Kini, Sekolah Jerman Ajarkan Islam
SISWA MUSLIM DI JERMAN: Kini mereka memperoleh pengajaran Agama Islam di sekolah umum
BERLIN - Sekolah umum di Jerman tak lama lagi bakal mengijinkan siswa Muslim memperoleh pelajaran tentang keyakinan mereka. Keputusan itu bagian dari rekomendasi hasil dialog selama empat tahun, antara pemerintah Jerman dan komunitas Muslim.
"Melangkah ke depan, penerapan lebih jauh rekomendasi hasil dari Konferensi Islami Jerman (DIK), untuk integrasi sosial dan keagamaan Muslim di Jerman, sangatlah krusial," ujar Menteri Dalam Negeri, Wolfgang Schaeuble, dalam hari terakhir DIK, Kamis (25/6).
"Hal ini bisa menjadi contoh di dalam masyarakat kita untuk mengakui dan mengatasi semua perbedaan yang timbul," imbuhnya. Salah satu rekomendasi utama adalah meresmikan pengajaran Islam di sekolah umum dan membentuk jurusan teologi Islam di perguruan-perguruan tinggi di Jerman.
"Status akademik dibutuhkan, karena teologi Islam berbasis di Jerman dapat menawarkan jawaban tepat seputar masalah kehidupan Muslim dalam keragaman," ujar Wolfgang "Sekaligus dapat mengangkat isu partisipasi mereka dalam diskursus politik umum negara," imbuhnya.
Orang tua siswa Muslim memang telah lama mengeluhkan sekolah umum yang tidak memberi mata pelajaran agama untuk anak-anak mereka. Kini, mereka dapat berlega hati, meski hanya beberapa sekolah yang dijadikan proyek awalan dalam pengajaran Islam untuk murid-murid Islam.
Sekolah-sekolah Jerman saat ini telah mengajarkan pendidikan agama lain, yakni Yahudi, Katholik, dan Portestan.
Selain pengajaran Islam dalam sekolah, pemimpin muslim dan pemerintah juga merekomendasikan sekolah mengakomodasi keprihatinan para orang tua murid Muslim, khususnya murid putri dalam mata pelajaran berenang yang bercampur dengan murid pria. Rekomendasi lain juga menyatakan murid Putri dapat mengenakan jilbab di dalam sekolah, bukan cadar
DIK sendiri dibentuk oleh pemerintah pada 2006 lalu dalam upaya melakukan dialog antara negara dan komunitas Muslim Mereka. Studi terbaru yang dilakukan oleh Kantor Federal di Nuremberg urusan Migrasi dan Pengungsi (BAMF), memproyeksikan citra baru atas komunitas Muslim Jerman. Komunitas tersebut, menurut studi, jauh dari selip pandangan negatif pada umumnya yang terjadi pada komunitas Muslim di negara lain.
Lembaga itu menyatakan dalam studinya, Muslim lebih membaru ketimbang sebelumnya. Tak hanya itu, mereka menemukan bahwa 45 persen Muslim di Jerman adalah warga negara asli.
Penemuan lain dalam studi sekaligus menjadi tanda keberhasilan pembauran, fakta lebih dari separuh Muslim Jerman merupakan anggota asosiasi atau klub-klub Jerman. Perkumpulan itu mulai dari klub olahraga, klub warga senior, perserikatan tenaga kerja, bukan klub yang mendasarkan keanggotaan pada asal-usulnya. (iol/itz)
http://republika.co.id/berita/58656/Kini_Sekolah_Jerman_Ajarkan_Islam
Hukum Aqiqah Setelah Dewasa
Tanya :
Kalau kita dulu waktu lahir belum diaqiqahi, wajibkah aqiqah ketika kita dewasa selagi mampu?
(Harun, Bandung)
Jawab :
Ada 2 (dua) pendapat fuqaha dalam masalah aqiqah setelah dewasa (baligh). Pertama, pendapat beberapa tabi'in, yaitu 'Atha`, Al-Hasan Al-Bashri, dan Ibnu Sirin, juga pendapat Imam Syafi'i, Imam Al-Qaffal asy-Syasyi (mazhab Syafi'i), dan satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka mengatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, disunnahkan (mustahab) mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Dalilnya adalah hadis riwayat Anas RA bahwa Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah nubuwwah (diangkat sebagai nabi). (HR Baihaqi; As-Sunan Al-Kubra, 9/300; Mushannaf Abdur Razaq, no 7960; Thabrani dalam Al-Mu'jam al-Ausath no 1006; Thahawi dalam Musykil Al-Atsar no 883).
Kedua, pendapat Malikiyah dan riwayat lain dari Imam Ahmad, yang menyatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, tidak mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Alasannya aqiqah itu disyariatkan bagi ayah, bukan bagi anak. Jadi si anak tidak perlu mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Selain itu, hadis Anas RA yang menjelaskan Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri dinilai dhaif sehingga tidak layak menjadi dalil. (Hisamuddin 'Afanah, Ahkamul Aqiqah, hlm. 59; Al-Mufashshal fi Ahkam al-Aqiqah, hlm.137; Maryam Ibrahim Hindi, Al-'Aqiqah fi Al-Fiqh Al-Islami, hlm. 101; M. Adib Kalkul, Ahkam al-Udhiyyah wa Al-'Aqiqah wa At-Tadzkiyyah, hlm. 44).
Dari penjelasan di atas, tampak sumber perbedaan pendapat yang utama adalah perbedaan penilaian terhadap hadis Anas RA. Sebagian ulama melemahkan hadis tersebut, seperti Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (Fathul Bari, 12/12), Imam Ibnu Abdil Barr (Al-Istidzkar, 15/376), Imam Dzahabi (Mizan Al-I'tidal, 2/500), Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah (Tuhfatul Wadud, hlm. 88), dan Imam Nawawi (Al-Majmu', 8/432). Imam Nawawi berkata, "Hadis ini hadis batil," karena menurut beliau di antara periwayat hadisnya terdapat Abdullah bin Muharrir yang disepakati kelemahannya. (Al-Majmu', 8/432).
Namun, Nashiruddin Al-Albani telah meneliti ulang hadis tersebut dan menilainya sebagai hadis sahih. (As-Silsilah al-Shahihah, no 2726). Menurut Al-Albani, hadis Anas RA ternyata mempunyai dua isnad (jalur periwayatan). Pertama, dari Abdullah bin Muharrir, dari Qatadah, dari Anas RA. Jalur inilah yang dinilai lemah karena ada Abdullah bin Muharrir. Kedua, dari Al-Haitsam bin Jamil, dari Abdullah bin Al-Mutsanna bin Anas, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas RA. Jalur kedua ini oleh Al-Albani dianggap jalur periwayatan yang baik (isnaduhu hasan), sejalan dengan penilaian Imam Al-Haitsami dalam Majma' Az-Zawa`id (4/59).
Terkait penilaian sanad hadis, Imam Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan lemahnya satu sanad dari suatu hadis, tidak berarti hadis itu lemah secara mutlak. Sebab bisa jadi hadis itu mempunyai sanad lain, kecuali jika ahli hadis menyatakan hadis itu tidak diriwayatkan kecuali melalui satu sanad saja. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, 1/345).
Berdasarkan ini, kami cenderung pada pendapat pertama, yaitu orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, disunnahkan mengaqiqahi dirinya sendiri setelah dewasa. Sebab dalil yang mendasarinya (hadis Anas RA), merupakan hadis sahih, mengingat ada jalur periwayatan lain yang sahih.
Wallahu a'lam.
Ust M Shiddiq Al Jawi
http://www.mediaumat.com/index.php?option=com_content&task=view&id=633&Itemid=2
Kalau kita dulu waktu lahir belum diaqiqahi, wajibkah aqiqah ketika kita dewasa selagi mampu?
(Harun, Bandung)
Jawab :
Ada 2 (dua) pendapat fuqaha dalam masalah aqiqah setelah dewasa (baligh). Pertama, pendapat beberapa tabi'in, yaitu 'Atha`, Al-Hasan Al-Bashri, dan Ibnu Sirin, juga pendapat Imam Syafi'i, Imam Al-Qaffal asy-Syasyi (mazhab Syafi'i), dan satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka mengatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, disunnahkan (mustahab) mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Dalilnya adalah hadis riwayat Anas RA bahwa Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah nubuwwah (diangkat sebagai nabi). (HR Baihaqi; As-Sunan Al-Kubra, 9/300; Mushannaf Abdur Razaq, no 7960; Thabrani dalam Al-Mu'jam al-Ausath no 1006; Thahawi dalam Musykil Al-Atsar no 883).
Kedua, pendapat Malikiyah dan riwayat lain dari Imam Ahmad, yang menyatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, tidak mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Alasannya aqiqah itu disyariatkan bagi ayah, bukan bagi anak. Jadi si anak tidak perlu mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Selain itu, hadis Anas RA yang menjelaskan Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri dinilai dhaif sehingga tidak layak menjadi dalil. (Hisamuddin 'Afanah, Ahkamul Aqiqah, hlm. 59; Al-Mufashshal fi Ahkam al-Aqiqah, hlm.137; Maryam Ibrahim Hindi, Al-'Aqiqah fi Al-Fiqh Al-Islami, hlm. 101; M. Adib Kalkul, Ahkam al-Udhiyyah wa Al-'Aqiqah wa At-Tadzkiyyah, hlm. 44).
Dari penjelasan di atas, tampak sumber perbedaan pendapat yang utama adalah perbedaan penilaian terhadap hadis Anas RA. Sebagian ulama melemahkan hadis tersebut, seperti Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (Fathul Bari, 12/12), Imam Ibnu Abdil Barr (Al-Istidzkar, 15/376), Imam Dzahabi (Mizan Al-I'tidal, 2/500), Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah (Tuhfatul Wadud, hlm. 88), dan Imam Nawawi (Al-Majmu', 8/432). Imam Nawawi berkata, "Hadis ini hadis batil," karena menurut beliau di antara periwayat hadisnya terdapat Abdullah bin Muharrir yang disepakati kelemahannya. (Al-Majmu', 8/432).
Namun, Nashiruddin Al-Albani telah meneliti ulang hadis tersebut dan menilainya sebagai hadis sahih. (As-Silsilah al-Shahihah, no 2726). Menurut Al-Albani, hadis Anas RA ternyata mempunyai dua isnad (jalur periwayatan). Pertama, dari Abdullah bin Muharrir, dari Qatadah, dari Anas RA. Jalur inilah yang dinilai lemah karena ada Abdullah bin Muharrir. Kedua, dari Al-Haitsam bin Jamil, dari Abdullah bin Al-Mutsanna bin Anas, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas RA. Jalur kedua ini oleh Al-Albani dianggap jalur periwayatan yang baik (isnaduhu hasan), sejalan dengan penilaian Imam Al-Haitsami dalam Majma' Az-Zawa`id (4/59).
Terkait penilaian sanad hadis, Imam Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan lemahnya satu sanad dari suatu hadis, tidak berarti hadis itu lemah secara mutlak. Sebab bisa jadi hadis itu mempunyai sanad lain, kecuali jika ahli hadis menyatakan hadis itu tidak diriwayatkan kecuali melalui satu sanad saja. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, 1/345).
Berdasarkan ini, kami cenderung pada pendapat pertama, yaitu orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, disunnahkan mengaqiqahi dirinya sendiri setelah dewasa. Sebab dalil yang mendasarinya (hadis Anas RA), merupakan hadis sahih, mengingat ada jalur periwayatan lain yang sahih.
Wallahu a'lam.
Ust M Shiddiq Al Jawi
http://www.mediaumat.com/index.php?option=com_content&task=view&id=633&Itemid=2
Wow, Ibu Menkes Berjilbab Rapi
Ada yang lain dalam penampilan menteri kesehatan RI ibu Siti Fadilah Supari pada hari sabtu kemarin.
Dalam sebuah acara diskusi yang diselenggarakan oleh Majelis Mujahidin Indonesia di masjid Al-Azhar kebayoran baru yang membahas persoalan halam haram vaksin meningtis bagi jamaah haji, menkes yang juga sebagai pembicara dalam acara diskusi tersebut berpenampilan berbeda dari yang biasanya.
Menkes yang biasa berbusana seperti umumnya ibu-ibu pejabat, pada acara tersebut tampil beda dengan berjilbab rapi. Berbalut pakaian panjang hitam dan berjilbab berwarna merah bermotif, ibu Menkes tampil anggun dengan penampilannya tersebut.
Bagi kita masyarakat Islam Indonesia khususnya Jakarta, cukup surprise dengan penampilan ibu menkes seperti itu. Eramuslim sendiri sempat pangling sewaktu hadir pada acara diskusi itu, beberapa saat mencari-cari yang mana ibu menkes. Karena dengan penampilannya berjilbab rapi begitu, ibu menkes tidak kalah seperti akhwat-akhwat yang ada di PKS misalnya.
Selidik punya selidik, ternyata sewaktu Majelis Mujahidin yang di wakili ustadz Abu Jibril mengundang ibu Menkes untuk turut hadir sebagai pembicara pada acara dialog soal halal haram vaksin meningtis - ustadz Abu Jibril sempat 'menasehati' ibu Menkes yang notabene seorang Muslimah - untuk mau menutup auratnya. Walaupun ibu Menkes dengan gaya berdiplomasi pejabatnya mengatakan bahwa dirinya meskipun tidak berjilbab tapi ia telah mengIslam kan 20 orang anggota keluarganya.
Akan tetapi meksipun begitu,ia meminta ustadz Abu Jibril mendoakan supaya dirinya bisa menjadi Muslimah yang baik termasuk bisa menggunakan pakaian yang menutup aurat berjilbab secara istiqamah.
Yang jelas penampilan ibu Menkes Sabtu kemarin, berbeda jauh dengan penampilan istrinya cawapres Boediono yang hanya menggunakan kerudung ala kadarnya pada acara yang diselenggarakan oleh Salimah organisasi underbow PKS beberapa waktu yang lalu, dan juga berbeda dengan penampilan istrinya SBY yang juga coba-coba mengenakan jilbab dalam salah satu even.
Ok bu ..kita doakan sewaktu saat ibu bisa istiqamah dan benar-benar menutup aurat dengan mengenakan jilbab yang sempurna. Mudah-mudahan ibu akan rajin ikut pengajian ustadz Abu Jibril sehingga hidayah Allah akan segera turun ke ibu.
Lanjutkan bu Menteri, lebih cepat lebih baik ibu menutup aurat.!! (fq)
http://www.eramuslim.com/berita/nasional/wow-ibu-menkes-berjilbab-rapi.htm
Debat Kecil di Peresmian Masjid Boston, AS
ROXBURY,BOSTON - Dengan upacara pengguntingan pita hijau dan seruan adzan, kerumunan ratusan Muslim lokal di Perempatan Roxbury, Boston, AS, meresmikan pembukaan masjid agung, pada 26 Juni lalu, demikian menurut laporan yang dilansir oleh Boston Globe (28/6). Proyek pendirian masjid sendiri dilakukan dua dekade lalu dan hampur tak terwujud.
Kontroversi dari pembiayaan dan berbagai tantangan sosial dalam pelaksaan, membuat proses konstruksi molor selama itu. Bangunan sendiri pun belum sepenuhnya selesai. Banyak elemen yang belum ditambah, dan fase konstruksi kedua, yakni bangunan sekolah, juga masih dalam impian.
Namun para pemimpin Muslim setempat memutuskan waktunya untuk meresmikan. Bukan sekedar upacara gunting pita, ada hal lain pula yang mewarnai peresmian Jumat lalu.
Sekelompok pengunjuk rasa berdiri di sisi lain jalan, dekat baliho bergambar Malcom X. Mereka membawa poster dan tanda lain berbunyi "Ibadah, Ya, Ekstrimisme, Tidak.
Sementara sekelompok Muslim dari acara peresmian berbaris menuju para pengunjuk rasa dengan membawa mawar putih yang mereka berikan kepada kelompok pemrotes sebagai tanda perdamaian. Debat argumen pendek antara pemimpin grup pengritik masjid, Charles Jacobs, dan sejumlah pendukung masjid tak terelakan. Bahkan terjadi pula debat antara pengunjuk rasa dengan suporter masjid lain.
Akhirnya dua kelompok tersebut masing-masing mundur di sisi jalan yang berlawanan. Para pengunjuk rasa memainkan lagu-lagu patriotik. Mereka menuding masjid dijalankan oleh ekstrimis dan didanai oleh kelompok terkait gerakan radikal.
Para pemimpin keagamaan yang tergabung dalam dialog keyakinan, berpendapat jika Muslim memiliki hak mendapat dukungan dan toleransi. Sementara para demonstran menyatakan hingga ada pemimpin Muslim moderat yang terlibat, mereka masih tetap khawatir dengan keberadan masjid tersebut.
Direktur eksekutif Masyarakat Muslim Amerika setempat,Bilal Kaleem, mengungkapkan mereka yang datang untuk merayakan--termasuk dari golongan non-Muslim--melebihi jumlah para demonstran. Namun Bilal pun mengakui beberapa pendukung masjid--beberapa dituduh menyatakan kebencian--telah melakukan kesalahan. "Ada juga pribadi yang selip di pihak kami," ujarnya.
Terlepas dari insiden kecil tersebut, peresmian sendiri berjalan lancar. Beberapa pihak berwenang, termasuk walikota Thomas M. Menino, beberapa anggota dewan kota, dan anggota dewan perwakilan negara hadir dalam acara tersebut.
Bagi Muslim lokal itu memang hari penting, terutama mengingat proses konstruksi yang demikian sulit. Kini, diperkirakan masjid mampu menampung hingga 1.800 jamaah dalam Sholat Jumat, yang sebelumnya hanya mampu diisi 600 jamaah.
"Ini merupakan acara besar, hadiah khususnya bagi komunitas Muslim, mengingat apa yang telah kami lalui," ujar salah satu pengunjung, Ahmed Jabranei, seorang Muslim dari Boston Timur. "Ini menunjukkkan bagaimana Amerika sesungguhnya--kemajemukan dan keragaman,"
Meski tiap pembicara fokus pada kebesaran masjid ketimbang kontroversi, seorang pembicara lain, Imam Taalib Mahdee,memiliki alasan lain untuk merayakan peresmian tempat ibadah bernama Masjid Al Qur'an Roxbury. Ia menilai lembaga Muslim lokal sebelumnya tidak pernah terlihat di bagian kota bermayoritas Afrika-Amerika itu. "Akhirnya kita memilikimu di dalam lingkungan," ujarnya. (itz)
http://republika.co.id/berita/58983/Debat_Kecil_di_Peresmian_Masjid_Boston_AS
Mukjizat Adzan
Adzan adalah media luar biasa untuk mengumandangkan tauhid terhadap Maha yang Maha Kuasa dan risalah (kenabian) Nabi Muhammad saw. Adzan juga merupakan panggilan shalat kepada umat Islam, yang terus bergema di seluruh dunia lima kali setiap hari.
Betapa mengagumkan suara adzan itu, dan bagi umat Islam di seluruh dunia, adzan merupakan sebuah fakta yang telah mapan. Indonesia misalnya, sebagai sebuah negara terdiri dari ribuan pulau dan dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Begitu fajar fajar menyingsing di sisi timur Sulawesi, di sekitar 5:30 waktu setempat, maka adzan subuh mulai dikumandangkan. Ribuan Muadzin di kawasan timur Indonesia mulai mengumandangkan tauhid kepada yang Maha Kuasa, dan risalah Muhammad saw.
Proses itu terus berlangsung dan bergerak ke arah barat kepulauan Indonesia. Perbedaan waktu antara timur dan barat pulau-pulau di Indonesia adalah satu jam. Oleh karena itu, satu jam setelah adzan selesai di Sulawesi, maka adzan segera bergema di Jakarta, disusul pula sumatra. Dan adzan belum berakhir di Indonesia, maka ia sudah dimulai di Malaysia. Burma adalah di baris berikutnya, dan dalam waktu beberapa jam dari Jakarta, maka adzan mencapai Dacca, ibukota Bangladesh. Dan begitu adzan berakhir di Bangladesh, maka ia ia telah dikumandangkan di barat India, dari Kalkuta ke Srinagar. Kemudian terus menuju Bombay dan seluruh kawasan India.
Srinagar dan Sialkot (sebuah kota di Pakistan utara) memiliki waktu adzan yang sama.
Perbedaan waktu antara Sialkot, Kota, Karachi dan Gowadar (kota di Baluchistan, sebuah provinsi di Pakistan) adalah empat puluh menit, dan dalam waktu ini, (Dawn) adzan Fajar telah terdengar di Pakistan. Sebelum berakhir di sana, ia telah dimulai di Afghanistan dan Muscat. Perbedaan waktu antara Muscat dan Baghdad adalah satu jam. Adzan kembali terdengar selama satu jam di wilayah Hijaz al-Muqaddas (Makkah dan Madinah), Yaman, Uni Emirat Arab, Kuwait dan Irak.
Perbedaan waktu antara Bagdad dan Iskandariyah di Mesir adalah satu jam. Adzan terus bergema di Siria, Mesir, Somalia dan Sudan selama jam tersebut. Iskandariyah dan Istanbul terletak di bujur geografis yang sama. Perbedaan waktu antara timur dan barat Turki adalah satu setengah jam, dan pada saat ini seruan shalat dikumandangkan.
Iskandariyah dan Tripoli (ibukota Libya) terletak di lokasi waktu yang sama. Proses panggilan Adzan sehingga terus berlangsung melalui seluruh kawasan Afrika. Oleh karena itu, kumandang keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw yang dimulai dari bagian timur pulau Indonesia itu tiba di pantai timur Samudera Atlantik setelah sembilan setengah jam.
