Showing posts with label Takabur. Show all posts
Showing posts with label Takabur. Show all posts

Takabbur, Diktator, Ananiyah: Trio Perusak Jiwa



 
Musollini, simbol kediktatoran!


IMAM Al Ghazali dalam karya monumentalnya “Ihya Ulumuddin” pernah menjelaskan; Pangkal pokok kerusakan pikiran adalah berselingkuh kepada Allah Subhanahu Wata’ala (syirik), sedangkan sumber kerusakan moral adalah sombong. Sifat yang pertama mengotori, dan merusak pola pikir (tashawwur), orientasi (ittijah), cara pandang (al wijhah), sifat yang kedua menghancurkan mata hati (bashirah).

Penyakit sombong adalah warisan dari iblis, sesuai dengan makna etimologisnya, membangkang (ablasa). Awalnya iblis menempati surga diatas surga Adam (versi tafsir Ash Showi).

Ketika Allah mengadakan suksesi di surga, terbukti Adam yang terpilih menjadi khalifah berkat kualitas yang dimiliknya.. Pilihan ini terlalu pahit untuk diterima iblis, apalagi dia diperintahkan oleh Allah untuk sujud (hormat) kepada Adam. Keputusan Allah sangat menyakitan hati Iblis. Ia naik banding. Menolak untuk bersujud, kepada Adam dan mulai membanggakan asal-usul.

Sejak saat ia terusir dari surga, tetapi ia bersumpah di hadapan Allah untuk menggoda anak Adam. Dari arah belakang (supaya serakah terhadap dunia), muka (supaya ragu-ragu dengan kehidupan akhirat), kanan (syak terhadap al Haq) dan kiri (supaya pro kebatilan). Kecuali  arah atas dan arah bawah (hamba-Nya yang ikhlas). Arah atas lambang ketinggian Allah, dan arah bawah simbol ketundukan makhluq kepada Allah. Dua arah ini yang tidak bisa dimasuki iblis.

Penyakit akut inilah yang ditularkan kepada anak cucu Adam yang miskin iman (faqrul iman). Tokoh klasik yang sangat populer, dan mewarisi penyakit iblis, sehingga berulangkali dikisahkan di dalam Al Quran adalah Fir’aun di Mesir dan Namrud di Mesopotamia . Dengan keberhasilan dan kegagahannya dalam menjayakan bangsa Mesir semasa Nabi Musa as dilahirkan, telah berani menganggap dirinya sebagai penguasa tunggal. Ia menobatkan dirinya menjadi tuhan atau maharaja, pembuat dan penentu hukum. Ia menganggap harta dan tahtanya akan mengekalkannya, tanpa pensiun. Rakyat yang mengaguminya terbius dan menerima saja tuntutan Fir’aun (sendiko dhawuh – suarga nunut neroko katut – Bhs Jawa).
           
Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata:

فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَّا يَبْلَى

“Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (pohon kekekalan) dan kerajaan yang tidak akan binasa.” (QS: Thoha (20): 120).

Rakyat Mesir akhirnya ditindas oleh Fir’aun, dan mulai menganggap dirinya tidak bersalah. Dia menerapkan pemerintahan bercirikhas “Ath Thughyan” (tirani kekuasaan) Berbuat sewenang-wenang. Bersikap zhalim dan menindas. Menterlantartarkan kehidupan rakyatnya, menyakiti hatinya, merampas hak-haknya, menyumbat aspirasinya, merendahkan kehormatannya.

