Showing posts with label Sosok. Show all posts
Showing posts with label Sosok. Show all posts

“Selamat Jalan Sang Ustadz Teladan”

JUM’AT, 16 September 2011, pagi hari, sekitar pukul 08.00, para pecinta dakwah Islam diguncang oleh sebuah berita besar: Ustadz Muzayyin Abdul Wahab meninggal dunia dalam usia 59 tahun. SMS berita menyebar. Sesuai permintaan putrinya yang saat itu sedang berada di Jawa Timur, diperkirakan jenazah baru dimakamkan malam harinya.


Sekitar pukul 18.15, saya tiba di Muslimah Center Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, di Cipayung, Jakarta Timur. Alhamdulillah, saya masih “keburu” untuk menshalatkan jenazah Ustadz Muzayyin. Diumumkan, shalat itu sudah yang ke-14 kali, dipimpin oleh Ustadz Abdul Wahid Alwi. Masjid Muslimah Center mampu menampung sekitar 400 jamaah. Dan saya mendapatkan deretan shaf hampir belakang.
Ustadz Wahid Alwi, Wakil Ketua Umum Dewan Da’wah, mengimami shalat jenazah sambil terus terisak-isak berusaha menahan tangis. Ia tak mampu menahan tangis duka, kehilangan sahabat terdekatnya. Setelah itu, masih ada beberapa kali lagi rombongan peziarah yang melaksanakan shalat untuk jenazah Ustadz Muzayyin, yang tiba di Muslimah Center sore hari, dari Rumah Sakit Holistik, Purwakarta.
Jumat siang itu, saya sempat mengirim SMS kepada seorang pimpinan redaksi media Islam: “Telah wafat Ustadz Muzayyin Abdul Wahab, seorang pejuang sejati. Mohon bisa dibuatkan profil khususnya.”
Esok harinya, ternyata media itu tidak memuat berita apa pun tentang :”kepergian” Ustadz Muzayyin. Saya maklum. Ustadz Muzayyin mungkin tidak menarik perhatian media. Ia bukan dai kondang. Ia bukan penceramah yang pintar melucu dan berakting. Ia bukan artis. Ia bukan selebritis. Hidupnya jauh dari berita dan liputan media.

Justru, itulah salah satu kelebihan pejuang yang ;luar biasa ini. Saya sudah mendengar namanya sejak tahun 1980-an, saat masih kuliah di IPB. Beliau dikenal sebagai salah satu aktivis dan tokoh muda dalam dunia dakwah. Awal tahun 1997, saya berkesempatan mengenal sosok ini lebih dekat, saat bersama-sama umrah dan mengunjungi Negara Yordan. Masih tersimpan, foto-foto kami saat bersama-sama mandi di Laut Mati. Melalui Ustadz Muzayyin inilah saya mengenal banyak pelajaran dakwah yang diajarkan oleh para tokoh besar seperti Mohammad Natsir, Sjafrudin Prawiranegara, Profesor Rasjidi, dan sebagainya. Ia bukan hanya bercerita, tapi dia juga menjadi bagian dari berbagai pekerjaaan dakwah itu.

Bertahun-tahun, saya mencoba mengenal lebih dekat tokoh yang terbilang bertubuh mungil ini. Wajahnya lembut. Tutur katanya teratur dan santun, tidak meledak-ledak. Kepiawaiannya yang sangat istimewa adalah dalam pengajaran Siroh Nabi, sejarah perjuangan Nabi Muhammad saw. Tapi, kehebatan Ustadz Muzayyin yang fantastis adalah pada karya-karya dakwahnya. Ia bicara seperlunya. Tapi, kerja-kerja dakwah terus dilakukannya tanpa henti, sampai akhir hayatnya.

Di sejumlah daerah yang saya kunjungi, saya menjumpai “jejak-jejak dakwah” Ustadz Muzayyin. Ratusan Masjid yang dibangun Dewan Da’wah di berbagai pelosok Indonesia, bisa dikatakan ada jejak keterlibatannya. Tapi, bukan hanya itu. Saya terperanjat saat mengunjungi sebuah Pesantren Tahfidzul Quran terkenal di Pekalongan, beberapa tahun lalu. Pimpinannya, seorang Ibu berusia 80 tahun, bercerita, bahwa Ustadz Muzayyin banyak membantu dalam berbagai hal. Padahal, namanya tidak ada di situ. Di sebuah pesantren terkenal di daerah Tawangmangu juga tidak ada tertera nama Ustadz Muzayyin di prasastinya. Tapi, pimpinannya mengakui jasa Ustadz Muzayyin yang luar biasa dalam pendirian dan perjalanan pesantren bergengsi tersebut.

Menurut Ustadz Wahid Alwi, salah satu kelebihan Ustadz Muzayyin adalah keinginannya untuk bergaul dan berbuat baik pada berbagai pihak, meskipun dengan yang berbeda pendapat. Bahkan, dia nyaris tak terusik emosinya, jika yang disinggung adalah pribadinya. “Tetapi jika yang disinggung adalah Islam dan dakwah Islam, dia cepat sekali memberikan reaksi,” tutur Ustadz Wahid, yang di awal Ramadhan sempat berobat di tempat yang sama dengan sahabatnya itu.

Terhadap orang yang menentang dakwahnya pun, Ustadz Muzayyin tak segan mengunjunginya saat dia sakit. “Ketika beliau sedang dirawat di rumah sakit, beliau keluar bertakziyah ke rumah orang yang selalu memusuhi dakwahnya,” tutur seorang muridnya.

Kehadiran ribuan orang saat kewafatan Ustadz Muzayyin menunjukkan bahwa sosok yang satu ini benar-benar sangat dicintai. Jumat siang itu, seorang pengurus masjid dekat rumah saya, mengumumkan “kepergian” Ustadz Muzayyin sambil menangis. Padahal, mungkin sangat sedikit jamaah shalat Jumat yang mengenal Ustadz Muzayyin. Pengurus Madjid itu pun bukan keluarga Ustadz Muzayyin.

Tanda-tanda kepergian Ustadz Muzayyin sudah dirasakan oleh beberapa muridnya, sejak akhir Ramadhan 1432 H. Imam Zamroji, salah satu murid terkemukanya, berkisah, saat i’tikaf di Masjid Islamic Center, Ustadz berpesan, bahwa apa yang sudah baik hendaknya diteruskan. Dakwah harus terus dilanjutkan, tidak boleh terhenti. “Ini sepertinya Ramadhan saya yang terakhir,” begitu tutur Ustadz Muzayyin, seperti ditirukan Imam Zamroji.

Tanggal 25 Ramadhan 1432, Ustadz Muzayyin berpindah i’tikaf ke kampung halamannya di satu daerah di Boyolali. Ungkapan serupa, bahwa ini Ramadhannya yang terakhir, juga diulang kembali. Usai Idul Fithri, ia kembali ke Jakarta. Lagi-lagi, kepada keluarga dan murid-muridnya ia juga berpesan, agar pengajian harus terus dilanjutkan. Jangan tergantung pada dia.

Ada kisah lain, sebelum Ustadz Muzayyin balik kampung di bukan Ramadhan lalu. Imam Zamroji dan beberapa murid terdekat Ustadz Muzayyin, membawa anak-anak mereka ke rumah Sang Ustadz. Anak-anak yang sedang belajar di beberapa pesantren itu diajak melihat-lihat koleksi Kitab Sang Ustadz, sambil berpesan, “Ini semua harus dibaca!” Satu persatu mereka kemudian diberi hadiah uang Rp 50.000.
“Ustadz Muzayyin sangat senang dengan kehadiran orang-orang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu,” kenang Imam Zamroji, yang sudah belajar pada Ustadz Muzayyin sejak tahun 1990. Begitu senangnya dia jika ada orang berilmu mengunjungi rumahnya, ia berusaha menyiapkan semaksimal mungkin untuk menyenangkan tamunya.

Sang Ustadz memang sosok yang haus ilmu. Di tengah-tengah kesibukan dan belitan penyakit “gagal-ginjal” yang menderanya, lulusan King Abdul Aziz University Jeddah tahun 1985 ini masih menyempatkan diri kuliah S-2 di sebuah Perguruan Tinggi Islam di Jakarta. Tesisnya belum sempat diselesaikan sampai akhir hayatnya.

Ustadz Muzayyin adalah sebuah teladan yang luar biasa: dalam dakwah dan dalam kehidupan pribadi serta keluarga. Saat memberikan sambutan, dengan berlinang air mata, Ketua Umum Dewan Da’wah, Ustadz Syuhada Bahri berkisah tentang kesabaran Ustadz Muzayyin dalam merawat istrinya yang terbaring sakit selama delapan tahun. Sejumlah anggota keluarga dan murid serta sahabat terdekat yang saya hubungi, mengaku tidak pernah mendengar, mengapa Ustadz Muzayyin tidak menikah lagi.

Hanya, seorang adiknya mengungkapkan kesannya, bahwa Ustadz Muzayyin begitu menyayangi istrinya sehingga tidak ingin menurunkan motivasi istrinya untuk sembuh, meskipun selama delapan tahun dia harus merawat istrinya yang terbaring sakit. Padahal, menurut seorang muridnya, pihak keluarga istri sudah merelakan Sang Ustadz untuk menikah lagi.

“Kesabaran beliau ini sangat luar biasa,” kata Ustadz Syuhada, sambil berurai air mata. Ya, sebuah kesabaran yang sulit tertandingi. Tiga tahun terakhir, Ustadz Muzayyin sendiri sebenarnya membutuhkan perawatan intentsif. Ia diuji oleh Allah SWT, menderita penyakit gagal ginjal, dan harus menjalani cuci-darah dua kali dalam sepekan. Toh, aktivitas dakwahnya tidak pernah kendor. “Beliau itu terkadang lupa akan kondisinya. Berbicara berjam-jam tentang masalah dakwah, padahal dalam kondisi sakit,” tutur seorang muridnya.

Dan akhirnya... hanya selang empat bulan setelah istrinya wafat, Sang Ustadz pun menyusulnya. Saya masih ingat, empat bulan lalu, di tempat yang sama, di Masjid Muslimah Center, Ustaz Muzayyin sendiri yang memimpin shalat jenazah dan memberikan sambutan. Sambil terisak-isak, Sang Ustadz berkisah tentang “kepergian” istrinya dan memintakan maaf serta keikhlasan tentang berbagai urusan kepada para hadirin saat itu.

Itulah sosok Sang Ustadz teladan. Menurut Imam Zamroji, selama berpuluh tahun menimba ilmu dan kehidupan pada Sang Ustadz, ada satu ungkapan yang terus-menerus disampaikan. Yakni, bahwa yang terpenting dalam dakwah adalah keteladanan yang baik (qudwah hasanah). Dan Sang Ustadz dicintai oleh murid-muridnya karena ia bukan hanya berbicara, tetapi berusaha sekuat tenaga menjadikan kehidupannya sebagai teladan dakwah.

****
Saya bersyukur kepada Allah, diberi kesempatan cukup panjang berinteraksi dengan Sang Ustadz teladan ini. Catatan ini ditulis saat berada di atas Kapal penyeberangan Selat Sunda, dalam perjalanan pulang dari Kota Bandar Lampung, menghadiri sebuah acara pernikahan Ustadz Pesantren Husnayain. Di tengah lautan, banyak kenangan bersama Sang Ustadz yang mencoba saya ingat-ingat kembali. Alhamdulillah, saya diingatkan pada SMS terakhir yang pernah saya terima dari Sang Ustadz. Ketika saya telusuri, ternyata SMS itu masih ada.

SMS dari Ustadz Muzayyin bertanggal 19 Mei 2011, pukul 19.45, itu berbunyi: “Buku tulisan antum yang berjudul Pancasila sudah saya terima. Jazakumullahu khairan.

Dulu, sekitar (tahun) (19)82-(19)83, Profesor Doktor M. Rasjidi di celah-celah sidang tahunan Majlis Ta’sisi Rabithah, beliau berazam: “Saya mau menulis buku kritik terhadap Pancasila yang sering disalahgunakan dan juga falsafinya. Tapi saya mewasiatkan keluarga supaya buku diterbitkan sesudah saya mati.” Sepulang dari Saudi, saya coba mengingatkan dan menanyakan beliau tentang azam beliau itu. Beliau hanya tersenyum khas. Sesudah beliau wafat saya Tanya Ibu (Rasjidi), tapi katanya beliau tidak meninggalkan tulisan yang dimaksud. Alhamdulillah niat baik beliau, antum yang melanjutkan, walaupun antum sesungguhnya tidak tahu niat beliau tersebut. Tapi ini justru member arti orisinalitas gagasan antum. Substansinya pikiran dua generasi yang berbeda ini adalah sama. Selamat!! (MAW).”

Buku saya yang dimaksud Ustadz Muzayyin berjudul Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (Jakarta: GIP, 2010). Memang selama ini, dia tidak pernah bercerita tentang azam Prof. Rasjidi tersebut. Tapi, membaca berbagai karya HM Rasjidi, saya bisa memahami, tentu beliau sangat terusik dengan berbagai usaha untuk menindas umat Islam dan dakwah Islam, dengan mengatasnamakan Pancasila. Upaya Ustadz Muzayyin menagih azam Pak Rasjidi untuk menulis tentang Pancasila juga menunjukkan kepedulian dan kesungguhannya dalam urusan dakwah Islam.

