Showing posts with label Zuhud. Show all posts
Showing posts with label Zuhud. Show all posts

Antara Zuhud Sunni dan Zuhud Sufi


Pernahkah Anda merasakan kesedihan ditinggal mati oleh orang yang Anda kasihi di dunia ini? Atau pernahkah Anda kehilangan harta melimpah yang pernah Anda miliki? Itu semua menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara. Dunia ini bukanlah hunian abadi bagi manusia. Kehidupan hakiki adalah kehidupan di akhirat. Oleh karena itu, selayaknya orang yang berakal, lebih mengutamakan kenikmatan yang kekal daripada kehidupan fana ini. Bagaimana caranya? Agama Islam mengajarkan dengan zuhud di dunia. Sahl bin Sa’d As-Sa’idi Radhiyallahu ‘anhuma berkata:

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ
Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan. Jika aku mengamalkannya, niscaya Allah mencintaiku dan manusia juga mencintaiku!” Rasulullah bersabda: “Zuhudlah di dunia, niscaya Allah mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada tangan-tangan manusia, niscaya mereka akan mencintaimu!’.[1]

MAKNA ZUHUD

Disebutkan di dalam kitab kamus Mu’jamul Wasith, bab Zahida:

زَهِدَ فِيْهِ وَ عَنْهُ – يَزْهَدُ – زُهْدًا, وَ زَهَادَةً
Yaitu, seseorang melakukan zuhud atau zahaadah. Artinya, dia berpaling darinya dan meninggalkannya karena dia meremehkannya, atau menghindari kesusahan darinya, atau karena sedikitnya.

Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata: “Zuhud adalah istilah dari berpalingnya keinginan dari sesuatu menuju yang lain yang lebih baik darinya. Dan syarat hal yang ditinggalkan keinginannya itu, juga disukai pada sebagian sisinya. Maka barangsiapa meninggalkan sesuatu yang dzatnya tidak disukai dan tidak dicari, dia tidak dinamakan zaahid (orang yang zuhud)”.[2]

Tujuan meninggalkan dunia bagi orang yang zuhud adalah untuk meraih kebaikan akhirat, bukan semata-mata untuk rileks dan menganggur.

Abu Sulaiman rahimahullah berkata,”Orang yang zuhud bukanlah orang yang meninggalkan kelelahan-kelelahan dunia dan beristirahat darinya. Tetapi orang yang zuhud adalah orang yang meninggalkan dunia, dan berpayah-payah di dunia untuk akhirat.” [3]

Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata,”Maksud zuhud di dunia adalah mengosongkan hati dari menyibukkan diri dengan dunia, sehingga orang itu dapat berkonsentrasi untuk mencari (ridha) Allah, mengenalNya, dekat kepadaNya, merasa tenang denganNya, dan rindu menghadapNya.”[4]

Menurut Imam Ahmad rahimahullah , zuhud itu ada tiga bentuk. Pertama, meninggalkan yang haram. (Demikian) ini zuhudnya orang-orang awam. Kedua, meninggalkan yang berlebih-lebihan dari yang halal. (Demikian) ini zuhud orang-orang khusus. Ketiga, meninggalkan semua perkara yang menyibukkan diri dari Allah. Ini zuhudnya orang-orang ‘arif (orang-orang yang faham terhadap Allah).[5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ”Zuhud yang bermanfaat, disyari’atkan, dan yang dicintai oleh Allah dan RasulNya, adalah zuhud (meninggalkan dan mengecilkan arti) segala sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat. Berkaitan dengan hal-hal yang berguna di akhirat dan piranti yang dapat mendukungnya, maka zuhud (meninggalkan dan meremehkan) terhadap hal-hal ini, berarti meremehkan satu jenis ibadah kepada Allah dan ketaatan kepadaNya. Yang dimaksud zuhud hanyalah dengan meninggalkan semua yang membahayakan atau segala sesuatu yang tidak bermanfaat. Adapun zuhud terhadap hal-hal yang bermanfaat, ini adalah sebuah bentuk ketidaktahuan dan kesesatan.” [6]

INI BUKAN ZUHUD!

