Showing posts with label Hutang. Show all posts
Showing posts with label Hutang. Show all posts

Wafat Dalam Keadaan Berhutang: Bagaimana Nasibnya?

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ
                
 Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan laki-laki yang memiliki hutang. Lalu didatangkan mayit ke hadapannya. Beliau bersabda: “Apakah dia punya hutang?”  Mereka menjawab: “Ya, dua dinar.”  Beliau bersabda: “Shalatlah untuk sahabat kalian.” (HR. Abu Daud No. 3343, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3343)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai hutang itu dilunaskannya.” (HR. At Tirmidzi No. 1079, katanya: hasan.  Ibnu Majah No. 2413. Ahmad No. 10607. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 6891, 11048, 11193, 17604  Syu’abul Iman No. 5543. Juga dalam As Sunan Ash Shaghir No. 1615, 1812. Al Hakim, Al Mustadarak ‘alsh Shahihain No. 2219,  Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, 19/93/209. Ad Darimi No. 2591. Abu Ya’la No. 6026. Ibnu Hibban No. 3061, Ath Thayalisi dalam Musnadnya No. 2390, 2512. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 15488)

Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 10607). Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: hasan. (Tahqiq Musnad Abi Ya’la No. 6026). Imam Al Hakim menyatakan shahih sesuai standar Bukhari-Muslim, tapi mereka berdua tidak meriwayatkannya. (Al Mustadrak No. 2219). Syaikh Al Albani mengatakan shahih. (Shahihul Jami’ No. 6779, Misykah Al Mashabih No. 2915. Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1078). Imam Ibnu Hajar mengatakan hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban dan selainnya. (Fathul Bari, 7/461). Imam Asy Syaukani mengatakan para perawi hadits ini tsiqat (kredibel), kecuali Umar bin Abi Salamah bin Abdirrahman, dia jujur tetapi ada kesalahan. (Nailul ‘Authar, 6/114)

Syarah Hadits:
                Hutang, walaupun sedikit tetaplah hutang, dia harus dibayarkan sebelum wafat. Jika tidak, maka akan menjadi hambatan bagi  orang tersebut setelah wafatnya. Walau pun dia orang shalih dan mati syahid. Oleh karenanya, hendaknya ahli warisnya melunasi untuk kebaikan mayit tersebut di akhirat.
                Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:

فيه الحث للورثة على قضاء دين الميت والإخبار لهم بأن نفسه معلقة بدينه حتى يقضى عنه
                Dalam hadits ini terdapat dorongan bagi ahli waris untuk melunasi hutang si mayit, dan pengabaran bagi mereka bahwa jiwa mayit tersebut tergantung karena hutangnya, sampai hutang itu lunas.  (Nailul Authar, 4/23)

                Jika belum dilunasi, maka jiwa mayit tersebut “tergantung” ……. Apa makna tergantung?

Para ulama berselisih pendapat dalam memaknai mu’allaqah (tergantung) dalam hadits ini. Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarfkafuri Rahimahullah menjelaskan:

قال السيوطي أي محبوسة عن مقامها الكريم وقال العراقي أي أمرها موقوف لا حكم لها بنجاة ولا هلاك حتى ينظر هل يقضى ما عليها من الدين أم لا انتهى

Berkata As Suyuthi, yaitu  orang tersebut tertahan untuk mencapai tempatnya yang mulia. Sementara Imam Al ‘Iraqi mengatakan urusan orang tersebut terhenti (tidak diapa-apakan), sehingga tidak bisa dihukumi sebagai orang yang selamat atau binasa, sampai ada kejelasan nasib hutangnya itu sudah dibayar atau belum. Selesai. (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/193)

Ada juga yang memaknai bahwa jiwa orang tersebut masyghul (gelisah) karena hutangnya. Hal itu dikatakan Imam Ash Shan’ani Rahimahullah sebagai berikut:

وهذا الحديث من الدلائل على أنه لا يزال الميت مشغولاً بدينه بعد موته، ففيه حث على التخلص عنه قبل الموت، وأنه أهم الحقوق، وإذا كان هذا في الدين المأخوذ برضا صاحبه فكيف بما أخذ غصباً ونهباً وسلباً؟
Hadits ini di antara dalil yang menunjukkan bahwa mayit akan senantiasa gundah (masyghul) dengan hutangnya setelah dia wafat. Pada hadits ini juga terdapat anjuran untuk membersihkannya dari hutang sebelum wafat, karena hutang adalah hak yang paling penting. Hal ini jika pada hutang yang diberikan  menurut kerelaan pemiliknya, maka apa jadinya  pada harta yang mengambilnya secara paksa dan merampas? (Subulus Salam, 2/92)
 
                Bukan hanya itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga tidak mau menshalatkan jenazah yang masih memiliki hutang, padahal  jika Beliau menshalatinya maka itu menjadi syafaat bagi mayit tersebut. Namun Beliau membolehkan para sahabatnya untuk menshalatkannya.

                Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan:

وَكَانَ إذَا قُدّمَ إلَيْهِ مَيّتٌ يُصَلّي عَلَيْهِ سَأَلَ هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَمْ لَا ؟ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ صَلّى عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ لَمْ يُصَلّ عَلَيْهِ وَأَذِنَ لِأَصْحَابِهِ أَنْ يُصَلّوا عَلَيْهِ فَإِنّ صَلَاتَهُ شَفَاعَةٌ وَشَفَاعَتَهُ مُوجَبَةٌ

Jika didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang mayit, lalu dia hendak menshalatkan maka Beliau akan bertanya, apakah dia punya hutang atau tidak? Jika dia tidak punya hutang maka Beliau   menshalatkannya, jika dia punya hutang maka Beliau tidak mau menshalatkannya, namun mengizinkan para sahabat menshalatkan mayit itu. Sesungguhnya shalat Beliau (untuk si mayit, pen) adalah syafaat (penolong) dan syafaat Beliau adalah hal yang niscaya. (Zaadul Ma’ad, 1/503)

                Dan, mayit yang berhutang juga terhalang masuk surga walau dia mati syahid. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat berikut:

Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْن
“Orang yang mati syahid diampuni semua dosanya kecuali hutangnya.” (HR. Muslim No. 1886, Ahmad No. 7051, Abu ‘Uwanah No. 7369, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 2554, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 11110)

Dari Muhammad bin Jahsy Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ مَرَّتَيْنِ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ
                 
Demi yang jiwaku ada ditanganNya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi dua kali, dan dia masih punya hutang, maka dia tidak akan masuk surga sampai hutangnya itu dilunasi. (HR. Ahmad No. 22546, An Nasa’i No. 4684, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 556 dan Al Awsath No. 270, Al Hakim No. 2212, katanya: shahih.   Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 10754, ‘Abdu bin Humaid No. 367, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al Aahad wal Matsaani No. 928. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahihul Jami’  No. 3600)


                Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah menjelaskan:

فيه تنبيه على أن حقوق الاَدمين والتبعات التى للعباد لا تكفرها الأعمال الصالحة وإنما تكفر ما بين العبد وربه
                
 Pada hadits ini  terdapat peringatan bahwa hak-hak  yang terkait dengan manusia dan tanggungannya, tidaklah bisa dihapuskan dengan amal shalih, sebab amal shalih itu hanya menghapuskan hal-hal yang terkait antara manusia dengan Rabbnya. (Ikmalul Mu’allim, 6/155. Al Syarh Shahih Muslim, 6/362)

                Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:

والمراد به جميع حقوق العباد من نحو دم ومال وعرض فإنها لا تغفر بالشهادة وذا في شهيد البر أما شهيد البحر فيغفر له حتى الدين لخبر فيه
                Maksud hutang di sini adalah semua hak manusia baik berupa darah, harta, dan kehormatan. Hal itu tidaklah bisa diampuni dengan mati syahid,  itu untuk syahid perang darat, ada pun syahid perang laut, maka dia diampuni termasuk hutangnya, berdasarkan adanya  riwayat tentang itu. (Faidhul Qadir, 6/599. Cet. 1, 1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Libanon)

                Demikian nasib orang berhutang jika dia wafat.

Lalu, hutang atau orang berhutang yang seperti apakah yang dimaksud hadits di atas? Apakah semua orang berhutang lalu meninggal maka keadaannya seperti itu? Atau untuk hutang tertentu? 
                Hutang diatas  -yang membawa dampak buruk bagi mayit-   adalah hutang yang dilakukan oleh orang yang tidak berniat untuk melunasinya, padahal dia mampu. Ada pun bagi yang berniat melunasinya, tetapi ajal keburu menjemputnya, atau orang yang tidak ada harta untuk membayarnya, dan dia juga berniat melunasinya,  maka itu dimaafkan bahkan Allah Ta’ala yang akan membayarnya. 

                Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan:
ويكون هذا فيمن له بقضاء ما عليه من الدين
                Hal ini berlaku bagi  orang yang memiliki sesuatu (mampu) untuk melunasi  hutangnya. (Al Ikmal, 6/155)
               
                Berkata Imam As Syaukani Rahimahullah:

وهذا مقيد بمن له مال يقضى منه دينه وأما من لا مال له ومات عازمًا على القضاء فقد ورد في الأحاديث ما يدل على أن اللَّه تعالى يقضي عنه
                Ini  terikat pada siapa saja yang memiliki harta yang dapat melunasi hutangnya. Ada pun orang yang tidak memiliki harta dan dia bertekad melunaskannya, maka telah ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala akan melunasi untuknya. (Nailul Authar, 4/23)

                Juga dikatakan oleh Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:
ويحتمل أن ذلك فيمن استدان ولم ينو الوفاء
                Yang demikian itu diartikan bagi siapa saja yang berhutang namun dia tidak berniat untuk melunasinya. (Subulus Salam, 3/51)
 
                Ini juga dikatakan Imam Al Munawi:

والكلام فيمن عصى باستدانته أما من استدان حيث يجوز ولم يخلف وفاء فلا يحبس عن الجنة شهيدا أو غيره
               Perbincangan tentang ini berlaku pada siapa saja yang ingkar terhadap hutangnya. Ada pun bagi orang yang berhutang dengan cara yang diperbolehkan dan dia tidak menyelisihi janjinya, maka dia tidaklah terhalang dari surga baik sebagai syahid atau lainnya. (Faidhul Qadir, 6/ 559)

                Ada beberapa riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menunjukkan bahwa orang yang berhutang lalu dia wafat   dalam keadaan tidak ada kemampuan, padahal berniat untuk melunasinya maka Allah Ta’ala yang akan membayarkannya.

Dari Maimunah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: 

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلَّا أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِي الدُّنْيَا

“Tidaklah seorang muslim berhutang, dan Allah mengetahui bahwa dia hendak menunaikannya, melainkan Allah Ta’ala akan menunaikannya di dunia.” (HR. Ibnu Majah No. 2408,  Ibnu Hibban No. 5041, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 61,  An Nasa’i  No. 4686, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 6285. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 2408, dan Shahihul Jami’ No. 5677)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barangsiapa mengambil harta manusia dan dia hendak melunasinya, maka niscaya Allah akan melunaskan baginya. Barangsiapa yang mengambil lalu hendak menghancurkannya   maka Allah akan menghancurkan dia.” (HR. Bukhari No. 2387, Ahmad No. 8733, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 2146)

Kesimpulan:

  1. Orang yang wafat –walau pun mati syahid- dalam keadaan berhutang yang tidak ada itikad baik untuk  melunasinya padahal ada kemampuan untuk itu maka Allah Ta’ala  menggantungkan nasibnya diakhirat, sebab hutang tersebut tidaklah terhapus dengan amal shalih, kecuali sampai hutang itu lunas. Maka hendaknya ahli warisnya mengetahui hal itu dan melunasinya.
  2. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan orang berhutang, namun memerintahkan para sahabat untuk menshalatkannya. Ini bermakna orang tersebut tidak mendapatkan syafaatnya dari sisi ini. Jumhur ulama mengatakan orang berhutang tetap dishalatkan.
  3. Orang yang berniat membayar hutangnya, atau bagi orang  yang tidak ada kemampuan, tetapi dia keburu wafat dan tidak sempat melunasinya, maka akan Allah Ta’ala yang akan menggantikanya.

Wallahu A’lam 

Hati kecil sedang gelisah


Istri mana yang tak bahagia jika usaha sang suami sedang akan membawa titik terang. Begitu juga dengan Riana (nama samaran). Ia juga senang mendengar bahwa impian memajukan usaha suaminya sebentar lagi akan terwujud, ia telah mengantongi sebuah rekomendasi. Tapi dalam kebahagiaan itu terselinap rasa gelisah yang tiada tara.

Suatu kali saat terlintas dipikirannya bahwa sang suami membuka usaha dengan tangan kosong alias tak bermodal. Tidak layaknya pengusaha-pengusaha lain yang membuka usaha dengan kantong tebal. Sedangkan membuka usaha bukanlah hal yang mudah, apalagi kalau tanpa modal. Seorang pengusaha tanpa modal paling nantinya akan meminjam uang untuk modal dasarnya! Lantas adakah orang yang mau memberikan modal tanpa jaminan? Kembali Riana mengeryitkan dahi. Tidak! Kalaupun ada, seribu banding satu. Lalu bagaimana mengatasinya? Dan bank adalah solusi utama.


Siapa yang tak kenal bank. Bank adalah perusahaan yang bergerak dibidang keuangan yang juga memberikan jasa simpan pinjam. Dan yang pasti orang akan melirik jasa bank sebagai pemberi modal, meski dengan segudang persyaratan. Ada juga seh yang tidak banyak syarat, akan tetapi bunganya sangat tinggi. Disinilah kegelisahan mulai mengerayang. Bank dan bunga. Bunga dan riba. Riba dan keharamannya. Kalau katanya saat ini ada bank syariah. Nyatanya masih ada juga bunga2 disana-sini. Entahlah......atau ia saja yang kurang paham. Tapi, begitulah pemahamannya selama ini.

Riba!

Allah telah memberitakannya dengan jelas dan gamblang tentang bagaimana riba dan apa sanksi bagi pengguna riba. Riba adalah penambahan pada modal pokok sedikit ataupun banyak lipatannya. Riba bukan lagi masalah bagi kebanyakan orang. Itu terbukti dengan banyaknya orang yang menabung di bank. Riana sendiri juga menggunakan bank sebagai alat untuk memudahkannya mengirim atau menerima uang untuk sebuah keperluan.


Dan Rianapun semakin gundah ketika suaminya mengatakan akan mengambil uang bank sebagai modal. Ia begitu takut pada ancaman Allah, tetapi ia tak dapat memberikan solusi lain. Riana jadi ngeri sendiri. "Apa iya aku sudah hidup di akhir jaman, sehingga tidak ada lagi orang yang mampu menghindar dari riba?" pikirnya kalut. Hadist-Hadist nabi dan peringatan-peringatan akan riba selalu mengusik ketenangannya. Seperti hadist nabi...

Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya” (HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu Hurairah).


Gundahnya semakin dalam ketika ia kembali teringat akan putusan bagi orang yang memakan riba.Ia tergugu, namun tetap tak ada jalan lain selain meminjam modal pada Bank.

Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri…” (HR Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang shahih).


Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).


Dalam hal ini, Ibnu Abbas berkata:

Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara Islam) untuk menasehati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap membandel, maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya”.



Oleh karena itu, tidak ada satupun perbuatan yang lebih dilaknat Allah SWT selain riba. Sehingga Allah SWT memberikan peringatan yang keras bahwa orang-orang yang memakan riba akan diperangi (QS Al Baqarah : 279).

Jika pada awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi sebelum Rasulullah saw wafat, telah diturunkan yaitu ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari ayat 278-281) yang menurut asbabun nuzul-nya merupakan ayat-ayat terakhir dari Al Qur-aan. Dalam rangkaian ayat-ayat tersebut ditegaskan bahwa riba, baik kecil maupun besar, berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan sampai Hari Kiamat. Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rang­kaian ayat-ayat terse­but, Allah SWT telah mengharamkan segala jenis riba, ter­masuklah di antaranya riba (bunga) ban
k.

Sedangkan sodara dan sanak famili Riana belum ada yang memiliki uang sekian banyak, semua saudara-saudaranya hanyalah petani-petani desa. Dan sampai hari ini Riana masih diliputi perasaan gelisah berkerpanjangan jika sang suami tak mendapatkan modal dari jalan lain. Ia pun pasrah dengan penuh gelisah. Akankah usahanya tidak memakan barang haram selama ini harus kandas hanya karena usaha suami yang menuntut modal besar?
 
http://ridhakemuning.blogspot.com/

Mengapa Nabi Sering Berlindung dari Hutang?


Dalam sebuah do’a yang dibaca di akhir shalat (sebelum salam), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan dari dua hal ini yaitu berbuat dosa dan banyak utang.

Bukhari membawakan hadits ini pada pembahasan adzan, sedangkan Muslim membawakan hadits ini pada pembahasan masjid dan tempat shalat.

‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa di akhir shalat (sebelum salam):

ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MIN FITNATIL MASIHID DAJJAL, WA A’UDZU BIKA MIN FITNATIL MAHYA WAL MAMAAT, ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGROM

"Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari adzab kubur, aku berlindung kepada-Mu dari bahaya dajjal, aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan hidup dan mati. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari berbuat dosa dan banyak utang.

Ibnul Qoyyim dalam Al Fawa’id (hal. 57, Darul Aqidah) mengatakan,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan kepada Allah dari berbuat dosa dan banyak utang karena banyak dosa akan mendatangkan kerugian di akhirat, sedangkan banyak utang akan mendatangkan kerugian di dunia.

Itulah yang diajarkan oleh suri tauladan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdoa meminta perlindungan dari kedua hal ini dengan tujuan agar tidak merugi di dunia dan akhirat.

Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari berbuat dosa dan banyak utang. Kami juga berlindung kepada-Mu dari kerugian di dunia dan akhirat. AMIN …


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com

Menghindari Hutang

Berhutang merupakan kenyataan yang melanda hampir setiap rumah tangga muslim. Apalagi ketika lebaran seperti sekarang ini. Agar Anda terhindar dari jerat hutang dan tidak menyesal karenanya, praktikkanlah nasihat-nasihat di bawah ini:

Renungkanlah selalu hadits-hadits tentang akibat hutang

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendatangi seorang laki-laki (yang meninggal dunia) untuk dishalatkan, maka beliau bersabda, artinya:

"Shalatkanlah teman kalian, karena sesung-guhnya dia memiliki hutang."
Dalam riwayat lain disebutkan: "Apakah teman kalian ini memiliki hutang? Mereka menjawab, 'Ya, dua dinar'. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mundur seraya bersabda, 'Shalatkanlah teman kalian!' Lalu Abu Qatadah berkata, 'Hutang-nya menjadi tanggunganku'. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Penuhilah (janjimu)!, lalu beliau men-shalatkannya." (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih).

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung karena hutangnya, sampai ia dibayarkan." (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih).
Dari Abdullah bin Amr, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Semua dosa orang yang mati syahid diampuni, kecuali hutang." (HR. Muslim).

"Demi jiwaku yang ada di TanganNya, seandainya ada seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian ia dihidupkan lagi, lalu terbunuh lagi, kemudian dihidupkan lagi dan terbunuh lagi, sedang ia memiliki hutang, sungguh ia tidak akan masuk Surga sampai hutangnya dibayarkan." (HR. An-Nasa'i, hasan).

Jangan berhutang kecuali karena terpaksa

Pada kenyataannya, banyak orang yang berhutang untuk bisa merayakan lebaran layaknya orang kaya, untuk bisa menyelenggarakan pesta perni-kahan dengan mewah, untuk bisa memiliki gaya hidup modern, misalnya dengan kredit mobil, rumah mewah, perabotan-perabotam mahal dsb. Lebih ironi lagi, ada yang hutang untuk selamatan keluarganya yang meninggal karena malu kepada para tetangga jika tidak mengadakannya, atau jika makanannya terlalu sederhana.

Aisyah berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tempo dan beliau memberi jaminan baju besi kepadanya." (HR. Al-Bukhari).

Ibnul Munir berkata, 'Artinya, seandainya beliau shallallahu 'alaihi wasallam ketika itu memiliki uang kontan, tentu beliau tidak mengakhirkan pembayarannya. (Lihat, Fathul Bari, 5/53).

Bertaqwalah kepada Allah sebelum dan ketika berhutang.

Allah berfirman, artinya:
"Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah maka akan diberikan kemudahan urusannya." (Ath-Thalaq: 4).

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya:
"Barangsiapa mengambil harta orang (berhutang) dan ia ingin membayarnya, niscaya Allah akan menunaikannya dan barangsiapa berhutang dengan niat menghilangkannya (tidak membayar), niscaya Allah membuatnya binasa. " (HR. Al-Bukhari).

"Siapa yang meminjam dan sengaja untuk tidak membayarnya, niscaya ia menemui Allah dalam keadaan sebagai pencuri." (Shahih Ibnu Majah, no. 1954, 2/52).

Hutang adalah kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari

Banyak orang menyembunyikan diri dari pandangan manusia karena takut bertemu dengan orang yang menghutanginya. Karena itu dianjurkan bagi yang menghutangi untuk meringankannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Barangsiapa meringankan hutang orang yang dihutanginya atau membebaskannya maka ia berada di bawah naungan 'Arasy pada hari Kiamat." (HR. Muslim).

Jangan tertipu oleh promosi dan iklan bank


Bank-bank selalu mengiklankan agar orang melakukan transaksi keuangannya dengan jasa bank. Di antaranya, juga promosi mendapatkan kredit secara mudah. Hal itu karena hasil bank-bank ribawi adalah dari prosentasi bunga uang yang dipinjamkannya. Semakin lama masa pinjaman seseorang semakin besar pula keuntungan yang diraup bank, itulah yang dikehendaki bank. Dan itulah hakikat riba, Allah berfirman, artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (Ali Imran: 130).

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Satu dirham uang riba yang dimakan seseorang dan dia mengetahuinya lebih berat (dosanya) dari-pada 36 kali berzina." (HR. Ahmad, di- shahih-kan oleh Al-Albani).
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sungguh telah melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulis dan kedua saksi atasnya. Beliau bersabda, 'Mereka itu sama saja'.
" (HR. Muslim).

Dalam mu'amalah ribawi, bank selalu mengeruk keuntungan, sedangkan peminjam bisa saja sewaktu-waktu merugi. Adapun banyaknya bank ribawi yang bangkrut, padahal secara matematis selalu untung maka hal itu adalah bukti kebenaran firman Allah:
"Allah memusnahkan (membangkrutkan) riba dan mengembangkan sedekah." (Al-Baqarah: 276).

[b ]Pemakaian kartu kredit [/b]

Di zaman supra modern ini banyak bertebaran kartu kredit. Pemiliknya bisa membeli apa saja, karena perusahaan yang mengeluarkan kartu kredit itu menjamin membayarnya. Secara lahiriah, pelayanan tersebut adalah rahmat, praktis dan sangat memanjakan. Tetapi ingat, jika mengakhirkan pembayaran untuk beberapa lama maka hutangnya akan menumpuk ditam-bah bunganya. Belum lagi pemilik kartu kredit akan selalu keranjingan untuk berbelanja hingga barang-barang yang tidak perlu sekalipun. Lalu, jika ia tidak segera membayarnya, maka ia akan terperosok ke dalam riba. Na'udzubillah.

Hindari membeli secara kredit


Kini membeli barang-barang secara kredit seperti sudah menjadi simbol zaman ini. Padahal ia adalah fenomena yang salah. Orang yang telah membeli secara kredit apalagi dengan nilai nominal yang tinggi- kelak akan menyesal. Sebab misalnya, orang yang membeli mobil secara kredit, dia akan membayar kira-kira dua kali lipat dari harga biasanya. Dan semakin lama masa kreditnya semakin berlipat pula yang harus ia bayar.

Jangan termakan oleh paham yang menyesatkan

Sebagian orang ada yang berpendapat, orang yang tidak memiliki hutang adalah orang yang diragukan kejantanannya. Bahkan mereka mengolok-olok kawannya yang memiliki hutang sedikit.

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, berkata: "Tidak diragukan lagi, ini adalah keliru. Bahkan hina tidaknya seseorang tergantung pada hutangnya. Siapa yang tidak memiliki hutang maka dia adalah orang mulia dan siapa yang memiliki hutang maka dialah orang yang hina. Karena sewaktu-waktu orang yang menghutanginya bisa menuntut dan memenjarakannya. Ia adalah orang yang sakit dan menginginkan semua orang sakit seperti dirinya. Karena itu, orang yang berakal tidak perlu mem-pedulikannya."

Berlindung kepada Allah dari tidak bisa membayar hutang

Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam memperbanyak do'a:
"Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari kegelisahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil serta dari tidak mampu membayar hutang dan dari penguasaan orang lain." (HR. Al-Bukhari).

Dari Aisyah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam shalatnya berdo'a:
"Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari dosa dan hutang."
Maka seseorang bertanya, 'Wahai Rasulullah, betapa sering engkau berlindung dari hutang? Maka beliau menjawab, 'Sesungguhnya bila seseorang itu berhutang akan berdusta dan berjanji tetapi ia pungkiri.'
(Fathul Bari, 5/61).

Muliakanlah tamu tanpa berlebihan

Sebagian orang begitu sangat memuliakan tamunya. Mereka berusaha untuk membeli berbagai makanan untuk menjamu tamunya tersebut, meski terkadang dengan menghutang. Syari'at Islam mengajarkan agar kita memuliakan tamu, tetapi juga menekankan untuk tidak boros. Allah berfirman, artinya:

"Dan janganlah kalian berlebih-lebihan (boros), sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan."(Al-An'am: 141).

Jangan membebani diri melebihi kemampuan

Sebagian orang ada yang memaksakan diri, misalnya pergi haji dengan menjual rumah atau sawah tempat penghasilannya sehari-hari, sehingga sekembali dari haji ia menjadi orang yang terlunta-lunta dan sengsara. Padahal Allah berfirman, artinya:
"Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya." (Al-Baqarah: 286).

Bahkan dalam masalah haji, secara khusus Allah berfirman, artinya:

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu atas orang-orang yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah." (Ali Imran: 97).

Mempertimbangkan untung-rugi sebelum berusaha

Sebagian orang begitu melihat kawannya sukses dengan usaha tertentu serta merta ia terjun di bidang yang sama.
Tidak diragukan lagi bahwa semua ada dalam taqdir Allah, tetapi membuka usaha tanpa pertimbangan matang adalah salah satu sebab kerugian dan terjerat hutang.

Program membayar pinjaman

Di antara hal yang membantu menyelesaikan hutang adalah membayarnya secara berkala. Bayarlah pinjaman itu berangsur dan jangan menganggap remeh karena sedikit yang dibayarkan. Hal ini insya Allah akan membantu menyelesaikan hutang secepatnya. (ain).

