Maaf Suamiku… Aku Tidak Akan Menaatimu!!

Bahagia rasanya saat akad nikah terucap, saat semarak walimatul ‘urs menggema, saat tali pernikahan terikat. Saat itu telah halal cinta dua orang insan, saling mengisi dan saling melengkapi setiap harinya. Saat itu pula masing-masing pasangan akan memiliki tugas dan kewajiban baru dalam kehidupan mereka. Sang suami memiliki hak yang harus ditunaikan istrinya, dan sang istripun mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh suaminya. Alangkah bahagianya jika masing-masing secara seimbang senantiasa berupaya menunaikan kewajibannya.


Duhai saudariku muslimah, kini aku bertanya padamu… bukankah indah rasanya jika seorang istri mematuhi suaminya, kemudian ia senantiasa menjadi penyejuk mata bagi suaminya, menjaga lisan dari menyebarkan rahasia suaminya, lalu menjaga harta dan anak-anak suami ketika ia pergi? Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada perkara yang lebih bagus bagi seorang mukmin setelah bertakwa kepada Allah daripada istri yang shalihah, bila ia menyuruhnya maka ia menaatinya, bila memandangnya membuat hati senang, bila bersumpah (agar istrinya melakukan sesuatu), maka ia melakukannya dengan baik, dan bila ia pergi maka ia dengan tulus menjaga diri dan hartanya.” (HR. Ibnu Majah)

Sehingga… kehidupan rumah tangga pun akan berjalan penuh dengan kemesraan dan kebahagiaan. Yang satu menjadi tempat berbagi bagi yang lain, saling menasehati dalam ketakwaan, dan saling menetapi dalam kesabaran.

Saudariku muslimah… tulisan tentang kewajiban istri dalam mematuhi perintah suami telah banyak dibahas. Maka kini penulis akan mencoba mengetengahkan hal-hal apa saja yang tidak boleh dipatuhi oleh seorang istri di saat suaminya memerintah.

Ini Saatnya Mematuhi Perintah Suami

Diantara ciri seorang istri sholihah adalah mematuhi perintah suaminya. Yang dimaksud mematuhi perintah adalah mematuhi dalam hal yang mubah dan disyari’atkan. Jika dalam perkara yang disyari’atkan, tentu hal ini tidak perlu dipertanyakan lagi hukumnya, karena perkara yang demikian adalah hal-hal yang Allah perintahkan kepada para hamba-Nya, seperti kewajiban sholat, berpuasa di bulan Ramadhan, memakai jilbab, dan lain-lain. Maka untuk hal ini, seorang hamba tidak boleh meninggalkannya karena meninggalkan perintah Allah Ta’ala adalah sebuah dosa. Sedangkan dalam perkara yang mubah, jika suami memerintahkan kita untuk melakukannya maka kita harus melaksanakannya sebagai bentuk ketaatan kepada suami. Contohnya suami menyuruh sang istri rajin membersihkan rumah, berusaha mengatur keuangan keluarga dengan baik, selalu bangun tidur awal waktu, membantu pekerjaan suami, dan hal-hal lain yang diperbolehkan dalam syari’at Islam.

Ada Saatnya Menolak Perintah Suami

Jika dalam hal yang disyari’atkan dan yang mubah kita wajib mematuhi suami, maka lain halnya jika suami menyuruh kepada istri untuk melakukan kemaksiatan dan menerjang aturan-aturan Allah. Untuk yang satu ini kita tidak boleh mematuhinya meskipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kalau sekiranya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain maka akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Kita tidak boleh tunduk pada suami yang memerintah kepada kemaksiatan meskipun hati kita begitu cinta dan sayangnya kepada suami. Jika kewajiban patuh pada suami sangatlah besar, maka apalagi kewajiban mematuhi Allah, tentu lebih besar lagi. Allahlah yang menciptakan kita dan suami kita, kemudian mengikat tali cinta diantara sang istri dan suaminya. Namun perlu diketahui, bukan berarti kita harus marah-marah dan bersikap keras kepada suami jika ia memerintahkan suatu kemaksiatan kepada kita, tetapi cobalah untuk menasehatinya dan berbicara dengan lemah lembut, siapa tahu suami tidak sadar akan kesalahannya atau sedang perlu dinasehati, karena perkataan yang baik adalah sedekah.

Saudariku, berikut ini beberapa contoh perintah suami yang tidak boleh kita taati karena bertentangan dengan perintah Allah:

1. Menyuruh Kepada Kesyirikan

Tidak layak bagi kita untuk menaati suami yang memerintah untuk melakukan kesyirikan seperti menyuruh istri pergi ke dukun, menyuruh mengalungkan jimat pada anaknya, ngalap berkah di kuburan, bermain zodiak, dan lain-lain. Ketahuilah saudariku, syirik adalah dosa yang paling besar. Syirik merupakan kezholiman yang paling besar (lihat QS Luqman: 13). Bagaimana bisa seorang hamba menyekutukan Allah sedang Allah-lah yang telah menciptakan dan memberi berbagai nikmat kepadanya? Sungguh merupakan sebuah penghianatan yang sangat besar!

2. Menyuruh Melakukan Kebid’ahan

Nujuh bulan (mitoni – bahasa jawa) adalah acara yang banyak dilakukan oleh masyarakat ketika calon ibu genap tujuh bulan mengandung si bayi. Ini adalah salah satu dari sekian banyak amalan yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun begitu banyak masyarakat yang mengiranya sebagai ibadah sehingga merekapun bersemangat mengerjakannya. Ketahuilah wahai saudariku muslimah, jika seseorang melakukan suatu amalan yang ditujukan untuk ibadah padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyontohkannya, maka amalan ini adalah amalan yang akan mendatangkan dosa jika dikerjakan. Ketika sang suami menyuruh istrinya melakukan amalan semacam ini, maka istri harus menolak dengan halus serta menasehati suaminya.

3. Memerintah untuk Melepas Jilbab

Menutup aurat adalah kewajiban setiap muslimah. Ketika suami memerintahkan istri untuk melepas jilbabnya, maka hal ini tidak boleh dipatuhi dengan alasan apapun. Misalnya sang suami menyuruh istri untuk melepaskan jilbabnya agar mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan, hal ini tentu tidak boleh dipatuhi. Bekerja diperbolehkan bagi muslimah (jika dibutuhkan) dengan syarat lingkungan kerja yang aman dari ikhtilat (campur baur dengan laki-laki) dan kemaksiatan, tidak khawatir timbulnya fitnah, serta tidak melalaikan dari kewajibannya sebagai istri yaitu melayani suami dan mendidik anak-anak. Dan tetap berada di rumahnya adalah lebih utama bagi wanita (Lihat QS Al-Ahzab: 33). Allah telah memerintahkan muslimah berjilbab sebagaimana dalam QS Al-Ahzab: 59. Perintah Allah tidaklah pantas untuk dilanggar, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.

3. Mendatangi Istri Ketika Haidh atau dari Dubur


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “…dan persetubuhan salah seorang kalian (dengan istrinya) adalah sedekah.” (HR. Muslim)

Begitu luasnya rahmat Allah hingga menjadikan hubungan suami istri sebagai sebuah sedekah. Berhubungan suami istri boleh dilakukan dengan cara dan bentuk apapun. Walaupun begitu, Islam pun memiliki rambu-rambu yang harus dipatuhi, yaitu suami tidak boleh mendatangi istrinya dari arah dubur, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“(Boleh) dari arah depan atau arah belakang, asalkan di farji (kemaluan).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka ketika suami mengajak istri bersetubuh lewat dubur, hendaknya sang istri menolak dan menasehatinya dengan cara yang hikmah. Termasuk hal yang juga tidak diperbolehkan dalam berhubungan suami istri adalah bersetubuh ketika istri sedang haid. Maka perintah mengajak kepada hal ini pun harus kita langgar. Hal ini senada dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menjima’ istrinya yang sedang dalam keadaan haid atau menjima’ duburnya, maka sesungguhnya ia telah kufur kepada Muhammad.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Belajarlah Wahai Muslimah!

Demikianlah saudariku pembahasan singkat yang dapat penulis sampaikan. Sebagai penutup, mari kita ringkas pembahasan ini: Bahwa wajib bagi seorang istri untuk mematuhi apa yang diperintahkan suaminya dalam perkara yang mubah apalagi yang disyari’atkan Allah, namun tidak boleh patuh jika suami memerintahkan kemaksiatan dan yang dilarang oleh Rabb Semesta Alam.

Lalu, perkara apa sajakah yang termasuk dalam larangan Allah? untuk itu, setiap hamba wajib mencari tahu tentang syari’at Islam karena dengannya akan tercapai ketakwaan kepada Allah, yaitu melakukan yang Allah perintahkan dan meninggalkan apa yang Allah larang. Wahai para wanita muslim! Pelajarilah agama Allah dengan menghadiri majelis-majelis yang mengajarkan ilmu syar’i atau dengan menelaah buku dan tulisan para ‘ulama. Tidaklah mungkin seseorang akan mengenal agamanya tanpa berusaha mencari tahu. Dan tidak mungkin pula ilmu akan sampai kepadanya jika ia hanya bermalas-malasan di rumah atau kos, atau hanya sibuk berjam-jam berdandan di depan cermin, serta bergosip ria sepanjang waktu. Sungguh yang seperti itu bukanlah ciri seorang muslimah yang sejati. Bersegeralah melakukan kebaikan wahai saudariku, karena Allah pasti akan membalas setiap kebaikan dengan kebaikan, dan membalas keburukan dengan keburukan walaupun hanya sebesar biji sawi. Setiap anak Adam memiliki kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang senantiasa berusaha untuk memperbaiki dirinya. Wallahu ta’ala a’lam.

Referensi:

1. Al-Qur’anul Karim
2. Panduan Lengkap Nikah (dari A sampai Z), Abu Hafsh Usamah, Pustaka Ibnu Katsir
3. Rahasia Sukses Menjadi Istri Shalihah, Haulah Darwaisy, Pustaka Darul Ilmi
4. Sutra Ungu, Abu Umar Basyir, Rumah Dzikir

***

Penulis: Ummu Aiman
Muroja’ah oleh: Ustadz Nur Kholis Kurdian, Lc.

Artikel www.muslimah.or.id

Swedia Berlomba Masuk Islam


“Dalam ujian carilah peluang” itulah ungkapan yang sering didegungkan banyak orang di waktu menghadapi ujian, cobaan dan krisis. Terutama terkait dengan agama kita, Islam dan terkait dengan gerakan fanatisme kelompok, gerakan penistaan terhadap kemuliaan Rasulullah saw. dan upaya untuk menghalang-halangi cahaya Islam di Eropa.

Itulah yang terjadi di Swedia, ketika tersebarnya gambar-gambar yang menghina Rasulullah saw. justeru pada waktu yang bersamaan beribu-ribu penduduk Swedia masuk agama Allah.

Kondisi demikian terungkap ketika delegasi Pemuda Swedia menghadiri Muktamar Wartawan di Lembaga Pendidikan Swedia di daerah Iskandariah, Mesir pada hari Sabtu, 16/11/08.

Mereka mengemukakan data, 15 000 penduduk asli swedia masuk Islam, dan umur mereka antara 20 sampai 40 tahun, setelah kejadian pelecehan terhadap Rasulullah saw. subhanallah!

Delegasi yanng terdiri dari 12 orang -muslim dan muslimah- itu sedang menggarap 4 proyek dakwah untuk melayani kepentingan umat muslim di Swedia.

Proyek pertama,
pendidikan pemuda muslim, bagaimana mereka berinteraksi dengan masyarakat Swedia.

Proyek kedua,
pendidikan Bahasa Arab bagi para imam, karena generasi baru muslim Swedia tidak bisa berbahasa Arab.

Proyek ketiga,
peduli terhadap problematika lingkungann dan pelestariannya.

Proyek keempat, dialog antar agama.

Proyek-proyek ini bertujuan untuk merubah cara pandang masyarakat Swedia terhadap Islam, di mana mereka sebelumnya mengira Islam sebagai sumber masalah, merubahnya menjadi pengakuan bahwa Islam bagian dari agama-agama yang ada di tengah-tengah mereka. Penilian keliru masyarakat Swedia lantaran pemahaman mereka yang tidak benar tentang Islam.

Islam terhitung menjadi agama kedua di Swedia. Populasi muslim lebih dari setengah juta jiwa dari total jumlah penduduk Swedia delapan setengah juta jiwa.

