Showing posts with label Ukhuwah. Show all posts
Showing posts with label Ukhuwah. Show all posts

Menyatukan Umat Islam, Dengan Salam

Ummat Islam di berbagai belahan dunia, saat ini dalam keadaan centang berentang. Sebagian ummat Islam menyimpan kebencian, permusuhan dan dendam kepada yang lain. Kondisi ini sngatlah memprihatinkan setiap orang yang beriman, termasuk anda. Bukankah demikian sobat?

Namun apa yang kuasa anda lakukan untuk menyatukan kembali ummat Islam agar saling kasih mengasihi dan sayang menyayangi?Banyak hal yang harus kita lakukan untuk dapat mewujudkan impian itu. Namun apapun kiat untuk menyatukan ummat bila tidak segera diterapkan dan hanya diucapkan, maka sia-sia. Karena itu, mari kita bersama-sama, mengayuhkan kaki walau hanya selangkah mempersatukan ummat Islam. Berikut satu kiat mudah namun manjur yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk menyatukan ummat Islam, yaitu MENEBARKAN SALAM.

Setiap berjumpa dengan muslim siapapun; yang anda kenal atau tidak, yang sepaham atau berbeda paham, saudara atau bukan, segera ucapkan salam. Awas! Kebiasaan mengucapkan salam hanya kepada yang anda kenal adalah indikasi dekatnya hari Qiyamat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ السَّلَامَ لِلْمَعْرِفَةِ

Diantara tanda-tanda dekatnya Qiyamat ialah ucapan salam hanya disampaikan kepada yang dikenal saja“. (HR At Thabrani, Al Baihaqy dll, dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no. 648)

Sobat! Jangan pernah menanti ucapan salam dari siapapun, namun jadilah orang pertama yang mengucapkan salam kepada siapapun. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَدْخُلُوا الجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلا تُؤمِنوا حَتى تحَابُّوا، أَوَلا أدُلُّكُمْ عَلَى شَئٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحاَبَبْتُم؟ أفْشُوا السَّلام بَيْنَكُم

Kalian tidak dapat masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidaklah dapat menggapai kesempurnaan iman hingga kalian saling mencintai. Sudikah kalian aku tunjukkan kepada satu hal yang bila kalian lakukan niscaya kalian salin mencintai? TEBARKANLAH UCAPAN SALAM di tengah-tengah kalian“. (HR. Muslim)

Penulis: Ustadz DR. Muhammad Arifin Baderi, Lc., MA.

Al Hasan Bin Ali, Pemersatu Umat Islam


Sahabat Abu Bakrah mengisahkan, suatu hari Nabi shallallahu alaihi wa sallam sedang memangku cucunya Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhumaSambil memangku cucunya, beliau berbicara kepada kami. Sesekali beliau menghadap kepada kami, dan sesekali beliau mencium cucunya. Lalu beliau bersabda:

إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِّدٌ، إِنْ يَعِشْ يُصْلِحْ بَيْنَ طَائِفَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Sejatinya cucuku ini adalah seorang pemimpin besar. Dan bila ia berumur panjang, niscaya dia akan mempersatukan/ mendamaikan antara dua kelompok ummat Islam yang sedang bertikai” (HR Ahmad dan lainnya).

Sungguh benar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Pada tahun 40 atau 41 Hijriyah, setelah melalui peperangan sengit antara pasukan sahabat Mu’awiyyah dan Pasukan sahabat Al Hasan bin Ali Bin Ali Thalib, kebesaran jiwa Al Hasan cucu Nabi shallallahu alaihi wa sallam benar-benar terbukti. Dengan segala kebesaran jiwanya, beliau menyerahkan kepemimpinan  umat Islam yang ada di tangannya, kepada sahabat Mu’awiyyah, demi menyatukan ummat Islam yang sedang berselisih ketika itu.

Sejak saat itulah ummat Islam bersatu dibawah kepemimpinan sahabat Mu’awiyyah, dan terbuktilah kebenaran sabda Nabi bahwa cucunya ini menyatukan antara dua kelompok dari umat Islam yang bertikai. Dan selanjutnya tahun serah terima kekuasaan ini dikenal dengan sebutan Tahun Persatuan.

Semoga Allah menyatukan kita bersama sahabat Al Hasan bin Ali dan juga sahabat Mu’awiyah radhiallahu’anhum jami’an di surga-Nya. Amiin.

Penulis: Ustadz DR. Muhammad Arifin Baderi, Lc, MA.

Enam Perusak Ukhuwah

Pada masyarakat Islam, persatuan dan kesatuan atau lebih sering disebut dengan ukhuwah Islamiyah merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar, apalagi hal ini merupakan salah satu ukuran keimanan yang sejati. Karena itu, ketika Nabi Saw berhijrah ke Madinah, yang pertama dilakukannya i adalah Al Muakhah, yakni mempersaudarakan sahabat dari Makkah atau muhajirin dengan sahabat yang berada di Madinah atau kaum Anshar.

Ini berarti, Ketika seseorang atau suatu masyarakat beriman, maka seharusnya ukhuwah Islamiyah yang didasari oleh iman menjelma dalam kehidupan sehari-hari, Allah Swt berfirman: Sesungguhnya mu’min itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (QS 49:10).

Satu hal yang harus diingat bahwa, ketika ukhuwah islamiyah hendak diperkokoh atau malah sudah kokoh, ada saja upaya orang-orang yang tidak suka terhadap persaudaraan kaum muslimin, mereka berusaha untuk merusak hubungan diantara sesama kaum muslimin dengan menyebarkan fitnah dan berbagai berita bohong.

Dalam kehidupan umat Islam, kita akui bahwa ukhuwah Islamiyah belum berwujud secara ideal, namun musuh-musuh umat ini tidak suka bila ukhuwah itu berwujud, mereka terus berusaha menghambatnya. Karena itu, setiap kali ada berita buruk, kita tidak boleh langsung mempercayainya, tapi lakukan tabayyun atau diteliti terlebih dahulu kebenaran berita itu, Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu (QS 49:6).

Asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) tersebut di atas adalah, suatu ketika Al Harits datang menghadap Nabi Muhammad Saw, beliau mengajaknya masuk Islam, bahkan sesudah masuk Islam ia menyatakan kemauan dan kesanggupannya untuk. membayar zakat. Kepada Rasulullah, Al Harits menyatakan: “Saya akan pulang ke kampung saya untuk mengajak orang untuk masuk Islam dan membayar zakat dan bila sudah sampai waktunya, kirimkanlah utusan untuk mengambilnya”. Namun ketika zakat sudah banyak dikumpulkan dan sudah tiba waktu yang disepakati oleh Rasul, ternyata utusan beliau belum juga datang. Maka Al Harits beserta rombongan berangkat untuk menyerahkan zakat itu kepada Nabi.

Sementara itu, Rasulullah Saw mengutus Al Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat, namun ditengah perjalanan hati Al Walid merasa gentar dan menyampaikan laporan yang tidak benar, yakni Al Harits tidak mau menyerahkan dana zakat, bahkan ia akan dibunuhnya. Rasulullah tidak langsung begitu saja percaya, beliaupun mengutus lagi beberapa sahabat yang lain untuk menemui Al Harits.

Ketika utusan itu bertemu dengan Al Harits ia berkata: “Kami diutus kepadamu”. Al Harits bertanya: “Mengapa?”. Para sahabat menjawab: “Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus Al Walid bin Uqbah, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat bahkan mau membunuhnya”.

Al Harits menjawab: “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan tidak ada yang dating kepadaku”. Maka ketika mereka sampai kepada Nabi Saw, beliaupun bertanya: “Apakah benar engkau menahan zakat dan hendak membunuh utusanku?”, Demi Allah yang telah mengutusmu dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian”. Maka turunlah ayat itu.

