Showing posts with label Tawassul. Show all posts
Showing posts with label Tawassul. Show all posts

Tawassul, Syubhat dan Bantahannya

Bagi kaum muslimin yang “hobi” melakukan ziarah kubur, hampir dipastikan mereka juga memiliki agenda untuk melakukan tawassul. Ritual doa melalui perantara ini sepertinya telah menjadi menu wajib dari rangkaian kegiatan ziarah kubur. Sayang, perbuatan tawassul itu mayoritas menjurus kepada amalan syirik yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketika diingatkan, mereka menolak dengan keras karena mereka ternyata juga punya “dalil”. Apa saja “dalil” mereka itu dan bagaimana bantahannya?

Sebagai lanjutan dari pembahasan tawassul yang disyariatkan pada edisi lalu, kali ini akan dibahas tentang tawassul yang dilarang.

Kedua, tawassul yang diharamkan dan tidak disyariatkan oleh Allah.

Yaitu bertawassul kepada Allah I dengan sesuatu yang bukan sebagai wasilah atau dengan sesutu yang tidak ditetapkan oleh syariat sebagai wasilah dan bentuk tawassul ini ada dua:

1.    Tawassul kepada Allah I dengan sesuatu yang tidak ada syariatnya. Tawassul semacam ini di haramkan. Contohnya, bertawassul dengan jah (kedudukan) seseorang yang memiliki kedudukan di sisi Allah I atau tawassul dengan dzat seseorang. Perbuatan ini menjadi bid’ah dari satu sisi dan syirik (kecil-red) dari sisi yang lain:

-    Bid’ah karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh para shahabat Rasulullah n kepada diri Rasul baik di saat beliau masih hidup, terlebih setelah beliau meninggal.
-    Syirik (kecil, red) dari sisi menjadikan sesuatu perantara atau sebab yang tidak pernah ditentukan oleh Allah I, maka hal ini termasuk dari kesyirikan kepada Allah I.

2.    Tawassul kaum musyrikin dengan berhala dan patung-patung, dan juga seperti tawassul para pengagung kuburan dengan wali-wali mereka yakni sesungguhnya mereka meminta-minta langsung kepada ahli kubur atau berhala dengan dalih bertawassul dan ini adalah tawassul syirik akbar.

Pertanyaan

1. Bagaimana hukum bertawassul dengan seseorang yang shalih?
Jawaban terhadap pertanyaan ini ada rinciannya yaitu:

a.    Bila bertawassul dengan doa mereka kepada Allah I dengan cara meminta agar dia mendoakan dirimu kepada Allah I, maka hal ini diperbolehkan di dalan syariat dan telah dilakukan oleh para shahabat Rasulullah n kepada beliau dan telah dilakukan pula oleh Umar bin Al-Khaththab kepada paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muththalib z.

b.    Bila bertawassul dengan kedudukan mereka dan dzat mereka maka ini termasuk dari kesyirikan(kecil, red) dari satu sisi dan kebidahan dari sisi yang lain, sebagaimana di atas.

2. Bagaimana hukum bertawassul kepada Rasulullah n?

Bertawassul dengan Rasulullah n  termasuk dari sederetan fitnah yang besar, dan jawaban terhadap pertanyaan ini adalah:

a.    Bila bertawassul dengan keimanannya kepada beliau maka hal ini termasuk dari ibadah kepada Allah I dan disyariatkan oleh-Nya. Contohnya dengan mengatakan: “Ya Allah dengan imanku kepada Nabi-Mu aku memohon-Mu…

b.    Bila tawassul dengan doa beliau artinya datang kepada beliau semasa masih hidup lalu meminta agar didoakan kepada Allah I, maka hal ini adalah diperbolehkan sebagaimana di atas adapun setelah wafatnya maka tidak boleh bertawassul melainkan dengan mengikuti dan mengimani beliau.

c.    Bila tawassul dengan kedudukan dan dzat beliau baik disaat beliau hidup atau setelah wafatnya maka hal ini termasuk dari kebid’ahan.

Beberapa Permasalahan Penting

Setelah mengetahui jenis-jenis tawassul baik yang disyariatkan ataupun yang mengundang murka Allah, ada beberapa permasalahan penting yang harus dipahami:

1.    Bahwa ahli kebatilan tidak akan berdiam diri dan ridha, membiarkan kaum muslimin kembali kepada ajaran Rasulullah n dan mengamalkannya di tengah masyarakat yang menjadi mangsa mereka. Sehingga mereka berusaha dengan segala cara untuk menghadapi segala kemungkinan pembaharuan akidah dengan cara apapun juga, walaupun dalam waktu yang cukup lama. Mereka akan memakai senjata-senjata kebatilan untuk membendung kebenaran dan pengikutnya, seperti dusta, tuduhan keji, menipu, janji-janji palsu, mencaci-maki, dan sebagainya.

2.    Para penyesat selalu mengintai mangsanya, yang bila ada kesempatan mereka akan mengeluarkan manuver-manuver penyesatan dengan jembatan syubhat.

3.    Betapa banyak dari kaum muslimin termakan manuver-manuver mereka, sadar atau tidak sadar. Sehingga bukan suatu keanehan lagi bila muncul dari kaum muslimin pembela-pembela kebatilan, penebar kesesatan. Allah I berfirman:
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba`: 13)

4.    Allah I akan selalu menjaga agamanya dari rongrongan para penyesat dengan menampilkan para ulama Ahlus Sunnah untuk membendung kejahatan mereka. Bagaimanapun dan di manapun mereka bersembunyi dengan kebatilan mereka, niscaya Allah I akan menampilkan sosok ulama yang akan menyeret mereka agar nampak di hadapan kaum muslimin bahwa ini adalah ahli kebatilan, berikut kebatilan yang mereka lakukan.

Hal ini sebagai kebenaran janji Allah di dalam Al Qur`an:

“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan Ad-Dzikr (Al-Qur`an) dan Kami yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)

Tidak ada sekecil apapun kejahatan yang diperbuat di dalam agama-Nya atau mengatas namakan agama-Nya, melainkan Allah I akan membongkar kedoknya. Dan tidak ada sekecil apapun makar yang dilakukan oleh ahli kebatilan secara sembunyi melainkan Allah I akan mengbongkarnya walaupun mereka akan bersembunyi di lobang-lobang biawak sekalipun. Tidak ada sesulit apapun syubhat yang mereka lontarkan melainkan Allah I akan menampakkan kebatilannya. Itulah bentuk rahmat Allah atas hamba-hamba-Nya yang beriman. Itulah apa yang telah disebutkan oleh Rasulullah n dalam sebuah sabdanya:
“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, niscaya Allah akan memberikan kefaqihan di dalam agama, dan sesungguhnya aku adalah sebagai pembagi (harta shadaqah) dan yang memberi adalah Allah. Terus menerus (sebagian) dari umat ini (Islam) tegak di atas perintah Allah, tidak akan membahayakan mereka siapapun yang menyelisihi mereka sampai datang keputusan Allah.”

Hadits ini diriwayatkan dari sejumlah shahabat Rasulullah n seperti Mu’awiyah bin Abu Sufyan diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 71, Muslim no. 1037, dan Ahmad no. 16246, Tsauban, Al-Mughirah bin Syu’bah, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, Abu Hurairah, Mu’awiyah bin Qurrah, Zaid bin Arqam, ‘Imran bin Hushain, Uqbah bin ‘Amir, Abu Umamah g dan selain mereka. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud di dalam Sunan beliau, juga At-Tirmidzi, Ibnu Majah.

Dalam lafadz yang lain, Rasulullah n menjelaskan: “Mereka adalah golongan yang selalu memperjuangkan kebenaran dan selalu tertolong di atasnya sampai datang keputusan Allah.” Lalu siapakah yang dimaksud dengan sekelompok kecil tersebut?

Ibnu Hajar Al-’Asqalani t mengatakan: “Al-Imam Al-Bukhari telah memastikan bahwa yang dimaksud adalah ulama dan ahli hadits.” Dan Al-Imam Ahmad t mengatakan: “Kalau bukan ahli hadits yang dimaksud, maka saya tidak mengetahui siapa mereka.” Al-Qadhi ‘Iyadh t mengatakan: “Yang dimaksud oleh Ahmad adalah Ahlus Sunnah dan orang-orang yang mengikuti madzhab mereka.” (Lihat Fathul Bari, 1/200, cet. Darul Hadits, Mesir)

Di antara syubhat yang dilontarkan oleh ahli kebatilan dalam masalah tawassul adalah sebagai berikut:
Syubhat pertama: “Orang-orang yang membolehkan tawassul dengan jah (kedudukan) seseorang, kehormatan, dzat dan haknya, berdalil dengan hadits Anas bin Malik, diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam dua tempat. Pertama, dalam kitab Al-Istisqa` bab 3 no. 1010 dan di dalam kitab Fadha`ilush Shahabah bab 11 no. 3710.

“Sesungguhnya ‘Umar bin Al-Khaththab beristisqa` (minta turun hujan) melalui ‘Abbas bin Abdul Muththalib bila ditimpa musim kering (yang berakibat terjadinya paceklik). Beliau (‘Umar) berkata: “Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawassul dengan Nabi Engkau dan Engkau menurunkan air hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi Engkau, maka turunkanlah atas kami hujan, beliau berkata: ‘Lalu turun hujan buat mereka’.”

Mereka (ahli kebatilan) mengatakan: “Dari hadits ini, ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan), dan dia memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Dan tawassul ‘Umar hanya sebatas menyebut nama Al-‘Abbas di dalam doa beliau dan meminta kepada Allah untuk menurunkan hujan. Ditambah lagi,  para shahabat menyetujui hal itu. Adapun sebab ‘Umar berpaling dari bertawassul dengan Rasulullah hanyalah sebatas ingin menjelaskan bolehnya bertawassul dengan “mafdhul” (orang yang lebih rendah kedudukannya) bersamaan dengan adanya yang lebih afdhal.”

Bantahannya: Pemahaman mereka tentang hadits di atas dengan maksud demikian sangatlah keliru dari banyak sisi:

1.    Kaidah di dalam syariat mengatakan bahwa nash-nash itu saling menjelaskan sebagiannya atas sebagian yang lain. Tidak boleh memahami sebuah nash dengan melepaskan keterkaitannya dengan nash yang lain. Berdasarkan hal ini, hadits ‘Umar harus dipahami dengan riwayat-riwayat yang lain yang menjelaskan tentang tawassul. Dan keterangan riwayat-riwayat yang banyak tersebut menjelaskan, bahwa para shahabat Rasulullah n ketika ditimpa oleh paceklik, mereka bertawassul dengan doa Rasulullah n dengan cara mendatangi beliau ketika masih hidup dan meminta agar beliau berdoa kepada Allah agar diturunkan hujan, dan bukan dengan kepribadian (zat) dan kedudukan beliau yang tinggi di sisi Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik z yang shahih:
“Ketika Rasulullah n berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba seseorang datang lalu berkata: ‘Ya Rasulullah, hujan tertahan (menyebabkan paceklik). Berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan untuk kami.’ Lalu Rasulullah n berdoa dan hujan turun atas kami, hampir-hampir kami tidak bisa pulang ke rumah-rumah kami, dan hujan tersebut berlangsung sampai Jum’at berikutnya. (Anas) berkata: “Orang tersebut atau –yang selain dia– bangkit dan berkata: ‘Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Allah memalingkan hujan dari kami.’ Lalu Rasululah n berdoa: ‘Ya Allah, palingkan hujan itu dari kami dan jangan dijadikan sebagai bahaya bagi kami.’ Anas berkata: “Sungguh aku menyaksikan gumpalan awan terpisah-pisah ke arah kanan dan kiri lalu turun hujan untuk mereka (selain penduduk Madinah), dan hujan tidak turun bagi penduduk Madinah.”

Berarti ucapan ‘Umar:

“Sesungguhnya kami dulu bertawassul dengan Nabi Engkau dan Engkau menurunkan air hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi Engkau…”

Dalam ucapan tersebut ada sebuah kata yang terbuang yang dengannya akan sempurna dan sesuai dengan nash-nash lain yang shahih dan kata yang terbuang itu harus didatangkan. Dan kata yang terbuang itu ada dua kemungkinan, pertama: “Kami bertawassul kepada-Mu dengan jah1 (kedudukan) Nabi-Mu dan jah (kedudukan) paman Nabi-Mu”, atau kedua: “Kami bertawassul kepada-Mu dengan doa2 Nabi-Mu dan dengan doa paman Nabi-Mu”. Untuk menghukumi mana yang benar dari dua kemungkinan ini, kita harus kembali kepada As Sunnah dan yang sesuai dengan riwayat-riwayat yang shahih. Dan yang benar dan sesuai dengan riwayat yang shahih adalah kemungkinan yang kedua.

2.    Tawassul secara bahasa dan yang difahami oleh ‘urf (kebiasaan yang sudah berlangsung) melalui lisan-lisan orang Arab adalah seperti apa yang telah dipahami dan yang dilakukan oleh para shahabat kepada Rasulullah n. Bentuknya adalah bila engkau memiliki hajat kepada seseorang dan orang ini memiliki kedudukan (misalnya) sebagai pimpinan, lalu engkau mendatangi seseorang yang lebih didengar suaranya oleh pimpinan tersebut, maka engkau mengutarakan hajatmu kepadanya untuk disampaikan kepada pimpinan. Demikianlah definisi tawassul di kalangan orang Arab sejak dahulu. Dan bukan makna tawassul adalah bila kamu datang kepada pimpinan itu lalu mengatakan: ‘Hai pimpinan, karena jah (kedudukan) orang tersebut dan dekatnya posisinya di sisimu, maka tunaikanlah hajatku.’