Islam terbilang baru berkembang di Swedia, namun jumlah orang yang memeluk agama Islam terus bertambah banyak, terutama karena komunitas muslim di sana tidak mendapatkan kendala dalam menjalankan syiar dan simbol-simbol peribadatan Islam. Juga berdirinya masjid-masjid di seluruh penjuru kota di bawah undang-undang resmi yang diakui oleh parlemen Swedia, yaitu undang-undang kebebasan bergama, hak-hak pemeluk agama dalam menjalankan keyakinannya tanpa harus ada kekhawatiran sedikitpun meskipun bagi kelompok minoritas.

Di Ibu Kota Swedia ada 45 lembaga-lembaga Islam dan Islamic Centre, dan kota-kota besar terhitung ada 15 lembaga-lembaga Islam dan Islamic Centre. Begitu juga paling tidak ada 4 masjid raya di setiap kota besar.

Di Swedia digalakkan terjemah kandungan Al Qur’an, pembangunan masjid-masjid baru. Islam tersebar lebih banyak di kalangan perempuan, terutama lingkungan kampus dan akademisi. Penyebabnya adalah adanya ambivalensi di kalangan perempuan Eropa, di sisi lain perempuan muslimah Swedia mendapatkan kehormatan dan penerimaan yang utuh dari agama Islam dan komunitas muslim, yang tidak ada dalam agama-agama lain.

Muslimah Swedia mendirikan lembaga khusus bagi para muslimah pada tahun 1984, pada saat Islam baru pertama-tama berkembang di Swedia. Di organisasi ini aktivis muslimah melaksanakan kegiatan dakwah dan sosial di seluruh kota, berupa seminar, ceramah, kajian agama, muktamar Islam, bazar, stand amal, penyediaan perawat bagi anak-anak, pelatihan pendidikan anak, dan juga menopang problematika Islam.

Disebutkan dalam sejarah, bahwa Islam masuk di Swedia pada tahun 50-an pada abad 20 M, dibawa oleh sedikit orang yang bisa dihutung dengan jari, kebanyakan mereka dari Asia Tengah, yang lari dari Komunisme, dan sebagian lain dari Palestina yang diusir oleh Israil dari negaranya. (it/ut)

http://www.dakwatuna.com/2008/swedia-berlomba-masuk-islam/

Geliat Islam di Yunani

Athena, “Waktu terasa sangat singkat bagi kami dalam menghadirkan apa yang diinginkan oleh para pengunjung… ada kehausan yang hebat untuk mengenal Islam dan permasalahan yang melingkupinya, dengan itulah banyak kalangan ingin mengetahui agama Islam, umatnya, perkembangan sejarahnya, terutama pasca perang Iraq. Sebagaimana sebagian mereka sangat antusias menulis dan membaca pengalaman orang yang masuk agama baru ini.”

Itulah ungkapan yang disampaikan Wasim Ali, salah seorang musyrif atau pengelola situs tentang agama Islam dengan Bahasa Yunani. Situs ini dibangun dalam waktu sangat singkat, kurang dari satu bulan.

Ali menambahkan, situs “Islam berbahasa Yunan” yang dikelolanya mendapat sambutan luar biasa. Setiap harinya menerima surat dari pengunjung dari umat Islam dan umat masehi, mengungkapkan kegembiraan dan penerimaan situs ini. Mereka pun menyatakan siap membantunya.

Ali menambahkan, banyak di antara warga Negara Yunani yang menuliskan pengalaman spiritualnya sehingga akhirnya “kembali” kepada Islam, dan pandangan pembaca tentang Dunia Islam antara kemarin dan hari ini.

Tentang dukungan dari para pembaca, Ali mengatakan: “Kami membuka lebar-lebar bagi siapa saja terutama para penerjemah Bahasa Yunani, sehingga situs ini bertambah makalah-makalahnya secara rutin mingguan, mengingat pengelola situs ini masih terbatas.”

Ghirah Baru Dalam Beragama

Salah seorang pengunjung menulis pengalaman spiritualnya, sebut saja namanya Salim, “Saya mendapatkan hidayah Islam semenjak enam tahun yang lalu, sekarang saya menyiapkan sebuah buku tentang Islam dan perkembangan kontemporer umatnya. Saya tuangkan pandangan saya dalam tulisan itu, melalui pengalaman panjang saya bertahun-tahun. Saya bela Islam, dan bahwa Islam tidak benar dicitrakan buruk. Silahkan, bagi kalian yang ingin mencuplik muqaddimah tulisan atau bagian lain dari tulisan saya untuk dimuat di situs.”

Pengunjung lain menamakan diri “Dr. Al Haritsi” seorang dokter, ia menulis: “Sejatinya kita harus optimis, sebab setelah beberapa tahun ini, kami melihat adanya situs-situs yang mengenalkan Islam secara rasional, jauh dari fanatisme, memberi ruang bagi akal, bukan sekedar emosional.”

Al Haritsi menambahkan, “Situs yang bagus adalah yang mampu merangkai antara agama dan kenyataan kehidupan sehari-hari, atau tidak sekedar situs “agama” semata, akan tetapi merangkai kesempurnaan agama, kejadian sehari-hari, wawasan kontemporer, dan sejarah Islam.”

Afenia, begitu ia mengenalkan dirinya, ia menulis, “Bahwa sesuatu yang ditunggu-tunggu dari “Islam berbahasa Yunani” adalah sesuatu yang menguatkan prinsip-prinsip pemahaman, saling memahami, dan pengenalan peradaban Dunia Islam. Saya sarankan agar lebih mengedepankan saling memahamai dengan pihak-pihak yang berbeda menjadi perhatian semua kalangan.”

Anis, seorang asli warga negara Yunani, menjadi muslim sejak lima belas tahun yang lalu. Ia menulis, “Menjadi wajib untuk membaca perihal praktek-praktek dalam kehidupan seorang muslim, seperti cara memakai baju, makan, bermuamalah, etika, juga kupasan tema-tema ringan yang beragam dari sudut pandang Islam. Berbeda dengan yang ditampilkan non muslim terhadap Islam, bahwa Islam tidak mengurus masalah yang sedemikian.”

Konrtibusi Berjama’ah

Situs “Islam berbahasa Yunani” adalah sebuah situs baru, dirintis kurang dari dari satu bulan oleh sekelompok warga negara Yunani asli dan orang Arab yang berdomisili di Yunani. Mengupas beragam rubrik untuk segala jenjang umur, beragam wawasan, bahkan beragam agama, sampai menghimpun sekelompok kerja dari orang-orang masehi. Pengelola yang bekerja di situs ini adalah para ustadz dari universitas, mahasiswa dan lulusan kampus, wartawan dan para penerjemah.

Problem Yang Dihadapi


Dalam mewujudkan pengelolaan situs, Wasim Ali berkata, “Penyampaian agama secara langsung kadang tidak efektif dalam berinteraski dengan orang-orang Yunani dan orang Barat, karena mereka memandang agama sesuatu yang tidak penting. Yang lebih memungkinkan untuk mengambil hati dan pikiran mereka adalah dengan cara mengulas permasalahan-permasalahan seperti bidang staqafah atau wawasan dan seni. Inilah ciri khas situs yang akan tetap eksis di dalam menjalankan misinya.”

Yang menarik juga adalah, pengelola menyiapkan makalah-makalah mingguan seputar perkembangan Islam dengan beragam bahasa, seperti Bahasa Inggris, Arab, Yunani. Tulisan itu dikirim via e-mail ke para pembaca. Sebagaimana konten situs diterbitkan dalam tiga bahasa dan dibagi ke masjid-masjid di Athena.

Sesuai sensus pada tahun 2006, penduduk Yunani mencapai sepuluh (10) juta jiwa. Minoritas imigran mencapai dua (2) juta jiwa. Sebagian dari jumlah dua juta itu, adalah muslim. Sebagian besar mereka berasal dari etnis Albania.

So, bagi rekan-rekan yang mau mengikuti jejak baik saudara-saudara kita di Yunani dan negara-negara Barat lainnya, silahkan memberi dukungannya ke website dakwatuna yang kita cintai ini, dukungan moril maupun materiil. Sebab, siapa saja yang menunjukkan kebaikan dan membantu proses penyadaraan lewat beragam sarana, akan mendapatkan pahala jariah, bi idznillah. Dan bagi yang punya kelebihan berbahasa asing, silahkan juga bergabung dengan kami, boleh jadi dakwatuna akan hadir dengan beragam bahasa, Bahasa Mandarin, Jepang, korena dan lain-lain. (io/ut)

http://www.dakwatuna.com/2008/geliat-islam-di-yunani/

Bagaimana Mekanisme Penyaluran Zakat itu?

Assalamu’alaikum wr wb

Saya ingin bertanya, bagaimana sebetulnya mekanisme penyaluran zakat ? atas jawabannya saya ucapkan jazakallah khairan katsir.

Wassalamu’alaikum wr wb

Aji (022-99266xxx)

Zakat itu yang paling utama sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran dan Al-Hadits melalui amil zakat yang amanah dan terpercaya.

Hal ini sebagaimana terkandung dalam surat At Taubah ayat :60
(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya , untuk (memerdekakan) budak, orang- orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.)

dan At-Taubah : 103
(Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.).

Zakat tidak lagi dibayarkan langsung dari muzakki kepada mustahik. Itu tidak mengurangi fungsi dan peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Disamping itu, pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat akan lebih banyak manfaatnya, apalagi yang memiliki kekuatan hukum formal, akan memiliki beberapa keuntungan, antara lain :

a. Untuk menjamin kepastian dan kedisiplinan pembayar zakat.
b. Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dan para muzakki.
c. Untuk mencapai efesiensi dan efektivitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat.
d. Untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang islami.

Sebaliknya, jika zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syari'ah adalah sah, disamping akan terabaikan hal-hal tersebut diatas juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat akan sulit terwujud.

http://www.percikaniman.org/tanya_jawab_ziswaf.php?cID=7

Lembaga Zakat Hanya Menunggu?

Saat ini banyak bermunculannya lembaga zakat di Indonesia, namun kemudian timbul pertanyaan bagaimana cara lembaga itu bisa menagih zakat kepada muzaki karena pada zaman khalifah Abu Bakar asshidiq zakat tersebut ditagih langsung pada muzaki?

Sedangkan pada saat ini lembaga zakat hanya menunggu kesadaran dari muzaki, dan sebatas menyosialisasikan pentingnya zakat, apa yang sebaiknya dilakukan?

Betul sekali pada zaman Rasulullah SAW dan para shahabat zakat itu dipungut bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar, beliau memerangi kelompok yang menolak wajib zakat, karena pada masa itu kewajiban zakat masuk dalam mekanisme kenegaraan, dalam hal ini negara Islam tentunya.

Negara ini punya hak untuk mengambil harta dari orang kaya untuk dimasukkan ke dalam baitul mal untuk selanjutnya disalurkan kepada para mustahik.

Adapun pada zaman sekarang ini dengan tidak berjalannya sistem negara Islam, maka negara ini tidak terlalu melegalkan untuk memungutnya. Apalagi aparatur negara terkenal paling korup di dunia.

Sehingga lembaga-lembaga zakat swadaya masyarakat-lah yang untuk sementara mengambil beberapa bagian tugas itu yang di pelopori oleh LAZ RZI, YDSF dll dan tentunya AMANY PERCIKAN IMAN merasa terpanggil untuk membantu memudahkan para aghnia untuk pungutan zakat, infaq dan shodaqoh.

Sebagai muslim tentu kita tidak rela uang umat ini dilahap oleh tikus-tikus birokrasi yang berkelakuan bejat. Namun kita juga tidak mungkin membiarkan orang kaya muslim tidak punya tempat untuk menyalurkan kewajiban mereka.

Di tengah-tengah dua fenomena inilah lembaga amil zakat dan sejenisnya punya peranan. Insya Allah pada gilirannya, dari lembaga seperti inilah nanti kita bisa mengharapkan SDM yang berpengalaman untuk mengelola zakat dan SDM berpengalaman di lapangan untuk menggulirkan program zakat dan pemberdayaan masyarakat.