Sebelum Adzan mencapai pantai Atlantik, kumandang adzan Zhuhur telah dimulai di kawasan timur Indonesia, dan sebelum mencapai Dacca, adzan Ashar telah dimulai. Dan begitu adzan mencapai Jakarta setelah kira-kira satu setengah jam kemudian, maka waktu Maghrib menyusul. Dan tidak lama setelah waktu Maghrib mencapai Sumatera, maka waktu adzan Isya telah dimulai di Sulawesi! Bila Muadzin di Indonesia mengumandangkan adzan Fajar, maka muadzin di Afrika mengumandangkan adzan untuk Isya.
Jika kita merenungkan fenomena ini dengan serius dan seksama, maka kita menyimpulkan fakta yang luar biasa, yaitu: Setiap saat ribuan muadzin —jika bukan ratusan ribu— di seluruh dunia mengumandangkan keesaan Allah yang Maha Kuasa dan kenabian Nabi Muhammad saw di muka bumi ini! Insya’allah, adzan (panggilan universal) lima kali sehari ini akan terus berlangsung sampai hari kiamat, Amin.
Di dalam kitab Mazmur 149: 1-9 disebutkan,
(1) Haleluya! Nyanyikanlah bagi Tuhan nyanyian baru! Pujilah Dia dalam jemaah orang-orang saleh.
(2) Biarlah Israel bersukacita atas Yang menjadikannya, biarlah bani Sion bersorak-sorak atas raja mereka!
(3) Biarlah mereka memuji-muji nama-Nya dengan tari-tarian, biarlah mereka bermazmur kepada-Nya dengan rebana dan kecapi!
(4) Sebab Tuhan berkenan kepada umat-Nya, Ia memahkotai orang-orang yang rendah hati dengan keselamatan.
(5) Biarlah orang-orang saleh beria-ria dalam kemuliaan, biarlah mereka bersorak-sorai di atas tempat tidur mereka!
(6) Biarlah pujian pengagungan Allah ada dalam kerongkongan mereka, dan pedang bermata dua di tangan mereka,
(7) untuk melakukan pembalasan terhadap bangsa-bangsa, penyiksaan-penyiksaan terhadap suku-suku bangsa,
(8) untuk membelenggu raja-raja mereka dengan rantai, dan orang-orang mereka yang mulia dengan tali-tali besi,
(9) untuk melaksanakan terhadap mereka hukuman seperti yang tertulis. Itulah semarak bagi semua orang yang dikasihi-Nya. Haleluya!
Dengan membaca nubuwat ini secara seksama, maka kita mendapat kesan bahwa Nabi yang dijanjikan dan digambarkan sebagai raja itu adalah Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya. Allah berfirman di dalam al-Qur’an:
‘(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’ (Ali Imran: 191)
Perluasan wilayah Islam dengan pedang ‘bermata dua’ sebagaimana disebut dalam nubuat di atas, dimulai dari penaklukan Makkah pada masa Nabi Muhammad (SAW), lalu disusul dengan jatuhnya Syria, Byzantine, Persia, Mesir, Konstantinopel, dan banyak negara lainnya, dimana kekuasaan dan kejayaan pada waktu itu ada di tangan para pengikut Muhammad SAW itu, bukan merupakan sejarah yang asing. Sementara Yahudi dan Kristen tidak dapat mengklaim sebagai pemilik nubuat tersebut, terutama mengenai Isa al-Masih.
Oleh: Shahid Bin Wahid
http://eramuslim.com/syariah/quran-sunnah/mukjizat-adzan.htm
Kini Suamiku Telah Kembali
Berbekallah untuk hari yang sudah pasti
Sungguh kematian adalah muara manusia
Relakah dirimu... menyertai segolongan orang?
Mereka membawa bekal sedangkan tanganmu hampa
Rasulullah bersabda...
Perbanyaklah mengingat
Akan pemusnah segala kenikmatan dunia
Itulah kematian ...yang tlah pasti datang
Kita tak tahu kapan waktunya kan menjelang...
Bait-bait syair Suara Persaudaraan itu memang sering kunasyidkan di hari-hari terakhir menjelang kepergian suami. Aku meresapi betul lirik demi lirik nasyid itu, hingga kadang titik-titik air mata turut membasahi pipi.
Kematian memang telah pasti datang. Malaikat Izrail bisa menjemput kita kapan dan di mana saja. Meski begitu, sungguh … tak terbayang sebelumnya di benakku, suamiku akan pergi meninggalkan kami secepat itu. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un
***
Hari itu sang raja siang masih menampakkan keperkasaannya. Sinarnya memancar menerangi mayapada. Siang terik. Deringan suara handphone membuatku segera beranjak dari tempat duduk. Telepon dari teman dekat. Setelah memberi salam, menanyakan kabar, dan keberadaanku, beliau menanyakan sesuatu.
“Bu, sudah tahu kabar kalau ada salah satu mobil dari Pondok Aren yang kecelakaan?’’ tanyanya pelan.
“Innalillahi…,” aku mengucap kalimah tarji’, lalu memberondongnya dengan beberapa pertanyaan. Kemudian beliau menyarankanku untuk mencoba mencari-cari informasi.
Aku langsung menghubungi nomor suami tetapi tidak aktif. Dalam cemas, aku mencoba husnudzan -mungkin batterainya drop. Aku masih berusaha menghubungi nomor teman-teman ketika seorang teman dekat yang lain menelepon ke rumah.
Dengan pelan dan lembut, beliau menanyakan kabar suami. Deg…tiba-tiba aku lemas, firasatku mengatakan telah terjadi sesuatu pada ayah anak-anakku, belahan jiwaku.
Apalagi ketika kuhubungi nomor seseorang, beliau mengatakan ia dan suaminya akan segera ke rumah, isak tangis ini tak tertahan, perasaan hati pun tak karu-karuan. Langit yang cerah tampak hitam, gelap, pekat.
“Bu... sabar, ikhlaskan kepergiannya ya...! Suami Ibu kan orang baik, insya Allah khusnul khatimah,” hibur teman-teman sambil memelukku dengan berlinang air mata.
***
Ahad, 14 Juni 2009 pukul 12.45 WIB. Hari itu suami yang sangat kucintai, telah dipanggil pemiliknya. Beliau mendapat amanah mengarungi perjalanan hidup di alam fana ini hanya selama tiga puluh sembilan tahun lebih tiga puluh tiga hari.
Selama itu pula, beliau hampir tak pernah sakit -kecuali sakit ringan, seperti flu- dan belum pernah sekalipun masuk rumah sakit. Kepergiannya yang begitu cepat, tanpa sakit, tanpa pamit begitu mengagetkan. Kala itu, aku seperti kehilangan semangat hidup, kehilangan selera makan, dan kehilangan semuanya.
Suamiku adalah kekasihku, belahan jiwaku. Cintaku pada beliau teramat dalam, jauh lebih dalam dari yang kutahu selama ini. Banyak kenangan indah kami lalui bersama dengan penuh cinta.
Suamiku adalah teman sejatiku. Aku bersyukur pada Allah karena telah mengaruniaiku seorang teman hidup yang begitu baik. Meski dalam kebersahajaan dan kesederhanaan, aku sangat berbahagia hidup bersamanya.
Suamiku adalah guruku. Pada beliau, aku banyak belajar lebih dalam lagi tentang hidup dan kehidupan, tentang keikhlasan, tentang pengorbanan dan tentang pengabdian seorang hamba pada Rabbnya. Beliau tak lupa selalu memotivasiku untuk memperbaiki kualitas diri sebagai seorang hamba di hadapan Sang Pencipta.
Kini suamiku telah kembali, kembali pada pemiliknya yang sejati. Telah kuikhlaskan kepergiannya. Doa senantiasa menyertai perjalanan suamiku tercinta, semoga Allah mengampuni, memaafkan dosa-dosa, menerima amal ibadah, melapangkan kuburnya dan memberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Kumohon jua kiranya Allah senantiasa mengaruniai kami - keluarga yang ditinggalkan- kesabaran , ketabahan, dan kemudahan dalam segala urusan, aamiin.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah engkau pada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku yang shalih dan masuklah ke dalam surga-Ku“ (QS Al Fajr: 27-30)
oleh Rodhiyatunnisa
http://eramuslim.com/oase-iman/kini-suamiku-telah-kembali.htm
Sungguh kematian adalah muara manusia
Relakah dirimu... menyertai segolongan orang?
Mereka membawa bekal sedangkan tanganmu hampa
Rasulullah bersabda...
Perbanyaklah mengingat
Akan pemusnah segala kenikmatan dunia
Itulah kematian ...yang tlah pasti datang
Kita tak tahu kapan waktunya kan menjelang...
Bait-bait syair Suara Persaudaraan itu memang sering kunasyidkan di hari-hari terakhir menjelang kepergian suami. Aku meresapi betul lirik demi lirik nasyid itu, hingga kadang titik-titik air mata turut membasahi pipi.
Kematian memang telah pasti datang. Malaikat Izrail bisa menjemput kita kapan dan di mana saja. Meski begitu, sungguh … tak terbayang sebelumnya di benakku, suamiku akan pergi meninggalkan kami secepat itu. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un
***
Hari itu sang raja siang masih menampakkan keperkasaannya. Sinarnya memancar menerangi mayapada. Siang terik. Deringan suara handphone membuatku segera beranjak dari tempat duduk. Telepon dari teman dekat. Setelah memberi salam, menanyakan kabar, dan keberadaanku, beliau menanyakan sesuatu.
“Bu, sudah tahu kabar kalau ada salah satu mobil dari Pondok Aren yang kecelakaan?’’ tanyanya pelan.
“Innalillahi…,” aku mengucap kalimah tarji’, lalu memberondongnya dengan beberapa pertanyaan. Kemudian beliau menyarankanku untuk mencoba mencari-cari informasi.
Aku langsung menghubungi nomor suami tetapi tidak aktif. Dalam cemas, aku mencoba husnudzan -mungkin batterainya drop. Aku masih berusaha menghubungi nomor teman-teman ketika seorang teman dekat yang lain menelepon ke rumah.
Dengan pelan dan lembut, beliau menanyakan kabar suami. Deg…tiba-tiba aku lemas, firasatku mengatakan telah terjadi sesuatu pada ayah anak-anakku, belahan jiwaku.
Apalagi ketika kuhubungi nomor seseorang, beliau mengatakan ia dan suaminya akan segera ke rumah, isak tangis ini tak tertahan, perasaan hati pun tak karu-karuan. Langit yang cerah tampak hitam, gelap, pekat.
“Bu... sabar, ikhlaskan kepergiannya ya...! Suami Ibu kan orang baik, insya Allah khusnul khatimah,” hibur teman-teman sambil memelukku dengan berlinang air mata.
***
Ahad, 14 Juni 2009 pukul 12.45 WIB. Hari itu suami yang sangat kucintai, telah dipanggil pemiliknya. Beliau mendapat amanah mengarungi perjalanan hidup di alam fana ini hanya selama tiga puluh sembilan tahun lebih tiga puluh tiga hari.
Selama itu pula, beliau hampir tak pernah sakit -kecuali sakit ringan, seperti flu- dan belum pernah sekalipun masuk rumah sakit. Kepergiannya yang begitu cepat, tanpa sakit, tanpa pamit begitu mengagetkan. Kala itu, aku seperti kehilangan semangat hidup, kehilangan selera makan, dan kehilangan semuanya.
Suamiku adalah kekasihku, belahan jiwaku. Cintaku pada beliau teramat dalam, jauh lebih dalam dari yang kutahu selama ini. Banyak kenangan indah kami lalui bersama dengan penuh cinta.
Suamiku adalah teman sejatiku. Aku bersyukur pada Allah karena telah mengaruniaiku seorang teman hidup yang begitu baik. Meski dalam kebersahajaan dan kesederhanaan, aku sangat berbahagia hidup bersamanya.
Suamiku adalah guruku. Pada beliau, aku banyak belajar lebih dalam lagi tentang hidup dan kehidupan, tentang keikhlasan, tentang pengorbanan dan tentang pengabdian seorang hamba pada Rabbnya. Beliau tak lupa selalu memotivasiku untuk memperbaiki kualitas diri sebagai seorang hamba di hadapan Sang Pencipta.
Kini suamiku telah kembali, kembali pada pemiliknya yang sejati. Telah kuikhlaskan kepergiannya. Doa senantiasa menyertai perjalanan suamiku tercinta, semoga Allah mengampuni, memaafkan dosa-dosa, menerima amal ibadah, melapangkan kuburnya dan memberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Kumohon jua kiranya Allah senantiasa mengaruniai kami - keluarga yang ditinggalkan- kesabaran , ketabahan, dan kemudahan dalam segala urusan, aamiin.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah engkau pada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku yang shalih dan masuklah ke dalam surga-Ku“ (QS Al Fajr: 27-30)
oleh Rodhiyatunnisa
http://eramuslim.com/oase-iman/kini-suamiku-telah-kembali.htm
Suami Mudah Marah, Istri Mudah Capek
Banyak istri sering berharap kasih sayang dari para suami. Namun jarang para istri tahu, banyak diantara para suami yang sedang membutuhkan perhatian, dorongan, dan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya, khususnya anak dan istri. Ibarat orang yang sedang sakit, hanya orang-orang terdekat yang bisa menyelamatkannya. Selain itu dukungan doa kepadanya
Assalamu’alaikum wr wb,
Yth Pak Ustadz, bagaimana caranya menyadarkan suami agar lebih memberi perhatian kepada keluarga? Suami saya pendiam, berwatak keras, cuek, mudah marah dan
pendendam.
Dulu dia lebih baik, lebih ceria, suka bercanda. Tapi dia banyak berubah ke arah yang buruk sejak kami pindah ke luar negeri. Beban hidup/hutang rumah sangat berat, sementara pekerjaan dia belum “settled”. Dia merasa stress dan beban pikiran yang banyak; sehingga semakin sensitive dan menjauhi keluarga. Padahal sebagai istri saya sudah membantu dengan bekerja full time. Anak-anak juga bisa mengerti kondisi keuangan keluarga. Jadi sebenarnya kami terbiasa dan tidak keberatan dengan hidup hemat. Buat kami materi tidak terlalu masalah, anak-anakpun mengerti. Yang kami inginkan bersama anak-anak adalah kasih sayang & perhatian dari suami. Tetapi kalau diingatkan, dia marah. Walaupun dia mengakui kalau perilakunya memang berubah (ke arah yang buruk). Tetapi tetap saja tidak terima kalau dikatakan telah mengecewakan kami dengan sikapnya yang kurang perhatian & kasih sayang tersebut.
Saya katakan kepadanya, dengan bersikap begitu dia sudah melalaikan nafkah bathin untuk keluarga, sementara nafkah lahir juga tidak memuaskan, walaupun kami bisa mengerti & menerimanya.
Saya merasa cape lahir bathin, karena seringnya bertengkar. Kedua anak kami sudah tahu dan sering menyaksikan pertengkaran ini, karena sering dilakukan secara terbuka di depan anak-anak. Tidak jarang mereka menyaksikan kekerasan yang dilakukan suami kepada saya.
Saya sering menangis sambil berdo’a kepada Allah, mohon ampun dan pertolongan-Nya, karena saya yakin hanya dengan pertolongan Allah saya bisa mengatasi masalah ini. Sebenarnya saya juga takut berdosa dengan sikap-sikap saya pada suami. Tapi saya kan cuma minta disayang sama suami seperti yang dulu pernah saya rasakan. Itu kan hak saya, saya bukan minta emas atau berlian yang tidak mungkin diberikannya. Tetapi kenapa dia begitu susah memberikannya?
Saya katakan kalau sudah bosan kepada saya, saya tidak keberatan ditinggalkannya, saya mau yang pasti-pasti saja. Tidak seperti sekarang punya suami tapi rasanya tidak punya, karena kurang kasih sayang….. Kalau dia meninggalkan saya, tentu saya tidak akan berharap macam-macam lagi kepadanya, karena dia tidak punya kewajiban lagi kepada saya. Tapi dia bilang tidak mau meninggalkan keluarga.
Saya pikir seseorang harus berbicara kepadanya untuk menyadarkan-nya. Saya sudah mencoba mem-print artikel yang menunjang keinginan kami untuk dibacanya, sampai saya minta dikirimi majalah Hidayatulllah edisi “Gelorakan Kasih Sayang dalam keluarga” dari tanah air.
Mohon sarannya dan terima kasih banyak Ustadz.
Wassalamu’alaikum wr wb.
RH
Wa'alaikumsalam Wr. Wb.
Ibu RH yang dirahmati Allah
Saya dapat merasakan perasaan ibu, dan saya ikut merasa prihatin dengan keadaan yang menimpa keluarga ibu.
Ibu …..
Saya percaya, bahwa ibu sangat mencintai suami ibu. Yang ibu harapkan adalah bagaimana kehidupan keluarga ibu bersama suami dan anak-anak menjadi normal kembali, saling menyayangi dan mengasihi seperti yang pernah ibu rasakan sebelumnya. Bahkan lebih baik lagi tentunya. Dari apa yang telah ibu sampaikan, saya juga percaya bahwa sebenarnya suami ibu menginginkan hal yang sama.
Seperti yang ibu ceriterakan, bahwa sebenarnya dulu suami ibu tidak seperti itu perilakunya. Perubahan itu baru terjadi saat pindah ke luar negeri dengan tekanan ekonomi yang memberatkannya. Sehingga kini menjadi pemurung, pendiam, sangat sensitif, mudah marah dan sebagainya. Itu menunjukkan bahwa suami ibu sedang mengalami stress akibat tekanan hidup yang tidak mampu diatasinya. Ia tidak dapat mengontrol sikap dan tindakannya dengan tepat. Tekanan itu akan dirasakan semakin berat jika hubungan dalam keluarga tidak harmonis.
Ibu RH yang dirahmati Allah.
Suami ibu sebenarnya tengah membutuhkan bantuan dan pertolongan untuk dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
Memang benar, bahwa ibu dan anak-anak juga membutuhkan kasih sayang dan perhatian suami. Tetapi juga harus ibu sadari bahwa suami ibu sendiri saat ini sedang membutuhkan perhatian, dorongan, dan kasih sayang dari orang-orang yang dicintainya, terutama istri. Ibarat orang yang sedang sakit, saat ini ia belum bisa memberikan apa yang ibu butuhkan secara wajar. Maka ibu dan anak-anaklah yang harus menyelamatkannya. Diperlukan pengorbanan ibu dan anak-anak untuk bisa memahami dan menerima kondisi ini dengan penuh kesabaran. Jika ia kembali pulih nanti, isya-Allah apa yang ibu butuhkan akan kembali ibu dapatkan.
Oleh karenanya berilah perhatian kepadanya, kasihi dan sayangilah suami ibu dengan sepenuh hati. Ikhlaskan diri untuk membantunya, terimalah dengan ridla apa yang terjadi pada suami ibu, termasuk perlakuannya kepada ibu. Itu akan memberikannya ketenangan dan kedamaian dalam menghadapi ujian ini.
Selanjutnya, berilah support motivasi dan keyakinan, bahwa apa yang kini tengah suami ibu hadapi dapat dilewati, apabila keluarga tetap saling mengasihi, menyayangi dan bantu membantu meringankan beban pendeitaan tersebut. Yakinkan bahwa insya-Allah badai akan berlalu. Karena Allah telah memberikan jaminannya:
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (QS. Al-Insyirah [94]: 5-8)
Support itu akan menjadi energi bagi suami untuk bangkit dari keterpurukannya, dan menatap masa depan dengan optimisme, keceriaan serta kebahagian bersama dengan istri dan anak-anak yang mencintainya.
Apa yang telah ibu lakukan dengan meratap kepada Allah adalah langkah yang benar. Jangan berputus asa dan jangan ditingalkan. Akan lebih baik lagi jika ibu bisa mengajak suami dan anak-anak untuk bersama-sama lebih mendekatkan diri kepada Allah melalui shalat berjamaah bersama, shalat lail, baca al-Qur’an serta memperbanyak doa kepada Allah SWT. Jika tidak diberi oleh Allah persis seperti yang ibu minta, boleh jadi Allah akan mengganti dengan kebaikan yang lain. Jika Allah belum memberikannya hari ini, mungkin Allah akan memberikannya besok atau lusa. Yang pasti do’a yang kita lakukan dengan ikhlas, tidak ada yang ditolak oleh Allah.
Semoga Allah memberikan kepada ibu sekeluarga kesabaran untuk menjalani ujian kehidupan ini, serta diberi jalan kemudahan untuk menyelesaikannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Pengasuh:
Ust. Ainur Rofiq
http://hidayatullah.com/konsultasi/keluarga-sakinah/9755-suami-mudah-marah-istri-mudah-capek-.html
Assalamu’alaikum wr wb,
Yth Pak Ustadz, bagaimana caranya menyadarkan suami agar lebih memberi perhatian kepada keluarga? Suami saya pendiam, berwatak keras, cuek, mudah marah dan
pendendam.
Dulu dia lebih baik, lebih ceria, suka bercanda. Tapi dia banyak berubah ke arah yang buruk sejak kami pindah ke luar negeri. Beban hidup/hutang rumah sangat berat, sementara pekerjaan dia belum “settled”. Dia merasa stress dan beban pikiran yang banyak; sehingga semakin sensitive dan menjauhi keluarga. Padahal sebagai istri saya sudah membantu dengan bekerja full time. Anak-anak juga bisa mengerti kondisi keuangan keluarga. Jadi sebenarnya kami terbiasa dan tidak keberatan dengan hidup hemat. Buat kami materi tidak terlalu masalah, anak-anakpun mengerti. Yang kami inginkan bersama anak-anak adalah kasih sayang & perhatian dari suami. Tetapi kalau diingatkan, dia marah. Walaupun dia mengakui kalau perilakunya memang berubah (ke arah yang buruk). Tetapi tetap saja tidak terima kalau dikatakan telah mengecewakan kami dengan sikapnya yang kurang perhatian & kasih sayang tersebut.
