama, Tahun 1419H.
[3]. Majmu Fatawa
[4]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 1415H
[5]. Shahih Fiqhis Sunnah
[6] Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Basam, Maktabah Al-Asadi, Makkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423H

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton, Gondangrejo - Solo 57183. Telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[1]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/340
[2]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468
[3]. Al-Mughni, 7/51
[4]. Majmu Al-Fatawa, 32/282
[5]. Fathul Bari, 9/315
[6]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260
[7]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468
[8]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260
[9]. Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 5/469. Shahih fiqhis Sunnah, 3/341-343, dan Jami Ahkamun Nisa, 4/153-154 dengan beberapa tambahan.
[10]. Fathul Bari, 9/318
[11]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[12]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[13]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343
[14]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342
[15]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342
[16]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343

http://www.almanhaj.or.id/content/2382/slash/0


KHULU’ CERAI ATAUKAH FASKH?

Syariat Islam menjadikan Al-Khulu’ (gugatan cerai) sebagai satu alternatif penyelesaian konflik rumah tangga jika konflik itu tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik. Lalu bagaimana status Al-Khulu’ bila telah ditetapkan? Cerai ataukah faskh (pembatalan akad nikah).

Dalam masalah ini, para ulama berselisih pendapat dalam tiga pandangan.

Pendapat Pertama : Al-Khulu adalah thalak bain, dan ini merupakan pendapat madzhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i dalam qaul jadid.

Pendapat Kedua : Menyatakan, Al-Khulu adalah thalak raj’i, dan inilah pendapat Ibnu Hazm.

Pendapat ketiga : Menyatakan, Al-Khulu adalah faskh (penghapusan akad nikah) dan bukan thalak. Pendapat ketiga ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Asy-Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah dan Dawud Azh-Zhahiri[1]. Begitu pula zhahir madzhab Ahmad bin Hanbal dan mayoritas ahli fiqih yang muhadits (Fuqaha Al-Hadits).

Syaikhul Islam rahimahullah menyatakan : “Masalah ini, terdapat perbedaan pendapat yang masyhur antara salaf dan khalaf. Zhahir madzhab Ahmad dan para sahabatnya menyatakan (Al-Khulu) adalah faskh nikah dan bukan thalak yang tiga. Seandainya suami melakukan khulu’ sepuluh kali pun, ia masih boleh menikahinya dengan akad nikah baru sebelum menikah dengan yang lainnya. Ini merupakan salah satu pendapat Asy-Syafi’i, dan mayoritas fuqaha ahli hadits, seperti Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, Dawud, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan yang benar dari pendapat Ibnu Abbas dan sahabat-sahabat beliau seperti Thaawus dan Ikrimah. [2]

Pendapat yang rajih (kuat) ialah pendapat ketiga, dengan dalil sebagai berikut.

1). Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Thalak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim. Kemudian jika si suami menthalaknya (sesudah thalak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dari isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui” [Al-Baqarah : 229-230]

Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan Thalak dua kali, kemudian menyebutkan Al-Khulu’ dan diakhiri dengan firman-Nya.

“Fain thollaqahaa falaa tahillu lahu = Kemudian jika si suami menthalaknya (sesudah thalak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya…’

Seandainya Al-Khulu adalah thalak, maka jumlah thalaknya menjadi empat, dan thalak yang tidak halal lagi kecuali menikah dengan suami yang lain adalah yang keempat. [3]

Demikian yang dipahami Ibnu Abbas dari ayat di atas. Beliau pernah ditanya tentang seseorang yang menthalak isterinya dua kali kemudian sang isteri melakukan gugatan cerai (Al-Khulu), apakah ia boleh menikahinya lagi?

Beliau menjawab :”Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan thalak di awal ayat dan di akhirnya, dan Al-Khulu di antara keduanya. Sehingga Al-Khulu bukan thalak. (Oleh karena itu) ia boleh menikahinya”. Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf (6/487), dan Sa’id bin Manshur (1455) dengan sanad shahih.[4]

2). Hadits Ar-Rubayyi binti Mu’awwidz Radhiyallahu anhuma yang berbunyi.
Beliau melakukan Al-Khulu pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, atau ia diperintahkan untuk menunggu satu kali haidh” [HR At-Tirmidzi dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudhah An-Nadiyah, 2/275]

Seandainya Al-Khulu adalah thalak, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cukup memerintahkannya untuk menunggu satu haidh.

