Terbesar di Sitiung, Ratusan Santri Khatam Qur’an

Terbesar di Sitiung, Ratusan Santri Khatam Qur’an

Hidayatullah.com–Sebanyak 326 santri TPA/TPSQ se-Kecamatan Sitiung, Kabupatan Dharmasraya,  Sumbar, melaksanakan wisuda khatam Qur’an di Masjid Jamik Sitiung, Sabtu (22/02/2014).  Para santri berasal dari 20 TPA/TPSQ dari empat nagari, yakni Sitiung, Gunung Medan, Sungai Duo, dan Siguntur.

Bupati Dharmasraya H. Adi Gunawan dalam sambutannya mengaku bangga dan puas, karena khatam Qur’an tersebut.

“Saya berharap, anak-anak semua menjadi generasi masa depan Dharmasraya yang mampu mencapai cita-cita setinggi langit, tapi hati dan jiwa tetap di masjid. Artinya, jadilah intelektual namun tetap dilandasi iman dan taqwa,” ujar Adi.

“Apalagi Sitiung adalah kecamatan pendidikan. Agama harus menjadi landasan yang kuat sebagai benteng moral menghadapi tuntutan zaman,” imbuhnya.

Dia menjelaskan, untuk mendukung pendidikan agama bagi generasi muda, Pemkab telah menelurkan sejumlah kebijakan termasuk intensif untuk guru mengaji, garin masjid, imam, dan khatib.  Dirinya juga berniat menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) yang mewajibkan khatam sebelum tamat sekolah.

Sementara itu, Ketua Panitia kegiatan, Amril M mengatakan, tujuan kegiatan wisuda khatam Qur’an  itu untuk meningkatkan motivasi agar generasi muda gemar membaca Qur’an sekaligus menyukseskan gerakan magrib mengaji.

Adapun Camat Sitiung Amran Amir menyebutkan kegiatan yang digelar persatuan guru TPA/TPSQ itu merupakan yang kedua kali digelar. “Sitiung telah lama dikenal sebagai gudangnya ulama Dharmasraya.  Citra ini akan kami pertahankan,” tegasnya  semangat.

Pada wisuda itu, Nagari Gunung Medan mencatatkan jumlah santri terbanyak yakni 117 santri. Sedangkan  Intan Adelia, siswa kelas III SD 05 Sitiung, yang berasal dari TPA Masjid Baitul Mukminin, Koto Tuo, menjadi santri termuda. *

http://www.hidayatullah.com/read/2014/02/24/17094/terbesar-di-sitiung-ratusan-santri-khatam-quran.html

Makna Ihsan


Tanya : Apa makna ihsan yang disebutkan dalam hadits :
الْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Ihsaan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Namun apabila engkau tidak mampu melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu”.
Jawab :
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, akan kami ambilkan penjelasan Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbaad hafidhahullah sebagai berikut :
(( “Maknanya adalah engkau beribadah kepada-Nya seakan-akan engkau berdiri di hadapan-Nya seraya melihat-Nya. Barangsiapa yang dapat melakukannya, maka ia akan beribadah dengan penuh dan sempurna. Namun barangsiapa yang tidak dapat beribadah dengan keadaan seperti itu, maka wajib baginya untuk merasa Allah mengawasinya, tidak ada sesuatupun yang luput dari (pengawasan)-Nya. Oleh karena itu, ia akan berhati-hati bahwa Allah melihatnya ketika Allah melarangnya, serta ia beramal ketika dalam kondisi Allah melihatnya ketika Ia memerintahnya.
Ibnu Rajab dalam kitabnya yang berjudul Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam (1/126) saat mensyarah hadits ini berkata:
“Dan perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang penafsiran al-ihsaan : ‘engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya....dst.’; mengisyaratkan bahwa seorang hamba beribadah kepada Allah dengan sifat ini, yaitu ia merasakan kedekatan Allah, merasa ada di hadapan Allah seolah-olah melihat-Nya. Hal itu menghasilkan rasa takut, segan, dan mengagungkan-Nya sebagaimana terdapat riwayat Abu Hurairah : ‘Hendaknya engkau takut kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya’.[1] Keadaan seperti itu juga menghasilkan ketulusan dalam beribadah serta berusaha keras untuk memperbaiki, melengkapi, dan menyempurnakannya”.
Ibnu Rajab juga berkata (1/128-129) :
“Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘namun apabila engkau tidak mampu melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu’; dikatakan bahwa sabda beliau tersebut merupakan ta’liil sabda beliau sebelumnya. Hal itu dikarenakan seorang hamba apabila diperintahkan untuk merasa selalu diawasi oleh Allah (muraqabah)  dalam ibadah dan menghadirkan kedekatan Allah dengan hamba-Nya hingga hamba tersebut seolah-olah melihat-Nya, maka boleh jadi itu sulit baginya. Maka untuk mewujudkannya, ia meminta bantuan keimanannya bahwa Allah senantiasa melihatnya, mengetahui apa yang ia lakukan baik yang terang-terangan maupun rahasia, mengetahui dhahir dan batinnya; tidak ada sedikitpun urusannya yang tersembunyi dari-Nya. Jika hamba tersebut dapat merealisasikannya, maka mudah baginya untuk berpindah kepada kedudukan yang kedua, yaitu senantiasa dilingkupi pengetahuan akan kedekatan Allah dan kebersamaan-Nya dengan hamba-Nya, hingga seakan-akan hamba itu melihat-Nya.
Dan dikatakan juga : Bahkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut merupakan isyarat bahwa barangsiapa yang merasa berat baginya untuk beribadah kepada Allah (dalam keadaan) seakan-akan melihat-Nya, hendaklah ia beribadah kepada Allah dengan menghadirkan bahwa Allah melihatnya dan mengawasinya. Lalu hendaknya ia merasa malu terhadap penglihatan (pengawasan) Allah kepadanya”.
Ibnu Rajab melanjutkan (1/130) :
“Terdapat beberapa hadits shahih yang menganjurkan untuk menghadirkan kedekatan ini dalam ibadah-ibadah”.
Kemudian beliau (Ibnu Rajab) menyebutkan sejumlah hadits, lalu berkata :
“Barangsiapa yang memahami nash-nash ini dengan adanya tasybiih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), huluul (Allah menitis ke tubuh makhluk-Nya), atau ittihaad (bersatunya Allah dengan makhluk-Nya; maka itu hanyalah disebabkan karena kebodohannya, buruknya pemahaman terhadap Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam – padahal Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari semua hal tersebut. Maha Suci Allah yang tidak ada sesuatu pun menyerupai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” )).
[selesai – dari kitab Syarh Hadiits Jibriil fii Ta’liimid-Diin oleh Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbaad Al-Badr hafidhahullah, hal. 74-75 – abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 09041435/08022014 – 21:15].



[1]        Diriwayatkan oleh Muslim no. 10, Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 167, dan Ibnu mandah dalam Al-Iimaan 1/152.- Abul-Jauzaa’
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2014/02/makna-ihsan.html
 

Aku Diajarkan Untuk Membenci Islam


way 

“Selama ratusan tahun, kami diajarkan baik dalam sejarah dan buku-buku agama untuk membenci agama Islam dan menghinanya. Semua karikatur dan fitnah terhadap Nabi Muhammad yang beredar di media, adalah bagian dari materi pelajaran dan ujian di sekolah.”

Ini adalah cerita perjalananku dalam menemukan Islam.

Aku dilahirkan di kota Athena, Yunani dari keluarga Yunani Orthodok. Keluarga ayahku tinggal di Istanbul Turki hampir sepanjang hidup mereka, dan ayahku pun lahir dan dibesarkan disana. Keluarga ayahku adalah keluarga kaya, berpendidikan, dan seperti layaknya keluarga kristen orthodok yang tinggal di negara Islam, mereka pun melaksanaan ibadah sesuai agama mereka.

Kemudian datang suatu waktu dimana Pemerintah Turki memutuskan untuk mengusir warga Yunani mayoritas keluar dari Turki dan menyita semua kekayaan, rumah serta usaha mereka. Sehingga akhirnya keluarga ayahku harus kembali ke Yunani dengan tangan kosong. Itulah yang dilakukan muslim Turki terhadap mereka, dan hal tersebut menjadi sebuah validasi bagi mereka untuk membenci Islam.

Keluarga ibuku tinggal di perbatasan antara Yunani dan Turki. Pada saat penyerangan oleh Turki, tanah perbatasan tersebut dikuasi oleh Turki, dan mereka membakar rumah-rumah penduduk Yunani. Untuk menyelamatkan diri, warga-warga Yunani yang tinggal disana lari ke kota utama Yunani. Hal ini menjadi alasan untuk lebih membenci Muslim Turki.