Saya katakan kepadanya, dengan bersikap begitu dia sudah melalaikan nafkah bathin untuk keluarga, sementara nafkah lahir juga tidak memuaskan, walaupun kami bisa mengerti & menerimanya.
Saya merasa cape lahir bathin, karena seringnya bertengkar. Kedua anak kami sudah tahu dan sering menyaksikan pertengkaran ini, karena sering dilakukan secara terbuka di depan anak-anak. Tidak jarang mereka menyaksikan kekerasan yang dilakukan suami kepada saya.
Saya sering menangis sambil berdo’a kepada Allah, mohon ampun dan pertolongan-Nya, karena saya yakin hanya dengan pertolongan Allah saya bisa mengatasi masalah ini. Sebenarnya saya juga takut berdosa dengan sikap-sikap saya pada suami. Tapi saya kan cuma minta disayang sama suami seperti yang dulu pernah saya rasakan. Itu kan hak saya, saya bukan minta emas atau berlian yang tidak mungkin diberikannya. Tetapi kenapa dia begitu susah memberikannya?
Saya katakan kalau sudah bosan kepada saya, saya tidak keberatan ditinggalkannya, saya mau yang pasti-pasti saja. Tidak seperti sekarang punya suami tapi rasanya tidak punya, karena kurang kasih sayang….. Kalau dia meninggalkan saya, tentu saya tidak akan berharap macam-macam lagi kepadanya, karena dia tidak punya kewajiban lagi kepada saya. Tapi dia bilang tidak mau meninggalkan keluarga.
Saya pikir seseorang harus berbicara kepadanya untuk menyadarkan-nya. Saya sudah mencoba mem-print artikel yang menunjang keinginan kami untuk dibacanya, sampai saya minta dikirimi majalah Hidayatulllah edisi “Gelorakan Kasih Sayang dalam keluarga” dari tanah air.
Mohon sarannya dan terima kasih banyak Ustadz.
Wassalamu’alaikum wr wb.
RH
Wa'alaikumsalam Wr. Wb.
Ibu RH yang dirahmati Allah
Saya dapat merasakan perasaan ibu, dan saya ikut merasa prihatin dengan keadaan yang menimpa keluarga ibu.
Ibu …..
Saya percaya, bahwa ibu sangat mencintai suami ibu. Yang ibu harapkan adalah bagaimana kehidupan keluarga ibu bersama suami dan anak-anak menjadi normal kembali, saling menyayangi dan mengasihi seperti yang pernah ibu rasakan sebelumnya. Bahkan lebih baik lagi tentunya. Dari apa yang telah ibu sampaikan, saya juga percaya bahwa sebenarnya suami ibu menginginkan hal yang sama.
Seperti yang ibu ceriterakan, bahwa sebenarnya dulu suami ibu tidak seperti itu perilakunya. Perubahan itu baru terjadi saat pindah ke luar negeri dengan tekanan ekonomi yang memberatkannya. Sehingga kini menjadi pemurung, pendiam, sangat sensitif, mudah marah dan sebagainya. Itu menunjukkan bahwa suami ibu sedang mengalami stress akibat tekanan hidup yang tidak mampu diatasinya. Ia tidak dapat mengontrol sikap dan tindakannya dengan tepat. Tekanan itu akan dirasakan semakin berat jika hubungan dalam keluarga tidak harmonis.
Ibu RH yang dirahmati Allah.
Suami ibu sebenarnya tengah membutuhkan bantuan dan pertolongan untuk dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
Memang benar, bahwa ibu dan anak-anak juga membutuhkan kasih sayang dan perhatian suami. Tetapi juga harus ibu sadari bahwa suami ibu sendiri saat ini sedang membutuhkan perhatian, dorongan, dan kasih sayang dari orang-orang yang dicintainya, terutama istri. Ibarat orang yang sedang sakit, saat ini ia belum bisa memberikan apa yang ibu butuhkan secara wajar. Maka ibu dan anak-anaklah yang harus menyelamatkannya. Diperlukan pengorbanan ibu dan anak-anak untuk bisa memahami dan menerima kondisi ini dengan penuh kesabaran. Jika ia kembali pulih nanti, isya-Allah apa yang ibu butuhkan akan kembali ibu dapatkan.
Oleh karenanya berilah perhatian kepadanya, kasihi dan sayangilah suami ibu dengan sepenuh hati. Ikhlaskan diri untuk membantunya, terimalah dengan ridla apa yang terjadi pada suami ibu, termasuk perlakuannya kepada ibu. Itu akan memberikannya ketenangan dan kedamaian dalam menghadapi ujian ini.
Selanjutnya, berilah support motivasi dan keyakinan, bahwa apa yang kini tengah suami ibu hadapi dapat dilewati, apabila keluarga tetap saling mengasihi, menyayangi dan bantu membantu meringankan beban pendeitaan tersebut. Yakinkan bahwa insya-Allah badai akan berlalu. Karena Allah telah memberikan jaminannya:
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (QS. Al-Insyirah [94]: 5-8)
Support itu akan menjadi energi bagi suami untuk bangkit dari keterpurukannya, dan menatap masa depan dengan optimisme, keceriaan serta kebahagian bersama dengan istri dan anak-anak yang mencintainya.
Apa yang telah ibu lakukan dengan meratap kepada Allah adalah langkah yang benar. Jangan berputus asa dan jangan ditingalkan. Akan lebih baik lagi jika ibu bisa mengajak suami dan anak-anak untuk bersama-sama lebih mendekatkan diri kepada Allah melalui shalat berjamaah bersama, shalat lail, baca al-Qur’an serta memperbanyak doa kepada Allah SWT. Jika tidak diberi oleh Allah persis seperti yang ibu minta, boleh jadi Allah akan mengganti dengan kebaikan yang lain. Jika Allah belum memberikannya hari ini, mungkin Allah akan memberikannya besok atau lusa. Yang pasti do’a yang kita lakukan dengan ikhlas, tidak ada yang ditolak oleh Allah.
Semoga Allah memberikan kepada ibu sekeluarga kesabaran untuk menjalani ujian kehidupan ini, serta diberi jalan kemudahan untuk menyelesaikannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Pengasuh:
Ust. Ainur Rofiq
http://hidayatullah.com/konsultasi/keluarga-sakinah/9755-suami-mudah-marah-istri-mudah-capek-.html
Zakat Uang
Apakah uang yang dimiliki oleh seorang muslim/muslimah dikenai kewajiban zakat? Dan bagaimana menghitung zakatnya?
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad As-Sarbini Al-Makassari
Alhamdulillah wabihi nasta’in ‘ala umur ad-dunya waddin, wash-shalatu was-salamu ‘ala rasulihi al-amin wa ‘ala alihi wa ashhabihi ajma’in.
Para ulama telah berbicara dalam masalah ini dan terjadi perbedaan ijtihad di antara mereka. Ada dua pendapat dalam hal ini:
1. Tidak ada kewajiban zakat pada uang yang dimiliki oleh seseorang kecuali jika diniatkan untuk modal dagang. Jika diperuntukkan sebagai uang nafkah atau disiapkan untuk pernikahan, atau yang semisalnya maka tidak ada zakatnya.
2. Zakat uang wajib hukumnya pada setiap uang yang dikumpulkan oleh seseorang dari hasil keuntungan usaha dagang atau hasil sewa rumah atau hasil gaji atau yang semacamnya, dengan syarat uang itu mencapai nishab1 dan sempurna haul 2 yang harus dilewatinya. Tidak ada bedanya dalam hal ini apakah uang yang dikumpulkan itu diniatkan untuk modal usaha dagang atau untuk nafkah atau untuk pernikahan, atau tujuan lainnya. Dalilnya adalah keumuman firman Allahl:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
“Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka, serta bershalawatlah untuk mereka.” (At-Taubah: 103)
Demikian pula keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu saat beliau mengutusnya ke negeri Yaman:
أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِيْ أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
“Ajarkan kepada mereka bahwasanya Allahl telah mewajibkan atas mereka zakat pada harta-harta yang mereka miliki yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 1458 dan Muslim no. 19 dari Ibnu ‘Abbas c)
Uang termasuk dalam keumuman harta benda yang terkena kewajiban zakat, karena uang dengan berbagai jenis mata uang yang ada pada masa ini dan mendominasi muamalah kaum muslimin, menggantikan posisi emas (dinar) dan perak (dirham) yang dipungut zakatnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Uang sebagai pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) menjadi tolok ukur dalam menilai harga suatu barang sebagaimana halnya dinar dan dirham pada masa itu.
Yang benar adalah pendapat kedua berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan. Pendapat ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Al-Imam Al-’Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Fatawa Al-Lajnah (9/254, 257), Al-Imam Al-’Allamah Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/98-99, 101), guru besar kami Al-Imam Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dan guru kami Al-Faqih Abdurrahman Mar’i Al-’Adni.
Oleh karena uang dengan berbagai jenis mata uang yang ada merupakan pengganti emas (dinar) dan perak (dirham), maka dipersyaratkan tercapainya nishab yang harus melewati haul untuk kemudian dikeluarkan zakatnya di akhir tahun sebagaimana halnya zakat emas (dinar) dan perak (dirham). Nishabnya adalah salah satu dari nishab emas (dinar) dan perak (dirham). Nishab emas (dinar) adalah 20 dinar yang beratnya 20 mitsqal3, yaitu 85 gram emas murni.4 Nishab perak (dirham) adalah 200 dirham yang beratnya 140 mitsqal5, yaitu 595 gram perak murni.
Jika seseorang memiliki sejumlah uang dengan mata uang yang sama atau sejumlah uang dengan mata uang yang berbeda6 yang nilainya mencapai harga salah satu dari dua nishab tersebut, berarti uang yang dimilikinya mencapai nishab. Seandainya harga emas lebih rendah dari harga perak sehingga nilai uang yang dimilikinya mencapai harga 85 gram emas murni dan tidak senilai dengan harga 595 gram perak murni, maka nishabnya adalah nishab emas. Bila harga perak lebih rendah sehingga nilai uang yang dimilikinya mencapai harga 595 gram perak murni dan tidak senilai dengan harga 85 gram emas murni, maka nishabnya adalah nishab perak. Ketika seseorang memiliki uang yang jumlahnya senilai dengan salah satu dari dua nishab tersebut, maka sejak itu dia mulai menghitung haul yang harus dilewati oleh nishab tersebut sampai akhir tahun yang merupakan waktu wajibnya zakat.
Al-Lajnah Ad-Da’imah berfatwa dalam Fatawa Al-Lajnah (9/254, 257) bahwa uang yang terkena kewajiban zakat adalah uang yang nilainya mencapai nishab emas (senilai dengan harga 20 mitsqal emas) atau nilainya mencapai nishab perak (senilai dengan140 mitsqal perak) hingga akhir haul. Yang diperhitungkan dari dua nishab tersebut adalah yang terbaik bagi kalangan fakir miskin7. Perhitungan nishab ini mengacu adanya perbedaan harga antara satu waktu dengan waktu yang lain dan antara satu negeri dengan negeri yang lain.
Guru kami Asy-Syaikh Al-Faqih Abdurrahman Mar’i Al-’Adni hafizhahullah menerangkan bahwa zakat uang nishabnya adalah senilai dengan harga nishab perak.
Jika seseorang memiliki uang senilai dengan harga 595 gram perak berarti uangnya mencapai nishab8. Uang yang dimiliki terkena kewajiban zakat di akhir haulnya dengan syarat jumlah uang yang merupakan nishab di awal haul tetap utuh jumlahnya dan tidak pernah berkurang dari nishab sampai akhir haul.
Namun perlu diketahui bahwa penetapan nishab uang yang mengikuti harga nishab perak bukan sesuatu yang bersifat pasti dan baku, karena harga perak sendiri bukan sesuatu yang sifatnya baku. Terjadi perbedaan harga perak di pasaran dan terdapat jenis perak berkualitas tinggi, ada yang berkualitas sedang dan ada yang berkualitas rendah. Jadi tidak ada harga nishab perak yang disepakati bersama oleh kaum muslimin untuk dijadikan sebagai standar yang baku. Dengan demikian penetapan harga nishab perak sebagai nishab uang sifatnya pendekatan dan bukan sesuatu yang pasti.
Setelah seseorang melakukan penjajakan harga perak dengan memperhitungkan berbagai kualitas yang ada hendaklah dia berijtihad (berusaha semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran) dalam menetapkan nishab uang yang dimilikinya. Mungkin Fulan menyatakan bahwa nishabnya sekian, yang lain menyatakan sekian dan yang lain menyatakan sekian, sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing. Maka ada harga yang sifatnya di atas rata-rata, jika harga itu tercapai tidak diragukan lagi bahwa itu merupakan nishab. Ada pula harga di bawahnya yang diragukan apakah mencapai nishab atau tidak, maka menganggap harga itu mencapai nishab lebih hati-hati bagi agama seseorang. Kemudian harga yang lebih rendah dari itu tidak dianggap mencapai nishab.
Dengan demikian apabila terjadi kenaikan harga di tengah perputaran haul (tahun berjalan) yang terpaut jauh dengan harga di awal haul sehingga menjatuhkan nilai uang tersebut sampai pada batas yang tidak diragukan lagi bahwa tidak mencapai nishab, maka haulnya terputus. Adapun jika kenaikannya tidak terpaut jauh sehingga kemerosotan nilainya tidak begitu besar dan masih pada batas yang meragukan apakah mencapai nishab atau tidak, maka semestinya hal itu diabaikan dan tetap dianggap mencapai nishab dalam rangka berhati-hati.
Kemudian di akhir haul yang merupakan waktu wajibnya zakat, nilai uang tersebut dihitung kembali menurut harga saat itu (hari sempurnanya haul), apakah nilainya tetap mencapai nishab atau tidak. Apabila harga perak di akhir haul mengalami kenaikan yang terpaut jauh dengan harga di awal haul sehingga menjatuhkan nilai uang tersebut sampai pada batas yang tidak diragukan lagi bahwa tidak mencapai nishab, maka berarti tidak terkena zakat. Adapun jika kenaikannya tidak terpaut jauh sehingga nilai uang tersebut masih pada batas yang meragukan apakah mencapai nishab atau tidak, maka untuk kehati-hatian semestinya tetap dianggap mencapai nishab untuk kemudian dikeluarkan zakatnya.
Apabila uang tersebut mencapai nishab dan telah sempurna haulnya, maka di akhir tahun wajib dikeluarkan zakatnya. Jika jumlah uang tersebut nilainya melebihi nishab, maka kelebihannya juga terkena zakat, berapapun jumlahnya. Besar zakat yang harus dikeluarkan dari uang yang jumlahnya mencapai nishab atau melebihi nishab dan telah sempurna haulnya adalah 1/40 (seperempat puluh) atau 2,5% (dua setengah persen) darinya, sebagaimana halnya pada zakat emas dan perak9. Jika uang tersebut mengalami pertambahan jumlah di tengah perputaran haul maka hendaklah dia mencatat setiap tambahannya beserta waktunya secara tersendiri agar dapat mengeluarkan zakat setiap tambahan itu di akhir haulnya masing-masing.
Namun jika seseorang memilih untuk mengeluarkan zakat dari total uang yang ada di akhir haul nishab yang pertama kali dimilikinya, dengan alasan bahwa dia kesulitan dan merasa berat untuk menghitung jumlah setiap tambahan tersebut dan haulnya masing-masing, berarti dia telah memajukan waktu pengeluaran zakatnya setahun sebelum waktunya tiba. Dan hal itu boleh menurut jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini boleh berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْـمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِيْ تَعْجِيْلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ، فَرَخَّصَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ
“Bahwasanya Al-’Abbas bin Abdil Muththalib bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang maksudnya untuk menyegerakan pengeluaran zakatnya sebelum waktunya tiba. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kelonggaran kepadanya untuk melakukan hal itu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni,
Al-Baihaqi dan yang lainnya)
Abu Dawud, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi, dan Al-Albani merajihkan bahwa hadits ini mursal. Namun Al-Albani menghasankannya dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 857) dengan syawahid (penguat-penguat) yang ada10.
Demikianlah terus berulang setiap tahun.Setiap kali pada uang yang dimiliki terpenuhi persyaratan nishab dan haul, ketika itu pula wajib dikeluarkan zakatnya di akhir tahunnya.11
Al-Lajnah berfatwa bahwa nilai/harga harta perdagangan ikut digabung dengan uang yang dimiliki dalam perhitungan nishab12, karena maksud yang diinginkan dari barang perdagangan bukan barang itu sendiri, melainkan untuk menghasilkan uang (yang merupakan pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) pada masa ini sehingga memiliki makna yang sama dengannya. Oleh karena itu zakat harta perdagangan wajib pada nilai/harganya dan dikeluarkan zakatnya dalam bentuk uang.
Sistem perhitungan nishab dan haul serta kadar yang wajib dikeluarkan pada zakat harta perdagangan sama dengan sistem perhitungan zakat uang.
Perhitungan haul dimulai dari hari seseorang memiliki harta yang diniatkan untuk perdagangan yang nilainya/harganya mencapai salah satu dari nishab emas atau perak13. Kemudian di akhir tahun saat sempurna haulnya nilai/harganya dihitung kembali menurut harga saat itu (hari sempurnanya haul), karena itulah saat wajibnya zakat. Jika nilai/harganya mencapai nishab menurut harga saat itu berarti terkena zakat sebesar 1/40 atau 2,5% dari nilai/harga tersebut dan dikeluarkan dalam bentuk uang.
Namun apakah sepanjang perputaran haul hingga akhir tahun dipersyaratkan bahwa nishab tersebut tetap bertahan dan tidak pernah berkurang? Ada dua pendapat di kalangan ulama:
1. Hal itu dipersyaratkan, sebagaimana halnya pada zakat harta lainnya yang dipersyaratkan padanya nishab dan haul. Jika nilainya berkurang dari nishab di tengah perputaran haul maka haulnya terputus. Ini adalah mazhab Al-Imam Ahmad.
2. Hal itu tidak dipersyaratkan mengingat bahwa yang diperhitungkan pada zakat harta perdagangan adalah nilai/harganya, sedangkan untuk menghitung nilai/harganya setiap waktu sepanjang haul berjalan adalah sesuatu yang memberatkan. Ini adalah mazhab Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Asy-Syafi’i.
Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata dalam Al-Mughni membantah pendapat yang kedua: “Alasan mereka bahwa hal itu memberatkan tidak benar. Karena harta perdagangan yang kadarnya memang jauh dari nishab tidak perlu dihitung nilai/harganya, karena jelas-jelas tidak mencapai nishab. Adapun yang kadarnya mendekati nishab, jika mudah baginya untuk menghitung nilai/harganya (untuk mengetahui apakah tetap mencapai nishab atau tidak) hendaklah dia melakukannya. Jika sulit dan berat baginya untuk melakukan hal itu hendaklah dia berhati-hati, yaitu menganggapnya tetap mencapai nishab dan menunaikan zakatnya di akhir tahun.”14
Perlu diingat bahwa haul uang atau barang yang merupakan hasil keuntungan perdagangan mengikuti haul modalnya yang merupakan nishab15. Adapun harta lain yang ditambahkan pada modal awal memiliki perhitungan haul tersendiri. Namun jika dia mengeluarkan zakatnya pada akhir haul modal pertama yang merupakan nishab berarti dia menyegerakan pengeluaran harta zakat yang belum sempurna haulnya setahun sebelumnya dan hal itu boleh menurut jumhur ulama.
Apabila seseorang memiliki uang yang jumlahnya tidak senilai dengan nishab perak dan harta perdagangan yang nilai/harganya tidak senilai dengan nishab tersebut, namun jika jumlah keduanya digabungkan akan senilai dengan nishab tersebut, maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya sebesar 1/40 atau 2,5% dari keseluruhan hartanya tersebut yang telah sempurna haulnya dalam bentuk uang.16 Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Nishab adalah kadar/nilai tertentu yang ditetapkan dalam syariat apabila harta yang dimiliki oleh seseorang mencapai nilai tersebut. Maka harta itu terkena kewajiban zakat. (pen)
2 Haul adalah masa satu tahun yang harus dilewati oleh nishab harta tertentu tanpa berkurang sedikitpun dari nishab sampai akhir tahun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اسْتَفَادَ مَالاً فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Barangsiapa menghasilkan harta maka tidak ada kewajiban zakat pada harta itu hingga berlalu atasnya waktu satu tahun.”
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat dan pada setiap riwayat tersebut ada kelemahan, namun gabungan seluruh riwayat tersebut saling menguatkan sehingga merupakan hujjah. Bahkan Al-Albani menyatakan bahwa ada satu jalan riwayat yang shahih sehingga beliau menshahihkan hadits ini. Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata dalam Al-Mughni (2/392): “Kami tidak mengetahui adanya khilaf dalam hal ini.”