Setelah kita mengetahui penjelasan di atas, ternyata ada sebagian orang melakukan berbagai perbuatan dengan anggapan bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam kategori zuhud. Padahal hanya merupakan tipu daya Iblis. Di antara perbuatan zuhud yang keliru:

1. Meninggalkan Dunia Sama Sekali.

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Orang awam terkadang mendengar celaan terhadap dunia di dalam Al Qur’an yang mulia dan hadits-hadits, lalu dia berpendapat bahwa (jalan) keselamatan adalah meninggalkan dunia. Dia tidak memahami masalah duniawi yang tercela. Kemudian Iblis mempermainkannya, (dengan menyimpulkan) bahwa “engkau tidak akan selamat di akhirat kecuali dengan meninggalkan dunia”. Maka ia pun mengasingkan diri ke gunung-gunung, menjauhi shalat Jumat, shalat jamaah, dan juga (majlis) ilmu. Dia menjadi seperti binatang liar. Dan dikhayalkan kepadanya bahwa inilah zuhud hakiki. Bagaimana tidak, sedangkan dia telah mendengar tentang si A yang berkelana, dan tentang si B yang beribadah di atas gunung.

Padahal, kemungkinan dia memiliki keluarga, sehingga tidak terurus. Atau masih memiliki ibu yang menangis karena ditinggalkan. Ada kemungkinan juga, ia tidak mengetahui rukun-rukun shalat sebagaimana mestinya. Atau mungkin juga, dia masih menanggung beban kezhaliman-kezhalimannya yang belum terselesaikan. Sesungguhnya iblis mampu mengelabuhi orang ini karena kedangkalan ilmunya. Dan termasuk kebodohannya, dia telah puas dengan apa yang dia ketahui.

Seandainya dia diberi bimbingan (oleh Allah) dengan berteman dengan seorang faqiih (ahli agama) yang memahami hakikat-hakikat, niscaya orang faqiih itu akan memberitahukan kepadanya, bahwa pada asalnya dunia tidak tercela. Bagaimana mungkin dunia dicela, segala sesuatu yang dianugerahkan Allah Ta’ala, merupakan kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup manusia, dan merupakan sarana yang mendukung manusia dalam meraih ilmu dan ibadah, yang berupa makanan, minuman, pakaian, dan masjid yang digunakan untuk shalat?! Sesungguhnya yang tercela hanyalah mengais bagian dari dunia yang tidak halal, atau mengambilnya dengan berlebihan, tidak sesuai dengan kebutuhannya. Atau tindakan seseorang yang mengikuti kedangkalan jiwanya, tanpa petunjuk syari’at.

Pergi mengasingkan ke gunung-gunung sendirian (hukumnya) terlarang, karena Nabi n melarang seseorang bermalam sendirian [7]. Tindakannya meninggalkan shalat jamaah dan shalat Jum’at merupakan kerugian, bukan keuntungan. Jauh dari ilmu dan ulama akan mengakibatkan ia terkungkung oleh belitan kebodohan. Meninggalkan ayah dan ibu seperti kasus di atas, merupakan‘uquq (kedurhakaan terhadap orang tua), padahal termasuk dosa besar”. [Al Muntaqa An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 191-192, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi].

2. Meninggalkan Hal-hal Mubah, Padahal Bermanfaat.

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Di antara tipu daya iblis terhadap orang-orang zuhud, (adalah) iblis menjadikan mereka salah sangka bahwa zuhud (berarti) meninggalkan hal-hal yang mubah (padahal bermanfaat, Pen). Mereka, ada yang tidak menambahi (bahan lain) terhadap roti gandum (yakni hanya makan roti gandum saja, Pen). Di antara mereka, ada yang tidak pernah mencicipi buah-buahan. Ada juga dengan cara mengecilkan porsi makanan, sehingga badannya menjadi kurus-kering. Atau menyiksa diri dengan mengenakan baju dari bulu kambing dan menghindarkan dirinya dari air dingin (segar). Ini bukanlah tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula tradisi para sahabat dan para pengikut beliau. Mereka dahulu lapar, bila tidak mendapatkan apapun. Namun jika mereka dapat meraihnya, mereka akan memakannya”.[8]