Yunani selama lebih dari 400 tahun diduduki oleh Turki, dan kami diajarkan untuk mempercayai bahwa setiap kejahatan yang dilakukan terhadap warga Yunani, adalah tanggung jawab Islam. Orang-orang Turki adalah muslim dan kejahatan yang mereka lakukan mencerminkan kepercayaan agamanya.

Hal tersebut sebenarnya adalah rencana bijak yang dilakukan oleh Gereja Orthodok Yunani (agama dan politik di Yunanani adalah satu kesatuan), untuk membangun kebencian di hati setiap orang Yunani terhadap Islam. Ini dilakukan untuk melindungi agama mereka dan mencegah warganya berpindah ke agama Islam.

Jadi selama ratusan tahun, kami diajarkan dalam sejarah dan buku-buku Islam untuk membenci dan menghina agama Islam.

Dalam buku kami, Islam bukanlah suatu agama dan Muhammad (keberkahan untuknya) bukanlah seorang nabi! Ia hanyalah pemimpin dan politikan cerdas yang mengumpulkan berbagai aturan dan hukum dari Yahudi dan Kristen, serta menambahkan beberapa idenya sendiri yang kemudian digunakan untuk menaklukan dunia.

Di sekolah kami diajarkan untuk menghina Muhammad dan istrinya atau para pengikutnya. Semua karikatur dan fitnah terhadap beliau yang beredar di media hari ini sebenarnya adalah bagian dari pelajaran dan materi ujian kami.

Alhamdulillah, Allah melindungi hatiku, dan kebencian terhadap Islam tidak memenuhi hatiku.
Warga Yunani lainnya pun juga berhasil menghilangkan beban warisan dari agama Orthodok yang disimpan di pundak mereka dan mereka telah terbuka. Atas kehendak Allah, mata, telinga dan hati mereka ditunjukkan untuk melihat Islam sebagai agama yang benar yang dikirim Allah, dan Muhammad adalah nabi yang sebenernya serta penutup dari semua nabi.

Orang-orang muslim percaya bahwa Allah mengirimkan utusannya untuk umat manusia sebagai pemberi petunjuk bagi mereka. Dimulai dari Adam, Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishak, Musa dan Isa (semoga keberhakan untuk mereka semua). Namun, petunjukkan Allah yang terakhir di tutup oleh Nabi Muhammad (keberkahan untuknya).

Hal yang sangat membantukku adalah kenyataan bahwa kedua orangtuaku bukanlah orang yang sangat religius. Mereka jarang sekali melakukan ibadah sesuai agama mereka, dan hanya membawaku ke gereka pada saat pernikahan atau pemakaman.

Apa yang membawa ayahku keluar dari agamanya adalah korupsi yang ia lihat setiap harinya dilakukan oleh para pendeta.

Bagaimana mungkin pendeta-pendeta tersebut berbicara tentang tuhan dan menganjurkan kebaikan, dan pada saat yang sama mencuri dari sumbangan untuk gereja, membeli vila dan memiliki mobil mercedes serta menyebarkan homoseksualiti diantara mereka? Apakah ini adalah perwakilan yang benar dari agama yang akan mengarahkan kita, membenarkan kita dan menunjukkan jalan pada kita untuk lebih dekat kepada tuhan? Ayahku kecewa pada mereka dan ini mendorong dia untuk menjadi atheis.

Gereja kehilangan banyak pengikutnya, setidaknya di negaraku, karena tingkah laku para pendetanya. Dalam Islam seorang syeikh atau murid yang mendalami agama membantu dan mengarahkan sesamanya dengan semangat yang tinggi dan hanya dengan keinginan untuk menyenangkan Allah dan mendapatkan jalan mereka menuju surga.

Di Kristen, menjadi pendeta adalah pekerjaan yang menguntungkan. Korupsi yang terjadi didalam lingkungan gereja, mendorong banyak anak-anak muda untuk menjauh dari agama dan mengarahkan mereka untuk mencari yang lain.

Sebagai seorang remaja aku senang membaca berbagai macam buku dan aku mereka kurang puas dan yakin dengan kristen. Aku percaya akan Tuhan, merasa takut dan mencintai-Nya, tetapi hal lainnya membuatku bingung.

Ku mulai mencari disekitarku, tetapi tak pernah mencari tahu tentang Islam (mungkin karena latar belakang keluargaku terhadap Islam).

Alhamdulillah, Allah mengasihani jiwaku dan menunjukkan jalan dari kegelapan menuju cahaya, dari neraka ke surgaNya.

Allah memberikanku seorang suami, yang terlahir muslim, menanamkan benih cinta pada hati kami dan menggiring kita hingga menikah tanpa ada perhatian khusus diantara kita mengenai perbedaan agama.

Suamiku bersedia menjawab setiap pertanyaanku tentang agamanya, tanpa menghina kepercayaanku (meskipun salah apa yang ada dalam agamaku). Ia pun tak pernah memberikan tekanan atau bahkan memintaku untuk mengganti agamaku.

Setelah tiga tahun menikah, memiliki kesempatan untuk mengetahui lebih jauh tentang Islam dan membaca kitab suci Al Quran, sebagaimana buku agama lainnya, aku merasa yakin bahwa tidak ada hal yang dinamakan trinitas, begitupun dengan Yesus sebagai Tuhan.

Orang muslim percaya pada satu Tuhan yang tak ada bandingannya. Yang tidak memiliki anak, atau istri dan tak ada yang layak disembah selain kepada-Nya! Tidak ada yang menandingi keilahian dan keagungan-Nya.

Dalam Quran Allah mendeskripsikan tentang dirinya;Al Ikhlas 1-4

“Katakanlah: (Muhammad) Dialah Allah Yang Maha Esa, Allah tempat meminta segala sesuatu, (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”
Tidak ada seorang pun yang berhak untuk dipanggil, dimintai permohonannya, dan disembah selain Allah.

Islam adalah penerimaan dan kepatuhan terhadap apa yang diajarkan oleh Allah yang telah diturunkan kepada nabi terakhirnya Muhammad.

Aku menjadi muslim, dan menyimpan rahasia ini dari keluarga dan teman-teman selama bertahun-tahun. Aku dan suamiku tinggal di Yunani dan mencoba untuk menjalankan Islam, tetapi hal tersebut sangat susah bahkan nyaris tidak memungkinkan.

Di negara asalku tidak ada mesjid, tidak ada akses untuk mempelajari Islam, tidak ada orang yang melakukan shalat, puasa atau wanita yang menggunakan hijab.

Hanya ada beberapa imigran muslim yang datang ke Yunani untuk mencari kehidupan ekonomi yang lebih baik dan membiarkan gaya hidup barat menyerang mereka dan akhirnya mencemari mereka. Dan hasilnya, mereka tidak mengikuti agama mereka dan mereka benar-benar tersesat.

Kala itu benar-benar sangat sulit untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban agama Islam, terutama bagiku, yang terlahir bukan sebagai muslim dan ku tak memiliki pendidikan Islam.

Suami dan aku harus shalat dan menjalankan puasa mengandalkan kalender, tidak ada Adzan yang terdengar di telinga, tidak ada jamaah Islam yang mendukung. Kami merasa setiap hari berjalan mundur. Keyakinan kami menurun dan ombak membawa kami.

Kemudian ketika anak perempuan kami lahir, kami memutuskan untuk pindah ke negara muslim, untuk menyelamatkan jiwa kami dan anak kami, jika Tuhan mengijinkan. Kami tak ingin membesarkan anak kami di budaya barat yang terbuka dan harus berjuang untuk mempertahankan identitasnya dan mungkin akan berakhir dengan kesesatan.