Disadur dari kitab hatta la taghriq fid duyun, Adil Muhammad Alu Abdil Ali. [alsofwah]

http://www.kajianislam.net/modules/smartsection/item.php?itemid=457

Bersikap Baik Dalam Utang Piutang

Manusia Adalah Makhluk Sosial

Segala puji hanya milik Allah Ta'ala, Dzat yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad keluarga, dan seluruh sahabatnya. Amiin.

Allah Ta'ala telah menciptakan manusia sebagai umat yang bersifat sosial, saling membutuhkan, dan melengkapi. Tidak mungkin bagi siapapun untuk hidup seorang diri, bahkan syari'at Islam tidak membenarkan bagi umatnya untuk hidup menyendiri jauh dari keramaian.

عن أَبِى أُمَامَةَ رضي الله عنه قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم فِى سَرِيَّةٍ مِنْ سَرَايَاهُ - قَالَ - فَمَرَّ رَجُلٌ بِغَارٍ فِيهِ شَىْءٌ مِنْ مَاءٍ - قَالَ - فَحَدَّثَ نَفْسَهُ بِأَنْ يُقِيمَ فِى ذَلِكَ الْغَارِ فَيَقُوتُهُ مَا كَانَ فِيهِ مِنْ مَاءٍ وَيُصِيبُ مَا حَوْلَهُ مِنَ الْبَقْلِ وَيَتَخَلَّى مِنَ الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ لَوْ أَنِّى أَتَيْتُ نَبِىَّ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَإِنْ أَذِنَ لِى فَعَلْتُ وَإِلاَّ لَمْ أَفْعَلْ. فَأَتَاهُ فَقَالَ يَا نَبِىَّ اللَّهِ إِنِّى مَرَرْتُ بِغَارٍ فِيهِ مَا يَقُوتُنِى مِنَ الْمَاءِ وَالْبَقْلِ فَحَدَّثَتْنِى نَفْسِى بِأَنْ أُقِيمَ فِيهِ وَأَتَخَلَّى مِنَ الدُّنْيَا. قَالَ فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه و سلم: إِنِّى لَمْ أُبْعَثْ بِالْيَهُودِيَّةِ وَلاَ بِالنَّصْرَانِيَّةِ وَلَكِنِّى بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ. رواه أحمد والطبراني وحسنه الألباني

Abu Umamah radhiallahu 'anhu mengisahkan: "Pada suatu waktu kami menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada salah satu peperangannya. Di tengah perjalanan ada seorang sahabat yang melintasi suatu gua, yang padanya terdapat sedikit mata air. Spontan terbetik dalam hati sahabat itu suatu rencana untuk menetap di dalam gua itu, dengan mencukupkan diri dengan minum dari mata air tersebut dan memakan sayur-mayur yang tumbuh di sekitarnya, sehinga ia dapat menjauhi hingar-bingarnya kehidupan dunia. Selanjutnya sahabat itu berpikiran: Alangkah baiknya bila aku terlebih dahulu menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, guna menyampaikan rencanaku ini, bila beliau mengizinkan, maka aku akan menjalankan rencanaku ini, dan bila tidak maka akupun akan mengurungkannya. Iapun segera menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan bertanya kepadanya: 'Ya Rasulullah, sesungguhnya baru saja aku melintasi suatu gua, dan di sana terdapat air serta sayur-mayur. Terbetik dibenakku untuk menyendiri di dalamnya, dengan demikian aku dapat meninggalkan segala urusan dunia.' Mendengar pernyataan sahabat ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Sesungguhnya aku tidak diutus dengan agama Yahudi dan tidak juga dengan agama Nasrani, akan tetapi aku diutus dengan membawa agama yang lurus nan lapang.'" (Riwayat Ahmad, At Thobrani dan dinyatakan oleh Al Albany sebagai hadits hasan)

Pada hadits lain, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan alasan, mengapa beliau tidak mengizinkan umatnya untuk hidup seorang diri jauh dari saudara-saudaranya sesama muslim:

إن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد. رواه الترمذي والحاكم والبيهقي وحسنه الألباني

"Sesungguhnya setan itu senantiasa menyertai orang yang menyendiri, dan ia berada lebih jauh dari dua orang." (Riwayat At Tirmizy, Al Hakim, Al Baihaqy dan dinyatakan oleh Al Albani sebagai hadits hasan)

Berdasarkan adits dan juga lainnya, para ulama' menjelaskan bahwa setan lebih leluasa untuk menyesatkan dan menggoda orang yang berada di suatu tempat seorang diri. Ia akan semakin mendapat kesulitan untuk melancarkan godaannya bila kita berada dalam keramaian. Oleh karena itu Allah Ta'ala mencela orang-orang arab badui yang hidupnya senantiasa berpindah-pindah dan jauh dari keramaian masyarakat:

الأَعْرَابُ أَشَدُّ كُفْرًا وَنِفَاقًا وَأَجْدَرُ أَلاَّ يَعْلَمُواْ حُدُودَ مَا أَنزَلَ اللّهُ عَلَى رَسُولِهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

"Orang-orang Arab Badui itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Qs. At Taubah: 97)

Pada ayat ini dijelaskan bahwa orang yang tinggal di pedalaman, yang kebiasaan hidupnya adalah berpindah-pindah, lebih keras kekufurannya, serta lebih jauh dari pengetahuan agama. Yang demikian itu, dikarenakan mereka jauh dari keramaian masyarakat dan sumber ilmu pengetahuan. (Baca Tafsir At Thabari 14/429, Tafsir Ibnu Katsir 4/201, dan Tafsir As Sa'di 349).

Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa orang yang hidup menyendiri jauh dari keramaian masyarakat akan kehilangan banyak kebaikan dalam urusan agama sebesar kemaslahatan dunianya yang sirna, atau bahkan lebih. (Majmu' Fatawa Ibnu taimiyyah 27/56)

Tidak heran bila orang yang lebih memilih untuk menjalankan fitrahnya sebagai makhluq sosial dengan tetap berinteraski dengan masyarakat lebih baik dari orang yang berusaha menyendiri.

المؤمن الذي يخالط الناس و يصبر على أذاهم خير من الذي لا يخالط الناس و لا يصبر على أذاهم. رواه الترمذي وابن ماجة وصححه الألباني

"Seorang mukmin yang tetap bergaul dengan masyarakat sedangkan ia dapat bersabar menghadapi gangguan mereka, lebih baik dibanding seorang mukmin yang tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak tabah menghadapi gangguan mereka." (Riwayat At Tirmizy, Ibnu Majah dan dinyatakan oleh Al Albani sebagai hadits shahih)

Demikianlah Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa hidup bermasyarakat, karena dengan bermasyarakat kemaslahatan akan menjadi mudah diwujudkan dan kejelekan mudah ditanggulangi. Dengan bermasyarakat, umat manusia dapat saling melengkapi, dan saling menghargai.

Dengan cara bermasyarakat yang baik, kahidupan umat manusia menjadi nyaman, bahagia, dan kebutuhan mereka dapat terpenuhi degan sempurna. Anda dapat bayangkan, betapa susahnya hidup manusia, bila Allah menciptakan umat manusia dalam bentuk yang sama dengan diri anda.

وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah." (Qs. Ad Dzariyaat: 49)

Saudaraku, selama mengarungi bahtera kehidupan di dunia ini, janganlah pernah ada rasa sombong atau congkak dalam diri anda. Anda dan peranan anda menjadi berarti karena adanya orang lain yang membutuhkan kepada diri dan peranan anda. Sebagaimana anda mustahil untuk hidup tanpa membutuhkan kepada diri dan peranan orang lain. Bila anda adalah orang kaya, maka kekayaan anda tidak ada gunanya bila tidak ada orang miskin. Sebagaimana kekayaan anda itu, menjadikan anda semakin banyak membutuhkan kepada jasa dan peranan orang lain.

Andai anda adalah seorang yang berilmu, maka ketahuilah bahwa ilmu anda hanya berguna bila didapatkan banyak orang bodoh di sekeliling anda. Anda pasti membutuhkan kepada keberadaan dan peranan mereka.

Dan andai anda adalah seorang bangsawan yang berdarah biru dan berpangkat tinggi, maka ketahuilah bahwa kedudukan anda hanya akan berarti bila di sekitar anda didapatkan banyak rakyat jelata. Renungkanlah saudaraku fakta ini, agar anda dapat menyingkirkan noda-noda keangkuhan tahta dan harta.

Piutang dan Peranannya Dalam Kehidupan Masyarakat


Diantara metode yang telah dikenal umat manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan mereka ialah dengan cara berinteraksi dan bertukar kepentingan dengan saudaranya. Dan pertukaran kepentingan tersebut ada yang dilakukan antara dua kepentingan duniawi dan ada pula yang dilakukan antara kepentingan duniawi dengan kepentingan akhirat.

Diantara contoh pertukaran antara dua kepentingan duniawi adalah berbagai transaksi perniagaan yang telah banyak kita kenal. Dan di antara contoh pertukaran kepentingan duniawi dengan kepentingan akhirat ialah hibah, sedekah, wakaf dan hutang-piutang.