3.    Ucapan mereka (ahli kebatilan): “Bahwa para shahabat merestui perbuatan ‘Umar”
Mereka merestuinya karena memang perbuatan ‘Umar tidak menyelisihi Sunnah Rasulullah n. Dan jika perbuatan ‘Umar menyelisihi Sunnah Rasulullah n, niscaya mereka (para shahabat) akan menentang perbuatan ‘Umar. Dan mustahil mereka akan sepakat di dalam kebatilan sedangkan mereka adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan bagi manusia, menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dan perbuatan ‘Umar sesuai dengan riwayat-riwayat yang shahih di atas dimana beliau datang kepada Al-‘Abbas dan meminta agar beliau (Al-‘Abbas) berdoa kepada Allah agar Dia menurunkan hujan, sebagaimana permintaan yang terjadi di masa Rasulullah n masih hidup.

Makna hadits ‘Umar di atas telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t di dalam kitab beliau Fathul Bari (2/571, cet. Darul Hadits, Mesir): “Telah dijelaskan oleh Az-Zubair bin Bakkar di dalam kitab Al-Ansab, tentang sifat doa Al-‘Abbas dalam peristiwa ini dan waktu terjadi hal itu. Beliau meriwayatkan dengan sanad beliau, di saat ‘Umar bertawassul dengan Al-’Abbas dalam istisqa`, Al-’Abbas berdoa:
“Ya Allah, sesungguhnya tidaklah turun bala` melainkan karena sebuah dosa dan tidak akan dihilangkan melainkan dengan bertaubat. Dan kaum itu telah mendatangiku untuk menyampaikan hajat mereka kepada-Mu karena kedudukan diriku di hadapan Nabi-Mu, dan ini tangan-tangan kami berlumuran dengan dosa dan ubun-ubun kami (mengiqrarkan) taubat. Turunkanlah kepada kami hujan. Kemudian turun hujan dari langit sehingga bumi menjadi subur dan manusia bisa hidup.”

4.    Ucapan ahli kebatilan: “Ini bukti bahwa ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan) Al-‘Abbas.”
Kalau benar ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan) Al-‘Abbas niscaya beliau tidak akan meninggalkan bertawassul dengan jah Rasulullah n walaupun beliau telah wafat. Karena bertawassul dengan jah beliau n bisa dilakukan sekalipun beliau n telah wafat. Dan tentu para shahabat yang lain akan menegur ‘Umar, kenapa meninggalkan bertawassul dengan jah Rasulullah n lalu berpaling kepada Al-‘Abbas. Dan sungguh kita mengetahui semangat para shahabat untuk melakukan sesuatu yang lebih utama.

5.    Mereka mengatakan: “Umar berpaling dari Rasulullah n dalam bertawassul kemudian menuju Al-‘Abbas, untuk menjelaskan tentang kebolehan bertawassul dengan yang mafdhul (kurang utama) bersamaan dengan adanya yang afdhal (lebih utama).”

Alasan ini adalah batil dari banyak sisi:

1.    Tawassul yang benar/ syar’i kepada Rasulullah n setelah wafat beliau merupakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Dan bagaimana mereka akan pergi ke makam Rasulullah n lalu menjelaskan keadaan mereka dan meminta kepada beliau, agar beliau berdoa kepada Allah supaya dibebaskan dari bala` yang menimpa, sementara Rasulullah n telah menghadap Allah? Karena memang tidak diperbolehkan itulah, sehingga ‘Umar bertawassul dengan doa paman Rasulullah n, Al-‘Abbas. Bila hal itu diperbolehkan setelah wafat beliau dan ‘Umar meninggalkan hal demikian, berarti ‘Umar meninggalkan Sunnah Rasulullah n. Dan tidak mungkin hal itu terjadi pada diri orang terbaik umat Rasulullah n setelah Abu Bakr z.

2.    Manusia dengan fitrah yang ada pada diri mereka, ketika ditimpa oleh malapetaka yang dahsyat, tentu akan mencari sebab yang lebih kuat untuk segera terselesaikan darinya, dan akan mencari wasilah yang lebih besar dan afdhal agar segera terbebaskan dari malapetaka tersebut. Dan jika tawassul dengan jah Nabi n diperbolehkan, kenapa ‘Umar harus mencari yang mafdhul (kurang afdhal) dan meninggalkan yang afdhal?

3.    Taruhlah bahwa terbetik pada diri ‘Umar untuk bertawassul kepada Allah melalui Al-‘Abbas dengan tujuan untuk menjelaskan hukum fiqih yang mereka duga yaitu: “Menjelaskan tentang kebolehan bertawassul dengan yang mafdhul bersamaan dengan adanya yang afdhal,” apakah hal itu juga akan terbetik pada diri Mu’awiyah dan Ad-Dhahhak bin Qais di saat keduanya bertawassul dengan doa seorang tabi’in yang memiliki kemuliaan, Yazid bin Al-Aswad Al-Jurasyi, dan tidak mencukupkan dengan apa yang dilakukan oleh ‘Umar? Tentu ini adalah alasan yang berlebihan.

4.    Di dalam kisah ‘Umar tersebut ada sebuah rahasia yang mungkin perlu diperhatikan yaitu:
“Sesungguhnya ‘Umar bila terjadi musim kemarau, beliau melakukan istisqa’ dengan meminta Al-‘Abbas untuk berdoa.”

Ucapan ini menjelaskan bahwa ‘Umar sering melakukan yang serupa setiap kali terjadi musim kemarau yang panjang. Dan kalau untuk menjelaskan hukum fiqih di atas, niscaya ‘Umar tidak akan melakukannya berulang-ulang dan cukup melakukannya satu kali.

Syubhat kedua: Mereka berdalil dengan hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dan selain beliau dengan sanad yang shahih dari ‘Utsman bin Hunaif bahwa seseorang buta mendatangi Rasulullah n dan berkata:

“Seorang buta mendatangi Rasulullah n lalu berkata: ‘Doakanlah buatku agar Allah menyembuhkanku.’ Rasulullah n bersabda: “Kalau kamu menghendaki, aku akan mendoakan buatmu dan bila kamu menghendaki aku akan menahan doa tersebut dan itu lebih baik buatmu.’ Di dalam sebuah riwayat: ‘Kalau kamu mau, kamu bersabar maka itu lebih baik buatmu.’ Dia berkata: ‘Berdoalah.’ Lalu Rasulullah n menyuruhnya untuk mengambil air wudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua rakaat dan dia berdoa dengan doa ini: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku menghadap-Mu dengan (doa) Nabi-Mu Muhammad Nabi rahmah. Hai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap Allah dengan (doa) mu dalam semua hajatku lalu tertunaikan buatku. Ya Allah, terimalah syafaatnya (Nabi-Mu) bagiku. Ya Allah terimalah doaku agar Engkau mengabulkan syafaatnya buatku’. Maka orang tersebut melakukannya dan dia sembuh.”3

Mereka mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bolehnya seseorang bertawassul di dalam doanya dengan jah (kedudukan) Rasulullah n atau selain beliau dari orang-orang yang shalih, karena di dalamnya beliau mengajarkan kepada orang buta tersebut agar bertawassul dengan beliau di dalam doanya dan dia melakukannya, kemudian dia sembuh.”

Bantahannya: Sesungguhnya dalil ini menjelaskan jenis tawassul yang disyariatkan sebagaimana dalam keterangan di atas ,yaitu tawassul dengan doa beliau. Dan bukti yang menjelaskan demikian di dalam hadits tersebut banyak sekali dan yang paling penting adalah:

1.    Bahwa orang buta itu datang kepada Rasulullah n meminta untuk didoakan kepada Allah agar disembuhkan dari penyakit yang dideritanya. Hal ini jelas di dalam ucapannya:  , dan bila memaksudkan bertawassul dengan jah dan dzat Rasulullah n maka dia tidak perlu mendatangi Rasulullah n.

2.    Rasulullah n berjanji untuk mendoakannya. Bersamaan dengan itu, beliau menasehatinya menuju sesuatu yang lebih utama yaitu bersabar. Dan inilah makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah n di dalam sebuah sabda beliau n: “Bila aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya lalu dia bersabar, niscaya Aku akan menggantikan keduanya dengan surga.”4

3.    Terus menerusnya orang buta tersebut meminta kepada Rasulullah n untuk didoakan, menunjukkan bahwa Rasulullah n mendoakannya dan beliau adalah sebaik-baik orang di dalam memenuhi janjinya.

4.    Di antara doa yang diajarkan kepadanya adalah , dan ucapan ini mustahil mengandung makna bahwa dia bertawassul di dalam doanya dengan jah (kedudukan) atau dzat Rasulullah n. Karena makna dari ucapan tersebut adalah: “Ya Allah, terima syafaatnya buatku”, artinya terimalah doanya agar aku mendapatkan kesembuhan dan agar  penglihatanku kembali.

5.    Di antara doa yang diajarkan Rasulullah n kepadanya adalah , maksudnya terimalah doaku agar Engkau menerima syafaat Rasulullah n untukku, artinya terimalah doanya (Rasulullah n ) agar penglihatanku kembali.

6.    Hadits ini diletakkan oleh para ulama dalam bab membicarakan mu’jizat Rasulullah n  dan doa beliau yang mustajab, dan sebagai bukti kebesaran Allah dengan memperlihatkan keajaiban-keajaiban berkat doa Rasulullah n, seperti menyembuhkan orang yang sakit. Dan dengan doa beliau juga, orang yang buta tersebut dikembalikan penglihatannya oleh Allah. Oleh karena itu, para ulama meletakkan hadits ini dan yang sepertinya dalam karya tulis mereka pada sebuah bab “Bukti-bukti kenabian”, sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan selain beliau. Dari semuanya ini sangat jelas bahwa rahasia kesembuhan orang tersebut datang dari Allah, kemudian berkat doa Rasulullah n yang mustajab.

Bila hal ini telah jelas bagi pembaca yang budiman maka sampailah kita kepada sebuah pengertian, yaitu maksud dari ucapan orang yang buta tersebut: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad…” adalah dengan doa Nabi-Mu Muhammad n.

(Bersambung, Insya Allah)

1 Taqdiran (kemungkinan kata yang terbuang) yang pertama
2 Taqdiran kedua
3 Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad di dalam Musnad 4/138, At-Tirmidzi no. 3831, Ibnu Majah di dalam Sunan beliau no.1385, Ath-Thabrani 3/2/2 dan Al-Hakim 1/313. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi 3/183 no. 2832 dan di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 1/232 no. 1138, dan beliau mengisyaratkan ke dalam kitab beliau At-Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu hal. 76, Ar-Raudh hal. 661, At-Ta’liq Ar-Raghif 1/142-242, dan At-Ta’liq ‘Ala Shahih Ibnu Huzaimah 1219. dan Ad-Darimi no. 2325 dari shahabat Abu Hurairah, dan At-Tirmidzi mengatakan juga datang dari shahabat ‘Irbadh bin Sariyah.”

http://asysyariah.com/tawassul-syubhat-dan-bantahannya.html

Tawassul, Ibadah Agung yang Banyak Diselewengkan


Keutamaan tawassul sebagai ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam, telah banyak dipahami oleh kaum muslimin, akan tetapi mayoritas mereka justru kurang memahami perbedaan antara tawassul yang benar dan tawassul yang menyimpang dari Islam. Sehingga banyak di antara mereka yang terjerumus melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari aqidah tauhid, dengan mengatasnamakan perbuatan-perbuatan tersebut sebagai tawassul yang dibenarkan.

Kenyataan pahit ini semakin diperparah keburukannya dengan keberadaan para tokoh penyokong bid’ah dan syirik, yang mempropagandakan perbuatan-perbuatan sesat tersebut dengan iming-iming janji keutamaan dan pahala besar bagi orang-orang yang mengamalkannya.

Bahkan, mereka mengklaim bahwa tawassul syirik dengan memohon/ berdoa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mereka anggap shaleh adalah bukti pengagungan dan kecintaan yang benar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang shaleh tersebut. Dan lebih daripada itu, mereka menuduh orang-orang yang menyerukan untuk kembali kepada tawassul yang benar sebagai orang-orang yang tidak mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang shaleh, serta merendahkan kedudukan mereka.

Inilah sebabnya, mengapa pembahasan tentang tawassul sangat penting untuk dikaji, mengingat keterkaitannya yang sangat erat dengan tauhid yang merupakan landasan utama agama Islam dan ketidakpahaman mayoritas kaum muslimin tentang hakikat ibadah yang agung ini.

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengungkapkan hal ini dalam kata pengantar buku beliau “Kaifa Nafhamu At-Tawassul (Bagaimana Kita Memahami Tawassul)”, beliau berkata, “Sesungguhnya pembahasan (tentang) tawassul sangat penting (untuk disampaikan), (karena) mayoritas kaum muslimin tidak memahami masalah ini dengan benar, disebabkan ketidaktahuan mereka terhadap hakikat tawassul yang diterangkan dalam al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara jelas dan gamblang.

Dalam buku ini, aku jelaskan tentang tawassul yang disyariatkan dan tawassul yang dilarang (dalam Islam) dengan meyertakan argumentasinya dari al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, agar seorang muslim (yang membaca buku ini) memiliki ilmu dan pengetahuan yang kokoh dalam apa yang diucapkan dan diserukannya, sehingga tawassul (yang dikerjakan)nya sesuai dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan doa (yang diucapkan)nya dikabulkan Allah Subhanahu wa Ta’ala (insya Allah).