Lihat pula: Majmu’ Fatawa (25/14). (pen)
Perhitungan haul ini menurut tahun Hijriah dan bulan Qamariah yang jumlahnya 12 (duabelas) bulan, dari Muharram sampai Dzulhijjah. Bukan menurut tahun Masehi dan bulan-bulan selain bulan Qamariah. Lihat Al-Muhalla (no. 670), Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (9/200). (pen) 3 Dalam hal ini ada beberapa hadits yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Lihat Irwa` Al-Ghalil no. 813. (pen)
4 Para ulama menyatakan bahwa jika ada campuran logamnya sedikit untuk menguatkan dan mengeraskannya, maka hal itu tidak berpengaruh dan memiliki hukum yang sama dengan emas murni. Karena emas itu lembek sehingga untuk menguatkan dan mengeraskannya butuh campuran sedikit logam. Jadi ibaratnya seperti garam yang ditambahkan pada makanan untuk penyedap rasa, karena suatu makanan tanpa garam akan terasa hambar dan kurang sedap. Lihat Asy-Syarhul Mumti’ (6/103-104). (pen)
5 Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih dan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim bersama hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Al-Bukhari tentang kitab zakat yang ditulis oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (pen)
6 Seluruh jenis mata uang yang ada digabung dalam perhitungan nishab, karena seluruhnya memiliki makna dan maksud yang sama. Demikian pernyataan Al-Lajnah Ad-Da’imah dalam Fatawa Al-Lajnah (9/272-276) dan Asy-Syaikh Abdurrahman Mar’i. (pen)
7 Artinya apabila mencapai salah satu dari dua nishab tersebut dan tidak mencapai nishab yang lainnya, maka dianggap mencapai nishab sehingga kaum fakir miskin mendapatkan zakat dari harta itu. Karena hal itulah yang terbaik bagi mereka. Lihat Fatawa Al-Lajnah (9/254). (pen)
8 Penetapan beliau ini berdasarkan realita yang ada sekarang bahwa harga nishab perak lebih murah daripada harga nishab emas. Wallahu a’lam. (pen)
9 Terjadi kesepakatan di kalangan ulama bahwa zakat emas dan perak adalah 1/40 atau 2,5% berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Al-Bukhari tentang kitab zakat yang ditulis oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat Bidayatul Mujtahid (2/17) dan Al-Mughni (3/6). (pen)
10 Adapun memajukan pengeluaran zakat harta yang belum mencapai nishab, maka hal ini tidak boleh berdasarkan kesepakatan ulama. Karena nishab merupakan sebab (faktor) sehingga suatu harta terkena kewajiban zakat, jika sebab (faktor) tersebut belum ada maka pada asalnya harta itu tidak terkena kewajiban zakat. (Al-Mughni, 2/395-396, Al-Majmu’ 6/113-114, Asy-Syarhul Mumti’, 6/213-217).
11 Inilah hukum setiap harta zakat yang dipersyaratkan padanya nishab dan haul. (pen)
12 Hal ini dibenarkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman Mar’i menurut pendapat yang menyatakan adanya zakat harta perdagangan, karena alat transaksi jual belinya adalah uang. Namun beliau sendiri merajihkan tidak adanya zakat harta perdagangan. (pen)
13 Hal ini menurut mazhab Al-Imam Ahmad yang difatwakan oleh Al-Lajnah, dan inilah yang rajih. Lihat Al-Mughni (3/24), Fatawa Al-Lajnah (9/318).(pen)
14 Lihat Al-Mughni (3/24-25), Al-Majmu’ (6/14).
15 Bidayatul Mujtahid (2/36), Al-Mughni (2/393, 3/28-29), Majmu’ Al-Fatawa (25/15), Asy-Syarhul Mumti’ (6/23, 147-148), Fatawa Al-Lajnah (9/321).
16 Sengaja kami menerangkan di sini sistem perhitungan zakat harta perdagangan sebagai pedoman bagi yang mengikuti pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimin, dan jumhur (mayoritas) ulama tentang wajibnya zakat harta perdagangan, karena kuatnya pendapat ini. Namun kami sendiri ragu dengan pendapat ini dan lebih condong kepada pendapat Dawud Azh-Zhahiri dan muridnya Ibnu Hazm Azh-Zhahiri yang dirajihkan oleh Asy-Syaukani, Al-Albani, guru besar kami Muqbil Al-Wadi’i dan muridnya yang faqih Abdurrahman Mar’i Al-’Adni bahwa tidak ada zakat harta perdagangan, dengan hujjah bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban zakat pada suatu harta kecuali ada dalil yang menetapkan. Sedangkan hadits Samurah bin Jundub dan hadits Abu Dzar yang merupakan nash dalam permasalahan ini adalah dha’if (lemah) sehingga bukan hujjah. Adapun qiyas (persamaan makna) dengan zakat dinar (emas) dan dirham (perak) melihat maksud yang diinginkan darinya untuk menghasilkan dinar dan dirham (yang digantikan posisinya pada masa ini oleh berbagai mata uang yang ada) sehingga masuk dalam keumuman dalil-dalil yang mewajibkan zakat pada harta emas (dinar) dan perak (dirham), maka hal ini butuh ditinjau ulang untuk menjadikannya sebagai hujjah dalam permasalahan ini. Karena, meskipun benar demikian maknanya namun harta perdagangan itu sendiri wujudnya masih berupa barang yang maknanya bisa saja berubah jika diniatkan untuk tujuan yang lain. Wallahu a’lam bish-shawab. Lihat Al-Muhalla no (641), Bidayatul Mujtahid (2/16), Al-Mughni (3/23), Al-Majmu’ (6/3-5), As-Sailul Jarar (2/26-27), Tamamul Minnah (hal. 363-368), Fatawa Al-Lajnah (9/308-313), Asy-Syarhul Mumthi’ (6/140-141), Ijabatus Sa’il hal (119-120). (pen)
Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad As-Sarbini Al-Makassari
www.asysyariah.com
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad As-Sarbini Al-Makassari
Alhamdulillah wabihi nasta’in ‘ala umur ad-dunya waddin, wash-shalatu was-salamu ‘ala rasulihi al-amin wa ‘ala alihi wa ashhabihi ajma’in.
Para ulama telah berbicara dalam masalah ini dan terjadi perbedaan ijtihad di antara mereka. Ada dua pendapat dalam hal ini:
1. Tidak ada kewajiban zakat pada uang yang dimiliki oleh seseorang kecuali jika diniatkan untuk modal dagang. Jika diperuntukkan sebagai uang nafkah atau disiapkan untuk pernikahan, atau yang semisalnya maka tidak ada zakatnya.
2. Zakat uang wajib hukumnya pada setiap uang yang dikumpulkan oleh seseorang dari hasil keuntungan usaha dagang atau hasil sewa rumah atau hasil gaji atau yang semacamnya, dengan syarat uang itu mencapai nishab1 dan sempurna haul 2 yang harus dilewatinya. Tidak ada bedanya dalam hal ini apakah uang yang dikumpulkan itu diniatkan untuk modal usaha dagang atau untuk nafkah atau untuk pernikahan, atau tujuan lainnya. Dalilnya adalah keumuman firman Allahl:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
“Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka, serta bershalawatlah untuk mereka.” (At-Taubah: 103)
Demikian pula keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu saat beliau mengutusnya ke negeri Yaman:
أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِيْ أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
“Ajarkan kepada mereka bahwasanya Allahl telah mewajibkan atas mereka zakat pada harta-harta yang mereka miliki yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 1458 dan Muslim no. 19 dari Ibnu ‘Abbas c)
Uang termasuk dalam keumuman harta benda yang terkena kewajiban zakat, karena uang dengan berbagai jenis mata uang yang ada pada masa ini dan mendominasi muamalah kaum muslimin, menggantikan posisi emas (dinar) dan perak (dirham) yang dipungut zakatnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Uang sebagai pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) menjadi tolok ukur dalam menilai harga suatu barang sebagaimana halnya dinar dan dirham pada masa itu.
Yang benar adalah pendapat kedua berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan. Pendapat ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Al-Imam Al-’Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Fatawa Al-Lajnah (9/254, 257), Al-Imam Al-’Allamah Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/98-99, 101), guru besar kami Al-Imam Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dan guru kami Al-Faqih Abdurrahman Mar’i Al-’Adni.
Oleh karena uang dengan berbagai jenis mata uang yang ada merupakan pengganti emas (dinar) dan perak (dirham), maka dipersyaratkan tercapainya nishab yang harus melewati haul untuk kemudian dikeluarkan zakatnya di akhir tahun sebagaimana halnya zakat emas (dinar) dan perak (dirham). Nishabnya adalah salah satu dari nishab emas (dinar) dan perak (dirham). Nishab emas (dinar) adalah 20 dinar yang beratnya 20 mitsqal3, yaitu 85 gram emas murni.4 Nishab perak (dirham) adalah 200 dirham yang beratnya 140 mitsqal5, yaitu 595 gram perak murni.
Jika seseorang memiliki sejumlah uang dengan mata uang yang sama atau sejumlah uang dengan mata uang yang berbeda6 yang nilainya mencapai harga salah satu dari dua nishab tersebut, berarti uang yang dimilikinya mencapai nishab. Seandainya harga emas lebih rendah dari harga perak sehingga nilai uang yang dimilikinya mencapai harga 85 gram emas murni dan tidak senilai dengan harga 595 gram perak murni, maka nishabnya adalah nishab emas. Bila harga perak lebih rendah sehingga nilai uang yang dimilikinya mencapai harga 595 gram perak murni dan tidak senilai dengan harga 85 gram emas murni, maka nishabnya adalah nishab perak. Ketika seseorang memiliki uang yang jumlahnya senilai dengan salah satu dari dua nishab tersebut, maka sejak itu dia mulai menghitung haul yang harus dilewati oleh nishab tersebut sampai akhir tahun yang merupakan waktu wajibnya zakat.
Al-Lajnah Ad-Da’imah berfatwa dalam Fatawa Al-Lajnah (9/254, 257) bahwa uang yang terkena kewajiban zakat adalah uang yang nilainya mencapai nishab emas (senilai dengan harga 20 mitsqal emas) atau nilainya mencapai nishab perak (senilai dengan140 mitsqal perak) hingga akhir haul. Yang diperhitungkan dari dua nishab tersebut adalah yang terbaik bagi kalangan fakir miskin7. Perhitungan nishab ini mengacu adanya perbedaan harga antara satu waktu dengan waktu yang lain dan antara satu negeri dengan negeri yang lain.
Guru kami Asy-Syaikh Al-Faqih Abdurrahman Mar’i Al-’Adni hafizhahullah menerangkan bahwa zakat uang nishabnya adalah senilai dengan harga nishab perak.
Jika seseorang memiliki uang senilai dengan harga 595 gram perak berarti uangnya mencapai nishab8. Uang yang dimiliki terkena kewajiban zakat di akhir haulnya dengan syarat jumlah uang yang merupakan nishab di awal haul tetap utuh jumlahnya dan tidak pernah berkurang dari nishab sampai akhir haul.
Namun perlu diketahui bahwa penetapan nishab uang yang mengikuti harga nishab perak bukan sesuatu yang bersifat pasti dan baku, karena harga perak sendiri bukan sesuatu yang sifatnya baku. Terjadi perbedaan harga perak di pasaran dan terdapat jenis perak berkualitas tinggi, ada yang berkualitas sedang dan ada yang berkualitas rendah. Jadi tidak ada harga nishab perak yang disepakati bersama oleh kaum muslimin untuk dijadikan sebagai standar yang baku. Dengan demikian penetapan harga nishab perak sebagai nishab uang sifatnya pendekatan dan bukan sesuatu yang pasti.
Setelah seseorang melakukan penjajakan harga perak dengan memperhitungkan berbagai kualitas yang ada hendaklah dia berijtihad (berusaha semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran) dalam menetapkan nishab uang yang dimilikinya. Mungkin Fulan menyatakan bahwa nishabnya sekian, yang lain menyatakan sekian dan yang lain menyatakan sekian, sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing. Maka ada harga yang sifatnya di atas rata-rata, jika harga itu tercapai tidak diragukan lagi bahwa itu merupakan nishab. Ada pula harga di bawahnya yang diragukan apakah mencapai nishab atau tidak, maka menganggap harga itu mencapai nishab lebih hati-hati bagi agama seseorang. Kemudian harga yang lebih rendah dari itu tidak dianggap mencapai nishab.
Dengan demikian apabila terjadi kenaikan harga di tengah perputaran haul (tahun berjalan) yang terpaut jauh dengan harga di awal haul sehingga menjatuhkan nilai uang tersebut sampai pada batas yang tidak diragukan lagi bahwa tidak mencapai nishab, maka haulnya terputus. Adapun jika kenaikannya tidak terpaut jauh sehingga kemerosotan nilainya tidak begitu besar dan masih pada batas yang meragukan apakah mencapai nishab atau tidak, maka semestinya hal itu diabaikan dan tetap dianggap mencapai nishab dalam rangka berhati-hati.
Kemudian di akhir haul yang merupakan waktu wajibnya zakat, nilai uang tersebut dihitung kembali menurut harga saat itu (hari sempurnanya haul), apakah nilainya tetap mencapai nishab atau tidak. Apabila harga perak di akhir haul mengalami kenaikan yang terpaut jauh dengan harga di awal haul sehingga menjatuhkan nilai uang tersebut sampai pada batas yang tidak diragukan lagi bahwa tidak mencapai nishab, maka berarti tidak terkena zakat. Adapun jika kenaikannya tidak terpaut jauh sehingga nilai uang tersebut masih pada batas yang meragukan apakah mencapai nishab atau tidak, maka untuk kehati-hatian semestinya tetap dianggap mencapai nishab untuk kemudian dikeluarkan zakatnya.
Apabila uang tersebut mencapai nishab dan telah sempurna haulnya, maka di akhir tahun wajib dikeluarkan zakatnya. Jika jumlah uang tersebut nilainya melebihi nishab, maka kelebihannya juga terkena zakat, berapapun jumlahnya. Besar zakat yang harus dikeluarkan dari uang yang jumlahnya mencapai nishab atau melebihi nishab dan telah sempurna haulnya adalah 1/40 (seperempat puluh) atau 2,5% (dua setengah persen) darinya, sebagaimana halnya pada zakat emas dan perak9. Jika uang tersebut mengalami pertambahan jumlah di tengah perputaran haul maka hendaklah dia mencatat setiap tambahannya beserta waktunya secara tersendiri agar dapat mengeluarkan zakat setiap tambahan itu di akhir haulnya masing-masing.
Namun jika seseorang memilih untuk mengeluarkan zakat dari total uang yang ada di akhir haul nishab yang pertama kali dimilikinya, dengan alasan bahwa dia kesulitan dan merasa berat untuk menghitung jumlah setiap tambahan tersebut dan haulnya masing-masing, berarti dia telah memajukan waktu pengeluaran zakatnya setahun sebelum waktunya tiba. Dan hal itu boleh menurut jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini boleh berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْـمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِيْ تَعْجِيْلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ، فَرَخَّصَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ
“Bahwasanya Al-’Abbas bin Abdil Muththalib bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang maksudnya untuk menyegerakan pengeluaran zakatnya sebelum waktunya tiba. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kelonggaran kepadanya untuk melakukan hal itu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni,
Al-Baihaqi dan yang lainnya)
Abu Dawud, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi, dan Al-Albani merajihkan bahwa hadits ini mursal. Namun Al-Albani menghasankannya dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 857) dengan syawahid (penguat-penguat) yang ada10.
Demikianlah terus berulang setiap tahun.Setiap kali pada uang yang dimiliki terpenuhi persyaratan nishab dan haul, ketika itu pula wajib dikeluarkan zakatnya di akhir tahunnya.11
Al-Lajnah berfatwa bahwa nilai/harga harta perdagangan ikut digabung dengan uang yang dimiliki dalam perhitungan nishab12, karena maksud yang diinginkan dari barang perdagangan bukan barang itu sendiri, melainkan untuk menghasilkan uang (yang merupakan pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) pada masa ini sehingga memiliki makna yang sama dengannya. Oleh karena itu zakat harta perdagangan wajib pada nilai/harganya dan dikeluarkan zakatnya dalam bentuk uang.
Sistem perhitungan nishab dan haul serta kadar yang wajib dikeluarkan pada zakat harta perdagangan sama dengan sistem perhitungan zakat uang.
Perhitungan haul dimulai dari hari seseorang memiliki harta yang diniatkan untuk perdagangan yang nilainya/harganya mencapai salah satu dari nishab emas atau perak13. Kemudian di akhir tahun saat sempurna haulnya nilai/harganya dihitung kembali menurut harga saat itu (hari sempurnanya haul), karena itulah saat wajibnya zakat. Jika nilai/harganya mencapai nishab menurut harga saat itu berarti terkena zakat sebesar 1/40 atau 2,5% dari nilai/harga tersebut dan dikeluarkan dalam bentuk uang.
Namun apakah sepanjang perputaran haul hingga akhir tahun dipersyaratkan bahwa nishab tersebut tetap bertahan dan tidak pernah berkurang? Ada dua pendapat di kalangan ulama:
1. Hal itu dipersyaratkan, sebagaimana halnya pada zakat harta lainnya yang dipersyaratkan padanya nishab dan haul. Jika nilainya berkurang dari nishab di tengah perputaran haul maka haulnya terputus. Ini adalah mazhab Al-Imam Ahmad.
2. Hal itu tidak dipersyaratkan mengingat bahwa yang diperhitungkan pada zakat harta perdagangan adalah nilai/harganya, sedangkan untuk menghitung nilai/harganya setiap waktu sepanjang haul berjalan adalah sesuatu yang memberatkan. Ini adalah mazhab Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Asy-Syafi’i.
Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata dalam Al-Mughni membantah pendapat yang kedua: “Alasan mereka bahwa hal itu memberatkan tidak benar. Karena harta perdagangan yang kadarnya memang jauh dari nishab tidak perlu dihitung nilai/harganya, karena jelas-jelas tidak mencapai nishab. Adapun yang kadarnya mendekati nishab, jika mudah baginya untuk menghitung nilai/harganya (untuk mengetahui apakah tetap mencapai nishab atau tidak) hendaklah dia melakukannya. Jika sulit dan berat baginya untuk melakukan hal itu hendaklah dia berhati-hati, yaitu menganggapnya tetap mencapai nishab dan menunaikan zakatnya di akhir tahun.”14
Perlu diingat bahwa haul uang atau barang yang merupakan hasil keuntungan perdagangan mengikuti haul modalnya yang merupakan nishab15. Adapun harta lain yang ditambahkan pada modal awal memiliki perhitungan haul tersendiri. Namun jika dia mengeluarkan zakatnya pada akhir haul modal pertama yang merupakan nishab berarti dia menyegerakan pengeluaran harta zakat yang belum sempurna haulnya setahun sebelumnya dan hal itu boleh menurut jumhur ulama.
Apabila seseorang memiliki uang yang jumlahnya tidak senilai dengan nishab perak dan harta perdagangan yang nilai/harganya tidak senilai dengan nishab tersebut, namun jika jumlah keduanya digabungkan akan senilai dengan nishab tersebut, maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya sebesar 1/40 atau 2,5% dari keseluruhan hartanya tersebut yang telah sempurna haulnya dalam bentuk uang.16 Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Nishab adalah kadar/nilai tertentu yang ditetapkan dalam syariat apabila harta yang dimiliki oleh seseorang mencapai nilai tersebut. Maka harta itu terkena kewajiban zakat. (pen)
2 Haul adalah masa satu tahun yang harus dilewati oleh nishab harta tertentu tanpa berkurang sedikitpun dari nishab sampai akhir tahun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اسْتَفَادَ مَالاً فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Barangsiapa menghasilkan harta maka tidak ada kewajiban zakat pada harta itu hingga berlalu atasnya waktu satu tahun.”
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat dan pada setiap riwayat tersebut ada kelemahan, namun gabungan seluruh riwayat tersebut saling menguatkan sehingga merupakan hujjah. Bahkan Al-Albani menyatakan bahwa ada satu jalan riwayat yang shahih sehingga beliau menshahihkan hadits ini. Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata dalam Al-Mughni (2/392): “Kami tidak mengetahui adanya khilaf dalam hal ini.”
Lihat pula: Majmu’ Fatawa (25/14). (pen)
Perhitungan haul ini menurut tahun Hijriah dan bulan Qamariah yang jumlahnya 12 (duabelas) bulan, dari Muharram sampai Dzulhijjah. Bukan menurut tahun Masehi dan bulan-bulan selain bulan Qamariah. Lihat Al-Muhalla (no. 670), Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (9/200). (pen) 3 Dalam hal ini ada beberapa hadits yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Lihat Irwa` Al-Ghalil no. 813. (pen)
4 Para ulama menyatakan bahwa jika ada campuran logamnya sedikit untuk menguatkan dan mengeraskannya, maka hal itu tidak berpengaruh dan memiliki hukum yang sama dengan emas murni. Karena emas itu lembek sehingga untuk menguatkan dan mengeraskannya butuh campuran sedikit logam. Jadi ibaratnya seperti garam yang ditambahkan pada makanan untuk penyedap rasa, karena suatu makanan tanpa garam akan terasa hambar dan kurang sedap. Lihat Asy-Syarhul Mumti’ (6/103-104). (pen)
5 Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih dan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim bersama hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Al-Bukhari tentang kitab zakat yang ditulis oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (pen)
6 Seluruh jenis mata uang yang ada digabung dalam perhitungan nishab, karena seluruhnya memiliki makna dan maksud yang sama. Demikian pernyataan Al-Lajnah Ad-Da’imah dalam Fatawa Al-Lajnah (9/272-276) dan Asy-Syaikh Abdurrahman Mar’i. (pen)
7 Artinya apabila mencapai salah satu dari dua nishab tersebut dan tidak mencapai nishab yang lainnya, maka dianggap mencapai nishab sehingga kaum fakir miskin mendapatkan zakat dari harta itu. Karena hal itulah yang terbaik bagi mereka. Lihat Fatawa Al-Lajnah (9/254). (pen)
8 Penetapan beliau ini berdasarkan realita yang ada sekarang bahwa harga nishab perak lebih murah daripada harga nishab emas. Wallahu a’lam. (pen)
9 Terjadi kesepakatan di kalangan ulama bahwa zakat emas dan perak adalah 1/40 atau 2,5% berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Al-Bukhari tentang kitab zakat yang ditulis oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat Bidayatul Mujtahid (2/17) dan Al-Mughni (3/6). (pen)
10 Adapun memajukan pengeluaran zakat harta yang belum mencapai nishab, maka hal ini tidak boleh berdasarkan kesepakatan ulama. Karena nishab merupakan sebab (faktor) sehingga suatu harta terkena kewajiban zakat, jika sebab (faktor) tersebut belum ada maka pada asalnya harta itu tidak terkena kewajiban zakat. (Al-Mughni, 2/395-396, Al-Majmu’ 6/113-114, Asy-Syarhul Mumti’, 6/213-217).