Simaklah firman Allah Ta'ala berikut:

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا {8} إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُورًا

"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." (Qs. Al Insan: 8-9)

Dan simak pula sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَحْتَ ظِلِّ عَرْشِهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ . رواه البخاري ومسلم والترمذي واللفظ له

"Barang siapa yang menunda atau memaafkan piutang orang yang kesusahan, niscaya Allah akan menaunginya di bawah arsy, kelak di hari yang padanya tidak ada naungan selain naungan-Nya." (Riwayat Bukhari, Muslim, At Tirmizy dan ini adalah teks riwayat At Tirmizy)

Demikianlah kepentingan dunia ditukarkan dengan keuntungan yang kekal nan abadi, yaitu keuntungan di akhirat. Tidakkah anda mengimpikan perniagaan yang pasti untung ini?

Saudaraku, mungkin anda pernah merasakan suatu keadaan dimana anda benar-benar kesusahan, tidak memiliki dana untuk memenuhi kebutuhan atau menjalankan usaha anda. Keadaan ini sudah barang tentu menjadikan anda merasakan kegundahan, susah tidur dan kebingungan. Pada saat semacam ini, anda pasti mendambakan uluran tangan seorang teman atau saudara seiman, guna menyibak kesusahan atau paling tidak meringankannya.

Saudaraku, setelah sekarang anda mendapat karunia dari Allah Ta'ala berupa kelapangan rizki, tidakkah anda mengingat bahwa di sekitar anda masih banyak saudara-saudara anda yang masih menanggung pahitnya kemiskinan dan sempitnya pintu rizkinya. Tidakkah penderitaan mereka menggugah batin anda dan mengetuk pintu hati anda? Apakah yang akan anda lakukan guna meringankan penderitaan mereka?

Barangkali, lubuk hati anda yang paling dalam tergugah untuk segera mengulurkan tangan, dengan memberikan pinjaman modal? Akan tetapi mungkin juga setan membisikkan kepada anda satu pertanyaan berikut: "Mereka adalah orang miskin, atau tidak memiliki pekerjaan yang jelas, siapakah yang akan menjamin uang anda bila dikemudian hari mereka tidak mampu melunasi piutangnya?

Jangan kawatir saudaraku! Uang anda pasti kembali dan terjamin. Anda penasaran ingin tahu siapa yang menjaminnya? Yang menjaminnya ialah Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Tidak percaya, maka simaklah janji sekaligus jaminan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ. رواه مسلم

"Barang siapa yang melapangkan suatu kesusahan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah akan melonggarkan satu kesusahannya di akhirat. Barang siapa yang memudahkan urusan orang yang ditimpa kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat, Barang siapa yang menutupi kekurangan (aib) seorang muslim di dunia, niscaya Allah akan menutupi kekurangannya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia juga menolong saudaranya." (Riwayat Muslim)

Pada riwayat lain beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. رواه ابن ماجة وصححه الألباني

"Barang siapa yang memudahkan urusan orang yang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat." (Riwayat Ibnu Majah dan dinyatakan oleh Al Albani sebagai hadits shahih)

Saudaraku, bila anda telah mengetahui bahwa saudara anda yang kesusahan benar-benar serius dan berkomitmen untuk menunaikan tanggung jawabnya (utangnya), pasti Allah akan memudahkannya untuk mengembalikan hak-hak anda:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ رواه البخاري

"Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya." (Riwayat Bukhari)

Inilah jamina yang yang disebut oleh para penganut paham sekuler dengan asuransi. Saudaraku, kisah berikut adalah salah satu bukti nyata bahwa Allah pasti akan menunaikan jaminan-Nya, sehingga hak-hak kreditur terpenuhi seutuhnya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّهُ ذَكَرَ رَجُلاً مِنْ بَنِى إِسْرَائِيلَ سَأَلَ بَعْضَ بَنِى إِسْرَائِيلَ أَنْ يُسْلِفَهُ أَلْفَ دِينَارٍ ، فَقَالَ ائْتِنِى بِالشُّهَدَاءِ أُشْهِدُهُمْ . فَقَالَ كَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا . قَالَ فَأْتِنِى بِالْكَفِيلِ . قَالَ كَفَى بِاللَّهِ كَفِيلاً . قَالَ صَدَقْتَ . فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ، فَخَرَجَ فِى الْبَحْرِ ، فَقَضَى حَاجَتَهُ ، ثُمَّ الْتَمَسَ مَرْكَبًا يَرْكَبُهَا ، يَقْدَمُ عَلَيْهِ لِلأَجَلِ الَّذِى أَجَّلَهُ ، فَلَمْ يَجِدْ مَرْكَبًا ، فَأَخَذَ خَشَبَةً ، فَنَقَرَهَا فَأَدْخَلَ فِيهَا أَلْفَ دِينَارٍ ، وَصَحِيفَةً مِنْهُ إِلَى صَاحِبِهِ ، ثُمَّ زَجَّجَ مَوْضِعَهَا ، ثُمَّ أَتَى بِهَا إِلَى الْبَحْرِ ، فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنِّى كُنْتُ تَسَلَّفْتُ فُلاَنًا أَلْفَ دِينَارٍ ، فَسَأَلَنِى كَفِيلاً ، فَقُلْتُ كَفَى بِاللَّهِ كَفِيلاً ، فَرَضِىَ بِكَ ، وَسَأَلَنِى شَهِيدًا ، فَقُلْتُ كَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا ، فَرَضِىَ بِكَ ، وَأَنِّى جَهَدْتُ أَنْ أَجِدَ مَرْكَبًا ، أَبْعَثُ إِلَيْهِ الَّذِى لَهُ فَلَمْ أَقْدِرْ ، وَإِنِّى أَسْتَوْدِعُكَهَا . فَرَمَى بِهَا فِى الْبَحْرِ حَتَّى وَلَجَتْ فِيهِ ، ثُمَّ انْصَرَفَ ، وَهْوَ فِى ذَلِكَ يَلْتَمِسُ مَرْكَبًا ، يَخْرُجُ إِلَى بَلَدِهِ ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ الَّذِى كَانَ أَسْلَفَهُ ، يَنْظُرُ لَعَلَّ مَرْكَبًا قَدْ جَاءَ بِمَالِهِ ، فَإِذَا بِالْخَشَبَةِ الَّتِى فِيهَا الْمَالُ ، فَأَخَذَهَا لأَهْلِهِ حَطَبًا ، فَلَمَّا نَشَرَهَا وَجَدَ الْمَالَ وَالصَّحِيفَةَ ، ثُمَّ قَدِمَ الَّذِى كَانَ أَسْلَفَهُ ، فَأَتَى بِالأَلْفِ دِينَارٍ ، فَقَالَ وَاللَّهِ مَا زِلْتُ جَاهِدًا فِى طَلَبِ مَرْكَبٍ لآتِيَكَ بِمَالِكَ ، فَمَا وَجَدْتُ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِى أَتَيْتُ فِيهِ . قَالَ هَلْ كُنْتَ بَعَثْتَ إِلَىَّ بِشَىْءٍ قَالَ أُخْبِرُكَ أَنِّى لَمْ أَجِدْ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِى جِئْتُ فِيهِ . قَالَ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَدَّى عَنْكَ الَّذِى بَعَثْتَ فِى الْخَشَبَةِ فَانْصَرِفْ بِالأَلْفِ الدِّينَارِ رَاشِدًا