Buku Pancasila itu juga saya tulis dengan latar belakang yang hampir sama. Begitu banyaknya pihak yang selama ini bicara dan mengajarkan Pancasila, tetapi mengabaikan makna Pancasila sebagaimana dipahami oleh para perumusnya dan lepas dari “makna kata-kata kunci dalam Islam” yang terdapat dalam sila-sila Pancasila, seperti makna adil, adab, hikmah, musyawarah, dan sebagainya. Kini, misalnya, banyak pejabat Muslim bicara tentang keadilan dan manusia beradab, tetapi tanpa merujuk pada makna istilah adil dan adab sebagaimana dijelaskan dalam ajaran Islam. Aneh, jika mengaku adil dan beradab, tetapi mengembangkan kemusyrikan kepada Allah SWT dan mengingkari utusan-Nya.

Di tahun 1970-1980-an, pelajar yang berjilbab dituduh anti-Pancasila, hanya karena berjilbab. Ada seorang Menteri di era Orde Baru yang menolak mengucapkan salam Islam, karena menurutnya, dia bukan meterinya orang Islam saja. Meskipun dia mengaku beragama Islam. Di era reformasi, masih ada berbagai pihak yang menuduh, penerapan syariat Islam sebagai hal yang bertentangan dengan Pancasila dan menghancurkan NKRI.

SMS Sang Ustadz teladan itu sangat bermakna, bagi saya khususnya. Beliau memang sangat mencintai ilmu dan dakwah Islam. Dan untuk pertama kalinya saya saksikan, usai doa dilantunkan, seorang yang berdiri di tepi makam ustadz Muzayyin Abdul Wahab, meneriakkan takbir tiga kali: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar... Kita lanjutkan perjuangan! Dan ratusan hadirin pun menyambutnya: Allahu Akbar!
Selamat jalan Sang Ustadz teladan! Mudah-mudahan Allah SWT menerima semua amal beliau dan mengampuni segala kesalahannya. Lebih penting, kita bisa meneladaninya, melanjutkan perjuangan dakwah Islam.... Yang baik kita lanjutkan, bahkan kita tingkatkan. Yang kurang kita sempurnakan. Yang keliru, kita perbaiki. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu.*/Depok, 19 September 2011

Oleh: Dr. Adian Husaini
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, Ketua Program Studi Pendidikan Islam, Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor. 

Moral Islam


Al-Ghazali menyebut moral Islam sebagai tingkah laku seseorang yang muncul secara otomatis berdasarkan kepatuhan dan kepasrahan pada pesan (ketentuan) Allah Yang Mahauniversal. Seorang Muslim yang bersikap demikian akan mengarahkan pandangan hidupnya pada spektrum yang luas, tidak berpandangan sempit ataupun eksklusif. Ia dapat menerima realitas sosial yang beragam dan memupuk pergaulan dengan berbagai kalangan tanpa membatasi diri dengan sekat agama, kultur, dan fanatisme kelompok.

Inilah yang dimaksud dengan firman Allah SWT, ''Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.'' (QS Al-Hujurat [49]: 13).

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa moral Islam adalah takwa itu sendiri. Artinya dengan kekuatan takwanya, seorang Muslim mampu menanamkan moral Islam di tengah-tengah perbedaan sosial dan budaya masyarakat secara toleran, demokratis, terbuka, dan tanpa mengklaim dirinya paling benar.

Ulama Sufi membagi moral ke dalam tiga jenis, yaitu moral agama, moral undang-undang, dan moral lingkungan sosial. Dari ketiga jenis moral tersebut, yang paling dominan adalah moral agama dan menjadi sumber acuan bagi kedua moral yang lainnya. Itulah sebabnya, ajaran Islam selalu menekankan kepada semua umatnya agar senantiasa berpegang teguh pada moral Islam.

Sayangnya, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Banyak orang yang tunduk pada selain moral agama. Dari kalangan penguasa, pengusaha, dan politisi, misalnya, masih banyak yang tunduk pada tatanan sistem politik yang hegemonik demi keuntungan pribadi, ketimbang membela rakyat dan masyarakat lemah dari ketertindasan.

Kasus lainnya, ada seorang agamawan yang dahulunya menjadi panutan masyarakat, pribadinya baik, tutur katanya lembut, sikapnya sopan, dan tidak pernah lupa mengenakan simbol-simbol keagamaan, kini justru berubah. Ia tenggelam dalam dunia kekerasan dan dunia kemewahan setelah menceburkan diri dalam lingkungan pergaulan yang hedonis.

Sebagai bangsa yang religius, sepatutnya kita memperkuat moral Islam yang bersifat universal dengan tetap melestarikan moral sosial dan lingkungan yang substansinya sejalan dengan moral Islam. Dengan cara demikian, kita berharap semua bentuk perilaku yang menodai akhlak dan nilai-nilai luhur agama dan bangsa dapat dieliminir. Semoga!

Oleh Prof Dr H Fauzul Iman MA

http://www.republika.co.id/berita/102708/moral_islam

Almarhumah Dra. Syahrazad Syawkat Al Bahry: Istiqamah hingga Akhir Hayat

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Para pejuang syariah dan khilafah kembali kehilangan salah seorang pendukungnya. Telah berpulang ke rahmatullah Wakil Ketua Majlis Wanita Al Irsyad Al Islamiyah Syahrazad Syawkat Al Bahry pada Jum'at (23/1) malam pukul 19.30 WIB di rumahnya Gang Pedati Timur Dalam No 12 Kampun Melayu, Jakartra Timur. Pagi harinya setelah dishalatkan di Masjid Al Ihsaniyah jenazah almarhumah dimakamkan di TPU Islam Kober Jakarta.

Wasiat Umu Ayat

Setidaknya sudah setahun ini ia merasa ada masalah dengan rahimnya. Namun tidak dihiraukan, ia terus aktif menjalani jadwalnya yang padat dalam berbagai kegiatan keislaman.

Sampai akhirnya sejak tiga bulan lalu ia terbaring, dan dokter pun menyatakan kanker rahimnya telah mencapai stadium IV. Dengan sabar ia terus menahan nyeri, karena ia sangat yakin Allah menyayanginya dan begitulah cara-Nya menghapus dosa hamba yang dicintai-Nya.

Dalam kondisi seperti itu ia terus berwasiat kebaikan kepada keluarganya dan siapa saja yang menjenguknya. "Menjelang sakaratul mautnya pun umi masih memberikan tausiah kepada keluarga agar selalu menegakkan ajaran dinul haq dengan selalu mempedomani Alquran dan Hadits," ujar Ikawati Cahyaningsih (34), anak pertamanya kepada mediaumat.com saat bertakziah ke rumahnya, Sabtu (24/1) pagi.

Di samping itu ia pun berharap agar anak-anaknya termasuk golongan hufadz, orang-orang yang cinta dan hafal Alquran. "Alhamdulillah, saya sudah menghafal 12 juz dan Fadla sudah 15 juz. Umi berharap kami menghafal sampai 30 juz," ujar Febri Aladin Jati (24) anak keduanya. Sedangkan Fadla atau Fadla Faya Sejati (20) adalah anak ketiganya.

Hal senada pun disampaikan oleh Ketua Majlis Wanita Al Irsyad Al Islamiyah Solecha Bawazier yang terus menemani di hari terakhirnya dari pukul 11 pagi hingga 16.30 WIB. "Beliau berpesan, persatuakan wanita jangan sampai terpecah belah," ujar Solecha kepada mediaumat.com.

Ia pun selalu mewanti-wanti Solecha, agar jangan ragu menyampaikan masalah. Solecha pun menyampaikan bahwa di Tanjung Priok wanita Al Irsyad punya lahan di samping gereja. "Bikin saja buat syiar, banyakin pengajian, pertemuan di sana. Apalagi di tempat tempat seperti itu supaya dibangkitkan," ujar Solecha menirukan wasiatnya.

Begitu juga dengan Eny Dwiningsih, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia. "Waktu kritis kemarin sore (Jum'at, red), saya mendapat sms dari Mbak Ika, umi mengatakan: Salam juang buat teman-teman Muslimah HTI," ungkap Eny. Karena selama ini memang Umu Ayat sering hadir di acara yang diadakan M HTI. Ketika orang berbicara miring tentang HTI ia pun selalu meluruskan.

Maka tidak heran ketika terakhir Eny menjenguk pun meski dalam kondisi menahan sakit, tetapi tetap saja menanyakan kegiatan M HTI kemudian mengatakan, "teruskan perjuangkan tegaknya syariah dan khilafah".

Sosok Almarhumah

Syahrazad lahir pada 1949. Sejak usia 15 tahun telah aktif di Wanita Al Irsyad Al Islamiyah. Pada tahun 1990 ia dinikahi Dr. Ahmad Djatinarto, Dosen Uhamka, Matraman Jakarta.

Ahmad menikahi Syahrazad dengan status duda beranak tiga yakni Ika, Febri, dan Fadla. Sedangkan dari hasil pernikahan Ahmad dengan almarhumah tidak dikarunia seorang anak pun, Syahrazad pernah hamil namun keguguran.

"Pada saat Fadla lahir, ibu kandung saya meninggal. Ibu saya itu akrab dengan umi, lalu ayah saya langsung menikahi umi," ujar Febri.

Umu Ayat salah satu orang yang sangat penting dalam hidup mereka. "Alhamdulillah Allah SWT memberikan umi sebagai pengganti ibu kandung. Meskipun anak tirinya, kami diperlakuan dengan sangat baik, ia begitu ikhlas memelihara, dan mendidik kami agar menjadi anak yang shalih dan shalihah. Menjadi anak-anak yang berjuang dalam urusan agama, dan tidak silau dengan urusan dunia, insya Allah," tandas Febri.

Selain semangat dakwahnya tidak diragukan lagi, kepekaan sosialnya pun tinggi sehingga ia pun mendirikan yayasan mustadh'afin dab majlis taklim al Jannah di Gudang Peluru Tebet, Jaksel. Serta untuk mensinergikan potensi Muslimah di berbagai organisasi Islam pada tahun 2002 ia pun menggagas dibentuknya Forum Ukhuwah Muslimah Indonesia.

Umu Ayat inginkan adanya ukhuwah, apalagi generasi muda banyak sekali tantangan, Setiap wanita, ujar Solicha menirukan Syahrazad, bila ada masalah terbukalah ceritakan masalahnya, untuk dicarikan solusinya bersama.

Pasalnya saat ini semakin banyak godaan yang menimpa, ungkap Solecha, di antaranya tayangan televisi, acaranya sangat menarik perhatian para wanita juga anak-anak. Bahkan acara yang menarik ditayangkan menjelang Maghrib seolah menahan mereka untuk beribadah.

Makanya, meskipun di rumah Umu Ayat ada TV, ia tidak mau menyetelnya bukan berarti TV itu haram. Cuma maksudnya agar anak-anaknya jangan melihat kemaksiatan yang dipromosikan TV. Ia begitu ketat dan selektif terkait acara apa saja yang boleh ditonton.

Di samping itu, ia pun menjadi rujukan konsultasi masalah rumah tangga, keuangan, pendidikan anak, para gadis dan ibu-ibu baik dari wanita Al Irsyad maupun bukan.

Karena memang sejatinya, ia adalah penasihat Wanita Al Irsyad, meskipun secara formil jabatannya adalah wakil ketua majlis wanita. "Umu Ayat itu penasihat, tapi kok malah minta jadi wakil saya, padahal keilmuan dan segala macamnya itu jauh di atas saya" ujar Solecha merendah. Bahkan Solecha mengaku aktif di Al Irsyad sejak sepuluh tahun silam itu berkat bimbingan almarhumah.

Tanpa terasa air mata Solecha pun menetes mengingat kelembutan, kesabaran dan keikhlasan Umu Ayat dalam membimbingnya.

Allahummaghfirlaha warhamha wa'afiha wa fu'anha wa akrim nuzulaha wawassi' madkhalaha waj'al al jannata maswaha. Aamiin. (mediaumat.com)

http://www.mediaumat.com/content/view/1114/28/

Jangan Meminta Pertolongan Kepada Mereka


Inilah sejarah kehidupan kaum muslimin yang kelam dan menyedihkan. Yaitu fenomena bergesernya wala’ (loyalitas), dan jika perhatikan para pemimpin kaum muslimin, maka akan kita temukan tidak ada seorang pun diantara mereka yang bebas dari wala’ kepada orang-orang kafir, kecuali mereka yang telah diberikan rahmat.

Firman Allah Azza Wa Jalla :

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang amat pedih. (Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (An-Nisaa’ : 138-139)

Ibnu Jarir berkata, “Diantara sifat orang-orang munafik – seperti dikatakan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya – “Wahai Muhammad, beritakan kepada orang-orang yang telah bersumpah kepada orang-orang kafir untuk menentang-Ku dan mengingkari agama para wali-Ku (kaum Anshar dan seterunya), dan agama orang-orang mukmin, apakah dengan begitu mereka mendapat kekuatan? Apakah mereka hendak mencari kekuatan dan penolong dan meninggalkan orang-orang yang beriman kepada-Ku? Maka sesungguhnya segala kekuatan itu berada disisi Allah”.