Surat Al Hujurat:6 di atas menggunakan kata naba’ bukan khabar. M. Quraish Shihab dalam bukunya Secercah Cahaya Ilahi, hal 262 membedakan makna dua kata itu. “Kata naba’ menunjukkan “berita penting”, sedangkan khabar menunjukkan ”berita secara umum”. Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa berita yang perlu diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya penting. Adapun isu-isu ringan, omong kosong dan berita yang tidak bermanfaat tidak perlu diselidiki, bahkan tidak perlu didengarkan karena hanya akan menyita waktu dan energi”.

ENAM PERUSAK UKHUWAH.

Mengingat kedudukan ukhuwah islamiyah yang sedemikian penting, maka memeliharanya menjadi sesuatu yang amat ditekankan. Disamping harus mengecek kebenaran suatu berita buruk yang menyangkut saudara kita yang muslim.

Ada beberapa hal yang harus kita hindari agar ukhuwah islamiyah bisa tetap terpelihara, Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan) dan jangan pula wanita wanita-wanita mengolok-olokan wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.

Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (QS 49:11-12).

Dari ayat di atas, ada enam hal yang harus kita hindari agar ukhuwah islamiyah tetap terpelihara:

Pertama, Memperolok-olokan, baik antar individu maupun antar kelompok, baik dengan kata-kata maupun dengan bahasa isyarat karena hal ini dapat menimbulkan rasa sakit hati, kemarahan dan permusuhan. Manakala kita tidak suka diolok-olok, maka janganlah kita memperolok-olok, apalagi belum tentu orang yang kita olok-olok itu lebih buruk dari diri kita.

Kedua, Mencaci atau menghina orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan, apalagi bila kalimat penghinaan itu bukan sesuatu yang benar. Manusia yang suka menghina berarti merendahkan orang lain, dan iapun akan jatuh martabatnya.

Ketiga, Memanggil orang lain dengan panggilan gelar-gelar yang tidak disukai. Kekurangan secara fisik bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk memanggil orang lain dengan keadaan fisiknya itu. Orang yang pendek tidak mesti kita panggil si pendek, orang yang badannya gemuk tidak harus kita panggil dengan si gembrot, begitulah seterusnya karena panggilan-panggilan seperti itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Memanggil orang dengan gelar sifat yang buruk juga tidak dibolehkan meskipun sifat itu memang dimilikinya, misalnya karena si A sering berbohong, maka dipanggillah ia dengan si pembohong, padahal sekarang sifatnya justeru sudah jujur tapi gelar si pembohong tetap melekat pada dirinya. Karenanya jangan dipanggil seseorang dengan gelar-gelar yang buruk.

Keempat,
Berburuk sangka, ini merupakan sikap yang bermula dari iri hati (hasad). Akibatnya ia berburuk sangka bila seseorang mendapatkan kenimatan atau keberhasilan. Sikap seperti harus dicegah karena akan menimbulkan sikap-sikap buruk lainnya yang bisa merusak ukhuwah islamiyah.

Kelima, Mencari-cari kesalahan orang lain, hal ini karena memang tidak ada perlunya bagi kita, mencari kesalahan diri sendiri lebih baik untuk kita lakukan agar kita bisa memperbaiki diri sendiri.

Keenam, Bergunjing dengan membicarakan keadaan orang lain yang bila ia ketahui tentu tidak menyukainya, apalagi bila hal itu menyangkut rahasia pribadi seseorang. Manakala kita mengetahui rahasia orang lain yang ia tidak suka bila hal itu diketahui orang lain, maka menjadi amanah bagi kita untuk tidak membicarakannya.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa ketika ukhuwah islamiyah kita dambakan perwujudannya, maka segala yang bisa merusaknya harus kita hindari. Bila ukhuwah sudah terwujud, yang bisa merasakan manfaatnya bukan hanya sesama kaum muslimin, tapi juga umat manusia dan alam semesta, karena Islam merupakan agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Karenanya mewujudkan ukhuwah Islamiyah merupakan kebutuhan penting dalam kehidupan ini.


Oleh Drs. H. Ahmad Yani Ketua LPPD Khairu Ummah
http://eramuslim.com/syariah/tsaqofah-islam/drs-h-ahmad-yani-ketua-lppd-khairu-ummah-enam-perusak-ukhuwah.htm

Ukhuwah yang Membuahkan Mahabbah dan Rahmah

Di dalam Al-Qur’an, Allah Siubhanahu wa Ta’ala banyak memuji para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mana mereka adalah murid-murid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Allah Siubhanahu wa Ta’ala juga telah menyebutkan dan menceritakan tentang keutamaan-keutamaan mereka di dalam kitab Taurat dan Injil. Sebagaimana di dalam firman-Nya:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Muhammad itu adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)

Mereka adalah generasi yang mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak mungkin didapatkan oleh generasi-generasi sebelum maupun sesudahnya. Generasi yang terbaik setelah para nabi dan para rasul ‘alaihimussalam.

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)

Oleh karena itulah Allah Siubhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk beriman sebagaimana keimanan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Terekam dalam firman-Nya:

فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, serta ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan: “Dan seluruh sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah orang-orang yang kembali kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Maka wajib untuk mengikuti jalan, ucapan-ucapan, dan keyakinan mereka. Ini adalah perkara yang paling besarnya.” (I’lamul Muwaqqi’in 4/120)

Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala melalui lisan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk berdoa dalam setiap rakaat agar kita mendapatkan hidayah ke jalan mereka radhiyallahu ‘anhum, yang telah mengantarkan mereka untuk mendapatkan kenikmatan ilmu yang bermanfaat dan amalan yang shalih.

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.” (Al-Fatihah: 6-7)

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa yang mengikuti/meneladani, maka hendaknya dia meneladani orang yang telah mati. Yaitu mereka para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah generasi terbaiknya umat ini. Hati-hati mereka paling bersih. Ilmunya paling dalam dan yang paling sedikit takallufnya (membebani diri). Yaitu kaum yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala telah memilih mereka untuk menjadi para sahabat nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka (berjalan) di atas petunjuk yang lurus, demi Allah Siubhanahu wa Ta’ala Dzat yang memiliki Ka’bah.

Allah Siubhanahu wa Ta’ala juga menyatakan bahwa mengikuti jalan dan pemahaman yang tidak dijalani dan tidak dimiliki oleh para sahabat adalah kesesatan.

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa tidak ada jalan yang selamat kecuali jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Terkhusus pada zaman-zaman di mana merebak berbagai macam fitnah yang bersumber dari syubhat dan syahwat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Maka barangsiapa yang hidup di antara kalian niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Peganglah dia dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Ini adalah berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara yang pasti terjadi pada umatnya setelah beliau meninggal. Yaitu, banyak terjadi perselisihan di dalam prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya, di dalam ucapan, perbuatan, maupun keyakinan.

Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perpecahan yang akan terjadi pada umatnya menjadi 73 golongan, semuanya di dalam neraka kecuali satu golongan. Golongan tersebut adalah siapa saja yang berada di atas jalan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum di atasnya.

Dan demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini memerintahkan agar kita berpegang teguh dengan Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin setelah beliau meninggal. Maka hal ini mencakup seluruh perkara yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya di atasnya, baik berupa keyakinan, amalan, maupun ucapan. Inilah sunnah yang sempurna.
” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 2/120)

Allah Siubhanahu wa Ta’ala memuji jiwa pendidik dan sifat rahmah yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya agar kita meneladani beliau di dalam dakwah dan tarbiyah yang kita tegakkan, sehingga kita mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah: 128)

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ الْجَنَادِبُ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا وَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ عَنْ النَّارِ وَأَنْتُمْ تَفَلَّتُونَ مِنْ يَدِي

Permisalan antara aku dan kalian seperti orang yang menyalakan api (di malam hari di tempat yang terbuka). Maka mulailah serangga-serangga dan anai-anai masuk ke dalam api tersebut padahal orang itu telah menghalaunya (agar tidak masuk ke dalam api). Dan aku pegangi pinggang-pinggang kalian supaya kalian tidak masuk ke dalam api neraka. Sedangkan kalian senantiasa berusaha untuk melepaskan diri dari tanganku.” (HR. Muslim)

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang dibimbing dan dididik oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung, dengan izin Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata, mereka menjadi generasi yang terbaik dalam keilmuan dan amalan.