Yang berhak mengeluarkan pendapat, yang sesuai dengan keinginan penguasa. Demokrasi menjadi tersumbat. Dia memandang kritik dari intelektual yang bersikap obyektif, tetapi berseberangan dengan pendapat penguasa di identikkan dengan intrik (politik menjatuhkan). Penyakit iblis yang akut ini pun menular kepada rakyat Mesir. Mereka mempersepsikan bahwa tokohnya ini manusia berdarah biru, lebih mulia dari manusia yang lain. Mereka memandang di Mesir terdiri dari masyarakat berkelas. Ada kelas satu dan kelas dua. Hukum yang dijalankan pun laksana pisau. Tumpul untuk kelas atas dan tajam untuk kelas bawah. Pengisian jabatan, distribusi wewenang dan ekonomi juga dilakukan dengan semangat kelas. Inilah awal kehancuran roda kehidupan pada masa itu.

Jika di dalam strukutur masyarakat ada yang merasa mulia, tentu ada yang berada di pihak lawannya, yaitu yang kurang derajatnya. Orang-orang Yahudi (Ya’qubiin) yang dibawa Nabi Yusuf dan para saudaranya ke Mesir  beberapa generasi sebelumnya, telah berkembang dengan makmur di bawah raja-raja sebelumnya. Rasa iri yang timbul di kalangan bangsa Mesir yang asli (qibthi) menyebabkan mereka tega menindas Yahudi.

Segala pekerjaan kotor dan berat ditugaskan hanya khusus oleh kaum Yahudi.  Bahkan mereka dijadikan budak bangsa Mesir yang harus bekerja, membanting tulang, memeras keringat, siang malam tanpa upah.

Allah Subhanahu Wata’ala melahirkan Musa  di kalangan bangsa Yahudi yang sedang tertindas. Musa sempat mengecap pendidikan tinggi di bawah asuhan Fir’aun. Ketika Musa as – menerima wahyu – menyatakan ajaran tauhid di hadapan Fir’aun bahwa satu-satunya yang benar dan paling berkuasa adalah Allah Al Khaliq, Fir’aun dengan atribut kemegahan dan kemegahan dunia menolak. Dan mengatakan seperti dalam statemen berikut:

 مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي

“…..Aku tidak menyangka bahwa kalian masih memiliki tuhan selain diriku… “(QS. Al Qashash: (28) : 38).”

Sesungguhnya pintu masuk sikap sombong, dimulai dari gila harta, kemudian gila tahta. Setelah semuanya dimiliki tanpa ditemani iman maka biasanya dirinya di personifikasikan sebagai simbol kekuasaan atau personifikasi dari Tuhan. Bukan berarti Fir’aun anti Tuhan.

Fir’aun yakin dengan wujudnya Allah Subhanahu Wata’ala. Tetapi dia ingin mempertahankan status quo sebagai satu-satunya pembuat dan penentu undang-undang di negeri Mesir. Sehingga untuk memakmurkan Mesir, dia harus menghisap darah dan menindas, serta memperbudak kaum Yahudi. Ketika Musa mengingatkan dengan membawa ajaran Tauhid yang diantaranya menawarkan konsep musawah (persamaan derajat) ia menjadi gelap mata dan kebal telinga serta buta hati.

Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ?. Mereka itulah orang-orang yang dila’nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka (QS. Muhammad (47) : 22-23).

Dari Masa Ke Masa
Penyakit jiwa Fir’aun ini juga menular kepada Namrud. Ketika Ibrahim dilahirkan untuk meluruskannya, dan membuka pintu dialog ilmiah yang selama ini tertutup,, terpaksa harus menelan pil pahit, putra pembuat patung Azar itu dicitrakan sebagai biang keladi gerakan teroris. Setelah pihak kerajaan tidak berdaya menghadapi logika sehat dan argumentasi ilmiah Ibrahim, akhirnya ia di bakar hidup-hidup tanpa proses pengadilan.

Di atas pentas sejarah kemanusiaan berikutnya, setiap diktator (thaghut) selalu meletakkan kekuasaan tanpa pensiun. Kekuasaan adalah segala-galanya. Nyawa rakyat tidak menjadi perhitungan sama sekali, kecuali berkaitan langsung dengan kelanggengan tahta. Politik menghalalkan segala cara asalkan tujuan tercapai (al ghayatu tubarrirul wasaail). Tiada persahabatan sejati, yang abadi adalah kepentingan.