Bahwa lembaga-lebaga zakat ini tidak punya kekuatan untuk memerangi yang tidak bayar zakat, itu memang harus diakui. Tapi kalau kita melihat jumlah orang yang secara kesadaran mau bayar zakat dengan jumlah secara kualitatif dan kuantitif lembaga zakat ini, kelihatannya masih berimbang. Artinya sekedar melayani zakat dari kalangan ‘sadar zakat’ pun sebenarnya lembaga-lembaga ini sudah cukup disibukkan. Apalagi bila nanti lembaga ini diresmikan sebagai salah satu badan resmi pemerintah baik berbentuk departemen atau kementerian.

Insya Alloh kalau perzakatan ini sudah resmi berbentuk departemen atau kementerian ataupun dirjen perzakatan bahkan hanya dikeluarkan SK kewajiban zakat sudah luar biasa sekali akan banyak yang akan terberdayakan dan mungkin akan dapat membantu dalam program pemerintah dalam mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.

Muslim Karelia Hafal Al-Quran Tanpa Faham Bahasa Arab

Mansyur Rimojanov, dalam waktu 6 bulan bisa menghafal beberapa ayat dan surat Al-Quran tanpa tahu dan mengerti bahasa arab



Hidayatullah.com--Di Negara bagian Republik Karelia, Selatan Rusia, hidup ribuan umat Muslim. Di Mansur Rimojanovrepublik yang berbatasan dengan Finlandia itu, umat Muslim dapat menjalankan keislaman mereka dengan kebebasan penuh.

Dari ribuan umat Muslim itu, terdapat salah satu yang hafal Al-Quran. Ia adalah Mansur Rimojanov, seorang pengajar agama Islam di salah satu 'pesantren' di Karelia yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang pakaian.

Kemampuan menghafal kitab suci Al-Quran itu jugalah yang menjadikan Mansur kemudian didaulat untuk menjadi salah satu imam di Masjid Karelia.

dalam wawancaranya dengan canal televisi Rusia berbahasa Arab, Rusiya al-Yaum (RY), Mansur menyatakan ia hafal Al-Quran tanpa harus memahami dan mengerti bahasa Arab.

Mansur sendiri mengaku mulai menghafal Al-Quran sejak kecil. "Sejak kecil, saya memiliki impian untuk dapat menghafal Al-Quran. Dan sejak kecil pula, saya terus berusaha untuk menghafalkannya. Ayah saya sendiri hafal Al-Quran. Sejak umur 9 tahun, saya pun mulai menghafalnya dan menyetornya kepada ayah saya," jelas Mansur kepada RY (24/3).

Diceritakannya, dalam waktu sekitar 6 bulan, ia bisa menghafal beberapa ayat dan surat Al-Quran tanpa tahu dan mengerti bahasa arab.

Mansur memang terbilang sosok yang saleh. Setiap hari, setelah pulang bekerja, Mansur selalu menyempatkan dirinya untuk membaca Al-Quran. [atj/ry/www.hidayatullah.com]

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8984:muslim-karelia-hafal-al-quran-tanpa-faham-bahasa-arab&catid=67:internasional&Itemid=55

Masjid Jabalurrahmah Tetap Berdiri Kokoh di Tengah Kehancuran



Masjid Jabalurrahmah di lokasi bencara

warnaislam.com — Masjid Jabalur Rahman yang terletak di dekat Jalan Kampung Gunung menjadi buah bibir bagi warga yang berkunjung ke lokasi bencana. Hal itu lantaran masjid itu tidak roboh walau pun rumah di sekitarnya rusak parah, bahkan sebagiannya rata dengan tanah.



Meski hanya berjarak 50 meter dari tanggul Situ Gintung yang jebol, namun masjid itu tetap berdiri kokoh. Nyaris tidak ada kerusakan pada masjid bercat putih yang tingginya sekira 10 meter tersebut.

Fenomena masjid di tempat bencana tapi tidak rusak ini mengingatkan kita kepada kejadian yang serupa pada saat tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004.

Masjid Jabalur Rahman yang yang baru dibangun sekitar setengah tahun silam terletak di dekat Jalan Kampung Gunung. Masjid ini sekali seakan menjadi saksi atas kebesaran Allah. Bahkan menurut warga, korban yang tinggal di sekitar masjid itu hanya satu orang saja.

Saat ini di sekitar masjid ribuan warga itu nampak berdatangan menyaksikan, disamping juga tampak petugas Tim SAR gabungan yang sedang membersihkan puing-puing dari berbagai bangunan di sekitarnya.

http://warnaislam.com/berita/negeri/2009/3/29/58200/Masjid_Jabalurrahmah_Tetap_Berdiri_Kokoh_Tengah_Kehancuran.htm

Tidak Mengikuti Orang-orang Kafir dan Munafik

Adapun prinsip kedua yang menjadi kaidah tegaknya syariat Islam adalah tidak mengikuti dan menuruti keinginan orang-orang kafir dan munafik, tidak mencontoh segala bentuk prilaku, etika, adat dan kebiasaan, apalagi menjadikan undang-undang mereka sebagai sumber hukum mengalahi syariat Islam, tidak mendengar dan mengambil pendapat dan arahan mereka kecuali yang memberikan kemaslahatan, begitupun tidak menjadikan mereka tempat berkonsultasi dan meminta pendapat.

Hal tersebut diatas tersirat dalam kelanjutan ayat yang disebutkan pada awal surat Al-Ahzab :

وَلاَ تُطِعِ الْكَافِرِيْنَ وَالْمُنَافِقِيْنَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

“Janganlah engkau mengikuti orang-orang kafir dan munafik, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana” (Al-ahzab : 1)

Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya berkata : “Maksudnya adalah tidak mendengar pendapat mereka dan tidak menjadikan mereka tempat berkonsultasi”.[1]

Jika ada Perintah terhadap sesuatu pasti ada larangan pada kebalikannya, karena itu Allah melarang nabi-Nya saw dari mengikuti orang-orang kafir penduduk Mekkah dan yang lainnya, orang-orang munafik penduduk Madinah dan konco-konconya serta memperingatkan mereka untuk tidak cenderung pada mereka.[2]

Seakan perintah taqwa pada permulaan ayat menjadi inspirasi terhadap larangan dari mengikuti orang-orang kafir dan munafik.[3]

Diantara sebab-sebab turunnya ayat, seperti yang disebutkan oleh sebagian ulama ahli tafsir adalah sebagai berikut :

1. “Ayat tersebut turun atas orang munafik yang masuk Islam melalui lisannya saja namun hatinya tidak, disebutkan dalam riwayat bahwa ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah beliau berkeinginan agar umat Yahudi masuk Islam; seperti Bani Quraidzah, Bani Nadhir dan Bani Qainuqa. Sebagian diantara mereka ada yang masuk Islam dengan cara nifaq, tapi Rasulullah memperlakukannya dengan baik, menghormati mereka, jika ada yang melakukan kesalahan mereka memohon untuk dimaafkan dan beliau mendengarkannya, maka turunlah ayat” ini.

2. Imam Al-Wahidi,[4] Imam Qusyairi,[5] Imam At-tsa’labi[6] dan Imam Al-Mawardi[7] serta imam yang lainnya berpendapat bahwa ayat diatas turun kepada Abu Sufyan bin Harb[8], Ikrimah bin Abu Jahal[9] dan Abu Al-A’war Amru bin Abu Sufyan. Mereka mendatangi kota Madinah dan menemui Abdullah bin Ubay bin Salul, pentolan kaum munafikin setelah perang Uhud, saat itu nabi saw telah memberikan jaminan keamanan terhadapnya. Mereka juga menghadap Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah[10] dan Ibnu Ibriq.[11]

Mereka beramai-ramai menghadap Nabi saw dan berkata kepadanya sementara Umar bin Khattab berada disampingnya : Saya menolak berhala kami al-lata, uzza dan manat, tidak bermanfaat tapi katakanlah bahwa semuanya dapat memberi syafaat dan mencegah bagi yang menyembahnya, dan kami akan meninggalkan kamu bersama Tuhanmu.

Maka –setelah mendengar itu- hati nabi merasa gelisah terhadap apa yang mereka ucapkan sehingga Umar berkata : Wahai Rasulullah berikan izin kepadaku untuk membunuh mereka. Nabi bersabda : sesungguhnya saya telah memberikan jaminan keamanan kepada mereka. Maka Umarpun berkata kepada mereka : Enyahlah kalian dalam keadaan dilakanat Allah dan murka-Nya. Maka nabipun memerintahkan mereka untuk keluar dari kota Madinah hingga turunlah ayat diatas.[12]

3. Pendapat ketiga berkata : Bahwa ayat diatas turun pada saat pembatalan perjanjian Hudaibiyyah.

Diriwayatkan bahwa Abu Sufyan bin Harb, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Abul A’war As-Salami datang menghadap Rasulullah saw pada saat perjanjian yang dilakukan bersama keduanya, mereka juga menemui Abdullah bin Ubay, Mu’attab bin Qusyair[13] dan Al-Jad bin Qais[14], mereka saling berbicara untuk mencapai mufakat lalu menghadap Rasulullah saw dan mengajak untuk bersepakat bersama mereka, dan menjabarkan beberapa hal serta meminta penolakan penisbatan latta dan uzza pada hal-hal yang buruk, dan meminta untuk dianggap memberikan syafaat, maka Rasulpun merasa benci dan marah hingga turunlah ayat tersebut.[15]

4. Ibnu Jarir[16] berkata : dari Ibnu Abbas[17] bahwa Penduduk Mekkah menyeru kepada Nabi Muhammad untuk kembali kepada agama nenek moyang dan akan memberikan setelah itu akan harta atau kekayaan yang mereka miliki dan menikahkannya dengan anak perempuan dari Syaibah bin rabiah[18], sementara kaum munafik menakut-nakutinya bahwa mereka akan membunuhnya jika tidak mau menerima dan kembali pada agama nenek moyang, hingga turunlah ayat diatas.[19]

Kata “kafir” berari ingkar terhadap ni’mat Allah, berasal dari kata “Al-kufr” yang berarti menutupi, dan setiap yang menutupi sesuatu maka disebut kafir, karena itu pula petani disebut kafir karena menutupi biji (benih) di dalam bumi dengan tanah, seperti yang difirmankan Allah :

كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ

”Seperti hujan yang membuat takjub para petani dengan tumbuhnya tanaman” (Al-hadid : 20)

Begitupun malam hari dinamakan kafir karena dengan kegelapannya menutupi segala sesuatu dari penglihatan.

Sebagian ulama mengatakan : kufur terbagi pada 4 tipe :

1. Kufur Ingkar yaitu tidak mengenal Allah dan tidak mau mengakui-Nya, hati dan lisannya kufur.
2. Kufur Juhud yaitu kufur dengan tidak mau mengakui Allah di dalam hati namun mengucapkannya dalam lisan, seperti kufurnya Iblis dan ahli kitab, sebagaimana firman Allah : “Ketika datang kepada mereka ayat mereka ingkar dan tidak mau mengakuinya”. ( Al-Baqoroh : 89)
3. Kufur Inad yaitu kufur dengan pengakuan di dalam hati dan lisan namun tidak mau menegakkan agama karena dengki dan benci, seperti kufurnya Abu Jahal dan konco-konconya.
4. Kufur Nifaq yaitu kufur yang menampakkan Islam secara dzahir dan menyembunyikan keingkaran dalam hatinya sehingga tidak meyakini apa yang diucapkan, seperi perbuatan orang-orang munafik.