Mereka adalah generasi yang dimuliakan dan didamba-dambakan. Kalau kita membaca kisah-kisah yang shahih tentang mereka, tentu kita akan mendapatkan berbagai macam bimbingan dan pelajaran yang menakjubkan.

Di antara ciri-ciri khas yang paling menonjol dalam kehidupan muamalah di antara mereka adalah sikap saling mencintai (tahabub) dan saling merahmati (tarahum). Sebagaimana apa yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala firmankan tentang mereka:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

Muhammad itu adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ

Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (Al-Ma’idah: 54)

Yaitu kehidupan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat permisalan tentangnya seperti satu tubuh, sebagaimana dalam sabdanya:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Permisalan orang-orang yang beriman dalam cinta-mencintai, rahmat-merahmati, dan sayang-menyayangi di antara mereka seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merintih, niscaya seluruh anggota tubuh yang lain akan turut merasakannya dengan tidak bisa tidur pada malam hari dan rasa demam badannya.” (Muttafaq ‘alaih dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu)

Allah Siubhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang bukti kecintaan Al-Anshar terhadap Muhajirin radhiyallahu ‘anhum di dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha penyantun lagi Maha penyayang’.” (Al-Hasyr: 9-10)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Datang seseorang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia berkata:

Sesungguhnya aku orang yang fakir (dan dalam kesulitan hidup).Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan kepada sebagian istri beliau, maka istri beliau menjawab: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya tidak memiliki kecuali air minum.” Kemudian beliau mengutus ke istri yang lainnya, maka istri tersebut menjawab dengan jawaban yang sama. Sehingga istri-istri beliau semuanya menjawab dengan jawaban yang sama: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya tidak memiliki kecuali air minum.”
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Siapa yang akan menjamu tamu ini?” Maka ada seorang Anshar menjawab: “Saya, wahai Rasulullah.” Dia lalu berangkat bersama dengan tamu tersebut ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada istrinya: “Muliakanlah tamu Rasulullah ini!”
Dalam riwayat yang lain dia berkata kepada istrinya: “Apakah kamu memiliki sesuatu?” Istrinya menjawab: “Tidak, kecuali makan malam anak-anak kita.”
Dia berkata: “Beri mereka (anak-anak) sesuatu yang membuat mereka lupa. Apabila mereka ingin makan malam, tidurkanlah mereka. Dan apabila tamu kita telah masuk, matikan pelita dan tampakkanlah bahwa kita telah makan!”
Kemudian anak-anak mereka tidur dan tamu tersebut makan, sehingga suami istri tersebut tidur dalam keadaan lapar. Maka tatkala masuk pagi hari, dia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda: “Sungguh-sungguh Allah Siubhanahu wa Ta’ala takjub dengan perbuatan kalian terhadap tamu tersebut tadi malam.
” (Riyadhus Shalihin 569)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membimbing, menuntun, dan mengarahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum bagaimana mereka saling merahmati dan saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata. Dan di antara bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap mereka radhiyallahu ‘anhum pada khususnya dan bagi umat secara umum adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian, sampai dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu menjelaskan: “Dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang mukmin akan senang terhadap segala sesuatu yang menyenangkan saudaranya yang mukmin, dan dia menginginkan untuk saudaranya sebagaimana dia menginginkan untuk dirinya dari berbagai macam kebaikan. Ini semuanya bersumber dari hati yang selamat dari penyakit khianat, iri, dan dengki. Karena penyakit hasad (iri dan dengki) akan mengharuskan pemiliknya untuk membenci orang yang mengungguli dia dalam kebaikan atau menyamainya. Dia ingin menjadi orang yang berbeda dengan orang lain dengan keutamaan-keutamaan yang ada pada dirinya. Sedangkan keimanan menuntut perkara yang bertolak belakang dengan perkara tersebut. Yaitu dia ingin saudara-saudaranya yang beriman seluruhnya, sama-sama mendapatkan kebaikan yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala telah berikan kepada dirinya dengan tanpa mengurangi akan haknya. Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala memuji hamba-Nya yang tidak menginginkan kesombongan dan kerusakan di muka bumi, di dalam firman-Nya:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.” (Al-Qashash: 83) [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/171]

Berkata sebagian salaf rahimahumullah: “Orang-orang yang mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala, maka mereka akan memerhatikan segala sesuatu dengan nur (ilmu) dari Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Mereka akan bersikap belas kasih terhadap orang-orang yang bermaksiat kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala, namun mereka membenci amalan-amalannya. Mereka belas kasihan terhadap ahlul maksiat itu agar meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut dengan nasihat-nasihat yang mereka lakukan, karena mereka pun belas kasihan terhadap badan-badan ahlul maksiat kalau disentuh api neraka.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/172)

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Maka seharusnya seorang muslim mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai kebaikan untuk dirinya, dan membenci kejelekan untuk saudaranya sebagaimana dia membenci kejelekan untuk dirinya. Maka apabila dia melihat kekurangan atau kesalahan pada saudaranya yang muslim, niscaya dia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk memperbaiki.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/172)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Sepantasnya hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu (di atas) dipahami sesuai dengan keumuman persaudaraan (karena nasab ataupun agama), sehingga mencakup yang muslim maupun yang kafir. Maka seorang muslim itu mencintai untuk saudaranya yang kafir sebagaimana dia mencintai untuk dirinya. Dia mencintai saudaranya agar masuk Islam, sebagaimana dia mencintai untuk saudaranya agar tetap komitmen atau istiqamah dengan Islam. Oleh karena inilah, doa seorang muslim agar saudaranya yang kafir mendapatkan hidayah adalah perkara yang disunnahkan.” (Syarh Matan Arba’in lin Nawawi)

Faktor-faktor yang akan menumbuh-suburkan serta mengokohkan sikap saling merahmati dan saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata di antaranya:

1. Aqidah yang benar, manhaj (jalan) yang lurus, serta akhlak yang mulia


Dakwah salafiyyah yang mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dakwah yang menebarkan bibit-bibit saling merahmati dan saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala, dakwah yang menyentuh hati hamba-Nya. Itulah dakwah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, sebagaimana firman-Nya:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ؛ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Ada tiga perkara, barangsiapa yang perkara tersebut ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Allah Siubhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya adalah yang paling dia cintai daripada kecintaan dia kepada selain keduanya. Dan dia mencintai seseorang, di mana dia tidaklah mencintainya kecuali karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Dan dia sangat benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah Siubhanahu wa Ta’ala menyelamatkannya dari kekafiran tersebut, sebagaimana dia sangat benci untuk dilemparkan ke dalam api.

Para dai yang mengajak umat untuk beraqidah yang shahihah, bermanhaj yang salimah (selamat), dan berakhlak yang jamilah, mereka adalah orang-orang yang paling peduli terhadap umat dan yang paling belas kasih terhadap mereka, sebagaimana firman Allah Siubhanahu wa Ta’ala:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?’.” (Fushshilat: 33)

Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya (sebagai suri tauladan mereka) dengan firman-Nya:

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara’: 215)

2. Menebarkan salam di antara kaum muslimin

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَ لَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman (dengan iman yang sempurna) sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu, yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Maka terdapat di dalam hadits ini dalil yang menunjukkan bahwa saling mencintai (mahabbah) karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala adalah termasuk kesempurnaan iman. Bahwa iman seorang hamba tidak akan sempurna sampai dia mencintai saudaranya karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Dan termasuk sebab-sebab yang akan menumbuhkan kecintaan adalah menebarkan salam di antara saudara-saudaranya muslim, yaitu menampakkan salam tersebut kepada mereka. Di mana dia mengucapkan salam kepada orang yang dijumpainya, baik dia kenal ataukah tidak. Maka inilah di antara sebab yang akan menumbuhkan mahabbah.” (Syarh Riyadhush Shalihin 2/127)

3. Saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan


وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma’idah: 2)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut berusaha menolong saudaranya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Maka perkara yang wajib untuk dilakukan oleh seorang muslim adalah senantiasa berusaha melakukan sebab-sebab yang akan menumbuhkan kasih sayang di antara kaum muslimin. Karena bukan termasuk perkara yang masuk di akal dan bukan pula termasuk adab kebiasaan yang terjadi, seseorang biasa saling membantu bersama orang yang dia tidak mencintainya. Dan tidak mungkin bisa saling membantu (ta’awun) dalam kebaikan dan ketakwaan kecuali dengan sebab saling mencintai. Oleh karena inilah mahabbah (saling mencintai) karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala termasuk sebagian tanda kesempurnaan iman.” (Syarh Riyadhush Shalihin 2/127)

4. Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran


Nasihat itu maknanya adalah seorang muslim mencintai kebaikan untuk saudaranya, mengajak, membimbing, menjelaskan, dan mendorong saudaranya tersebut untuk melakukan kebaikan itu. (Syarh Riyadhush Shalihin 1/458)
Allah Siubhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-’Ashr: 3)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, dan untuk pemimpin muslimin serta orang-orang awamnya.” (HR. Muslim dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu ‘anhu)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Adapun nasihat bagi kaum muslimin secara keseluruhan adalah kamu mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana kamu mencintai kebaikan untuk dirimu. Kamu bimbing mereka kepada kebaikan. Kamu tunjukkan mereka kepada kebenaran apabila mereka tersesat dari kebenaran tersebut. Kamu ingatkan mereka dengan kebenaran kalau mereka lupa. Dan kamu jadikan mereka sebagai saudara-saudaramu. Karena Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ

Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya.” (Muttafaq ‘alaih dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Beliau rahimahullahu juga menyatakan: “Dan ketahuilah bahwa nasihat adalah pembicaraan yang dilakukan antara kamu dengan saudaramu dengan diam-diam. Karena kalau kamu menasihatinya dengan diam-diam, niscaya kamu akan dapat memengaruhinya dalam keadaan dia yakin bahwa kamu adalah pemberi nasihat. Akan tetapi apabila engkau berbicara tentang kekurangan atau kesalahan dia di muka umum, maka rasa egonya bisa menyeret dia untuk berbuat dosa sehingga dia tidak akan menerima nasihat karena dia mengira bahwa yang kamu inginkan hanyalah balas dendam, mencelanya, atau menjatuhkan kedudukannya di hadapan manusia. Sehingga dia tidak mau menerima nasihat. Akan tetapi kalau nasihat tersebut dilakukan dengan diam-diam antara kamu dengan dia, niscaya dia (insya Allah) akan menghargai dan menerimanya.” (Syarh Riyadhush Shalihin 1/465-466)

5. Saling mengunjungi

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا، فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَالَ: أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ: هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا؟ قَالَ: لَا غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ

Ada seseorang mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Maka Allah Siubhanahu wa Ta’ala mengutus malaikat-Nya untuk menjaganya di dalam perjalanannya. Maka tatkala malaikat tersebut menemuinya, malaikat itu bertanya: “Kamu hendak pergi ke mana?” Dia menjawab: “Aku ingin mengunjungi saudaraku di desa ini.” Malaikat itu bertanya lagi: “Apakah kamu memiliki suatu kenikmatan yang bisa diberikan kepadanya?” Dia menjawab: “Tidak. Hanya saja aku mencintai dia karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala.” Maka malaikat itu menyatakan: “Aku adalah utusan Allah Siubhanahu wa Ta’ala kepadamu (untuk mengabarkan kepadamu) bahwa Allah Siubhanahu wa Ta’ala sungguh mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karena-Nya.” (HR. Muslim)

Maka perhatikanlah kisah ziarah mubarakah (penuh berkah) yang dilakukan oleh kedua amirul mukminin Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma kepada Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
Abu Bakr berkata kepada ‘Umar setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal: “Berangkatlah bersama kami mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana biasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjunginya.” Maka setelah keduanya sampai, Ummu Aiman menangis. Keduanya bertanya: “Apa yang menjadikan kamu menangis? Tidakkah kamu yakin bahwa apa yang di sisi Allah Siubhanahu wa Ta’ala itu lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha menjawab: “Aku menangis bukan karena aku tidak meyakini bahwa apa yang ada di sisi Allah Siubhanahu wa Ta’ala itu lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Maka dia menyebabkan keduanya (Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma) menangis. Sehingga mulailah keduanya menangis bersamanya. (HR. Muslim 3454)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Ziarah (kunjungan) itu memiliki banyak faedah, di antaranya: akan membuahkan pahala yang besar, melunakkan dan menyatukan hati, mengingatkan saudaranya yang lupa, memperingatkan saudaranya yang lalai, serta mengajarkan ilmu kepada saudaranya yang jahil. Dan di dalamnya ada kebaikan yang banyak. Orang yang mengamalkannya akan mengetahui kebaikan tersebut.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/116)

Namun yang harus kita perhatikan dan ingatkan adalah jangan sampai ibadah yang demikian mulianya ini dipalingkan oleh setan sebagai ajang untuk ghibah1 (mengumpat), namimah (adu domba), atau membicarakan hal-hal yang tidak ada faedahnya serta belum jelas kebenarannya. Padahal hal-hal inilah yang akan menyusahkan pertanggungjawaban kita di hadapan Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:

وَيَوْمَ يُحْشَرُ أَعْدَاءُ اللهِ إِلَى النَّارِ فَهُمْ يُوزَعُونَ. حَتَّى إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ. وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ. وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ

Dan (ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah digiring ke dalam neraka lalu mereka dikumpulkan (semuanya). Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka: “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab: “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. (Fushshilat: 19-22)

Disamping itu, kita harus menjauhi berbagai macam prasangka jelek terhadap saudara kita dan mencari-cari kelemahannya. Karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha penyayang.” (Al-Hujurat: 12)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الْإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لَا تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ

Wahai sekalian orang yang telah masuk Islam dengan lisannya dalam keadaan imannya belum masuk ke dalam hatinya. Jangan kalian menyakiti orang-orang muslim. Jangan kalian merendahkan mereka. Dan jangan kalian mencari-cari kelemahannya. Karena barangsiapa mencari-cari kelemahan saudaranya yang muslim, niscaya Allah Siubhanahu wa Ta’ala akan mencari-cari kelemahannya. Dan barangsiapa yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala mencari-cari kelemahannya, niscaya Allah Siubhanahu wa Ta’ala akan membongkar kelemahan atau kekurangannya walaupun dia berada di dalam rumahnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2032)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Termasuk tabiat manusia biasa, ada pada dirinya kekurangan, kelemahan, dan kesalahan. Maka yang wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya adalah menutupi kelemahannya dan tidak menyebarkan kelemahan tersebut kecuali dalam keadaan darurat. Maka apabila keadaan darurat tersebut mengharuskan untuk membongkar aibnya dan menyebarkannya, niscaya dia akan melakukannya (demi kepentingan yang syar’i). Akan tetapi kalau bukan karena keadaan darurat, maka yang lebih utama adalah menutupi kekurangan tersebut. Dia adalah manusia biasa. Barangkali dia berbuat salah karena dorongan syahwat atau syubhat yang ada pada dirinya, di mana al-haq tersamar baginya. Maka kemudian dia berbicara dengan ucapan yang batil atau melakukan perbuatan yang menyimpang. Sedangkan seorang mukmin diperintahkan untuk menutupi kekurangan saudaranya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidaklah seorang hamba menutupi kekurangan hamba yang lainnya di dunia kecuali Allah akan menutupi kekurangan atau kesalahan dia pada hari kiamat.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

6. Menunaikan hak-hak saudara

Dengan ditunaikannya hak-haknya, maka akan menguatkan ikatan persaudaraan dan kecintaan pada masing-masingnya. Dan adapun sebagian hak-hak seorang muslim yang wajib untuk ditegakkan adalah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ؛ رَدُّ السَّلَامِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ

Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: membalas salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang yang bersin.