Setiap tiran (diktator) biasanya memiliki hak-hak istimewa dan dikawal oleh tpendukung setia (penjilat), barisan (korps) tentara terlatih yang disiapkan untuk menumpas orang, kelompok yang dianggap sebagai pesaingnya. Yang berbeda dianggap sebagai bughat (pembangkang).

Yang mendukung (mbata, Bhs Jawa) ghalibnya mendapat imbalan khusus. Biasanya berbentuk cipratan (bagian-bagian kecil) dari kekuasaan dan ekonomi. Tetapi, tetap dibatasi oleh wewenang dan ekonomi tertentu (income yang kecil) dibandingkan dengan luasnya kekuasaan dan berlimpahnya ekonomi yang dimilikinya. Terjadilah ketidakadilan dalam pengisian jabatan, distribusi wewenang dan ekonomi. Dari sinilah pangkal kerusakan setiap negara.

Obor iman dan ilmu pada fase-fase awal islam juga menjadi redup, ketika format ketatanegaraan yang islami di masa Khulafa ar Rasyidin yang adil  berubah menjadi sistem muluk (feodalisme), yang sudah sekian lama merupakan darah daging masyarakat Arab jahiliyah. Perubahan sistem ketatanegaraan yang berawal dari perbedaan pendapat dan berkembang menjadi pertentangan paham tentang konsep kepemimpinan, merupakan cikal bakal perpecahan dan berakhir dengan pertumpahan darah. Semula perang saudara ini hanya melibatkan sejumlah kecil daerah, dan umat yang terbatas serta muda dikelola pengaruh iman dan ilmu para sahabat.

Setelah generasi sahabat, perang saudara kembali meledak dan menodai masyarakat yang dengan susah payah dibangun oleh Rasulullah saw. Sistem feodalisme (the man show) tidak berhasil mengawal dan mengelola daya kritis ilmuawan muslim. Perbedaan pendapat di kalangan ulama islam, ditunggangi oleh kepentingan politik yang sedang berkuasa.

Mulai perbedaan pendapat yang bersifat furu’iyah (cabang-cabaang ajaran) islam disikapi dengan ushul (pokok-pokok islam). Pengikut mazhab tertentu mencela pengikut ilmuan yang lain. Semula perbedaan pendapat berawal dari konsep kepemimpinan, berlanjut kepada berbagai persoalan kehidupan yang lain.  Perpecahan ini membuat umat islam lemah, tidak berdaya, jatuh terpuruk. Inferior dalam menghadapi benturan peradaban.

Para ulama yang berfikir ilmiyah dan obyektif, Imam Ahmad bin Hamabal, Ibnu Taimiyah, mendapat penyiksaan dari penguasa yang tidak manusiawi di penjara. Sehingga menghembuskan nyawanya yang terakhir. Sebelum meninggal, beliau dipisahkan dari tinta dan kertasnya dan dijauhkan dari pengikut-pengikutnya. Dan siksaan yang terberat adalah pencabutan  hak menyatakan pendapat.

Namun, sejarah juga berkali-kali membuktikan bahwa pemimpin yang takabur, batharul haq wa ghamthun nas (menolak kebenaran dan meremehkan manusia), thughyan, yujawizul hadd (tirani, menabrak batasan), ananiyah (individualistis dan egois, mengutamakan diri sendiri) akan terpuruk dalam lubang yang digalinya sendiri. Lihat diktator Hilter, Mussolini, Syah Pahlevi Iran , Marcos, Duvalier, Soekrano dan Soeharto dll.*

oleh: Shalih Hasyim
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah


Terapi Takabur

Allah swt. berfirman:
"Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang." (Q.s. A1-Mu’min: 35).
"Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong."(Q.s. Al-Mu'min: 76).