Segala puji bagi Allah, Ia telah menunjukkan kami dan memberi kami kesempatan untuk pindah ke negara Islam, dimana kami bisa mendengar suara Adzhan yang merdu dan kami bisa meningkatkan pengetahuan Islam kami serta lebih mencintai Allah dan juga Nabi kita Muhammad. [wn/onislam]

http://www.eramuslim.com/dakwah-mancanegara/aku-diajarkan-untuk-membenci-islam.htm#.UwWF7YUjXdk

Maulud Nabi dalam Tinjauan Sejarah


maulid-nabi 
Tanggal 12 rabi’ul awal telah menjadi salah satu hari istimewa bagi sebagian kaum muslimin. Hari ini dianggap sebagai hari kelahiran Nabi akhir zaman, sang pembawa risalah penyempurna, Nabi agung Muhammad shallallahu alaihi wa ‘alaa alihi wa sahbihi wa sallam. Perayaan dengan berbagai acara dari mulai pengajian dan dzikir jama’ah sampai permainan dan perlombaan digelar untuk memeriahkan peringatan hari yang dianggap istimewa ini. Bahkan ada di antara kelompok thariqot yang memperingati maulid dengan dzikir dan syair-syair yang isinya pujian-pujian berlebihan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Mereka meyakini bahwa ruh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang mulia akan datang di puncak acara maulid. Oleh karena itu, pada saat puncak acara pemimpin thariqot tersebut memberikan komando kepada peserta dzikir untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan ruh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang hanya diketahui oleh pemimpin thariqot.

Sungguh aqidah semacam ini sama persis dengan aqidah orang-orang hindu yang meyakini bangkitnya roh leluhur. Namun sayangnya sebagian kaum muslimin menganggap hal ini sebagai bentuk ibadah. Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un, kesesatan mana lagi yang lebih parah dari kesesatan ini…

Kapankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan?

Pada hakekatnya para ahli sejarah berselisih pendapat dalam menentukan sejarah kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, terutama yang terkait dengan bulan, tanggal, hari, dan tempat di mana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dilahirkan.

Pertama: Bulan kelahiran

Pendapat yang paling masyhur, beliau dilahirkan di bulan Rabi’ul Awal. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Bahkan dikatakan oleh Ibnul Jauzi sebagai kesepakatan ulama.
Namun di sana ada sebagian yang berpendapat bahwa beliau dilahirkan di bulan safar, Rabi’ul Akhir, dan bahkan ada yang berpendapat beliau dilahirkan di bulan Muharram tanggal 10 (hari Asyura). Kemudian sebagian yang lain berpendapat bahwa beliau lahir di bulan Ramadlan. Karena bulan Ramadlan adalah bulan di mana beliau mendapatkan wahyu pertama kali dan diangkat sebagai nabi. Pendapat ini bertujuan untuk menggenapkan hitungan 40 tahun usia beliau shallallahu ‘alahi wa sallam ketika beliau diangkat sebagai nabi.

Kedua: Tanggal kelahiran

Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Mulim bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari senin. Kemudian beliau menjawab: “Hari senin adalah hari dimana aku dilahirkan dan peryama kali aku mendapat wahyu.” Akan tetapi para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal berapa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dilahirkan. Di antara pendapat yang disampaikan adalah: Hari senin Rabi’ul Awal (tanpa ditentukan tanggalnya), tanggal 2 Rabi’ul Awal, tanggal 8, 10, 12, 17 Rabiul Awal, dan 8 hari sebelum habisnya bulan Rabi’ul Awal.

Pendapat yang lebih kuat

Berdasarkan penelitian ulama ahli sejarah Muhammad Sulaiman Al Mansurfury dan ahli astronomi Mahmud Basya disimpulkan bahwa hari senin pagi yang bertepatan dengan permulaan tahun dari peristiwa penyerangan pasukan gajah dan 40 tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan atau bertepatan dengan 20 atau 22 april tahun 571, hari senin tersebut bertepatan dengan tanggal 9 Rabi’ul Awal. (Ar Rahiqum Makhtum).

Tanggal wafatnya Beliau


Para ulama ahli sejarah menyatakan bahwa beliau meninggal pada hari senin tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H dalam usia 63 tahun lebih empat hari.

Satu catatan penting yang perlu kita perhatikan dari dua kenyataan sejarah di atas. Antara penentuan tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan tanggal wafatnya beliau shallallahu ‘alahi wa sallam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa para ulama tidak banyak memberikan perhatian terhadap tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Karena penentuan kapan beliau dilahirkan sama sekali tidak terkait dengan hukum syari’at. Beliau dilahirkan tidak langsung menjadi nabi, dan belum ada wahyu yang turun di saat beliau dilahirkan. Beliau baru diutus sebagai seorang nabi di usia 40 tahun lebih 6 bulan. Hal ini berbeda dengan hari wafatnya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, seolah para ulama sepakat bahwa hari wafatnya beliau adalah tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H. Hal ini karena wafatnya beliau berhubungan dengan hukum syari’at. Wafatnya beliau merupakan batas berakhirnya wahyu Allah yang turun. Sehingga tidak ada lagi hukum baru yang muncul setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alahi wa sallam.

Maka jika ada pertanyaan, tanggal 12 Rabi’ul Awal itu lebih dekat sebagai tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam ataukah tanggal wafatnya Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam?? Orang yang bisa memahami sejarah akan mengatakan bahwa tanggal 12 Rabi’ul Awal itu lebih dekat pada hari wafatnya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Karena dalam masalah tanggal kelahiran para ulama ahli sejarah berselisih sementara dalam masalah wafatnya tidak ditemukan adanya perselisihan.

Setelah kita memahami hal ini, bisa kita tarik kesimpulan bahwa tanggal 12 Rabi’ul Awal yang diperingati sebagai hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pada hakekatnya lebih dekat pada peringatan hari wafatnya Nabi yang mulia Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Oleh karena itu, sikap sebagian besar kaum muslimin yang selama ini memperingati hari maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam sebenarnya mirip dengan tindakan kaum nasrani dalam memperingati tanggal 25 Desember. Mereka beranggapan bahwa itu adalah tanggal kelahiran Yesus padahal sejarah membuktikan bahwa Yesus tidak mungkin dilahirkan di bulan Desember. Dengan alasan apa lagi kita hendak merayakan 12 Rabi’ul Awal sebagai peringatan maulid??

Sejarah munculnya peringatan maulid

Disebutkan para ahli sejarah bahwa kelompok yang pertama kali mengadakan maulid adalah kelompok Bathiniyah, yang mereka menamakan dirinya sebagai bani Fatimiyah dan mengaku sebagai keturunan Ahli Bait (keturunan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam). Disebutkan bahwa kelompok batiniyah memiliki 6 peringatan maulid, yaitu maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, maulid Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, maulid Fatimah, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid penguasa mereka. Daulah Bathiniyah ini baru berkuasa pada awal abad ke-4 H. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam baru muncul di zaman belakangan, setelah berakhirnya massa tiga abad yang paling utama dalam umat ini (al quruun al mufadholah). Artinya peringatan maulid ini belum pernah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabat, tabi’in dan para Tabi’ tabi’in. Al Hafid As Sakhawi mengatakan:

“Peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam belum pernah dinukil dari seorangpun ulama generasi terdahulu yang termasuk dalam tiga generasi utama dalam islam. Namun peringatan ini terjadi setelah masa itu.”

Pada hakekatnya, tujuan utama daulah ini mengadakan peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah dalam rangka menyebarkan aqidah dan kesesatan mereka. Mereka mengambil simpati kaum muslimin dengan kedok cinta ahli bait Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. (Dhahiratul Ihtifal bil Maulid An Nabawi karya Abdul Karim Al Hamdan)
 
Siapakah Bani Fatimiyah

Bani Fatimiyah adalah sekelompok orang Syi’ah pengikut Ubaid bin Maimun Al Qoddah. Mereka menyebut dirinya sebagai bani Fatimiyah karena menganggap bahwa pemimpin mereka adalah keturunan Fatimah putri Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Meskipun aslinya ini adalah pengakuan dusta. Oleh karena itu nama yang lebih layak untuk mereka adalah Bani Ubaidiyah bukan Bani Fatimiyah. Kelompok ini memiliki paham syi’ah rafidhah yang menentang ahlu sunnah, dari sejak didirikan sampai masa keruntuhannya. Berkuasa di benua Afrika bagian utara selama kurang lebih dua abad. Dimulai sejak keberhasilan mereka dalam meruntuhkan daulah Bani Rustum tahun 297 H dan diakhiri dengan keruntuhan mereka di tangan daulah Salahudin Al Ayyubi pada tahun 564 H. (Ad Daulah Al Fathimiyah karya Ali Muhammad As Shalabi).

Daulah Fatimiyah ini memiliki hubungan erat dengan kelompok syi’ah Al Qaramithah Bathiniyah. Perlu diketahui bahwa Kelompok Al Qaramithah Bathiniyah ini memiliki keyakinan yang sangat menyimpang dari ajaran islam. Diantaranya mereka hendak menghilangkan syariat haji dalam agama islam. Oleh karena itu, pada musim haji tahun 317 H kelompok ini melakukan kekacauan di tanah haram dengan membantai para jama’ah haji, merobek-robek kain penutup pintu ka’bah, dan merampas hajar aswad serta menyimpannya di daerahnya selama 22 tahun. (Al Bidayah wan Nihayah karya Ibn Katsir).