11 Inilah hukum setiap harta zakat yang dipersyaratkan padanya nishab dan haul. (pen)
12 Hal ini dibenarkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman Mar’i menurut pendapat yang menyatakan adanya zakat harta perdagangan, karena alat transaksi jual belinya adalah uang. Namun beliau sendiri merajihkan tidak adanya zakat harta perdagangan. (pen)
13 Hal ini menurut mazhab Al-Imam Ahmad yang difatwakan oleh Al-Lajnah, dan inilah yang rajih. Lihat Al-Mughni (3/24), Fatawa Al-Lajnah (9/318).(pen)
14 Lihat Al-Mughni (3/24-25), Al-Majmu’ (6/14).
15 Bidayatul Mujtahid (2/36), Al-Mughni (2/393, 3/28-29), Majmu’ Al-Fatawa (25/15), Asy-Syarhul Mumti’ (6/23, 147-148), Fatawa Al-Lajnah (9/321).
16 Sengaja kami menerangkan di sini sistem perhitungan zakat harta perdagangan sebagai pedoman bagi yang mengikuti pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimin, dan jumhur (mayoritas) ulama tentang wajibnya zakat harta perdagangan, karena kuatnya pendapat ini. Namun kami sendiri ragu dengan pendapat ini dan lebih condong kepada pendapat Dawud Azh-Zhahiri dan muridnya Ibnu Hazm Azh-Zhahiri yang dirajihkan oleh Asy-Syaukani, Al-Albani, guru besar kami Muqbil Al-Wadi’i dan muridnya yang faqih Abdurrahman Mar’i Al-’Adni bahwa tidak ada zakat harta perdagangan, dengan hujjah bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban zakat pada suatu harta kecuali ada dalil yang menetapkan. Sedangkan hadits Samurah bin Jundub dan hadits Abu Dzar yang merupakan nash dalam permasalahan ini adalah dha’if (lemah) sehingga bukan hujjah. Adapun qiyas (persamaan makna) dengan zakat dinar (emas) dan dirham (perak) melihat maksud yang diinginkan darinya untuk menghasilkan dinar dan dirham (yang digantikan posisinya pada masa ini oleh berbagai mata uang yang ada) sehingga masuk dalam keumuman dalil-dalil yang mewajibkan zakat pada harta emas (dinar) dan perak (dirham), maka hal ini butuh ditinjau ulang untuk menjadikannya sebagai hujjah dalam permasalahan ini. Karena, meskipun benar demikian maknanya namun harta perdagangan itu sendiri wujudnya masih berupa barang yang maknanya bisa saja berubah jika diniatkan untuk tujuan yang lain. Wallahu a’lam bish-shawab. Lihat Al-Muhalla no (641), Bidayatul Mujtahid (2/16), Al-Mughni (3/23), Al-Majmu’ (6/3-5), As-Sailul Jarar (2/26-27), Tamamul Minnah (hal. 363-368), Fatawa Al-Lajnah (9/308-313), Asy-Syarhul Mumthi’ (6/140-141), Ijabatus Sa’il hal (119-120). (pen)
Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad As-Sarbini Al-Makassari
www.asysyariah.com
Muslim Canberra Dambakan Perpustakaan
CANBERRA--Ahmed Youssef, tokoh Muslim Canberra berusia 72 tahun itu, menyambut tiga tokoh muda Muslim asal Indonesia yang mengikuti Program Pertukaran Muslim Indonesia-Australia, yakni Cucu Surahman, Mohammad Hasan Basri, dan Muhammad Subhan Setowara dengan penuh kehangatan.
''Mari, kita mulai dari sini,'' ujar Youssef sembari menunjukkan sebuah maket bangunan di pojok ruangan Canberra Islamic Centre.
''Kami bertekad untuk mendirikan Australian National Islamic Library yang akan menjadi pusat syiar Islam. Kami berobsesi, perpustakaan ini nantinya akan memiliki koleksi lebih dari sejuta buku,'' papar pria imigran dari Mesir itu menjelaskan.
Menurut Youssef, sangat penting bagi umat Muslim Australia untuk memiliki sebuah perpustakaan yang besar dan lengkap. ''Pemberitaan media terhadap Islam masih buruk. Kehadiran perpustakaan ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman umat beragama lain terhadap Islam,'' ungkapnya berapi-api.
Youssef menuturkan, Australia merupakan negara yang memberi kebebasan bagi setiap umat agama untuk menyebarkan dan menjalankan keyakinannya. ''Membangun perpustakaan adalah sebuah tugas yang mulia,'' paparnya.
Diakuinya, tak mudah untuk mendirikan perpustakaan besar dengan koleksi jutaan buku. Namun, tokoh Muslim di Canberra tersebut optimistis bahwa mimpi itu akan terwujud.
Sebenarnya, Canberra Islamic Centre yang berlokasi di 221 Clive Steele Ave, Monash, ACT 2905, itu sudah memiliki perpustakaan. Letaknya ada di dalam masjid. Koleksinya baru mencapai ribuan, tapi sudah ditata dengan sistem perpustakaan yang baik.
''Kami mengoleksi buku dari berbagai bahasa. Kami juga menyediakan buku perbandingan agama bagi umat beragama lain,'' ujar Youssef.
Rencananya, gedung Australian National Islamic Library itu akan dibangun di atas lahan seluas 6.000 meter. Rencana pembangunan gedung perpustakaan itu, kata Youssef, masih terkendala dana.
Diakuinya, hingga kini, bangunan Canberra Islamic Centre yang telah ditempati sejak 1993 masih berstatus sewa. ''Kami harus membeli lahan ini secepatnya. Sebab, harga sewanya tiap tahun terus naik.''
Berbagai cara dilakukan untuk menggalang dana pembangunan gedung perpustakaan Islam terbesar di Australia dan bahkan dunia itu. Akhir pekan ini, Canberra Islamic Centre akan menggelar malam penggalangan dana, berupa lelang beragam karya seni Islam serta beragam jenis barang lainnya.
Canberra Islamic Centre menjadi salah satu pusat kegiatan umat Islam dari berbagai suku bangsa. ''Di sini tak ada perbedaan etnis. Semuanya adalah Muslim dan bersaudara,'' ungkap Youssef.
Setiap hari, ada saja kegiatan yang digelar di masjid yang bentuknya seperti gedung pertemuan itu. Ada diskusi keagamaan, olahraga, pelatihan komputer, hingga pelaksanaan ibadah shalat Jumat.
''Tempat ini menjadi pusat untuk membangun dan memelihara pendidikan, budaya, dan sosial umat Muslim Canberra,'' imbuh Youssef.
Di Canberra Islamic Centre, semua Muslim dari beragam latar belakang bisa berkumpul dan menjalin ukhuwah. Untuk merekatkan persaudaraan, Pusat Islam Canberra juga memiliki Radio CIC, Valley FM 89.5 yang mengudara setiap Rabu sore.
''Saya berharap, umat Islam Indonesia bisa menyalurkan bantuan buku untuk perpustakaan ini,'' tutur Youssef.hri/taq
http://www.republika.co.id/berita/57900/Muslim_Canberra_Dambakan_Perpustakaan
DPRD New York Tetapkan Idul Fitri Libur
JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat Kota New York, Amerika Serikat, menyetujui Idul Fitri dan Idul Adha dimasukkan dalam kalender hari-hari libur sekolah di kota itu, seperti Natal pada agama Kristen dan Yom Kippur dalam agama Yahudi. "Alhamdulillah, dengan suara mayoritas, hanya satu suara yang menentang, resolusi tersebut diterima secara mutlak. Hari Kamis, 18 Juni 2008, merupakan hari bersejarah bagi komunitas Muslim di Kota New York," kata anggota Dewan Muslim Kota New York asal Indonesia Syamsi Ali yang menghubungi di Jakarta, Jumat (19/6).
Menurut pria yang pernah dinobatkan sebagai tokoh Muslim paling berpengaruh di Kota New York oleh media setempat itu, yang juga Imam Mesjid Indonesia di New York, proses untuk menjadikan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari libur tersebut sudah lama. Ia mengungkapkan, sekitar dua tahun lalu, bersamaan dengan Hari Raya Idul Adha, Kota New York mengadakan jajak pendapat di mana anak-anak Muslim harus memilih antara sekolah atau shalat Idul Adha.
Sejak itu, kata Syamsi, oleh masyarakat Muslim dibentuk koalisi besar untuk hari-hari libur Muslim atau Coalition for Muslim Holidays, yang anggotanya tidak saja komunitas Muslim, tapi juga berbagai organisasi non-Muslim. Keterlibatan non-Muslim ini adalah hasil dari upaya menjembatani hubungan antar komunitas. “Bahkan beberapa waktu lalu diadakan perdebatan umum yang diikuti oleh publik di Dewan Kota New York, di mana ada Rabbi dan Pastor yang datang dan mendukung sepenuhnya untuk dijadikan Idul Adha dan Idul Fitri sebagai hari libur,” katanya.
Dia menjelaskan, resolusi tersebut pertama kali disponsori oleh anggota DPRD Robert Jackson dari Bronx, yang merupakan satu-satunya anggota DPRD New York. Berkat kepemimpinannya di komisi yang membawahi pendidikan dan budaya, serta dorongan dari aktivis Koalisi Hari-hari Libur Muslim, pada akhirnya mayoritas anggota DPRD mendukung, termasuk beberapa yang beragama Yahudi. "Pada akhirnya resolusi ini akan diajukan ke meja walikota untuk disahkan menjadi peraturan kota. Insya Allah kita optimistis walikota akan mensahkan resolusi tersebut," kata pria si yang berasal dari Makassar itu.
Sementara ini, kalangan Muslim di Kota New York sedang merancang strategi untuk melobi walikota, termasuk menghubungkan dukungannya dengan pemilihan walikota mendatang. Walikota New York Michael Bloomberg berniat maju lagi menjadi calon walikota periode ketiga, setelah Dewan Kota mengubah pembatasan walikota dalam dua periode. "Bagi kami, ini sejarah yang akan dicatat dalam perkembangan Kota New York. Keberhasilan ini juga merupakan indikasi bahwa Islam dan Muslim di AS semakin mendapat pengakuan," ujarnya.
Di Kota New York saja, 1 dari 10 penduduk kota ini adalah Muslim. Ada sekitar 800.000 hingga sejuta Muslim di kota New York, sekitar 200-an masjid, dan kaum Muslim terlibat dalam segala sendi kehidupan, termasuk kepolisian dan pendidikan, demikian Syamsi Ali.ant/bur
http://www.republika.co.id/berita/57292/DPRD_New_York_Tetapkan_Idul_Fitri_Libur
Menurut pria yang pernah dinobatkan sebagai tokoh Muslim paling berpengaruh di Kota New York oleh media setempat itu, yang juga Imam Mesjid Indonesia di New York, proses untuk menjadikan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari libur tersebut sudah lama. Ia mengungkapkan, sekitar dua tahun lalu, bersamaan dengan Hari Raya Idul Adha, Kota New York mengadakan jajak pendapat di mana anak-anak Muslim harus memilih antara sekolah atau shalat Idul Adha.
Sejak itu, kata Syamsi, oleh masyarakat Muslim dibentuk koalisi besar untuk hari-hari libur Muslim atau Coalition for Muslim Holidays, yang anggotanya tidak saja komunitas Muslim, tapi juga berbagai organisasi non-Muslim. Keterlibatan non-Muslim ini adalah hasil dari upaya menjembatani hubungan antar komunitas. “Bahkan beberapa waktu lalu diadakan perdebatan umum yang diikuti oleh publik di Dewan Kota New York, di mana ada Rabbi dan Pastor yang datang dan mendukung sepenuhnya untuk dijadikan Idul Adha dan Idul Fitri sebagai hari libur,” katanya.
Dia menjelaskan, resolusi tersebut pertama kali disponsori oleh anggota DPRD Robert Jackson dari Bronx, yang merupakan satu-satunya anggota DPRD New York. Berkat kepemimpinannya di komisi yang membawahi pendidikan dan budaya, serta dorongan dari aktivis Koalisi Hari-hari Libur Muslim, pada akhirnya mayoritas anggota DPRD mendukung, termasuk beberapa yang beragama Yahudi. "Pada akhirnya resolusi ini akan diajukan ke meja walikota untuk disahkan menjadi peraturan kota. Insya Allah kita optimistis walikota akan mensahkan resolusi tersebut," kata pria si yang berasal dari Makassar itu.
Sementara ini, kalangan Muslim di Kota New York sedang merancang strategi untuk melobi walikota, termasuk menghubungkan dukungannya dengan pemilihan walikota mendatang. Walikota New York Michael Bloomberg berniat maju lagi menjadi calon walikota periode ketiga, setelah Dewan Kota mengubah pembatasan walikota dalam dua periode. "Bagi kami, ini sejarah yang akan dicatat dalam perkembangan Kota New York. Keberhasilan ini juga merupakan indikasi bahwa Islam dan Muslim di AS semakin mendapat pengakuan," ujarnya.
Di Kota New York saja, 1 dari 10 penduduk kota ini adalah Muslim. Ada sekitar 800.000 hingga sejuta Muslim di kota New York, sekitar 200-an masjid, dan kaum Muslim terlibat dalam segala sendi kehidupan, termasuk kepolisian dan pendidikan, demikian Syamsi Ali.ant/bur
http://www.republika.co.id/berita/57292/DPRD_New_York_Tetapkan_Idul_Fitri_Libur
Muslim Polandia Inginkan Hak Lebih
SEORANG MUSLIM DALAM MASJID BOHINIKI POLANDIA: Muslim ingin mengamandemen hukum 1936, yang menyangkal banyak hak-hak legal kaum Muslim, termasuk mengakui pernikahan Islam dan hari libur keagamaan.
WARSAWA — Muslim di Polandia berpenduduk mayoritas Kristen telah lama tertekan akibat undang-undang antar perang yang telah berlaku lama. UU tersebut menyangkal banyak hak-hak legal kaum minoritas, termasuk mengakui pernikahan Islam dan hari libur keagamaan.
"Di dalam hukum terkini, Muslim di Polandia memang sangat didiskriminasi," ujar Pawel Borecki, seorang profesor di Fakultas Hukum Agama, Universitas Warsawa.
Muslim ingin mengamandemen hukum 1936, yang mengatur kebijakan antara negara dan Asosiasi Keagamaan Muslim, serta mengatur status legal warga Muslim di Polandia.
Legislasi tidak mengakui pernikahan Islami, yang berarti Muslim harus tetap melakukan ikatan nikah melalui pernikahan sipil. Pernikahan berdasar agama Islam tidak memiliki efek sipil," ujar Pawel.
Hukum juga mewajibkan Muslim untuk mendoakan negara, presiden, pemerintah, dan tentara dalam ibadah Jumat mingguan. "Pemeluk Islam juga masih tidak memiliki jaminan hak untuk merayakan hari keagamaan mereka," ujar Pawel menakankan.
Menurut perkiraan terkini, ada sekitar 30 ribu Muslim di Polandia, kurang dari 0,1 persen dari total populasi Katholik Roma. Muslim populasi terutama berasa dari Turki, imigran bekas negara Yugoslavia, dan Pakistan, Afghanistan serta sejumlah kecil warga asli yang beralih agama.
Kedatangan Islam pertama kali pada abad ke-14, ketika Tatars membangun rumah-rumah mereka di Persemakmuran Poland-Lithuania, dan mempraktekan Islam dengan bebas sebagai imbalan layanan militer.
Rancangan Undang-Undang Baru
Saat ini petugas pemerintahan dan perwakilan Muslim dilaporkan tengah menyelesaikan rancangan undang-undang yang akan membatalkan UU 1936 yang kontroversial. Isi dalam rancangan uu tersebut diharapkan akan memberi Muslim Polandia lebih banyak hak.
Berdasar rancangan baru, pernikahan di dalam masjid akan memiliki status legal seperti halnya pernikahan sipil. Ulama Muslim juga bakal memiliki hak untuk menerbitkan sertifikat halal, menjamin jika sebuah produk layak dikonsmsi berdasar syariah.
Tak hanya itu, undang-undang baru akan mengakui festival keagamaan Muslim sebagai hari libur kaum minoritas tersebut. Saat ini, Muslim Polandia dipaksa untuk bekerja dan datang ke sekolah atau universitas saat kedua hari raya tersebut, dan menunda perayaan hingga akhir pekan.
Namun di bawah undang-undang baru, Muslim akan dijamin memiliki hak untuk libur dalam perayaan agama mereka.
http://www.republika.co.id/berita/57023/Muslim_Polandia_Inginkan_Hak_Lebih
Belum Saatnya Melarang Haji karena Flu Babi
Usulan pelarangan haji atau umrah karena wabah penyakit, memerlukan kajian yang mendalam dan akurat, ujar ulama
Hidayatullah.com--Ulama besar dan anggota Dewan Kerajaan Arab Saudi, Syeikh Abdul Muhsin Al-Ubaikan tak setuju pelarangan haji dan umrah hanya karena alasan merebaknya flu babi di beberapa negara, termasuk Arab Saudi.
Menurut Ubaikan, seperti dikutip harian Ukaz, pelarangan haji atau umrah karena wabah penyakit, memerlukan kajian yang mendalam. "Apalagi wabah itu belum merambah seluruh penduduk di Arab Saudi," katanya.
Jadi, menurut Ubaikan, haji dan umrah tetap bisa dilaksanakan seperti biasa dan pencegahan standar tetap dilakukan. Karena pengawalan yang ketat pemerintah Arab Saudi atas masuknya flu babi (H1N1), menjadi tidak berlaku hukum melarang masuk ke suatu tempat yang terdapat wabah penyakit menular yang membahayakan.
Menurut Ubaikan, hadis Rasulullah yang melarang setiap orang memasuki daerah wabah dan melarang keluar setiap orang dari daerah wabah, bukan karena wabah tersebut masih bisa tertanggulangi. "Wabah flu babi masih bisa ditanggulangi," katanya. Apalagi, penyakit itu hanya menimpa sedikit warga negara-negara muslim yang akan melaksanakan ibadah haji dan umrah.
Seperti diketahui, di Arab Saudi sendiri sudah ada lima kasus flu babi yang semuanya tertangani dan sembuh.
Sebelum ini Majlis Al-A`la Lisu`unil Islamiyah (Majelis Tertinggi Urusan Agama Islam) Mesir telah memutuskan agar umat Islam menunda umrah tahun 2009 ini karena merebaknya wabah flu babi dan mengharuskan haji hanya untuk warga Arab Saudi saja.
Sebab, menurut Dr. Sahhat Al-Jundi, Sekjen lembaga tersebut, fatwa ini dikeluarkan terkait dengan pengumuman WHO yang menyatakan flu babi sudah masuk tingkat keenam yang sudah merebak ke seluruh dunia.
Malah, menurut Kementerian Kesehatan Mesir, dunia bakal dikejutkan lagi dengan munculnya penyakit kolera yang kini menimpa sebuah desa Thubrak di Libya, yang jaraknya justru lebih dekat ke Mesir, yaitu hanya 150 kilometer dari kota Salom, Mesir. Sementara jaraknya dari Tripoli, ibukota Libya mencapai 1.500, kilometer.
Sementara itu Syeikh Al-Azhar Syeikh Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi menyatakan bahwa pihaknya akan membahas persoalan keharusan menunda haji tahun 2009 ini karena merebaknya flu babi. Hal ini dikemukakannya kepada pers, yang dikutip harian Al-Madinah (Arab Saudi) edisi Kamis, 18 Juni kemarin.
Menurut Thanthawi, fatwa tersebut akan melibatkan sejumlah ulama di Mesir. Namun, yang lebih penting adalah penjelasan Menteri Kesehatan Mesir Dr. Hatim Jabli. WHO sendiri sudah menetapkan flu babi pada taraf keenam.
Menurut Thanthawi, agama berpedoman pada hadis, `la dlarara wala dlirara` (tidak mencelakakan dan tidak dicelakakan). Jadi, jangan sampai umat yang melaksanakan haji justru akan terkena penyakit.
Thanthawi menyebutkan, fatwa ini nantinya akan berlaku di seluruh dunia, tak hanya berlaku untuk umat Islam Mesir sendiri.