Nabi saw bersabda, "Bahwa Allah swt. telah berfirman (dalam Hadis Qudsi):
'Keagungan adalah sarung-Ku dan Kebesaran adalah selendang-Ku. Siapa yang mencopot Ku dalam dua sifat itu, maka dia akan Ku binasakan’.”
Sabdanya pula:
Tidak akan masuk surga orang yang hatinya terdapat rasa takabur walau hanya sebesar biji sawi.

Sesungguhnya orang-orang yang sewenang-wenang dan takabur, kelak pada hari Kiamat akan dikumpulkan dalam bentuk semut kecil yang diinjak-injak manusia karena hinanya mereka di sisi Allah swt.
Rasul saw bersabda kepada Bilal, “Sebenarnya di neraka Jahannam ada jurang yang disebut Habhab, sudah menjadi hak Allah swt. jika para diktator dimasukkan di jurang itu. Engkau harus takut wahai Bilal, jika engkau tergolong penghuni jurang itu.”

Dalam doanya Nabi saw. memohon, “Ya Allah, aku mohon perlindungan-Mu dari tiupan takabur.
Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mau memandang kepada orang yang memanjangkan pakaiannya sebagai wujud kesombongan.
Nabi saw juga bersabda, “Barangsiapa yang meninggikan dirinya dan sombong dalam berjalan, maka dia akan menemui Allah, sedang Dia murka kepadanya. “
Sabdanya, “Barangsiapa yang suka memaafkan, maka Allah akan selalu menambah kemuliaan kepadanya, dan barangsiapa bertawadhu ; maka Allah akan meninggikannya.”
Beliau juga bersabda, “Betapa bahagianya, orang yang tawadhu; padahal dia tidak miskin.”
Sabdanya pula, ‘ Allah swt. berfirman kepada Nabi Musa as, ‘Sesungguhnya Aku hanya menerima salat hamba-Ku yang tawadhu’ kepada keagungan-Ku, tidak menyombongkan diri kepada makhluk-Ku, selalu mengaitkan hatinya dengan rasa takut kepada-Ku, menghabiskan siangnya dengan dzikir kepada-Ku dan mengekang nafsunya demi Aku’. “

Nabi saw. bersabda, ‘Apabila seorang hamba tawadhu ; Allah akan mengangkatnya sampai ke langit yang ketujuh.”
Sabdanya, “Tawadhu’ itu tidak akan menambah derajat hamba, kecuali Allah meninggikan derajat itu. Maka, bertawadhu’lah kamu sekalian, niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Sabdanya pula, “Sungguh, yang membuatku takjub, seseorang membawa bekal di tangannya, kemudian diberikan kepada keluarganya sebagai upaya jerih payahnya, untuk menahan diri dari takabur.”


Hakikat Takabur
Hakikat takabur adalah merasa diri lebih sempurna dari yang lainnya.
Sifat takabur akan menimbulkan kehinaan dan bisa mengganggu akidah. Karenanya, Nabi saw. bersabda, ‘Aku berlindung dari hembusan takabur.” Karena itu pula, para sahabat pernah minta ijin kepada Umar r.a. agar memberi nasihat ummat setelah subuh. Umar r.a. menjawab, “Aku lebih takut ada hembusan yang melambungkan sampai ke bintang Tsuraya.”
Sebab, hembusan tersebut berpengaruh pada aktivitas lahiriah, seperti duduk di tempat yang tinggi, jalan di depan, melihat dengan pandangan sinis dan marah jika ada orang tidak mengucapkan salam, atau kepada orang yang tidak menghormatinya, lebih banyak menentang kalau dinasihati, menentang kebenaran bila diberi pandangan, dan memandang orang awam seperti memandang khimar.
Takabur tergolong dosa besar. Bahkan orang yang hatinya ada sebesar dzarah ketakaburan, tidak akan masuk surga. Sebab di dalam takabur ada tiga macam kotoran:

Pertama, takabur itu bertentangan dengan sifat-sifat khusus Allah swt, di mana sifat tersebut (takabur) adalah pakaian Allah swt, sebagaimana firman Allah swt. Keagungan tidak layak, kecuali hanya bagi-Nya. Lalu dari sisi mana, keagungan layak bagi hamba yang hina, yang tidak memiliki dirinya, apalagi menguasai yang lainnya?