Siapakah Abu Ubaid Al Qoddah

Nama aslinya Ubaidillah bin Maimun, kunyahnya Abu Muhammad. Digelari dengan Al Qoddah yang artinya mencolok, karena orang ini suka memakai celak sehingga matanya kelihatan mencolok. Pada asalnya dia adalah orang yahudi yang membenci islam dan hendak menghancurkan kaum muslimin dari dalam. Dia menanamkan aqidah batiniyah. Dimana setiap ayat Al Qur’an itu memiliki makna batin yang hanya diketahui oleh orang-orang khusus diantara kelompok mereka. Maka dia merusak ajaran islam dengan alasan adanya wahyu batin yang dia terima dan tidak diketahui oleh orang lain. (Al Ghazwul Fikr & Ad Daulah Al Fathimiyah karya Ali Muhammad As Shalabi).

Dia adalah pendiri dan sekaligus orang yang pertama kali memimpin bani Fatimiyah. Pengikutnya menggelarinya dengan Al Mahdi Al Muntadhor (Al Mahdi yang dinantikan kedatangannya). Berasal dari Iraq dan dilahirkan di daerah Kufah pada tahun 206 H. Dirinya mengaku sebagai keturunan salah satu ahli bait Ismail bin Ja’far As Shadiq melalui pernikahan rohani (nikah non fisik). Namun kaum muslimin di daerah Maghrib mengingkari pengakuan nasabnya. Yang benar dia adalah keturunan Said bin Ahmad Al Qoddah. Dan terkadang orang ini mengaku sebagai pelayan Muhammad bin Ja’far As Shodiq. Semua ini dia lakukan dalam rangka menarik perhatian manusia dan mencari simpati umat. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak diantara orang-orang bodoh daerah afrika yang membenarkan dirinya dan menjadikannya sebagai pemimpin. (Al Bidayah wan Nihayah karya Ibn Katsir & Ad Daulah Al Fathimiyah karya Ali Muhammad As Shalabi).

Sikap para ulama terhadap Bani Ubaidiyah (Fatimiyah)

Para ulama ahlus sunnah telah menegaskan status kafirnya bani ini. Karena aqidah mereka yang menyimpang. Para ulama menegaskan tidak boleh bermakmum di belakang mereka, tidak boleh menshalati jenazah mereka, tidak boleh adanya hubungan saling mewarisi di antara mereka, tidak boleh menikah dengan mereka, dan sikap-sikap lainnya sebagaimana yang selayaknya diberikan kepada orang kafir. Diantara ulama Ahlus Sunnah yang sezaman dengan mereka dan secara tegas menyatakan kekafiran mereka adalah As Syaikh Abu Ishaq As Siba’i. Bahkan beliau mengajak untuk memerangi mereka. Syaikh Al Faqih Abu Bakr bin Abdur Rahman Al Khoulani menceritakan:
“Syaikh Abu Ishaq bersama para ulama lainnya pernah ikut memerangi bani Aduwillah (Bani Ubaidiyah) bersama bersama Abu Yazid. Beliau memberikan ceramah di hadapan tentara Abu Yazid: ‘Mereka mengaku ahli kiblat padahal bukan ahli kiblat, maka kita wajib bersama pasukan ini yang merupakan ahli kiblat untuk memerangi orang yang bukan ahli kiblat (yaitu Bani Ubaidiyah)…’”
Diantara ulama yang ikut berperang melawan Bani Ubaidiyah adalah Abul Arab bin Tamim, Abu Abdil Malik Marwan bin Nashruwan, Abu Ishaq As Siba’i, Abul Fadl, dan Abu Sulaiman Rabi’ Al Qotthan. (Ad Daulah Al Fathimiyah karya Ali Muhammad As Shalabi).

Setelah kita memahami hakekat peringatan maulid yang sejatinya digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan aqidah kekafiran bani Ubaidiyah…akankah kita selaku kaum muslimin yang membenci mereka melestarikan syi’ar orang-orang yang memusuhi ajaran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam??

Perlu kita ketahui bahwa merayakan maulid bukanlah wujud cinta kita kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Bukankah para sahabat, ulama-ulama Tabi’in, dan Tabi’ Tabi’in adalah orang-orang yang paling mencintai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Namun tidak tercatat dalam sejarah bahwa mereka merayakan peringatan maulid. Akankah kita katakan mereka tidak mencintai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.

Seorang penyair mengatakan:

Jika cintamu jujur tentu engkau akan mentaatinya…
karena orang yang mencintai akan taat kepada orang yang dia cintai…

Cinta yang sejati bukanlah dengan merayakan hari kelahiran seseorang… namun cinta yang sejati adalah dibuktikan dengan ketaatan kepada orang yang dicintai. Dan bagian dari ketaatan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah dengan tidak melakukan perbuatan yang tidak beliau ajarkan.

Wallahu Waliyyut Taufiq

Penyusun: Ust. Ammi Nur Ba’its
Artikel KisahMuslim.com
http://kisahmuslim.com/maulud-nabi/

Menyatukan Umat Islam, Dengan Salam

Ummat Islam di berbagai belahan dunia, saat ini dalam keadaan centang berentang. Sebagian ummat Islam menyimpan kebencian, permusuhan dan dendam kepada yang lain. Kondisi ini sngatlah memprihatinkan setiap orang yang beriman, termasuk anda. Bukankah demikian sobat?

Namun apa yang kuasa anda lakukan untuk menyatukan kembali ummat Islam agar saling kasih mengasihi dan sayang menyayangi?Banyak hal yang harus kita lakukan untuk dapat mewujudkan impian itu. Namun apapun kiat untuk menyatukan ummat bila tidak segera diterapkan dan hanya diucapkan, maka sia-sia. Karena itu, mari kita bersama-sama, mengayuhkan kaki walau hanya selangkah mempersatukan ummat Islam. Berikut satu kiat mudah namun manjur yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk menyatukan ummat Islam, yaitu MENEBARKAN SALAM.

Setiap berjumpa dengan muslim siapapun; yang anda kenal atau tidak, yang sepaham atau berbeda paham, saudara atau bukan, segera ucapkan salam. Awas! Kebiasaan mengucapkan salam hanya kepada yang anda kenal adalah indikasi dekatnya hari Qiyamat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ السَّلَامَ لِلْمَعْرِفَةِ

Diantara tanda-tanda dekatnya Qiyamat ialah ucapan salam hanya disampaikan kepada yang dikenal saja“. (HR At Thabrani, Al Baihaqy dll, dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no. 648)

Sobat! Jangan pernah menanti ucapan salam dari siapapun, namun jadilah orang pertama yang mengucapkan salam kepada siapapun. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَدْخُلُوا الجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلا تُؤمِنوا حَتى تحَابُّوا، أَوَلا أدُلُّكُمْ عَلَى شَئٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحاَبَبْتُم؟ أفْشُوا السَّلام بَيْنَكُم

Kalian tidak dapat masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidaklah dapat menggapai kesempurnaan iman hingga kalian saling mencintai. Sudikah kalian aku tunjukkan kepada satu hal yang bila kalian lakukan niscaya kalian salin mencintai? TEBARKANLAH UCAPAN SALAM di tengah-tengah kalian“. (HR. Muslim)

Penulis: Ustadz DR. Muhammad Arifin Baderi, Lc., MA.

Al Hasan Bin Ali, Pemersatu Umat Islam


Sahabat Abu Bakrah mengisahkan, suatu hari Nabi shallallahu alaihi wa sallam sedang memangku cucunya Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhumaSambil memangku cucunya, beliau berbicara kepada kami. Sesekali beliau menghadap kepada kami, dan sesekali beliau mencium cucunya. Lalu beliau bersabda:

إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِّدٌ، إِنْ يَعِشْ يُصْلِحْ بَيْنَ طَائِفَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Sejatinya cucuku ini adalah seorang pemimpin besar. Dan bila ia berumur panjang, niscaya dia akan mempersatukan/ mendamaikan antara dua kelompok ummat Islam yang sedang bertikai” (HR Ahmad dan lainnya).

Sungguh benar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Pada tahun 40 atau 41 Hijriyah, setelah melalui peperangan sengit antara pasukan sahabat Mu’awiyyah dan Pasukan sahabat Al Hasan bin Ali Bin Ali Thalib, kebesaran jiwa Al Hasan cucu Nabi shallallahu alaihi wa sallam benar-benar terbukti. Dengan segala kebesaran jiwanya, beliau menyerahkan kepemimpinan  umat Islam yang ada di tangannya, kepada sahabat Mu’awiyyah, demi menyatukan ummat Islam yang sedang berselisih ketika itu.