3). Pernyataan Ibnu Abbas.
“Semua yang dihalalkan oleh harta, maka ia bukan thalak” [Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf, no. 11767] [5]

4). Hal ini sesuai tuntutan kaidah syari’at. Karena iddah (masa menunggu wanita yang dithalak) dijadikan tiga kali haidh agar panjang masa tenggang untuk rujuk. Lalu memungkinkan bagi suami secara perlahan-lahan untuk berpikir dan memungkinkannya untuk rujuk dalam masa tenggang iddah tersebut. Apabila tidak ada pada Al-Khulu bolehnya rujuk, maka maksudnya ialah sekedar untuk memastikan rahim tidak hamil, dan itu cukup dengan sekali haidh saja, seperti Al-Istibra. [6]

5). Asy-Syaukani membawakan keterangan Ibnul Qayyim yang menyatakan, bahwa yang menunjukkan Al-Khulu itu bukan thalak yang tidak ada menetapkan tiga hukum setelah thalak yang tidak ada dalam Al-Khulu. Ketiga hukum yang dimaksud ialah :
a). Suami lebih berhak diterima rujuknya
b). Dihitung tiga kali, sehingga tidak halal setelah sempurna bilangan tersebut hingga menikah dengan suami baru dan berhubungan suami isteri dengannya.
c). Iddahnya tiga quru’ (haidh).

Padahal telah ditetapkan dengan nash dan ijma, bahwa tidak ada rujuk dalam Al-Khulu [7].

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyyah [8], Ibnul Qayyim [9], Asy-Syaukani [10], Syaikh Muhammad bin Ibrahim [11], dan Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di [12], serta Syaikh Al-Albani [13].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Pendapat yang telah kami jelaskan, bahwasanya Al-Khulu merupakan faskh yang memisahkan wanita dari suaminya dengan lafazh apa saja adalah shahih. Sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya seorang lelaki memisahkan isterinya dengan tebusan (Al-Khulu) beberapa kali, maka ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafazh thalak maupun selainnya” [14]

Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan : “Yang shahih, bahwasanya Al-Khulu tidak terhitung sebagai thalak, walaupun dengan lafazh thalak dan dengan niat thalak, dan itu umum ; baik dengan lafazh thalak secara khusus maupun dengan lafazh lainnya, dan juga karena yang dilihat adalah maksud dan kandungannya, bukan lafazh dan susunan katanya” [15]

Sedangkan Syaikh Al-Albani menyatakan : “Yang benar adalah fasakh sebagaimana telah dijelaskan dan disampaikan argumentasinya oleh Syaikhul Islam dalam Al-Fatawa” [16]

HASIL DAN KONSEKWENSI AL-KHULU


Masalah Al-Khulu adalah faskh dan bukan thalak, sehingga akan memberikan beberapa hukum sebagai konsekwensinya. Di antaranya.

[1]. Tidak dianggap dalam hitungan thalak yang tiga. Sehingga , seandainya seorang meng-khulu’ setelah melakukan dua kali thalak, maka ia masih diperbolehkan menikahi isterinya tersebut, walaupun Al-Khulu terjadi lebih dari satu kali. Sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam di atas.

[2]. Iddah, atau masa menunggunya hanya sekali haidh, dengan dasar hadits Ar-Rubayyi binti Mu’awwidz sebagaimana telah disampaikan di atas. Dikuatkan dengan hadits Ibnu Abbas yang berbunyi.

Sesungguhnya isteri Tsabit dan Qais meminta pisah (Al-Khulu) darinya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan iddahnya sekali haidh” [HR Abu Dawud, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam shahih Abu Dawud, no. 2229]

Inilah pendapat Utsman bin Affan, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ishaq, Ibnul Mundzir dan riwayat dari Ahmad bin Hanbal. Inilah yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [17]

[3]. Al-Khulu diperbolehkan setiap waktu, walaupun dalam keadaan haidh atau suci yang telah digauli, karena Al-Khulu disyariatkan untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa wanita, karena faktor tidak baiknya pergaulan sang suami, atau tinggal bersama orang yang dibenci dan tidak disukainya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan keadaan wanita yang melakukan Al-Khulu

Demikian, beberapa hukum berkenaan dengan Al-Khulu sebagai pelengkap pembasahan sebelumnya. Mudah-mudahan bermanfaat.