Selanjutnya, Ibnu Jarir menegaskan, “Orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman penolong dengan maksud mencari kekuatan, sesungguhnya mereka adalah dungu dan tidak sempurna. Seharusnya, mereka mencari teman-teman penolong dari orang-orang mukmin. Merekalah yang akan mendapatkan pertolongan dan kemuliaan dari Allah Ta’ala, Dzat yang mempunyai kemuliaan dan kekuatan. Dzat yang memuliakan siapa saja yang dikehendaki=-Nya dan menghinakan siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah Ta’ala akan menolong mereka dan memberi kekuatan kepada mereka”, tambah Ibnu Jarir.

Aisyah RA mengkisahkan dalam sebuah hadist bahwa ada seorang lelaki dari kalangan musyrikin bertemu dengan Nabi Shallahu Alaihi Wassalam, dan ingin ikut berperang bersama-sama bersama beliau, kemudian beliau bersabda kepadanya, “Pulanglah, sesungguhnya kami tidak akan pernah meminta pertolongan kepada orang musyrik”.

Kemenangan tidak akan mungkin digantungkan dengan pertolongan dan berteman dengan orang-orang kafir, yang mereka sudah terang-terangan memusuhi kaum muslimin. Hal ini seperti juga dikemukakan oleh Ibnu Jarir, yang dengan sangat tegas, yang memberikan komentar firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu)”, mengatakan, “Orang-orang yang mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin, maka ia digolongkan sebaai pengikut orang kafir”, ucapnya.

Karena orang yang orang lain sebagai pemimpin, maka ia akan selalu bersamanya, bersama keyakinannya dan bersama apa yagn diridhai pemimpinnya. Jka ia telah ridha kepadanya dan agamanya, berarti ia telah mengesampingkan segala hal yang ia benci dari sifat-sifat orang kafir.

Kebijakan hukum yang dibuat pemimpin tersebut tentu menjadi kebijakan hukum orang yang mengikutinya. As-Syaukani, berpendapat, “Penyakit hati yang ada dalam hati membuat mereka (Yahudi dan Nashrani) melakukan dosa besar dengan mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka, hingga mereka pun jatuh ke dalam kekufuran”. Bahkan, ada dari kalangan mereka yang menyerukan adanya persaudaraan hakiki antara Yahudi, Nashrani dan Muslimin dengan jalan ‘tauhidul adyan’ (penyatuan agama) yakni persatuan agama-agama dengan satu aqidah.

Dengan adanya wala’ (loyalitas) kebanyakan orang-orang muslim kepada para penguasa dan pemerintahan yang tidak berpegang hukum Allah (kafir), juga mengakibatkan sampai pada tingkat bersikap bara’ (berlepas diri) dari kaum muslimin sendiri. Tidak lagi mau menerima kaum muslimin, dan menjadikan mereka sebagai teman, dan penolong, serta memusuhi mereka dengan permusuhan yang keras.

Banyak kaum muslimin yang berwala kepada orang-orang kafir, meskipun hanya pada tingkat yang rendah sekalipun – seperti, mengagumi para pemimpin sekuler, mencintai para aktor, artis, seniman, musisi, dan mengidolakan terhadap mereka. Meniru gaya hidup mereka, dan menggunakan ciri-ciri yang mereka gunakan, dan berbangga dengan tata cara hidup orang-orang kafir itu.

Tindakan seperti itu berarti membenci setiap muslim yang berpegang teguh kepada perintah-perintah Allah, orang yang menjauhi segala larangan-Nya. Sikap itu, sekaligus menebar kebencian, permusuhan, perlawanan dan melakukan upaya melepaskan diri dari orang-orang mukmin. Upaya ini baik yang dilakukan oleh mayoritas penguasa serta para pejabat pemerintah kaum muslimin – atau ketidak beranian mereka menampilkan diri didepan publik.

Tentu, yang paling memprihatinkan, kefasikan wala’ (loyalitas) dewasa ini telah bergeser timbangannya, hingga mencapai ke taraf bara’ (berlepas diri). Bahkan hanya sedikit kaum muslimin yang dewasa ini yang mampu berlepas diri dari kecenderungan wala’ (loyalitas) kepada orang-orang kafir, sehingga mereka membenci kaum mukminin yang berpegang teguh dengan keimanannya. Kemudian memberkan stempel dan gelar yang sangat buruk bagi mereka dengan sebutan, seperti ektrimis, fundmentalis, teroris, dan menjadi sasaran kampanye yang tujuan menghancurkan mereka.

Allah Ta’ala berfirman :

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah.Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah, itulah yang pasti menang”. (Al-Maidah : 55-56)

Adanya loyalitas baru seperti terhadap nasionalisme, pemikiran-pemikiran dan ajaran sekuler ‘la diniyah’, yang membawa pada tarap kehidupan materialisme yang sangat destruktif, sekarang menjadi ‘ilah-ilah’ baru, yang menutupi jiwa kaum muslimin, sampai kemudian mereka meninggalkan agamanya. Inilah sebuah fenomena yang menyedihkan saat ini. Wallahu ‘alam.

Mashadi

http://eramuslim.com/nasihat-ulama/jangan-berwala-kepada-mereka.htm

Sejak Kanak-Kanak Sudah Menegakkan Nahi Munkar


Hasan Al-Banna dilahirkan di kota Al-Mahmudiyah, propinsi Al-Buhairoh, Mesir tahun 1906 M. Ayahnya bernama Abdurrahman Al-Banna. Beliau adalah seorang ulama di masa itu.

Beliau mendalami ilmu Hadits dan memiliki beberapa karya tentang hadits, khususnya buku beliau yang terkenal “Al-Fathu Ar-Robbani Litartibi Musnadi Al-Imam Ahmad. Sehari-hari Abdurrahman menekuni profesinya sebagai tukang jilid buku dan ahli perbaikan jam.Sebab itu beliau digelar dengan Assa’ati (Ahli Jam).

Hasan Al-Banna tumbuh dan besar dalam keluarga yang dianugerahi ilmu dan kesalehan. Pertama kali menimba ilmu di Madrasah Al-Rasyad Ad-diniyyah, kemudian di SD di Al-Mahmudiyah. Keterlibatannya dalam aktivitas dakawah dan amar makruf - nahi mungkar dimulai sejak dini. Waktu masih SD, Hasan Al-Banna dengan beberapa temannya mendirikan organisasi “Al-Khallaq Al-Adabiyah kemudian “Jam’iyyah Man’il Muharromat”.

Pada tahun 1920 beliau diterima belajar di Darul ulum di kota Damanhur, saat itu beliu sudah menghafal Al-Aqur’an saat berusia 14 tahun dan terlibat demonstrasi nasional melawan penjajahan.

Pada tahun 1923, Hasan Al-Banna pindah ke Kairo untuk melanjutkan studinya di Universitas Darul Ulum. Dari situlah wawasan baru Al-Banna terbuka secara luas. Di samping menghadiri Majlis Thariqat Al-Hashafiyah, beliau juga sangat aktif di Perpustakaan Salafiyah dan majlis-majlis ilmu para ulama Al-Azhar.

Kehadiran beliau di berbagai majlis tersebut selalu memberikan motovasi kepada mereka untuk melakukan amal islami (dakwah) dengan berbagai sarana. Akhirnya, pemikiran dan manhaj (konsep) dakwah semakin matang dalam dirinya. Dengan beberapa temannya, Hasan Al-Banna memulai dakwahnya di beberapa majlis ilmu, warung-warung kopi dan berbagai organisasi yang ada.

Tahun 1927, Hasan Al-Banna lulus dari Universitas Darul Ulum dengan pringkat pertama. Beliaupun diangkat menjadi guru di kota Ismailiyah, Terusan Sues. Iapun pindah ke sana sambil mematangkan manhaj dakwahnya.

Di Ismailiyah, Hasan Al-Banna menjalin hubungan dengan berbagai kalangan masyarakat dan kemudian sampai ke masjid-masjid berupaya meredam berbagai khilafiyah yang berkembang sehingga merobek ukhuwah Islamiyah saat itu.

Melalui ilmu yang dalam dan pengalaman yang matang, Hasan Al-Banna sanggup menyusun manhaj dakwah yang sangat istimewa dan sekaligus mampu mengaplikasikannya di lapangan. Maka bersama enam sudara seperjuangannya, pada bulan Zulqaidah 1347 atau Maret 1928, mereka membentuk embrio jamaah Ikhwanul Muslimin.

Sejak hari pertama kemunculannya, Ikhwanul Muslimin terkenal dengan program “kembali kepada orisinilitas Islam” melalui dua sumber utamanya, yakni Al-Quran dan Assunnah, tanpa disibukkan oleh perkara khilafiyah far’iyyah.

Imam Al-Banna dalam dakwahnya, berkonsentrasi pada mencurahkan semua potensi untuk melahirkan generasi mukmin yang memahami Islam secara benar dengan dasar pemikiran bahwa Islam itu agama dan Negara, ibadah dan jihad, syari’ah (perundang-undangan), peradilan dan semua sistem yang mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya pendidikan, sosial, ekonomi dan politik.

Saat Ikhwanul Muslimin lahir, khususnya di Mesir gerakan dakwah didominasi oleh pemikiran dakwah salafiyah dan tarikat-tarikat sufi (tasawuf). Sedangkan pertikaian di antara kedua kelompok tersebut sangat tajam.

Pemikiran Islam nyaris didominasi oleh kalangan ulama Al-Azhar (Azhariyyun). Pengaruh gerakan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha juga sangat jelas di lapangan. Para cendikiawan dan penulis mati-matian berargumentasi bahwa Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban Barat.

Sebab itu, munculnya pemikiran Hasan Al-Banna melalui gerakan Ikhwanul Muslimin yang konprehensif merupakan hal yang baru dalam pemikiran Islam saat itu. Apalagi saat Ikhwanul Muslimin berhasil mencetak generasi Islam baru yang kuat imannya dan intelek pemikirannya sehingga tidak merasakan lagi kebesaran peradaban Barat di banding Islam.

Mereka juga meyakini bahwa tidak akan pernah hakikat ilmiyah (kauniyah) bertentangan dengan kaedah-kaedah syari’yyah tsabitah. Faktor inilah yang menyebabkan Ikhwan berhasil merekrut kalangan pemuda dan ilmuan dari berbagai kalangan, termasuk kalangan Azhariyyun. Semangat keislamanpun berhasil dipompakan kembali oleh Ikhwan ke dalam diri mereka.

Di Ismailyah Al-Banna mulai membangun lembaga-lembaga dakwah. Ia mendirikan masjid dan rumah (markaz) Ikhwan, kemudian Sekolah Islam Hira’ dan sekolah Ummahatul Mukminin. Dakwahnya berkembang pesat di Ismailiyah dan kota-kota di sekitarnya.

Pada tahun 1932, Al-Banna pindah ke ibu kota, Kairo. Kepindahannya ke Kairo, menyebabkan markaz ikhwan pindah pula ke sana. Dari Kairolah gerakan dakwah Ikhwan dirancang Al-Banna untuk dibesarkan dan disebarkan ke seluruh kawasan negeri Mesir dan bahkan ke seluruh dunia.

Semua pikiran, ilmu, tenaga, harta dan apa saja yang dimilikinya, ia curahkan untuk dakwah. Dan tidak terlalu lama, hanya sekitar 20 tahun, dakwah Ikhwan sudah tersebar di seluruh kawasan negeri Mesir dan sebagaian besar dunia Islam, termasuk Indonesia melalui tokoh-tokoh Masyumi, khususnya Muhammad Natsir.

Disamping konsentrasi pembentukan generasi yang tangguh, Hasan Al-Banna juga menyadari betapa pentingnya media massa dalam penyebaran fikrah dan pembentukan opini. Sebab itu, beliau menerbitkan majalah mingguan Al-Ikhwanul Muslimin, Majalah Annadzir dan berbagai bulletin di samping berbagai tulisan beliau yang tersebar di berbagai lembaran dan media.

Konsentrasi beliau terhadap tarbiyah, penyebaran pemikiran dakwah dan pembentukan jamaah dakwah yang kuat, masih menjadi fenomena masa kini di seluruh penjuru dunia Islam.

Hasan Al-Banna berupaya maksimal agar gerakan dakwahnya tidak hanya terbatas di wilayah Mesir, akan tetapi bagaimana bisa mendunia sebagaimana Islam itu sendiri yang bersifat global. Maka tahun 40an, gerakan Al-Banna sudah mencapai semua negeri Arab dan bahkan masuk ke sebagian besar dunia Islam. Untuk itu, Al-Banna dengan rutin mengirim delegasi dakwahnya ke berbagai penjuru dunia Islam sambil mempelajari kondisi umat Islam di sana.

Saat itu memang hampir semua kawasan Islam sedang dijajah kaum colonial Barat Kristen. Sebab itu, hampir semua tokoh pergerakan kemerdekaan saat itu kenal dengan Hasan Al-Banna seperti kawasan Teluk, khususnya Saudi Arabia, Pakistan, India, Indonesia, Sudan, Somalia, Suriah, Jordania, Irak, Tunisia, Aljazair, Maroko dan khususya Palestina.