3. Zuhud Lahiriyah Semata.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Salah satu wujud penipuan iblis terhadap orang-orang zuhud, adalah iblis menjadikan mereka keliru dengan makna zuhud, yaitu (dengan cara merasa) puas dengan makanan dan pakaian yang berkualitas rendah saja. Mereka menerima hal itu. Tetapi hati mereka berhasrat terhadap kepemimpinan dan mencari kehormatan. Engkau lihat mereka itu menanti-nanti kunjungan para umara` (penguasa, pejabat). Mereka memuliakan orang-orang kaya, tidak memuliakan orang-orang miskin. Mereka pura-pura khusyu’ tatkala berpapasan dengan orang. Seolah-olah mereka telah keluar dari musyahadah (menyaksikan keagungan Allah). Dan terkadang salah seorang dari mereka menolak harta agar dikatakan “Sesungguhnya telah nampak zuhud baginya”. Padahal mereka termasuk orang yang paling sering keluar-masuk menemui umara (pejabat), dan mencium tangan mereka pada pintu yang paling luas dari wilayah-wilayah dunia, karena sesungguhnya puncak dunia adalah kepimimpinan”.[9]

4. Meninggalkan Harta-Benda Secara Total Dan Menjadikan Kefakiran (Kemiskinan) Sebagai 
Tujuan Hidup!

Seorang tokoh sufi mengatakan: “Zuhud adalah kosongnya tangan dari segala barang kepemilikan” [10]. Selain itu, ada juga yang menggariskan: “Kefakiran adalah fondasi dan tiang tasawuf”.[11]
Diriwayatkan dari Al Junaid, seorang tokoh sufi, dia berkata: “Aku lebih menyukai agar pemula tidak menyibukkan diri dengan bekerja, jika tidak, maka keadaannya akan berubah”.[12]
Akibat dari anggapan ini, sejarah mencatat kisah-kisah sebagian orang sufi pada zaman tempo dulu yang meninggalkan harta-harta mereka dan mulai berkelana, padahal sebelumnya mereka sabagai orang-orang yang berada.[13]

Anggapan zuhud model orang-orang sufi seperti di atas, bukan bagian dari ajaran Islam. Bahkan sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memohon perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dari tujuan hidup mereka itu, yang berorientasi pembinaan kemiskinan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ
Wahai Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kefakiran, kekurangan (dari perbuatan baik), dan kehinaan. Dan aku berlindung kepadaMu dari berbuat zhalim, atau dizhalimi”.[14]

Demikian juga, sifat malas mereka untuk bekerja dengan dalih zuhud yang palsu, menyelisihi anjuran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya untuk mencari pekerjaan yang halal dan mencukup diri sendiri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Tidaklah seorang pun memakan makanan yang lebih baik daripada dia memakan dari (hasil) jerih payah tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah, Dawud Alaihissallam, biasa makan dari (hasil) kerja sendiri”. [15]

Dalam hadits lain, Beliau bersabda:
لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
Salah seorang di antara kamu yang mengumpulkan kayu bakar di atas punggungnya, lebih baik baginya daripada dia minta kepada seseorang, lalu orang itu memberinya atau menolaknya”. [16]

Hakikat zuhud bukanlah menampik harta duniawi. Banyak sahabat yang kaya-raya, seperti Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, dan lainnya. Kendatipun demikian, mereka adalah tokoh-tokoh orang-orang zuhud.

5. Meninggalkan Pernikahan.

Sebagian orang sufi berkata: “Barangsiapa menikah, maka dia telah memasukkan dunia ke dalam rumahnya … maka waspadalah dari pernikahan!”