Sejak saat itulah ummat Islam bersatu dibawah kepemimpinan sahabat Mu’awiyyah, dan terbuktilah kebenaran sabda Nabi bahwa cucunya ini menyatukan antara dua kelompok dari umat Islam yang bertikai. Dan selanjutnya tahun serah terima kekuasaan ini dikenal dengan sebutan Tahun Persatuan.

Semoga Allah menyatukan kita bersama sahabat Al Hasan bin Ali dan juga sahabat Mu’awiyah radhiallahu’anhum jami’an di surga-Nya. Amiin.

Penulis: Ustadz DR. Muhammad Arifin Baderi, Lc, MA.

Panduan Praktis Zakat Barang Perdagangan

Oleh
Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz Lc, MA

Zakat Perdagangan atau Perniagaan ialah zakat yang dikeluarkan atas kepemilikan harta apa saja selain emas dan perak berupa barang, properti, berbagai jenis hewan, tanaman, pakaian, perhiasan dan selainnya yang dipersiapkan untuk diperdagangkan, baik secara perorangan maupun perserikatan (seperti CV, PT, Koperasi dan sebagainya).

Sebagian Ulama mendefenisikannya sebagai segala sesuatu yang dipersiapkan untuk diperjualbelikan dengan tujuan memperoleh keuntungan.

HUKUM ZAKAT PERDAGANGAN
Para Ulama berselisih pendapat tentang hukum zakat barang perdagangan dalam dua pendapat:

Pendapat Pertama : Wajib mengeluarkan zakat barang-barang perdagangan. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama. Sebagian mereka mengatakan bahwa hal ini adalah ijma’ (konsensus) para sahabat dan tabi’in.

Mereka melandasi pendapatnya dengan dalil-dalil dari al-Qur’ân, as-Sunnah, atsar para sahabat, tabi’in serta qiyâs.

A. Dalil Dari Al-Qur’ân Yaitu Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ

Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh ) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.” [al-Baqarah/2:267]

Imam al-Bukhâri telah membuat bab khusus tentang hal ini dalam kitab Zakat dalam Shahih-nya, yaitu: Bab Shadaqatu al-Kasbi wa at-Tijarati (bab zakat usaha dan perdagangan).

Firman Allâh Azza wa Jalla , “Dari hasil usahamu,” maknanya ialah perdagangan.[1]

B. Dalil Dari As-Sunnah yaitu hadits Samurah bin Jundab Radhiyallahu anhu , ia berkata: “Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari apa yang kami persiapkan untuk diperjual-belikan.”[2]

Dan hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu secara marfu’:

فِى الإِبِلِ صَدَقَتُهَا ، وَفِى الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِى الْبَزِّ صَدَقَتُهُ

Pada onta ada zakatnya, dan pada kambing ada zakatnya, dan pada pakaian ada zakatnya. [3]

Kata al-Bazz (di dalam hadits di atas) artinya pakaian, termasuk didalamnya kain, permadani, bejana dan selainnya. Benda-benda ini jika dipergunakan untuk kepentingan pribadi, maka tidak ada zakatnya tanpa ada perbedaan pendapat diantara para Ulama. Dari sini menjadi jelaslah bagi kita, bahwa yang dimaksud ialah jika benda-benda tersebut dijadikan obyek bisnis.

Hanya saja kedua hadits tersebut dha’if (lemah). Tetapi masih bisa berdalil tentang wajibnya zakat barang perdagangan dengan memasukkannya ke dalam keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu :

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ

Beritahukan kepada mereka, bahwa Allâh mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari (harta-harta) orang-orang kaya diantara mereka…”.[4]

Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang penolakan Khâlid bin Walid Radhiyallahu anhu membayar zakat, dan orang-orang (yakni para sahabat) mengadukannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا ، قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

Adapun Khâlid, sesungguhnya kalian telah menzhaliminya. Dia menahan pakaian perangnya dan mempersiapkannya untuk perang fi sabilillah…”.[5]

Seolah-olah mereka menyangka bahwa barang-barang itu dipersiapkan untuk perdagangan, sehingga mereka bersikukuh untuk mengambil zakat dari hasil penjualannya. Lalu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada mereka bahwa tidak ada zakat pada harta yang ditahannya itu.[6]

C. Dalil Dari Atsar Para Sahabat
Diriwayatkan dari Ibnu Abidin al-Qari rahimahullah , ia berkata, “Dahulu aku bekerja di Baitul Mal pada masa (pemerintahan) Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu . Tatkala dia mengeluarkan pemberiannya, dia mengumpulkan harta-harta para pedagang dan menghitungnya, baik yang hadir maupun yang tidak hadir, kemudian mengambil zakat dari pemilik harta yang hadir dan tidak hadir.”[7]

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Tidak ada zakat pada barang-barang kecuali jika dipersiapkan untuk diperdagangkan.”[8]

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Tidak mengapa menahan barang hingga dijual, dan zakat wajib padanya.”[9]

Tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang menyelisihi perkataan Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu , putranya dan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhum. Bahkan hal ini terus diamalkan dan difatwakan pada masa tabi’in dan pada zaman Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Demikian pula para Ulama fiqih di masa tabi’in dan orang-orang yang datang sesudah mereka telah bersepakat tentang wajibnya zakat pada barang-barang perdagangan.

Pendapat Kedua: Tidak Wajib zakat pada barang-barang perdagangan. Ini adalah madzhab Zhâhiriyah dan orang-orang yang mengikuti mereka seperti imam Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, dan syaikh al-Albâni. Mereka melandasi pendapatnya ini dengan dalil-dalil syar’i, diantaranya, dalil dari hadits:

1. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ صَدَقَةٌ

Tidak ada zakat atas seorang Muslim pada budak dan kuda tunggangannya.[10]

Hadits yang dijadikan hujjah bagi pendapat kedua ini telah dijawab oleh mayoritas Ulama (penganut pendapat pertama), bahwa yang ditiadakan dalam hadits di atas yaitu kewajiban zakat dari budak yang biasa membantu dan kuda yang biasa ditungganginya. Keduanya merupakan kebutuhan yang tidak terkena beban zakat, menurut ijma’ para Ulama.

2. Hadits Qais bin Abu Gharzah Radhiyallahu anhu , ia berkata, "Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami, ketika kami menjual budak yang kami namakan as-Samasirah, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ ْبَيْعَكم يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ

Wahai para pedagang, sesungguhnya penjualan kalian ini tercampur oleh perkara sia-sia dan sumpah, maka tutupilah dengan sedekah (zakat) atau dengan sesuatu dari sedekah. [11]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Ini adalah sedekah yang difardhukan tanpa ditentukan, tetapi yang mereka keluarkan dengan kerelaan hati dan menjadi kafarat (penghapus kesalahan) bagi semua yang mengotori jual-beli berupa hal-hal yang tidak sah seperti kata-kata kotor dan sumpah.” Dan berbagai dalil atau argument lainnya yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (V/233 dan sesudahnya).

Itulah dua pendapat tentang hukum zakat perniagaan ini. Setelah kita paparkan kedua pendapat di atas beserta dalilnya masing-masing, maka yang nampak rajih (kuat dan benar) adalah pendapat pertama, yakni pendapat mayoritas Ulama yang menetapkan wajibnya mengeluarkan zakat harta perdagangan.” wallahu a’lam bish-showab.

SYARAT-SYARAT DAN KETENTUAN ZAKAT PADA BARANG-BARANG PERDAGANGAN
1. Barang-barang yang jadi obyek bisnis ini tidak termasuk barang yang asalnya wajib dizakati, seperti binatang ternak, emas, perak, dan sejenisnya. Karena menurut ijma’ para Ulama, dua macam kewajiban zakat tidak bisa berkumpul pada satu barang. Tetapi ia wajib mengeluarkan zakat barang-barang perdagangan itu –berdasarkan pendapat yang rajih-, karena zakat benda lebih kuat dalilnya daripada zakat perdagangan, karena telah terjadi ijma’ (konsensus para ulama) atas hal itu. Barangsiapa memperdagangkan barang-barang di bawah nishob benda-benda tersebut , maka ia harus mengeluarkan zakat perniagaan.[12]

2. Mencapai nishab, yaitu seukuran nishab uang (atau sama dengan nilai 85 gram emas murni).

3. Barang-barang tersebut telah berputar selama satu tahun Hijriyyah.

4. Kewajiban zakat ini dikenakan pada perdagangan maupun perseroan.

5. Pada badan usaha yang berbentuk serikat (kerjasama), maka jika semua anggota serikat tersebut beragama Islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada pihak-pihak yang berserikat. Tetapi jika anggota serikat terdapat orang yang non muslim, maka zakat hanya dikeluarkan dari anggota serikat Muslim saja (apabila jumlahnya telah mencapai nishab).