Dalam riwayat Muslim:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَسَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ

Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam. Ditanyakan: “Apa saja wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Bila engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, bila dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, bila dia meminta nasihat maka berilah dia nasihat, bila dia bersin lalu memuji Allah maka jawablah, bila dia sakit maka jenguklah, dan bila dia mati maka ikutilah (jenazahnya).

Akhirnya, kita memohon kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala, agar Dia melimpahkan hidayah taufiq kepada kita semua untuk menerima segala sesuatu yang Dia cintai dan Dia ridhai, serta menjadikan kita sebagai da’i yang ikhlas, dan menjauhkan kita dari berbagai macam tipu daya setan dari golongan jin dan manusia. Kita pun memohon hanya kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata untuk melunakkan hati kita dan menyatukannya di atas kebenaran.

Amin ya Rabbal ‘alamin.

1 Silakan para pembaca menyimak kembali: Nikmat Lisan untuk Apa Kita Gunakan? (Asy Syariah Vol. V/No. 52/1430 H/2009 hal. 40) bahaya dari ghibah, namimah, dan berbicara yang tidak ada faedahnya.

http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=886

Mengamalkan Teori Ukhuwah

dakwatuna.com - Seorang teman saya pernah menceritakan keheranannya terhadap teman-teman pengajiannya. “Saya bingung pada mereka, guru mereka ada di rumah sakit sudah beberapa pekan, namun mereka belum mengunjungi juga”, keluh teman tadi. “Apa anda tidak mengingatkan mereka tentang keadaan guru kalian”, ungkap saya. “Tidak tahulah saya pada mereka. Sepertinya mereka sibuk sekali pada urusannya masing-masing”, jawabnya lirih. “Apakah sesibuk itu mereka hingga seredup itu perasaan kemanusiaannya”, selidik saya.

Lain waktu saya berkesempatan mengunjungi rumah seorang teman sambil membawa sedikit bingkisan. Rupanya dia sangat gembira sekali dengan kunjungan saya ini. “Saya bersyukur sekali hari ini. Pertama, mendapatkan kunjungan dari antum, setelah lama tidak ada teman yang mengunjungi saya. Rasanya saya seperti terlempar dari pergaulan teman-teman. Tapi dengan kunjungan ini saya merasa ditarik kembali. Kedua, antum membawa bingkisan. Barang kali bingkisan itu kecil nilainya tapi sangat berarti bagi saya. Karena sudah beberapa hari keluarga saya hanya memakan ubi-ubian”. Paparnya. Saya terharu sekali mendengarkan pemaparan yang memilukan itu. Timbul pertanyaan besar: Kemana teman-temannya?

Pengalaman di atas sebenarnya mungkin banyak sekali kita jumpai dengan beraneka ragam cerita. Semuanya akan berujung pada tanda tanya, sebegitu redupkah tali persaudaraan yang kita miliki saat ini. Sebegitu keringkah telaga ukhuwah sesama aktivis dakwah.

Keadaan ini menjadi perhatian dalam diri saya apakah ini sebuah fenomena ataukah kasuistik saja. Memang kita harus akui bahwa kekeringan ruhaniyah di hati kader akan berakibat kekeringan dalam muamalah antar mereka. Muamalah yang kering merupakan preseden buruk bagi pembentukan opini publik tentang manisnya ukhuwah Islam. Serta buramnya potret keindahan tatanan dan perilaku masyarakat Islam di masa lalu bila dipraktekkan pada zaman kiwari.

Potret ukhuwah islamiyah yang telah dilakoni para pendahulu menggores kesan mendalam yang teramat indah bagi peradaban manusia. Bagaimana tidak, seseorang rela mati demi saudaranya. Mereka lebih memilih lapar bagi dirinya daripada saudaranya yang lapar. Mereka lebih mendahulukan kepentingan orang lain dari kepentingan diri mereka sendiri meskipun mereka teramat membutuhkannya. Mereka sangat menjaga kehormatan dirinya ketimbang harus menjadi orang yang rakus lagi terhina.

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (kaum Muhajirin) mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keingan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (kaum Muhajirin) dan mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Al-Hasyr: 9)

Berbicara ukhuwah memang tidak sekedar teori melainkan nilai-nilai mulia yang mesti diimplementasikan dengan jiwa besar. Karena ia bukan hanya ucapan melainkan ia adalah amalan. Bahkan bukan sekedar amalan biasa tetapi amalan yang dikaitkan dengan kondisi keimanan pelakunya.

Iman Landasan Persaudaraan Islam


Ukhuwah islamiyah tidaklah sama dengan cita rasa humanisme seperti yang dipahami banyak orang. Sehingga mereka melakukan suatu kebaikan lantaran faktor humanisme, tidak dikaitkan dengan nilai-nilai moralitas yang tertanam dari benih ideologi samawiyah. Akan tetapi ukhuwah islamiyah merupakan manivestasi keimanan pelakunya. Keimanan yang stabil senantiasa memproduk amal khairiyah dan merealisasikannya dalam bentuk nyata tatkala bermuamalah dengan banyak manusia, sebaliknya keimanan yang labil dapat menghambat produktivitas amal tersebut.

Hubungan personal ketika bermuamalah pada sesama muslim memang tidak diikat pada simpul-simpul kesatuan aktivitas manusia dalam kesehariannya. Mereka tidak disatukan karena motivasi materi, kesukuan, kondisi temporer yang mereka alami. Melainkan hubungan mereka diikat oleh keimanan. Keimananlah yang menjadi pijakan muamalah mereka. Keimanan ini melandasi hubungan mereka yang teramat indah itu. Wihdatul aqidah itulah jawabannya. Menjadi kewajiban setiap kader untuk membangun bangunan keimanan yang kokoh agar dapat merefleksikannya dalam berinteraksi antar sesama.

Ketika banyak orang mengaitkan sikap persaudaraan pada nasab, kesukuan, kedaerahan serta ashabiyah lainnya. Rasulullah SAW. menepisnya dengan mengatakan: “Salman adalah keluargaku”.

Nyata betul prinsip Islam ini. Tidak tidak dapat dibatasi oleh dinding setebal apapun. Karena keimanan yang menjadi landasannya juga tidak dapat dibatasi oleh batasan apapun. Karena itu pancaran persaudaran berasal dari cahaya keimanan si pemiliknya.

Kepekaan Ukhuwah

Keimanan yang selalu bersinar terang akan menyalakan kepekaan ukhuwah. Hasasiyah ukhuwah ini akan semakin dinamis bila dilakukan dua arah. Sehingga semua pihak menahan diri untuk hanya menikmati ukhuwah orang lain. Akan tetapi masing-masing pihak berupaya untuk dapat menyenangkan khalayak sekitarnya. Menjadi kepuasan bagi dirinya apabila kelebihannya dapat dicicipi oleh banyak orang.

Lihatlah sejarah manusia-manusia pilihan yang telah mengukir indahnya peradaban orang-orang yang beriman. Mereka tidak bakhil pada orang lain akan kelebihan dirinya. Mereka tidak pula celamitan pada kebaikan orang lain. Mereka merasa bahagia apabila orang lain merasakan kebaikannya. Dan mereka terhina apabila orang lain terepotkan lantaran dirinya .

Pagi-pagi Rasulullah SAW. tersenyum melihat seorang sahabat yang telah membuktikan sikap ukhuwahnya pada saudaranya yang lain. Beliau mendapatkan informasi bahwa sahabat tersebut menjamu tamunya dengan hidangan yang diperuntukkan keluarganya. Agar tamunya berselera menyantap hidangannya, dia matikan lampu rumah sehingga makanan yang disajikan tidak tampak pada sang tamu. Hal itu dilakukan untuk menghilangkan rasa sungkan tamunya untuk menyantap makanan tersebut. Lantaran porsi hidangan yang tersedia hanya cukup untuk seorang. Untuk menyenangkan hati tamunya, tuan rumah berpura-pura sedang menyantap makanan tersebut bersama-sama dengan lahap. Sikap inilah yang mendapatkan senyuman malaikat dan membuat senang hati Rasulullah SAW.

