Showing posts with label Khilafiyah. Show all posts
Showing posts with label Khilafiyah. Show all posts

Permasalahan Khilafiyah Tidak Perlu Diingkari, Benarkah?

Sebagian orang beralasan, kalau ada masalah khilaf yang ada perselisihan para ulama, maka tidak perlu diingkari. Biarkanlah, biar umat Islam bersatu. Biar orang kafir pun tahu bahwa umat Islam tidak terpecah belah.

Pernyataan bahwa masalah khilafiyah tidak perlu diingkari tidaklah tepat. Yang tepat kita katakan,

لا إنكار في مسائل الاجتهاد
Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah

Karena masalah khilafiyah sebenarnya ada dua macam:
  1. Masalah yang sudah ada nash (dalil tegas) dari Al Qur’an, hadits dan tidak bisa ditentang, juga terdapat pendukung dari ijma’ (kesepakatan para ulama). Jika dalam masalah ini ada orang yang berpendapat keliru yang datang belakangan dan menyelisihi ijma’ atau menyelisihi qiyas jalii, maka masalah semacam ini boleh diingkari karena menyelisihi dalil.
  2. Masalah yang tidak ada nash (dalil tegas) dari Al Qur’an, hadits, ijma’, atau qiyas jalii atau terdapat hadits yang mendukung, akan tetapi diperselisihkan tentang keshahihan hadits tersebut atau hadits tersebut tidak jelas menjelaskan hukum dan bisa dimaknai dengan berbagai pernafsiran. Untuk masalah kedua, perlu adanya ijtihad dan penelitian mendalam tentang hukumnya.
Ibnu Taimiyah berkata, “Masalah ijtihadiyah seperti ini tidak boleh diingkari dengan tangan. Dan tidak boleh seorang pun memaksa untuk mengikuti pendapatnya. Akan tetapi yang dilakukan adalah sampaikanlah hujjah dengan alasan ilmiah. Jika telah terang salah satu dari dua pendapat yang diperselisihkan, ikutilah. Namun untuk pendapat yang lain tidak perlu diingkari (dengan keras).” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80)

Contoh Masalah Khilafiyah

Masalah khilafiyah yang sudah ada nash tegas di dalamnya yang masuk dalam kategori pertama di atas yang jelas menyelisihi dalil dan patut diingkari seperti:
  1. Mengingkari sifat-sifat Allah yang Allah telah memujinya sendiri dan telah ditetapkan pula oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengingkaran semacam ini bisa jadi dalam bentuk takwil yaitu memalingkan dari makna sebenarnya yang tidak sejalan dengan Al Qur’an dan hadits.
  2. Mengingkari kejadian-kejadian di masa mendatang seperti tanda-tanda kiamat yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya mengingkari munculnya Dajjal dan turunnya Nabi Isa di akhir zaman.
  3. Bolehnya memanfaatkan riba bank padahal riba telah jelas diharamkan.
  4. Membolehkan nikah tanpa wali.
  5. Membolehkan alat musik padahal termasuk kemungkaran sebagai disebutkan dalam dalil Al Qur’an dan hadits. Bahkan para ulama empat madzhab telah sepakat akan haramnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
    وَلَمْ يَذْكُرْ أَحَدٌ مِنْ أَتْبَاعِ الْأَئِمَّةِ فِي آلَاتِ اللَّهْوِ نِزَاعًا
    “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.” (Majmu’ Al Fatawa, 11: 576-577)
  6. Menyatakan tidak dianjurkan shalat istisqo’ (minta hujan) padahal telah terdapat dalil dalam Bukhari dan Muslim, juga yang lainnya yang menunjukkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamm dan para sahabatnya untuk melaksanakan shalat tersebut.
  7. Pendapat yang menyatakan tidak dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal setelah melaksanakan puasa Ramadhan.
Masalah yang masih masuk ranah ijtihad yang boleh kita toleran dalam masalah ini seperti:
  1. Perselisihan mengenai apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah di dunia.
  2. Perselisihan apakah si mayit bisa mendengar pembicaraan orang yang masih hidup ataukah tidak.
  3. Batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan, menyentuh wanita atau sebab makan daging unta.
  4. Qunut shubuh yang dibacakan setiap harinya.
  5. Qunut witir apakah dibaca sebelum ruku’ atau sesudahnya.
Syaikh Shalih Al Munajjid berkata, “Masalah ini dan semisalnya yang tidak ada nash tegas di dalamnya yang menjelaskan hukumnya, maka tidak perlu diingkari dengan keras jika ada yang menyelisihi selama ia mengikuti salah satu ulama terkemuka dan ia yakin itu benar. Akan tetapi tidak boleh seorang pun mengambil suatu pendapat ulama seenak hawa nafsunya saja. Karena jika melakukan seperti ini, ia berarti telah mengumpulkan seluruh kejelekan.