Adapun kata “Munafikin” adalah jama’ dari kata munafik yang maknanya memperlihatkan Islam dan menyembunyikan kekufuran dalam hatinya, berasal dari kata “An-Nafaq” yang berarti fatamorgana bumi, dalam kitab lisan Arab disebutkan : “Pembicaraan tentang nifaq talah banyak diulang, dan istilah ini adalah berasal dari kalangan Islam karena pada arab jahili tidak dikenal akan istilah ini, maknanya adalah menampakkan keislaman dan menyembunyikan keimanan”.[20]

Larangan dalam potongan ayat ini bukanlah tidak memiliki penafisran atau pandangan lainnya sehingga kadang orang memahami hanya sekedar menghindar dari larangan ini atau memahami hanya sekedar tidak mentaati mereka –orang kafir dan munafik- pada satu sisi saja tapi pada segala aspek kehidupan, seperti larangan mengangkat mereka sebagai pemimpin, seperti firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ

“Wahai orang-orang yang beriman, jangnlah engkau mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena kasih sayang; padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran..(Al-Mumtahanah : 1)

Musuh Allah yang disebutkan pada ayat diatas adalah umum mencakup berbagai jenis musuh baik kafir, munafik, Yahudi dan Nasrani yang tidak menjadikan Islam sebagai manhaj hidup mereka. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin sebgahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golognan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (Al-Maidah : 51)

Disamping itu Allah menjelaskan bahwa hanya Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman yang harus dijadikan sebagai pemimpin, pelindung dan penolong mereka pada perkara agama dan dunia, Allah SWT :

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

”Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (Al-Maidah : 54)

Sebgaimana juga Allah memerintahkan untuk tidak mengikuti kebiasaan, muamalah, prilaku dan adat istiadat mereka yang merusak dan menyimpang dari agama Islam. Namun –yang sangat ironi sekali- kita melihat saat ini umat Islam –pada sebagian mereka- mengambil orang-orang kafir sebagai teman setia dalam membangun negara mereka, mengambil ideologi dan kebudayaan mereka, muamalah dan prilaku mereka sehingga dapat menjauhkan umat dari agama Islam yang hanif, dan sebagai solusi utama terhadap segala permasalahan dan problema. Apalagi pemahaman ayat mengisyaratkan peringatan akan hal tersebut; jadi tidak boleh meminta bantuan kepada mereka apalagi bergantung, tidak menerima pandangan pada suatu permasalahan, dan tidak menjadikan sebagai teman setia, pembantu dan penolong, jangan merasa puas dengan mereka namun berhati-hatilah karena mereka adalah musuh Allah.[21]

Allah telah melarang untuk mentaati dan menuruti keinginan orang-orang kafir secara umum sebagaimana juga melarang terhadap orang-orang yang memiliki sifat pendusta dan kufur, bersumpah palsu atau lalai dari mengingat Allah, seperti firman Allah :

وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً

”Dan janganlah kedua matamu berpaling (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kemu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”. (Al-Kahfi : 28)

Maksudnya adalah janganlah engkau palingkah wajahmu kepada mereka yang telah tertipu dunia, dan mereka yang telah Kami jadikan hatinya lalai dari Al-Quran dan mengingat Allah, hawa nafsunya menyimpang dari kebenaran, memilih syirik daripada tauhid.[22] Allah SWT juga berfirman :

فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَاداً كَبِيراً

”Maka janganlah (kamu) mengikuti orang-orang kafir dan perangilah mereka dengannya dengan perang yang besar”. (Al-Furqan : 52)

Maksudnya jangan ikuti dan turuti orang kafir dan yang memiliki sifat seperti orang kafir, yang terjerumus pada kubangan hawa nafsu dan kebatilan. Dalam ayat lain Allah berfirman :

فَلا تُطِعِ الْمُكَذِّبِينَ. وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ. وَلا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ. هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ

”Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). Dan janganlah kamu ikuti setiap yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah”. (Al-Qalam : 8-11)
Dan firman Allah :

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِماً أَوْ كَفُوراً

”Maka bersabrlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir diantara mereka”. (Al-Insan : 24)
Kenapa dalam ayat ini Allah mengkhususkan orang-orang kafir dan munafik untuk tidak dituruti dan ditaati, padahal nabi sendiri tidak layak baginya untuk mentaati apapun kecuali Allah ?

Untuk menjawab pertanyaan diatas imam Fakhrurrozi berkata : ada dua kemungkinan perintah diatas diungkapkan Allah:

1. Karena penyebutan selain keduanya tidaklah perlu, karena nabi diperintahkan untuk menuruti dan tidak terbetik dalam jiwa nabi saw untuk mentaatinya dan sedikitpun tidak terlintas untuk melakukannya.

2. Bahwa ketika Allah berfirman : “Janganlah engkau taati orang kafir dan munafik” berarti mencegah kepada yang lainnya, karena setiap yang meminta untuk ditaati maka dirinya adalah kafir dan munafik, dan karena bagi siapa yang memerintahkan kepada nabi sesuatu atau dengan kewajiban dan berkeyakinan jika hal tersebut tidak dilaksanakan akan mendapat azab maka dia adalah kafir”.[23]

Adanya larangan ini setelah perintah taqwa yang diartikan dengan keteguhan sebelum adanya takhsis (pengkhususan) dan penekanan setelah yang umum, untuk menjadikan besarnya perhatian terhadap permasalahan tersebut.

Dan dipenghujung ayat Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana”. Dengan sighat (bentuk) “Fa’il” yang bermakna mubalaghoh (melebih-lebihkan), berarti Maha Tahu dan Maha Bijaksana, Allah Mengetahui segala perkara yang baik dan buruk, maka Dia tidak menyuruhmu kecuali ada maslahat dibaliknya dan tidak mencagahnya kecuali mudlarat dibaliknya, tidak memberikan keputusan (hukum) kecuali ada hikmah disampingnya. Kalimat tersebut merupakan penguat atas perintah dan larangan dan menjadikannya sebagai kewajiban yang harus ditaati, pengertiannya adalah ikutilah apa yang telah Kami perintahkan dan yang Kami larang, karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu dan bijaksana dalam Ucapan dan Perbuatan-Nya.[24]

Potongan ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa taqwa harus berasal dari lubuk hati yang paling dalam, tidak ada sesuatu yang disembunyikan dari selain Allah, seperti halnya seseorang yang mengaku dirinya pemberani padahal dirinya adalah pengecut dan penakut. Sebagaimana juga hal tersebut merupakan isyarat berupa larangan dan peringatan atas orang-orang yang beriman agar tidak mudah tertipu oleh kemajuan ilmu, keberhasilan dan experimen orang-orang kafir, apalagi disaat kaum muslimin dalam kondisi lemah dan terbelakang seperti ini sehingga menyimpang dari jalan Allah sangat mungkin terjadi, karena Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, Dialah yang menetukan kepada orang yang beriman jalan hidupnya, dari Pengetahuan dan Kebijaksanaan-Nya sementara yang dimiliki manusia hanyalah kulit saja dan sedikit.[25]

Karena itu, jika taqwa telah merasuk kedalam jiwa orang-orang yang beriman lalu disertai dengan amal salih tanpa ada ikatan atau mengikuti kebudayaan, prilaku dan adat yang menyimpang dari manhaj Allah, bersih dari ideology yang buram serta tidak memilih pemimpin atau perlindungan kecuali yang mengikuti dan mentaati Syariat Allah.

Maka dengan sendirinya akan menghasilkan sosok pribadi yang bersih dan salih, buahnya dapat dipetik dan dinikmati sehingga dapat membentuk masyarakat yang memiliki ciri khusus dan merdeka, tidak terikat pada masyarakat lainnya, tidak pernah merasa minder dan rendah diri sekalipun masyarakat lainnya memiliki kemajuan yang spektakuler –seperti yang kita rasakan saat ini-, baik dari keilmuan, experimen-experimen terbaru, kebudayaan yang memukau dan yang lain-lainnya. Kecuali dalam dirinya merasa yakin bahwa semua itu tidak akan mengungguli kebesara Allah dan kekuasaan-Nya.

Semua yang mereka miliki akan habis dan sirna sementara milik Allah kekal dan abadi.

Yakin bahwa hal tersebut adalah hiasan dunia, jika tidak diiringi akhlak Islamiyah seperti taqwa maka tidak ada manfaatnya sama sekali, seperti halnya fatamorgana di tengah padang pasir, dari kejauhan seperti air namun ketika didekati hampa, tidak mampu sama sekali menghilangkan diri dari rasa haus.

_____________________________
[1]. Tafsir Ibnu Katsir, jil. 3, hal. 466.
[2]. Tafsir Al-Munir, jil. 21, hal. 229
[3]. Lihat kitab Tafsir at-tahrir wat tanwir, jil. 10, hal. 250.
[4]. Imam Al-Wahidi adalah Ali bin Muhammad bin Ali bin Hatwiyyah Al-Imam Abul Hasan Al-Wahidi An-Naisaburi, satu-satunya mufassir pada zamannya, alim dalam bahasa, gurunya adalah Abu Ishaq ats-Tsa’labi, diantara karyanya : 3 kitab tafsir : As-Sabth, Al-Wasith dan Al-wajiz dan Asbabun nuzul, meninggal di kota Naisabur pada bulan Jumadil Akhir tahun 468 H.
[5]. Al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Huzan bin Abdul Malik bin Tolhah bin Muhammad an-Naisaburi, Al-Qusyairi, As-Syafi’I (Abul Qasim), sufi, mufassir, faqih, Asli, Muhaddits, mutakallim, wa’idz (juru nasehat), Adib (sastrawan), natsir (Penyair) dan nadzim (ahli tata bahasa). Lahir pada tahun 376 H. diantara karyanya : At-Taisir fi tafsir, Hayatul Arwah dan Ad-Dalil Ila Thoriqi As-solah. Meninggal di kota Naisabur tahun 465 H.
[6]. At-Tsa’labi adalah Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Abu Ishaq An-Naisaburi At-Tsa’labi, satu-satunya ulama dalam Al-Quran pada zamannya, beliau juga seorang mufassir, gurunya adalah : Ibnu Khuzaimah, dan muridnya adalah Abul hasan Al-Wahidi, diantara karya tulisnya : AT-tafsir dan Al-Arais fi Qisasal anbiya, meninggal pada bulan muharram tahun 427 H.
[7]. Al-Mawardi adalah Muhammad bin Habib al-Qadli Abul Hasan Al-Mawardi Al-Basri. Ulama tsiqoh bersal dari kalangan madzhab Syafi’i, seorang ulama yang memiliki kharisma yang sangat agung, salah seorang Imam besar, ada yang menuduhnya pengikut mu’tazilah, namun As-Subki membantahnya tapi beliau hanya punya pendapat yang persis dengan mu’tazilah pada masalah Al-Qadr. Diantara gurunya : Abul Hamid Al-Asfarayini, dan diantara k arya tulisnya : “Al-Hawi” “Tafsir Al-Quran” yang diberi nama dengan “An-Naktu”, meninggal pada hari selasa, diakhir bulan Rabiul awwal tahun 450 H dalam usia 86 tahun.
[8]. Abu Sufyan bin Harb adalah Al-Mugirah bin Al-Harits bin Abdul Muttalib bin Hasyim Abu Sufyan Al-Hasyimi Al-Qurasyi, beliau adalah saudara sesusuan Rasulullah saw, dan beliau juga paling kerang pertentangannya terhadap da’wah Rasulullah saw, beliau juga banyak berlaku kasar terhadapnya. Masuk Islam sebelum futuh Mekkah dan menyaksikan futuh Mekkah dan perang Hunain hingga baik Islamnya dan meninggal setelah Umar menjabat sebagai khalifah selama satu tahun tujuh bulan, ada yang mengatakan bahwa beliau meninggal pada tahun 20 H, Umar ikut menshalatkannya dan dikubur di pemakaman Baqi.
[9]. Ikrimah bin Abu Jahal bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum Al-Qurasyi Al-Makhzumi. Masuk islam setelah futuh Mekkah dan menjadi bagian umat islam yang terbaik. Sebalumnya beliau sangat keras permusuhannya atas nabi Muhammad saw, beliau terkenal sebagai penunggang kuda yang lihai, setelah futuh Mekkah beliau lari dan tinggal di Yaman, sebelumnya Rasulullah saat menuju Mekkah telah memerintahkan sahabtnya untuk membunuh Ikrimah namun dia berhasil kabur, Istrinya bernama Ummu Hakim Binti Ammah Al-harits bin Hisyam, pergi menemui Ikrimah di Yaman dengan jaminan keamanan dari Rasulullah saw, beliau masuk Islam sebelum futuh Mekkah, lalu kembalilah Ikrimah kepada Rasulullah saw dan masuk Islam hingga baik keislamannya. Beliau memiliki peran dalam memerangi kaum murtadin. Meninggal syahid dalam perang Ajnadin, ada yang mengatakan pada perang Yarmuk, dan yang ketiga mengatakan pada perang suffah.
[10]. Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah adalah Abdullah bin Said bin Abi Sarah Al-Qurasyi Al-Amiri, julukannya Abu Muhyi, saudara sesusuan Utsman. Ikut berperan dalam futuh Mesir, beliau disebut sebagai sohibul maimanah bersama Amru bin Al-Ash, Utsman telah memerintahkannya untuk menaklukkan Mesir. Saat terjadi fitnah beliau tinggal di Asqolan dan meninggal disana pada tahun 36, ada yang berpendapat pada tahun 59 H, beliau juga ikut dalam perang negeri Nubah tahun 31 H.
[11]. Ibnu Ibriq adalah Tu’mah bin Amru Al-Anshori, beliau termasuk dalam sahabat rasulullah saw, ikut semua perang kecuali perang Badr.
[12] Tafsir Al-Qurtubi, jal. 7 hal. 114.
[13]. Mu’attab bin Qusyair bin Jalil bin Zaid bin Al-Athaf bin Dlabiyyah bin Malik Al-Ansori Al-Awsi, salah seorang yang ikut dalam baiat Aqobah dan ikut berperang Badr dan Uhud. Ada yang mengatakan bahwa adalah salah seorang munafik dan dialah yang berkata seperti yang termaktub dalam Al-Quran : “Jika kami tahu perkaranya seperti ini kami tidak akan mati konyol disini”. (3 : 154) Dan ada yang mengatakan bahwa beliau akhirnya bertaubat.
[14]. Al-Jad bin Qais Shahr bin Sanan bin Adiy bin Ghanam bin Ka’ab bin Salamah Al-Anshari As-Salami, dijuluki dengan Abdullah bin Umar Al-Barra. Beliau pernah dianggap sebagai anggota munafi, dan pada dirinya turun ayat : “Diantara mereka ada yang berkata : “Berilah saya keizinan (tidak ikut berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah”. Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang kafir. (9 : 49) pada masa Jahiliyah beliau menjadi pemimpin bani Bani Salmah namun Rasulullah saw akhirnya mencabut kepemipinannya dan memberikannya kepada Amru bin Al-Jumuh, saat ada baiat beliau tidak ikut dan bersembunyi di bawah perut unta. Ada yang mengatakan : sesungguhnya pada akhirnya beliau bertaubat dan baik pertaubatannya, dan meninggal pada masa khalifah Utsman.
[15]. Lihat Tafsir Al-Qurtubi, jil 7, hal. 155
[16]. Ibnu Jarir adalah Abu Ja’far bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib At-Tobari, sejarawan, mufassir, muhaddits, muqri (hafidz), ulama terkenal dan imam terkemuka pada zamannya, lahir di desa Amil ota Teberstan tahun 224 H. pergi menuntut ilmu dan masuk ke kota Iraq, Syam dan Mesir kemudian tinggal di Baghdad, dan wafat pada tahun 310 H. diantara karya tulisnya : Akhbar Ar-ruslu wal muluk”, Jamiul Bayan Fi tafsir”
[17]. Ibnu Abbas adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdi Manaf, Abul Abbas Al-Qurasyi Al-Hasyimi, anak paman Rasulullah saw, dijuluki dengan Ibnu Abbas, anak yang paling besar dari yang laki-laki, ibunya bernama Lubabah Al-Kubra binti Al-harits bin Harb Al-Hilaliyah, anak dari bibi Khalid bin Al-Walid. Beliau juga dengan laut karena luasnya ilmu yang dimiliki, dan tinta umat. Lahir pada beliau dan nabi dan keluarganya hijrah dari Mekkah, maka nabi mendatanginya dan mentahniknya dengan sepotong buah kurma, yaitu pada tahun ketiga sebelum hijrah. Pada saat Rasulullah saw wafat beliau berumur 13 tahun, ada yang berpendapat umurnya saat itu 15 tahun. Meninggal pada tahun 78 H di kota Thaif. Dalam usia 70 tahun, diakhir hayatnya mata beliau mengalami kebutaan.
[18]. Syaibah bin Rabiah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf, saudara kandung Utbah. Beliau penganut Nasrani dari suku Quraisy, dan memiliki akhlak yang lembut, mulia dan dermawana. Beliau juga melekukan wukuf di Arafah jika datang bulan haji tidak seperti suku Quraisy yang lain. Beliau terbunuh pada saat perang Badr dalam keadaan kafir, pada tahun 2 H.
[19]. Lihat Luba An-Nuqul fi Asbabi An-Nuzul, Abdurrahman bin abu Bakar bin Muhammad As-Suyuthi Abu Al-Fadl, 849-911 H, jil I, hal. 171, dar ihya al-Ulum, Bairut.
[20]. Lihat Al-kamus al-muhith, Muhammad bin Ya’kub Al-Fairuz Abadi, afat pada tahun 817 H, tahqiq Muhammad Na’im Al-Arqasusi, jil. 1 hal. 8231, muassasah ar-risalah. Beirut, cet V, 1406 H. dan Lisan Al-Arab, jil. 2, hal. 452.
[21]. Suratul ahzab, urdun wa tafsir, hal. 19-20.
[22]. Lihat At-Tafsir al-wajiz, hal. 297
[23]. At-tafsir al-kabir, jil. 25, hal. 190.
[24]. Lihat tafsir Ruhul ma’ani, jil 21, hal. 143-144, dan At-tafsir al-wasith, bag. 11, hal. 14
[25]. Lihat tafsir Ruhul bayan, jil. 7,hal. 131 dan fi dzilalil Quran, jil. 5, hal. 2822.