KAPAN DIHITUNG NISHAB PADA HARTA PERDAGANGAN
Berkenaan dengan waktu perhitungan nishab harta perdagangan ada tiga pendapat :

Pertama : Nishab dihitung pada akhir haul (ini pendapat imam Mâlik dan imam asy-Syâfi’i).

Kedua : Nishab dihitung sepanjang haul (putaran satu tahun hijriyyah), dengan pertimbangan sekiranya harta berkurang dari nishabnya sesaat saja, maka terputus haul itu (ini madzhab mayoritas ulama).

Ketiga : Nishab dihitung pada awal haul dan di akhirnya, bukan di tengahnya (madzhab Abu Hanîfah).

BAGAIMANA MENGHITUNG DAN MENGELUARKAN ZAKAT HARTA PERDAGANGAN ?
Jika telah tiba waktu mengeluarkan zakat, maka wajib bagi pedagang untuk mengumpulkan dan mengkalkulasi hartanya. Harta yang wajib dikalkulasi ini meliputi :

1. Modal usaha, keuntungan, tabungan (harta dan barang simpanan) dan harga barang-barang dagangannya.

2. Piutang yang masih ada harapan dan masih ada kemungkinan akan dilunasi.
Ia menghitung harga barang-barang dagangannya lalu ditambahkan dengan uang yang ada di tangannya dan piutang yang masih ada harapan dan masih ada kemungkinan akan dilunasi, lalu dikurangi dengan utang-utangnya. Kemudian dari nominal itu, ia mengeluarkan sebanyak dua setengah persen (2,5 %) berdasarkan harga penjualan ketika zakatnya hendak ditunaikan, bukan berdasarkan harga belinya.

Inilah pendapat mayoritas Ulama fiqih dan disepakati oleh imam Mâlik rahimahullah.

Berikut ini kami cantumkan rumus sederhana perhitungan zakat barang-barang perdagangan.

BESAR ZAKAT = [(Modal diputar + Keuntungan + Piutang yang dapat dicairkan) - (Hutang + Kerugian)] x 2.5%

Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah 20 Dinar (setara dengan 85 gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih besar atau setara dengan 85 gram emas murni (asumsi jika per-gram Rp. 550.000,- = Rp Rp.46.750.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %.

Contohnya : Sebuah perusahaan meubel pada tutup buku per Januari tahun 2012 dengan keadaan sbb :
• Meubel dan kusen yang belum terjual seharga Rp. 250.000.000 (Dua ratus lima puluh juta rupiah)
• Uang tunai Rp 50.000.000 (Lima puluh juta rupiah)
• Piutang Rp. 27.000.000 (Dua puluh tujuh juta rupiah)
• Jumlah Rp 327.000.000 (Tiga Ratus dua puluh tujuh juta rupiah)
• Utang Rp. 17.000.000 (Tujuh belas juta rupiah)
• Saldo Rp 310.000.000 (Tiga ratus sepuluh juta rupiah)
• Besar zakat = 2,5 % x Rp 310.000.000,- = Rp. 7.750.000,- (Tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Inilah jumlah zakat barang dagangan yang harus dikeluarkan.

Catatan: Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dll, tidak termasuk harta yang wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang).

APAKAH ZAKAT BARANG PERDAGANGAN DIKELUARKAN DALAM BENTUK BARANG DAGANGAN ATAU HARGANYA SAJA ?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat Ulama :

Pertama : Wajib mengeluarkannya dalam bentuk harganya (uang), dan tidak boleh mengeluarkan barangnya, karena nishabnya dihitung berdasarkan harga barang. Ini pendapat mayoritas Ulama.

Kedua : Seorang pedagang diberi plihan antara mengeluarkan barang atau harganya (uang). Ini adalah pendapat Abu Hanifah rahimahullah dan asy-Syâfi’i –pada salah satu pendapatnya-.[13]

Ketiga : Memberikan rincian dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan orang yang akan menerima zakat. Ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.[14]

Demikian penjelasan singkat tentang panduan praktis zakat harta perdagangan serta tata cara menghitung dan mengeluarkannya. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan pembacanya, amiin. Wallahu Ta’ala A’lam Bish-Showab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsir ath-Thabari (V/555), Ahkâmul Qur’an karya Ibnu al-‘Arabi (I/235), dan selain keduanya
[2]. HR. Abu Daud no.1562, al-Baihaqi I/97, dan ad-Daruquthni , dan selainnya dengan sanad dha’if. Lihat Irwâ’ al-Ghalîl karya Syaikh al-Albâni no.827
[3]. HR. Ahmad dalam al-Musnad V/179 no.7848, al-Baihaqi IV/147 no.7389, dan ad-Daruquthni II/101. Lihat Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah karya syaikh al-Albâni III/177 no.1178
[4]. HR. al-Bukhâri II/505 no.1331, dan Muslim I/50 no.29.
[5]. HR. al-Bukhâri II/534 no.1399, dan Muslim II/676 no.983.
[6]. Lihat Fathul Bâri III/392. al-Hâfizh Ibnu Hajar t berkata, “Perkara ini membutuhkan penukilan khusus sehingga dapat dijadikan hujjah."
[7]. al-Amwâl, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan al-Muhalla. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hazm
[8]. Sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh imam asy-Syâfi’i dalam kitab al-Umm II/68, Abdurrazzaq, IV/97, dan al-Baihaqi IV/147, dengan sanad shahih
[9]. al-Amwâl, hlm.426, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla V/234
[10]. HR. al-Bukhâri II/532 no.1395, dan Muslim II/675 no. 982.
[11]. HR. Ahmad dalam al-Musnad IV/6 no.16184, an-Nasai VII/247 no.4463, Abu Daud II/262 no.3326, dan Ibnu Mâjah II/726 no.2145, dan selainnya.
[12]. Lihat al-Majmû’ karya imam an-Nawawi VI/50, dan al-Mughni karya Ibnu Qudâmah III/34.
[13]. Lihat al-Badâ'i II/21, dan al-Mughni karya Ibnu Qudâmah III/31.
[14]. Lihat Majmû’ al-Fatâwâ XXV/80.

http://almanhaj.or.id/content/3683/slash/0/panduan-praktis-zakat-barang-perdagangan/