Sementara itu Mufti Besar Mesir Syeikh Ali Jum`ah juga tengah menunggu `komando` Kementerian Kesehatan Mesir. "Masalah ini membutuhkan konsensus bersama (fatwa jama`iyah) agar pandangan antar ulama tak terpecah. Dan fatwa ini tak hanya wajib ditaati warga Mesir saja, tapi juga fatwa yang mengikat dari sudut pandangan fikih di seluruh dunia," katanya. [ihj/www.hidayatullah.com]
http://hidayatullah.com/index.php/berita/internasional/9692-belum-saatnya-melarang-haji-karena-flu-babi
Moskow Adakan MTQ Internasional
Rusia membuat gebrakan lagi di dunia Islam, kali ini menyelenggarakan MTQ internasional yang ke X diselenggarakan pada hari Minggu tgl 21 Juni 2009 mulai jam 14.30 wm sampai selesai di Conser Hall Korolevsky di Jalan Akademi Karolewa 15 Moskow, masuk dari pintu gerbang ke menara Tower Ostankino.
Dengan sponsor dari : Kesultanan Oman, Quwait, Kerajaan Saudi Arabia dan Repulik Islam Iran. Di buka oleh Mufti Rusia Imam Ravil Gaitnuddin, dengan latar belakang panggung Ka'bah (Tengah ) Masjid Prospek Mira (lama) di sisi Kanan dan Masjid Prospek Mira(Baru) di sisi kiri. Pembawa acara dengan dua bahasa : Rusia dan Arab.
Dewan Juri dari : Saudi Arabia, Malaysia, Iran, Rusia dan Mesir. Peserta yang menghapal al Qur'an ( Hafiz) utusan dari negara : Tajikistan, Marokko, Rusia, Mauritania, Kazastan, Palestina, Saudi Arabia, Kirgistan, Bulgaria, Oman dan Afrika Selatan. Dan pembaca al Qur'an ( Qori ) utusan dari negara : Indonesia ( Mendapat undian No 1, namanya Muhammad dari Demak, pernah juara I internasional di Brunai Darussalam tingkat remaja, tahun 2007 ) berikutnya dari Tajikistan, Malaysia, Turky, Afrika Selatan, Mesir, Rumania, Finlandia, Norwegia, Rusia, Cina, Iran dan Al Jazair.
Siapa yang menduga dari negara-negara Baltik ( Finlandia dan Norwegia ) ada Qori ? Dan siapa yang mengira dari Rumania, negara Eropa Timur ada Qori ? Dan yang lebih mengejutkan, Cina yang pada dewasa ini masih menganut paham komunis mengirim Qorinya ?
Dan mendapat sambutan yang gegap gempita, mengapa ? Karena dari negara yang athies ternyata Islam tak bisa diberhangus, malah ada pembaca Al Qur'an terbaik dari negara Cina tersebut.
Rusia mengirim dua orang qorinya, semuanya menakjubkan, semuanya membuat terharu, di negara eks komunis Rusia telah menyebar cahaya Allah, saat MTQ ke X berlangsung suasana seperti bukan di Rusia, di sana sini gadis berjilbab dan pakaian muslim menyebar, indahnya, mengharukan, tak terasa hati ini bergetar keras dan air mata berlinang, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, gema takbir bersahutan di sana sini, saat para Qori dan para hafiz melantun ayat-ayat Allah. Maha Benar Allah dengan segala firmanNya.
Oya, ada yang menarik, karena bersifat umum MTQ Internasional ke X menjadi unik, karena ada seorang qori Tunanetra dari Maroko, bersaing dengan yang bisa melihat, rasanya memang tidak adil, tapi usaha sudah dijalankan. Dan yang lucunya lagi, waktu pembagian sertifikat keikut sertaan, sertifikat peserta dari Indonesia ke tukar dengan peserta dari Iran, nah repotnya setelah pembagiannya sertifikat dan souvenir, semua membubarkan diri termasuk panitia. nah kita dari Indonesia berusaha mencari peserta dari Iran, di tanya ke sana ke mari ga ketemu juga, sampai peserta Indonesia harus kembali ke Hotel Cosmos (tempat peserta tinggal ) sertifikat itu masih ke tukar.
Di luar kekurangan itu, hasilnya sukses luar biasa, bahkan ketika pengumuman, seperti pemberian piala dunia sepak bola, ada bendera suporter segala dan tembakan kertas warna warni saat pembagian hadiah selasai. Dan karena Rusia adalah dunia bola, maka antara gema takbir dan tepuk tangan saat Qori selesai membaca atau hifzil selesai menghapal al Qur'an tak bisa dihindari.
Di bawah ini pengumuman panitia MTQ Internasional ke X tersebut :
On June 21st, 2009 at 14.30 in Moscow in the concert hall "Korolevsky" (the underground station «VDNH», further ground transport (troll. 13, 69 up to st. "Ostankinskaya television tower"), Academica Koroleva st., 15) under patronage of chairman of Russia muftis Council mufti sheikh Ravil Gaynutdin with the support of the Secretary General of the Organization of the Islamic Conference Dr. Ekmeleddin Ikhsanoglu X Moscow International Quran Reciting Competition will take place.
The best readers of the Quran from Russia, Kazakhstan, Malaysia, Kingdom of Saudi Arabia, Finland and other countries will take part in the Competition. The Competition will be held in two nominations: Knowledge of the whole text of the Holy Quran by heart (hifz) and reciting of the Holy Quran by muzhaf (tilawa).
Visitors and participants of the anniversary Competition will witness colourful laser show, staging, and master-class on reading of the Holy Quran by Jury members.
Upon termination of Competition press conference will be held with participation of the chairman of Russia muftis Council (RMC) mufti sheikh Ravil Gaynutdin, the chairman of the jury and the winners of the Competition will take place.
(kiriman Syarifudin Zuhri)
http://eramuslim.com/berita/dunia/moskow-adakan-mtq-internasional.htm
Pendidikan Anak dalam Pergulatan
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dalam Tsalatsatul Ushul-nya, yang disebut ilmu adalah ma’rifatullah (mengenal Allah), ma’rifatu nabiyyihi (mengenal Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan ma’rifatu dienil Islam bil adillah (mengenal agama Islam berdasarkan dalil-dalil). Inilah yang disebut sebagai ilmu.
Sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menyatakan bahwa yang disebut ilmu adalah ilmu syar’i. Yaitu, ilmu (yang meliputi) apa saja yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk penjelasan-penjelasan (al-bayyinat) dan petunjuk (al-huda). Maka, ilmu yang terpuji adalah ilmu wahyu.
Hanya ilmu yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. (Kitabul ‘Ilmi, hal. 9)
Lebih tegas Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu memaparkan, bahwa telah dimaklumi para nabi telah mewariskan ilmu Allah k. Bukan ‘ilmu’ lainnya. Para nabi tidaklah mewariskan kepada manusia ilmu teknologi industri atau segala yang terkait dengannya.
Sudah menjadi kewajiban kaum muslimin untuk mempelajari dan memahami ilmu syar’i tersebut. Karena, tidak akan mungkin seorang muslim mengamalkan agamanya tanpa disertai mempelajari dan memahami ilmu syar’i dengan baik dan benar. Berbeda dengan ‘ilmu’ teknologi industri, tidak semua kaum muslimin wajib untuk mempelajarinya. Ilmu syar’i yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan melalui Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan ilmu yang menyangkut keselamatan hidup seseorang di dunia maupun di akhirat kelak. Maka, bila seorang muslim menghendaki kebaikan, hendaknya dia berupaya mempelajari dan memahami secara baik dan benar ilmu yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan melalui Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Satu tanda bahwa seseorang mendapat kebaikan, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kefaqihan dalam agama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan hal ini sebagaimana dalam hadits Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan, Allah faqihkan dia dalam agama.” (HR. Al-Bukhari no. 71, 3116, 7312)
Sungguh beruntung sekali seseorang yang bisa mendapat hal tersebut. Dirinya bisa mempelajari, memahami dan mengamalkan agamanya. Sungguh, ilmu syar’i inilah yang menjadi warisan dari para nabi Allah. jika seseorang mampu meraupnya, sungguh dia telah mendapat keberuntungan yang melimpah ruah. Sebagaimana hadits dari Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan sesungguhnya ulama itu pewaris nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Para nabi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil (mendapatkan) keberuntungan yang banyak.” (Sunan Abi Dawud, no. 3641, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya)
Maka, sudah selaiknya bila Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat dan meninggikan derajat ahlul ilmi di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
Sebagaimana diungkapkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat ahlul ilmi di akhirat dan di dunia. Di akhirat, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat, meninggikan kedudukan mereka beberapa derajat terkait segenap apa yang telah mereka upayakan dalam menegakkan dakwah ke (jalan) Allah k, serta mengamalkan apa yang mereka telah amalkan. Sedangkan di dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meninggikan mereka di antara hamba-hamba-Nya terkait apa yang telah mereka tegakkan dengannya. (Kitabul ‘Ilmi, hal. 16-17)
Berpijak guna menjadi ahlul ilmi itulah anak-anak mendapat pendidikan. Mereka adalah generasi yang dilahirkan untuk masa depan, menyongsong dakwah, dan menegakkan Islam. Menjadi generasi yang memiliki bekal keilmuan dan peduli terhadap keadaan umat. Bukan generasi yang dididik untuk disiapkan menjadi mesin-mesin ekonomi. Dihisap waktu, tenaga dan pikirannya oleh para kapitalis. Bukan. Bukan ke arah itu mendidik anak.
Karenanya, arahkan, bimbing dan tuntun anak-anak agar merasa nyaman dengan Al-Qur`an. Relakan dia menghafal, mempelajari dan mengamalkan apa yang dikandung dalam Kitab nan suci itu. Sungguh amat bersyukur bagi orangtua yang mampu (dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala) mengantarkan anak-anaknya senantiasa mempelajari, menghafalkan dan berupaya mengamalkan Al-Qur`an. Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَتَعَلَّمَهُ وَعَمِلَ بِهِ أُلْبِسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَاجًا مِنْ نُورٍ ضَوْؤُهُ مِثْلُ ضَوْءِ الشَّمْسِ وَيُكْسَى وَالِدَيْهِ حُلَّتَانِ لاَ تُقَوَّمُ بِهِمَا الدُّنْيَا فَيَقُولَانِ: بِمَا كُسِيْنَا هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِأَخْذِ وَلَدِكُمَا الْقُرْآنَ
“Barangsiapa yang membaca Al-Qur`an, mempelajarinya dan mengamalkannya kelak pada hari kiamat dikenakan mahkota dari cahaya yang sinar kemilaunya seperti cahaya matahari. Dan (bagi) kedua orangtuanya masing-masing dikenakan pula dua pakaian yang tak bisa dinilai dengan dunia. Maka kedua orangtuany\a bertanya: ‘Lantaran apa kami dipakaikan (yang seperti) ini?’ Maka dijawab: ‘Karena anak kalian berdua belajar Al-Qur`an’.” (Mustadrak Al-Hakim, 1/568. Lihat Ash-Shahihah no. 2914)
Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur`an dan yang mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5028)
Diungkapkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu bahwa sesungguhnya membaca Kitabullah merupakan sebab tumbuhnya kebaikan. Sedangkan kebaikan pada anak (yaitu dengan menjadi anak shalih) akan membawa kebaikan bagi orangtua saat di dunia maupun setelah meninggal dunia. Ini sebagaimana disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ: مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah darinya amal kecuali tiga hal. Yaitu, dari sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang shalih yang mendoakan orangtuanya.” (HR. Muslim no. 1631, lihat Kitabul ‘Ilmi hal. 205)
Diharapkan, dengan membekali anak dengan ilmu syar’i disertai bekal kemampuan lainnya, kelak diri anak bisa menjadi dai yang menyeru manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. dia menjadi bagian dari umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengemban tugas mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
Tentang ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan bahwa setiap orang yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kepada apa yang telah didakwahkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas dasar bashirah (ilmu), keyakinan, burhan (dalil) secara aqli dan syar’i. (Tafsir Al-Qur`ainl ‘Azhim, 2/649)
Dengan demikian ayat tersebut memuat dalil bahwa sesungguhnya para pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah du’at (para juru dakwah) ke (jalan) Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Al-Hujajul Qawiyyah, Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullahu, hal. 7)
Di tengah derasnya arus materialisme yang menyeret banyak manusia ke dalam kubangan syahwat, nafsu sesaat, berlomba mengeruk materi, memang akan sangat terasa aneh sekali bila ada orang pada dewasa ini berkeinginan menjadi dai. Sebagian orangtua masih dihantui perasaan cemas bila anaknya terjun dalam dakwah. Karenanya, sebagian orangtua cenderung memilih tempat pendidikan bagi anaknya ke tempat pendidikan yang bisa ‘menjanjikan’ masa depan anaknya. Sadar atau tidak, sebenarnya pilihan ini agak berbau paham materialisme. Ada semacam kekhawatiran yang tersembunyi, bila sang anak tidak memiliki ijazah, gelar, atau keahlian, masa depannya menjadi suram. Walau untuk hal ini, waktu anak untuk mempelajari, memahami dan menyerap ilmu syar’i menjadi banyak terkurangi. Usianya habis untuk berkutat menjelajahi fatamorgana. Demikianlah, pergulatan guna menapaki masa depan akan terus berkecamuk.
Hendaknya setiap diri muslim menjadi orang yang menyeru kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun yang demikian ini tak akan bisa tercapai manakala seorang muslim tidak dibekali dengan ilmu. Sebab, seseorang yang belum memiliki bekal ilmu, maka apa yang dia dakwahkan adalah sesuatu yang muncul dari pemikiran dan hawa nafsunya.
Dikira sebagai suatu kebenaran, ternyata sesuatu yang batil dan sesat. Adalah sebuah kemestian mendahulukan ilmu sebelum seseorang berdakwah. Karenanya, menempatkan anak-anak di lembaga pendidikan yang memfokuskan pada kajian keagamaan sesuai pemahaman salafush shalih adalah jalan terbaik yang harus ditempuh.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menghasung untuk menyebarkan al-haq. Seseorang yang berusaha mengajak orang lain, sehingga melalui dirinya orang tersebut mendapat hidayah, maka dia mendapat keutamaan yang besar. Hadits dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang menyingkap pembicaraan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu saat Hari Khaibar, menunjukkan keutamaan tersebut. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَوَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, Allah memberikan hidayah pada satu orang lantaran engkau, (itu) lebih baik bagimu daripada (mendapat) unta merah.” (HR. Al-Bukhari no. 3009)
Dari Abu Mas’ud Al-Badri, ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim no. 1893)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Namun untuk mewujudkan ke arah apa yang dicitakan, banyak rintangan yang menghadang. Pendidikan anak-anak yang diidamkan tak sedikit menghadapi tantangan. Di antara yang menghambat bahkan menggagalkan misi pendidikan anak yang selaras dengan fitrahnya, seperti yang disebutkan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, yaitu adanya (sistem) pendidikan yang menyimpang dan lingkungan yang menyeleweng. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ فَاجْتَالَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ
“Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (sesuai fitrah, bertauhid), kemudian para setan menggelincirkan (memalingkan) mereka.” (HR. Ahmad no. 17947 dan Muslim no. 7386, dari shahabat ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu)
Pengertiannya, bahwa para setan memalingkan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada bentuk peribadahan kepada berhala. Lantas berhala-berhala tersebut mereka jadikan sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka mereka pun terjatuh dalam kesesatan dan kesia-siaan. Setelah mereka meninggalkan Rabb yang haq, malapetakan pun jatuh menimpa mereka dengan menjadikan sesembahan (rabb-rabb) yang batil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (Yunus: 32) [‘Aqidatut Tauhid, hal. 28]
Setan dan bala tentaranya, dari jenis jin dan manusia, senantiasa berupaya menyimpangkan fitrah anak. Melalui berbagai media, setan dan bala tentaranya, terus menebar berbagai bentuk kesesatan dan opini yang menyesatkan. Pernyataan-pernyataan indah nan memukau selalu dilansir guna menipu manusia. Pendidikan anak menjadi melenceng. Anak dijejali dengan pendidikan yang mengarah pada kesibukan duniawiyah.
Ditiupkan ketakutan dan kekhawatiran terhadap masa depan anak bila anak tak meniti pendidikan sebagaimana kebanyakan manusia. Sebaliknya, beragam citra buruk dilekatkan, bila anak menghabiskan waktunya guna mereguk ilmu syar’i sebagai bekal bagi masa depannya. Setan selalu menebar tipuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
“(Yaitu) setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
Hambatan lain yang bisa memalingkan anak dari fitrahnya adalah sistem pendidikan. Sebagaimana dimafhumi, sistem pendidikan sekarang lebih menekankan kepada faktor selain ilmu syar’i. Pendidikan agama hanya suplemen, bagian dari sistem pendidikan itu sendiri. Maka, terjadilah apa yang terjadi. Mata pelajaran agama sangat minim sekali diberikan kepada anak-anak di sekolah formal di Indonesia. Itupun pendidikan agama dengan beragam ‘corak’ pemahaman. Maka, melalui sistem pendidikan yang cenderung sekularistik ini bisa menjadi penyebab lunturnya fitrah anak. Akibatnya, benteng pertahanan moral anak dalam menghadapi gempuran arus kekufuran di sekitarnya menjadi sangat rapuh sekali. Lahirlah manusia-manusia model Qarun yang menganggap dirinyalah yang menjadikan sukses dalam kehidupan dunia.
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)
Atau sebagaimana yang diucapkan manusia lainnya seperti digambarkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku’. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (Az-Zumar: 49)
Maka, hendak kemanakah pendidikan anak kita diarahkan? Mari telaah bagaimana para salafush shalih mendidik anak-anak mereka. Temukan mutiara pendidikan pada mereka. Ke sanalah kita mesti merujuk.
Wallahu a’lam.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=701
Sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menyatakan bahwa yang disebut ilmu adalah ilmu syar’i. Yaitu, ilmu (yang meliputi) apa saja yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk penjelasan-penjelasan (al-bayyinat) dan petunjuk (al-huda). Maka, ilmu yang terpuji adalah ilmu wahyu.
Hanya ilmu yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. (Kitabul ‘Ilmi, hal. 9)
Lebih tegas Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu memaparkan, bahwa telah dimaklumi para nabi telah mewariskan ilmu Allah k. Bukan ‘ilmu’ lainnya. Para nabi tidaklah mewariskan kepada manusia ilmu teknologi industri atau segala yang terkait dengannya.
Sudah menjadi kewajiban kaum muslimin untuk mempelajari dan memahami ilmu syar’i tersebut. Karena, tidak akan mungkin seorang muslim mengamalkan agamanya tanpa disertai mempelajari dan memahami ilmu syar’i dengan baik dan benar. Berbeda dengan ‘ilmu’ teknologi industri, tidak semua kaum muslimin wajib untuk mempelajarinya. Ilmu syar’i yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan melalui Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan ilmu yang menyangkut keselamatan hidup seseorang di dunia maupun di akhirat kelak. Maka, bila seorang muslim menghendaki kebaikan, hendaknya dia berupaya mempelajari dan memahami secara baik dan benar ilmu yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan melalui Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Satu tanda bahwa seseorang mendapat kebaikan, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kefaqihan dalam agama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan hal ini sebagaimana dalam hadits Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan, Allah faqihkan dia dalam agama.” (HR. Al-Bukhari no. 71, 3116, 7312)
Sungguh beruntung sekali seseorang yang bisa mendapat hal tersebut. Dirinya bisa mempelajari, memahami dan mengamalkan agamanya. Sungguh, ilmu syar’i inilah yang menjadi warisan dari para nabi Allah. jika seseorang mampu meraupnya, sungguh dia telah mendapat keberuntungan yang melimpah ruah. Sebagaimana hadits dari Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan sesungguhnya ulama itu pewaris nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Para nabi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil (mendapatkan) keberuntungan yang banyak.” (Sunan Abi Dawud, no. 3641, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya)
Maka, sudah selaiknya bila Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat dan meninggikan derajat ahlul ilmi di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
Sebagaimana diungkapkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat ahlul ilmi di akhirat dan di dunia. Di akhirat, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat, meninggikan kedudukan mereka beberapa derajat terkait segenap apa yang telah mereka upayakan dalam menegakkan dakwah ke (jalan) Allah k, serta mengamalkan apa yang mereka telah amalkan. Sedangkan di dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meninggikan mereka di antara hamba-hamba-Nya terkait apa yang telah mereka tegakkan dengannya. (Kitabul ‘Ilmi, hal. 16-17)
Berpijak guna menjadi ahlul ilmi itulah anak-anak mendapat pendidikan. Mereka adalah generasi yang dilahirkan untuk masa depan, menyongsong dakwah, dan menegakkan Islam. Menjadi generasi yang memiliki bekal keilmuan dan peduli terhadap keadaan umat. Bukan generasi yang dididik untuk disiapkan menjadi mesin-mesin ekonomi. Dihisap waktu, tenaga dan pikirannya oleh para kapitalis. Bukan. Bukan ke arah itu mendidik anak.