Dan juga agar seorang muslim tidak terjerumus dalam perbuatan syirik yang bisa merusak amal kebaikannya karena kebodohannya, sebagaimana keadaan sebagian dari kaum muslimin saat ini, semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada mereka.” (Kitab Kaifa Nafhamu At-Tawassul, hal. 3).

Definisi tawassul dan hakikatnya 

Secara bahasa, tawassul berarti menjadikan sarana untuk mencapai sesuatu dan mendekatkan diri kepadanya (lihat kitab An-Nihayah fi Ghariibil Hadiitsi wal Atsar, 5/402 dan Lisaanul  ‘Arab, 11/724).
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Arti tawassul adalah mengambil wasiilah (sarana) yang menyampaikan kepada tujuan. Asal (makna)nya adalah keinginan (usaha) untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.” (Kutubu wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin, 79/1).

Maka arti “ber-tawassul kepada Allah” adalah melakukan suatu amalan (shaleh untuk mendekatkan diri kepada-Nya (lihat kitab Lisaanul  ‘Arab, 11/724).

Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan/ sarana untuk mendekatkan diri) kepada-Nya, serta berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maaidah: 35).

Beliau berkata, “Wasiilah adalah sesuatu yang dijadikan (sebagai sarana) untuk mencapai tujuan.” (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, 2/73).

Inilah hakikat makna tawassul, oleh karena itu Imam Qotadah al-Bashri (beliau adalah Qatadah bin Di’aamah as-Saduusi al-Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 409]) menafsirkan ayat di atas dengan ucapannya, “Artinya: dekatkanlah dirimu kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengamalkan perbuatan yang diridhai-Nya.” (Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, 2/73).

Imam ar-Raagib al-Ashfahani ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata, “Hakikat  tawassul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah memperhatikan (menjaga) jalan (agama)-Nya dengan memahami (mempelajari agama-Nya) dan (mengamalkan) ibadah (kepada-Nya) serta selalu mengutamakan (hukum-hukum) syariat-Nya yang mulia.” (Kitab Mufraadaatu Ghariibil Quran, hal. 524).

Bahkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa makna tawassul inilah yang dikenal dan digunakan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman mereka (lihat kitab Qaa’idatun Jaliilah fit Tawassul wal Wasiilah, hal. 4).

Pembagian tawassul 

Secara garis besar, tawassul terbagi menjadi dua, yaitu tawassul yang disyariatkan (tawassul yang benar) dan tawassul yang dilarang (tawassul yang salah) [lihat rincian pembagian ini dalam Kutubu wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin (79/1-5) dan kitab Kaifa Nafhamut Tawassul (hal. 4 -14), tulisan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).

1. Tawassul yang disyariatkan adalah tawassul yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Quran (dalam ayat tersebut di atas) dan dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta diamalkan oleh para shahabatradhiallahu ‘anhum (lihat kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 4).

Yaitu ber-tawasssul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sarana yang dibenarkan (dalam agama Islam) dan menyampaikan kepada tujuan yang diinginkan (mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) [Kutubu wa Rasa-il syaikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin (79/1)].

Tawassul ini ada beberapa macam:

A- Tawassul dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Mahaindah, inilah yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,

وللهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Dan Allah mempunyai al-asma-ul husna (nama-nama yang Mahaindah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut al-asma-ul husna itu.” (QS. al-A’raaf: 180).

Artinya: berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang Mahaindah sebagai wasilah (sarana) agar doa tersebut dikabulkan-Nya (lihat kitab At-Tawassulu Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, hal. 32).

Tawassul ini disebutkan dalam banyak hadits yang shahih, di antaranya dalam doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang ditimpa kesedihan dan kegundahan, “Aku memohon kepada-Mu (ya Allah) dengan semua nama (yang Mahaindah) yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan (bagi diri-Mu) pada ilmu gaib di sisi-Mu, agar Engkau menjadikan al-Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya (dalam) dadaku, penerang kesedihanku dan penghilang kegundahanku.” [HR. Ahmad (1/391), Ibnu Hibban (no. 972) dan al-Hakim (no. 1877), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, Ibnul Qayyim dalam Syifa-ul ‘Aliil (hal. 274) dan Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahiihah (no. 199)].

B- Tawassul dengan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, sebagaimana doa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dalam al-Quran,
وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِين
Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh.” (QS. an-Naml: 19).

Juga dalam doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Allah, dengan pengetahuan-Mu terhadap (hal yang) gaib dan kemahakuasaan-Mu untuk menciptakan (semua makhluk), tetapkanlah hidupku selama Engkau mengetahui kehidupan itu baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika selama Engkau mengetahui kematian itu baik bagiku.” [HR. an-Nasa-i (no. 1305 dan 1306), Ahmad (4/264) dan Ibnu Hibban (no. 1971), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani].

C- Tawassul dengan beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana doa hamba-hamba-Nya yang shaleh dalam al-Quran,

رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), ‘Berimanlah kamu kepada Rabb-mu.’; maka kamipun beriman. Wahai Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (QS. Ali ‘Imran: 193).

D- Tawassul dengan kalimat tauhid, sebagaimana doa Nabi Yunus ‘alaihissalam dalam al-Quran,

وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ. فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru (berdoa kepada Allah) di kegelapan, ‘Laa ilaaha illa anta (Tidak ada sembahan yang benar selain Engkau), Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami memperkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikanlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Anbiyaa’: 87-88).

Dalam hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamin pengabulan doa dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang yang berdoa kepada-Nya dengan doa ini (HR. at-Tirmidzi, no. 3505 dan Ahmad, 1/170, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani).

E- Tawassul dengan amal shaleh, sebagaimana doa hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shaleh dalam al-Quran,
رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنزلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
Wahai Rabb kami, kami beriman kepada apa (kitab-Mu) yang telah Engkau turunkan dan kami mengikuti (petunjuk) rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang tauhid dan kebenaran agama-Mu).” (QS. Ali ‘Imran: 53).

Demikian pula yang disebutkan dalam hadits yang shahih, kisah tentang tiga orang shaleh dari umat sebelum kita, ketika mereka melakukan perjalanan dan bermalam dalam sebuah gua, kemudian sebuah batu besar jatuh dari atas gunung dan menutupi pintu gua tersebut sehingga mereka tidak bisa keluar, lalu mereka berdoa kepada Allah dan ber-tawassul dengan amal shaleh yang pernah mereka lakukan dengan ikhlas kepada Allah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian menyingkirkan batu tersebut dan merekapun keluar dari gua tersebut [Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 2152) dan Muslim (no. 2743)].

F- Tawassul dengan menyebutkan keadaan dan ketergantungan seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam doa Nabi Musa ‘alaihissalam dalam al-Quran,

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. al-Qashash: 24).

Juga doa Nabi Zakaria ‘alaihissalam,

رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا. وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا
Wahai Rabb-ku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, wahai Rabb-ku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari Engkau seorang putera.” (QS. Maryam: 4-5).

G- Tawassul dengan doa orang shaleh yang masih hidup dan diharapkan terkabulnya doanya. Sebagaimana yang dilakukan oleh para shahabat radhiallahu ‘anhum di masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti perbuatan seorang Arab dusun yang meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berdoa kepada Allah Ta’ala memohon diturunkan hujan, ketika beliau sedang berkhutbah hari Jumat, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa meminta hujan, lalu hujanpun turun sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar [Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 968) dan Muslim (no. 897)].

Kemudian setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, para shahabat radhiallahu ‘anhum tidak meminta kebutuhan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan datang ke kuburan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka mengetahui perbuatan ini dilarang keras dalam Islam. Akan tetapi, yang mereka lakukan adalah meminta kepada orang shaleh yang masih di antara mereka untuk berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Seperti perbuatan shahabat yang mulia Umar bin khattab radhiallahu ‘anhu di zaman kekhalifahan beliau radhiallahu ‘anhu, jika manusia mengalami musim kemarau, maka beliau berdoa kepada Allah Ta’ala dan ber-tawassul dengan doa paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib radhiallahu ‘anhu. Umar radhiallahu ‘anhu berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya dulu kami selalu ber-tawassul kepada-Mu dengan (doa) Nabi kami shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Engkau menurunkan hujan kepada kami, dan (sekarang) kami ber-tawassul kepada-Mu dengan (doa) paman Nabi kami shallallahu ‘alaihi wa sallam (‘Abbas radhiallahu ‘anhu), maka turunkanlah hujan kepada kami.” Lalu hujanpun turun kepada mereka (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 964 dan 3507).

Demikian pula perbuatan shahabat yang mulia, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu di masa pemerintahan beliau radhiallahu ‘anhu. Ketika terjadi musim kemarau, Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu bersama penduduk Damaskus bersama-sama melaksanakan shalat istisqa’ (meminta hujan kepada Allah Ta’ala). Ketika Mu’awiyah telah naik mimbar, beliau berkata, “Dimanakah Yazid bin al-Aswad al-Jurasyi?” Maka orang-orangpun memanggilnya, lalu diapun datang melewati barisan manusia, kemudian Mu’awiyah menyuruhnya untuk naik mimbar dan beliau sendiri duduk di dekat kakinya dan beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya hari ini kami meminta syafa’at kepada-Mu dengan (doa) orang yang terbaik dan paling utama di antara kami, ya Allah, sesungguhnya hari ini kami meminta syafa’at kepada-Mu dengan (doa) Yazid bin al-Aswad al-Jurasyi,” wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu (untuk berdoa) kepada Allah!” Maka, Yazidpun mengangkat kedua tangannya, demikian pula manusia mengangkat tangan mereka. Tak lama kemudian muncullah awan (mendung) di sebelah barat seperti perisai dan anginpun meniupnya, lalu hujan turun kepada kami sampai-sampai orang hampir tidak bisa kembali ke rumah-rumah mereka (karena derasnya hujan) [Atsar riwayat Ibnu 'Asakir dalam Tarikh Dimasq (65/112) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam kitab At-Tawassulu Anwaa'uhu wa Ahkaamuhu (hal. 45)].

2. Tawassul yang dilarang (dalam Islam) adalah tawassul yang tidak ada asalnya dalam agama Islam dan tidak ditunjukkan dalam dalil al-Quran maupun hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu ber-tawasssul kepada Allah Ta’ala dengan sarana yang tidak ditetapkan dalam syariat Islam.
Tawassul ini juga ada beberapa macam:

A- Tawassul dengan orang yang sudah mati dan berdoa kepadanya selain Allah Ta’ala. Ini termasuk perbuatan syirik besar yang bisa menjadikan pelakunya keluar dari Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
Dan janganlah kamu menyeru (memohon) kepada sembahan-sembahan selain Allah yang tidak mampu memberikan manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu), maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik).” (QS. Yuunus: 106).

Termasuk dalam hal ini adalah ber-tawassul dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ini termasuk perbuatan syirik. Oleh karena itu, para shahabat radhiallahu ‘anhum tidak pernah melakukannya, padahal mereka sangat mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

B- Tawassul dengan jaah (kedudukan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau orang-orang yang shaleh di sisi Allah. Ini termasuk tawassul yang bid’ah dan tidak pernah dilakukan oleh para shahabat radhiallahu ‘anhum, padahal mereka sangat mencintai dan memahami tingginya kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.

Hal ini dikarenakan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah bisa bermanfaat bagi siapapun kecuali bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, meskipun bagi orang-orang terdekat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Kutubu wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin [79/5]), sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,Wahai Fathimah putri (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mintalah dari hartaku (yang aku miliki) sesukamu, sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi (memberi manfaat) bagimu sedikitpun di hadapan Allah.” (Kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 13).

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, “Tawassul ini adalah bid’ah dan bukan kesyirikan, karena memohon kepada Allah. Akan tetapi terkadang bisa membawa kepada kesyirikan, yaitu jika orang yang bertawassul itu berkeyakinan bahwa Allah butuh kepada perantara (untuk mengetahui permintaan makhluk-Nya) sebaimana seorang pemimpin atau presiden (butuh kepada perantara), (maka ini termasuk syirik/ kafir) karena telah menyerupakan (Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, padahal Allah  berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syuura: 11) (Kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 13).

Sebagian orang yang membolehkan tawassul ini berdalil dengan sebuah hadits palsu, “Ber-tawassul-lah kalian (dalam riwayat lain: Jika kalian memohon kepada Allah maka memohonlah) dengan kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sngat agung.”

Hadits ini adalah hadits yang palsu dan merupakan kedustaan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorangpun dari para ulama ahli hadits dalam kitab-kitab mereka, sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (lihat kitab Al-Fatawal Kubra, 2/433 dan At-Tawassulu Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, hal. 128).

C- Tawassul dengan hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hak para wali Allah.

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, “Tawassul ini tidak diperbolehkan (dalam Islam), karena tidak ada satu nukilanpun dari shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan (kebolehannya). Imam Abu Hanifah dan dua orang murid utama beliau (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani) membenci (mengharamkan) seseorang yang mengucapkan dalam doanya, ‘(Ya Allah), aku memohon kepada-Mu dengan hak si Fulan, atau dengan hak para Nabi dan Rasul-Mu ‘alaihissalam, atau dengan hak Baitullah al-Haram (Ka’bah)’, atau yang semisal itu, karena tidak ada seorangpun yang mempunyai hak atas Allah (lihat kitab Syarhul Ihya’) (Kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 13).