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi
Maraji.
[1]. Al-Adillah Ar-Radhiyah Li Matni Ad-Durar Al-Bahiyyah Fi Masail Al-Fiqhiyyah, Muhammad Asy-Syaukani. Ditulis oleh Muhammad Shubhi Hallaf. Dar Al-Fikr, Beirut, Cetakan Tahun 1423H
[2]. Al-Mukharat Al-Jaliyah min Al-Masa’il Al-Fiqhiyyah, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di, diterbitkan bersama kumpulan karya beliau dalam Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Mu’allafat Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di Markaz Shalih bin Shalih Ats-Tsaqafi, Unaizah, KSA, Cetakan Kedua, Tahun 1412H.
[3]. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudah An-Nadiyah Shidiq Hasan Khan, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Tahqiq Ali Hasan Al-Halabi, Dar Ibnu Affan, Mesir, Cetakan Pertama, Tahun 1420H
[4]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 1415H
[5]. Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Al-Maktabah At-Tauqifiyah, Mesir tanpa cetakan dan tahun
[6]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Basam, Maktabah Al-Asadi, Makkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423H
[7]. Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil Ibad, Ibnul Qayyim, Tahqiq Syu’aib Al-Arnauth, Muassasah Al-Risalah, Beirut, Cetakan Ketiga, Tahun 1421H

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton, Gondangrejo - Solo 57183. Telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[1]. Taudhihul Ahkam min Bulughul Maram, 3/344-345
[2]. Majmu Fatawa, 23/289
[3]. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudah An-Nadiyah Shidiq Hasan Khan (2/275), Taudhihul Ahkam (5/473), dan Shahih Fiqih Sunnah (3/3345).
[4]. Dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah 3/346
[5]. Ibid
[6]. Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil Ibad, 5/179
[7]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/263
[8]. Majmu Al-Fatawa, 23/289
[9]. Zadul Ma’ad, 5/179
[10]. Al-Adillah Ar-Radhiyyah Li Matni Ad-Durar Al-Bahiyyah Fi Masa’il Al-Fiqhiyah, hal. 129
[11]. Taudhihul Ahkam, 5/473
[12]. Al-Mukharat Al-Jaliyyah Min Al-Masa’il Al-Fiqhiyyah, 2/173
[13]. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudhah An-Nadiyah, 2/273
[14]. Majmu Al-Fatawa, 23/290
[15]. Al-Mukharat Al-Jaliyyah Min Al-Masa’il Al-Fiqhiyyah, 2/173
[16]. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudhah An-Nadiyah, 2/273
[17]. Shahih Fiqih Sunnah (3/360).

http://www.almanhaj.or.id/content/2381/slash/0

SOLUSI BAGI WANITA YANG TERTINDAS SUAMI

Pada hakikatnya, Islam tidak melepaskan kehidupan rumah tangga berjalan begitu saja tanpa arah petunjuk. Sehingga hawa nafsu menjadi penentu yang berkuasa. Tidak demikian adanya. Islam telah menggariskan hak, kewajiban, tugas dan tanggung-jawab antara suami dan istri sesuai dengan kodrat, kemampuan, mempertimbangkan tabiat dan aspek psikis. Hal tersebut ditetapkan di atas landasan yang adil lagi bijaksana. Allah Ta'ala berfirman:

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [al-Baqarah/2:228].

Jika pasangan suami istri mengerti dan memahami kewajiban masing-masing, niscaya biduk suatu rumah tangga kaum muslimin akan berjalan normal, semarak oleh suasana mawaddah dan rahmat. Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya. Begitu pula, istri juga menjalankan kewajiban-kewajibannya. Dengan ini, rumah tangga akan menuai kebahagiaan dan ketentraman. Rumah tangga benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." [ar-Rûm/30:21].

Akan tetapi, kondisi ideal ini, terkadang terganggu oleh riak-riak yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat mawaddah dan rahmat antara suami-istri. Suami berbalik membenci istrinya. Pada sebagian suami, tidak mampu bersabar sehingga tangan kuatnya diayunkan ke tubuh istri, dan menyebabkan istri mengerang kesakitan. Bekas-bekas penganiayaan pun terlihat jelas. Istrinya merasa tidak aman dan nyaman hidup dengan lelaki itu. Situasi kian memanas. Akibat emosi tak terkendali, kadang timbul aksi yang tidak diharapkan, semisal penganiayaan hingga pembunuhan, baik dari suami maupun istri. Nas`alullah as-salaamah.