Juga ketika Rasulullah SAW. membangun Madinah sebagai sentral aktivitas muslim, beliau mempersaudarakan sahabat Muhajirin dan Anshar. Di antaranya Abdurrahman bin Auf RA. dipersaudarakan dengan Saad bin Rabi’i RA. Dengan hati yang tulus Saad bin Rabi’ mengatakan: “Aku memiliki beberapa perniagaan silahkan ambil yang kau cenderungi. Dan aku mempunyai beberapa isteri silahkan lihat mana yang menarik hatimu. Akan aku ceraikan dia dan nikahilah setelah selesai masa iddahnya”. “Semoga Allah senantiasa memberkahi dirimu dan keluargamu, terima kasih atas penawaranmu. Akan tetapi lebih baik bagiku tunjukkanlah padaku dimana pasar?” Jawab Abdurrahman bin Auf RA.

Betapa manisnya kehidupan orang-orang yang beriman. Mereka dapat memposisikan dirinya secara tepat. Mereka dapat merasakan kesusahan dan kebahagiaan saudaranya. Mereka tahu betul apa yang mesti dilakukan untuk orang lain. Mereka merasa bersedih apabila tidak mampu berbuat banyak untuk orang lain.

Oleh: Drs. DH Al Yusni
http://www.dakwatuna.com/2008/mengamalkan-teori-ukhuwah/

Mengamalkan Teori Ukhuwah (2)

Menumbuhkan Perasaan Kolektif

dakwatuna.com- Seusainya perang Badar petugas logistik mengamati pejuang-pejuang Islam yang terluka. Sambil diobati juga diberikan makan atau minum yang dibutuhkannya. Saat sedang melayani orang-orang yang memerlukan bantuannya. Petugas ini mendengar ada suara orang yang meminta air karena rasa haus yang mencekik. Petugas tersebut mendatanginya. Namun ketika akan dituangkan pada mulut orang itu terdengar pula suara orang yang juga berhajat pada air. Lalu orang pertama yang membutuhkan air itu berujaar pada petugas logistik itu. “Berikan air itu padanya, dia lebih membutuhkannya ketimbang diriku!”. Maka petugas itu segera menemui orang kedua itu. Akan tetapi ketika akan diminumkan air, orang kedua ini mendengar ada arang lain yang juga membutuhkannya. Orang keduapun mengatakan, “Berikan air itu padanya dia lebih butuh daripada saya”. Petugas itupun segera mencari-cari sumber suara tadi. Rupanya orang ketiga yang membutuhkan air ketika ia jumpai sudah meninggal dunia. Secepat kilat peetugas itu mendatangi orang kedua tadi. Akan tetapi keduapun telah meninggal dunia. Iapun berlari menjumpai orang pertama. Begitupun orang pertama, ia dapati telah meninggal dunia.

Itulah kisah manusia yang diabadikan sepanjang sejarah. Mereka ditautkan oleh perasaan kolektif pada dirinya masing-masing. Perasaan bahwa saudaranya adalah dirinya. Merasa sakit apabila saudaranya sakit. Dan bahagia bila saudaranya bahagia. Saudaranya adalah cermin sejati bagi dirinya. Perasaan kolektif ini bagaikan saraf yang memadukan aneka ragam organ dalam tubuh. Dengan itu setiap organ mempunyai investasi pada satu gerakan organ lainnya.

Ukhuwah merupakan wujud perasaan kolektif dalam bermuamalah antar manusia. Ia menyatukan irama hati dari bermacam-macam orang. Ia akan menjadi harmonika yang merdu dalam sebuah simponi. Alunan simponi yang indah ini dapat menjadi suatu kekuatan besar dalam membangun umat.

Umar bin Khathab menangis terisak-isak tatkala ia mengetahui ada rakyatnya dirundung kelaparan. Umar mengangkat sendiri bahan pangan untuk rakyatnya yang sedang menderita.

Khalifah Sulaiman Al-Manshur tidak bisa berdiam diri ketika ia mendengar ada seorang muslimah yang teraniaya di Byzantium. Khalifah mengajak rakyat untuk membebaskan wanita tersebut.

Hasan Al-Banna memberikan sokongan yang besar atas perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonial Belanda. Al-Imam menerima kunjungan para diplomat Indonesia dengan antusias dan mengajak para pemimpin Mesir untuk turut mendukungnya. Demikianlah pengakuan M. Hasan Zein penulis Diplomasi Revolusi di Luar Negeri.

Itulah perasaan kolektif menjadi gelombang besar yang dapat menggerakkan sebuah kekuatan umat. Akan tetapi perasaan kolektif ketika manusia hidup dengan sikap dan gaya individualistik. Sikap ini menjadi barang langka yang jarang ditemukan.

Sikap individualistik mendorong manusia bersikap acuh tak peduli pada urusan orang lain. Bahkan pada urusan yang bersifat hidup matinya seseorang. Tidak mengherankan pada pergaulan masyarakat di hari ini tidak lagi mempedulikan apa yang dialami orang lain. Sebelah rumahnya sedang kesusahan ia tidak mengetahuinya. Tetangganya sedang merenggang nyawa ia tidak mendengarnya.

Tidaklah aneh saat ini apabila orang mengenal tetangganya bukan ketika bercengkerama di rumahnya, melainkan ia mengetahui tetangganya itu di tempat yang jauh dan terjadi pada kurun waktu yang cukup lama setelah bertetangga.

Dalam sebuah pesta besar, ada seorang pria terheran-heran pada kenalannya di pesta itu. Pasalnya, kenalan barunya itu adalah tetangga sebelah rumahnya. Padahal mereka telah lama hidup saling bertetangga. Aneh memang tapi begitulah gaya hidup masa kini.

Islam memandang buruk sikap demikian. Karena perasaan kolektif menjadi bukti keimanan. Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjalin perasaan kolektif ini. Ia adalah nadi dari geliat umat ini

Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantaramu apabila tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Bagi kader dakwah perasaan kolektif ini tidak boleh berhenti denyutnya. Berhentinya akan berdampak pada lambannya mobilitas kader untuk mengemban tugas mulia. Juga akan kehilangan kendali arah sehingga alur roda itu berputar tanpa arah. Setiap kader wajib merawat dan meningkatkan perasaan kolektif ini agar ia tumbuh, berkembang dan berbuah.

Ukhuwah, Bahasa Amal

Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah menceritakan kisah tentang tukang sol sepatu yang menunda pergi hajinya karena uang yang dipersipakan untuk berangkat ke Baitullah Al-Haram diberikan pada tetangganya yang kelaparan. Namun banyak teman-temannya yang berangkat menunaikan ibadah haji melihat tukang sol sepatu itu berada di tanah suci. Dalam mimpi Ibnul Mubarak rahimahullah, tukang sol sepatu itulah orang yang termasuk diterima ibadah hajinya oleh Allah SWT.

Kisah diatas tentu bukan persoalan maqbulnya ibadah haji yang dilakukannya. Akan tetapi yang saya maksudkan disini adalah sikap arif tukang sol sepatu itu. Sikapnya yang penuh perhatian pada nasib tetangganya, nasib saudaranya sesama muslim. Ia rela menyerahkan harta yang ia kumpulkan dari jerih payahnya berbulan-bulan kepada saudaranya sesama muslim.

Begitulah bahasa amal. Ia merupakan amalan bukan sekedar teori. Artinya sikap itu dilakukan secara refleks tidak perlu kalkulasi yang amat teliti. Tukang sol sepatu itu tahu betul apa yang mesti diputuskan pada saat-saat yang tepat.