Sahabat Abu Hurairah menuturkan bahwa pada suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengisahkan perihal seorang lelaki Bani Israil yang meminta agar saudaranya menghutanginya uang sejumlah seribu dinar (3.750 gram/3,75 Kg). Pemilik uang berkata kepadanya: "Datangkanlah para saksi agar aku dapat mempersaksikan piutang ini kepada mereka!" Spontan ia menjawab: "Cukuplah Allah sebagai saksi." Pemilik uang kembali berkata: "Bila demikian, datangkanlah penjamin (kafil) piutangmu?" Ia kembali menjawab: "Cukuplah Allah sebagai penjamin saya." Mendengar jawaban itu, pemilik uangpun menimpalinya dengan berkata: "Engkau telah benar, selanjutnya iapun memberikan piutang seribu dinar hingga tempo waktu yang disepakati." Selanjutnya lelaki itu (debitur) mengadakan perjalanan di laut hingga ia dapat menuntaskan keperluannya. Tatkala ia hendak kembali, ia mencari perahu yang dapat ia tumpangi agar dapat menunaikan hutangnya tepat waktu pada tempo yang telah disepakati, ia tidak mendapatkan sama sekali satu perahupun yang berlayar. Selanjutnya iapun mengambil sebatang pokok kayu, dan melubanginya, selanjutnya iapun memasukkan uang 1000 dinar beserta secarik surat ke dalam kayu itu. Ia meratakan bagian kayu yang telah ia lubangi hingga rapat, kemudian ia membawanya ke laut. Sesampainya di pantai ia berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku telah berhutang kepada si fulan uang sejumlah seribu dinar, tatkala ia meminta agar aku mendatangkan seorang penjamin, aku menjawabnya: Cukuplah Allah sebagai penjamin, dan iapun ridha Engkau sebagai penjamin. Tatkala ia meminta agar aku mendatangkan saksi, aku menjawabnya: Cukuplah Allah sebagai saksi, dan iapun ridha Engkau sebagai saksi. Sekarang ini saya berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan perahu yang berlayar guna menitipkan haknya, akan tetapi aku tidak mendapatkannya. Karenanya sekarang ini aku titipkan uang ini kepada-Mu." Selanjutnya orang itu (sang debitur) melemparkan kayu tersebut ke laut, hingga tenggelam. Dan tanpa menanti lebih lama, ia bergegas pergi. Seusai melakukan hal ini, ia tidak kunjung hentinya mencari perahu yang berlayar agar dapat pulang ke negerinya. Pada suatu hari sang pemberi piutang (kreditur) keluar rumah melihat-lihat ke arah pantai, siapa tahu ia mendapatkan perahu yang membawa (dititipi) uang yang telah ia hutangkan. Tiba-tiba ia menemukan sebatang kayu yang di dalamnya tersimpan uangnya. Iapun segera memungut kaya tersebut guna dijadikan kayu bakar. Setibanya di rumah, ia segera membelah kayu itu. Betapa terkejutnya, ia mendapatkan uangnya beserta secarik surat. Tak selang berapa lama, sang debitur (penghutang) tiba dari kepergiannya, dan ia segera mendatangi sahabatnya (sang kreditur) dengan membawa uang seribu dinar. Ia dengan penuh rasa sungkan berkata kepada sahabatnya: "Aku telah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan perahu yang berlayar, guna memenuhi janjiku dan menyerahkan uangmu, akan tetapi aku tidak mendapatkan satu perahupun selain perahu yang aku tumpangi ini." Sang krediturpun segera bertanya: "Apakah engkau telah mengirimkan sesuatu kepadaku?" Sang debiturpun –karena merasa kawatir uangnya tidak sampai- menjawab: "Aku katakan bahwa aku tidak mendapatkan perahu selain perahu yang baru saja saya tumpangi ini." Sang krediturpun berkata kepadanya: "Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menyampaikan uang yang telah engkau sisipkan ke dalam sebatang kayu, maka silahkan anda bawa kembali uang seribu dinar yang engkau bawa ini." (Riwayat Al Bukhari)

Demikianlah bila Allah yang menjadi penjamin suatu piutang, pasti ditepati dan tidak akan terkurangi sedikitpun hak-hak anda? Bagaimana dengan diri anda, siapkah anda menerima Allah sebagai penjamin hak-hak anda?

Walau demikian adanya, kita pasti menyadari bahwa untuk dapat menerima jaminan Allah dengan sepenuhnya, tentunya membutuhkan kepada keimanan yang benar-benar kokoh. Karenanya bila anda merasa belum cukup iman sehingga tetap saja mengawatirkan hak-hak anda tidak terpenuhi, maka Islam membenarkan anda untuk meminta jaminan lain. Jaminan lain tersebut dapat diwujudkan pada tiga hal:

Metode Mendapatkan Rasa Aman Atas Hak-Hak Terhutang

Islam membenarkan bagi umatnya untuk mencari rasa aman dan tentram atas hak-haknya. Karenanya Islam mensyari'atkan bagi umatnya agar mereka menempuh satu atau lebih dari beberarapa opsi berikut:

* Menuliskan piutang, walaupun berjumlah kecil
* Mempersaksikan setiap piutang kepada saksi-saksi yang dapat dipercaya.
* Mengambil barang gadaian yang dapat dijual-belikan,
sehingga bila debitur tidak mampu melunasi piutangnya, barang gadaian dapat
dijual, dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi piutangnya.

Ketiga hal ini selain dapat memberikan rasa aman bagi para kreditur; para pemilik hak.

Ketiga hal ini juga dapat melindungi kedua belah pihak dari persengketaan. Karenanya ketiga hal ini sudah sepatutnya untuk dilakukan oleh kedua belah pihak, tanpa ada rasa sungkan atau malu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لاَ يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَاء إِذَا مَا دُعُواْ وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ صَغِيرًا أَو كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوْاْ إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلاَ شَهِيدٌ وَإِن تَفْعَلُواْ فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ {282} وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperolah seorang penulis, maka hendaklah ada barang gadaian yang diserahkan (kepada kreditur)." (Qs. Al Baqarah: 282-283)

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com

http://pengusahamuslim.com/fatwa-perdagangan/nasehat-untuk-pedagang-dan-pengusaha/563-bersikap-baik-dalam-utang-piutang.html

ADAB-ADAB KREDITUR

Bila kita mengkaji berbagai dalil yang berkaitan dengan kreditur, yaitu orang diberi karunia kelebihan harta sehingga ia mampu menghutangi saudaranya, maka kita akan mendapatkan beberapa kesimpulan hukum. Dan bila kita merenungkan setiap hukum yang berkaitan dengan kreditur ini, niscaya kita akan dapatkan bahwa hukum tersebut benar-benar selaras dengan kemanusiaan dan akhlaq yang terpuji. Betapa tidak, hukum-hukum itu dapat melindungi kreditur dari sifat-sifat buruk, semisal, tamak, rakus, dan kejam.

Di antara hukum-hukum kreditur yang benar-benar mencerminkan akhlaq terpuji itu adalah sebagai berikut:

Adab pertama: Tanpa pamrih dan hanya mengharapkan balasan dari Allah.

Uluran tangan yang tanpa pamrih dan hanya mengharapkan balasan dari Allah Ta'ala adalah cerminan dari iman dan ketakwaan seseorang.

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُورًا

"Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." (Qs. Al Insan: 8-9)

Pada pertemuan yang telah lalu, dijelaskan bahwa utang piutang termasuk akad yang bertujuan memberikan uluran tangan. Karenanya uluran tangan tidak boleh dijadikan kedok untuk mengeruk keuntungan.

Pertolongan atau uluran tangan adalah perbuatan terpuji nan luhur, akan tetapi bila dibalik, pertolongan telah berhamburan kerikil-kerikil tajam, tentu itu tidak terpuji. Inilah yang mendasari orang-orang jawa untuk menjuluki perbuatan para rentenir dengan sebutan: "Nulung tapi mentung."

Saudaraku! dalam hukum syari'ah perbuatan "nulung tapi mentung" yang diaplikasikan dalam bentuk piutang yang bertujuan mengeruk keuntungan, baik dalam bentuk materi atau non materi yang memiliki nilai materi, disebut dengan riba.

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba." (al-Muhazzab oleh As Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211&213, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu 'Uyun al-Basha'ir 5/187, as-Syarhul Mumthi' 9/108-109)

Muhammad Nawawi Al Bantaani berkata, "Tidak dibenarkan untuk berhutang uang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi utang misalnya dengan syarat: pembayaran lebih atau dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid radhiallahu 'anhu:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba [1]. Maksudnya setiap utang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi utang maka itu adalah riba. Bila ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal, bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung." (Nihayatu az-Zain Fi Irsyad al-Mubtadiin oleh Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi 242. Keterangan serupa juga dapat dibaca di Mughni al-Muhtaaj oleh as-Syarbini 2/119, Nihayatu al-Muhtaaj oleh ar-Ramli 4/231)

Saudaraku, para ulama' tidak membedakan antara keuntungan yang bersifat fluktuatif alias berubah-ubah kadarnya dari yang tetap. Dan ini dapat dipahami dengan jelas dari sekedar membaca kaedah yang sekaligus teks hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas.

Adab kedua: Menunda tagihan bila debitur belum mampu melunasi utangnya.

Diantara hukum kreditur yang mencerminkan sifat mulia ialah menunda penagihan bila sang debitur belum mampu menunaikan kewajibannya atau sedang dalam kesulitan.


وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 280)

Berdasarkan ayat ini, para ulama', terutama para penganut Mazhab As Syafi'i menjelaskan bahwa menunda piutang orang yang sedang kesulitan, sehingga belum mampu memenuhi kewajibannya adalah wajib hukumnya. (Al Muhazzab oleh As Syairozy 3/100, Al Haawi Al Kabir oleh Al Mawardi 15/868, & Fathul Bari oleh Ibni hajar 4/308)

Saudaraku! Anda ingin tahu seberapa besar keuntungan yang pasti anda peroleh bila anda menunda tagihan piutang anda?

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَحْتَ ظِلِّ عَرْشِهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ . رواه البخاري ومسلم والترمذي واللفظ له

"Barang siapa yang menunda atau memaafkan utang orang yang kesusahan, niscaya Allah akan menaunginya di bawah arsy, kelak di hari yang padanya tidak ada naungan selain naungan-Nya." (Riwayat Bukhari, Muslim, At Tirmizy dan ini adalah teks riwayat At Tirmizy)

Adab ketiga: Memaafkan sebagian atau seluruhnya.

Telah berkali-kali diutarakan bahwa piutang adalah salah satu bentuk perniagan yang seyogyanya menjadi ladang untuk menyemai benih-benih pahala dan keridhaan Allah Ta'ala. Karenanya, semakin besar pengorbanan yang anda lakukan dan semakin panjang anda mengulurkan tangan, maka semakin besar pula pahala dan keridhaan Allah yang anda tuai.


وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 280)

Dan pada hadits di atas dijelaskan bahwa orang yang memaafkan utang saudaranya akan mendapatkan naungan di bawah 'Arsy pada hari kiamat. Balasan yang sejenis: Sebagaimana tatkala di dunia seorang kreditur dengan piutangnya telah memberikan perlindungan kepada saudaranya dari kebangkrutan, kesusahan dan kelaparan, maka Allah membalasnya dengan yang setimpal. Allah memberikan perlindungan kepadanya dari petaka alam mahsyar.

Sebagaimana kreditur telah memudahkan tagihannya, dengan menunda atau memaafkannya, maka Allah Ta'ala-pun akan memudahkan tagihan-Nya (baca = hisab-Nya) pada yaumul hisab.

عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : أُتِىَ اللَّهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَقَالَ لَهُ مَاذَا عَمِلْتَ فِى الدُّنْيَا - قَالَ وَلاَ يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا - قَالَ يَا رَبِّ آتَيْتَنِى مَالَكَ فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ مِنْ خُلُقِى الْجَوَازُ فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوسِرِ وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ. فَقَالَ اللَّهُ أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِى. متفق عليه

"Sahabat Huzaifah radhiallahu 'anhu menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Didatangkan kepada Allah salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah berfirman kepadanya: Apa yang engkau lakukan ketika di dunia?' 'Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian.' (Surat An Nisa 42). Iapun menjawab: 'Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan dahulu aku berjual-beli dengan orang lain, dan dahulu kebiasaanku (akhlaqku) adalah senantiasa memudahkan, dahulu aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu.' Kemudian Allah berfirman: 'Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini.'" (Muttafaqun 'alaih)

Luar biasa, balasan yang setimpal, perlindungan dibalas dengan perlindungan, memudahkan dibalas dengan memudahkan.

هَلْ جَزَاء الإِحْسَانِ إِلاَّ الإِحْسَانُ

"Dan adakah balasan bagi kebajikan selain kebajikan pula." (Qs. Ar Rahman: 60)

Dinyatakan dalam salah satu atsar (riwayat) dari ulama' terdahulu:

البِرُّ لاَ يَبْلَى وَالإِثْمُ لاَ يُنْسَى وَالدَّيَّانُ لاَ يَمُوتُ فَكُنْ كَمَا شِئْتَ كَمَا تَدِيْنُ تُدَانُ

"Kebajikan itu takkan pernah lekang, dosa tak kan pernah terlupakan, dan Allah Yang Maha Kuasa takkan pernah mati, karenanya berlaku sesukamu, karena sebagaimana engkau berperilaku, maka demikian pulalah engkau akan diperlakukan."

ADAB-ADAB DEBITUR

Syariat Islam juga telah mengajarkan kepada pihak yang menerima uluran tangan dan pertolongan, untuk berperilaku yang mencerminkan akhlaq yang terpuji nan luhur. Sehingga dengan berperilaku luhur, ia tetap dapat menjaga keluhuran martabatnya dan membalas uluran tangan saudaranya dengan cara-cara yang luhur pula.

Berikut beberapa adab yang semestinya anda indahkan bila anda menjadi seorang debitur:

Adab pertama: Tidak berhutang melainkan bila merasa mampu untuk melunasinya.

Diantara syari'at yang diajarkan kepada umatnya agar mereka dapat berlaku baik pada piutangnya ialah bersikap proporsional (sedang-sedang) dalam kehidupannya. Hidup sederhana, dan tidak berlebih-lebihan, dan senantiasa membelanjakan harta kekayaan dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, kita tidak membelanjakan harta kekayaan kita dalam hal yang kurang berguna atau sia-sia, apalagi diharamkan, sebagaimana kita juga akan terhindar dari sikap "besar pasak daripada tiang."

وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (Qs. Al Furqan: 67)

Al Qurtuby Al Maliky berkata: "Ada tiga pendapat tentang maksud dari larangan berbuat israf (berlebih-lebihan) dalam membelanjakan harta:

Pendapat pertama: Membelanjakan harta dalam hal yang diharamkan, dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas.

Pendapat kedua:
Tidak membelanjakan dalam jumlah yang banyak, dan ini adalah pendapat Ibrahim An Nakha'i.

Pendapat ketiga: Mereka tidak larut dalam kenikmatan, bila mereka makan, maka mereka makan sekadarnya, dan dengan agar kuat dalam menjalankan ibadah, dan bila mereka berpakaian, maka sekadar untuk menutup auratnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ini adalah pendapat Yazid bin Abi Habib."

Selanjutnya Al Qurtuby menimpali ketiga penafsiran ini dengan berkata: "Ketiga penafsiran ini benar, karena membelanjakan dalam hal kemaksiatan adalah diharamkan. Makan dan berpakaian hanya untuk bersenang-senang, dibolehkan, akan tetapi bila dilakukan agar kuat menjalankan ibadah dan menutup aurat, maka itu lebih baik. Oleh karena itu Allah memuji orang yang melakukan dengan tujuan yang utama, walaupun selainnya adalah dibolehkan, akan tetapi bila ia berlebih-lebihan dapat menjadikannya pailet. Pendek kata, menyisihkan sebagian harta itu lebih utama."

Adapun maksud dari: "Tidak kikir dalam membelanjakan harta", maka para ulama' tafsir memiliki dua penafsiran:

Penafsiran pertama: Tidak enggan untuk menunaikan kewajiban, misalnya zakat dan lainnya.

Penafsiran kedua: Pembelanjaan harta tersebut tidak menjadikannya terhalangi dari menjalankan ketaatan, sebagaiaman halnya orang yang hanyut dalam berbelanja di mall, sampai lupa untuk mendirikan sholat. (Ahkamul Qur'an oleh Al Qurtuby 3/452)

Bila anda telah menempuh hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta, juga tidak kikir, niscaya anda akan terhindar dari lilitan hutang yang memberatkan.

Saudaraku! bila anda amati kebanyakan orang yang terlilit piutang dan ia tidak kuasa untuk melunasinya, biasanya akibat dari sikapnya yang tidak proporsional dalam membelanjakan harta bendanya. Ia membeli berbagai keperluan yang tidak penting dan dengan harga mahal, bahkan tidak jarang ia membelanjakan hartanya dalam hal-hal haram. Bahkan bila merasa keuangannya tidak mencukupi, ia tidak canggung untuk berhutang kepada orang lain, tanpa memikirkan bagaimana caranya mengembalikan utangnya tersebut.

Tentu pola pembelajaan harta benda semacam ini tidak dibenarkan dalam Islam. Sikap seperti ini menurut sebagian ulama' adalah salah satu bentuk upaya merusak harta orang lain, dan pelakunya diancam dengan kebinasaan.

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ. رواه البخاري

"Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya." (Riwayat Bukhari)

Karena itu, hendaknya kita tidaklah berhutang kecuali bila benar-benar membutuhkan dan merasa mampu untuk melunasinya. Karena piutang, terasa manis pada saat menerimanya akan tetapi pahit dan berat pada saat hendak melunasinya. Dahulu para ulama' salaf menyatakan:

مَا دَخَلَ هَمُّ الدَّيْنِ قَلْباً إِلاَّ أَذْهَبَ مِنَ الْعَقْلِ مَا لاَ يَعُوْدُ

"Tidaklah kegundahan karena memikirkan piutang menghampiri hati seseorang, melainkan akan menyirnakan sebagian dari akal sehatnya dan tidak akan pernah pulih kembali."

Saudaraku, inilah hikmah dari sikap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang sering sekali berlindung dari lilitan utang:

مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ. متفق عليه

"Ya Rasulullah, betapa sering engkau berlindung dari utang yang melilit nan memberatkan?" Beliau menjawab: “Sesungguhnya seseorang bila telah terlilit oleh utang yang memberatkan, bila berbicara, ia berdusta, dan bila berjanji, ia ingkar." (Muttafaqun 'alaih)

Adab kedua:
Bertekad bulat untuk melunasi utang dengan sepenuhnya dan tidak menunda-nunda pembayaran.

Syari'at Islam adalah agama yang luhur dan senantiasa mengajarkan setiap hal yang luhur pula. Sebagaimana Islam juga memerangi setiap hal yang dapat merusak keluhuran jiwa umatnya.

Diantara hal yang dilarang dalam syari'at Islam karena hal itu merupakan cerminan dari jiwa tercela, ialah membalas susu dengan air tuba. Bila saudara anda telah mengulurkan tangannya dengan memberikan utang kepada anda, maka tidak layak bagi anda untuk mengkhianati kepercayaannya dengan mengingkari atau menunda-nunda pembayaran haknya, padahal anda telah mampu untuk menunaikannya.

Mungkin saja anda beralasan bahwa: mumpung ada peluang bisnis yang sangat menguntungkan, sedangkan kreditur belum membutuhkan kepada dana ini, maka lebih baik saya investasikan dahulu, agar lebih banyak mendatangkan keuntungan.