Pengaruh positif memahami dan mengamalkan tawassul dengan benar

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan faidah yang agung ini di sela-sela penjelasan beliau tentang kaidah-kaidah dalam memahami tawassul yang benar dan sesuai dengan syariat Islam, beliau berkata, “Sesungguhnya, kaidah-kaidah ini berkaitan erat dengan penetapan tauhid (mengesakan Allah Ta’ala dalam beribadah) dan peniadaan unsur kesyirikan serta sikap ghuluw (melampaui batas dalam agama). (Sehingga jika) semakin diperinci keterangannya dan semakin jelas penyampaiannya, maka sungguh yang demikian itu adalah nuurun ‘ala nuur (cahaya di atas cahaya), dan Allah Dialah tempat meminta pertolongan.” (Kitab Qaa’idatun Jaliilah fit Tawassuli wal Wasiilah” (hal. 244).

Dari keterangan beliau ini dapat disimpulkan bahwa tujuan pembahasan mengenai tawassul yang benar adalah [lihat keterangan Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhali dalam muqaddimah kitab Qaa'idatun Jaliilah fit Tawassuli wal Wasiilah (hal. 20-21)]:
  • Penetapan/ penegakan tauhid yang untuk tujuan mulia inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para Rasul-Nya ‘alahimussalam dan menurunkan kitab-kitab-Nya.
  • Peniadaan/ pembatalan unsur-unsur kesyirikan yang ini merupakan inti kandungan agama yang dibawa oleh para Rasul ‘alaihimussalam, yaitu membasmi kesyirikan dan membersihkan permukaan bumi, hati serta jiwa manusia dari kotoran dan noda syirik.
  • Pembatalan unsur-unsur sikap ghuluw (melampaui batas dalam agama) dalam semua sendi-sendi agama Islam. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS. an-Nisaa’:  171).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang Nasrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya.’” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 3261).

Penutup

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin yang membacanya untuk memurnikan akidah dan tauhid mereka, serta menjauhkan mereka dari segala bentuk kesyirikan, yang besar maupun kecil.
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang Mahaindah dan sifat-sifat-Nya yang Mahasempurna, agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk selalu menegakkan tauhid kepada-Nya dan menjauhi segala bentuk perbuatan syirik, yang besar maupun kecil, serta menjaga kita dari semua bencana yang merusak agama dan keyakinan kita, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Hadits, Atsar dan Kisah Dha’if dan Palsu Seputar Tawassul : Hadits-Hadits Lemah dan Palsu

Hadits, Atsar dan Kisah Dha’if dan Palsu Seputar Tawassul (1): Hadits-Hadits Lemah dan Palsu


Hadits Pertama
“Bertawassullah kalian dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar.” Atau: “Apabila kalian meminta kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini dusta dan tidak terdapat dalam kitab-kitab kaum muslimin yang dijadikan pegangan oleh ahlul hadits, dan tidak satu pun ulama menyebutkan hadits tersebut, padahal kedudukan beliau di sisi Allah ta’ala lebih besar dari kemuliaan seluruh nabi dan rasul.” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal 168. Dan lihat Iqtidlo’ Shiratil Mustaqim (2/783)).
Al’ Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini batil, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Hadits ini hanya diriwayatkan oleh sebagian orang yang bodoh terhadap As Sunnah.” (At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal 127).
Hadits Kedua
“Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta bantuan dengan berdo’a) kepada ahli kubur” Atau “Minta tolonglah dengan (perantaraan) ahli kubur.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini adalah dusta dan diada-adakan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasar kesepakatan ahli hadits. Hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari para ulama dan tidak ditemukan sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang terpercaya.” (Majmu’ Fatawaa (11/293)).
Ketika Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan beberapa faktor penyebab para penyembah kubur terjerumus ke dalam kesyirikan, beliau berkata, “Dan di antaranya adalah hadits-hadits dusta dan bertentangan (dengan ajaran Islam), yang dipalsukan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh para penyembah berhala dan pengagung kubur yang bertentangan dengan agama dan ajaran Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti hadits:
“Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta bantuan) kepada ahli kubur.”
Dan hadits,
“áæ ÃÍÓä ÃÍÏßã Ùäå ÈÍÌÑ äÝÚå”
“Seandainya kalian berharap dan optimis walaupun terhadap sebuah batu, maka pasti batu itu akan mampu mendatangkan manfaat kepada kalian.” (Ighatsatul Lahfaan (1/243)).
Hadits Ketiga
Dari Anas bin Malik, Ketika Fatimah bintu Asad bin Hasyim ibunda Ali radhiallahu ‘anhu wafat, maka dia mengajak Usamah bin Zaid, Abu Musa Al Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali liang kubur. Setelah selesai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dan berbaring di dalamnya, kemudian beliau berkata:
“Allah adalah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup dan tidak mati, ampunilah bibiku Fatimah binti Asad. Ajarkanlah padanya hujjahnya dan luaskanlah tempat tinggalnya yang baru dengan hak nabi-Mu dan hak para nabi sebelumku, karena sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Penyayang.”
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini tidak mengandung targhib (anjuran untuk melakukan suatu amalan yang ditetapkan syariat) dan tidak pula menjelaskan keutamaan amalan yang telah ditetapkan dalam syariat. Sesungguhnya hadits ini hanya memberitahukan permasalahan seputar boleh atau tidak boleh, dan seandainya hadits ini shahih, maka isinya menetapkan suatu hukum syar’i. Sedangkan kalian (para penyanggah -pent) menjadikannya sebagai salah satu dalil bolehnya tawassul yang diperselisihkan ini. Maka apabila kalian telah menerima kedha’ifan hadits ini, maka kalian tidak boleh berdalil dengannya. Aku tidak bisa membayangkan ada seorang berakal yang akan mendukung kalian untuk memasukkan hadits ini ke dalam bab targhib dan tarhib, karena hal ini adalah sikap tidak mau tunduk kepada kebenaran, mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan oleh seluruh orang yang berakal sehat.” (Lihat At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal. 110 dan Silsilah Ahadits Addha’ifah wal Maudlu’at (1/32) hadits nomor 23. Beliau telah menjelaskan kelemahan hadits ini dan menjelaskan alasannya dengan rici, maka merujuklah ke buku tersebut).
Hadits Keempat
Dari Abu Sa’id Al Khudry secara marfu’:
Barang siapa keluar dari rumahnya untuk shalat, kemudian mengucapkan: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang berdo’a kepada-Mu, dan aku meminta kepada-Mu dengan hak perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidaklah keluar dengan sombong dan angkuh, tidak pula dengan riya’ dan sum’ah. Aku keluar agar terbebas dari murka-Mu dan untuk mencari ridlo-Mu, maka aku meminta kepada-Mu untuk membebaskanku dari api neraka dan mengampuni dosa-dosaku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.” Maka Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya dan 70000 malaikat akan memohonkan ampun baginya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (778), Ahmad (3/21) dan hadits ini telah didha’ifkan Al Allamah Al Albani dalam Silsilah Ahadits Adhdho’ifah (1/34) dan dalam At Tawassul hal. 99).
Syaikh Fuad Abdul Baqi berkata dalam Az Zawaaid, “Sanad hadits ini berisi rentetan para perawi yang lemah, yaitu Athiyyah adalah Al Aufi, Fadlil ibn Mirzaq dan Al Fadl ibnul Muwaffiq. Mereka semua adalah rawi yang dha’if.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun perkataan, ‘Aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang meminta kepada-Mu’, diriwayatkan oleh Ibnu Majah akan tetapi sanad hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Sekiranya hadits ini berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka makna hadits ini adalah sesungguhnya hak orang-orang yang berdo’a kepada Allah adalah Allah kabulkan do’a mereka. Sedangkan hak orang yang beribadah kepada Allah adalah Allah memberikan pahala padanya. Hak ini Dia tetapkan atas diri-Nya sebagaimana firman-Nya,
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS. Al Baqarah: 186)
Maka ini adalah permintaan kepada Allah dengan hak yang telah Dia wajibkan atas diri-Nya, sehingga persis do’a berikut ini:
“Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau.” (QS. Ali Imran: 194)
Dan seperti do’a ketiga orang yang berlindung ke goa, ketika mereka meminta kepada Allah dengan perantara amalan shalih mereka yang Allah telah berjanji untuk memberi pahala atas amalan tersebut.” (Majmu’ Fatawaa (1/369)).
Al ‘Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya, sesungguhnya hadits ini dha’if dari dua jalur periwatannya dan salah satunya lebih berat kedha’ifannya daripada yang lain. Hadits ini telah didha’ifkan oleh Al Bushiriy, Al Mundziri dan para pakar hadits. Barangsiapa yang menghasankan hadits ini, maka sesungguhnya dia salah sangka atau bertasaahul (terlalu gampang dalam menilai hadits).” (Silsilah Ahadits Adhdha’ifah (1/38) nomor 24).
Hadits Kelima
Dari Umar ibn Al Khattab secara marfu’:
Ketika Adam melakukan kesalahan, dia berkata: “Wahai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku. Maka Allah berfirman, “Wahai Adam, bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya?” Adam berkata, “Wahai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan ruh ke dalam diriku, aku mengangkat kepalaku, maka aku melihat tiang-tiang ‘arsy tertuliskan “Laa ilaaha illallah Muhammadun rasulullah”, maka aku tahu bahwa Engkau tidak menghubungkan sesuatu kepada nama-Mu, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai”, kemudian Allah berfirman, “Aku telah mengampunimu, dan sekiranya bukan karena Muhammad tidaklah aku menciptakanmu.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim (2/615) (2/3, 32/2) dan Al Hakim berkata: “Shahihul Isnad akan tetapi Adz Dzahabi menyalahkan beliau dengan perkataannya: Aku berkata, bahkan hadits ini maudhu’, Abdurrahman sangat lemah, dan Abdullah ibn Muslim Al Fahri tidak diketahui jati dirinya.”)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Periwayatan Al Hakim terhadap hadits ini termasuk yang diingkari oleh para ulama, karena sesungguhnya diri beliau sendiri telah berkata dalam kitab Al Madkhal ilaa Ma’rifatish Shahih Minas Saqim, “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya beberapa hadits palsu yang dapat diketahui secara jelas oleh pakar hadits yang menelitinya bahwa dialah yang membuat hadits-hadits tersebut.” Aku (Ibnu Taimiyah) katakan, “Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi dha’if (lemah) dan banyak melakukan kesalahan sebagaimana kesepakatan mereka (ahli hadits).” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul hal 69).
Al Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya sesungguhnya hadits ini Laa Ashla Lahu (tidak berasal) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak salah menghukuminya dengan batil sebagaimana penilaian dua orang Al Hafizh, Adz Dzahabi dan Al Asqalani sebagaimana telah dinukil dari keduanya.” (Silsilah Ahadits Addha’ifah 1/40).
Hadits Keenam
Dari Umayyah ibn Abdillah ibn Khalid ibn Usaid, ia berkata:
“Rasulullah pernah meminta kemenangan dengan (bantuan) orang-orang melarat dari kaum Muhajirin.” (Diriwayatkan Ath Thabrani dalam Al Kabir 1/269 dan disebutkan oleh At Tabrizi dalam Misykatul Mashabih 5247 dan Al Qurthubi dalam Tafsir-nya 2/26; Dalam Al Isti’ab 1/38, Ibnu Abdil Barr berkata, “Menurutku tidaklah benar kalau Umayyah ibn Abdillah adalah seorang sahabat Nabi, sehingga hadits di atas adalah hadits yang mursal.” Al Hafizh dalam Al Ishobah 1/133 berkata, “Umayyah bukanlah sahabat Nabi dan tidak memiliki riwayat yang kuat.” Al Albani dalam At Tawassul hal. 111 mengatakan, “Pokok permasalahan dalam hadits tersebut adalah status Umayyah. Tidak terbukti bahwa beliau adalah salah seorang sahabat, sehingga status hadits tersebut adalah hadits mursal dha’if.”)
Al Allamah Al Albani berkata, “Hadits ini dha’if sehingga tidak dapat digunakan sebagai hujjah.” Kemudian beliau berkata, “Seandainya hadits ini shahih, maka hadits ini semakna dengan hadits Umar, yaitu Umar meminta hujan dengan perantaraan doa Al Abbas, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hadits orang buta (seorang lelaki buta yang meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendoakannya kepada Allah agar penglihatannya dikembalikan), yaitu bertawassul dengan doa orang shalih (yang masih hidup-pent).” (At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal 112).
Al Munawi berkata dalam Faidlul Qadir (5/219), “(Rasulullah) pernah meminta kemenangan maksudnya meminta kemenangan dalam peperangan sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Jika kalian (orang-orang musyrikin) meminta kemenangan, maka telah datang kemenangan kepadamu.” (QS. Al Anfaal: 19)
Az Zamakhsyari mengatakan yang dimaksud dengan “meminta bantuan”, yakni meminta kemenangan dengan orang-orang melarat dari kaum Muhajirin, yaitu dengan doa kaum fakir yang tidak memiliki harta dari kalangan Muhajirin.
Hadits Ketujuh
Dari Abdullah ibn Mas’ud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata,
“Hidupku baik bagi kalian, kalian bisa menyampaikan hadits dan akan ada hadits yang disampaikan dari kalian. Dan kematianku adalah kebaikan bagi kalian, amal-amal kalian akan dihadapkan kepadaku, jika aku melihat kebaikan aku memuji Allah karenanya dan jika aku melihat keburukan, aku akan memohon ampun kepada Allah bagi kalian.” (Diriwayatkan oleh An Nasa’i 1/189, Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 3/81/2, Abu Nu’aim dalam Akhbaru Ashbahan 2/205 dan Ibnu Asakir 9/189/2 dan Al Albani telah melemahkan hadits ini dalam Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wal Maudhu’at 2/404).
Al Allamah Al Albani berkata, sesudah menyebutkan beberapa perkataan ulama tentang hadits ini, “Kesimpulannya, bahwa hadits ini dha’if dengan seluruh jalur periwayatannya, dan yang paling baik dari semua jalur tersebut adalah hadits mursal dari Bakr bin Abdil Muththallib Al Muzani, dan hadits mursal termasuk kategori hadits dha’if menurut para muhaddits. Adapun hadits dari Ibnu Mas’ud maka hadits itu khotho’ (salah), dan yang terburuk dari beberapa jalan jalur periwayatan hadits ini adalah hadits Anas dengan dua jalur periwatannya.” (Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wal Maudlu’at 2/404-406).
-bersambung insya Allah-
***
Oleh: Abu Humaid Abdullah ibnu Humaid Al Fallasi
Diterjemahkan secara bebas oleh: Abu Umair Muhammad Al Makasari (Alumni Ma’had Ilmi)
Murajaah: Ust. Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Hadits, Atsar dan Kisah Dha’if dan Palsu Seputar Tawassul (2): Atsar-Atsar Lemah dan Palsu