Hasan Al-Banna memiliki perhatian khusus terkait masalah Palestina. Ia memiliki pandangan yang tajam terkait bahaya Yahudi. Sejak awal revolusi Palestina tahun 1936, Ikhwanul Muslimin merupakan tokoh pembebasan dunia Arab.

Ketika pasukan Arab masuk ke Palestina tahun 1948, para pasukan Mujahidin Ikhwan terlibat dan mengambil peran yang sangat signifikan. Mereka masuk dari sebelah barat lewat Mesir dan dari sebelah timur lewat Suriah. Mereka banyak yang gugur syahid.

Melihat perkembangan Ihkwanul Muslimin yang sangat dahsyat di berbagai lapangan kehidupan, khususnya terbentuknya generasi Mukmin baru yang hanya meyakini Islam sebagai the way of life, para kekuatan anti Islam internasional memerintahkan kepada pemerintah Mesir untuk membubarkan gerakan Ikhwanul Muslimi dengan cara yang amat keji dan kejam.

Para tokoh dan pemudanya dipenjarakan. Kekayaaan mereka disita secara zalim. Mereka biarkan Hasan Al-Banna sendiri di luar penjara agar mudah membunuhnya melalui tangan Raja Faruk di salah satu jalan di kairo pada 14 Rabiuts-tsani 1368 hijriayah, bertepatan dengan 12 Februari 1949.

Hasan Al-Bannapun berhasil meraih cita-cita tertingginya, yakni mati syahid di jalan Allah. Semoga Allah ampuni dosa-dosanya dan melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau dan melapangkan jalannya menuju syurga. Amin. (Fathuddin Ja'far/i berbagai sumber).

http://eramuslim.com/berita/dunia/sejak-kanak-kanak-sudah-menegakkan-nahi-munkar.htm

Toleransi Beragama Bukan Partisipasi



Ustadz Abu Deedat Syihab, Pakar Kristologi


Sebagai salah satu inisiator yang membidani lahirnya FAKTA (Forum Anti Gerakan Pemurtadan), Ustadz Abu Deedat Syihab otomatis tercatat sebagai pengagas lembaga anti pemurtadan dan kristenisasi yang pertama kali berdiri di Indonesia. Karena secara formal, memang FAKTA yang pertama kali berdiri di negeri ini, pada tahun 1998. Meski begitu, Ustadz Abu Deedat, tak pernah melupakan akar sejarah gerakan anti pemurtadan dan kristenisasi di negeri ini.

Menurutnya, jauh sebelum FAKTA berdiri, kawan-kawan di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Muhammadiyah sudah bergerak melakukan dakwah khusus membentengi akidah umat dan melawan misi kristenisasi di berbagai daerah. ”Karenanya, jika ditelusuri, dai atau ustadz yang konsen berdakwah membentengi akidah umat dari serbuan misi kristenisasi dan memiliki kemampuan sebagai kristolog, sebagian besar berasal dari DDII dan Muhammadiyah,” terangnya.

Tapi dalam beberapa tahun terakhir ini, kiprah lembaga-lembaga anti pemurtadan yang kian menjamur jumlahnya terasa makin menurun. Sementara gerakan kristenisasi dan pemurtadan terus berkreasi mengembangkan metoda dan caranya. Terlebih menjelang akhir Desember, yang bertepatan dengan Natal dan Tahu Baru, para misionaris solah-olah menemukan momen paling tepat untuk unjuk kekuatan.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Wartawan Sabili Dwi Hardianto dan Eman Mulyatman, serta Fotografer Arief Kamaludin mendiskusikannya dengan dai yang juga dimemegang amanah sebagai Wakil Ketua Dakwah Khusus MUI Pusat ini. Diskusi berlangsung di Ruang Pertemuan Graha Sabili, Jakarta, Selasa (15/12/2009). Berikut petikannya:

Sebagai pionir, bagaimana FAKTA mengembangkan organisasi?

Dari awal saya menginginkan agar di semua daerah di negeri ini memiliki lembaga yang konsen menghadapi pemurtadan dan kristenisasi, tapi tidak harus menggunakan nama FAKTA. Karena pemurtadan terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Makanya, sampai sekarang FAKTA tidak memiliki cabang di daerah-daerah. Orientasi kami bukan seperti itu, tapi yang penting di semua daerah ada lembaga anti pemurtadan dan kristenisasi yang siap melakukan koordinasi bersama FAKTA, ormas Islam dan MUI.

Meski saya melakukan banyak pelatihan dai dan kristologi di berbagai daerah, yang disusul dengan membentuk lembaga anti pemurtadan, saya tidak memaksakan pada mereka agar menggunakan nama FAKTA. Semuanya saya serahkan pada daerah untuk membentuk sendiri, dengan sistem dan nama sendiri. Yang penting, ketika ada kasus, lembaga ini harus siap berkordinasi dengan FAKTA, ormas Islam dan MUI.

Jadi secara nasional terkoordinasi?


Yang berada dalam binaan FAKTA sampai sekarang masih terkoordinasi dengan baik. Beberapa lembaga yang berada dalam koordinasi FAKTA, Muhammadiyah, DDII, dan MUI antara lain: Forbumi (Balikpapan), Forsab (Forum Bersama) di Purwokerto dan Banyumas, Fakad (Samarinda), Garis (Cianjur dan Sukabumi), Agap (Bandung dan sekitarnya), FKPM Bitung (Sulawesi Utara), di Sumatera Barat juga ada beberapa lembaga, dan lainnya. Hampir semuanya, terbentuk setelah melakukan pelatihan bersama FAKTA, tapi kami tidak memaksakan untuk menggunakan nama FAKTA.

Di daerah lain memang ada sebagian yang menggunakan nama FAKTA seperti di Palembang, Batam, Lampung, dan Malang. Sebenarnya, yang di Palembang pun awalnya namanya bukan FAKTA tapi GERAM. Baru belakangan ini mereka menggunakan nama FAKTA. Anggota GERAM cukup beragam, bahkan banyak juga yang PNS, dosen PTN dan swasta di sana. Bagi saya, yang penting bukan nama, tapi kinerja dan kekuatan jaringan. Kekuatan utama Nasrani adalah jaringan, sedangkan kita jaringannya lemah. Makanya, saya berkomitmen membangun jaringan di seluruh Indonesia yang bersifat otonom.



Bisa dicontohkan efektifnya kekuatan jaringan?

Ketika ada kasus Bandung Festival, kita kirim orang bekerjasama dengan rekan-rekan dari AGAP untuk investigasi. Kami pun menemukan data-data kristenisasi. Ketika peristiwa yang sama terjadi di Balikpapan (Balikpapan Festival), ternyata teman-teman di sana tak mampu membatalkan acara ini, karena izinnya dari Mabes Polri. Maka saya kontak almarhum Husein Umar (Ketua DDII) agar menghubungi Ahmad Soemargono yang saat itu menjadi anggota DPR-RI. Selanjutnya, Bang Gogon (panggilan Ahmad Soemargono, red) yang menelepon Mabes Polri. Cuma dalam 30 menit acara itu langsung dibatalkan izinnya oleh Mabes Polri, padahal saat itu, ketegangan di Balikpapan sangat tinggi. Jika acaranya dibatalkan, penyelenggara mengancam akan menjadikan Balikpapan sebagaimana kerusuhan Sampit. MUI Balikpapan pun angkat tangan.
Sebagai bukti, bahwa Balikpapan Festival adalah acara kristenisasi saya kirimkan data-data dan VCD acara Bandung Festival yang sama-sama diselenggarakan oleh Pendeta Peter Young Rane ke Balikpapan melalui kargo pesawat. Ongkos kirimnya sekitar Rp 150.000. Saya seumur hidup belum pernah membawa mobil sendiri ke bandara, tapi saat itu saya nekad, subuh-subuh berangkat, nyetir mobil tua sendiri, biar pagi-pagi VCD dan data-data itu sudah sampai di Balikpapan. Pulang dari bandara, saya bermaksud mengisi pengajian di Pasar Minggu. Masih di Tol Dalam Kota, saya ingin buang air kecil. Lalu mobil saya arahkan keluar tol di Pancoran dan mampir ke Kampus STEKPI Kalibata. Begitu di parkir dan saya keluar dari mobil, mobil saya langsung meledak, rupanya radiatornya pecah.

Kabarnya MUI membentuk Komite Dakwah Khusus (KDK) untuk menangani kristenisasi, pemurtadan dan aliran sesat. Bagaimana pembentuannya?

Awalnya, MUI kedatangan tamu, yakni Ketua MPU Aceh, pertengahan 2005. Beliau menceritakan kasus pemurtadan pasca tsunami di Aceh yang menimpa anak-anak korban tsunami. Anak-anak Aceh banyak yang dibawa ke luar Aceh. Melihat banyaknya laporan sejenis, MUI pun menganggap penting hadirnya lembaga khusus yang menangani masalah pemurtadan di Indonesia. Maka, pada awal 2006, MUI membentuk Komite Nasional Penanggulangan Bahaya Pemurtadan (Komnas PBP). Tapi setelah berjalan beberapa bulan sambil mencermati situasi dan kondisi bangsa, akhirnya Komnas PBP ini diganti namanya menjadi Komite Dakwah Khusus (KDK) MUI.

Di dalam MUI, KDK yang dilahirkan dari rahim Komisi Dakwah ini berbentuk semi otonom, tapi tidak seperti LP-POM MUI yang sudah full otonom. Artinya, KDK berdiri sendiri tidak berada di bawah satu komisi tapi tetap berada dalam koordinasi Komisi Dakwah, Komisi Ukhuwah, dan Komisi Pengkajian MUI. Kenapa Komisi Pengkajian dimasukkan? Karena KDK tidak hanya menangani masalah pemurtadan dan kristenisasi tapi juga menangani masalah aliran sesat.

Kedudukan KDK dengan lembaga anti pemurtadan yang sudah ada?


KDK berfungsi mengkoordinasikan semua kekuatan umat Islam seperti ormas, lembaga anti pemurtadan dan aliran sesat di seluruh Indonesia. Karenanya, KDK berusaha menyatukan program dan geraknnya dalam satu visi dan misi bersama. Dalam rangka ini, KDK menyelenggarakan semi loka tentang ”Bahaya Pemurtadan, Kristenisasi, dan Aliran Sesat di Indonesia” beberapa bulan lalu. Acara ini dihadiri semua ormas Islam dan jaringan lembaga anti pemurtadan, kristenisasi, dan aliran sesat, serta tokoh dan individu yang selama ini konsen pada masalah ini.

Kenapa penanganan kristenisasi selama ini bersifat reaktif?


Karena itulah, kami di KDK sudah membuat program jangka pendek, menengah, dan panjang untuk menanggulangi masalah kristenisasi, pemurtadan dan aliran sesat. Kami tidak hanya melakukan penanggulangan yang sifatnya reaktif semata, tapi juga edukasi dan pemahaman. Program pertama kami adalah semiloka tadi. Dari semiloka ini lahir program berikutnya seperti, membuat dan memperkuat jaringan di seluruh daerah dalam koordinasi MUI Pusat dan MUI daerah. Akhirnya, untuk mewadahi lembaga yang ada di daerah, dibentuklah Forum Komite Dakwah Khusus (FKDK) MUI. Jadi, FKDK kedudukannya ada di daerah.

Apa tugas dan fungsi FKDK?

Pertama, memberikan berbagai pelatihan dan training seperti, pelatihan dai dan kristologi. Kedua, menjawab atau meluruskan tulisan di media massa dan buku-buku yang berisi tentang pemurtadan, kristenisasi, dan aliran sesat. Ketiga, menindaklanjuti berbagai kasus pemurtadan, kristenisasi, dan aliran sesat ke pihak yang berwajib untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. Karenanya, FKDK juga dilibatkan pakar hukum, advokat, dan pengacara. Sedangkan program FKDK yang diprioritaskan adalah menangani pemurtadan di Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Banten.

Berarti gerakan anti pemurtadan dan aliran sesat akan mengedepankan penyelesaian secara hukum?

Iya, kita akan mengedepankan proses hukum, sebagai bentuk komitmen dan penghormatan kami pada sistem hukum di negeri ini. Persoalannya, delik pemurtadan tidak ada dalam sistem hukum kita, baik di KUHP, KUHAP, atau UU yang telah ada. Berbeda dengan Malaysia, yang menetapkan Islam sebagai agama resmi negara, sehingga orang-orang di luar Islam diwajibkan melakukan reduksi agama. Tapi, meski tidak ada delik pemurtadan tapi kita bisa menyelesaikannya dengan pasal penodaan agama di dalam KUHP.

Tapi dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas lembaga anti pemurtadan seperti mandeg?


Mandeg sih nggak, masing-masing tetap berjalan sesuai kasus yang dihadapi. Sesuai dengan tugas para ulama, yakni membimbing, membina umat, kami juga mempunyai tugas mengawal akidah umat. Karenanya, kami tetap melakukan pembinaan rutin pada umat, pada jamaah dengan pengajian rutin, termasuk kepada para mualaf yang sudah berhasil kami Islamkan. Bahkian, bisa dikatakan tiap hari kami tetap menangani kasus-kasus pemurtadan.