Karenanya, arahkan, bimbing dan tuntun anak-anak agar merasa nyaman dengan Al-Qur`an. Relakan dia menghafal, mempelajari dan mengamalkan apa yang dikandung dalam Kitab nan suci itu. Sungguh amat bersyukur bagi orangtua yang mampu (dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala) mengantarkan anak-anaknya senantiasa mempelajari, menghafalkan dan berupaya mengamalkan Al-Qur`an. Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَتَعَلَّمَهُ وَعَمِلَ بِهِ أُلْبِسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَاجًا مِنْ نُورٍ ضَوْؤُهُ مِثْلُ ضَوْءِ الشَّمْسِ وَيُكْسَى وَالِدَيْهِ حُلَّتَانِ لاَ تُقَوَّمُ بِهِمَا الدُّنْيَا فَيَقُولَانِ: بِمَا كُسِيْنَا هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِأَخْذِ وَلَدِكُمَا الْقُرْآنَ
“Barangsiapa yang membaca Al-Qur`an, mempelajarinya dan mengamalkannya kelak pada hari kiamat dikenakan mahkota dari cahaya yang sinar kemilaunya seperti cahaya matahari. Dan (bagi) kedua orangtuanya masing-masing dikenakan pula dua pakaian yang tak bisa dinilai dengan dunia. Maka kedua orangtuany\a bertanya: ‘Lantaran apa kami dipakaikan (yang seperti) ini?’ Maka dijawab: ‘Karena anak kalian berdua belajar Al-Qur`an’.” (Mustadrak Al-Hakim, 1/568. Lihat Ash-Shahihah no. 2914)
Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur`an dan yang mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5028)
Diungkapkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu bahwa sesungguhnya membaca Kitabullah merupakan sebab tumbuhnya kebaikan. Sedangkan kebaikan pada anak (yaitu dengan menjadi anak shalih) akan membawa kebaikan bagi orangtua saat di dunia maupun setelah meninggal dunia. Ini sebagaimana disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ: مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah darinya amal kecuali tiga hal. Yaitu, dari sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang shalih yang mendoakan orangtuanya.” (HR. Muslim no. 1631, lihat Kitabul ‘Ilmi hal. 205)
Diharapkan, dengan membekali anak dengan ilmu syar’i disertai bekal kemampuan lainnya, kelak diri anak bisa menjadi dai yang menyeru manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. dia menjadi bagian dari umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengemban tugas mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
Tentang ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan bahwa setiap orang yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kepada apa yang telah didakwahkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas dasar bashirah (ilmu), keyakinan, burhan (dalil) secara aqli dan syar’i. (Tafsir Al-Qur`ainl ‘Azhim, 2/649)
Dengan demikian ayat tersebut memuat dalil bahwa sesungguhnya para pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah du’at (para juru dakwah) ke (jalan) Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Al-Hujajul Qawiyyah, Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullahu, hal. 7)
Di tengah derasnya arus materialisme yang menyeret banyak manusia ke dalam kubangan syahwat, nafsu sesaat, berlomba mengeruk materi, memang akan sangat terasa aneh sekali bila ada orang pada dewasa ini berkeinginan menjadi dai. Sebagian orangtua masih dihantui perasaan cemas bila anaknya terjun dalam dakwah. Karenanya, sebagian orangtua cenderung memilih tempat pendidikan bagi anaknya ke tempat pendidikan yang bisa ‘menjanjikan’ masa depan anaknya. Sadar atau tidak, sebenarnya pilihan ini agak berbau paham materialisme. Ada semacam kekhawatiran yang tersembunyi, bila sang anak tidak memiliki ijazah, gelar, atau keahlian, masa depannya menjadi suram. Walau untuk hal ini, waktu anak untuk mempelajari, memahami dan menyerap ilmu syar’i menjadi banyak terkurangi. Usianya habis untuk berkutat menjelajahi fatamorgana. Demikianlah, pergulatan guna menapaki masa depan akan terus berkecamuk.
Hendaknya setiap diri muslim menjadi orang yang menyeru kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun yang demikian ini tak akan bisa tercapai manakala seorang muslim tidak dibekali dengan ilmu. Sebab, seseorang yang belum memiliki bekal ilmu, maka apa yang dia dakwahkan adalah sesuatu yang muncul dari pemikiran dan hawa nafsunya.
Dikira sebagai suatu kebenaran, ternyata sesuatu yang batil dan sesat. Adalah sebuah kemestian mendahulukan ilmu sebelum seseorang berdakwah. Karenanya, menempatkan anak-anak di lembaga pendidikan yang memfokuskan pada kajian keagamaan sesuai pemahaman salafush shalih adalah jalan terbaik yang harus ditempuh.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menghasung untuk menyebarkan al-haq. Seseorang yang berusaha mengajak orang lain, sehingga melalui dirinya orang tersebut mendapat hidayah, maka dia mendapat keutamaan yang besar. Hadits dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang menyingkap pembicaraan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu saat Hari Khaibar, menunjukkan keutamaan tersebut. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَوَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, Allah memberikan hidayah pada satu orang lantaran engkau, (itu) lebih baik bagimu daripada (mendapat) unta merah.” (HR. Al-Bukhari no. 3009)
Dari Abu Mas’ud Al-Badri, ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim no. 1893)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Namun untuk mewujudkan ke arah apa yang dicitakan, banyak rintangan yang menghadang. Pendidikan anak-anak yang diidamkan tak sedikit menghadapi tantangan. Di antara yang menghambat bahkan menggagalkan misi pendidikan anak yang selaras dengan fitrahnya, seperti yang disebutkan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, yaitu adanya (sistem) pendidikan yang menyimpang dan lingkungan yang menyeleweng. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ فَاجْتَالَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ
“Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (sesuai fitrah, bertauhid), kemudian para setan menggelincirkan (memalingkan) mereka.” (HR. Ahmad no. 17947 dan Muslim no. 7386, dari shahabat ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu)
Pengertiannya, bahwa para setan memalingkan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada bentuk peribadahan kepada berhala. Lantas berhala-berhala tersebut mereka jadikan sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka mereka pun terjatuh dalam kesesatan dan kesia-siaan. Setelah mereka meninggalkan Rabb yang haq, malapetakan pun jatuh menimpa mereka dengan menjadikan sesembahan (rabb-rabb) yang batil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (Yunus: 32) [‘Aqidatut Tauhid, hal. 28]
Setan dan bala tentaranya, dari jenis jin dan manusia, senantiasa berupaya menyimpangkan fitrah anak. Melalui berbagai media, setan dan bala tentaranya, terus menebar berbagai bentuk kesesatan dan opini yang menyesatkan. Pernyataan-pernyataan indah nan memukau selalu dilansir guna menipu manusia. Pendidikan anak menjadi melenceng. Anak dijejali dengan pendidikan yang mengarah pada kesibukan duniawiyah.
Ditiupkan ketakutan dan kekhawatiran terhadap masa depan anak bila anak tak meniti pendidikan sebagaimana kebanyakan manusia. Sebaliknya, beragam citra buruk dilekatkan, bila anak menghabiskan waktunya guna mereguk ilmu syar’i sebagai bekal bagi masa depannya. Setan selalu menebar tipuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
“(Yaitu) setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
Hambatan lain yang bisa memalingkan anak dari fitrahnya adalah sistem pendidikan. Sebagaimana dimafhumi, sistem pendidikan sekarang lebih menekankan kepada faktor selain ilmu syar’i. Pendidikan agama hanya suplemen, bagian dari sistem pendidikan itu sendiri. Maka, terjadilah apa yang terjadi. Mata pelajaran agama sangat minim sekali diberikan kepada anak-anak di sekolah formal di Indonesia. Itupun pendidikan agama dengan beragam ‘corak’ pemahaman. Maka, melalui sistem pendidikan yang cenderung sekularistik ini bisa menjadi penyebab lunturnya fitrah anak. Akibatnya, benteng pertahanan moral anak dalam menghadapi gempuran arus kekufuran di sekitarnya menjadi sangat rapuh sekali. Lahirlah manusia-manusia model Qarun yang menganggap dirinyalah yang menjadikan sukses dalam kehidupan dunia.
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)
Atau sebagaimana yang diucapkan manusia lainnya seperti digambarkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku’. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (Az-Zumar: 49)
Maka, hendak kemanakah pendidikan anak kita diarahkan? Mari telaah bagaimana para salafush shalih mendidik anak-anak mereka. Temukan mutiara pendidikan pada mereka. Ke sanalah kita mesti merujuk.
Wallahu a’lam.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=701
Zakat Perhiasan
Benarkah perhiasan emas dan perak wajib dikeluarkan zakatnya? Pertanyaan seperti ini bisa jadi masih acap muncul di tengah masyarakat. Bagaimana pula dengan perhiasan yang menggunakan bahan selain emas dan perak? Simak kajian berikut!
Wanita identik dengan berhias dan mengenakan perhiasan. Karenanya dalam Kalamullah yang mulia dinyatakan:
أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ
“Apakah patut (menjadi anak Allah) orang (wanita) yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan, sedangkan dia tidak dapat memberi alasan yang jelas dalam pertengkaran?” (Az-Zukhruf: 18)
Ayat yang mulia di atas menunjukkan, secara tabiat wanita memang senang berhias guna menutupi kurangnya kecantikan/ keindahannya. Sehingga ia menggunakan perhiasan dari luar sejak kanak-kanak untuk melengkapi dan menutupi kekurangannya. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/135, Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 764)
Mengenakan perhiasan jelas sesuatu yang halal. Namun harus diketahui bahwa dalam syariat yang mulia ini ada pembahasan, apakah perhiasan yang dikenakan wanita harus dikeluarkan zakatnya atau tidak. Perhiasan yang menjadi pembicaraan di sini tentunya terbatas pada perhiasan yang terbuat dari emas dan perak, tidak yang selainnya, baik itu berupa mutiara, intan, berlian, dan sebagainya.
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata, “Tidak ada zakat pada lu`lu` (mutiara), misik, dan ‘anbar.” (Al Muwaththa` no. 1/232)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, “Apa yang dijadikan perhiasan oleh para wanita atau yang disimpan mereka, ataupun yang disimpan oleh para lelaki berupa mutiara, zabarjad (batu permata seperti zamrud), yaqut, marjan, perhiasan yang berasal dari laut, dan selainnya, tidak ada zakatnya. Tidak ada zakat kecuali pada emas dan perak. Tidak ada zakat pada kuningan, besi, tembaga, batu, belerang dan apa-apa yang dikeluarkan dari bumi. Tidak ada zakat pada ‘anbar dan tidak pula pada mutiara yang diambil dari laut….” (Al-Umm, kitab Az-Zakah, bab Ma La Zakata fihi minal Hulli)
Ada perbedaan pendapat di kalangan salaf dalam masalah zakat perhiasan emas dan perak ini. Mereka terbagi dalam beberapa pandangan, secara globalnya kita sebutkan dahulu sebelum menjelaskan perinciannya.
Pertama: Di antara mereka ada yang berpendapat zakat perhiasan itu wajib bila telah mencapai nishab, dikeluarkan setiap tahunnya, sebagaimana pendapat Abu Hanifah, salah satu dari pendapat mazhab Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad.
Kedua: Ada yang berpendapat bahwa perhiasan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Ini mazhab Al-Imam Malik, Ahmad, dan Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapatnya.
Ketiga: Ada yang menyatakan, perhiasan itu dikeluarkan zakatnya sekali saja.
Demikian diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Keempat: Ada yang berpendapat bahwa zakat emas adalah dengan meminjamkannya. Demikian riwayat dari Asma` dan juga Anas radhiyallahu ‘anhuma. (Subulus Salam, 4/42-43)
Sebelum menetapkan mana yang paling kuat dari pendapat-pendapat yang ada, maka kita akan melihat dalil masing-masingnya.
Dalil Ahlul Ilmi yang Mewajibkan Zakat Perhiasan
1. Dalil yang umum dalam Al-Qur`anul Karim.
Seperti firman Allah :
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ. يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kalian simpan itu’.” (At-Taubah: 34-35)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika ditanya tentang apa yang dimaksud dengan al-kanzu yang disebutkan dalam ayat ﮃ ﮂ, beliau menjawab: “Al-Kanzu adalah harta yang tidak ditunaikan zakatnya.” (Diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa` no. 606)
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Bila engkau mengeluarkan sedekah/zakat dari hartamu maka sungguh telah hilang kejelekannya, dan harta itu bukan lagi dikatakan kanzun.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/107, dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 3/190)
Ayat di atas berikut hadits yang nanti akan disebutkan bersifat umum mencakup seluruh emas dan perak, tidak ada sesuatu yang dikhususkan. Maka barangsiapa menyatakan emas dan perak yang berbentuk perhiasan tidak termasuk di dalam keumuman ini, hendaknya ia mendatangkan dalil. Demikian kata Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalah Mutanawwi’ah-nya (14/85) dan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa`il-nya (18/158), semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati keduanya.
2. Dalil dari hadits-hadits yang umum, yang berisi perintah mengeluarkan zakat emas dan perak.
Seperti hadits-hadits berikut ini:
a. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا، إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِيْنُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيْدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيُرَى سَبِيْلُهُ، إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلىَ النَّارِ...
“Tidak ada seorang pun yang memiliki emas dan perak yang tidak menunaikan haknya (zakat dari emas dan perak tersebut) melainkan pada hari kiamat nanti disiapkan untuknya lempengan besi dari api, lalu lempengan itu dipanaskan di neraka jahannam, kemudian lambung, dahi, dan punggungnya dibakar dengan lempengan membara tersebut. Setiap kali lempengan itu dingin, dipanaskan lagi lalu dibakarkan padanya. Hal itu dilakukan padanya pada hari yang kadarnya 50.000 tahun, hingga diputuskan perkara di antara para hamba. Maka akan dilihat ke mana ia menuju, apakah ke surga ataukah ke neraka….” (HR. Muslim no. 2287)
b. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ صَاحِبِ إِبِلٍ لاَ يَفْعَلُ فِيْهَا حَقَّهَا إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُ مَا كَانَتْ قَطُّ وَقَعَدَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ، تَسْتَنُّ عَلَيْهِ بِقَوَائِمِهَا وَأَخْفَافِهَا، وَلاَ صَاحِبِ بَقَرٍ لاَ يَفْعَلُ فِيْهَا حَقَّهَا إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُ مَا كَانَتْ وَقَعَدَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ، تَنْطَحُهُ بِقُرُوْنِهَا وَتَطَؤُهُ بِقَوَائِمِهَا، وَلاَ صَاحِبِ غَنَمٍ لاَ يَفْعَلُ فِيْهَا حَقَّهَا إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُ مَا كَانَتْ وَقَعَدَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ، تَنْطَحُهُ بِقُرُوْنِهَا وَتَطَؤُهُ بِأَظْلاَفِهَا، لَيْسَ فِيْهَا جَمَّاءُ وَلاَ مُنْكَسِرٌ قَرْنُهَا، وَلاَ صَاحِبِ كَنْزٍ لاَ يَفْعَلُ فِيْه حَقَّه إِلاَّ جاَءَ كَنْزُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ يَتَّبِعُهُ فَاتِحًا فَاهُ، فَإِذَا أَتَاهُ فَرَّ مِنْهُ، فَيُنَادِيْهِ: خُذْ كَنْزَكَ الَّذِي خَبَأْتَهُ، فَأَنَا عَنْهُ غَنِيٌّ. فَإِذَا رَأَى أَنْ لاَ بُدَّ مِنْهُ سَلَكَ يَدَهُ فِي فِيْهِ فَيَقْضَمُهَا قَضْمَ الْفَحْلِ
“Tidak ada seorang pun dari pemilik unta yang tidak menunaikan hak yang harus ditunaikan dari unta-untanya tersebut (tidak mengeluarkan zakatnya) melainkan unta-untanya akan datang pada hari kiamat lebih banyak dari yang sebelumnya. Si pemilik unta itu duduk menghadapi unta-untanya di tanah yang datar yang luas, dalam keadaan unta-unta itu melompat dan menyergap ke arahnya, menendang dengan kaki-kaki mereka. Dan tidak ada seorang pun dari pemilik sapi yang tidak menunaikan hak yang harus ditunaikan dari sapi-sapinya tersebut melainkan sapi-sapinya akan datang pada hari kiamat lebih banyak dari yang sebelumnya. Si pemilik sapi itu duduk menghadapi sapi-sapinya di tanah yang datar yang luas, dalam keadaan sapi-sapi itu menanduknya dengan tanduk-tanduk mereka dan menginjaknya dengan kaki-kaki mereka. Dan tidak ada seorang pun dari pemilik kambing yang tidak menunaikan hak yang harus ditunaikan dari kambing-kambingnya tersebut melainkan kambing-kambingnya akan datang pada hari kiamat lebih banyak dari yang sebelumnya. Si pemilik kambing itu duduk menghadapi kambing-kambingnya di tanah yang datar yang luas, dalam keadaan kambing-kambing itu menanduknya dengan tanduk-tanduk mereka dan menginjaknya dengan kaki-kaki mereka. Tidak ada di antara kambing-kambing itu yang tidak bertanduk dan tidak ada yang patah/pecah tanduknya. Dan tidak ada seorang pun dari pemilik kanzun yang tidak menunaikan hak yang harus ditunaikan dari kanzun tersebut melainkan kanzun-nya akan datang pada hari kiamat dalam bentuk ular jantan besar yang botak yang terus mengikutinya dalam keadaan ular itu membuka mulutnya (menganga). Bila ular itu mendatanginya, ia lari. Ular itu menyerunya, “Ambillah kanzun-mu yang dulunya engkau sembunyikan, karena aku tidak membutuhkannya.” Bila si pemilik kanzun itu melihat tidak ada jalan baginya kecuali harus mengambil kanzun-nya (yang berada dalam mulut ular tersebut), ia pun memasukkan tangannya ke dalam mulut ular tersebut maka ular itu mengunyah tangannya seperti hewan jantan mengunyah makanannya.”
(HR. Muslim no. 2293)
c. Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, pernah datang seorang wanita bersama putrinya menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Putrinya mengenakan dua gelang emas yang tebal/berat pada tangannya. Melihat hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada si ibu:
أَتُعْطِيْنَ زَكاَةَ هَذَا؟ قَالَتْ: لاَ. قَالَ: أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ؟ قَالَ: فَخَلَعَتْهُمَا فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ n وَقَالَتْ: هُمَا لِلهِ k وَلِرَسُوْلِهِ
“Apakah engkau telah memberikan zakat dua gelang ini?” Si wanita menjawab, “Belum.” “Apakah menyenangkanmu bila pada hari kiamat nanti Allah memakaikanmu dua gelang dari api?” tanya Rasulullah lagi.
Kata Abdullah, “Si wanita lalu melepaskan dua gelang tersebut dari tangan putrinya, kemudian menyerahkannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Dua gelang ini untuk Allah k dan Rasul-Nya’.” (HR. Abu Dawud no. 1563, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
d. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku memakai gelang kaki dari emas, maka aku tanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, apakah ini kanzun?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
مَا بَلَغَ أَنْ تُؤَدَّى زَكاَتُهُ فَزُكِّيَ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ
“Bila mencapai kadar harus ditunaikan zakatnya lalu dizakati, maka itu bukanlah kanzun.” (HR. Abu Dawud no. 1564, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
3. Atsar dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
a. Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
Ketika ada seorang wanita bertanya kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tentang perhiasan yang harus dikeluarkan zakatnya, beliau menjawab, “Bila perhiasan itu mencapai kadar 200 dirham maka keluarkanlah zakatnya.” Wanita itu berkata, “Aku mengasuh anak-anakku yang yatim. Apakah boleh aku memberikan zakat tersebut kepada mereka?” “Iya, boleh,” jawab Ibnu Mas’ud. (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/83)
b. Atsar Aisyah radhiyallahu ‘anha
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Tidak apa-apa mengenakan perhiasan jika diberikan zakatnya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam As-Sunan no. 1938)
c. Atsar Abdullah ibnu ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma
Ia menulis surat kepada bendaharanya yang bernama Salim agar mengeluarkan zakat perhiasan putri-putrinya setiap tahun. (Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam As-Sunan no. 1938)
4. Atsar dari tabi’in
a. Atsar Sa’id ibnul Musayyab rahimahullahu
Ia berkata, “Pada perhiasan emas dan perak ada zakatnya. Sementara mutiara (marjan) tidak ada zakatnya, kecuali bila diperdagangkan.” (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/85)
b. Atsar Ibrahim An-Nakha’i rahimahullahu
Ibrahim berkata, “Zakat ada pada perhiasan emas dan perak.” (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/84)
c. Atsar ‘Atha` rahimahullahu
“Apabila perhiasan mencapai nishab zakat maka padanya ada zakat yang harus dikeluarkan,” katanya. (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 3/153)
d). Atsar Az-Zuhri rahimahullahu
“Zakat ada pada perhiasan dikeluarkan setiap tahun,” kata Az-Zuhri. (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/83)
Dalil Ahlul Ilmi yang Berpendapat Tidak Wajibnya Zakat Perhiasan
1. Hadits dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma.
Dia menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ فِي الْحُلِّيِّ زَكَاةٌ
“Tidak ada zakat pada perhiasan.” (Diriwayatkan Ad-Daraquthni dalam As-Sunan no. 1937)
Namun hadits ini telah dihukumi oleh Al-Baihaqi rahimahullahu dan selainnya sebagai hadits yang batil, tidak ada asalnya. Al-Baihaqi berkata, “Hadits ini hanyalah diriwayatkan dari ucapan Jabir1. Afiyah bin Ayyub (salah seorang perawinya, pent.) adalah seorang yang majhul. Siapa yang berhujjah dengannya secara marfu’ maka orang itu dihukum karena dosanya. Ia masuk dalam celaan kita terhadap orang-orang yang menyelisihi, yakni berhujjah dengan periwayatan para pendusta.”
Kesimpulannya, hadits ini memiliki penyakit dari tiga sisi:
Pertama: Hadits ini mauquf dari ucapan Jabir radhiyallahu ‘anhuma.
Kedua: Afiyah bin Ayyub lemah. Sebagian ulama mengatakannya majhul.