Atsar Pertama
عن ملك الدار- و كان خازن عمر- قال: أصاب الناس قحط في زمن عمر, فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه و سلم فقال: با رسول الله استسق لإمتك فإنهم قد هلكوا, فأتى الرجل في المنام, فقيل له : ائت عمر ….الأثر
Dari Malik Ad Dar -beliau adalah bendahara Umar- dia berkata, “Pada zaman pemerintahan Umar manusia ditimpa kemarau, maka seorang lelaki mendatangi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata, “Wahai Rasulullah, mohonlah kepada Allah untuk menurunkan hujan pada umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa”, kemudian orang tersebut bermimpi dan dikatakan kepadanya: “Pergilah ke Umar……” (Disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 2/397. Al Allamah Al Albani berkata dalam At Tawassul hal. 131, Atsar ini dha’if dikarenakan Malik Ad Daar itu majhul).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata (Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal. 19-20), “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi sebelum beliau tidak pernah mensyariatkan untuk berdoa kepada malaikat, para nabi, dan orang shalih serta meminta syafaat dengan perantaraan mereka, baik setelah kematian mereka dan juga tatkala mereka gaib (yakni mereka tidak berada di hadapan kita walaupun masih hidup -pent). Maka seseorang tidak boleh mengatakan, “Wahai malaikat Allah syafa’atilah aku di sisi Allah, mintalah kepada Allah agar menolong kami dan memberi rezeki kepada kami atau menunjuki kami.” Dan demikian pula tidak boleh dia mengatakan kepada para nabi dan orang shalih yang telah mati, “Wahai nabi Allah, wahai wali Allah, berdoalah kepada Allah untukku, mintalah kepada Allah agar memaafkanku.” Juga seseorang tidak boleh mengucapkan, “Aku adukan kepadamu dosa-dosaku atau kekurangan rezekiku atau penguasaan musuh atasku atau aku adukan kepadamu si Fulan yang telah menzhalimiku.” Tidak boleh pula dia mengatakan, “Aku adalah tamumu, aku adalah tetanggamu, atau engkau melindungi setiap orang yang meminta perlindungan padamu.”
Seseorang tidak boleh menulis (hajatnya -pent) pada lembaran kertas kemudian menggantungkannya di sisi kuburan, tidak boleh bagi seseorang menulis di selembar kertas bahwa dia meminta perlindungan kepada si Fulan, kemudian membawa tulisan tersebut ke orang yang melakukannya dan begitu pula amalan-amalan semisal itu yang dilakukan ahli bid’ah dari kalangan ahlil kitab dan kaum muslimin, seperti yang dilakukan orang Nasrani di dalam gereja mereka dan seperti yang dilakukan ahlu bid’ah di sisi kuburan para nabi dan orang salih.
Inilah perkara-perkara yang diketahui secara pasti merupakan bagian dari agama Islam, dan dengan penukilan yang mutawatir dan ijma’ kaum muslimin bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkan hal ini kepada umatnya, dan demikian pula para nabi sebelum beliau tidak pernah mensyariatkan sedikit pun dari hal tersebut. Tidak seorang pun dari sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik melakukan hal itu, dan tidak seorang pun dari para imam kaum muslimin yang menganjurkan hal tersebut, baik keempat imam mazhab dan (para imam) selain mereka. Tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan bahwa dianjurkan bagi seseorang dalam manasik hajinya untuk meminta kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi kuburan beliau agar mensyafa’atinya atau mendoakan umatnya atau mengadu kepada beliau tentang musibah dunia dan agama yang menimpa umatnya.
Para sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditimpa berbagai macam musibah setelah beliau wafat, terkadang dengan kemarau yang panjang, terkadang dengan kekurangan rezeki, ketakutan dan kuatnya musuh dan terkadang dengan dosa dan kemaksiatan. Tidak seorang pun dari mereka mendatangi kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga kuburan Al Khalil dan para nabi kemudian berkata, “Kami mengadu kepadamu (atas) kemarau pada saat ini, atau kuatnya musuh.” agar beliau menolong mereka atau mengampuni mereka. Bahkan hal ini dan yang serupa dengannya merupakan perkara bid’ah yang diada-adakan yang tidak pernah dianjurkan oleh para imam kaum muslimin. Dan hal tersebut bukanlah suatu kewajiban dan bukan pula suatu perkara yang dianjurkan menurut ijma’ kaum muslimin.
Atsar Kedua
عن أبي الجوزاء أوس بن عبد الله, قال: فحط أهل المدينة قحطا شديدا, فشكو إلى عائشة, فقالت: انظروا إلى قبر النبي صلى الله عليه و سلم فاجعلوا منه كوا إلى السماء, حتى لا يكون بينه و بين السماء سقف. قالوا : فافعلوا, فمطرنا مطرا حتى نبت العشب, و سمنت الإبل, حتى تفتقت من الشحم, فسمى عام الفتق
Dari Abul Jauza’ Aus bin Abdillah, dia berkata, “Penduduk Madinah pernah mengalami kemarau yang sangat dahsyat, kemudian mereka mengadu kepada Aisyah, maka dia berkata: “Pergilah ke kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian buatlah lubang yang menghadap ke langit sehingga antara kubur dan langit tidak terhalang oleh atap.” Mereka berkata, “Mari kita melakukannya.” Maka hujan lebat mengguyur kami, sehingga rumput tumbuh lebat dan unta-unta menjadi gemuk dan menghasilkan lemak. Maka saat itu disebut Tahun Limpahan.” (Dikeluarkan oleh Ad Darimi (1/56) nomor 92. Al Allamah Al Albani berkata dalam At Tawassul hal 139: “Dan (atsar) ini sanad(nya) dha’if tidak dapat digunakan sebagai hujjah dikarenakan tiga alasan…” kemudian beliau menyebutkan alasan tersebut, maka merujuklah kesana).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata (Lihat Ar Radd alal Bakri hal 68-74), “Dan riwayat dari Aisyah radhiallahu anha tentang membuka lubang kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke arah langit agar hujan turun tidak shahih dan tidak sah sanadnya. Di antara yang menjelaskan kedustaan atsar ini adalah bahwa selama Aisyah hidup rumah tersebut tidak memiliki lubang, bahkan keadaannya tetap seperti pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yakni sebagiannya diberi atap dan sebagian yang lain terbuka, sehingga sinar matahari masuk ke dalam rumah, sebagaimana riwayat yang ada dalam Shahihain dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam sedang melakukan shalat Ashar dan sinar matahari masuk ke kamar beliau, sehingga tidak nampak bayangan (Dikeluarkan oleh Bukhari nomor 521 dan Muslim nomor 611). Kamar tersebut tidak berubah hingga Walid bin Abdil Malik menambahkan kamar-kamar itu di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sejak saat itu kamar Nabi masuk ke dalam masjid. Kemudian di sekitar kamar Aisyah -yang di dalamnya terletak kuburan Nabi shallallahu alaihi wa sallam- dibangun tembok yang tinggi, dan sesudah itu dibuatlah lubang sebagai jalan bagi orang yang turun apabila ingin membersihkan.”
Adapun adanya lubang saat Aisyah hidup, maka itu adalah kedustaan yang nyata. Seandainya benar, maka hal itu akan menjadi hujjah dan dalil bahwa orang-orang tersebut tidaklah berdoa kepada Allah dengan perantaraan makhluk, tidak bertawassul dengan mayat di dalam doa mereka, serta mereka tidak pula memohon kepada Allah dengan (perantaraan) orang yang sudah mati. Mereka hanyalah membukanya agar rahmat diturunkan kepadanya, dan di sana tidak terdapat doa memohon kepada Allah dengan perantaraannya (kubur atau mayat yang ada di kubur tersebut, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -pent).
Bandingkan betapa beda 2 hal tersebut? Sesungguhnya makhluk hanya bisa memberikan manfaat kepada orang lain melalui doa dan amal shalihnya, oleh karenanya Allah senang jika seseorang bertawasul kepada-Nya dengan iman, amal shalih, shalawat dan salam kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam, serta mencintai, menaati dan setia kepada beliau. Maka inilah perkara-perkara yang dicintai Allah agar kita bertawasul kepada-Nya dengan perkara-perkara tersebut.
Atsar Ketiga
عن علي بن ميمون, قال: سمعت الشفعي يقول: إني لأتبرك بأبي حنيفة, و أجيء إلى قبره في كل يوم-يعني زائرا- فإذا عرضت لي حاجة صليت ركعتين, و جئت إلى قبره, وسألت الله تعالى الحاجة عنده, فما تبعده عني حتى تقضى
Dari Ali bin Maimun, dia berkata, Aku mendengar Asy Syafi’i (Imam Syafi’i -pent) berkata, “Sungguh aku akan bertabarruk dengan Abu Hanifah, dan aku mendatangi kuburnya di setiap hari -yakni beliau berziarah ke kuburnya-. Maka jika aku memiliki hajat, aku melakukan shalat dua raka’at dan aku mendatangi kuburannya kemudian aku memohon kepada Allah ta’ala agar mengabulkan hajatku di samping kuburannya, dan tak lama berselang hajatku pun terkabul.” Hikayat ini diriwayatkan oleh Al Khatib Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (1/123) dari jalur Umar bin Ishaq bin Ibrahim, dia berkata: “Ali bin Maimun memberitakan kepada kami, dia berkata, ‘Aku mendengar Asy Syafi’i mengatakan hal itu.’” (yakni riwayat di atas -pent).
Al ‘Allamah Al Albani berkata dalam Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wa Al Maudhu’at 1/31: “Riwayat ini dha’if bahkan (riwayat yang) bathil.”
Ibnul Qoyyim berkata dalam Ighatsatul Lahfan 1/246, “Hikayat yang dinukil dari Imam Syafi’i -bahwa beliau berdoa di samping kuburan Abu Hanifah- merupakan suatu kedustaan yang nyata.”
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata dalam Silsilah Ahadits Adhdha’ifah wa Al Maudhu’at (1/31) hadits nomor 22, “Riwayat ini dha’if (lemah), bahkan bathil. Karena sesungguhnya Umar bin Ishaq bin Ibrahim tidak dikenal, dan tidak pernah disebut dalam kitab-kitab yang membahas tentang perawi hadits sedikit pun. Jika yang dimaksud Umar bin Ishaq adalah Amru bin Ishaq bin Ibrahim bin Hamid As Sakan Abu Muhammad At Tunisi, maka Al Khatib telah menyebutkan biografinya dan menyebutkan bahwasanya dia adalah penduduk Bukhara yang mendatangi Baghdad tahun 341 Hijriah dalam rangka hendak berhaji, dan beliau (Al Khatib) tidak menyebutkan jarh (celaan) dan ta’dil (rekomendasi) atas orang ini dalam kitabnya, maka orang ini statusnya majhul hal. Mustahil jika yang dimaksudkan adalah orang ini, karena Syaikhnya yakni Ali bin Maimun wafat pada tahun 247 Hijriah -berdasarkan pendapat yang paling jauh-, sehingga kematian keduanya berjarak sekitar 100 tahun, maka mustahil dia menjumpai Syaikhnya tersebut. Kesimpulannya, riwayat ini dha’if dan tidak ada bukti yang menunjukkan keshahihannya.”
Penutup
Setelah engkau mengetahui sejumlah hadits, atsar dan kisah yang dha’if, palsu dan dusta tentang tawassul bid’ah yang dilakukan oleh ahlul bid’ah dan orang sesat. Maka waspadalah wahai kaum muslimin dan jangan terperdaya oleh kebohongan-kebohongan semacam ini! Bertawakallah kepada Zat Yang Maha Hidup dan tidak mati, sesungguhnya Dia berfirman,
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaq: 3)
Janganlah engkau menyeru dan berlindung melainkan kepada Allah semata.
Janganlah engkau meminta bantuan dan pertolongan melainkan kepada Allah semata.
Janganlah engkau beribadah (berdoa) kepada sesuatu pun di samping beribadah (berdoa) kepada Allah.
Saudaraku, jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau meminta pertolongan, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya seluruh umat berkumpul untuk memberi manfaat atau mudharat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat dan mudharat kepadamu, melainkan yang telah Allah tetapkan untuk dirimu.
Mohonlah kepada Allah untuk memberikan taufik kepadamu dan menjaga hatimu agar engkau termasuk orang-orang yang bertawassul kepada-Nya dengan tawassul yang syar’i bukan dengan tawassul yang bid’ah. Dan mohonlah kepada Allah ta’ala untuk mengampuni dosa-dosamu dan menyelamatkanmu dari azab api neraka yang merupakan seburuk-buruk tempat kembali. Hanya Allah-lah Pemberi Taufik dan Penunjuk kepada jalan yang lurus.
Dikumpulkan dan disusun:
Abu Humaid Abdullah ibn Humaid Al Falasi
Semoga Allah memaafkan dan mengampuninya, orang tuanya dan seluruh kaum muslimin dan muslimat.
Maraji’:
  1. At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu karya Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah-dengan diringkas.
  2. At Tawassul Hukmuhu wa Aqsamuhu-dikumpulkan dan disusun oleh Abu Anas Ali ibn Husain Abu Luz-dengan diringkas.
  3. Muqaddimah diambil dari tulisan yang disebarluaskan di situs internet.
***
Oleh: Abu Humaid Abdullah ibnu Humaid Al Fallasi
Diterjemahkan secara bebas oleh: Abu Umair Muhammad Al Makasari (Alumni Ma’had Ilmi)
Murajaah: Ust. Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Hadits, Atsar Dha’if Serta Palsu Seputar Tawassul dan Tabarruk (3)