Di antara mereka ada yang bertutur: “Seorang laki-laki tidak akan mencapai derajat orang-orang shiddiiq sampai ia meninggalkan istrinya seolah-olah seperti janda, dan (membiarkan) anak-anaknya, seolah-olah mereka itu anak-anak yatim, dan dia menetap di kandang-kandang anjing!” [17] Sudah pasti zuhud ala sufi ini, bukan zuhud yang digariskan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan:
أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut di antaramu kepada Allah, dan orang yang paling takwa di antaramu kepadaNya. Tetapi aku berpuasa dan berbuka; aku shalat (malam) dan tidur; dan aku menikahi wanita-wanita. Barangsiapa membenci sunnahku (ajaranku), dia bukan dariku”.[18]
Justru zuhud seperti itu berseberangan dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Beliau bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai, para pemuda. Barangsiapa di antara kamu mampu menikah, maka hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu, maka dia wajib berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu penjagaan baginya (dari perzinaan, pen)”.[19]
Setelah kita mengetahui berbagai keterangan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa zuhud yang benar bukanlah dengan meninggalkan harta dan keluarga, kemudian menyiksa diri dengan begadang dan kelaparan, menyepi di kamar-kamar yang gelap dan membisu dengan tanpa sebab. Demikian juga bukan dengan meninggalkan berbagai hal yang bermanfaat di dunia ini, yang dapat membantu ibadah dan ketaatan kepada Allah, seperti berbagai kemajuan tekhnologi yang tidak bertentangan dengan syari’at yang suci.
Dengan ini mudah-mudahan menjadi jelas bagi kita, perbedaan zuhud yang diajarkan oleh agama Islam, dengan zuhud buatan orang-orang sufi yang menyimpang.
Semoga Allah menampakkan al haq kepada kita sebagai al haq, dan menolong kita untuk mengikutinya. Dan memperlihatkan kebatilan kepada kita sebagai kebatilan, dan menolong kita untuk menjauhinya. Wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ustadz Muslim Al Atsari
Artikel Muslim.Or.Id
_______
Catatan kaki:
[1]. HR Ibnu Majah, no. 4102, dan lainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah, no. 944.
[2]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 410-411, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[3]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (2/198), tahqiq Syakih Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ibrahim Bajis.
[4]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (2/198).
[5]. Madarijus Salikin (2/9), dinukil dari Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Shalihin (1/523), karya Syaikh Salim Al Hilali.
[6]. Majmu’ Fatawa (10/511).
[7]. HR Ahmad, no.5650, dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih
[8]. Al Muntaqo An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 193, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[9]. Al Muntaqo An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 194-195, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[10]. Kitab Al Luma’, hlm. 72, karya Abu Nashr Sirooj Ath Thuusi, Penerbit Darul Kutub Al Haditsah, Kairo, Th. 1960. Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31), karya Muhammad Ahmad Luh.
[11]. Kitab Iqodhul Himam, hlm. 213, karya Ibnu ‘Ajiibah. Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31), karya Muhammad Ahmad Luh.
[12]. Kitab Quutul Qulub (1/267), dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/30), karya Muhammad Ahmad Luh.
[13]. Lihat Siyar A’lamin Nubala (15/231), Tarikh Baghdad (7/221). Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31).
[14]. HR Abu Dawud, no. 1544; An Nasaa-i (8/261); Al Hakim (1/541); dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.
[15]. HR Bukhari, no. 2072.
[16]. HR Bukhari, no. 2074.
[17]. Lihat Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31-32), karya Muhammad Ahmad Luh.
[18]. HR Bukhari, no. 5063; Muslim, no. 1401; dan lainnya.
[19]. HR Bukhari, no. 5066; Muslim, no. 1400; dan lainnya.

http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/antara-zuhud-sunni-dan-zuhud-sufi.html

Memahami Arti Zuhud

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Sebagian orang salah paham dengan istilah zuhud. Dikira zuhud adalah hidup tanpa harta. Dikira zuhud adalah hidup miskin. Lalu apa yang dimaksud dengan zuhud yang sebenarnya? Semoga tulisan berikut bisa memberikan jawaban berarti.

Mengenai zuhud disebutkan dalam sebuah hadits,

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».

Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)

Dalam hadits di atas terdapat dua nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan kecintaan Allah, dan zuhud pada apa yang ada di sisi manusia, ini akan mendatangkan kecintaan manusia.[1]

Penyebutan Zuhud Terhadap Dunia dalam Al Qur’an dan Hadits

Masalah zuhud telah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits. Di antara ayat yang menyebutkan masalah zuhud adalah firman Allah Ta’ala tentang orang mukmin di kalangan keluarga Fir’aun yang mengatakan,

وَقَالَ الَّذِي آَمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ (38) يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ (39)

Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 38-39)

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)

Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)

Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ

Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari telunjuk- di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR. Muslim no. 2858)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Dunia seperti air yang tersisa di jari ketika jari tersebut dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah air yang masih tersisa di lautan.”[2] Bayangkanlah, perbandingan yang amat jauh antara kenikmatan dunia dan akhirat!

Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

Seandainya harga dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air.” (HR. Tirmidzi no. 2320. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Tiga Makna Zuhud Terhadap Dunia

Yang dimaksud dengan zuhud pada sesuatu –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al Hambali- adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan diri darinya serta membebaskan diri darinya.[3] Adapun mengenai zuhud terhadap dunia para ulama menyampaikan beberapa pengertian, di antaranya disampaikan oleh sahabat Abu Dzar.

Abu Dzar mengatakan,

الزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ

Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”[4]

Yunus bin Maysaroh menambahkan pengertian zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau menambahkan bahwa yang termasuk zuhud adalah, “Samanya pujian dan celaan ketika berada di atas kebenaran.”[5]

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas ditafsirkan dengan tiga hal, yang kesemuanya adalah amalan batin (amalan hati), bukan amalan lahiriyah (jawarih/anggota badan). Abu Sulaiman menyatakan, “Janganlah engkau mempersaksikan seorang pun dengan zuhud, karena zuhud sebenarnya adalah amalan hati.“[6]

Cobalah kita perhatikan penjelasan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah terhadap tiga unsur dari pengertian zuhud yang telah disebutkan di atas.

Pertama: Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih diharap-harap dari apa yang ada di sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang kokoh pada Allah. Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menyatakan, “Yang menunjukkan lemahnya keyakinanmu, apa yang ada di sisimu (berupa harta dan lainnya –pen) lebih engkau harap dari apa yang ada di sisi Allah.”

Abu Hazim –seorang yang dikenal begitu zuhud- ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun berkata, “Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin: [1] rasa yakin pada Allah dan [2] tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi manusia.”

Lanjut lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim, “Tidakkah engkau takut miskin?” Ia memberikan jawaban yang begitu mempesona, “Bagaimana aku takut miskin sedangkan Allah sebagai penolongku adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi, bahkan apa yang ada di bawah gundukan tanah?!”
Al Fudhail  bin ‘Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah ‘azza wa jalla.” Ia pun berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang “ghoni”, yaitu selalu merasa cukup.”
Intinya, pengertian zuhud yang pertama adalah begitu yakin kepada Allah.

Kedua: Di antara bentuk zuhud adalah jika seorang hamba ditimpa musibah dalam hal dunia berupa hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang sempurna.
Siapakah yang rela hartanya hilang, lalu ia lebih harap pahala?! Yang diharap ketika harta itu hilang adalah bagaimana bisa harta tersebut itu kembali, itulah yang dialami sebagian manusia. Namun Abu Dzar mengistilahkan zuhud dengan rasa yakin yang kokoh. Orang yang zuhud lebih berharap pahala dari musibah dunianya daripada mengharap dunia tadi tetap ada. Sungguh ini tentu saja dibangun atas dasar iman yang mantap.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini telah mengajarkan do’a yang sangat bagus kandungannya, yaitu berisi permintaan rasa yakin agar begitu ringan menghadapi musibah. Do’a tersebut adalah,

اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا

Allaahummaqsim lanaa min khosy-yatika maa yahuulu bihii bainanaa wa baina ma’aashiika, wa min thoo’atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa minal yaqiini maa tuhawwinu bihi ‘alainaa mushiibaatid dunyaa” (Ya Allah, curahkanlah kepada kepada kami rasa takut kepadaMu yang menghalangi kami dari bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan kepadaMu yang mengantarkan kami kepada SurgaMu, dan curahkanlah rasa yakin yang dapat meringankan berbagai musibah di dunia) (HR. Tirmidzi no. 3502. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Inilah di antara tanda zuhud, ia tidak begitu berharap dunia tetap ada ketika ia tertimpa musibah. Namun yang ia harap adalah pahala di sisi Allah.

‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan, “Siapa yang zuhud terhadap dunia, maka ia akan semakin ringan menghadapi musibah.” Tentu saja yang dimaksud zuhud di sini adalah tidak mengharap dunia itu tetap ada ketika musibah dunia itu datang. Sekali lagi, sikap semacam ini tentu saja dimiliki oleh orang yang begitu yakin akan janji Allah di balik musibah.