Kedua, takabur seringkali membuat orang menolak kebenaran dan cenderung meremehkan orang lain. Nabi saw menjelaskan soal takabur dengan sabdanya, “Takabur, muncul dari masa bodoh terhadap kebenaran, menganggap rendah manusia, dan merasa lebih benar. Takabur menutup pintu kebahagiaan, begitu juga merendahkan makhluk.”

Sebagian sufi berkata, “SesungguhnyaAllah swt. menyembunyikan tiga perkara dalam tiga hal:
1) Menyembunyikan ridha-Nya dalam ketaatan kepada-Nya. Maka, janganlah merendahkan sedikit pun terhadap taat, siapa tahu ridha Allah ada di dalamnya.
2) Menyembunyikan dendamnya dalam maksiat kepada-Nya, maka janganlah meremehkan sekecil apa pun maksiat itu, barangkali di dalamnya tersembunyi dendam-Nya.
3) Menyembunyikan kewalian dalam diri hamba-hamba-Nya, maka janganlah merendahkan seseorang, siapa tahu orang itu wali Allah swt.
Ketiga, takabur dapat menghalanginya dari perilaku mulia dan terpuji. Sebab, orang yang takabur tidak akan pernah merasa mencintai orang lain sebagaimana la mencintai dirinya sendiri.
Ia juga tidak bisa merendah, tidak bisa meninggalkan antagonisnya, dengki dan amarahnya. Ia tidak bisa menahan diri, lembut dalam bicara, dan tidak mampu meninggalkan riya’. Secara global setiap perilaku tercela, senantiasa dilalui oleh orang takabur, dan tidak ada perilaku terpuji, kecuali harus meninggalkan sifat takabur tersebut.

Terapi Takabur
Terapi secara keseluruhan terhadap penyakit kotor dari takabur, pertama kali manusia harus tahu diri, bahwa awalnya adalah sperma yang hina dan ahkirnya adalah bangkai yang rendah. Dengan demikian, ia bisa menyadari diri, dan memahami firman Allah swt.:
“Binasalah manusia, alangkah amat sangat kekafirannya? Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes sperma, Allah menciptakannya lalu menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya, kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya dalam kubur. “ (Q.s. Abasa: 17-21).



Manusia diciptakan dari rahasia ketiadaan yang hampir-hampir tidak pernah diperhitungkan, yang tentunya, tidak lebih dari tiada itu sendiri. Kemudian manusia dicipta dari debu, lalu dari sperma, selanjutnya dari segumpal darah, dan dari segumpal daging. Yang tidak ada telinga dan matanya, tidak ada daya hidup dan kekuatan. Semua itu dicipta setelah kondisinya pada tahap sangat minus, masih dihimpit oleh penyakit dan cacat, diberi watak-watak antagonis, sehingga mereka saling membunuh, lantas mereka benci pada penyakit, kelaparan dan dahaga. Manusia ingin mengetahui sesuatu, namun sesuatu itu membuatnya bodoh. Manusia ingin melupakan sesuatu, tetapi ia tetap saja ingat. Ia benci sesuatu, tetapi sesuatu malah bermanfaat baginya. Ia menyenangi sesuatu, tiba-tiba malah membuatnya menderita. Sementara la tidak bisa menghindarkan sedetik pun untuk lari dari ancaman nyawanya, akal, kesehatan, atau anggota badannya.

Dan akhirnya adalah maut, dan kemudian dihadang siksa serta hisab. Apabila la tergolong ahli neraka, maka, babi sekalipun lebih baik daripada dirinya. Lalu sisi mana la layak sombong? Padahal la adalah hamba sahaya hina yang tidak memiliki kekuasaan sedikit pun.