Atsar berikut ini sering dijadikan alasan untuk ber-ziarah makam wali serta mengusap dan mencium kuburan wali.
عن أبي الدرداء رضي الله تعالى عنه، قال: إن بلالا رأى في منامه النبي صلى الله تعالى عليه و سلم و هو يقول: ما هذه الجفوة يا بلال؟ أما آن لك أن تزورني يا بلال؟ فانتبه حزينا وجلا خائفا، فركب راحلته و قصد المدينة فأتى قبر النبي صلى الله تعالى عليه و سلم، فجعل يبكي عنده و يمرغ وجهه عليه، فأقبل الحسن و الحسين رضي الله تعالى عنهما، فجعل يضمهما و يقبلهما، فقالا له: يا بلال، نشتهي أن نسمع أذانك الذي كنت تؤذن به لرسول الله صلى الله تعالى عليه و سلم في المسجد، ففعل،
Dari Abu Darda’ radhiallahu’anhu, ia berkata: ‘Bilal bermimpi bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau bersabda kepada Bilal: “Wahai Bilal, engkau tidak sopan. Apakah belum datang saatnya engkau mengunjungiku?”. Maka ia bangun dengan rasa sedih dan cemas dalam dirinya. Bilal pun lalu menunggangi kendaraannya menuju Madinah, ia mendatangi kubur Nabi Shallallahu’alahi Wasallam. Ia menangis lalu meletakkan wajahnya di atas pusara Rasulullah. Kemudian ia bertemu Hasan dan Husain Radhiallahu Ta’ala ‘Anhuma. Lalu Bilal memeluk dan mencium keduanya. Keduanya berkata kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, kami berdua mendesakmu untuk memperdengarkan adzan yang pernah kau perdengarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam di masjid, Bilal-pun melakukannya..‘”
Kisah ini dibawakan oleh:
  1. Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqi (137/7), dengan sanad
  2. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Usud Al Ghabbah (131/1), tanpa sanad
  3. Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal mengisyaratkan kisah ini, namun tidak menyebut perihal menangis dan mencium kubur.
    يقال: إنه لم يؤذن لاحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم، إلا مرة واحدة، في قدمة قدمها المدينة لزيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم، وطلب إليه الصحابة ذلك فأذن، ولم يتم الاذان
    “Ada yang mengatakan bahwa Bilal tidak pernah adzan setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kecuali hanya sekali. Yaitu ketika ia datang ke Madinah untuk berziarah ke kubur Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Para sahabat memintanya ber-adzan, ia pun mengiyakan. Namun ia beradzan tidak sampai selesai” (Tahdzibul Kamal, 289/4)
  4. Adz Dzahabi dalam Tarikh Islami (273/4), dengan sanad
  5. Ali Bin Ahmad As Samhudi, dalam Al Wafa’ bi Akhbar Al Musthafa (44/1), tanpa sanad
Perhatikanlah, semua kitab yang membawakan kisah ini adalah kutubut taarikh (kitab-kitab sejarah), bukan kitab hadits.
Jalan Periwayatan
Adz Dzahabi dalam Tarikh Islami membawakan kisah ini dengan sanad sebagai berikut:
قال أبو أحمد الحاكم: نا ابن الفيض، نا أبو إسحاق إبراهيم بن محمد بن سليمان بن بلاد بن أبي الدرداء: حدثني أبي، عن أبيه سليمان، عن أم الدرداء، عن أبي الدرداء
“Dari Abu Ahmad Al Hakim: Ibnu Fayd mengabarkan kepada kami: Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Sulaiman bin Bilad bin Abi Darda mengabarkan kepada kami: Ayahku (Muhammad) mengabarkan kepadaku: Dari Sulaiman: Dari Ummu Darda’: Dari Abu Darda’
Komentar Para Ulama
Pertama: Adz Dzahabi dalam Tarikh Islami mengatakan:
إبراهيم بن محمد بن سليمان الشامي مجهول، لم يروِ عنه غير محمد بن الفيض الغسّاني
Ibrahim bin Muhammad bin Sulaiman Asy Syami itu majhul, orang yang mengambil riwayat darinya hanya Muhammad bin Fayd Al Ghassani”
Adz Dzahabi juga men-dhaif-kan kisah ini dalam Siyar A’lamin Nubala (357-358/1)[1]
Kedua: Ibnu Abdil Hadi berkata:
هذا الأثر المذكور عن بلال ليس بصحيح
“Atsar yang dikatakan dari Bilal ini tidak shahih” (Ash Sharimul Munkiy, 314)[2]
Nampaknya kisah ini dikatakan shahih oleh As Subki, maka Ibnu Abdil Hadi dalam Ash Sharimul Munkiy pun menyanggahnya:
جميع الأحاديث التي ذكرها المعترض في هذا الباب وزعم أنها بضعة عشر حديثاً ليس فيها حديث صحيح، بل كلها ضعيفة واهية
“Seluruh hadits yang dibawakan As Subki dalam masalah ini, yang diklaim berjumlah belasan hadits, bukan hadits-hadits shahih. Bahkan semuanya hadits yang sangat lemah” (Ash Sharimul Munkiy, 14) [3]
Ketiga: Ibnu Hajar Al Asqalani berkata:
هي قصة بينة الوضع
“Kisah ini adalah kedustaan yang nyata” (Lisanul Mizan, 107-108/1)[4]
Keempat: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
ليس في الإحاديث التي رويت بلفظ زيارة قبره -صلى الله عليه وسلم- حديث صحيح عند أهل المعرفة، ولم يخرج أرباب الصحيح شيئاً من ذلك، ولا أرباب السنن المعتمدة، كسنن أبي داود والنسائي والترمذي ونحوهم، ولا أهل المساند التي من هذا الجنس؛ كمسند أحمد وغيره، ولا في موطأ مالك، ولا مسند الشافعي ونحو ذلك شيء من ذلك، ولا احتج إمام من أئمة المسلمين -كأبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد وغيرهم- بحديث فيه ذكر زيارة قبره
“Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan mengandung lafadz ‘ziarah kubur Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam‘ tidak ada yang shahih menurut para ulama hadits. Hadits-hadits seperti ini tidak pernah dibawakan oleh pemilik kitab Shahih, tidak juga pemilik kitab Sunan yang menjadi pegangan, seperti Sunan An Nasa-i atau semacamnya, tidak juga kitab Musnad yang menjadi pegangan, seperti Musnad Ahmad atau semacamnya, tidak juga kitab Muwatha Malik, tidak juga kitab Musnad Asy Syafi’i atau semacamnya. Hadits-hadits seperti ini tidak pernah dipakai para Imam Mazhab dalam berhujjah. Yaitu hadits yang didalamnya disebut lafadz ziarah kubur Nabi” (Majmu’ Fatawa, 216/27)[5]
Kelima: Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal (289/4) mengisyaratkan lemahnya riwayat ini karena beliau menggunakan lafadz يقال
Keenam: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata:
: فهذه الرواية باطلة موضوعة ولوائح الوضع عليها ظاهرة من وجوه عديدة أهمها قوله : ( فأتى قبر النبي صلى الله عليه و سلم فجهل يبكي عنده ) فإنه يصور لنا أن قبره صلى الله عليه و سلم كان ظاهرا كسائر القبور التي في المقابر يمكن لكل أحد أن يأتيه وهذا باطل بداهة عند كل من يعرف تاريخ دفن النبي صلى الله عليه و سلم في حجرة عائشة رضي الله عنها وبيتها الذي لا يجوز لأحد أن يدخله إلا بإذن منها كذلك كان الأمر في عهد عمر رضي الله عنه
“Riwayat ini batil, palsu, kedustaan yang nyata. Terlihat jelas dari beberapa sisi, yang paling jelas adalah perkataan ‘Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis di sisinya’, perkataan ini seolah-olah menggambarkan kepada kita bahwa kubur Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam nampak jelas seperti kuburan orang lain yang dapat didatangi siapa saja. Ini sebuah kebatilan yang nyata bagi orang yang mengetahui sejarah. Bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dimakamkan di kamar Aisyah Radhi’allahu’anha di dalam rumahnya, yang tidak diperbolehkan masuk kecuali atas izin Aisyah. Hal ini masih berlaku hingga masa pemerintahan Umar Radhiallahu’anhu‘ (Ad Difa’ An Al Hadits An Nabawi Wa As Sirah, 95)
Tambahan
Kisah ini sama sekali tidak menyebutkan tentang tabarruk atau beribadah di kuburan. Namun anehnya sering dibawakan oleh para Quburiyyun sebagai alasan untuk ziarah makam wali plus bertabarruk dan bertawassul di sana.
Hanya Allah yang beri taufik.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id

[1] Dinukil dari Ahadits Laa Tashih, Sulaiman bin Shalih Al Khurasyi, hal.6 [2] Ahadits Laa Tashih, hal.6
[3] Ahadits Laa Tashih, hal.6
[4] Ahadits Laa Tashih, hal.6
[5] Ahadits Laa Tashih, hal.6

Hadits, Atsar Dhaif Serta Palsu Seputar Tawassul dan Tabarruk (4)