Tapi kenapa kasus pemurtadan makin merajalela dan berani?

Mereka makin berani, salah satu sebabnya karena ketidaktegasan pemerintah dalam memproses hukum kasus pemurtadan dan aliran sesat. Contoh, masalah Ahmadiyah, keputusan pemerintah sangat ngambang tidak berani memutuskan agar Ahmadiyah berada di luar Islam. Berbeda dengan di India dan Pakistan yang sudah memutuskan bahwa Ahmadiyah adalah agama di luar Islam, karenanya tidak lagi menimbulkan masalah dengan umat Islam di kedua negara itu. Di sana sudah berlakulah prinsip lakum dinnukum waliyaddin.

Salah satu strategi Yahudi adalah menghancurkan agama samawi di luar Yahudi. Caranya, dengan melahirkan agama baru yang menyesatkan. Untuk menghancurkan Kristen dibuatlah sekte-sekte baru Kristen. Jika dilihat, lahirnya sekte-sekte Kristen semuanya berasal dari Amerika. Ini semua memang agenda besar Yahudi untuk menghancurkan agama. Demikian juga dengan agenda menghancurkan Islam di negeri Muslim, dengan membuat aliran sesat yang mengatasnamakan Islam. Al-Qiyadah yang memiliki nama baru Komunitas Millah Abraham, Salamullah, Ahmadiyah dan lainnya tak lepas dari permainan Yahudi.

Jadi, gerakan pemurtadan dan kristenisasi memang tidak akan pernah berhenti. Jika berhenti, berarti ayat al-Qur’an salah, karena ayat al-Qur’an sendiri yang memberitahukan pada umat Islam bahwa mereka tidak akan pernah berhenti sampai kita mengikuti millah mereka, kecuali jika kiamat, baru misi kristenisasi dan pemurtadan berhenti.

Apakah lembaga anti pemurtadan juga menangani kasus pemurtadan yang melalui jalur kekuasaan?

Metoda pemurtadan bisa dilakukan melalui cara apa pun, termasuk kekuasaan, legislasi, dan lainnya. Tapi untuk menghadapi gerakan pemurtadan di bidang politik, yang bisa menghadapi adalah kawan-kawan di partai politik Islam dan ormas Islam. Sedangkan lembaga anti pemurtadan bertugas membagi bola dari luar arena politik, seperti kasus yang di Balikpapan itu. Karenanya, kami sangat membutuhkan dukungan dan partisipasi dari kawan-kawan yang ada di parlemen, eksekutif, bahkan yudikatif.

Berarti penting juga mengawasi jalur politik dari misi pemurtadan?

Oh ya. Contoh, sebelum berlakunya pilkada langsung. Di Sumatera Utara ada kebiasaan, jika gubernurnya Islam maka wakilnya Kristen. Seolah-olah ini menjadi sesuatu yang ideal. Tapi ketika gubernur kecelakaan dan wakilnya yang Kristen otomatis menggantikannya, baru terbukti bahwa sistem ini tidak ideal. Pasalnya, selama ini di Medan tidak ada yang namanya Festival Natal, tapi begitu Wakil Gubernur Rudolf Pardede menjadi gubernur, festival itu tiba-tiba berlangsung meriah dan buku-buku bergambar Salib dibagikan ke masyarakat Islam. Itulah mereka.

Apa PR utama lembaga anti pemurtadan saat ini?


Yang harus dibangun adalah kesadaran untuk melakukan kerja dakwah secara bersinergi. Meski sudah dimulai oleh MUI, tapi jika lembaga anti pemurtadan juga melakukan langkah serupa akan makin kuat ke depannya. Jadi harus dimulai melakukan kerja sama antar lembaga tidak hanya ”sama-sama kerja” tapi tidak saling terkoordinasi. Jika berjalan sendiri-sendiri mudah dipatahkan dan diadudomba oleh musuh-musuh Islam. Memang, penyakit utama lembaga Islam termasuk lembaga anti pemurtadan adalah ”ego”. Jika bersedia menghilangkan minimal merendahkan ”ego” masing-masing, insya Allah akan terjadi sinergi yang kuat di antara lembaga-lembaga Islam. Contoh, orang yang mengkaji kristologi saja dicap bid’ah, jika ceramah ustadz-nya bukan dari kalangan sendiri tidak bersedia mendengarkan. Ini kan repot.

Bagaimana cara menyatukan ukhuwah di antara lembaga anti pemurtadan?


Sebetulnya, persoalan ini mudah, asal tiap kita, para aktivis lembaga anti pemurtadan, berhati bersih, insya Allah, ukhuwah dan kerjasama akan terwujud dengan sendirinya. Tapi jika setiap pribadi aktivis memiliki penyakit hazad, ya, susah akan terwujud. Kedua, fiqrah-nya (pemikirannya) juga harus Islami, bukan sekuler, pluralis atau liberal. Ketiga, motivasi dakwah dalam bidang ini untuk apa? Jika memang untuk membendung dan menangani pemurtadan, ya, semua potensi yang kita miliki, kita arahkan ke situ semata-mata untuk mencari ridha Allah, bukan mencari tujuan lain apakah itu ekonomi, kemahsyuran, kedudukan yang semuanya bersifat duniawi. Keempat, harus ada sinergi dan kerjasama, karena masing-masing lembaga dan aktivis memiliki kelebihan dan kelemahan. Jika kelebihan ini disatukan pasti akan menjadi kekuatan besar. Persamaan yang ada dalam masing-masing lembaga harus didahulukan dari pada perbedaan yang tidak prinsip. Kecuali jika perbedaan itu, merupakan perbedaan yang prinsip, harus diluruskan, misalnya keberadaannya ternyata hanya untuk mengadu-domba antar lembaga atau antar tokoh, sistem, dan metoda yang ditempuh tidak islami, dan lainnya.

Sebentar lagi Natal dan Tahun Baru, apa sikap kita?


Sekarang, seolah-olah ada kewajiban agar negara melakukan perayaan Natal Bersama. Ini mitos, ini di-setting. Jika Natal dilakukan di antara penganut Katolik dan Protestan, silakan saja. Tapi jika umat Islam dan tokoh-tokoh Islam harus dilibatkan, bagaimana ini? Bahkan sebagian kecil tokoh Islam justru mengusulkan istilah ”Maulud Nabi Isa”. Orang Kristen Advent saja tak mau merayakan Natal tanggal 25 Desember, karena dianggap bid’ah dalam Kristen, kenapa sebagian kecil tokoh Islam justru mengajak memperingati Natal 25 Desember, kan aneh?

Apa akibatnya jika Natal Bersama menjadi kewajiban yang harus diperingati oleh negara?

Jika seolah-olah menjadi program nasional yang wajib dirayakan, akan berdampak negatif bagi kehidupan beragama di Idonesia, khususnya umat Islam. Saat ini saja, ketika belum diwajibkan, pejabat-pejabat Muslim, pengurus Ormas Islam, dan Parpol Islam, jika tidak datang pada perayaan itu takut dicap tidak toleran. Ini memang sudah di-setting. Karenanya, saya selalu mengingatkan bahwa toleransi beragama jangan sampai diubah menjadi partisipasi. Toleransi adalah saling menghargai, bukan ikut terlibat dalam perayaan agama orang. Jika ada kebaktian di Gereja atau pemujaan di Wihara, orang Islam tidak boleh mengganggu. Demikian juga sebaliknya. Ini namanya toleransi.

Makanya, setiap Idul Fitri misalnya, umat Islam tidak pernah mengajak umat agama lain untuk ikut Shalat Id, karena mereka memang tidak berkewajiban menjalankan apa yang harus dijalankan umat Islam. Jika kita ajak mereka, justru kita yang tidak toleran dan tidak menghargai mereka. Tapi yang terjadi saat ini, justru mereka mengajak kita, bahkan ada umat Islam yang dilibatkan dalam kepanitiaan Natal Bersama. Tak hanya itu, MUI dianggap tidak toleran karena mengeluarkan Fatwa Natal Bersama. Padahal, MUI hanya mengharamkan umat Islam yang merayakan Natal Bersama, bukan melarang orang Kristen Natalan.

Data Pribadi:

Nama : Drs Abu Deedat Syihab, Msi
Tempat/Tgl Lahir : Tamala, 28 Juni 1960
Pekerjaan : Wiraswasta (berdagang)
Pendidikan terakhir: Program Pasca sarjana Magister Ilmu Administrasi
Aktivitas : Ketua Umum FAKTA, Wakil Ketua Komisi Dakwah Khusus
MUI Pusat,Pengurus Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah.
Moto Hidup : Istiqamah di jalan Allah (Qs 41:30)
Keluarga : 1 istri dan 4 anak.

http://sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1108:toleransi-beragama-bukan-partisipasi&catid=83:wawancara&Itemid=200

Zainuddin: Masyarakat Muslim Masih Dihinggapi Penyakit Dunia

Tahun Baru Islam 1431 Hijriyah masyarakat perlu mengevaluasi diri supaya diketahui kekurangan terutama moral yang telah dilaksanakan selama ini



Hidayatullah.com--Dai kondang KH Zainuddin MZ dan Imam Besar Masjid Istiqlal Prof KH Dr Ali Mustafa Yaqub, MA mengajak masyarakat muslim mengisi Tahun Baru Hijriyah dengan kegiatan yang bermanfaat bagi kebangkitan umat. Selama ini masyarakat muslim dihinggapi penyakit cinta dunia sehingga takut menghadapi kematian.

Padahal hijrah salah satunya menuju kehidupan yang kekal di alam akhirat harus melalui proses kematian. Hakikat kehidupan manusia adalah hijrah, dari kehidupan sebelumnya menuju kehidupan kelak di alam akhirat yang kekal dan abadi.

Hijrah, hijrah, dan hijrah, kata Zainuddin sambil menambahkan kehidupan sebelum di dunia ini ada alam ruh ada alam rahim kemudian hijrah ke dunia. Setelah menjalani kehidupan di dunia ini hijrah ke alam akhirat.

Untuk itu masyarakat muslim tidak harus gamang menghadapi kehidupan akhirat melalui proses hijrah yang namanya kematian. Hal itu menjadi keharusan setelah manusia menjalani kehidupan di dunia yang fana ini.

Perayaan Tahun Baru Islam dilakukan dengan kesederhanaan, namun hal itu jangan sampai mengurangi makna yang dikandung dalam semangat hijrah. Perayaan malam Tahun Baru Islam 1431 Hijriyah berlangsung semarak, aman, tertib, dan lancar. Ribuan umat Islam menyambut Tahun Baru Islam diantaranya diisi dengan kegiatan membaca Surat Yasin, zikir serta dilanjutkan dengan membaca doa akhir tahun dan awal tahun.

Pembacaan Surat Yasin dan zikir tersebut dilakukan hampir merata di setiap masjid dan mushala menjelang Maghrib dan ada pula yang melaksanakan setelah Maghrib hingga tiba waktu Isya. Dalam menyambut tahun baru khususnya Tahun Baru Hijriyah tidak perlu dilakukan dengan hura-hura, karena pekerjaan hura-hura dapat merugikan diri sendiri.

Alangkah baiknya malam Tahun Baru Hijrijah disambut dengan banyak berzikir dan berdoa kepada Allah SWT seperti yang dilaksanakan sekarang ini, sehingga di awal tahun kita akan memiliki catatan amal kebajikan, katanya.

Datangnya tahun baru sekaligus menambah umur seseorang, namun pada hakekatnya umur manusia itu berkurang satu tahun, namun hal ini jarang disadari oleh umat manusia. Kedatangan Tahun Baru Hijriyah ini kita gunakan untuk munasabah atau menghitung sekaligus merenungkan apa yang kita telah kerjakan setahun yang lalu, katanya.

Dalam menyambut Tahun Baru Islam 1431 Hijriyah masyarakat perlu mengevaluasi diri supaya diketahui kekurangan terutama moral yang telah dilaksanakan selama ini. Evaluasi itu penting karena kemajuan bangsa sangat ditentukan dengan moral masyarakat. Sehubungan itu seluruh lapisan masyarakat dalam menyambut Tahun Baru Islam tersebut perlu berbenah diri terutama masalah pendidikan moral. Selain itu evaluasi tersebut diperlukan karena bangsa Indonesia sekarang ini sedang menghadapi era globalisasi dimana arus informasi termasuk budaya yang berkembang sulit untuk dibendung.

Jadi bila moral bangsa telah kuat maka arus budaya dari luar yang dapat merusak masyarakat sulit untuk masuk ke dalam jiwa. Sehubungan itu melalui Tahun Baru Islam tersebut seluruh lapisan masyarakat perlu adanya peningkatan moral dengan melakukan evaluasi diri.

Selain itu dalam memperingati Tahun Baru Islam tersebut masyarakat perlu memperbanyak kegiatan di bidang agama seperti syiar agama sehingga keberadaan Islam akan semakin menyatu dengan seluruh lapisan masyarakat.