Al-Hasan Bashri berkata kepada sebagian orang yang sombong ketika berjalan, “Jalan macam itu, orang yang di dalam perutnya ada tinja.” Layakkah sombong orang yang mandi membersihkan kotoran badannya sehari dua kali, sementara begitu terus hidupnya?
Terapi takabur secara rinci, melalui empat metode:

Pertama: Ilmu
Rasulullah saw bersabda:
“Penyakit ilmu itu adalah sombong.” (Al-Hadits).

Sabdanya pula, “Janganlah kamu tergolong ulama yang sewenang-wenang, sebab ilmumu tidak akan sempurna karena kebodohanmu!” Sungguh sangat jarang orang berilmu selamat dari sifat sombong. Kadang-kadang merasa dirinya terpandai lebih dari manusia lain, yang merupakan kualifikasi mulia di hadapan Allah swt. Terkadang merasa dirinya paling religius dibanding yang lain. Dan kadang-kadang dalam kehidupan duniawi la merasa haknya paling layak untuk dihormati manusia. Bahkan la merasa heran jika orang-orang tidak tunduk kepadanya. Bila ini yang terjadi, maka sebenarnya orang yang berilmu demikian itu adalah lebih layak dikatakan sebagai orang bodoh. Sebab, ilmu yang hakiki itu adalah yang mampu mengantar seseorang untuk mengenal Tuhannya dan dirinya sendiri, serta takut akan akhir hidupnya kelak, dan takut berhadapan dengan hujjah Allah swt.

Sebaiknya, bila kita hendak berbuat dosa dan bersikap takabur, kita katakan pada diri sendiri, bahwa orang melakukan dosa lantaran kebodohannya. Sementara diri kita melakukan dosa karena ilmu yang kita miliki, sedangkan hujjah Allah atas diri kita lebih kuat.

Abu Darda’ berkata, “Barangsiapa bertambah ilmunya, maka bertambah pula ketawadhu’annya.
Dan Allah swt. berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad saw, “... dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Q.s. Asy-Syu’ara: 215).
Rasulullah saw bersabda, ‘Ada kaum yang membaca Al-Qur’an, mereka tidak melewati batas kerongkongannya (fasih), lalu mereka berkata, ‘Kami benar-benar membaca Al-Qur’an. Lalu adakah yang lebih fasih membacanya daripada kami’?” Kemudian Rasul saw menoleh, lantas bersabda, “Mereka itu adalah golongan kalian wahai ummat, merekalah yang menjadi penyala api neraka.
Karena inilah ulama salaf sangat hati-hati. Bahkan, Hudzaifah r.a. pernah salat berjamaah. Usai salam la berkata, “Hendaknya kalian mencari imam selain aku, atau kalian salat sendiri-sendiri saja! Sebab dalam diriku muncul pandangan, bahwa tidak ada lagi yang lebih utama daripada aku.
Sebaiknya kita mengambil pelajaran, banyak orang Islam yang melihat Umar r.a. sebelum memeluk Islam, lantas tetap menghinanya, sebagaimana sebelum Umar masuk Islam. Bisa jadi orang Islam seperti itu murtad, setelah melakukan penghinaan tersebut.

Orang takabur jelas penghuni neraka, dan menyombongi orang takabur itu bisa menjadi penghuni surga.
Banyak orang alim, namun akhir kehidupannya buruk, dan banyak orang bodoh akhirnya malah bahagia.
Bagaimana ulama bisa takabur, jika mengetahui kondisi tersebut? Padahal Nabi saw bersabda, “Orang yang berilmu nantinya didatangkan pada hari Kiamat, kemudian dilempar ke neraka, lalu isi perutnya keluar, lantas berputar seperti berputarnya khimar pada penggilingan berkeliling menemui penghuni neraka. Maka penghuni neraka bertanya, ‘MengapaAnda ini?’Lalu dijawab, Aku telah memerintahkan kebajikan, namun aku sendiri tidak melaksanakannya. Dan aku melarang kejahatan, tetapi aku malah melakukannya’. “ ,
Ilmuwan atau ulama mana yang selamat dari tragedi tersebut, mengapa mereka tidak takut sanksi takabur?
Allah swt. telah berfirman, tentang Bal’am bin Ba’ura, salah seorang ulama besar pada zamannya:
Maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia pun mengulurkan lidahnya (juga).” (Q.s. Al-A’raaf. 176).