Syaikh 'Abdur-Rahmaan as-Sudais menyampaikan fakta: "Ada sejumlah lelaki (suami) yang tidak dikenal kecuali hanya dengan bahasa perintah dan larangan, hardikan, sifat arogan, buruk pergaulan, tidak ringan tangan, susah bertoleransi, emosional dan sangat reaktif. Jika berbicara, perkataannya menunjukkan dirinya bukan orang yang beradab. Dan bila berbuat, perilakunya mencerminkan kecerobohan. Di dalam rumah, suka menghitung-hitung kebaikannya di hadapan istri. Bila keluar rumah, prasangka buruk kepada istri menggelayuti pikirannya. Bukan pribadi yang lembut dan tidak sayang. Istrinya hidup dalam kesulitan, bergulat dengan kesengsaraan dan terpaksa mengalami prahara"[1]

MENDATANGKAN DUA PENENGAH DARI MASING-MASING PIHAK

Dalam konteks ini, bila persoalan semakin meruncing, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mengarahkan untuk menghadirkan dua penengah dari keluarga suami dan istri.

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" [an-Nisaa`/4:35][2].

Tugas mereka berdua, mengerahkan segala upaya untuk mengetahui akar permasalahan yang menjadi sebba perseteruan antara suami istri dan menyingkirkannya, serta memperbaiki hubungan suami-istri yang sedang dilanda masalah. Dua penengah ini (hakamain) disyaratkan orang muslim, adil, dikenal istiqamah, keshalihan pribadi dan kematangan berpikir, dan bersepakat atas satu keputusan. Keputusan mereka berkisar pada perbaikan hubungan dan pemisahan antara mereka berdua. Berdasarkan pendapat jumhur ulama, keputusan dua penengah ini mempunyai kekuatan untuk mempertahankan hubungan atau memisahkan mereka.

TALAK BISA "MENJEMBATANI" KEBUNTUAN ANTARA SUAMI-ISTRI

Pada asalnya, talak bukanlah jalan keluar yang dianjurkan untuk menyelesaikan keretakan hubungan antara suami-istri, jika tidak ada faktor penting dan mendesak yang menjadi penyebabnya. Namun, ketika istri memperlihatkan tanda-tanda kebencian kepada suami, karena istri sering mengalami penindasan, misalnya secara fisik berupa pukulan yang menciderai, siksaan yang berat, kewajiban nafkah tak dipenuhi, terus-menerus dicaci, mendapatkan tuduhan yang bermacam-macam umpamanya, sehingga kehidupan rumah tangga tidak mendukung menjadi keluarga harmonis, maka dalam kondisi ini, talak bisa menjadi jalan keluar bagi mereka berdua.

Konsepsi kehidupan rumah tangga dalam Islam sendiri bersendikan "pergaulan yang baik, atau dilepaskan dengan cara baik pula". Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:

"Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik" [al-Baqarah/2:229].

Kalau suami ingin tetap hidup bersama istri, kewajibannya ialah mempergauli istrinya dengan sebaik-baiknya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Dan bergaullah dengan mereka secara patut". [an-Nisâ/4: 19]

Tindakan aniaya terhadap orang lain terlarang. Demikian juga perbuatan-perbuatan yang merugikan dan membahayakan orang lain. Apalagi kepada orang yang menjadi pendamping hidup dan bersifat lemah. Orang terbaik ialah orang yang berlaku baik kepada keluarganya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang bersikap baik kepada keluarganya. Dan aku adalah orang yang terbaik bagi keluargaku" [HR at-Tirmidzi dan Abu Dâwud].

Kedekatan antara suami dan istri sangat kuat. Dari seringnya interaksi antara keduanya, masing-masing dapat mudah terpengaruh oleh kondisi pasangannya. Pengaruh baik akan berdampak positif bagi pasangan. Begitu pula, keadaan-keadaan yang buruk pun akan mudah berpengaruh pada pasangannya.