Penterjemah: Abu Ahmad
http://www.al-ikhwan.net/karakteristik-masyarakat-islam-dalam-surat-al-ahzab-7-prinsip-prinsip-tegaknya-syariat-islam-2-tidak-mengikuti-orang-orang-kafir-dan-munafik-329/

Sikap Para Pemuka Terhadap Da’wah

Ketika Allah SWT hendak menceritakan tantang kisah para nabi dan rasul-Nya dalam Al-Quran; pertama kali yang diceritakan adalah pertentangan yang dilakukan oleh para pemuka –pemimpin kaum dan kekufuran mereka- terhadap para nabi dan rasul; sebagai kisah pertama yang disebutkan tentang pertentangan dan pembangkangan mereka terhadap utusan Allah sebelum menceritakan tentang kaum mu’minin dan sikap mereka terhadap para nabi. Hal demikian banyak memberikan faedah dan manfaat kepada Rasulullah saw dan para du’at setelah, diantaranya :

1. Meneguhkan hati Rasulullah saw atas kebenaran dan sebagai nasehat dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman, seperti dalam firman Allah:

وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (Hud:120)

2. Memberikan kelapangan dan keringanan kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya serta para du’at setelahnya bahwa sunnatullah dalam kehidupan adalah perseteruan antara yang hak dan yang bathil.

3. Memberikan penjelasan kepda Rasulullah saw dan para du’at bahwa pertentangan merupakan hal yang lumrah terjadi, dan bukan pertentangan yang hanya terjadi satu hari atau satu malam saja, namun akan terus berjalan hingga bertahun-tahun dan bahkan berabad-abad dan hingga hari kiamat; karenanya membutuhkan keuletan, kesabaran dan ketabahan para aktivis walaupun pertentangan itu mencapai titik paling berat sekalipun.

4. Kesadaran bahwa sekalipun pertentangan datang dari kekuatan yang besar, kemuflase dan jelas merupakan bentuk pembangakangan yang paling keras, namun tidak akan mampu menghancurkan kebenaran sekalipun sebesar bom atom, dan tidak akan menyurutkan kebenaran dan menghentikan perjalanan dakwah dari relnya selamanya.

5. Dakwah membutuhkan Kesabaran yang panjang sekalipun harus berhadapan dengan pembangkangan yang keras dan jauhnya kemenangan :

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلَاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ

“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” (Al-Ahqof :35)

Demikianlah Allah SWT menjelaskan kapada para du’at bahwa pertentangan dan perseteruan merupakan suatu keharusan dari kelompok orang-orang kafir dan pendukungnya yang banyak dengan bentuk yang bermacam-macam. Namun sekalipun demikian, para du’at harus tetap tetap berada dalam satu keyakinan. Dan jika kita kaji ayat-ayat Al-Qur’an, maka kita akan dapatkan ayat-ayat yang menceritakan tentang pertentangan para pemuka kaum terhadap para nabi :

- Seperti kisah nabi Nuh AS yang mana Allah SWt berfirman tentangnya :

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata) : “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu. Agar kemu tidak menyembah selain Allah.

Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya : Kami tidak melihat kamu, maliankan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin kamu adalah orang-orang yang dusta.

Berkata Nuh : “Hai kaumku, bagaimana fikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa kami akan paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?” (Hud:25-28)

- Begitupun kisah nabi Musa AS, Allah berfirman:


ثُمَّ بَعَثْنَا مِنْ بَعْدِهِمْ مُوسَى بِآَيَاتِنَا إِلَى فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِ فَظَلَمُوا بِهَا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ . وَقَالَ مُوسَى يَا فِرْعَوْنُ إِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَحَقِيقٌ عَلَى أَنْ لَا أَقُولَ عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ قَدْ جِئْتُكُمْ بِبَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَرْسِلْ مَعِيَ بَنِي إِسْرَائِيلَ . قَالَ إِنْ كُنْتَ جِئْتَ بِآَيَةٍ فَأْتِ بِهَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ . فَأَلْقَى عَصَاهُ فَإِذَا هِيَ ثُعْبَانٌ مُبِينٌ . وَنَزَعَ يَدَهُ فَإِذَا هِيَ بَيْضَاءُ لِلنَّاظِرِينَ . قَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ إِنَّ هَذَا لَسَاحِرٌ عَلِيمٌ . يُرِيدُ أَنْ يُخْرِجَكُمْ مِنْ أَرْضِكُمْ فَمَاذَا تَأْمُرُونَ

“Kemudian Kami utus Musa sesudah Rasul-rasul itu dengan membawa ayat-ayat Kami kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya, lalu mereka mengingkari ayat-ayat itu. Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang membuat kerusakan. Dan Musa berkata: “Hai Fir’aun, Sesungguhnya aku ini adalah seorang utusan dari Tuhan semesta alam, wajib atasku tidak mengatakan sesuatu terhadap Allah, kecuali yang hak. Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, Maka lepaskanlah Bani Israil (pergi) bersama aku”.

Fir’aun menjawab: “Jika benar kamu membawa sesuatu bukti, Maka datangkanlah bukti itu jika (betul) kamu Termasuk orang-orang yang benar”.

Maka Musa menjatuhkan tongkat-nya, lalu seketika itu juga tongkat itu menjadi ular yang sebenarnya. Dan ia mengeluarkan tangannya, Maka ketika itu juga tangan itu menjadi putih bercahaya (kelihatan) oleh orang-orang yang melihatnya. Pemuka-pemuka kaum Fir’aun berkata: “Sesungguhnya Musa ini adalah ahli sihir yang pandai, yang bermaksud hendak mengeluarkan kamu dari negerimu”. (Fir’aun berkata): “Maka Apakah yang kamu anjurkan?” (Al-A’raf:103-110)

- Kemudian kisah nabi Hud AS. Allah berfirman :


وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ . قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي سَفَاهَةٍ وَإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الْكَاذِبِينَ . قَالَ يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَأُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ . أَوَعَجِبْتُمْ أَنْ جَاءَكُمْ ذِكْرٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَلَى رَجُلٍ مِنْكُمْ لِيُنْذِرَكُمْ وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً فَاذْكُرُوا آَلَاءَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آَبَاؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ . قَالَ قَدْ وَقَعَ عَلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ رِجْسٌ وَغَضَبٌ أَتُجَادِلُونَنِي فِي أَسْمَاءٍ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا نَزَّلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ فَانْتَظِرُوا إِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُنْتَظِرِينَ . فَأَنْجَيْنَاهُ وَالَّذِينَ مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَقَطَعْنَا دَابِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا وَمَا كَانُوا مُؤْمِنِينَ

“Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya Kami benar benar memandang kamu dalam Keadaan kurang akal dan Sesungguhnya Kami menganggap kamu Termasuk orang orang yang berdusta.” Hud herkata “Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi aku ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu”.

Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu).

Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada Kami, agar Kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada Kami jika kamu Termasuk orang-orang yang benar.” Ia berkata: “Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu”.

Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang Nama-nama (berhala) yang kamu beserta nenek moyangmu menamakannya, Padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu? Maka tunggulah (azab itu), Sesungguhnya aku juga Termasuk orang yamg menunggu bersama kamu”. Maka Kami selamatkan Hud beserta orang-orang yang bersamanya dengan rahmat yang besar dari Kami, dan Kami tumpas orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan Tiadalah mereka orang-orang yang beriman”. (Al-A’raf:66-72)

- Begitu pula dengan Kisah nabi Sholeh AS. Allah berfirman:


وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ . قَالُوا يَا صَالِحُ قَدْ كُنْتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَذَا أَتَنْهَانَا أَنْ نَعْبُدَ مَا يَعْبُدُ آَبَاؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِي شَكٍّ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ مُرِيبٍ . قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَآَتَانِي مِنْهُ رَحْمَةً فَمَنْ يَنْصُرُنِي مِنَ اللَّهِ إِنْ عَصَيْتُهُ فَمَا تَزِيدُونَنِي غَيْرَ تَخْسِيرٍ . وَيَا قَوْمِ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آَيَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ . فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا فِي دَارِكُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ذَلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ . فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا صَالِحًا وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَمِنْ خِزْيِ يَوْمِئِذٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ . وَأَخَذَ الَّذِينَ ظَلَمُوا الصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دِيَارِهِمْ جَاثِمِينَ . كَأَنْ لَمْ يَغْنَوْا فِيهَا أَلَا إِنَّ ثَمُودَ كَفَرُوا رَبَّهُمْ أَلَا بُعْدًا لِثَمُودَ

“Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).”

Kaum Tsamud berkata: “Hai shaleh, Sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara Kami yang Kami harapkan, Apakah kamu melarang Kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak Kami ? dan Sesungguhnya Kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami.”

Shaleh berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, Maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian. Hai kaumku, Inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah Dia Makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat.”

Mereka membunuh unta itu, Maka berkata Shaleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.”

Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama Dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.

Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya, Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, Sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud”. (Hud:61-68)

- Sebagaimana juga Kisah Nabi Luth AS. Allah berfirman :


وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ . إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ . وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ . فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ . وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ

Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan:

“Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” Kemudian Kami selamatkan Dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya;

Dia Termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu”. (Al-A’raf:80-84)


- Serta Kisah Nabi Syu’aib :


وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ . وَلَا تَقْعُدُوا بِكُلِّ صِرَاطٍ تُوعِدُونَ وَتَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ آَمَنَ بِهِ وَتَبْغُونَهَا عِوَجًا وَاذْكُرُوا إِذْ كُنْتُمْ قَلِيلًا فَكَثَّرَكُمْ وَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ . وَإِنْ كَانَ طَائِفَةٌ مِنْكُمْ آَمَنُوا بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ وَطَائِفَةٌ لَمْ يُؤْمِنُوا فَاصْبِرُوا حَتَّى يَحْكُمَ اللَّهُ بَيْنَنَا وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ . قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لَنُخْرِجَنَّكَ يَا شُعَيْبُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَكَ مِنْ قَرْيَتِنَا أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا قَالَ أَوَلَوْ كُنَّا كَارِهِينَ . قَدِ افْتَرَيْنَا عَلَى اللَّهِ كَذِبًا إِنْ عُدْنَا فِي مِلَّتِكُمْ بَعْدَ إِذْ نَجَّانَا اللَّهُ مِنْهَا وَمَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَعُودَ فِيهَا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّنَا وَسِعَ رَبُّنَا كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا عَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ . وَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لَئِنِ اتَّبَعْتُمْ شُعَيْبًا إِنَّكُمْ إِذًا لَخَاسِرُونَ . فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ . الَّذِينَ كَذَّبُوا شُعَيْبًا كَأَنْ لَمْ يَغْنَوْا فِيهَا الَّذِينَ كَذَّبُوا شُعَيْبًا كَانُوا هُمُ الْخَاسِرِينَ . فَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَا قَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ فَكَيْفَ آَسَى عَلَى قَوْمٍ كَافِرِينَ

“Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu’aib. ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”.

Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang yang beriman dari jalan Allah, dan menginginkan agar jalan Allah itu menjadi bengkok. dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu. dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan. Jika ada segolongan daripada kamu beriman kepada apa yang aku diutus untuk menyampaikannya dan ada (pula) segolongan yang tidak beriman, Maka bersabarlah, hingga Allah menetapkan hukumnya di antara kita; dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya.

Pemuka-pemuka dan kaum Syu’aib yang menyombongkan dan berkata: “Sesungguhnya Kami akan mengusir kamu Hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota Kami, atau kamu kembali kepada agama kami”. berkata Syu’aib: “Dan Apakah (kamu akan mengusir kami), Kendatipun Kami tidak menyukainya?” Sungguh Kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah, jika Kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan Kami dari padanya. dan tidaklah patut Kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan Kami menghendaki(nya).

pengetahuan Tuhan Kami meliputi segala sesuatu. kepada Allah sajalah Kami bertawakkal. Ya Tuhan Kami, berilah keputusan antara Kami dan kaum Kami dengan hak (adil) dan Engkaulah pemberi keputusan yang sebaik-baiknya. Pemuka-pemuka kaum Syu’aib yang kafir berkata (kepada sesamanya): “Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu’aib, tentu kamu jika berbuat demikian (menjadi) orang-orang yang merugi”.

Kemudian mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka, (yaitu) orang-orang yang mendustakan Syu’aib seolah-olah mereka belum pernah berdiam di kota itu; orang-orang yang mendustakan Syu’aib mereka Itulah orang-orang yang merugi. Maka Syu’aib meninggalkan mereka seraya berkata: “Hai kaumku, Sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku telah memberi nasehat kepadamu. Maka bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?” (Al-a’raf:85-93)

serta kisah-kisah para nabi dan rasul lainnya.

Dan pembangkangan ini terus berlangsung, sejak awal diutusnya para rasul hingga nabi terakhir, seperti yang disebutkan dalam firman Allah :

كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ وَأَصْحَابُ الرَّسِّ وَثَمُودُ . وَعَادٌ وَفِرْعَوْنُ وَإِخْوَانُ لُوطٍ . وَأَصْحَابُ الْأَيْكَةِ وَقَوْمُ تُبَّعٍ كُلٌّ كَذَّبَ الرُّسُلَ فَحَقَّ وَعِيدِ

“Sebelum mereka telah mendustakan (pula) kaum Nuh dan penduduk Rass dan Tsamud, dan kaum Aad, kaum Fir’aun dan kaum Luth, dan penduduk Aikah serta kaum Tubba’ semuanya telah mendustakan Rasul- Rasul Maka sudah semestinyalah mereka mendapat hukuman yang sudah diancamkan”. (Qaaf:12-14)

Demikianlah, Allah menjelaskan dalam kitabnya sikap para pemimpin kaum dari risalah para nabi dan Rasul, dan perlawanan dan pembangkangan serta pertentangan keras ini terhadap kebenaran dapat menjelaskan kepada Rasulullah saw danpara du’at setelahnya atas jalan dan petunjuknya. Bahwa semua itu merupakan sunnatullah -suatu keniscayaan- yang menuntut para du’at memiliki keteguhan, keuletan untuk tegar dan sabar dalam berdakwah serta tabah dalam usaha mengembalikan manusia (umat) ke jalan yang benar.

Demikianlah setelah Allah menjelaskan keringanan dan pengajaran kepada nabi-Nya dengan memberikan peringatan kepada para du’at akan sikap nabi terhadap pertentangan yang dilakukan oleh suku kafir Quraisy, pembangkangan dan siksaan mereka terhadapnya yang disebutkan dalam banyak ayat-ayat Allah dan tuduhan mereka kepada beliau sebagai penyihir dan orang gila, namun disisi lain disebutkan juga keteguhannya beserta para sahabatnya dalam menghadapi pertentangan dan permusuhan, sehingga mengajarkan kepada para du’at hakikat peristiwa yang terjadi pada masa lalu hingga waktu yang akan datang yang kemudian menjadi bahan introspeksi dalam menjalankan amanah dakwah untuk selalu sabar dan tabah jika berhadapan dengan berbagai rintangan dan pertentangan.

Memberikan kesadaran kepada para du’at; bahwa sekalipun pembangakangan telah mencapai puncaknya, namun selamanya tidak akan melunakkan dan melemahkkan keteguhan para du’at, dan bahkan tidak akan mampu membuat iman yang terpatri dalam hati mereka menjadi lebur dan luntur, karena mereka begitu yakin akan ta’yid (dukungan) dan kemenangan Allah, dan disamping itu mereka juga memahmi akan hikmah tertundanya suatu kemenangan, dengan berharap mendapatkan apa yang ada disisi Allah berupa ganjaran dan syahadah di jalan-Nya.

http://www.al-ikhwan.net/sentuhan-sentuhan-tarbiyah-sikap-para-pemuka-terhadap-dawah-439/
Amal siyasi islami mempunyai dua titik tolak mendasar:

Pertama: Amal siyasi islami adalah amal sepanjang hayat, sebab, medan amal siyasi adalah keseluruhan amal kehidupan dan keduniaan semata, baik sosial, ekonomi, politik dan lainnya. Dan ia tidak mempunyai hubungan dengan urusan-urusan agama murni, semisal ibadah, ritual dan aqidah, di mana medannya adalah amal dakwah dan bukan amal siyasi. Jadi, amal siyasi adalah amal madani, hanya saja, hukum-hukumnya dan berbagai pengorganisasiannya, sumbernya adalah syariat Islam; tercakup di dalam pengertian syariat Islam ini adalah keseluruhan nash-nash ilahiyah dan seluruh ijtihad-ijtihad aqli dan ilmi dari manusia

Kedua: Amal Siyasi Islami adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari amal Islami secara umum. Hal ini tercakup oleh Islam yang syumul dan kenyataan bahwa Islam adalah manhaj kehidupan yang lengkap. Dan hal ini merupakan aqidah seorang muslim, di mana keimanannya tidak sah, dan agamanya tidak sempurna kecuali dengan aqidah ini.

Berdasar kepada tabiat “double gardan” seperti ini, dapat dikatakan bahwa amal siyasi islami tidak lain adalah amal siyasi madani yang:

1. Dishibghah dengan shibghah Islamiyah dan
2. Iltizam (komitmen) dengan nilai dan prinsip-prinsip Islam.

Oleh karena dasar inilah, maka:

1. Kesuksesan amal siyasi Islami mengharuskan untuk mengikuti:

1. Manhaj Islam
2. Pokok-poko dan dasar-dasar ilmu-ilmu politik kontemporer
3. Prinsip-prinsip amal siyasi pada umumnya, sebagaimana telah dijelaskan di depan

2. Komitmen yang sempurna dengan nilai, prinsip dan akhlak Islam yang mulia serta:

1. Syar’i dalam hal tujuan dan sarana
2. Haram mempergunakan sarana-sarana politik yang menyimpang, seperti: menipu, manuver dan konspirasi, menghalalkan cara-cara menyesatkan dan kemunafikan, tidak kredibel, prinsip “tujuan menghalalkan cara”.
3. Kemahiran dalam mengungkap dan membongkar cara-cara yang amoral. Dasarnya adalah ucapan Umar: “Saya bukan penipu, akan tetapi tidak bisa ditipu”.

3. Kemestian memperhatikan hukum-hukum syar’i dan bertitik tolak dari mafahim Islamiyah yang benar dalam khithab siyasi, sikap dan berbagai tindakan politik seluruhnya, serta memperhatikan dengan sungguh-sungguh data-data faktual dan berbagai situasi lokal, regional dan internasional.