Jika dikatakan tidak perlu mengingkari dengan keras pada orang yang menyelisihi dalam masalah ijtihadiyah, bukan berarti masalah tersebut tidak perlu dibahas atau tidak perlu dijelaskan manakah pendapat yang lebih kuat (rojih). Bahkan ulama dahulu hingga saat ini telah membahas masalah ijtihadiyah semacam ini. Jika telah jelas manakah pendapat yang benar, maka hendaklah kita rujuk padanya.” (Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 70491)

Penjelasan Para Ulama

Ibnu Taimiyah berkata, “Jika ada yang mengatakan bahwa masalah khilaf tidak perlu diingkari, maka itu tidaklah benar jika melihat dari sisi ucapan yang dihukumi atau amalan. Jika ada ucapan yang menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama), maka wajib mengingkarinya. Jika masalah tersebut tidak disepakati, maka boleh mengingkari untuk menjelaskan bahwa pendapat tersebut lemah dan menyebutkan pendapat yang benar dari ulama salaf atau para fuqoha’. Adapun jika ada amalan yang menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’, maka wajib mengingkarinya tergantung pada bentuk
kemungkarannya. … Adapun jika dalam suatu permasalahan tidak ditunjukkan dalil yang tegas, juga tidak ada ijma’, maka berijtihad ketika itu dibolehkan dan tidak perlu orang yang berijtihad dan yang mengikuti diingkari dengan keras. … Dalam masalah ijtihad ini selama tidak ada dalil yang tegas tidak perlu sampai mencela para mujtahid yang menyelisihinya seperti dalam permasalahan yang masih diselisihi para salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 9: 112-113)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Masalah khilaf sudah terjadi di antara para sahabat, tabi’in dan ulama sesudah mereka –radhiyallahu ‘anhum ajma’in-. Hal seperti ini tidak perlu diingkari. Demikian mereka juga berkata bahwa tidak boleh bagi seorang mufti (ahli fatwa) dan tidak pula seorang qodhi (hakim) menentang orang  yang menyelisihinya selama hal itu tidak menyelisihi dalil yang tegas, ijma’ (kesepakatan ulama) dan qiyas jalii.” (Syarh Muslim, 2: 24)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Masalah khilafiyah terbagi menjadi dua macam:
  1. Masalah ijtihadiyah yang boleh ada khilaf di dalamnya. Untuk masalah ini tidak boleh mengingkari dengan keras orang yang berijtihad. Adapun untuk orang awam, hendaklah mengikuti pendapat ulama yang ada di negeri masing-masing agar tidak keluar dari pendapat masyarakat yang ada. Karena jika kita katakan pada orang awam, “Ikutilah pendapat apa saja yang kau dapati.” Akhirnya seperti ini, umat tidak bersatu.  Oleh karenanya Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata,
    العوام على مذهب علمائهم
    “Madzhab orang awam adalah sesuai dengan ulama mereka.”
  2. Masalah yang tidak boleh ada perselisihan di dalamnya dan bukan ranah ijtihad. Untuk masalah kedua ini boleh diingkari orang yang menyelisihinya karena tidak ada udzur saat itu.” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 49)
Kami tutup dengan nasehat bagi orang yang berilmu yang banyak jadi panutan. Imam Malik berkata,

لَيْسَ لِلْفَقِيهِ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَذْهَبِهِ
Tidak boleh bagi seorang faqih (yang berilmu) mengajak manusia pada madzhabnya”  (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80). Namun ajaklah untuk mengikuti dalil. Karena dalil-lah yang jadi pegangan.