Ukhuwah adalah bahasa amal bukan bahasa teori atau konsep. Sikap ini pancaran kebiasaan yang berasal dari sinar keimanan. Sinar keimanan yang lahir dari pembiasaan watak dan prilaku para pemiliknya. Karena itu, sikap ini tidak dapat dihambat oleh berbagai kalkulasi material. Ia begitu lancar untuk bertindak cepat memutuskan pilihan-pilihan sulit baginya. Ia tidak mempedulikan keuntungan apa yang bakal diperoleh malah ia rela mendapatkan kerugian bagi dirinya asalkan saudaranya meraih kebahagian atas sikapnya. Subhanallah, teramat indah bahasa amal itu.

Dari Mana Kita Memulainya

Seorang teman berbinar-binar matanya menyiratkan rasa haru dalam hatinya. Ia mengatakan baru saja menerima telepon dari kawannya yang menanyakan kabar berita tentang diri dan keluarganya. “Saya senang dan terharu, sekian lama saya tidak pernah mendengar berita kawan saya. Tiba-tiba, kali ini dia menyampaikan kabar beritanya dan menanyakan keadaan saya. Rasanya tali yang putus kembali tersambung”. Ungkapnya gembira.

Bila kita melihat cerita pengalaman seorang teman tadi. Sepertinya sederhana sekali untuk menyambung lagi tali persaudaraan yang nyaris putus. Dengan menanyakan kabar teman di seberang telepon hubungan itu kembali hangat. Kehambaran itu sirna dengan segera.

Rasulullah SAW. memberikan resep sederhana untuk dapat mengikat kembali tali-tali yang putus hingga dapat menghimpun hati-hati yang retak. Beliau mengatakan: “Sebarkanlah salam, berikanlah makan dan dirikanlah shalat malam”. Resep ini memang terkesan sangat simple.

Pertama, menyebarkan salam. Dalam kegiatan ini bisa dijabarkan dengan bermacam-macam perlakuan, diantaranya bertanya bagaimana kabarnya, keluarganya, istri dan anaknya? Baik-baikkah mereka. Bagaimana mereka selama ini. Adakah yang sakit. Adakah yang mendapatkan musibah atau adakah diantara mereka yang telah dianugerahi Allah kebaikan yang dapat menyenangkan orang banyak. Dapat saling mendoakan keadaan masing-masing agar meraih kemudahan dalam menjalani aktifitas hariannya serta mendapatkan karunia dari Allah sehingga meredam rasa berat dalam menerima ujian dan cobaan hidup. Dan banyak lagi segudang ungkapan untuk memulai menyebarkan salam antar sesama kader.

Inti masalahnya adalah bagaimana menyebarkan salam itu menjadi sebuah media komunikasi antar sesama kader agar tetap terjalin dengan baik, sehingga mereka tidak kehilangan informasi dan kendali arah. Komunikasi yang harmonis dibangun atas dasar hubungan manusiawi yang utuh dari berbagai dimensi bukan pada hubungan formalitas apalagi hiasan bibir semata.

Menjalin komunikasi yang harmonis ini menjadi kebutuhan asasi masyarakat modern, karena dengan komunikasi ini manusia menemukan eksitensi dirinya sebagai makhluk yang multi dimensional. Makhluk yang dihargai oleh lingkungan sekitarnya. Saat ini banyak kita temukan orang yang kehilangan rasa, termasuk rasa dalam berkomunikasi ketika bergaul antar sesama. Makanya banyak orang berupaya mencari tempat kongkow-kongkow hanya sekedar mendapatkan sebuah tali komunikasi yang tidak diikat oleh formalitas kehidupan. Sehingga mereka bisa berbicara dan tertawa lepas yang selama ini tidak mereka temukan karena masih dirasakan terdapat dinding pembatas hati mereka.

Komunikasi yang harmonis bagi masyarakat barat amat mahal, karena selama ini mereka menjalani kehidupan ini secara mekanik. Melakoni satu babak kehidupan ke babak berikut bagai mesin yang rutin berputar. Tanpa seni yang menyentuh ruang hati manusia yang paling dalam. Kondisi ini membuat mereka berupaya untuk menemukan format baru dalam berkomunikasi dengan sesama. Diantaranya mereka mengadakan pasar loakan setiap hari libur sebagai sarana mereka berkomunikasi. Mereka bisa saling tawar menawar suatu harga barang yang selama ini mereka jualbelikan dengan mesin atau robot. Mereka dapat saling menyapa untuk menanyakan dimana tinggalnya, dari mana asalnya, sudah berapa lama tinggal di daerah itu dan sapaan lainnya. Dari saling menyapa itulah hubungan yang kaku diantara mereka mencair seketika, akhirnya mereka begitu akrab satu sama lainnya.

Abbas Asisi salah seorang murid Hasan Al-Banna selalu membuka komunikasi dengan banyak orang yang ia jumpai. Melalui komunikasi itulah ia membuka peluang dakwah di hati mitra bicaranya. Bahkan pernah ia kesulitan dengan apa memulai berkomunikasi kepada orang yang ada di hadapannya. Namun ia menemukan juga jalan ke arah itu. Yakni ia menginjak kaki orang tersebut sehingga orang itu memarahinya. “Apa matamu buta? mengapa kamu injak kaki saya”, hardik orang tersebut. Abbas Asisi menjawab, “Maaf tuan, mata saya memang rabun sehingga saya tidak begitu jelas melihatnya”. Dengan pengakuan itu orang tersebut malah meminta maaf atas ucapannya tadi lalu perbincangan akhirnya berlanjut pada tema-tema lainnya yang kemudian menyentuh tema-tema dakwah.

Begitulah mumpuninya komunikasi dalam bergaul antar sesama yang dapat meluluhkan hati-hati yang keras membatu. Orang bijak mengatakan, ‘berkomunikasilah karena ia seni kehidupan‘.

Seorang sahabat merasa tersanjung ketika Rasulullah SAW jalan beriringan di sampingnya sambil beliau menanyakan keadaannya. Sikap ini menunjukkan betapa manisnya pergaulan yang dilakukan Rasulullah SAW. kepada sahabatnya begitupun sebaliknya.

Media berkomunikasi saat ini sangat banyak apalagi kemajuan teknologi dapat menunjang pelaksanaannya. Berkomunikasi dapat dilakukan melalui silaturrahmi atau mengunjunginya. Dengan mengunjungi kita dapat menuangkan berbagai suasana hati. Dapat saling bertatap muka, saling bertegur sapa dan saling mengekspresikan ruat wajah yang dapat disaksikan oleh mitra bicara.

Berziarah atau mengunjungi saudaranya yang muslim merupakan sebagian tanda keimanan. Karena ia adalah hak sesama muslim. Dengan mengunjungi kita dapat berkomunikasi dan berbagi perasaan, pengalaman, pelajaran serta berbagi lainnya.

Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia silaturrahim”. (H.R. Muslim)

Dan komunikasi dapat pula dilakukan lewat piranti teknologi canggih sekarang ini, bisa melalui telepon, internet, email, surat atau media-media lainnya.

Kedua, memberi makan (hadiah). Hadiah pertanda penghargaan dan kasih sayang. Ia wujud atensi yang dalam. Karenanya hadiah jangan dipandang dari nilai nominalnya akan tetapi lihatlah bahwa adalah ekspresi kecintaan.

Rasulullah SAW. bersabda: “Salinglah berbagi hadiah niscaya kalian akan saling mencintai”. (H.R. Tirmidzi)

Hadiah sebagai media mengungkapkan kata hati pada seseorang dalam kondisi tertentu. Maka tidaklah naif memberikan hadiah yang sepertinya tidak begitu bernilai. Sebab ia adalah bentuk visualisasi dari atensi yang besar. Oleh karena itu tidak perlu merasa malu untuk memberikan hadiah yang tidak mewah atau mahal. Malah dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ada seorang sahabat Nabi SAW. yang memberikan hadiah berupa sekerat kurma kepada saudaranya, Nabi SAW. mendengar berita itu tersenyum bahagia. Duhai mulianya ia yang mau memberikan hadiah meski kondisi hidupnya dalam kesulitan.

Memang alangkah bagusnya bila mampu memberikan hadiah yang menarik serta bernilai lebih. Apalagi hadiah yang diberikan kepada saudaranya sangat ia sukai.