“Alif Lam Mim. Bangsa Romawi telah dikalahkan, di negeri yang terdekat, dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi), bagi Allahlah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang), dan pada hari (kemenangan Romawi itu) bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki, Dia Mahaperkasa, Mahapenyayang”. (Ar-Rum: 1 – 5)

4. Memperhatikan kaidah-kaidah siyasah syar’iyah, mengenal dan memahami realita (fiqih waqi’), situasi kontemporer, kemahiran mengaitkan antara nash dan penerapannya dalam realita praktis, muwazanah antara kaidah-kaidah Islam dan berbagai perkembangan baru yang menuntut adanya murunatul harakah (kelenturan gerak), serta tathawwur mustamir (pengembangan kontinyu) dalam sikap juz-i dan marhali serta dalam sarana perealisasian tujuan-tujuan strategis

5. Bertolak dari syumuliyatul Islam dan bahwa Islam mengatur segala urusan kehidupan, amal siyasi Islami harus menangani berbagai isu dan problema besar yang sedang dihadapi oleh tanah air kita, serta memandang semua itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari amal Islami, khususnya masalah:

1. Reformasi politik,
2. Penghapusan segala bentuk corruption, baik di bidang keuangan, birokrasi dan akhlaq, kebebasan publik,
3. Stabilitas pemerintahan,
4. Penegakan disiplin,
5. Publikasi perilaku peradaban Islami dalam berbagai interaksi kehidupan,
6. Keadilan dalam distribusi kekayaan nasional kepada publik yang miskin,
7. Mengarahkan sumber-sumber keuangan untuk memberikan keadilan kepada kelompok fuqara dan papa,
8. Penghapusan jurang pemisah yang mencolok antara kaya dan miskin,
9. Pewujudan prinsip kesempatan yang sama atas dasar kemampuan dan kelayakan, bukan atas dasar lainnya,
10. Menjaga harta publik dari penjarahan (penggarukan) dan pemborosan serta memandangnya sebagai milik baitu malil muslimin, di mana setiap penduduk mempunyai hak yang ditetapkan atasnya dan bukannya milik negara atau penguasa yang boleh berbuat sekehendaknya, dan bahwasanya kekuasaan penguasa atas harta tersebut terikat dan bergantung kepada kemaslahatan kaum muslimin,
11. Masalah utama bangsa Arab dan Islam, utamanya masalah Palestina,
Dan bahwasanya solusi kita terhadap semua masalah ini haruslah memiliki keistimewaan shibghah Islamiyah yang jelas, yang berdiri di atas tsawabiti yang qath’iy, tujuan dan maqashid Islamiyah dan dengan mempergunakan perangkat, instrumen dan sarana Islam, dan juga berdiri atas dasar ilmiah modern, serta bukan merupakan copi paste dari solusi sekuler

Hubungan Antara Amal Tarbawi dan Amal Siyasi

Dapat disimpulkan bahwa hubungan di antara keduanya adalah hubungan tarabuth (saling terkait), takamul (saling melengkapi) dan tawazun (keseimbangan). Gambaran dan dimensi hubungan-hubungan ini tampak dalam penjelasan berikut:

1. Amaliyah tarbawiyah (proses tarbiyah) adalah amaliyah ta’sisiyah (proses pembentukan pondasi) untuk:

1. I’dad wa takwin al-rijal wa bina’ al-kawadir al-tanzhimiyah (menyiapkan, membentuk dan membina kader-kader struktural),

2. Tazkiyatun nufus wal arwah (mensucikan jiwa dan ruhani) agar mereka memiliki kemampuan untuk memikul beban amal siyasi maidani amali (kerja politik praktis lapangan)

3. Gharsu al-iltizam (menanamkan komitmen) dalam diri mereka, kehidupan, perilaku dan segala urusan mereka dengan sekumpulan nilai dan muwashafat khusus yang mengantarkan mereka untuk meningkatkan berbagai kemampuan mereka, memungsikan powernya dalam bentuknya yang sebaik mungkin,

4. Ta’hiluhum ilmiyyan wa amaliyan wa tadriban (meningkatkan keahlian ilmiah, operasional dan keterampilan) mereka dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka

Jika amaliyah tarbawiyah menjalankan fungsi takwin dan ta’hil-nya, maka hal ini akan tercermin dalam kualitas pelaksanaan dari sisi ijadah (kualitas), itqan dan ihsan yang akan merealisasikan buah yang paling berkah serta hasil yang terbaik dengan jerih payah paling efisien serta penekanan sisi negatif sekecil mungkin, namun, jika pelaksanaan fungsi ini tidak bagus, maka takwin khuluqi nafsi (pembentukan akhlaq dan jiwa) akan melemah, atau jika perhatian kepada aspek ta’hil ilmi amali tidak diperhatikan, maka hasilnya akan berbalik seratus delapan puluh derajat

2. Mukadimah bagi penegakan daulah Islamiyah yang merupakan tujuan terpenting dari dakwah kita tidak dapat direalisasikan kecuali dengan amal siyasi yang memiliki beragam bentuk dan melalui berbagai tahapan. Bentuk dan tahapan ini mempergunakan berbagai uslub (cara) untuk memunculkan ta’tsir siyasi (dampak politik) di samping ta’tsir da’awi (pengaruh dakwah), sebagaimana nasyath siyasi (aktivitas politik) sendiri dapat memberikan peran da’awi dalam merekrut personel baru, peningkatan kualitas sosial secara umum, pemerataan wa’yu Islami (kesadaran Islam) serta perealisasian dan penegasan syumuliyatul Islam.

3. Jawaban atas pemberian perhatian secara berimbang antara amal tarbawi dan amal siyasi tanpa ada dominasi satu pihak atas pihak lainnya, sebab ajaran-ajaran Al-Qur’an, yaitu tazkiyatun nafs tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan yaitu politik, karena inilah politik merupakan bagian dari Islam, dan menjadi kewajiban seorang muslim untuk memperhatikan aspek pemerintahan sebagaimana perhatiannya kepada sisi ruhiyah

http://www.qenaonline.com/html/modules.php?name=News&file=article&sid=483
http://www.al-ikhwan.net/hubungan-antara-aktivitass-tarbiyah-dengan-politik-1335/

Metode dan karakteristik Dakwah Islam

Metode da’wah Islam haruslah bersumber dari Al-Quran dan sejarah para anbiya (para nabi). Bagi yang menerima da’wah dan siap mengemban amanah untuk menyampaikan risalah, maka pertama yang dituntut darinya adalah mau menerima ajaran Islam secara kaffah, dan mensibghah dirinya dan segala urusan kehidupannya dengan Islam, menampakkan prilaku dengan tingkah laku islami sebagai tanda keikhlasan dan tajarrud (lepas diri dari selain Islam) mereka, melepas diri dari ideologi dan ajaran yang menyimpang, dan mensucikannya dari segala sesuatu yang bertolak belakang dengan keimanan mereka.

Dengan demikian akan terbentuk pribadi yang bertaqwa, jiwa yang tangguh dan akhlak yang mulia, biografi mereka akan selalu bersih dan siap menerima dan menghadapi segala macam cobaan dan ujian.

Walaupun diantara tabiat da’wah ini, perjalanan seorang da’iyah tidak selalu berjalan dengan mulus dan bebas dari duri-duri namun akan selalu berhadapan dengan rintangan dan cobaan yang sengaja ditebarkan oleh musuh-musuhnya, untuk membuat sang da’iyah merasa gelisah, atau kadang kala orangtuanya, saudaranya, kerabatnya, sahabatnya, anak-anak dan istrinya bisa menjadi musuh bagi dirinya, sehingga dapat menghambat perjalanan da’wahnya. Sehingga kehidupan yang dahulunya indah dan terasa nyaman akan berubah menjadi kehidupan yang penuh onak dan duri.

Inilah marhalah pertama yang menggerakkan para salaf –atas izin Allah- dalam mentarbiyah para afrad (generasi) yang di idamkan da’wah, yang memiliki sifat mulia, takwa dan ikhlas, pribadi yang kokoh dan suci, bagi mereka yang tidak kuat dan gagal dalam marhalah ini, dipersilahkan untuk menjauh dari da’wah ini. Sedangkan bagi siapa diberikan hidayah dan petunjuk dari Allah dan berhasil melewati ujian ini, maka mereka akan mendapatkan julukan –paling tidak- dalam diri mereka; generasi ideal yang mukhlis, bersih , sabar, teguh dan memiliki citra yang harum serta berani menegakkan kebenaran atas kebatilan. Dan jika tidak memiliki sifat-sifat yang tersebut diatas, maka akan sulit untuk mampu mengemban amanat yang begitu berat dan besar ini, berhadapan dengan ujian dan cobaan yang akan selalu menghadang para aktivis. Dan tentunya kita akan selalu tsiqah kepada mereka dan akan selalu memberikan support (motivasi) melalui sirah, dan membentuk karakter yang baik dalam diri mereka sehingga mampu melewati marhalah pertama.

Dan setelah itu, melatih mereka pada marhalah kedua dengan menempanya dengan beberapa ujian, cobaan dan rintangan yang belum mereka temui pada marhalah pertama.
Ujian dan cobaan pada marhalah ini bertujuan menggembleng mereka menjadi pribadi yang tangguh dan memiliki jiwa yang jeli dan sigap serta mampu membedakan antara yang baik dan buruk dengan nalurinya sendiri, walaupun pada dasarnya manusia mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Namun pada marhalah ini, naluri tersebut akan lebih di tingkatkan.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa jalan yang dipilih para aktivis Islam dalam mencari unsur-unsur kebaikan dan ketegaran, akan selalu menghantarkan mereka pada derajat ketaqwaan, walaupun –menurut ahli sufi- belum mencapai pada tingkat kesempurnaan, tapi setidaknya sudah menjadi bekal hidup dalam berda’wah, sehingga siap dalam mengemban amanat yang begitu berat dan melelahkan.

Perkara kedua yang urgen untuk dilakukan oleh para aktivis dakwah -setelah menerima da’wah ini- adalah memahami secara komperenship kebenaran yang telah Allah anugrahkan kepada mereka dan cahaya Ilahi yang telah menyinari diri mereka, dengan menjalin tali persaudaraan/ukhuwah; baik yang memiliki tali persaudaraan, kekerabatan, pertemanan, tetangga atau hanya dalam hubungan jual-beli di sekitar mereka, dengan selalu menyerukan kepada mereka untuk berada dalam naungan yang indah yaitu Islam.

Seorang da’iyah yang baik adalah yang selalu mengutamakan kehidupannya untuk da’wah sebelum yang lainnya. Karenanya dalam mengemban amanah ini, seorang da’iyah akan sealu diintai oleh sosok mata-mata dari berbagai penjuru, arah dan sisi, jika dalam sisi kehidupannya ditemui suatu kesalahan atau kelalaian maka musuh-musuh Islam akan segera menyebarkannya yang bertujuan menafikan keabsahan da’wah dan aqidahnya, dan tentunya masalahnya akan diperbesar hingga memaksa seorang da’iyah melepas dan menanggalkan da’wahnya dan aqidahnya.

Dari sini patutlah disadari, bahwa seorang da’iyah ketika yakin terhadap da’wah yang diemban secara ikhlas dan jujur, selamanya tidak akan merasa gentar dan merasa sempit hatinya terhadap terpaan cobaan dan rintangan yang menimpanya, terhadap kritikan yang selalu dilontarkan oleh musuh-musuhnya, namun juga tidak berusaha menutup-nutupi kesalahannya jika dijumpai ada kesalahan dan kealpaan dalam aktivitasnya, namun justru berusaha mengambil ibrah dari apa yang telah di sampaikan oleh para pengkritik tanpa melakukan konfrontasi dan perlawanan, walaupun dalam hati sekalipun.

Kemudian dalam mengemban amanah da’wah ini, kami berusaha membina anggota yang memiliki beragam karakter dan sifat, sehingga tidak hanya membutuhkan sekali pengarahan, namun membutuhkan beberapa kali, dan membutuhkan keseriusan dan ketabahan. Seorang aktivis harus menyadari bahwa dalam medan da’wah mereka akan selalu diiringi dengan situasi dan kondisi yang sangat keras, yang kadang -jika tidak memiliki kesabaran dan ketabahan- akan melemahkan ketegaran hatinya dan menjatuhkan himmahnya (semangat kegigihannya).

Namun, jika memiliki keteguhan dan ketegaran hati yang mantap, maka berbagai cibiran, cacian, cercaan yang dilontarkan, bahkan siksaan dan intimidasi tidak bisa melunturkan jihadnya, karena sebagian manusia akan terus berusaha menentang mereka dengan berbagai cara; baik dengan melontarkan cacian, cercaan, melepas panah beracun (fitnah) dengan mengobarkan debu-debu fitnah dan tuduhan menghinakan, membentuk kekuatan tandingan untuk bisa dengan leluasa menyebarkan tipu muslihat dan menyimpangkan kebenaran. Bahkan -jika bisa- dengan mengusir mereka dari tempat tinggal, mengharamkan hak warisan dari keluarganya sendiri, baik dari bapak atau ibu, memutus tali persaudaraan dan hubungan kerabat, hingga para da’iyah merasa dunia ini menjadi sempit baginya padahal bumi ini sangatlah luas, serta dengan mengaburkan kebenaran da’wah yang dibawanya. Kesemua itu merupakan contoh konkrit yang akan mengiringi kehidupan para da’iyah, jika bukan karena azimah (kemauan keras) dalam hati seorang da’iyah dan tidak disertai obsesi yang kuat, maka dia akan mudah tergelincir dari jalan kebenaran dan terjerumus pada lembah kebatilan, menghilangkan kestabilan dan keseimbangan naluri berfikirnya. Namun dengan keyakinan yang dimiliki dan keteguhan yang ada dalam hatinya, seorang da’iyah akan terus berjuang dan tetap tegar dengan manhaj yang diyakininya melalui hujjah yang nyata, hikmah dan tadabbur (teliti), berbuat benar, ikhlas dan amanah, serta berusaha semampunya memperbaiki lingkungan secara berkesinambungan. Sehingga terbentuk dari mereka pribadi yang memiliki sifat yang terpuji, karakter yang mulia, yang sangat dibutuhkan dalam mengemban amanah ini pada masa yang akan datang.