Semoga Allah menunjuki kita untuk dapat terus berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Wallahu waliyyut taufiq.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, tengah malam 27 Rajab 1433 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Mengapa Partai Islam Melegalkan Tahlil, Yasinan dan Maulid Nabi?

Assalamualaikum wa rohmatullohi wa barakatuh..

Ba''da tahmid wa sholawat
Ustadz yang semoga selalu diberikan ke istiqomahan dalam upaya mencerdaskan ummat. Berdasarkan beberapa berita yang ada bahwa aktifitas politik dari sebuah partai Islam yang pada awalnya dikenal sebagai kumpulan orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur''an dan Sunnah dalam pemahaman salafus sholih, tapi sekarang cenderung lebih mengikuti maunya (tradisi ) masyarakat.

Yang pada awalnya ingin mencerdaskan ummat tapi sekarang terkesan memelihara (melegitimasi ) kesalahan yang ada di tengah masyarakat. Cont: Dalam sebuah acara resmi partai digelar acara baca yasin dan tahlil serta pembacaan riwayat maulid.
Mohon penjelasannya tentang kegiatan tersebut sehingga saya bisa tercerahkan.
Jazakallahu khoir

jawaban

Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sekali lagi kami menerima ''komplain'' atas tindak-tanduk partai di mana kami tidak menjadi penentu kebijakan di dalamnya. Jelas kami pada hakikatnya bukan orang yang pihak yang pantas dijadikan tujuan pertanyaan. Pertanyaan seperi ini seharusnya langsung ditanyakan kepada partai yang bersangkutan.

Namun pertanyaan seperti ini masih saja masuk ke dalam database kami, bingung juga menjawabnya.

Maka kalau pun menjawab, apa yang kami jawab tentunya tidak ada kaitannya dengan arah kebijakan partai yang dimaksud. Yang kami jawab hanyalah seputar pandangan syariah terhadap masalah yasinan, tahlil dan maulid nabi SAW. Lepas dari urusan partai dan kebijakannya.

Masalah Esensi dan Masalah Khilafiyah

Umumnya kita memahami ajaran Islam terdiri dari wilayah yang merupakan esensi, yaitu berupa rukun iman dan rukun Islam. Di mana bila kita mengingkari rukun-rukun itu atau memahaminya dengan cara yang salah, maka terancam gugur keimanan kita.

Selebihnya, ada wilayah yang memang diberikan keluasan untuk berbeda pendapat. Dan keberagaman paham dan pola ritual ibadah di tengah tubuh umat Islam adalah sebuah keniscayaan. Dan di antara keniscayaan itu termasuk di dalamnya adalah urusan baca Yasin, tahlil dan riwayat Maulid.

Memang harus diakui bahwa masalah yasinan, tahlilan dan maulidan ini memang mencakup wilayah perbedaan pendapat yang sangat ekstrim. Di tengah masyarakat berkembang beberapa pandangan yang berbeda. Ada yang yang mewajibkan, menyunnahkan, memubahkan, memakruhkan hingga yang mengharamkan.

Tentu saja masing-masing pihak datang tidak sekedar dengan kesimpulan akhirnya. Mereka bahkan datang dengan sekian banyak hujjah, istidlal, argumentasi serta latar belakang manhaj fiqihnya.
Ini sangat berbeda bila kita masuk ke wilayah yang esensial, seperti masalah kewajiban shalat, zakat, puasa dan haji. Semua orang sepakat akan kewajiban itu. Juga semua orang sepakat bahwa judi itu haram, berzina juga haram, korupsi juga haram.