Mulai dari sekarang berbenah diri terutama saat Tahun Baru Islam ini sehingga moral masyarakat akan semakin kuat, dan budaya-budaya asing berkembang yang kurang bagus dengan kehidupan dapat dibendung.

Kesederhanaan yang menjadi ciri perayaan Tahun Baru Islam hendaknya tetap memiliki makna mendalam bagi masyarakat muslim. Kita tidak perlu berlebihan dalam merayakan Tahun Baru Islam cukup dengan melakukan pendekatan diri kepada Allah SWT dan saling mengingatkan melalui ceramah atau tausia di berbagai masjid atau mushala, katanya.

Dia mengatakan, tentunya akan lebih berarti kegiatan yang sederhana tapi mengandung makna sangat dalam, dengan melalui pendekatan secara batin kepada Sang Maha Pencipta. Kita tidak ingin berlebihan dengan kemewahan dunia untuk merayakan Tahun Baru Islam ini, tapi cukup dengan melakukan renungan sebagai upaya introspeksi diri atas apa yang sudah dilakukan, katanya. [pel/www.hidayatullah.com]

http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10169:2009-12-19-12-45-29&catid=1:nasional&Itemid=54

Wajib Membela Al Aqsha


Berulangkali di berbagai kesempatan kita selalu mengingatkan kaum Muslim untuk menunjukkan kepedulian terhadap perjuangan saudara-saudara kita di Palestina terutama sekali berkaitan dengan Masjid Al Aqsha.

Mungkin ada pertanyaan, apa tidak jenuh atau bosan? Jawabnya, yang namanya perjuangan tidak ada rasa bosan atau jenuh! Karena perjuangan memerlukan keistiqamahan dan kesabaran. Itu merupakan syarat agar kita mendapatkan kemenangan dari Allah SWT.

Musuh-musuh Islam sesungguhnya menunggu kelengahan umat Islam. Apa yang terjadi pada Ahad, 25 Oktober 2009? Untuk kesekian kalinya, tentara Israel menyerbu Masjid Al Aqsha.

Sebelumnya, pada 1967 negara-negara Arab kalah perang lawan Israel karena mereka berjuang bukan dilandasi nilai-nilai Islam, bukan berjuang karena Allah SWT. Akibatnya Al Quds dikuasai Zionis Israel.

Kita merasa sedih, bukan saja karena kekalahan itu tetapi juga peninggalan-peninggalan para Shahabat dan pejuang-pejuang Islam diluluhlantakkan oleh Zionis Israel untuk menghilangkan peran umat Islam di tanah suci Al Quds.

Cukup sampai di situ? Tidak. Pada 21 Agustus 1969, ekstrimis Yahudi membakar Masjid Al Aqsha sehingga mimbar Sultan Shalahuddin Al Ayyubi hangus terbakar. Para ahli sejarah, para budayawan, kalau memang komitmen dengan ilmu yang dimiliki, seharusnya memiliki kepedulian juga terhadap Masjid Al Aqsha.

Bayangkan mimbar yang sudah berabad-abad lamanya, kini hangus terbakar menjadi abu karena kedzaliman Zionis Israel. Dua hari satu malam lamanya Masjid Al Aqsha terbakar. Apa umat Islam tidak ada? Ada, tetapi mereka tidak bisa masuk. Karena semua pintu masjid dikunci oleh Zionis Israel. Apa tidak ada air? Ada, tetapi zionis mematikan kran airnya.

Memang inilah skenario mereka. Apa Zionis puas? Tidak.karena kedzaliman mereka terus berlangsung. September 2000, mereka kembali memprovokasi, mencemari, menodai, menistai, masjid yang pernah dikunjungi Rasulullah SAW saat Isra Miraj itu. Ariel Sharon dengan tentara Zionis Israelnya memasuki pelataran Masjid Al Aqsha. Inilah yang menyebabkan Intifadhah Al Aqsha.

Lihat dan perhatikan, itu semua menunjukkan betapa konsistennya mereka dalam upaya menghancurkan Masjid Al Aqsha. Sungguh sangat menyedihkan kalau ada seorang Muslim tidak tergerak hatinya untuk melakukan pembelaan terhadap Al Aqsha.

Namun, alhamdulillah, pada 25 Oktober lalu masih ada pemuda-pemuda yang melakukan pembelaan terhadap Al Aqsha saat Zionis melakukan upaya kejinya itu.

Mereka adalah ujung tombak 1,5 milyar kaum Muslim di muka bumi ini. Kita harus mengucapkan terima kasih kepada mereka. Karena bila tidak ada pembelaan dari mereka Masjid Al Aqsha hanya tinggal sejarah menyusul mimbar Shalahuddin.

Dan umat Islam yang hidup saat ini akan diminta pertanggungjawabannya di pengadilan Allah SWT. Apa pun pangkat, jabatan dan profesinya akan diminta pertanggungjawaban mengapa kiblat umat Islam yang pertama itu bisa runtuh.

Inilah pentingnya berulangkali mengikatkan dengan tidak bosan-bosannya. Dalam rangka mengamalkan perintah Allah SWT, Berilah peringatan. Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman.

Mengapa harus selalu diperingatkan? Karena memang ada orang Islam yang lalai, lengah dan lupa sehingga mereka melupakan tanggung jawabnya terhadap masjid yang bukan sembarang masjid.

Karena Rasulullah SAW pernah menjelaskan, Barangsiapa yang shalat di Masjid Al Aqsha nilainya 500 kali lipat dibandingkan dengan masjid yang lainnya. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah SAW menyatakan, Baransiapa yang ingin berkunjung, kunjungilah tiga tempat, Masjid Al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al Aqsha.

Maka apapun bentuk organisasinya dan metode perjuangannya sudah seharusnya, bila merasa dirinya merupakan bagian dari kaum Muslim, menjadikan pembebasan Masjid Al Aqsha dari cengkraman penjajah sebagai salah satu item perjuangannya.[]

Oleh: Ferry Nur, Sekjen Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina (KISPA)
http://www.mediaumat.com/content/view/1054/2/

Tahun Baru Hijriyah, Momen untuk Perbaikan Diri


JAKARTA--Memasuki tahun baru Hijriah merupakan momen untuk melakukan pertobatan dan bertekad untuk berbuat yang lebih baik daripada apa yang telah dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. Ini ditegaskan Adian Husaini, Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) dalam perbincangan dengan Republika di Jakarta, Rabu (16/12).

''Memasuki tahun baru Hijriah ini merupakan momentum untuk melakukan perbaikan diri,'' tegas Adian. Ditambahkannya, perlu adanya muhasabah atau evaluasi diri, melihat dari apa yang telah dilakukan sebelumnya. ''Kegagalan, kesalahan, kekurangan di masa lalu sebagai dasar evaluasi untuk memperbaikinya di tahun-tahun mendatang,'' papar Adian.

Dikatakan Adian, hendaknya umat melakukan pertobatan yang serius. ''Hal-hal yang sifatnya upacara-upacara atau seremonial yang sifatnya hanya pemborosan, hendaknya dihilangkan pada peringatan tahun baru Hijriah,'' ungkap Adian.

Pola-pola hidup pragmatis individual menurut Adian juga hendaknya dihilangkan dalam menjalankan kehidupan mendatang. ''Suatu keberhasilan saat ini hanya dilihat dari tolak ukur capaian-capaian materialistik. Pandangan ini perlu diubah. Bahwa capaian-capaian dari sudut spiritual merupakan keberhasilan yang hakiki. Seperti dalam syair lagu Indonesia Raya, bahwa selain perlu membangn raga, yang terpenting adalah membangun jiwa,'' tutur Adian.

Para pemimpin menurut Adian, ke depan juga perlu lebih memberikan keteladanan pada rakyat dan umat. ''Seperti adanya pemadaman listrik bergilir, seharusnya yang padam bergilir adalah rumah-rumah pejabat, bukan rakyat jelata,'' katanya. Demikian pula bahwa kondisi saat ini, pemimpin dan pejabat menurut Adian kurang memberi teladan. ''Misalnya rakyat jelata selalu terkena macet, sementara pejabat dengan mudahnya menerobos kemacetan dengan pengawalan luar biasa,'' kata Adian.

Ditambahkannya, penyakit yang paling mengerikan di dunia ini adalah penyakit cinta dunia. osa/taq

http://www.republika.co.id/berita/96305/Tahun_Baru_Hijriyah_Momen_untuk_Perbaikan_Diri

Abdul Wahid Kadungga: Mujahid Lintas Negara itu Tutup Usia


JAKARTA (voa-islam.com) - Abdul Wahid Kadungga. Para aktivis Islam sudah tidak asing dengan nama ini. Kadungga juga kesohor di mata musuh-musuh Islam, baik di Indonesia maupun mancanegara.

Kadungga adalah menantu almarhum Kahar Mudzakkar, Panglima Hisbullah Makassar dan pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.

Semasa hidupnya, Kadungga tercatat sebagai salah seorang pentolah demonstran angkatan '66. Ketika memimpin PII, gelombang aksi menentang kekuasaan Soekarno untuk menumbangkan Orde Lama bergolak. Padatnya aktivitas di dunia pergerakan, membuat Kadungga tidak sempat menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).

Pria asal Masamba, Luwu Utara ini sempat disebut-sebut sebagai petinggi Jamaah Islamiyah (JI) karena ia dekat dengan Abu Bakar Ba’asyir saat masih di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1985. Saat itu, Kadungga baru datang dari Belanda sementara Ba’asyir baru melarikan diri dari Indonesia.

Sabtu sore kemarin (12/12/2009) pukul 16.40 WIB, pendiri "Young Muslim in Europe" ini berpulang ke rahmatullah di Rumah Sakit Darma Nugraha, Rawamangun, Jakarta Timur. Innalillahi wainna ilaihi roji’un...

Nama Kadungga begitu akrab bagi media antiislam, sehingga ia sering jadi target pembentukan opini. Sebut saja Sydney Morning Herald. Harian terkemuka di Australia ini Kadungga sebagai sosok yang misterius bahkan punya hubungan langsung dengan Usmah bin Ladin. “Ia tinggal di Belanda, tapi bisa dengan mudah berbicara via telepon dengan petinggi PAS (Partai Agama Se-Malaysia) di Malaysia. Tak lama kemudian, ia bisa berbicara langsung dengan Usamah bin Ladin yang berada di pedalaman Afghanistan,’ tulis Sydney Morning Herald.

...harian terkemuka di Australia menyebut Kadungga sebagai sosok yang misterius bahkan punya hubungan langsung dengan Usmah bin Ladin, yang bisa dengan mudah berbicara via telepon dengan petinggi PAS di Malaysia...


Beda lagi komentar International Crisis Center (ICG) lewat mulut koordinatornya, Sidney Jones. Lembaga yang berbasis di Brussel ini menuding profil yang satu ini sebagai penghubung internasional Jamaah Islamiyah. Lembaga yang disebut-sebut banyak pihak sebagai kepanjangan tangan intelijen ini mencatat namanya dibanyak medan konflik di seluruh dunia.

“Dia ada di Chechnya, Dagestan, Bosnia, Afghanistan, Indonesia....” Pendeknya, ia adalah orang penting dalam hubungan antargerakan Islam radikal di seluruh dunia, kira-kira begitu yang hendak disimpulkan oleh ICG.

Tapi ustadz yang ramah dan murah senyum ini tak menolak apapun yang dikatakan oleh Sidney Jones. “Dalam arti yang positif saya memang penghubung gerakan dakwah internasional. Saya bergerak dalam kebaikan, insya Allah. Tidak ada teror, tidak ada bom dan tidak pula kekerasan,” ungkapnya.

Meski darah biru sultan-sultan Bugis mengalir dalam tubuhnya, tapi ia terpaksa mengantongi kewarganegaraan Belanda. Sejarah politik dan kekuatan Orde Baru yang membuatnya memilih jalan pahit itu, meski hati kecilnya tidak mau jadi "Belanda hitam."

Kadungga menjadi salah satu musuh politik Orde Baru karena perjuangan dan dakwahnya bersama-sama M Natsir dan aktivis Dewan Dakwah lainnya. Ia pernah diinterograsi oleh seorang kolonel, namanya Utomo. Kolonel ini menuding Kadungga dan orang-orang Dewan Dakwah sebagai tokoh dan pemikir negara Islam di Indonesia.

Kadungga menjadi salah satu musuh politik Orde Baru karena perjuangan dan dakwahnya bersama-sama M Natsir...


Ihwal Kadungga aktif dalam dunia dakwah ketika usianya menginjak 13 tahun. Seusai tamat Sekolah Rakyat, orang tuanya mengirim Kadungga ke Makassar untuk bersekolah di Sekolah Menengah Islam. Di sekolah ini ia terkaget-kaget. Belum lagi setahun, ia sudah mengenal Mr Prawoto yang diundang untuk berceramah di sekolahnya. Lalu ada pula Mohamad Roem dan tokoh-tokoh besar zaman itu.

Di sekolah ini pula Kadungga untuk pertama kali berkenalan dengan organisasi yakni Pelajar Islam Indonesia (PII). Ia aktif berorganisasi dan menarik pelajaran yang luar biasa. Di sekolah ini ia merintis karir organisasinya sebagai Ketua Ranting PII. Setamat dari Sekolah Menengas Islam ia meneruskan pendidikan ke SMEA Negeri Makassar. Sekolah yang dimasukinya ternyata tidak sama dengan sekolah sebelumnya.