Disini kami telah berusaha mengerahkan tenaga dan fikiran kami, guna mengarahkan para anggota dan aktivis agar mampu dan siap berjuang bersama kami dan menyambut seruan Allah SWT dalam kitab-Nya yang mulia :

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Yaitu dengan memberikan penjelasan kepada mereka -sebelum orang lain- akan prinsip-prinsip dasar agama Islam, kemudian menyeru untuk mengaplikasikan tuntutan da’wah ini sedikit demi sedikit, dan berusaha mengcounter mereka agar tidak menyentuh perkara yang batil sehingga menjerumuskan mereka pada kema’siatan, tidak mendahulukan perkara yang furu’ dari yang pokok, hukum-hukum yang parsial dari yang sifatnya kulli dan kaidah-kaidah yang global. Tidak ragu dalam membasmi kemungkaran, tidak menganggap kelalaian dan penyimpangan mereka dengan sikap sinis, apalagi merasa rendah diri dan acuh, namun berusaha memberikan solusi yang terbaik, karena seorang da’iyah layaknya seorang dokter yang sedang mengobati pasiennya, yang bisa memberikan motivasi untuk bisa sembuh dari penyakit dan masih ada harapan untuk hidup walaupun seorang dokter mengetahui dan menyadari bahwa sakitnya tidak bisa disembuhkan lagi.

Seorang da’i berusaha melatih diri untuk bersikap bijak terhadap orang yang menuduh mereka dan berusaha mengambil simpati dengan memahami karakteristik mereka. Membentengi diri dengan kesabaran terhadap cacian, celaan, hinaan dan kezhaliman yang dilancarkan atasnya, menjauhkan diri dari bantahan dan perdebatan orang-orang bodoh, selalu melebarkan sayap da’wahnya dan meluangkan waktu untuk memperbaiki mereka, dengan cara menyampaikan da’wah kepada mereka yang mengidamkan petunjuk dan kebenaran walau dalam segi materi keadaan mereka sangat miskin dan tidak memiliki wibawa, yang biasanya tidak terlintas dalam fikiran mereka untuk menolak dan bersikap sombong serta acuh kecuali keikhlasan dan kesucian jiwa untuk menerima da’wah ini, siap mengemban amanah semampu mereka walaupun siksaan, cobaan dan intimidasi akan selalu mengiringi mereka. Berusaha memperbaiki niat dalam geraknya, bahwa yang dilakukan merupakan kewajiban dan harus dijalankan dengan niat karena Allah SWT dan berjalan diatas syariat-Nya. Meyakini akan ganjaran Allah, baik ganjaran yang sifatnya zhahir (tampak) atau tersembunyi, ganjaran yang ada di dunia ataupun yang akan datang (di akhirat), sehingga memotivasi dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam beramal, yang diiringi dengan kesabaran dan berkesinambungan, yang pada akhirnya akan menghasilkan seorang da’iyah yang tangguh dan tegar.

Maka dari itu, terbentuknya jiwa seorang da’iyah –dari satu sisi- adalah dengan memiliki ketegaran iman, kejelian hujjah, kesungguhan, kharisma, kewibawaan, kemuliaan akhlak, dan bijaksana dalam menghadapi berbagai permasalahan, yang mana semua itu merupakan kebutuhan pokok yang harus dimiliki seorang da’i dalam meniti fase-fase da’wah pada masa mendatang. Dan -pada sisi lain-, bahwa da’wah walaupun tampak pertumbuhannya lamban namun memiliki tujuan yang sangat suci dan kongkrit; menjadikan kejumudan lingkungan sebagai ladang da’wah dan meningkatkan taraf hidup dan wawasan mereka, sehingga dengannya akan tampak keceriaan hidup masyarakat dalam menjalankan roda kehidupan mereka di dunia, dan -sekaligus- melahirkan jundi-jundi yang handal –walaupun sedikit-, mukhlis dan sabar serta memiliki kharisma di tengah masyarakatnya. Kesemua itu tentunya membutuhkan kesabaran dan jalan yang sangat panjang serta waktu yang lama.

Bagian terpenting lainnya dari manhaj da’wah kami adalah haram bagi kami memback up sistem kebatilan dan pemerintahan yang zhalim, mengabsahkan undang-undang yang mereka buat demi meraih harta yang sedikit, atau karena ingin menyelamatkan jiwa, harta dan keluarga, karena kami telah mengikrarkan diri; bahwa kami tidak akan rela membantu nizham (rezim) kebatilan demi menyelamatkan jiwa, harta dan kehormatan belaka dari murka Allah SWT.

Walaupun hal ini kami tidak mewajibkan kepada anggota kami kecuali telah meletakkan pilar-pilarnya yang untuk selanjutnya mereka bebas memilih, apakah mereka mau meninggikan dan memuliakan pilar ini atau melecehkan dan merendahkannya, sehingga kemudian manuai kekalahan dan kehinaan di hadapan para penguasa zhalim. Maka dari itu kami membuat batasan terendah, bahwa kami tidak akan menerima anggota yang memiliki sifat plin-plan dan tidak memiliki komitmen yang baik terhadap ajaran Islam dan suka menggunakan agama sebagai sarana mencari kesenangan sesaat dengan menjual ayat-ayat Allah dengan harta yang hina dan sedikit. Karenanya seseorang yang memiliki sifat demikian berarti ia telah melakukan kesaksian palsu atau melakukan pelanggaran yang tidak memiliki dasar sama sekali kecuali hanya mencari kesenangan sesaat dan kepentingan pribadi, atau mencari fanatisme kelompok, golongan dan keluarga.

Bagi mereka yang memandang permasalahan pada sisi permukaannya saja, dan mencermati gerak-gerik kami dengan mencari kesalahan untuk dijadikan bahan mengklaim kami sebagai gerakan/sempalan ektrimis, militan atau fundamentalis kepada kami.

Dalam menanggapi permasalahan ini ada bebarapa faedah yang dapat kita petik :

1. Bahwa dengan keteguhan hati, kami dapat memperlihatkan bahwa kami adalah jamaah yang berdiri diatas prinsip, dan kami tidak mencari kehidupan kecuali dengannya. Saat kami mengatakan bahwa tidak ada syariat yang mengatur kehidupan manusia kecuali syariat Allah, saat kami berpendapat bahwa tidak ada hakim (penguasa) yang sah kecuali Allah SWT, dan tidak ada yang berhak membuat hukum di muka bumi ini sehingga patut disembah dan ditaati akan undang-undangnya kecuali Dia, serta berkeyakinan bahwa setiap undang-undang yang dibuat oleh manusia tanpa bersandar pada undang-undang yang diturunkan Allah dan sesuai dengannya, maka undang-undang tersebut adalah bathil, kufur dan zhalim, dan kami tidak akan mengakui undang-undang yang tidak berlandaskan syariat Allah dan kami tidak akan membiarkannya menyebar ke tengah masyarakat. Kami akan beruasaha untuk merealisasikan keyakinan kami dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan akidah kami hingga darah penghabisan, walaupun rintangan, ancaman, intimidasi bahkan siksaan akan menyertai kami. Karena yang demikian merupakan konsekwensi logis yang harus kami hadapi sebagai perwujudan akan ketulusan hati, kemantapan jiwa, ketegaran akhlak, dan kesesuaian amal terhadap akidah kami. Namun, bagi siapa berambisi ingin meraih manfaat yang sesaat, atau takut menghadapi ancaman yang akan menimpa harta dan jiwa, sehingga mendorong untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan akidah, maka hal tersebut merupakan dalil yang sangat nyata akan inkonsistensi azimah dan ketidak tegaran jalan hidup.

2. Kami dapat mengetahui kemurnian akidah dan ketsiqahan sebagian anggota kami, kami akan dapat dengan mudah mencari siapa diantara mereka yang murni keimanan dan akidah mereka, dan kami hanya bisa berharap dan berdoa semoga mereka bisa bersabar dan tabah atas segala macam ujian, cobaan dan musibah yang akan mereka hadapi kelak

3. Selain itu juga kami dapat menemukan diantara anggota kami yang tsiqah dan komitmen terhadap manhaj yang mereka yakini, lalu kami dapat memobilisasi mereka untuk tidak mendukung undang-undang yang dibuat oleh manusia, kalaupun keadaannya mengharuskan demikian, maka kami akan menyarankan untuk dapat berinteraksi sebatas kebutuhan dengan didasari akhlak yang mulia, prilaku yang suci, sehingga memberikan ciri khas tersendiri di tengah masyarakat, karena kemuliaan akhlak dan kesucian prilaku, kebaikan beragama, amanah, salih, taqwa dan sifat-sifat yang baik lainnya merupakan ciri orang yang beriman, dan dapat memberikan pengaruh positif pada masyarakat luas sehingga musuh-musuh Allah tidak leluasa mengahalangi aktivitas dakwah mereka, karena secara tidak langsung masyarakat menyenangi orang yang baik kepribadiannya, paling tidak kalaupun masyarakat tidak mengikuti jejaknya, atau belum berani, mereka akan memberikan dukungan spiritual kepadanya. Namun jika mereka mengharamkan diri untuk berinteraksi dan menajuhkan diri dari undang-undang tanpa mau mencermati sisi kebaikan dan keburukannya, maka akan sulit mendapatkan simpati dari masyarakat apalagi dukungan moral.

4. Adapun faedah yang terakhir –yang tidak kalah pentingnya dengan faedah-faedah sebelumnya-; adalah, bahwa kami telah menghantarkan harta dan jiwa kami ke jalan yang penuh onak dan duri, terjal dan berlubang. Dengan itu kami bertekad akan menghalau dan menghadapi para penghalang da’wah dengan penuh ketabahan dan kesabaran serta hikmah, jika kebanyakan dari manusia memusuhi da’wah ini, maka jelas dan tampak kebobrokan masyarakat itu, dan kami juga akan dapat melihat siapa diantara mereka yang memiliki sifat ambivalensi, yang pada satu saat mau mengikuti da’wah kami dengan baik, namun pada saat lain dia akan mudah melakukan khianat, kebohongan, penipuan dan ingkar janji, jika berada pada saat yang menyenangkan mereka dan jauh dari undang-undang.

Dan kami juga akan dapat mengetahui : betapa banyak orang yang hanya memakai kedok dalam beragama, bersembunyi di balik logika dan kelicikan prilaku, mau melakukan ketaatan saat ada undang-unadang atau polisi yang memantaunya, namun saat keadaan sepi dan jauh dari pantauan, maka berbagai macam pelanggaran akan muncul darinya ; dekadensi moral, atheisme, dan hamjiyyah (kebiadaban). Moral yang tercela ini sangat banyak kita temui di tengah hiruk pikuk kehidupan masyarakat yang muncul dalam bentuk adat istiadat dan aturan-aturan buatan manusia. Kami berusaha membuka kedok para perusuh tersebut sehingga masyarakat dapat memahami mana jalan yang benar dan mana yang bathil, mana kelompok yang berada di jalan kebenaran dan mana kelompok yang berada di jalan kesesatan, sekaligus membangkitkan dlamir (hati) masyarakat untuk dapat mengerti bahwa penyakit moral yang berbahaya ini masih saja berkeliaran dan akan terus merajalela dan menancapkan kukunya di muka bumi ini hingga seluruh umat manusia bobrok dibuatnya.

* Makalah ini merupakan bagian dari ceramah Ustadz Abul A’la Al-Maududi yang berjudul “Ad-Da’wah Al-Islamiyah Fikrotan wa Manhajan –da’wah Islam secara fikrah dan manhaj-“ pada acara pertemuan jama’ah Islamiyah yang diadakan di desa “Darul Islam di India” pada bulan April, tahun 1945 M, yang dihadiri oleh seluruh anggota jamaah Islamiyah di India saat itu.

Penterjemah:
Abu Ahmad

http://www.al-ikhwan.net/sentuhan-sentuhan-tarbiyah-metode-dan-karakteristik-dakwah-islam-416/