Makna Ihsan


Tanya : Apa makna ihsan yang disebutkan dalam hadits :
الْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Ihsaan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Namun apabila engkau tidak mampu melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu”.
Jawab :
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, akan kami ambilkan penjelasan Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbaad hafidhahullah sebagai berikut :
(( “Maknanya adalah engkau beribadah kepada-Nya seakan-akan engkau berdiri di hadapan-Nya seraya melihat-Nya. Barangsiapa yang dapat melakukannya, maka ia akan beribadah dengan penuh dan sempurna. Namun barangsiapa yang tidak dapat beribadah dengan keadaan seperti itu, maka wajib baginya untuk merasa Allah mengawasinya, tidak ada sesuatupun yang luput dari (pengawasan)-Nya. Oleh karena itu, ia akan berhati-hati bahwa Allah melihatnya ketika Allah melarangnya, serta ia beramal ketika dalam kondisi Allah melihatnya ketika Ia memerintahnya.
Ibnu Rajab dalam kitabnya yang berjudul Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam (1/126) saat mensyarah hadits ini berkata:
“Dan perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang penafsiran al-ihsaan : ‘engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya....dst.’; mengisyaratkan bahwa seorang hamba beribadah kepada Allah dengan sifat ini, yaitu ia merasakan kedekatan Allah, merasa ada di hadapan Allah seolah-olah melihat-Nya. Hal itu menghasilkan rasa takut, segan, dan mengagungkan-Nya sebagaimana terdapat riwayat Abu Hurairah : ‘Hendaknya engkau takut kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya’.[1] Keadaan seperti itu juga menghasilkan ketulusan dalam beribadah serta berusaha keras untuk memperbaiki, melengkapi, dan menyempurnakannya”.
Ibnu Rajab juga berkata (1/128-129) :
“Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘namun apabila engkau tidak mampu melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu’; dikatakan bahwa sabda beliau tersebut merupakan ta’liil sabda beliau sebelumnya. Hal itu dikarenakan seorang hamba apabila diperintahkan untuk merasa selalu diawasi oleh Allah (muraqabah)  dalam ibadah dan menghadirkan kedekatan Allah dengan hamba-Nya hingga hamba tersebut seolah-olah melihat-Nya, maka boleh jadi itu sulit baginya. Maka untuk mewujudkannya, ia meminta bantuan keimanannya bahwa Allah senantiasa melihatnya, mengetahui apa yang ia lakukan baik yang terang-terangan maupun rahasia, mengetahui dhahir dan batinnya; tidak ada sedikitpun urusannya yang tersembunyi dari-Nya. Jika hamba tersebut dapat merealisasikannya, maka mudah baginya untuk berpindah kepada kedudukan yang kedua, yaitu senantiasa dilingkupi pengetahuan akan kedekatan Allah dan kebersamaan-Nya dengan hamba-Nya, hingga seakan-akan hamba itu melihat-Nya.
Dan dikatakan juga : Bahkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut merupakan isyarat bahwa barangsiapa yang merasa berat baginya untuk beribadah kepada Allah (dalam keadaan) seakan-akan melihat-Nya, hendaklah ia beribadah kepada Allah dengan menghadirkan bahwa Allah melihatnya dan mengawasinya. Lalu hendaknya ia merasa malu terhadap penglihatan (pengawasan) Allah kepadanya”.
Ibnu Rajab melanjutkan (1/130) :
“Terdapat beberapa hadits shahih yang menganjurkan untuk menghadirkan kedekatan ini dalam ibadah-ibadah”.
Kemudian beliau (Ibnu Rajab) menyebutkan sejumlah hadits, lalu berkata :
“Barangsiapa yang memahami nash-nash ini dengan adanya tasybiih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), huluul (Allah menitis ke tubuh makhluk-Nya), atau ittihaad (bersatunya Allah dengan makhluk-Nya; maka itu hanyalah disebabkan karena kebodohannya, buruknya pemahaman terhadap Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam – padahal Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari semua hal tersebut. Maha Suci Allah yang tidak ada sesuatu pun menyerupai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” )).
[selesai – dari kitab Syarh Hadiits Jibriil fii Ta’liimid-Diin oleh Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbaad Al-Badr hafidhahullah, hal. 74-75 – abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 09041435/08022014 – 21:15].




[1]        Diriwayatkan oleh Muslim no. 10, Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 167, dan Ibnu mandah dalam Al-Iimaan 1/152.- Abul-Jauzaa’

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2014/02/makna-ihsan.html

Keutamaan Mengaminkan Bacaan Al_Fatihah Imam Dengan Benar

عَن ْأَبِى هُرَيْرَة َ أَنَّ النَّبِىَّ  قَالَ: «إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُه ُتَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّم َمِنْ ذَنْبِهِ»

Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah  bersabda: “Jika imam mengucapkan ‘amiin’ (setelah membaca surah al-Fatihah) maka ucapkanlah ‘amiin’, karena sesungguhnya barangsiapa yang mengucapkan ‘amiin’ bersesuaian dengan ucapan ‘amiin’ para Malaikat maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu”[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan mengucapkan ‘amiin’ bagi makmum setelah imam membaca surah al-Fatihah dalam shalat berjama’ah, bersamaan/mengikuti ucapan ‘amiin’ yang dibaca oleh imam pada waktu itu, tidak mendahului atau terlambat darinya[2].

Imam Ibnul Munir berkata: “Keutamaan apa yang lebih besar dari ucapan ringan dan tanpa beban ini, tapi menyebabkan pengampunan (dosa-dosa yang lalu)?”[3].

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

- Anjuran mengucapkan ‘amiin’ setelah bacaan surah al-Fatihah berlaku bagi imam, makmum maupun orang yang shalat sendiri[4].

- Anjuran mengeraskan suara ketika membaca ‘amiin’ setelah bacaan surah al-Fatihah dalam shalat, sebagaimana ini yang dicontohkan oleh Rasulullah  dalam hadits-hadits yang shahih[5].

- Sebagian dari para ulama mengatakan bahwa keutmaan ini juga berlaku bagi orang yang membaca surah al-Fatihah di luar shalat[6].

- Jika imam tidak mengucapkan ‘amiin’ setelah bacaan surah al-Fatihah atau ucapannya tidak terdengar maka makmum tetap mengucapkan ‘amiin’ dan dia tetap mendapatkan keutamaan yang disebutkan dalam hadits, insya Allah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam asy-Syafi’i[7].

- Arti ucapan ‘amiin’ adalah: “Ya Allah kabulkanlah permohonan kami”, cara mengucapkannya yang benar ada dua:

1. dengan memanjangkan huruf alif: ‘aamiin’
2. dengan memendekkan huruf alif: ‘amiin’[8].

- Para Malaikat selalu mendoakan kebaikan bagi manusia dan mengaminkannya[9], sebagimana yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.

- Yang dimaksud dengan para Malaikat dalam hadits ini adalah semua Malaikat, atau Malaikat pencatat amal manusia, atau Malaikat yang menyaksikan shalat tersebut, pendapat terakhir inilah yang lebih sesuaiinsya Allah[10].

- Dosa-dosa yang diampuni dalam hadits ini, menurut mayoritas ulama adalah dosa-dosa kecil[11], karena adanya hadits-hadits shahih lain yang mengkhususkannya, adapaun untuk dosa besar, Imam an-Nawawi mengatakan: “kita berharap (kepada Allah) untuk diringankan dosa tersebut”[12].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 12 Muharram 1435 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni

http://manisnyaiman.com/keutamaan-mengaminkan-bacaan-al_fatihah-imam-dengan-benar/


[1]HSR al-Bukhari (1/270, no. 747) dan Muslim (1/307, no. 410).
[2]Lihat kitab “Fathul Baari” (2/266) dan “Syarhu shahiihi Muslim lin Nawawi” (4/130).
[3]Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam  kitab “Fathul Baari” (2/266).
[4]Lihat kitab “Taudhiihul ahkaam min buluugil maraam” (2/201).
[5]Misalnya dalam HR ad-Daraquthni (1/335) dan al-Hakim (1/223), dinyatakan shahih oleh al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani. Juga HR Abu Dawud (no. 932) dan at-Tirmidzi (no. 248), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[6]Lihat kitab “Fathul Baari” (2/266).
[7]Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam  kitab “Fathul Baari” (2/266) dan lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (2/70).
[8]Lihat kitab “Taudhiihul ahkaam min buluugil maraam” (2/198).
[9]Lihat kitab “faidhul Qadiir” (1/303).
[10]Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (2/70).
[11]Lihat kitab “Fathul Baari” (2/265).
[12]Kitab “Syarhu shahiihi Muslim lin Nawawi” (3/113).

Zikir Setelah Shalat & Hukum Menjahrkannya

Dari Tsauban radhiallahu anhu dia berkata: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ قَالَ الْوَلِيدُ فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ قَالَ تَقُولُ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai shalat, beliau akan meminta ampunan tiga kali dan memanjatkan doa ALLAAHUMMA ANTAS SALAAM WAMINKAS SALAAM TABAARAKTA DZAL JALAALI WAL IKROOM (Ya Allah, Engkau adalah Dzat yang memberi keselamatan, dan dari-Mulah segala keselamatan, Maha Besar Engkau wahai Dzat Pemilik kebesaran dan kemuliaan.” Al-Walid berkata, “Maka kukatakan kepada Al-Auza’i, “Lalu bagaimana bacaan meminta ampunnya?” dia menjawab, “Engkau ucapkan saja ‘Astaghfirullah, Astaghfirullah’.” (HR. Muslim no. 591)

 Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُدْ إِلَّا مِقْدَارَ مَا يَقُولُ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam, beliau tidak duduk selain seukuran membaca bacaan “ALLAAHUMMA ANTAS SALAAM, WAMINKAS SALAAM, TABAARAKTA DZAL JALAALIL WAL IKRAAMI (Ya Allah, Engkau adalah Dzat Pemberi keselamatan, dan dari-Mulah segala keselamatan, Maha Besar Engkau Dzat Pemilik kebesaran dan kemuliaan).” (HR. Muslim no. 932)