Saudaraku! ini adalah bisikan setan, agar anda semakin hari semakin terjebak dan merasa berat untuk melunasi utang anda. Karena bisikan semacam ini akan terus dibisikkan kepada anda dan tidak ada hentinya. Setiap hari peluang bisnis pasti ada yang baru, dan menggiurkan anda. Bila bisikan ini anda turuti, maka tidak menutup kemungkinan kesusahan akan kembali menghampiri anda. Ulah anda yang kurang terpuji ini mungkin saja menjadi alasan bagi Allah untuk menimpakan kembali kesusahan kepada anda.

مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىءٍ فَلْيَتْبَعْ. متفق عليه

"Penunda-nundaan orang yang telah kecukupan adalah perbuatan zhalim, dan bila tagihanmu dipindahkan kepada orang yang berkecukupan, maka hendaknya iapun menurutinya." (Muttafaqun 'alaih)

Begitu tercelanya perilaku ini, sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikannya sebagai tindak kejahatan yang pelakunya layak untuk dihukumi, baik dengan hukuman fisik atau lainnya.

لَىُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عُقُوبَتَهُ وَعِرْضَهُ. رواه البخاري

"Penundaan orang yang telah berkelapangan adalah tindak kezhaliman yang menjadikan pelakunya layak untuk dihukumi (fisiknya) dan dilanggar kehormatannya." (Riwayat Al Bukhari)

Hukuman fisik berupa dipenjara, hingga didera dengan cambuk hingga ia menunaikan tanggungan utangnya.

Pelangaran kehormatan dengan cara menyampaikan perilakunya ini kepada pihak yang berwenang atau orang lain yang mampu memberikan tekanan kepadanya sehingga pada akhirnya ia menunaikan tanggungan piutangnya. (Baca Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 5/62)
Bila anda telah mengetahui bahwa penundaaan adalah perbuatan zhalim, maka waspadalah, jangan sampai kezhaliman ini menjadi penyebab seretnya rizqi anda:

إن الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقُ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ. رواه أحمد وابن ماجة والحاكم وغيرهم

"Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizqinya akibat dari dosa yang ia kerjakan." (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim dll)

Bahkan bila penunda pelunasan piutang disertai dengan niat tidak baik, maka dosa dan hukumannyapun semakin berat. Masa depan yang suram di dunia dan akhirat akan menjadi bagiannya.

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ. رواه البخاري

"Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya." (Riwayat Bukhari)

Saudaraku, ketahuilah bahwa bila anda bertekad bulat untuk melunasi utang anda kepada yang berhak menerimanya, niscaya anda mendapat pertolongan dan kemudahan dari Allah, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas, dan juga pada hadits berikut:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ. رواه ابن ماجة والدارمي والحاكم والبيهقي وصححه الألباني

"Sesungguhnya Allah senantiasa menyertai orang yang berhutang hingga ia melunasi utangnya, selama utangnya itu tidak dibenci Allah." (Riwayat Ibnu Majah, Ad Darimy, Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)

Masihkah ada alasan untuk menunda-nunda pembayaran utang?

Adab ketiga: Bersikap baik dalam pelunasan utang.

Bila anda telah menyadari bahwa saudara anda sang kreditur telah memberikan uluran tangannya, maka sudah sepantasnyalah bila anda berperilaku baik tatkala melunasi utang. Perilaku baik dalam proses pelunasan utang dapat diwujudkan dalam beberapa hal:

1. Tepat waktu dan tidak menunda-nunda, sebagaimana telah dijelaskan di atas.


2. Memberi tambahan, baik tambahan sejenis dengan utang atau dalam bentuk lain. Tambahan ini bila tidak dipersyaratkan pada saat akad hutang-piutang berlangsung, dan atas dasar inisiatif debitur sendiri, maka ini adalah sikap yang terpuji dan tidak termasuk riba.


عن أبي رافع رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم اسْتَسْلَفَ من رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إِبِلٌ من إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إليه أبو رَافِعٍ، فقال: لم أَجِدْ فيها إلا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فقال: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ الناس أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً. رواه مسلم

"Abu Rafi' radhiallahu 'anhu mengisahkan: Bahwa pada suatu saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berhutang seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi' untuk mengganti anak unta yang beliau hutang dari orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Raafi' kembali menemui beliau dan berkata: "Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: "Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya." (Muttafaqun 'alaih)

3. Melunasi piutang sesegera mungkin, walaupun belum jatuh tempo.

4. Dan tidak lupa bila anda tidak kuasa untuk melakukan ketiga hal di atas, maka saya yakin anda kuasa untuk melakukan hal ini, yaitu mengucapkan terimakasih dan mendoakan kebaikan untuknya:

مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ. رواه أحمد وأبو داود وصححه الألباني

"Barang siapa yang telah berbuat kebaikan kepadamu, maka balaslah kebaikannya, bila engkau tidak memiliki sesuatu yang dapat digunakan untuk membalas kebaikannya, maka doakanlah kebaikan untuknya hingga engkau merasa telah cukup membalas kebaikannya tersebut." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)

Mungkinkah anda merasa susah untuk memanjatkan doa kebaikan bagi orang-orang yang telah berjasa dengan mengulurkan tangannya untuk anda?

Adab keempat: Mohon pertolongan kepada Allah Ta'ala untuk dapat melunasi utang.

Saudaraku! sebagai bagian dari keimanan anda kepada Allah Ta'ala ialah meyakini bahwa Allah Maha Kuasa. Tiada daya dan upaya selain apa yang Allah karuniakan kepada anda. Segala yang Allah kehendaki untuk terjadi pasti terlaksana dan segala yang tidak Ia kehendaki pasti tidak akan terlaksana. Demikianlah ikrar yang senantiasa anda ucapkan melalui bacaan:

لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ

"Tiada upaya dan tiada daya selain atas karunia Allah."

Keimanan ini sudah sepantasnya untuk menyertai setiap aktifitas kita selama hidup di dunia ini. Betapa tidak, kita hidup dalam kerajaan Allah dan kekuasaan-Nya, sehingga tidak mungkin kita kuasa untuk melakukan sesuatu yang tidak Allah kehendaki. Oleh karena itu, diantara doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ialah:

اللَهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً

"Ya Allah, tiada kemudahan selain yang Engkau jadikan mudah, dan Engkau berkuasa untuk menjadikan yang kesusahan menjadi mudah."

Saudaraku, bila keimanan ini telah menyatu dengan denyut nadi kita, maka tentu kitapun senantiasa merasa butuh kepada pertolongan Allah Ta'ala. Kalaulah bukan karena pertolongan dan bantuan Allah, niscaya segala urusan kita menjadi susah.

Inilah yang mendasari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengajarkan kepada umatnya agar memohon pertolongan kepada Allah dalam upayanya melunasi tanggungan utangnya:

أَتَى عَلِيًّا رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنِّى عَجَزْتُ عَنْ مُكَاتَبَتِى فَأَعِنِّى. فَقَالَ عَلِىٌّ أَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلِ صِيرٍ دَنَانِيرَ لأَدَّاهُ اللَّهُ عَنْكَ؟ قُلِ: اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ رواه أحمد والترمذي وحسنه الألباني

Pada suatu hari seorang budak laki-laki mendatangi sahabat Ali bin Abi Thalib, lalu ia berkata: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku merasa keberatan untuk membayar tebusan diriku, makanya aku mohon bantuan kepadamu." Mendengar keluhan ini sahabat Ali berkata kepadanya: “Sudikah engkau aku ajari bacaan doa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepadaku, yang dengan doa ini, andai engkau menanggung piutang sebesar gunung Shiir niscaya Allah akan memudahkanmu untuk melunasinya. Ucapkanlah:

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

"Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu." (Riwayat Ahmad, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits Hasan oleh Al Albani)

Demikianlah etika seorang muslim yang benar-benar mencerminkan keimanan dan ketakwaannya; bijak dalam membelanjakan hartanya, menghormati hak saudaranya, membalas uluran tangan saudaranya dengan yang serupa atau lebih baik, dan bertawakkal seerta memohon bantuan kepada Allah Ta'ala.

Inilah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, semoga bermanfaat bagi kita semua, dan mohon maaf bila ada khilaf dan kesalahan, wallahu a'alam bisshowab.

اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ. وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين. والله أعلم بالصَّواب، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.

"Ya Allah, Tuhan malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Dzat Yang telah Menciptakan langit dan bumi, Yang Mengetahui hal yang gaib dan yang nampak, Engkau mengadili antara hamba-hambamu dalam segala yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami –atas izin-Mu- kepada kebenaran dalam setiap hal yang diperselisihkan, sesungguhnya Engkau-lah Yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki menuju kepada jalan yang lurus. Shalawat dan salam dari Allah semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya. Dan Allah-lah Yang Lebih Mengetahui kebenaran, dan akhir dari setiap doa kami adalah: "Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam." Amin.

Footnotes:

[1] Ucapan Fudholah bin Ubaid radhiallahu 'anhu diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Ucapan serupa juga diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Salaam dan Anas bin Malik radhiallahu 'anhu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, di antaranya sahabat Abdullah bin Salaam dan Anas bin Maalik." (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/334)

***

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com

http://pengusahamuslim.com/fatwa-perdagangan/nasehat-untuk-pedagang-dan-pengusaha/564-bersikap-baik-dalam-utang-piutang.html