Tatkala kesepahaman tidak bisa dipadukan, dan seluruh terapi tidak memberi pengaruh positif bagi perubahan ke arah yang baik, maka kehidupan berumah tangga dengan pasangan bisa menjadi beban berat untuk dipikul. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana" [an-Nisaa/4:130]

BILA SUAMI TIDAK INGIN MENCERAIKAN

Bila kehidupan rumah tangga sudah menjadi beban berat bagi istri sehingga dikhawatirkan tidak mampu lagi menjadi pendamping suami, baik karena perilaku maupun tindak kekerasan yang dilakukan suami atau lainnya, maka dalam keadaan seperti ini, Islam membolehkan wanita mengajukan gugatan cerai kepada suami dengan memberikan ganti rugi harta. Dalam syari’at Islam, gugatan cerai istri atas suaminya ini dinamakan al-khulu’.[3]

Al-Hishnî rahimahullah menjelaskan jenis ketiga dari keringanan dalam pernikahan dengan menyatakan: Di antaranya, ialah kemudahan pensyariatan talak (cerai) karena beban berat tinggal berumah tangga, dan demikian juga al-khulu’. Juga semua yang disyari’atkan hak pilih faskh (menggagalkan akad) karena kesabaran wanita atas keadaan tersebut merupakan beban berat (al-masyaqqah), karena syari’at tidak memberikan hak cerai kepada wanita.[4]

Sedangkan Ibnu Qudamah rahimahullah, ketika menjelaskan hikmah disyari’atkannya al-khulu’, ia menyatakan: "Al-khulu’ (disyari’atkan) untuk menghilangkan dharar (kerugian) yang menimpa wanita karena jeleknya pergaulan dan tinggal bersama orang yang tidak ia sukai dan benci".[5]

Lebih jelas lagi, yaitu pernyataan Ibnul-Qayyim, bahwasanya Allah mensyari’atkan al-khulu’ untuk menghilangkan mafsadat yang berat, menimpa pasangan suami istri dan membebaskan satu dari pasangannya [6]. Apabila suami menyetujuinya, maka rusaklah akad pernikahan keduanya (faskh) dan sang wanita menunggu sekali haidh agar dapat menerima pinangan orang lain.

Namun, apabila suami tidak menerima al-khulu’ (gugatan cerai) istrinya tersebut, maka sang istri dapat mengajukan gugatan cerai kepada pemerintah atau lembaga yang ditunjuk pemerintah menangani permasalahan tersebut agar mendapatkan keridhaan suami untuk menerima gugatan cerai tersebut. Sebab, terjadinya al-khulu’, tetap dengan keridhaan suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama bahwasanya al-khulu’ tidak sah kecuali dengan keridhaan suami.[7]

Oleh karena itu, Ibnu Hazm rahimahullah berkata: "Maka wanita diperbolehkan mengajukan gugatan cerai (al-khulu’) dari suami dan menceraikannya bila suami meridhainya".[8]

Demikian, cukup jelas solusi yang diberikan Islam dalam menangani masalah KDRT. Keuntungan dunia dan akhirat akan bisa digapai bila menaatinya. Mudah-mudahan, Allah Subhanahu wa Ta'ala membukakan hati kita untuk menerapkan seluruh syari'at-Nya dalam semua aspek kehidupan kita sehari-hari. Wallahu a'lam.

Maraji`:
1. Dhamanâtu Huqûqi al-Mar`ati az-Zaujiyyah, Dr. Muhammad Ya`qub Muhammad ad-Dahlawi, Penerbit Jâmi'ah Islâmiyyah Madînah, Cetakan I, Tahun 1424 H.
2. Kaukabatul- Khutabil-Munîfati min Mimbaril-Ka'batil-Musyarrafah, kumpulan khutbah Dr. 'Abdur-Rahmân as-Sudais, halaman 427-478. Lihat makalah berjudul Abghadhul Halâl, an-Nidâ`ul Hâni ila an-Nishfits-Tsâni, az-Zawâju Hashânatun wab Tihâj, Washâya wa Taujiihâtun ilâ al-Azwâj waz-Zaujât.
3. Shahîh Fiqhis Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin Sayyid Salim, Penerbit Maktabah at-Tauqifiyyah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Washâya wa Taujiihâtun ilâ al-Azwâj waz-Zaujât
[2]. Adh-Dhamânât, 156-160.
[3]. Lihat artikei almanhaj http://www.almanhaj.or.id/content/2382/slash/0
[4]. Dinukil dari kitab Dhamânât Huqûq al-Mar`ah al-Zaujiyyah, Muhammad Ya’qub ad-Dahlawi, hlm. 149.
[5]. Al-Mughni, 10/269. Dinukil dari Dhamânât, hlm. 149.
[6]. I’lâm al-Muwaqqi’în, 4/110.
[7]. Shahîh Fiqhis-Sunnah, 3/357.
[8]. Al-Muhalla, 1/235.

http://www.almanhaj.or.id/content/2620/slash/0

No comments:

Post a Comment