Maka kalau ada partai Islam mengajarkan bahwa shalat tidak wajib, puasa tidak wajib, zakat tidak wajib, barulah partai itu munkar. Bila ada partai yang mengaku Islam tapi menghalalkan zina, judi, korupsi atau hal-hal yang sudah disepakati ulama sebagai keharaman, barulah partai itu partai yang jahat dan maksiat.

Tapi ketika yang dipermasalahkan adalah wilayah khilafiyah, kita memang tidak bisa melakukan komplain, karena memang wilayah itu masih abu-abu, setidaknya belum jadi kesepakatan ulama tentang keharamannya.

Maka suka atau tidak suka, itulah realita umat Islam.

Sayangnya, seringkali buat masing-masing pihak, perbedaan pandangan seperti itu terkadang sudah jadi harga mati. Yang satu ngotot dengan anggapannya bahwa perbuatan itu mutlak haram, wajib diberantas, bid''ah, dan bla bla bla.

Dan yang satunya lagi juga ngotot tidak mau mundur barang selangkah pun. Pokoknya kudu tahlil, baca Yasin dan baca Maulid. Mendingan cerai dari pada tidak melakukannya. Mendingan kehilangan mertua dari pada tidak tahlilan.

Bahkan kalau ada seorang calon mantu mau melamar anak pak Haji, ternyata pak Haji kemudian tahu bahwa calon mantunya ternyata tidak tahlilan, anti maulid dan seterusnya, belum apa-apa lamaran sudah ditolak mentah-mentah.

Maka apa yang Anda angkat ini memang ''barang panas'', di mana kalau kita coba iseng mengungkit dan mempermasalahkan hal itu sama saja dengan bikin perkara dengan sesama umat Islam sendiri secara internal.

Insya Allah ke depan selama mentalitas kita masih suka meributkan hal-hal seperti ini, kita masih tetap akan berantem terus tiap hari dengan sesama umat Islam. Ibarat meributkan pepesan kosong, tidak jelas ujungnya, tidak jelas awalnya.

Dan satu hal yang paling mengenaskan, kenyataan bahwa musuh-musuh Islam masih akan sangat terbantu dengan kekurang-cerdasan sikap mental kita ini.

Umat Islam Miskin Produktifitas Hoby Saling Tikam

Di tengah kehancuran dan perpecahan umat yang sudah sangat akut ini, rasanya sangat tidak produktif kalau kita masih saja berkubang dengan urusan khilafiyah yang tidak akan ada garis finishnya.

Sementara umat lain sibuk berproduksi hingga menguasai nyaris seluruh kebutuhan hidup kita, mulai dari makanan, minuman, perkakas dan semua produk kebutuhan hidup kita, kita sendiri ternyata masih saja sibuk cakar-cakaran dengan sesama muslim. Kita sendiri masih asyik berkutat dengan kertas lusuh yang sudah usang dan ketinggalan zaman.

Sementara kekuatan asing datang ke negeri kita dengan niat menjajah dan menjarah kekayaan alam, mulai dari minyak bumi, batu bara, gas alam, hingga urusan sample virus, ternyata kita sedang asyik mengepruk kepala saudara kita sendiri dengan sebongkah batu keashabiyahan, ternyata kita masih saja sibuk menusuk ulu hati dan jantung saudara kita sendiri dengan belati khilafiyah yang karatan.

Sementara jaringan pers yahudi dunia bekerjasama dengan antek-antek mereka di negeri kita mendirikan Gerakan Syahwat Merdeka, ternyata kita sedang asyik menguliti daging saudara kita sendiri untuk dimakan mentah-mentah. Soemanto pun kalah sadis dengan apa yang kita lakukan.