Ketiga: Dhaifnya rawi yang meriwayatkan dari ‘Afiyah, yaitu Ibrahim bin Ayyub. (lihat Al-Irwa`, 3/295)
2. Atsar dari Beberapa Sahabat
a. Atsar Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma
Ia memakaikan perhiasan emas kepada putri-putrinya dan budak-budak perempuannya, kemudian ia tidak mengeluarkan zakat dari perhiasan tersebut (Diriwayatkan Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam Musnad-nya no. 432)
b. Atsar Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anha
Asma radhiyallahu ‘anha tidak mengeluarkan zakat perhiasan. (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 3/155)
c. Atsar Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma
Ia berkata, “Tidak ada zakat pada perhiasan.” Abuz Zubair (perawi yang meriwayatkan dari Jabir) berkata, “Nilai perhiasan itu mencapai seribu dinar.” Jabir berkata, “Dipinjamkan dan dipakai.” (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/82)
Adapun pendapat ketiga dan keempat tidak memiliki sandaran dalil sehingga hanya tinggal dua pendapat. Bila kita melihat dalil-dalil dari dua pendapat tersebut, kita dapatkan dalil pendapat pertama lebih kuat daripada pendapat yang kedua. Dan memang demikian kenyataannya, pendapat pertama yang menyatakan perhiasan harus dikeluarkan zakatnya lebih rajih.
Zakat perhiasan ini sebagaimana zakat lainnya dikeluarkan bila telah mencapai nishab, selain telah mencapai haul (telah satu tahun dalam pemilikan). Demikian pendapat mayoritas ahlul ilmi. Adapun Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu setelah membawakan hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma yang telah disebutkan di atas mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil wajibnya zakat pada perhiasan. Zahirnya tidak ada nishabnya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memerintahkan untuk mengeluarkan zakat dari dua gelang yang disebutkan.” (Subulus Salam, 4/42)
Namun dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha yang telah lewat disebutkan: “Bila mencapai kadar harus ditunaikan zakatnya lalu dizakatkan maka itu bukanlah kanzun.” Dengan demikian zakat perhiasan pun harus mencapai nishab. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah,14/86)
Bila berupa emas maka nishabnya seperti nishab emas yaitu 20 dinar2, zakatnya sebesar 1/2 dinar. Sedangkan perak sebanyak 200 dirham3, zakatnya sebanyak 5 dirham. Berarti, zakat emas dan perak besarnya 2,5%. Nishab emas dan perak ini disebutkan dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِئَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْل فَفِيْهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ، وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ –يَعْنِي فِي الذَّهَبِ- حَتَّى يَكُوْنَ لَكَ عِشْرِيْنَ دِيْنَارًا. فَإِذَا كَانَتْ لَكَ عِشْرِيْنَ دِيْنَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْل فَفِيْهَا نِصْفُ دِيْنَارٍ. فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ
“Apabila engkau memiliki 200 dirham (perak) dan telah lewat haul (setahun dalam pemilikan, pent.) maka padanya ada zakat sebesar 5 dirham. Dan tidak ada kewajiban apa-apa atasmu –yaitu pada emas– hingga engkau memiliki 20 dinar. Bila engkau memiliki 20 dinar dan telah lewat haul maka padanya ada zakat sebesar 1/2 dinar. Apa yang lebih dari itu maka perhitungannya demikian.” (HR. Abu Dawud no. 1573, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila pada perhiasan emas dan perak itu ada batu-batu mulia seperti berlian, mutiara dan sebagainya, maka batu-batu ini tidaklah terhitung dalam zakat. Yang dihitung zakatnya hanyalah emas dan peraknya. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Tidak marfu’ hukumnya/ bukan ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi ucapan Jabir radhiyallahu ‘anhu. Dalam istilah lain hadits ini mauquf. –pent.
2 Perkiraan kadar gramnya sebagai berikut: 1 dinar sekitar 4,25 gram. Berarti 20 dinar sama dengan 4,25 x 20 = 85 gram. Adapula yang mengatakan 20 dinar itu sama dengan 92 gram. Wallahu a’lam.
3 Perkiraan kadar gramnya sebagai berikut: 1 dirham sekitar 2,975 gram. 200 dirham sama dengan 2,975 x 200 = 595 gram.
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=715
Wanita identik dengan berhias dan mengenakan perhiasan. Karenanya dalam Kalamullah yang mulia dinyatakan:
أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ
“Apakah patut (menjadi anak Allah) orang (wanita) yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan, sedangkan dia tidak dapat memberi alasan yang jelas dalam pertengkaran?” (Az-Zukhruf: 18)
Ayat yang mulia di atas menunjukkan, secara tabiat wanita memang senang berhias guna menutupi kurangnya kecantikan/ keindahannya. Sehingga ia menggunakan perhiasan dari luar sejak kanak-kanak untuk melengkapi dan menutupi kekurangannya. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/135, Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 764)
Mengenakan perhiasan jelas sesuatu yang halal. Namun harus diketahui bahwa dalam syariat yang mulia ini ada pembahasan, apakah perhiasan yang dikenakan wanita harus dikeluarkan zakatnya atau tidak. Perhiasan yang menjadi pembicaraan di sini tentunya terbatas pada perhiasan yang terbuat dari emas dan perak, tidak yang selainnya, baik itu berupa mutiara, intan, berlian, dan sebagainya.
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata, “Tidak ada zakat pada lu`lu` (mutiara), misik, dan ‘anbar.” (Al Muwaththa` no. 1/232)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, “Apa yang dijadikan perhiasan oleh para wanita atau yang disimpan mereka, ataupun yang disimpan oleh para lelaki berupa mutiara, zabarjad (batu permata seperti zamrud), yaqut, marjan, perhiasan yang berasal dari laut, dan selainnya, tidak ada zakatnya. Tidak ada zakat kecuali pada emas dan perak. Tidak ada zakat pada kuningan, besi, tembaga, batu, belerang dan apa-apa yang dikeluarkan dari bumi. Tidak ada zakat pada ‘anbar dan tidak pula pada mutiara yang diambil dari laut….” (Al-Umm, kitab Az-Zakah, bab Ma La Zakata fihi minal Hulli)
Ada perbedaan pendapat di kalangan salaf dalam masalah zakat perhiasan emas dan perak ini. Mereka terbagi dalam beberapa pandangan, secara globalnya kita sebutkan dahulu sebelum menjelaskan perinciannya.
Pertama: Di antara mereka ada yang berpendapat zakat perhiasan itu wajib bila telah mencapai nishab, dikeluarkan setiap tahunnya, sebagaimana pendapat Abu Hanifah, salah satu dari pendapat mazhab Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad.
Kedua: Ada yang berpendapat bahwa perhiasan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Ini mazhab Al-Imam Malik, Ahmad, dan Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapatnya.
Ketiga: Ada yang menyatakan, perhiasan itu dikeluarkan zakatnya sekali saja.
Demikian diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Keempat: Ada yang berpendapat bahwa zakat emas adalah dengan meminjamkannya. Demikian riwayat dari Asma` dan juga Anas radhiyallahu ‘anhuma. (Subulus Salam, 4/42-43)
Sebelum menetapkan mana yang paling kuat dari pendapat-pendapat yang ada, maka kita akan melihat dalil masing-masingnya.
Dalil Ahlul Ilmi yang Mewajibkan Zakat Perhiasan
1. Dalil yang umum dalam Al-Qur`anul Karim.
Seperti firman Allah :
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ. يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kalian simpan itu’.” (At-Taubah: 34-35)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika ditanya tentang apa yang dimaksud dengan al-kanzu yang disebutkan dalam ayat ﮃ ﮂ, beliau menjawab: “Al-Kanzu adalah harta yang tidak ditunaikan zakatnya.” (Diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa` no. 606)
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Bila engkau mengeluarkan sedekah/zakat dari hartamu maka sungguh telah hilang kejelekannya, dan harta itu bukan lagi dikatakan kanzun.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/107, dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 3/190)
Ayat di atas berikut hadits yang nanti akan disebutkan bersifat umum mencakup seluruh emas dan perak, tidak ada sesuatu yang dikhususkan. Maka barangsiapa menyatakan emas dan perak yang berbentuk perhiasan tidak termasuk di dalam keumuman ini, hendaknya ia mendatangkan dalil. Demikian kata Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalah Mutanawwi’ah-nya (14/85) dan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa`il-nya (18/158), semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati keduanya.
2. Dalil dari hadits-hadits yang umum, yang berisi perintah mengeluarkan zakat emas dan perak.
Seperti hadits-hadits berikut ini:
a. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا، إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِيْنُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيْدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيُرَى سَبِيْلُهُ، إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلىَ النَّارِ...
“Tidak ada seorang pun yang memiliki emas dan perak yang tidak menunaikan haknya (zakat dari emas dan perak tersebut) melainkan pada hari kiamat nanti disiapkan untuknya lempengan besi dari api, lalu lempengan itu dipanaskan di neraka jahannam, kemudian lambung, dahi, dan punggungnya dibakar dengan lempengan membara tersebut. Setiap kali lempengan itu dingin, dipanaskan lagi lalu dibakarkan padanya. Hal itu dilakukan padanya pada hari yang kadarnya 50.000 tahun, hingga diputuskan perkara di antara para hamba. Maka akan dilihat ke mana ia menuju, apakah ke surga ataukah ke neraka….” (HR. Muslim no. 2287)
b. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ صَاحِبِ إِبِلٍ لاَ يَفْعَلُ فِيْهَا حَقَّهَا إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُ مَا كَانَتْ قَطُّ وَقَعَدَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ، تَسْتَنُّ عَلَيْهِ بِقَوَائِمِهَا وَأَخْفَافِهَا، وَلاَ صَاحِبِ بَقَرٍ لاَ يَفْعَلُ فِيْهَا حَقَّهَا إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُ مَا كَانَتْ وَقَعَدَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ، تَنْطَحُهُ بِقُرُوْنِهَا وَتَطَؤُهُ بِقَوَائِمِهَا، وَلاَ صَاحِبِ غَنَمٍ لاَ يَفْعَلُ فِيْهَا حَقَّهَا إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُ مَا كَانَتْ وَقَعَدَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ، تَنْطَحُهُ بِقُرُوْنِهَا وَتَطَؤُهُ بِأَظْلاَفِهَا، لَيْسَ فِيْهَا جَمَّاءُ وَلاَ مُنْكَسِرٌ قَرْنُهَا، وَلاَ صَاحِبِ كَنْزٍ لاَ يَفْعَلُ فِيْه حَقَّه إِلاَّ جاَءَ كَنْزُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ يَتَّبِعُهُ فَاتِحًا فَاهُ، فَإِذَا أَتَاهُ فَرَّ مِنْهُ، فَيُنَادِيْهِ: خُذْ كَنْزَكَ الَّذِي خَبَأْتَهُ، فَأَنَا عَنْهُ غَنِيٌّ. فَإِذَا رَأَى أَنْ لاَ بُدَّ مِنْهُ سَلَكَ يَدَهُ فِي فِيْهِ فَيَقْضَمُهَا قَضْمَ الْفَحْلِ
“Tidak ada seorang pun dari pemilik unta yang tidak menunaikan hak yang harus ditunaikan dari unta-untanya tersebut (tidak mengeluarkan zakatnya) melainkan unta-untanya akan datang pada hari kiamat lebih banyak dari yang sebelumnya. Si pemilik unta itu duduk menghadapi unta-untanya di tanah yang datar yang luas, dalam keadaan unta-unta itu melompat dan menyergap ke arahnya, menendang dengan kaki-kaki mereka. Dan tidak ada seorang pun dari pemilik sapi yang tidak menunaikan hak yang harus ditunaikan dari sapi-sapinya tersebut melainkan sapi-sapinya akan datang pada hari kiamat lebih banyak dari yang sebelumnya. Si pemilik sapi itu duduk menghadapi sapi-sapinya di tanah yang datar yang luas, dalam keadaan sapi-sapi itu menanduknya dengan tanduk-tanduk mereka dan menginjaknya dengan kaki-kaki mereka. Dan tidak ada seorang pun dari pemilik kambing yang tidak menunaikan hak yang harus ditunaikan dari kambing-kambingnya tersebut melainkan kambing-kambingnya akan datang pada hari kiamat lebih banyak dari yang sebelumnya. Si pemilik kambing itu duduk menghadapi kambing-kambingnya di tanah yang datar yang luas, dalam keadaan kambing-kambing itu menanduknya dengan tanduk-tanduk mereka dan menginjaknya dengan kaki-kaki mereka. Tidak ada di antara kambing-kambing itu yang tidak bertanduk dan tidak ada yang patah/pecah tanduknya. Dan tidak ada seorang pun dari pemilik kanzun yang tidak menunaikan hak yang harus ditunaikan dari kanzun tersebut melainkan kanzun-nya akan datang pada hari kiamat dalam bentuk ular jantan besar yang botak yang terus mengikutinya dalam keadaan ular itu membuka mulutnya (menganga). Bila ular itu mendatanginya, ia lari. Ular itu menyerunya, “Ambillah kanzun-mu yang dulunya engkau sembunyikan, karena aku tidak membutuhkannya.” Bila si pemilik kanzun itu melihat tidak ada jalan baginya kecuali harus mengambil kanzun-nya (yang berada dalam mulut ular tersebut), ia pun memasukkan tangannya ke dalam mulut ular tersebut maka ular itu mengunyah tangannya seperti hewan jantan mengunyah makanannya.”
(HR. Muslim no. 2293)
c. Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, pernah datang seorang wanita bersama putrinya menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Putrinya mengenakan dua gelang emas yang tebal/berat pada tangannya. Melihat hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada si ibu:
أَتُعْطِيْنَ زَكاَةَ هَذَا؟ قَالَتْ: لاَ. قَالَ: أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ؟ قَالَ: فَخَلَعَتْهُمَا فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ n وَقَالَتْ: هُمَا لِلهِ k وَلِرَسُوْلِهِ
“Apakah engkau telah memberikan zakat dua gelang ini?” Si wanita menjawab, “Belum.” “Apakah menyenangkanmu bila pada hari kiamat nanti Allah memakaikanmu dua gelang dari api?” tanya Rasulullah lagi.
Kata Abdullah, “Si wanita lalu melepaskan dua gelang tersebut dari tangan putrinya, kemudian menyerahkannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Dua gelang ini untuk Allah k dan Rasul-Nya’.” (HR. Abu Dawud no. 1563, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
d. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku memakai gelang kaki dari emas, maka aku tanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, apakah ini kanzun?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
مَا بَلَغَ أَنْ تُؤَدَّى زَكاَتُهُ فَزُكِّيَ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ
“Bila mencapai kadar harus ditunaikan zakatnya lalu dizakati, maka itu bukanlah kanzun.” (HR. Abu Dawud no. 1564, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
3. Atsar dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
a. Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
Ketika ada seorang wanita bertanya kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tentang perhiasan yang harus dikeluarkan zakatnya, beliau menjawab, “Bila perhiasan itu mencapai kadar 200 dirham maka keluarkanlah zakatnya.” Wanita itu berkata, “Aku mengasuh anak-anakku yang yatim. Apakah boleh aku memberikan zakat tersebut kepada mereka?” “Iya, boleh,” jawab Ibnu Mas’ud. (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/83)
b. Atsar Aisyah radhiyallahu ‘anha
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Tidak apa-apa mengenakan perhiasan jika diberikan zakatnya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam As-Sunan no. 1938)
c. Atsar Abdullah ibnu ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma
Ia menulis surat kepada bendaharanya yang bernama Salim agar mengeluarkan zakat perhiasan putri-putrinya setiap tahun. (Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam As-Sunan no. 1938)
4. Atsar dari tabi’in
a. Atsar Sa’id ibnul Musayyab rahimahullahu
Ia berkata, “Pada perhiasan emas dan perak ada zakatnya. Sementara mutiara (marjan) tidak ada zakatnya, kecuali bila diperdagangkan.” (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/85)
b. Atsar Ibrahim An-Nakha’i rahimahullahu
Ibrahim berkata, “Zakat ada pada perhiasan emas dan perak.” (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/84)
c. Atsar ‘Atha` rahimahullahu
“Apabila perhiasan mencapai nishab zakat maka padanya ada zakat yang harus dikeluarkan,” katanya. (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 3/153)
d). Atsar Az-Zuhri rahimahullahu
“Zakat ada pada perhiasan dikeluarkan setiap tahun,” kata Az-Zuhri. (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/83)
Dalil Ahlul Ilmi yang Berpendapat Tidak Wajibnya Zakat Perhiasan
1. Hadits dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma.
Dia menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ فِي الْحُلِّيِّ زَكَاةٌ
“Tidak ada zakat pada perhiasan.” (Diriwayatkan Ad-Daraquthni dalam As-Sunan no. 1937)
Namun hadits ini telah dihukumi oleh Al-Baihaqi rahimahullahu dan selainnya sebagai hadits yang batil, tidak ada asalnya. Al-Baihaqi berkata, “Hadits ini hanyalah diriwayatkan dari ucapan Jabir1. Afiyah bin Ayyub (salah seorang perawinya, pent.) adalah seorang yang majhul. Siapa yang berhujjah dengannya secara marfu’ maka orang itu dihukum karena dosanya. Ia masuk dalam celaan kita terhadap orang-orang yang menyelisihi, yakni berhujjah dengan periwayatan para pendusta.”
Kesimpulannya, hadits ini memiliki penyakit dari tiga sisi:
Pertama: Hadits ini mauquf dari ucapan Jabir radhiyallahu ‘anhuma.
Kedua: Afiyah bin Ayyub lemah. Sebagian ulama mengatakannya majhul.
Ketiga: Dhaifnya rawi yang meriwayatkan dari ‘Afiyah, yaitu Ibrahim bin Ayyub. (lihat Al-Irwa`, 3/295)
2. Atsar dari Beberapa Sahabat
a. Atsar Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma
Ia memakaikan perhiasan emas kepada putri-putrinya dan budak-budak perempuannya, kemudian ia tidak mengeluarkan zakat dari perhiasan tersebut (Diriwayatkan Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam Musnad-nya no. 432)
b. Atsar Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anha
Asma radhiyallahu ‘anha tidak mengeluarkan zakat perhiasan. (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 3/155)
c. Atsar Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma
Ia berkata, “Tidak ada zakat pada perhiasan.” Abuz Zubair (perawi yang meriwayatkan dari Jabir) berkata, “Nilai perhiasan itu mencapai seribu dinar.” Jabir berkata, “Dipinjamkan dan dipakai.” (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 4/82)
Adapun pendapat ketiga dan keempat tidak memiliki sandaran dalil sehingga hanya tinggal dua pendapat. Bila kita melihat dalil-dalil dari dua pendapat tersebut, kita dapatkan dalil pendapat pertama lebih kuat daripada pendapat yang kedua. Dan memang demikian kenyataannya, pendapat pertama yang menyatakan perhiasan harus dikeluarkan zakatnya lebih rajih.
Zakat perhiasan ini sebagaimana zakat lainnya dikeluarkan bila telah mencapai nishab, selain telah mencapai haul (telah satu tahun dalam pemilikan). Demikian pendapat mayoritas ahlul ilmi. Adapun Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu setelah membawakan hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma yang telah disebutkan di atas mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil wajibnya zakat pada perhiasan. Zahirnya tidak ada nishabnya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memerintahkan untuk mengeluarkan zakat dari dua gelang yang disebutkan.” (Subulus Salam, 4/42)
Namun dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha yang telah lewat disebutkan: “Bila mencapai kadar harus ditunaikan zakatnya lalu dizakatkan maka itu bukanlah kanzun.” Dengan demikian zakat perhiasan pun harus mencapai nishab. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah,14/86)
Bila berupa emas maka nishabnya seperti nishab emas yaitu 20 dinar2, zakatnya sebesar 1/2 dinar. Sedangkan perak sebanyak 200 dirham3, zakatnya sebanyak 5 dirham. Berarti, zakat emas dan perak besarnya 2,5%. Nishab emas dan perak ini disebutkan dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِئَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْل فَفِيْهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ، وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ –يَعْنِي فِي الذَّهَبِ- حَتَّى يَكُوْنَ لَكَ عِشْرِيْنَ دِيْنَارًا. فَإِذَا كَانَتْ لَكَ عِشْرِيْنَ دِيْنَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْل فَفِيْهَا نِصْفُ دِيْنَارٍ. فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ
“Apabila engkau memiliki 200 dirham (perak) dan telah lewat haul (setahun dalam pemilikan, pent.) maka padanya ada zakat sebesar 5 dirham. Dan tidak ada kewajiban apa-apa atasmu –yaitu pada emas– hingga engkau memiliki 20 dinar. Bila engkau memiliki 20 dinar dan telah lewat haul maka padanya ada zakat sebesar 1/2 dinar. Apa yang lebih dari itu maka perhitungannya demikian.” (HR. Abu Dawud no. 1573, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila pada perhiasan emas dan perak itu ada batu-batu mulia seperti berlian, mutiara dan sebagainya, maka batu-batu ini tidaklah terhitung dalam zakat. Yang dihitung zakatnya hanyalah emas dan peraknya. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Tidak marfu’ hukumnya/ bukan ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi ucapan Jabir radhiyallahu ‘anhu. Dalam istilah lain hadits ini mauquf. –pent.
2 Perkiraan kadar gramnya sebagai berikut: 1 dinar sekitar 4,25 gram. Berarti 20 dinar sama dengan 4,25 x 20 = 85 gram. Adapula yang mengatakan 20 dinar itu sama dengan 92 gram. Wallahu a’lam.
3 Perkiraan kadar gramnya sebagai berikut: 1 dirham sekitar 2,975 gram. 200 dirham sama dengan 2,975 x 200 = 595 gram.
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=715
Subscribe to:
Posts (Atom)