Di SMEA Negeri Makassar, organisasi siswa yang berkembang bukanlah PII melainkan Gerakan Siswa Nasionalis Indonesia (GSNI). Karenanya, Kadungga bersama teman-teman berjuang keras untuk mengubah sekolahnya menjadi salah satu motor PII di Makassar, dan akhirnya berhasil. Naiklah Kadungga menjadi Ketua PII di sekolah ini, didaulat teman-teman seangkatannya.

Pada tahun 1962, ia berangkat ke Medan mengikuti Kongres PII, dan kala itu ia sudah menjadi Pimpinan Cabang PII Makassar.

Perkenalannya dengan dakwah dan politik Islam kian kental setelah Kongres PII di Medan. Di PII inilah Kadungga dikader dengan baik. Konstelasi politik yang terus bergerak kala itu membuat PII menjadi salah satu organisasi pemuda yang berperan signifikan. Karena pasca pembubaran diri Masyumi, disusul dengan GPII, lalu HMI melunak sikapnya, maka tinggal PII saja yang terang-terangan menjadi musuh besar PKI.

Sebegai ilustrasi kerasnya konfrontasi PII dan PKI yang dialami Kadungga adalah peristiwa perayaan HUT PKI yang ke-40. PKI membawa bendera, long march dari Bali ke Jakarta. Pada saat yang sama, 4 Mei PII juga berulang tahun. Kota Surabaya menjadi merah saat itu, semua sudut ada tanda PKI. Mereka juga bikin menara dari bambu tinggi sekali dengan gambar palu arit. Tapi malamnya, Kadungga dan kader-kader PII bergerilya membersihkan semua atribut PKI.

Singkat cerita, aktivitas di PII mengantarkannya berkenalan dengan Adam Malik bahkan bekerja sebagai staf ahli di kementerian luar negeri zaman itu. Tapi itu pun tak lama ia jalani. Kadungga memutuskan untuk kembali menuntut ilmu dan Pakistan menjadi negara tujuan. Tapi setelah bermukim beberapa bulan di negera ini, aktivitas belajar belum bisa ia lakukan. Sebab, kondisi politik dalam negeri Pakistan sedang ricuh dan berimbas pada lembaga-lembaga pendidikan.

Mendapat kenyataan seperti itu, Kadungga mengalihkan pandangannya untuk belajar ke Eropa. Kini Belanda menjadi tujuannya. Di Eropa darah mudanya yang meluap membuat ia terus merintis jalan dakwah. Bahkan sampai-sampai, ia berhasil mendirikan gerakan mahasiswa Islam Indonesia yang bersaing ketat dengan organisasi mahasiswa Indonesia di Eropa. Tak hanya itu, ia juga berhasil mendirikan Young Muslim Asociation in Europe sebuah wadah yang menampung pemuda-pemuda Muslim di Eropa.

Setelah malang melintang akhirnya Kadungga kembali ke Indonesia. Saat kembali, salah satu kegiatannya adalah bekerja untuk dakwah di Dewan Dakwah Islam Indonesia. Kadungga yang sempat menjadi sekretaris pribadi M. Natsir ini memang punya sejarah unik. Tak lama ketika di Indonesia, pemerintahan Orde Baru dengan kegiatan intelijennya yang mencengkeram menjadikan Dewan Dakwah sebagai salah satu musuh utama. Kadungga tak luput dari itu semua.

...Dalam penangkapan yang diotaki Ali Moertopo, Kadungga bersama teman-temannya yang lain ditangkap di Bogor. Para aktivis disiksa habis-habisan dalam penangkapan ini...


Menjelang Sidang Umum MPR pada tahun 1974 terjadi penangkapan dan penculikan massal atas aktivis Islam. Menurut Kadungga, otak tragedi ini adalah Ali Moertopo. Kadungga bersama teman-temannya yang lain ditangkap di Bogor. Para aktivis disiksa habis-habisan dalam penangkapan ini. Ada yang disiram air kencing, ada yang dipukuli bahkan sampai ada yang trauma. Untuk menguatkan perjuangan, Kadungga memberikan taushiyah kepada teman-temannya untuk meningkatkan kesabaran dan tawakal, karena Allah selalu bersama mereka.

Waktu berlalu, akhirnya penahanan dilonggarkan. Mereka hanya dikenai tahanan kota dan wajib lapor sepekan sekali. Di saat itulah Kadungga memutuskan untuk berangkat ke Belanda dan mencari suaka politik atas perlakuan Orde Baru terhadap dirinya. Dalam kurun waktu itu pula secara semena-mena pemerintahan Orde Baru mencabut paspornya sebagai bukti warga negara. Padahal pencabutan paspor itu harus melalui pengadilan. Kadungga tidak pernah diadili maupun ditanya, langsung saja dicabut paspornya.

Saat di Eropa untuk kedua kalinya ini, panggilan jihad terdengar dari Afghanistan. Kadungga terhitung orang Indonesia pertama yang datang dari Eropa untuk masuk ke Afghanistan. Di medan jihad itulah Kadungga begitu takjub, berjuang bersama-sama dengan pemuda-pemuda Islam dari seluruh dunia.

...panggilan jihad terdengar dari Afghanistan. Abdul Wahid Kadungga terhitung orang Indonesia pertama yang datang dari Eropa untuk masuk ke Afghanistan. Jejak perjalanannya di Afghanistan itu menjadi ujian baru untuk Kadungga. Ia dituduh terlibat sebagai kaki tangan gerakan al Qaidah...


Jejak-jejak perjalanannya di Afghanistan pula kini menjadi ujian baru untuk Kadungga. Ia dituduh terlibat sebagai kaki tangan gerakan al Qaidah. Ia juga menyandang julukan penghubung internasional Jamaah Islamiyah. Tapi apakah itu semua membuatnya surut dari jalan dakwah?

Tidak. Kadungga begitu yakin atas takdir Allah. “Tidak ada satu daun pun yang jatuh dari pohon tanpa kehendak Allah. Begitu juga dengan diri saya, tidak seorang pun, bahkan Amerika, yang bisa menyentuh kita tanpa takdir Allah,” tegasnya. Karena itu langkah kaki tak bisa mundur meski setapak dari jalan dakwah.

Karena itu pula, Abdul Wahid Kadungga, meski perawakannya kecil, namanya begitu besar sampai-sampai puluhan intelijen dikerahkan saat ia datang dari Malaysia ke Kalimantan. Sampai-sampai, Amerika sendiri merasa harus melekatkan pandangannya terus menerus pada ustadz yang satu ini. Tapi Kadungga mengatakan, ia tidak akan tunduk apalagi menyerah, karena memang ia tak pernah bersalah. “Apalagi yang saya takuti hanya Allah semata,” tandasnya.

Kisah Mujahid Mungil Melawan Raksasa Media


Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba raksasa koran Indonesia, Kompas menurunkan berita, Abdul Wahid Kadungga termasuk dalam jajaran teroris pelaku bom Bali I, pada tanggal 23/11/2005. Dalam berita berjudul ”Noordin M Top, Target Utama Penangkapan” yang dilengkapi dengan grafis sebagian pelaku teror bom, nama Abdul Wahid Kadungga tertulis dengan jelas pada sub judul ”Bom Bali 2002” bersama nama-nama Amrozi cs. Sejak itu, nama Kadungga menghiasi media massa nasional maupun internasional selama sepekan hingga tanggal 7 Januari 2005.

Dengan sebutan sebagai pelaku Bom Bali, ia kerap dikejar-kejar oleh Detasemen Antiteror 88. Takutkah Kadungga terhadap raksasa Kompas? Ternyata tidak! Aktivis Islam bertubuh mungil yang dikenal tegas dan keras ini berontak dan melawan. Kadungga berang, karena pencantuman namanya adalah fitnah.

Tidak sedikitpun Kadungga merasa gentar menghadapi Kompas yang merupakan raksasa media di tanah air. “Saya hanya takut kepada Allah. Di depan Allah, Kompas itu kecil,” katanya mengingatkan.

Suatu gejala baru muncul, seorang yang dituduh teroris malah melawan. Selama ini umat Islam terkesan bersikap defensif menghadapi berbagai pemberitaan maupun opini publik yang menyudutkan. Tidak demikian dengan seorang Kadungga.

Selain memberi pelajaran kepada Kompas, Kadungga bermaksud menyadarkan umat Islam bahwa saat ini umat Islam jadi korban fitnah. Dan teror di belakang semua ini adalah Amerika Serikat dan Yahudi, zionis internasional.

Kadungga bermaksud menyadarkan umat Islam bahwa saat ini umat Islam jadi korban fitnah. Dan teror di belakang semua ini adalah Amerika Serikat dan Yahudisekarang adalah era kebangkitan Islam. Ketakutan Amerika dan orang-orang kafir adalah merupakan abad kebangkitan Islam, dan inilah yang ingin mereka redam...


Menurut Kadungga, sekarang adalah era kebangkitan Islam. Ketakutan Amerika dan orang-orang kafir adalah merupakan abad kebangkitan Islam, dan inilah yang ingin mereka redam. Semakin ditindas, maka umat Islam harus semakin bangkit. Umat Islam Indonesia bangkit melawan.

Walhasil, raksasa media yang bernama Kompas pun ketakutan dan buru-buru meralat pemberitaan itu sepekan kemudian, pada edisi 03/12/2005 dengan alasan terdapat kesalahan data yang sangat mengganggu. “…atas kesalahan tersebut, Kompas menyampaikan permohonan maaf,” demikian ralat Kompas.

Meski Kompassudah meralat, hal itu tidak mengurangi tekad Kadungga untuk memberi pelajaran. Menurut aktivis bertubuh kecil namun bernyali raksasa ini, Kompas menyebut namanya dalam daftar teroris adalah by design. Oleh sebab itu, ketika Kompas menyebut pencantuman namanya sebagai sebuah kekeliruan, Kadungga menolak mentah-mentah, karena koran itu mengenal siapa dirinya.

::

Terakhir kali penulis bertemu almarhum di Masjid Al-Furqan Jakarta, hari kamis tepat satu hari sebelum Idul Adha dua pekan lalu. Malam itu almarhum bertindak sebagai imam shalat isya, sedangkan penulis berdiri menjadi makmum di shaff kedua. Tak disangka, shalat jamaah itu adalah pertemuan "pamit-pisah" penulis dengan almarhum.

Sang mujahid lintas negara itu telah menutup lembaran amalnya. Semoga semangat jihad dan istiqamahnya di jalan Allah, mengilmami perjuagan kita semua. Mudah-mudahan kita dipertemukan Allah di surga-Nya. Amin. [MA. Gani/voa-islam.com]

http://www.voa-islam.net/news/profile/2009/12/13/2057/abdul-wahid-kadunggamujahid-lintas-negara-itu-tutup-usia/

Aziz Qahhar: Abdul Wahid Kandungga Sosok Konsisten


Sepekan sebelum meninggal, almarhum sempat meminta pendapat untuk membangun kota Luwu Utara, Sulawesi


Hidayatullah.com--Kepergian Abdul Wahid Kandungga meninggalkan kesan begitu mendalam bagi Abdul Aziz Qahhar, anggota DPD Sulawesi Selatan (Sulse). Aziz Qahhar yang juga adik ipar almarhum mengatakan, sebelum tutup usia, tokoh lintas negara ini sering berinteraksi dengannya, bahkan sering menginap di rumahnya.

Aziz Qahhar tak menduga jika kerpegiannya begitu cepat. Sebab tak ada indikasi ataupun sakit yang menyebabkan kepergiannya itu.

Menurut ketua Lajnah Tanfidziyah KPSI Sulsel ini, sejak hari ke-20 bulan Ramadhan, Abdul Wahid Kandungga tinggal di Gedung Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Jalan Kramat, Jakarta. Ketika itu almarhum menghabiskan waktunya untuk i’tikaf dan beribadah di masjid DDII itu.

Namun meski Ramadhan telah usai, almarhum masih menetap di sana, di sebuah kamar kecil milik takmir. Meski demikian, almarhum sempat beberapa kali silaturahim dan menginap di rumah Aziz Qahhar.

“Almarhum sebelum meninggal sempat beberapa kali ke rumah dan menginap,” ujar Aziz Qahhar kepada www.hidayatullah.com.

Sudah suratan takdir, Sabtu 12 Desember, sore Wahid Kandungga berencanya menjemput istrinya yang datang dari Belanda di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Namun belum sempat pergi, almarhum terdiam dan mengucapkan istighfar berulang-ulang dan terjatuh.

Sekitar 10 menit, almarhum masih bisa mengucapkan istighfar dan bersyahadat. Hingga akhirnya dibawa ke Rumah Sakit (RS) terdekat. Namun sampai di RS, dokter mengatakan, nyawa Abdul Wahid Kandugga telah tiada.

Menurut Aziz Qahhar, sepekan sebelum meninggal, almarhum sempat mendatanginya dan meminta pendapat untuk membangun kota Luwu Utara, Sulawesi. Namun ketika niatnya belum kesampaian, Allah telah memanggilnya.