Mughirah bin Syu’bah pernah berkirim surat kepada Muawiyah dimana dia berkata: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا فَرَغَ مِنْ الصَّلَاةِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai shalat dan mengucapkan salam, beliau membaca: “LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHU LAA SYARIIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI’IN QADIIR, ALLAAHUMMA LAA MAANI’A LIMAA A’THAITA WALAA MU’THIYA LIMAA MANA’TA WALAA YANFA’U DZAL JADDI MINKAL JADD (Tiada sesembahan selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan dan milik-Nyalah segala pujian, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tiada yang bisa menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah, dan tidak bermanfaat pemilik kekayaan, dan dari-Mulah segala kekayaan).” (HR. Al-Bukhari no. 844 dan Muslim no. 593)

Dari Abdullah bin Az-Zubair  bahwa seusai shalat setelah salam, beliau sering membaca; لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ. وَقَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُهَلِّلُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ

“LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHUU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI’IN QADIIR, LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAH, LAA-ILAAHA ILALLAAH WALAA NA’BUDU ILLAA IYYAAH, LAHUN NI’MATU WALAHUL FADHLU WALAHUTS TSANAA’UL HASAN, LAA-ILAAHA ILLALLAAH MUKHLISIHIINA LAHUD DIINA WALAU KARIHAL KAAFIRUUNA.” (Tiada sesembahan yang hak selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya selaga puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada Daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah. Tiada sesembahan yang hak selain Allah, dan Kami tidak beribadah selain kepada-Nya, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, hanya bagi-Nya ketundukan, sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai).” Dan beliau (Ibnu Az-Zubair) berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu bertahlil dengan kalimat ini setiap selesai shalat.” (HR. Muslim no. 594)

Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

“Barangsiapa bertasbih kepada Allah sehabis shalat sebanyak tiga puluh tiga kali, dan bertahmid kepada Allah tiga puluh tiga kali, dan bertakbir kepada Allah tiga puluh tiga kali, hingga semuanya berjumlah sembilan puluh sembilan, dan untuk menggenapkan jadi seratus dia membaca: LAA ILAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ALA KULLI SYAY`IN QADIR, maka kesalahan-kesalahannya akan diampuni walau sebanyak buih di lautan.” (HR. Muslim no. 597)

Pembahasan Fiqhiah: Setelah selesai shalat, maka sudah menjadi kebiasaan Rasulullah  dan para sahabat beliau untuk berzikir dengan zikir-zikir yang warid dalam hadits-hadits di atas. Di dalam zikir-zikir tersebut mengandung kalimat tauhid, pujian, dan pengagungan kepada Allah, serta permohonan agar dosa-dosa diampuni. Berzikir setelah shalat merupakan hal yang disunnahkan, karenanya tidak sepantasnya seorang muslim untuk meninggalkannya bagaimanapun keadaannya, walaupun sekedar sebentar dan membaca salah satu dari zikir-zikir di atas. Tidak ada dalil khusus yang menunjukkan urutan zikir yang satu dibandingkan yang lain, karenanya seorang muslim dibolehkan untuk memulai zikirnya dengan yang manapun dari zikir-zikir di atas.

Apakah zikir-zikir ini dibaca dengan jahr atau sir? Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini:

1. Ada yang menyunnahkannya. Ini adalah pendapat Imam Ath-Thabari -dalam sebuah nukilan darinya-, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, dan yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dan Al-Lajnah Ad-Daimah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz. Dalil pendapat pertama adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dimana beliau berkata: أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم وقال ابن عباس كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته

“Mengangkat suara dengan zikir ketika orang-orang selesai shalat wajib adalah hal yang dulunya ada di zaman Nabi .” Ibnu Abbas berkata, “Saya mengetahui selesainya mereka shalat jika saya mendengarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)

Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas  berkata: كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ “Aku dahulu mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari suara takbir.” (HR. Al-Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)

 Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla (4/260), “Meninggikan suara ketika berzikir di akhir setiap shalat adalah amalan yang baik.” Catatan: Bagi yang menyunnahkan berzikir dengan suara jahr, bukan berarti membolehkan zikir secara berjamaah yang dipimpin oleh satu orang, karena amalan ini merupakan amalan yang bid’ah. Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah setiap orang menjahrkan sendiri-sendiri bacaan zikirnya. Asy-Syathibi berkata dalam Al-I’tisham (1/351), “Berdoa secara berjamaah secara terus-menerus bukanlah amalan Rasulullah , sebagaimana itu juga bukan berasal dari sabda dan persetujuan beliau.”

2. Hukumnya makruh kecuali jika imam ingin mengajari makmum bacaan zikir. Ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i, Ath-Thabari -dalam sebagian nukilan lainnya- dan mayoritas ulama, dan ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar, Ibnu Baththal, An-Nawawi, Asy-Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi, Asy-Syaikh Al-Albani. Dalil-dalil pendapat kedua:


a. Allah Ta’ala berfirman: ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها “Dan janganlah kalian menjahrkan shalat kalian dan jangan pula merendahkannya.” Maksudnya: Janganlah kalian meninggikan suara kalian dalam berdoa dan jangan pula merendahkan suaramu sampai-sampai kamu sendiri tidak bisa mendengarnya.

b. Asy-Syaikh Ali Mahfuzh berkata, “Bagaimana boleh suara ditinggikan dalam zikir sementara Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya yang bijaksana, “Berdoalah kalian kepada Rabb kalian dalam keadaan merendah dan suara rendah, sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang melampau batas.” Maka mengecilkan suara lebih dekat kepada keikhlasan dan lebih jauh dari riya`.” (Al-Ibda’ fii Madhaarr Al-Ibtida’ hal. 283)

c. Dari Abu Musa Al-Asy’ari  beliau berkata: كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فكنا إذا أشرفنا على واد هللنا وكبرنا ارتفعت أصواتنا فقال النبي صلى الله عليه وسلم يا أيها الناس اربَعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا إنه معكم إنه سميع قريب تبارك اسمه وتعالى جده “Kami pernah bersama Rasulullah  (dalam perjalanan). Jika kami mendaki bukit maka kami bertahlil dan bertakbir hingga suara kami meninggi. Maka Nabi  bersabda, “Wahai sekalian manusia, kasihanilah (baca: jangan paksakan) diri-diri kalian, karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada Zat yang tuli dan juga tidak hadir. Sesungguhnya Dia -yang Maha berkah namanya dan Maha tinggi kemuliaannya- mendengar dan dekat dengan kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704) Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (6/135), “At-Thabari berkata: Dalam hadits ini terdapat keterangan dibencinya meninggikan suara ketika berdoa dan berzikir. Ini adalah pendapat segenap para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in.”

d. Berzikir dengan suara jahr akan mengganggu orang lain yang juga sedang berzikir, bahkan bisa mengganggu orang yang masbuk. Apalagi di zaman ini hampir tidak ditemukan satupun masjid kecuali ada yang masbuk di dalamnya, illa ma sya`allah.

e. Imam berzikir dengan suara jahr akan membuka wasilah kepada bid’ah zikir dan doa berjamaah.

Pendapat yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berdasarkan dalil-dalil yang tersebut di atas. Adapun dalil pihak pertama, maka kesimpulan jawaban dari para ulama yang merajihkan pendapat kedua adalah:

a. Hadits Ibnu Abbas  tidaklah menunjukkan bahwa hal itu berlangsung terus-menerus. Karena kalimat ‘كُنْتُ (aku dahulu)’ mengisyaratkan bahwa hal ini tidak berlangsung lagi setelahnya. Karenanya Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa Nabi  mengeraskan zikirnya hanya untuk mengajari para sahabat bacaan zikir yang dibaca setelah shalat. Adapun setelah mereka mengetahuinya maka beliaupun tidak lagi mengeraskan bacaan zikirnya. Demikian diterangkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kaset silsilah Al-Huda wa An-Nur no. 439

b. Hal ini diperkuat dengan hadits Aisyah riwayat Muslim di atas yang menunjukkan bahwa setelah beliau salam maka beliau tidak duduk di tempatnya kecuali sekedar membaca zikir yang tersebut di atas.

Sebagai penutup, dan sekedar tambahan faidah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (15/15-19) menyebutkan 10 faidah merendahkan suara dalam berdoa dam berzikir. Barangsiapa yang ingin mengetahuinya maka hendaknya dia merujuk kepadanya. [Referensi: Kaset Silsilah Al-Huda wa An-Nur no. 206, 439, dan 471, risalah mengenai hukum meninggikan suara zikir setelah shalat oleh Ihsan bin Muhammad Al-Utaibi, dan Majmu’ Al-Fatawa Ibnu Al-Utsaimin 13/247,261]

http://al-atsariyyah.com/zikir-setelah-shalat-hukum-menjahrkannya.html