Atsar berikut ini sering dibawakan oleh orang-orang yang gemar mencium serta mengusap-ngusap kubur untuk mengharap berkah darinya (tabarruk) :
عن داود بن أبي صالح ، قال : أقبل مروان يوما فوجد رجلا واضعا وجهه على القبر ، فأخذ برقبته وقال : أتدري ما تصنع ؟ قال : نعم ، فأقبل عليه فإذا هو أبو أيوب الأنصاري رضي الله عنه ، فقال : جئت رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم آت الحجر سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم ، يقول : لا تبكوا على الدين إذا وليه أهله ، ولكن ابكوا عليه إذا وليه غير أهله
“Daud bin Abi Shalih berkata: “Suatu ketika Marwan[1] datang. Dia melihat seorang lelaki sedang meletakkan wajahnya di atas kubur Rasullullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu Marwan menarik lehernya dan mengatakan: “Apakah anda menyadari apa yang anda lakukan?”. Lelaki itu berkata: “Ya”, lalu menengok ke arah Marwan, ternyata lelaki itu adalah Abu Ayyub al-Anshari[2] Radhiallahu’anhu. Ia berkata: “Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, bukan datang untuk sebongkah batu. Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jangan menangis untuk agama, jika agama masih dipegang oleh ahlinya. Namun tangisilah agama jika ia dipegang bukan oleh ahlinya”
Atsar ini diriwayatkan oleh:
  1. Al Hakim dalam Mustadrak-nya, hadits no.8571, hal 515 jilid 4
  2. Imam Ahmad dalam Musnad-nya, hadits no. 23633, hal 422 jilid 5
  3. Ath Thabrani, dalam Mu’jam Al Kabir, hadits no. 3999, hal 189 jilid 4. Juga di Mu’jam Al Ausath, hadits no. 289 dan no. 11422.
Jalur Periwayatan
Hadits ini diriwayatkan dari 2 jalan, yaitu dari jalan Daud bin Abi Shalih dan jalan Muthallib bin Abdillah bin Hanthab. Jalan pertama sebagaimana yang dibawakan Al Hakim dan Imam Ahmad. Al Hakim membawakan hadits ini dengan sanad sebagai berikut:
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ، ثنا العباس بن محمد بن حاتم الدوري ، ثنا أبو عامر عبد الملك بن عمر العقدي ، ثنا كثير بن زيد ،  عن داود بن أبي صالح
Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub berkata kepadaku: Al ‘Abbas bin Muhammad bin Hatim Ad Dauri menyampaikan kepadaku: Abu ‘Amir ‘Abdul Malik bin Umar Al’Aqdiy menyampaikan kepadaku: Katsir bin Zaid menyampaikan kepadaku: Dari Daud bin Abi Shalih
Imam Ahmad membawakan hadits ini dengan sanad sebagai berikut:
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الملك بن عمرو ثنا كثير بن زيد عن داود بن أبي صالح
Abdullah berkata kepadaku: Ayahku (Abu Abdillah) berkata kepadaku: Abdul Malik bin ‘Amr menyampaikan kepadaku: Katsir bin Zaid menyampaikan kepadaku: Dari Daud bin Abi Shalih
Jalan kedua dibawakan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Ausath dan Mu’jam Al Kabir, beliau membawakan hadits ini dengan sanad sebagai berikut;
حدثنا أحمد بن رشدين قال : نا سفيان بن بشير الكوفي قال : نا حاتم بن إسماعيل ، عن كثير بن زيد ، عن المطلب بن عبد الله بن حنطب ، عن أبي أيوب الأنصاري
Ahmad bin Rusydain menuturkan kepadaku, ia berkata: Sufyan bin Basyir Al Kufi mengabarkan kepadaku, ia berkata: Hatim bin Isma’il mengabarkan kepadaku: Dari Katsir bin Zaid: Dari Muthallib bin Abdillah bin Hanthab: Dari Abu Ayyub Al Anshari
Di tempat lain di Mu’jam Al Ausath, Ath Thabrani membawakan dengan sanad sedikit berbeda:
….حدثنا هارون بن سليمان أبو ذر ، ثنا سفيان بن بشر الكوفي ، نا حاتم بن إسماعيل
Harun bin Sulaiman Abu Dzar menuturkan kepadaku, ia berkata: Sufyan bin Bisyr Al Kufi mengabarkan kepadaku, ia berkata: Hatim bin Isma’il mengabarkan kepadaku, dst….”
Komentar Ulama
Para ulama ahli hadits berbeda pendapat mengenai status hadits ini. Ulama yang menerima hadits ini diantaranya:
Pertama: Abu Abdillah Al Hakim dalam Mustadrak-nya mengatakan:
هذا حديث صحيح الإسناد و لم يخرجاه
“Sanad hadits ini shahih, dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim”
Kedua: Adz Dzahabi dalam Talkhis-nya terhadap Al Mustadrak, beliau mengatakan hadits ini shahih. Namun pernyataan ini agak aneh karena Adz Dzahabi mengatakan tentang Daud bin Abi Shalih:
حجازي لا يعرف
“Ia orang Hijaz namun tidak dikenal (majhul)” (Lisanul Mizan, 2617)
Ketiga: As Subki, dalam Syifa As Saqqam (152) mengatakan bahwa hadits ini shahih dan beliau berdalil dengan hadits ini bolehnya mengusap-usap kuburan.
Namun klaim shahih tersebut sangat patut dipertanyakan, sebab para ahli hadits mengkritik hadits ini karena terdapat kecacatan pada perawi-perawinya:
  • Daud bin Abi Shalih
    Adz Dzahabi sendiri mengatakan ia majhul. Ibnu Hajar Al Asqalani pun menyetujui hal ini, beliau berkata:
    فأنى له الصحة؟
    “Apa saya pernah tahu hadits shahih darinya?” (Tahdzib At Tahdzib, 188/3)
  • Katsir bin Zaid
    Ia adalah perawi yang memiliki kecacatan. Ibnu Hajar berkata:
    صدوق يخطئ
    “Orang jujur namun sering salah”
    Al Haitsami berkata:
    وثقه أحمد وغيره وضعفه النسائي
    “Ia dianggap tsiqah oleh Imam Ahmad, namun dianggap lemah oleh An Nasa’i” (Majma’ Az Zawaid, 441/5)
  • Hatim bin Isma’il,
  • Sufyan bin Basyir / Bisyr,
  • Ahmad bin Rusydain,
    Sedangkan pada riwayat yang terdapat pada Mu’jam Al Kabir dan Al Ausath, terdapat kecacatan pada perawi Hatim bin Isma’il. Sebenarnya ia adalah perawi yang dipakai oleh Bukhari-Muslim. Namun komentar Ibnu Hajar tentangnya: صحيح الكتاب ، صدوق يهم
    Shahihul kitab, jujur namun sering ragu”. (Tahdzib At Tahdzib)
    Oleh karenanya Al Albani berkata: “Ada kemungkinan keraguan tersebut ada pada penyebutan Muthallib bin Abdillah padahal sebenarnya Shalih bin Abi Shalih. Namun juga, jalur periwayatan sebelum sampai ke Hatim tidaklah shahih. Sehingga keraguan juga dimungkinkan dari selain Hatim. Pasalnya Sufyan bin Basyir / Bisyr tidak dikenal (majhul). Barangkali juga kebohongan ada pada Ahmad bin Rusydain, guru dari Ath Thabrani. Karena status dari Ahmad bin Rusydain adalah muttahamun bil kadzab (tertuduh sering berdusta)”. (Silsilah Adh Dha’ifah, 552/1)
Ringkasnya, dengan adanya kecacatan ini, wallahu’alam, lebih tepat menghukumi hadits ini sebagai hadits dha’if. Terlebih lebih terdapat ijma’ ulama yang dinukil dari ulama besar mazhab Asy Syafi’i, yaitu Al Imam An Nawawi rahimahullah bahwa mengusap-ngusap kubur hukumnya terlarang. Al Haitami menyanggah As Subki yang berdalil dengan hadits ini dengan berkata:
الحديث المذكور ضعيف. فما قاله النووي- أي حكايته الإجماع على النهي عن مس القبر- صحيح لا مطعن فيه
“Hadits tersebut dhaif. Dan ijma yang dinukil oleh An Nawawi itu shahih tidak ada seorang ulama pun yang mengkritik” (Hasyiatul I-dhah, 219)
Sedangkan ijma yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan dalil shahih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
لا يمكن أن يقع إجماع على خلاف نص أبدا
“Tidak akan pernah ada ijma ulama yang bertentangan dengan dalil” (Majmu’ Fatawa, 201/19)[3]
Dengan kata lain, orang yang mengusap-ngusap kuburan dengan dasar anggapan shahih terhadap hadits ini, orang tersebut mengingkari klaim ijma’ dari ulama besar mazhab Asy Syafi’i, yaitu Imam Abu Yahya Muhyiddin An Nawawi.
Tambahan
Terlepas dari dhaif-nya hadits ini, terdapat pula beberapa kejanggalan, diantaranya:
Pertama: Dalam hadits tersebut dikatakan Abu Ayyub Al Anshari meletakan wajahnya di atas makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Padahal makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam itu rata dengan tanah. Sebagaimana hadits shahih:
عَنْ سُفْيَانَ التَّمَّارِ أَنَّهُ رَأَى قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَنَّمًا
Dari Sufyan At Tammar, ia mengatakan bahwa ia pernah melihat kubur Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam rata dengan tanah” (HR. Al Bukhari, no.1390)
Jika demikian, konsekuensinya, Abu Ayyub Al Anshari dalam posisi sujud. Dan ini perkara yang mustahil, tidak pernah tergambar di benak bahwa ada seorang sahabat Nabi sujud kepada kuburan!
Kedua: Hadits ini seolah-olah menggambarkan bahwa makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terbuka dan dapat didatangi semua orang. Padahal makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tertutup dan orang-orang dilarang masuk kecuali diberi izin. Sebagaimana hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha:
عائشة « أن النبي ( قال في مرض موته» لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مسجداً. قالت: ولولا ذلك لأبرزوا قبره غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika sakit menjelang wafatnya: ‘Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan Nabi mereka sebagai tempat ibadah’. Aisyah berkata: ‘Andai bukan karena sabda beliau ini, tentu akan aku nampakkan (dibuka untuk umum) kuburan beliau, namun beliau khawatir kuburnya dijadikan tempat ibadah‘” (HR. Bukhari)
Ketiga: Dalam hadits dikatakan bahwa Abu Ayyub Al Anshari meletakkan wajahnya di atas kubur Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu mengungkapkan kesedihannya terhadap orang-orang yang berbicara agama tanpa ilmu. Dari sisi mana perbuatan ini dijadikan dalil untuk bolehnya mengusap-ngusap kuburan untuk mengambil berkahnya (tabarruk) ??
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata:
و قد شاع عند المتأخرين الاستدلال بهذا الحديث على جواز التمسح بالقبر لوضع أبي أيوب وجهه على القبر ، و هذا مع أنه ليس صريحا في الدلالة على أن تمسحه كان للتبرك – كما يفعل الجهال – فالسند إليه بذلك ضعيف كما علمت فلا حجة فيه
“Orang-orang zaman ini banyak yang menyebarkan kabar bahwa mengusap-ngusap kubur itu dibolehkan dengan dalil hadits ini. Yaitu dalam hadits ini Abu Ayyub meletakkan wajahnya di atas kuburan. Selain hadits ini sanadnya lemah, sebagaimana telah dijelaskan kepada anda, hadist ini juga tidak menunjukkan Abu Ayyub menyentuh kubur Nabi tersebut untuk mengambil berkah (tabarruk), seperti yang dilakukan orang-orang yang tidak paham. Sehingga hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah” (Silsilah Adh Dha’ifah, 552/1)
Keempat: Hadits ini juga sering dijadikan tameng oleh orang-orang syi’ah untuk membela kebiasaan mereka ber-tabarruk kepada imam-imam mereka (Ahadits Yahtaju Biha Asy- Syi’ah, 373 ). Ini salah satu bukti bahwa perbuatan mengusap-usap kubur dan ber-tabarruk dengannya adalah kebiasaan orang Syi’ah. Pantaskah kita mengikutinya?
Demikian penjelasan ringkas yang kami nukilkan dari penjelasan para ulama.
Semoga Allah memberi taufik.
Diringkas dari:
  • Ahadits Yahtaju Biha Asy- Syi’ah, Syaikh Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasy-qiyyah, halaman 373
  • Silsilah Ahadits Adh Dha’ifah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, halaman 552
Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id

[1] Marwan bin Al Hakam bin Abil ‘Ash Al Qurasyi (2 – 65H), khalifah ke-4 Bani Umayyah, termasuk Kibarut Tabi’in. [2] Abu Ayyub Khalid bin Zaid bin Kulaib Al Anshari (wafat tahun 52 H) -radhiallahu’anhu-, sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
[3] Dinukil dari Ma’alim Ushulil Fiqhi ‘Inda Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, halaman 173, Muhammad bin Husain Al Jizani

http://muslim.or.id/aqidah/hadits-atsar-dhaif-serta-palsu-seputar-tawassul-dan-tabarruk-4.html

Hadits, Atsar Dhaif Serta Palsu Seputar Tawassul dan Tabarruk (5)