Karena si Bal’am terlalu menuruti hawa nafsunya. Tentang ulama Yahudi, Allah swt. berfirman:
... adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab....” (Q.s. A1 Jumu’ah: 5).
Lihatlah dalam beberapa hadis mengenai ulama suu’, ketika kesombongannya mengalahkan ketakutannya kepada Allah swt Mereka berperilaku demikian, karena sibuk dengan ilmu yang tida berguna bagi agamanya, seperti perdebatan, bahasa dan sebagainya. Atau mereka menekuni ilmu, sementara batinnya kotor, sehinga kotoran jiwanya menumpuk.

Kedua: Wara’ dan ibadat.


Seorang ahli ibadat pun tidak bisa lepas dari takabur. Kadang-kadang muncul kesombongan sebagian mereka, sampai pada batas yang berkaitan dengan bencana dan kebahagiaan, dianggap karena karamahnya. Siapa pun yang menyakiti bahkan sampai mengakibatkan kematian, sehingga ada yang berkata, “Kalian lihat, apa yang telah ditimpakan Allah karena menyakitinya?” Maka, saat la disakiti oleh yang lain, la berkata, “Kalian bakal melihat musibah apa yang aka terjadi.”

Orang sombong tidak mengerti, bahwa sekelompok orang kafir pernah menghajar para Nabi. Namun mereka tetap menikmati kehidupan dunia, tidak tertimpa bencana. Kadang-kadang ketika di antara mereka masuk Islam, justru mereka bahagia di dunia dan akhirat. Seakan-akan orang sombong tersebut lebih utama daripada Nabi, dan orang yang menyakitinya lebih hina daripada orang-orang kafir.

Seorang ahli ibadat, seharusnya tawadhu’ ketika melihat orang berilmu, karena dirinya merasa bodoh. Sementara ketika melihat orang fasik seharusnya mengatakan, “Siapa tahu orang ini menutupi akhlak batinnya dengan pura-pura maksiat lahiriahnya. Sedangkan batinku ada kedengkian atau kesombongan bahkan kotoran tersembunyi, yang menyebabkan dendam Allah kepadaku, sampai amal-amalku yang bersifat lahiriah ditolak. Padahal Allah hanya memandang hati seseorang bukan wujud lahirnya.”
Di antara kotoran batin adalah takabur tersebut. Pernah diriwayatkan, dahulu ada laki-laki dari bani Israil yang populer sebagai penjahat. Ia disebut sebagai si jahat bani Israil, karena kemursalannya. Suatu ketika la duduk di samping seorang ahli ibadat. Dalam benaknya berkata, “Siapa tahu Allah mengasihiku karena berkatnya.” Diam-diam ahli ibadat tersebut juga berkata dalam hatinya, “Bagaimana orang fasik ini bisa duduk di dekatku?” Akhirnya ahli ibadat ini mengusirnya, “Pergilah dari sisiku!”

Allah swt. kemudian mewahyukannya kepada Nabi zaman itu, “Perintahlah keduanya agar memulai kembali amalnya. Aku benar-benar telah mengampuni si penjahat, dan menghapus pahala amal ahli ibadat itu. “
Kisah lain, ada laki-laki yang menzinai budak wanita dan seorang ahli ibadat. Laki-laki ini akhirnya sujud kepada Allah swt. Kemudian ahli ibadat tersebut langsung membentak, “Hai, bangun! Demi Allah, pasti Allah tidak akan mengampunimu!” Kemudian Allah swt. menurunkan wahyu, “Wahai orang yang bersumpah kepada-Ku, sebenarnya Aku tidak mengampuni dosamu!”