Firman Allah SWT.

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Ali Imran: 92)

Ketiga, melaksanakan shalat malam (doa). Persoalan hati manusia adalah persoalan yang penuh misteri. Hati merupakan ruang yang luas lagi dalam. Ia bagaikan samudera lepas. Sedikit sekali manusia yang dapat menyelami samudera hati.

Muamalah antar manusia juga bagian dari gerakan hati. Ia akan terkait tatkala hatinya sudah tertambat. Ia akan terurai ketika hatinya liar. Permasalahannya tampaknya rumit dan jelimet. Akan tetapi menjadi sederhana ketika conecting langsung pada pemiliknya. Dialah Allah Pemilik hati manusia yang mampu membolak-balikan gerakan hati secara dratis.

Menjalin hubungan langsung pada si Empunya hati manusia secara rutin dapat menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu menghimpun aneka ragam hati manusia. Bahkan Dia dapat mengendalikan hati-hati yang liar. Hubungan dengan Sang Penakluk Hati diantaranya dapat diwujudkan dengan panjatan doa untuk diri dan saudaranya.

Doa menjadi media perantara untuk merajut hati yang retak. Melancarkan sumbatan-sumbatannya. Untuk mencapai sasaran tersebut, Hasan Al-Banna mengajak para pengikutnya untuk membaca doa Rabithah selepas mengikuti majelis pertemuannya. Sebagai upaya mendayagunakan kekuatan doa untuk mengikat dan menyatukan hati manusia. Disamping itu agar hati yang kering lagi tandus menjadi basah dan subur.

Semua resep sederhana di atas akhirnya berpulang pada satu kalimat. Ibda’ binafsik. Mulailah dari darimu sendiri. Artinya setiap individu segera untuk memulainya, menjadi pelopor. Tidak perlu menunggu orang lain memberi aba-aba untuk memulainya. Apalagi menanti siapa yang akan memulainya. We are first begining. Wallahu a’lam.

Oleh: Drs. DH Al Yusni
http://www.dakwatuna.com/2008/mengamalkan-teori-ukhuwah-2/

8 Kiat Mempererat Ukhuwah

Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) bukanlah teori. Ini adalah ajaran praktis yang bisa kita lakukan dalam keseharian. Karena itu, nikmatnya ukhuwah tidak akan bisa kita kecap, kecuali dengan mempraktikannya.

Jika delapan cara di bawah ini dilakukan, Anda akan merasakan ikatan ukhuwah Anda dengan saudara-saudara seiman Anda semakin kokoh.

1. Katakan bahwa Anda mencintai saudara Anda

عَنِ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ: إِِذَا أَحَبَّ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَلْيُخْبِرْهُ أََنَّهُ يُحِبُّهُ

Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang mencintai saudaranya, hendaklah dia mengatakan cinta kepadanya.” (Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits shahih)

عَنْ اَنَسٍ: اَنَّ رَجُلاً كَانَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فَمَرَّ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلُ اللهِ اِنّي لأحِبُّ هَذَا فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ أَعْلَمْتَهُ؟ قَالَ: لا، قَالَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: أعْلِمْهُ فَلَحِقَهُ فَقَالَ: إِنِّي أُحِبُّكَ فِى اللهِ فَقَالَ: أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْبَبْتَنِى لَهُ

Anas r.a. mengatakan bahwa seseorang berada di sisi Rasulullah saw., lalu salah seorang sahabat melewatinya. Orang yang berada di sisi Rasulullah tersebut mengatakan, “Aku mencintai dia, ya Rasulullah.” Lalu Nabi bersabda, “Apakah kamu sudah memberitahukan dia?” Orang itu menjawab, “Belum.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Beritahukan kepadanya.” Lalu orang tersebut memberitahukannya dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.” Kemudian orang yang dicintai itu menjawab, “Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya.” (Abu Dawud, dengan sanad shahih)

Jadi, jangan tunda lagi. Katakan cinta kepada orang yang Anda cintai.

2. Minta didoakan dari jauh saat berpisah

عَنْ عُمَرَبْنِ الْخَطَابِ قَالَ: اِسْتَأْذِنْتُ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فِى الْعُمْرَةِ فَأَذِنَ لِي فَقَالَ: لاَ تَنْسَنَا يَا اُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ: كَلِمَةً مَا يَسُرُّنِى أَنَّ لِى بِِهَا الدُّنْيَا، وَفِى رِوَايَةٍ قَالَ: أَشْرِكْنَا يَا أُجَيَّ فِى دُعَائِكَ

Umaق bin Khaththab berkata, “Aku minta izin kepada Nabi Muhammad saw. untuk melaksanakan umrah, lalu Rasulullah saw. mengizinkanku.” Beliau bersabda, “Jangan lupakan kami, wahai saudaraku, dalam doamu.” Kemudian ia mengatakan satu kalimat yang menggembirakanku bahwa aku mempunyai keberuntungan dengan kalimat itu di dunia. Dalam satu riwayat, beliau bersabda, “Sertakan kami dalam diamu, wahai saudaraku.” (Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits hasan shahih)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ لِأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ : وَلَكَ بِمِثْلٍ

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorang hamba mukmin yang berdoa untuk saudaranya dari kejauhan malainkan malaikat berkata, ‘Dan bagimu seperti itu’.” (Muslim)

3. Bila berjumpa, tunjukkan wajah gembira dan senyuman

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُفِ شَيْئاً وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِيْقٍ

Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan apapun, walaupun sekadar bertemu saudaramu dengan wajah ceria.” (Muslim)

4. Berjabat tangan dengan erat dan hangat

Berjabat tanganlah acapkali bertemu. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada dua orang muslim yang berjumpa lalu berjabat tangan melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah.” (Abu Dawud)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَا مِنْ مُسْلِمِيْنَ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا

5. Sering-seringlah berkunjung

Nabi Muhammad saw. bersabda, “Allah swt. berfirman, ‘Pasti akan mendapat cinta-Ku orang-orang yang mencintai karena Aku, keduanya saling berkunjung karena Aku, dan saling memberi karena Aku’.” (Imam Malik dalam Al-Muwaththa’)

6. Ucapkan selamat saat saudara Anda mendapat kesuksesan


عَنْ اَنَسٍ بن مالك قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَنْ لَقِيَ أَجَاهُ بِمَا يُحِبُّ لِيَسُرَّهُ ذَالِكَ سَرَّةُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa bertemu saudaranya dengan membawa sesuatu yang dapat menggembirakannya, pasti Allah akan menggembirakannya pada hari kiamat.” (Thabrani dalam Mu’jam Shagir)

Jadilah Anda orang yang paling pertama mengucapkan selamat kala saudara Anda menikah, mendapat anak, menempati rumah baru, pergi haji, naik jabatan, dan lain-lain.

7. Berilah hadiah terutama di waktu-waktu istimewa

عَلَيْكُمْ بِالْهَدَايَا فَإِنَّهَا تُوْرِثُ الْمَوَدَّةَ وَتُذْهِبُ الضَّغَائِنَ

Hadits marfu’ dari Anas bahwa, “Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena hadiah itu dapat mewariskan rasa cinta dan menghilangkan kekotoran hati.” (Thabrani)

عَنْ عَائِشَةَ: تَهَادَوْا تَحَابُّوْا

Thabrani juga meriwayatkan hadits marfu’ dari Aisyah r.a. bahwa, “Biasakanlah kamu saling memberi hadiah, niscaya kamu akan saling mencintai.

8. Berilah perhatian dan bantu keperluan Saudara Anda

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ اَخِيْهِ.

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin di dunia niscaya Allah akan melepaskan kesusahannya di akhirat. Siapa yang memudahkan orang yang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (Muslim)

Karena itu, jadikan diri Anda orang yang paling dahulu membantu kala saudara Anda membutuhkan.

Oleh: Mochamad Bugi
http://www.dakwatuna.com/2008/8-kiat-mempererat-ukhuwah/