Sebagian orang yang ber-tabarruk dengan kuburan orang shalih, atau ber-tabarruk dengan orang shalih itu sendiri, atau bahkan ber-tabarruk dengan tanah, air, debu, serta benda-benda yang dianggap mengandung berkah, sering beralasan dengan kisah Fathimah Radhiallahu’anha. Kisahnya adalah sebagai berikut:
عن علي بن أبي طالب – رضي الله تعالى عنه – قال: لما رمس رسول الله – صلى الله عليه وسلم – جاءت فاطمة – رضي الله تعالى عنها – فوقفت على قبره وأخذت قبضة من تراب القبر فوضعته على عينيها وبكت وأنشأت تقول:
ماذا على من شم تربة أحمد * أن لا يشم مدى الزمان غواليا
صبت علي مصائب لو أنها * صبت على الأيام عدن لياليا
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu, beliau berkata: ‘Setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dimakamkan, Fathimah Radhiallahu’anha datang. Beliau berdiri di depan makam Nabi lalu mengambil segenggam tanah dari makam Nabi, kemudian menaruh tanah tersebut di wajahnya sambil menangis dan bersyair:
Bagi yang mencium wangi tanah makam Ahmad
Tidak akan ia temukan sepanjang zaman wangi yang demikian
Sungguh pedih musibah yang kurasa
Begitu pedihnya seakan dapat membalik siang menjadi malam‘”
Kisah ini dibawakan oleh:
  1. As Samhudi, dalam Wafa-u Al Wafa Bi Akhbari Daari Al Musthafa (218/4). Dalam kitab ini As Samhudi mengatakan ia menukil kisah ini dari At Tuhfah[1] milik Ibnu ‘Asakir dengan sanadnya.
  2. Muhammad bin Yusuf Ash Shalihi Asy Syammi, dalam Sabilu Al Huda Wal Irsyad Fii Siirati Khairi Al ‘Ibad, 337/12, tanpa sanad. Namun beliau mengatakan bahwa kisah ini diriwayatkan dari Thahir bin Yahya Al Husaini.
  3. Abul Faraj Ibnul Jauzi, dalam Al Wafa-u Bit Ta’rifi Fadhaili Al Musthafa, tanpa sanad
  4. Abul Baqa’ Ibnu Dhiya’, dalam Taarikhu Makkah Al Musyrifah Wal Masjidil Haram, hal. 163, tanpa sanad
  5. Dan beberapa kitab sirah lain
Catatan
Bila hanya diketahui sebuah riwayat ada di kitab ini dan kitab itu, dibawakan oleh imam A dan imam B, belumlah cukup untuk melegalisasi riwayat tersebut untuk diterima dan di amalkan. Perlu diperiksa ke-shahih-an dari riwayat tersebut. Terlebih lagi kisah ini hanya diriwayatkan dari kitab-kitab sirah, bukan kitab hadits. Lebih jelasnya, silakan simak artikel “Hadits Shahih Sumber Hukum Syari’at, Bukan Hadits Dhaif
Jalur Periwayatan
As Samhudi dalam Al Wafa’ menukil kisah ini dari At Tuhfah milik Ibnu Asakir dengan sanad berikut:
عن طاهر بن يحيى الحسيني قال: حدثني أبي عن جدي عن جعفر بن محمد عن أبيه عن علي رضي الله عنه
“Dari Thahir bin Yahya Al Husaini, ia berkata: Ayahku (yaitu Yahya bin Al Hasan) pernah mengatakan kepadaku: Dari kakekku (yaitu Al Hasan bin Ja’far) : Dari Ja’far bin Muhammad: Dari ayahnya (yaitu Muhammad bin Ali) : Dari Ali bin Abi Thalib”
Kualitas sanad
Sanad kisah ini gelap. Karena banyak perawi yang tidak dikenal (majhul) dalam sanad kisah ini, yaitu:
  • Thahir bin Yahya Al Husaini
  • Yahya bin Al Hasan
  • Al Hasan bin Ja’far bin Muhammad
Andai perawi-perawi tersebut diterima pun masih terdapat sisi kelemahan lain, yaitu keterputusan sanad (inqitha’) antara Muhammad bin Ali dengan sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu. Karena Muhammad di sini adalah Muhammad bin Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dengan kata lain, Muhammad adalah cicit dari sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu. Sedangkan Muhammad tidak pernah bertemu dengan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu, sebagaimana dikatakan oleh Al Mizzi dalam Tahzibul Kamal (26/137) dan At Tirmidzi dalam Sunan-nya (1602/161/6):
وَأَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىِّ بْنِ الْحُسَيْنِ لَمْ يُدْرِكْ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ
“Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Al Husain tidak pernah bertemu Ali bin Abi Thalib”
Ringkasnya, kisah ini dhaif. Sebagaimana dikatakan oleh Al Imam Adz Dzahabi:
… :وَمِمَّا يُنْسَبُ إِلَى فَاطِمَةَ، وَلاَ يَصِحُّ
“Salah salah satu kisah yang diklaim dari Fathimah, namun tidak shahih adalah … (lalu menyebutkan riwayat di atas)” (Siyar A’laamin Nubala, 113/3)
Al Mulla Ali Al Qaari dalam Mirqatul Mafaatih (243/17) juga mengisyaratkan lemahnya kisah ini.
Lebih lagi telah diketahui bahwa riwayat ini tidak terdapat satu pun di kitab-kitab hadits. Riwayat ini tidak pernah dibawakan oleh para ulama pemilik kitab Shahih, seperti Bukhari-Muslim, tidak juga pemilik kitab Sunan yang menjadi pegangan, seperti Sunan An Nasa-i, Sunan At TirmidziSunan Ibnu Majah, atau semacamnya, tidak juga kitab Mu’jam, seperti Mu’jam Ath Thabrani, tidak juga kitab Musnad yang menjadi pegangan, seperti Musnad Ahmad, Musnad Asy Syafi’i atau semacamnya, tidak juga kitab Muwatha Malik. Riwayat ini kebanyakan dibawakan dalam kitab-kitab sirah.
Sikap Keluarga Fathimah Terhadap Makam
Lalu bagaimana sebenarnya sikap Fathimah Radhiallahu’anha terhadap makam Nabi? Cukuplah kita melihat sikap orang-orang terdekat beliau bersikap terhadap makam.
Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib (Cucu Fathimah) -Radhi’allahu’anhum-
رأى رجلا يأتي فرجة كانت عند قبر النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فيدخل فيها فيدعو، فنهاه وقال: « ألا أحدثكم حديثاً سمعته من أبي عن جدي – يعني علي بن أبي طالب رضي الله عنه عن رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قال: لا تتخذوا قبري عيداً ولا تجعلوا بيوتكم قبوراً وسلموا على فإن تسليمكم يبلغني أينما كنتم».
Ali bin Al Husain melihat seorang lelaki yang mendatangi celah di sisi makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, kemudian ia masuk ke dalamnya lalu berdoa. Beliau lalu berkata: ‘Wahai engkau, maukah aku sampaikan sebuah hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku (yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘Jangan jadikan kuburan sebagai Ied[2], dan jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan, bershalawatlah kalian kepadaku, karena shalawat kalian sampai kepadaku dimanapun kalian bershalawat’ ‘”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (375/2), Abdur Razzaq dalam Mushannaf-nya (6694). As Sakhawi dalam Al Qaulud Baadi’ (228) berkata: ‘Hadits ini hasan’. Ibnu ‘Adiy dalam Ash Sharimul Munkiy (206) mengatakan: ‘Sanadnya jayyid’
Ali bin Abi Thalib (Suami Fathimah) -Radhi’allahu’anhuma-
عن أبي الهياج الأسدي أن علياً رضي الله عنه قال له: « ألا أبعثك على ما بعثني عليه رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ؟ أمرني أن لا أدَعَ قبراً مشرفاً (أي مرتفعاً) إلا سوّيته (بالأرض) ولا تمثالاً إلا طمستُه » (مسلم969).
Dari Abu Hayyaj Al Asadiy, Ali Radhiallahu’anhu pernah berkata kepada Abu Hayyaj: ‘Maukah engkau aku utus untuk mengerjakan sesuatu yang dulu aku pun pernah di utus oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk mengerjakannya? Rasulullah pernah mengutusku untuk tidak membiarkan makam ditinggikan, melainkan harus dibuat rata dengan tanah. Lalu tidak membiarkan ada gambar (makhluk bernyawa), melainkan harus dihilangkan’” (HR. Muslim, no.969)
Dalam menjelaskan hadits ini An Nawawi berkata:
أَنَّ السُّنَّة أَنَّ الْقَبْر لَا يُرْفَع عَلَى الْأَرْض رَفْعًا كَثِيرًا ، وَلَا يُسَنَّم ، بَلْ يُرْفَع نَحْو شِبْر وَيُسَطَّح ، وَهَذَا مَذْهَب الشَّافِعِيّ وَمَنْ وَافَقَهُ
“Yang sesuai sunnah, makam itu tidak terlalu tinggi dan tidak buat melengkung. Namun tingginya hanya sekitar sejengkal dan dibuat rata. Ini mazhab Asy Syafi’i dan murid-muridnya” (Syarhu Shahih Muslim, 389/3)
Inilah sikap Ali bin Abi Thalib terhadap kuburan. Berbeda dengan para penyembah kubur serta orang-orang yang ber-tabarruk dengan kuburan, mereka meninggikan makam-makam.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (Ayah Fathimah -Radhi’allahu’anha-)
عن عائشة « أن النبي قال في مرض موته» لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مسجداً. قالت: ولولا ذلك لأبرزوا قبره غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika sakit menjelang wafatnya: ‘Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan Nabi mereka sebagai tempat ibadah’. Aisyah berkata: ‘Andai bukan karena sabda beliau ini, tentu akan aku nampakkan (dibuka untuk umum) kuburan beliau, namun beliau khawatir kuburnya dijadikan tempat ibadah‘” (HR. Bukhari no. 1330)
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata tentang hadits ini:
وكأنه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ علم أنه مرتحل من ذلك المرض، فخاف أن يعظم قبره كما فعل من مضى، فلعن اليهود والنصارى إشارة إلى ذم من يفعل فعلهم
“Seakan-akan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengetahui beliau akan wafat karena sakit yang sedang dialaminya, lalu beliau khawatir makam beliau diagungkan sebagaimana perbuatan orabg-orang terdahulu. Dilaknatnya kaum Yahudi dan Nasrani adalah isyarat bahwa orang yang melalukan perbuatan tersebut dicela” (Fathul Baari, 688/8)
Demikian uraian singkat. Semoga Allah senantiasa melimpkahkan rahmah dan hidayah-Nya kepada kita semua.
[ Sebagian besar tulisan ini disadur dari tulisan Al Akh Dimasqiyyah di Forum Ahlul Hadits (http://www.ahlalhdeeth.cc/vb/showthread.php?t=155930). Semoga Allah senantiasa menjaganya. ]
Penyadur: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id

[1] Ada yang mengatakan bahwa judul yang benar adalah Al Ithaaf [2] Dalam Lisaanul Arab dijelaskan:
والعِيدُ كلُّ يوم فيه جَمْعٌٌ
“Ied adalah setiap hari yang terdapat berkumpulnya manusia”
قال الأَزهري: والعِيدُ عند العرب الوقت الذي يَعُودُ فيه الفَرَح والحزن
“Al Azhari berkata: Ied menurut budaya arab adalah setiap waktu yang secara rutin kesenangan dirayakan atau kesedihan diratapi”

http://muslim.or.id/aqidah/hadits-atsar-dhaif-serta-palsu-seputar-tawassul-dan-tabarruk-5.html


Hadits, Atsar Dhaif Serta Palsu Seputar Tawassul dan Tabarruk (6)


Ibnul Munkadir rahimahullah adalah seorang tabi’in yang mulia. Ia dikenal sebagai ulama, Al Hafidz, ahli ibadah, ahli zuhud, dan orang yang besar baktinya kepada orang tua. Beliau berguru pada banyak sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan meriwayatkan banyak hadits. Semoga Allah merahmati beliau.
Ada sebuah kisah yang menceritakan bahwa Ibnul Munkadir biasa meminta pertolongan kepada makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika ditimpa sesuatu yang membahayakan. Kisah ini dijadikan alasan oleh sebagian untuk melegalkan ritual tabarruk, tawassul dan meminta pertolongan kepada makam-makam orang shalih. Berikut kisahnya,
قَالَ مُصْعَبُ بنُ عَبْدِ اللهِ: حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيْلُ بنُ يَعْقُوْبَ التَّيْمِيُّ، قَالَ:كَانَ ابْنُ المُنْكَدِرِ يَجْلِسُ مَعَ أَصْحَابِه، فَكَانَ يُصِيْبُه صُمَاتٌ، فَكَانَ يَقُوْمُ كَمَا هُوَ حَتَّى يَضَعَ خَدَّهُ عَلَى قَبْرِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ثُمَّ يَرْجِعُ. فَعُوتِبَ فِي ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنَّهُ يُصِيْبُنِي خَطَرٌ، فَإِذَا وَجَدْتُ ذَلِكَ، اسْتَعَنْتُ بِقَبْرِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-
Mu’shab bin Abdillah berkata: Isma’il bin Ya’qub At Taimi menceritakan kepadaku, ia berkata,
Suatu ketika Ibnul Munkadir sedang duduk-duduk bersama murid-muridnya. Tiba-tiba lidahnya kaku tak dapat berbicara. Beliau pun berdiri lalu meletakkan dagunya di atas makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lalu kembali. Murid-muridnya menyalahkan perbuatan beliau tersebut. Beliau pun berkata,’Yang menimpaku tadi adalah suatu bahaya. Ketika aku menemui bahaya aku biasa ber-isti’anah (memohon pertolongan) kepada makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam‘”
Kisah ini dibawakan oleh:
Pertama: Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala (9/437)
Kedua: Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islami (2/456) terbitan web alwarraq.com, dengan sanad yang sama, namun terdapat sedikit perbedaan redaksi:
فاذا وجدت ذلك استغثت بقبر النبي صلى الله عليه وسلم
“Ketika aku menemui bahaya aku biasa ber-istighatsah kepada makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
Ketiga: As Samhudi, dalam Wafa-u Al Wafa Bi Akhbari Daari Al Musthafa (4/218), dengan sanad yang sama, namun terdapat sedikit perbedaan redaksi:
فاذا وجدت ذلك  استشفيت بقبر النبي صلى الله عليه وسلم
“Ketika aku menemui bahaya yang demikian aku biasa ber-istisyfa (meminta kesembuhan) kepada makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
Status Perawi
Pertama: Mu’shab bin Abdillah
Nama lengkapnya Abu Abdillah Mu’shab bin Abdillah bin Mu’shab bin Tsabit Al Zubairi Al Madini. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “Tsiqah” (Tahdzib At Tahdzib, 10/147). Adz Dzahabi berkata: “Ash Shaduuq” (Siyar A’laamin Nubala, 21/32). Al Baihaqi men-tsiqah-kannya (Siyar A’laamin Nubala, 21/32). Abu Hatim dan Ibnu Ma’in menulis  hadits darinya (Al Jarh Wat Ta’dil, 8/309).
Kedua: Isma’il bin Ya’qub At Taimi
Abu Hatim Ar Razi berkata: “Dha’ful Hadits” (Al Jarh Wat Ta’dil, 2/204). Ibnu Hajar berkata: “Lahu hikaayatun munkarah” (Lisaanul Mizan, 1/185). Adz Dzahabi berkata: “Fiihi Layyin” (2/456). Semua ini adalah lafadz-lafadz pelemahan. Memang Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Hibban men-tsiqah-kannya” (Lisaanul Mizan, 1/185). Namun Ibnu Hibban di kalangan peneliti hadits telah dikenal akan sikapnya yang terlalu bermudah-mudah menetapkan status tsiqah (baca: mutasaahil). Para peneliti hadits seperti Adz Dzahabi, Ibnu Qattan, Abu Hatim dan yang lainnya menerapkan kaidah: ‘Jika hanya Ibnu Hibban seorang diri yang memberi status tsiqah pada seorang rawi, maka disimpulkan status rawi tersebut adalah majhul ain‘. Lihat penjelasan lengkap tentang masalah ini pada Buhuts Fil Musthalah (1/288) karya Dr. Mahir Yasin Al Fahl.
Kualitas Riwayat
Dari keterangan di atas, maka jelaslah bahwa riwayat tersebut dha’if karena dhaif-nya Isma’il bin Ya’qub At Taimi. Hal ini diperkuat dari keterangan dari Adz Dzahabi, karena setelah membawakan riwayat tersebut dalam Tarikh Al Islami (2/456) beliau berkata, “Isma’il: fiihi layyin” (Isma’il bin Ya’qub terdapat kelemahan).

Andaikan kisah ini shahih pun -dan nyatanya tidak- perbuatan Ibnul Munkadir, seorang tabi’in, bukanlah dalil, bukan alasan yang dapat melegalisasikan isti’anah (meminta pertolongan) kepada kuburan.
Semoga Allah memberi taufik.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id