Abdul Wahid Kadungga, dilahirkan di Masamba, Luwu Utara. Ia adalah menantu Qahhar Muzakkar dan masih sepupuh satu kali dengan aktivis asal Luwu Raya, Iskandar Pasajo.

Mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) ini pernah menjadi sekretaris pribadi. Moh Natsir ketika tokoh Masyumi itu menjadi Perdana Menteri RI.

Bagi Aziz Qahhar, almarhum adalah sosok dan tokoh yang sangat idealis dan konsisten dengan pemikirannya. Selama perjalan perjuangannya meski diterpaan banyak ujian serta intimidasi, tak membuatnya surut ke belakang. “Almarhum tetap tegar dan konsisten,” ujarnya. [ans/cha/www.hidayatullah.com]

http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10123:2009-12-15-06-59-21&catid=1:nasional&Itemid=54

Abdul Wahid Kadungga, Tokoh Islam Asal Sulawesi Selatan Tutup Usia


TEMPO Interaktif, Jakarta - Abdul Wahid Kadungga, tokoh Islam asal Sulawesi Selatan tutup usia, Sabtu (12/12), di Rumah Sakit Darma Nugraha, Rawamangun, Jakarta Timur, pukul 16.40 WIB.

Menurut Marsenia, keponakan almarhum, Kadungga tidak menunjukkan tanda-tanda sakit ketika tiba di rumahnya. “Beliau akan menjemput istrinya yang datang dari Belanda, namun tiba-tiba terjatuh di pekarangan rumah kami,” ujarnya kepada Tempo.

Melihat kendisi fisik beliau lemas, lanjutnya Marsenia, almarhum dilarikan ke rumah sakit terdekat, namun jiwanya tak tertolong. “Insya Allah jenazah akan diterbangkan ke Makassar besok untuk dimakamkan di Masamba,” tambahnya.

Abdul Wahid Kadungga pernah disebut-sebut sebagai petinggi Jamaah Islamiyah (JI) bersama Abu Bakar Ba’asyir. Namun dia mengaku tak mengenal organisasi tersebut. “Polisi di sini mengatakan saya clear, demikian juga Kedutaan Besar Belanda. Saya tak pernah terlibat dengan organisasi apapun,” jelasnya semasa hidupnya.

Hingga saat ini Kadungga masih menjadi warga negara Belanda. Oleh sebab itu, dia pernah berurusan dengan kepolisian Tangerang, Banten, karena memiliki kartu tanda penduduk setempat. “Saya sudah tua, ingin kembali menjadi warga negara Indonesia.

Mengenai kedekatannnya dengan Abu Bakar Baasyir, Kadungga mengatakan bahwa dirinya hanya sebatas kenal dan pernah bertemu di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1985. Saat itu, Kadungga baru datang dari Belanda sementara Ba’asyir baru melarikan diri dari Indonesia.

CHOIRUL AMINUDDIN
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/12/12/brk,20091212-213459,id.html

Abdul Wahid Kadungga Berdiri Melawan Amerika

Tulisan ini mungkin terlalu kecil dan terlalu sedikit untuk
mengisahkan perjalanan hidup tokoh kita yang satu ini. Sydney Morning
Herald, sebuah harian terkemuka di Australia menyebut ustadz yang
satu ini sebagai sosok yang misterius bahkan punya hubungan langsung
dengan Usmah bin Ladin. "Ia tinggal di Belanda, tapi bisa dengan
mudah berbicara via telepon dengan petinggi PAS (Partai Agama Se-
Malaysia,red) di Malaysia. Tak lama kemudian, ia bisa berbicara
langsung dengan Usamah bin Ladin yang berada di pedalaman
Afghanistan,' tulis Sydney Morning Herald.

Beda lagi komentar International Crisis Center (ICG) lewat komentar
koordinatornya Sidney Jones. Lembaga yang berbasis di Brussel ini
menuding profil yang satu ini sebagai penghubung internasional Jamaah
Islamiyah. Lembaga yang disebut-sebut banyak pihak sebagai
kepanjangan tangan intelijen ini mencatat namanya dibanyak medan
konflik di seluruh dunia. "Dia ada di Chechnya, Dagestan, Bosnia,
Afghanistan, Indonesia....
" Pendeknya, ia adalah orang penting dalam
hubungan antar gerakan Islam radikal di seluruh dunia, kira-kira
begitu yang hendak disimpulkan oleh ICG.

Dia adalah Abdul Wahid Kadungga dan ia tak menolak apapun yang
dikatakan oleh Sidney Jones. "Dalam arti yang positif saya memang
penghubung gerakan dakwah internasional. Saya bergerak dalam
kebaikan, insya Allah. Tidak ada teror, tidak ada bom dan tidak pula
kekerasan,
" ungkapnya pada SABILI.

Darah sultan-sultan Bugis mengalir dalam tubuhnya. Tapi ia terpaksa
mengantongi kewarganegaraan Belanda. Sejarah politik dan kekuatan
Orde Baru yang membuatnya memilih jalan pahit itu. "Saya sebenarnya
tidak mau jadi Belanda hitam. Saya bukan pengkhianat bangsa dan
negara saya. Semuanya karena terpaksa,
" kenangnya pedih.

Kadungga menjadi salah satu musuh politik Orde Baru karena perjuangan
dan dakwahnya bersama-sama M. Natsir dan aktivis Dewan Dakwah
lainnya. "Saya pernah di interograsi sama seorang kolonel, namanya
Utomo, dia menyebut kami orang-orang Dewan Dakwah ini sebagai tokoh
dan pemikir negara Islam di Indonesia,
" terang Kadungga yang ditemui
SABILI usai memberikan ceramah di sebuah tempat.

Ihwal Kadungga aktif dalam dunia dakwah ketika usianya menginjak 13
tahun. Seusai tamat Sekolah Rakyat, orang tuanya mengirim Abdul Wahid
Kadungga ke Makassar untuk bersekolah di Sekolah Menengah Islam. Di
sekolah ini ia terkaget-kaget. Belum lagi setahun, ia sudah mengenal
Mr. Prawoto yang diundang untuk berceramah di sekolahnya. Lalu ada
pula Mohamad Roem dan tokoh-tokoh besar zaman itu. "Dalam hati saya
berpendapat, ini sekolah bukan main rupanya,
" kenangnya lagi.

Di sekolah ini pula Abdul Wahid Kadungga untuk pertama kali
berkenalan dengan organisasi yakni Pelajar Islam Indonesia (PII). Ia
aktif berorganisasi dan menarik pelajaran yang luar biasa. Di sekolah
ini ia merintis karir organisasinya sebagai Ketua Ranting PII.
Setamat dari Sekolah Menengas Islam ia meneruskan pendidikan ke SMEA
Negeri Makassar. Sekolah yang dimasukinya ternyata tidak sama dengan
sekolah sebelumnya. Di SMEA Negeri Makassar, organisasi siswa yang
berkembang bukanlah PII melainkan Gerakan Siswa Nasionalis Indonesia
(GSNI).

"Saya bekerja dengan teman-teman mengubah sekolah ini menjadi salah
satu motor PII di Makassar dan akhirnya berhasil,
" tuturnya. Lalu
Abdul Wahid Kadungga pun diangkat menjadi Ketua PII di sekolah ini.
Pada tahun 1962, ia berangkat ke Medan mengikuti Kongres PII, dan
kala itu ia sudah menjadi Pimpinan Cabang PII Makassar.

Perkenalannya dengan dakwah dan politik Islam kian kental setelah
Kongres PII di Medan. "Di PII lah saya merasa terkader dengan baik,"
ungkapnya. Konstelasi politik yang terus bergerak kala itu membuat
PII menjadi salah satu organisasi pemuda yang berperan
signifikan. "Masyumi dibubarkan, GPII juga, HMI melunak sikapnya,
tinggal PII saja yang terang-terangan bertanding dengan PKI,
" ujarnya.
Sebegai ilustrasi kerasnya konfrontasi PII dan PKI, Abdul Wahid
Kadungga menuturkan peristiwa perayaan HUT PKI yang ke-40. "Mereka
membawa bendera, long march dari Bali ke Jakarta. Pada saat yang
sama, 4 Mei PII juga berulang tahun. Kota Surabaya menjadi merah saat
itu, semua sudut ada tanda PKI. Mereka juga bikin menara dari bambu
tinggi sekali dengan gambar palu arit. Tapi malamnya, kita gerilya
membersihkan semuanya atribut PKI,
" tuturnya dengan nada berapi-api.

Singkat cerita, aktivitas di PII mengantarkannya berkenalan dengan
Adam Malik bahkan bekerja sebagai staf ahli di kementerian luar
negeri zaman itu. Tapi itu pun tak lama ia jalani. Kadungga
memutuskan untuk kembali menuntut ilmu dan Pakistan menjadi negara
tujuan. Tapi setelah bermukim beberapa bulan di negera ini, aktivitas
belajar belum bisa ia lakukan. Sebab, kondisi politik dalam negeri
Pakistan sedang ricuh dan berimbas pada lembaga-lembaga pendidikan.

Mendapat kenyataan seperti itu, Kadungga mengalihkan pandangannya
untuk belajar ke Eropa. Kini Belanda menjadi tujuannya. Di Eropa
darah mudanya yang meluap membuat ia terus merintis jalan dakwah.
Bahkan sampai-sampai, ia berhasil mendirikan gerakan mahasiswa Islam
Indonesia yang bersaing ketat dengan organisasi mahasiswa Indonesia
di Eropa. Tak hanya itu, ia juga berhasil mendirikan Young Muslim
Asociation in Europe sebuah wadah yang menampung pemuda-pemuda Muslim
di Eropa.

Setelah malang melintang akhirnya Kadungga kembali ke Indonesia. Saat
kembali, salah satu kegiatannya adalah bekerja untuk dakwah di Dewan
Dakwah Islam Indonesia. Kadungga yang sempat menjadi sekretaris
pribadi M. Natsir ini memang punya sejarah unik. Tak lama ketika di
Indonesia, pemerintahan Orde Baru dengan kegiatan intelijennya yang
mencengkeram menjadikan Dewan Dakwah sebagai salah satu musuh utama.
Kadungga tak luput dari itu semua.

Menjelang Sidang Umum MPR pada tahun 1974 terjadi penangkapan dan
penculikan massal atas aktivis Islam. "Otaknya sih saya kira Ali
Moertopo saat itu," ujar Kadungga. Ia bersama teman-temannya yang
lain ditangkap di Bogor. Banyak orang di siksa dalam penangkapan ini.
Ada yang disiram air kencing, ada yang dipukuli bahkan sampai ada
yang trauma. "Tapi di dalam tahanan, saya meyakinkan teman-teman,
bahwa Allah selalu bersama kita maka bersabarlah,
" kata Kadungga
mengenang masa pahit itu.

Waktu berlalu, akhirnya penahanan dilonggarkan. Mereka hanya dikenai
tahanan kota dan wajib lapor sepekan sekali. Di saat itulah Kadungga
memutuskan untuk berangkat ke Belanda dan mencari suaka politik atas
perlakuan Orde Baru terhadap dirinya. Dalam kurun waktu itu pula
pemerintahan Orde Baru mencabut paspornya sebagai bukti warga
negara. "Padahal pencabutan paspor itu harus melalui pengadilan. Saya
tidak pernah diadili dan tidak pernah ditanya, langsung saja dicabut
paspor saya,
" katanya lagi.

Saat di Eropa untuk kedua kalinya ini, panggilan jihad terdengar dari
Afghanistan. Abdul Wahid Kadungga terhitung orang Indonesia pertama
yang datang dari Eropa untuk masuk ke Afghanistan. "Pengalaman di
sana, bertemu dengan pemuda-pemuda Islam dari seluruh dunia sungguh
menakjubkan,
" katanya.

Jejak-jejak perjalanannya di Afghanistan pula kini menjadi ujian baru
untuk Kadungga. Ia dituduh terlibat sebagai kaki tangan gerakan al
Qaidah. Ia juga menyandang julukan penghubung internasional Jamaah
Islamiyah. Tapi apakah itu semua membuatnya surut dari jalan dakwah?

Tidak. Kadungga begitu yakin atas takdir Allah. "Tidak ada satu daun
pun yang jatuh dari pohon tanpa kehendak Allah. Begitu juga dengan
diri saya, tidak seorang pun, bahkan Amerika, yang bisa menyentuh
kita tanpa takdir Allah,
" tegasnya. Karena itu langkah kaki tak bisa
mundur meski setapak dari jalan dakwah.

Karena itu pula, Abdul Wahid Kadungga, meski perawakannya kecil,
namanya begitu besar sampai-sampai puluhan intelijen dikerahkan saat
ia datang dari Malaysia ke Kalimantan. Sampai-sampai, Amerika sendiri
merasa harus melekatkan pandangannya terus menerus pada ustadz yang
satu ini. Tapi Kadungga mengatakan, ia tidak akan tunduk apalagi
menyerah, karena memang ia tak pernah bersalah. "Apalagi yang saya
takuti hanya Allah semata," tandasnya.

Herry Nurdi
http://groups.yahoo.com/group/eramuslim/message/7073