Ketiga: Zuhud adalah keadaan seseorang ketika dipuji atau pun dicela dalam kebenaran itu sama saja. Inilah tanda seseorang begitu zuhud pada dunia, menganggap dunia hanya suatu yang rendahan saja, ia pun sedikit berharap dengan keistimewaan dunia. Sedangkan seseorang yang menganggap dunia begitu luar biasa, ia begitu mencari pujian dan benci pada celaan. Orang yang kondisinya sama ketika dipuji dan dicela dalam kebenaran, ini menunjukkan bahwa hatinya tidak mengistimewakan satu pun makhluk. Yang ia cinta adalah kebenaran dan yang ia cari adalah ridho Ar Rahman.

Orang yang zuhud selalu mengharap ridho Ar Rahman bukan mengharap-harap pujian manusia. Sebagaimana kata Ibnu Mas’ud, “Rasa yakin adalah seseorang tidak mencari ridho manusia, lalu mendatangkan murka Allah. Allah sungguh memuji orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka sama sekali tidaklah takut pada celaan manusia.”

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang zuhud adalah yang melihat orang lain, lantas ia katakan, “Orang tersebut lebih baik dariku”. Ini menunjukkan bahwa hakekat zuhud adalah ia tidak menganggap dirinya lebih dari yang lain. Hal ini termasuk dalam pengertian zuhud yang ketiga.

Pengertian zuhud yang biasa dipaparkan oleh ulama salaf kembali kepada tiga pengertian di atas. Di antaranya, Wahib bin Al Warod mengatakan, “Zuhud terhadap dunia adalah seseorang tidak berputus asa terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak begitu berbangga dengan nikmat yang ia peroleh.” Pengertian ini kembali pada pengertian zuhud yang kedua. [7]

Pengertian Zuhud yang Amat Baik

Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat,

أَنَّ الزُهْدَ فِي تَرْكِ مَا يُشْغِلُكَ عَنِ اللهِ

“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.[8]

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.”[9]

Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.

Dunia Tidak Tercela Secara Mutlak

Ada sebuah perkataan dari ‘Ali bin Abi Tholib namun dengan sanad yang dikritisi. ‘Ali pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, “Dunia adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik. Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah negeri ghoni (yang berkecukupan) bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat. …”[10]

Oleh karena itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –‘Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.”
Ingatlah baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan beramal sholih.

Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta

Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas, itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami arti zuhud.

Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada Ibnul Mubarok,

أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟

“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”
Ibnul Mubarok mengatakan,

يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.

“Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”.[11]

Semoga pembahasan kami kali ini dapat memahamkan arti zuhud yang sebenarnya. Raihlah kecintaan Allah lewat sifat zuhud. Semoga Allah menganugerahkan pada kita sekalian sifat yang mulia ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Diselesaikan di sore hari, 17 Jumadits Tsani 1431 H (30/05/2010), di Panggang-GK
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 346, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H. [2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/232, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
[3] Idem.
[4] HR. Tirmidzi no. 2340 dan Ibnu Majah no. 4100. Abu Isa berkata: Hadits ini gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur sanad ini, adapun Abu Idris Al Khaulani namanya adalah A’idzullah bin ‘Abdullah, sedangkan ‘Amru bin Waqid dia adalah seorang yang munkar haditsnya. Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Yang tepat riwayat ini mauquf (hanya perkataan Abu Dzar) sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd.” (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 346)
[5] Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya dari riwayat Muhammad bin Muhajir, dari Yunus bin Maysaroh. (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 347)
[6] Jaami’ul Ulum, hal. 347.
[7] Kami sarikan point ini dengan sedikit perubahan redaksi dari Jaami’ul Ulum, hal. 347-348.
[8] Disebutkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Awliya’, 9/258, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut, cetakan keempat, 1405 H.
[9] Jaami’ul Ulum, hal. 350.
[10] Jaami’ul Ulum, hal. 350
[11] Siyar A’lam An Nubala, Adz Dzahabi, 8/387, Mawqi’ Ya’sub (penomoran halaman sesuai cetakan).