Bagi orang yang jeli, sangat waspada dengan kejadian seperti itu, lebih senang mengatakan seperti dalam kata-kata Atha’ As-Salami, karena wara’nya. Jika ada angin taufan menimpa manusia, la berkata, “Musibah itu tidak lain karena faktor diriku. Seandainya Atha’ mati, pasti mereka selamat.”
Dalam suatu kesempatan, sebagian sufi berkata, “Aku berharap rahmat bagi mereka, seandainya keadaanku tidak berada di antara mereka.”

Lihatlah, betapa banyak orang yang ikhlas beramal dengan penuh wara’, namun mereka tetap takut dengan dirinya. Bandingkan dengan orang yang terbebani amal-amal fisik, siapa tahu mereka terhindar dari riya’ dan bencana, kemudian berharap kepada Allah melalui amal yang dibanggakan.

Ketiga: Sombong karena keturunan.

Terapinya, melalui kontemplasi terhadap asal-usulnya, bahwa ayahnya tercipta dari sperma yang kotor, dan kakeknya tidak lain berasal dari tanah. Tidak ada yang lebih kotor dari sperma, dan tidak ada yang lebih hina dibanding tanah.
Bagi orang yang menyombongkan asal-usul keturunan, semakin sombong dengan perlakuan khusus orang lain. Seandainya nenek moyangnya bisa bicara, pasti mengatakan, “Hai siapa sebenarnya Anda? Bukankah Anda tidak lebih dari ulat yang berasal dari kencing orang yang kebetulan mempunyai status kebaikan?”
Karenanya, dikatakan oleh penyair:

Seandainya engkau bangga
pada darah biru nenek moyang
engkau benar pula
Namun betapa buruknya
apa yang telah dilahirkan mereka


Bagaimana bisa takabur, kelak pada hari Kiamat, orang bangsawan ahli dunia menjadi penyulut api neraka, dan merasa lebih baik jika mereka menjadi babi dan anjing, agar bisa bebas dari siksaan seperti itu.

Bagaimana mereka takabur, dengan membanggakan keturunan ahli agama, padahal kemuliaan mereka karena agama. Dan justru dari agama itu muncul tawadhu’? Malah di antara ahli agama itu ada yang menyesal, “Duh, seandainya aku dulu jadi serigala atau burung saja.” Mereka sangat takut akan akhirat karena kesombongan atas prestasi ilmu dan amalnya. Sangat mengherankan, orang takabur disebabkan keturunannya, sementara dirinya sendiri tidak memiliki perilaku yang luhur?

Keempat: Harta, rupawan dan pendukung.

Sesungguhnya takabur karena harta, rupa yang elok, dan banyak pendukung merupakan kebodohan yang melenceng dari jatidiri. Sebab, harta mengundang pencuri dan perampok. Demikian pula elok rupa dan ketampanan, bisa luluh oleh penyakit demam selama sebulan, dan bisa musnah oleh penyakit cacar sesaat. Bila ini disadari oleh seorang Muslim, bahwa batinnya penuh kotoran, la tidak akan pernah tergiur oleh sikap takabur lantaran ketampanan dan rupawan. Kalau saja la tidak mandi seminggu, pasti badannya lebih kotor daripada bangkai, karena bau badan, bau kotoran nafas, kotoran mata dan bau lainnya.

Apa yang disombongkan orang gembel dengan ketampanannya? Padahal, manusia itu sebenarnya amat menjijikkan, karena dalam perutnya ada kotoran dan najis.

http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=487%3Aterapi-takabur&catid=85%3Aartikel&Itemid=281&showall=1