Belajar Menerima Khilafiyah di Tengah Umat

Satu hal yang sekiranya perlu untuk kita pikirkan saat ini adalah bagaimana kita bisa menerima realita bahwa masalah khilafiyah itu memang ada, bukan sekedar diada-adakan.

Keberadaan urusan khilafiyah ini bukan karena adanya hawa nafsu dan berangkat dari kebodohan, sebaliknya justru datang dari kemampuan para ulama dalam mengistimbat hukum syariah.

Sudah bukan zamannya lagi bila kita masih berkutat dengan kebekuan berpikir ala kelompok dan elemen umat. Sudah zamannya sekarang ini kita lebih meningkatkan wawasan dan menjalin dialog yang positif dari keberagaman umat.

Sayang sekali, ternyata mental-mental seperti ini kadang menjadi faktor penghambat dari kebangkitan Islam. Semoga ke depan nanti, kita bisa lebih bisa menerima pluralisme dalam memahami pandangan syariah selama dalam koridor yang tidak melanggar kaidah yang dibenarkan.

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Ahmad Sarwat, Lc
sumber

Mawqiful A’immah minal Khilafiyah (Sikap Para Imam Terhadap Khilafiyah)

Muqadimah

Saat ini kita hidup pada zaman penuh fitnah, di antaranya fitnah iftiraqul ummah (perpecahan umat). Di antara banyak penyebab perpecahan itu adalah perselisihan mereka dalam hal pemahahaman keagamaan. Hanya yang mendapat rahmat dari Allah Ta’ala semata, yang tidak menjadikan khilafiyah furu’iyah (perbedaan cabang) sebagai ajang perpecahan di antara mereka. Namun, yang seperti itu tidak banyak. Kebanyakan umat ini, termasuk didukung oleh sebagian ahli ilmu yang tergelincir dalam bersikap, mereka larut dalam keributan perselisihan fiqih yang berkepanjangan. Mereka tanpa sadar ‘dipermainkan’ oleh emosi dan hawa nafsu. Untuk itulah tulisan ini kami susun. Mudah-mudahan kita bisa meneladani para Imam kaum muslimin, mengetahui kedewasaan mereka, dan sikap bijak dan arif mereka dalam menyikapi perselisihan di antara mereka.

Perlu ditegaskan, yang dimaksud khilafiyah di sini adalah perselisihan fiqih yang termasuk kategori ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan variatif), bukan perselisihan aqidah yang termasuk ikhtilaf tadhadh (perselisihan kontradiktif). Untuk perkara aqidah, hanya satu yang kita yakini sebagai ahlul haq dan firqah an najiyah yakni Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tidak yang lainnya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

Dan seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka” (QS. Hud: 118-119)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Allah mengkabarkan bahwa Dia mampu menjadikan manusia seluruhnya satu umat, baik dalam keimanan atau kekufuran, sebagaimana firmanNya yang lain‘Seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya berimanlah semua manusia di bumi’. Lalu firmanNya ‘tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya perbedaan akan senantiasa terjadi antara manusia, baik tentang agama, keyakinan, millah, madzhab, dan pendapat-pendapat mereka. Berkata Ikrimah,’Mereka berbeda dalam petunjuk’. Berkata Hasan al Bashri, ‘Mereka berbeda dalam hal jatah rezeki, saling memberikan upah satu sama lain’. Yang masyhur dan benar adalah pendapat pertama (pendapat Ikrimah). Dan firman selanjutnya ‘kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya kecuali orang-orang yang dirahmati yang mengikuti rasul-rasul dan berpegang teguh kepada perintah-perintah agama, dan seperti itulah kebiasaan mereka hingga masa penutup para nabi dan rasul, mereka mengikutinya, membenarkannya, dan menjadi pembelanya. Maka beruntunglah dengan kebahagiaan dunia dan akhirat karena mereka adalah Firqah an Najiyah (kelompok yang selamat) sebagaimana yang diisyaratkan dalam sebuah hadits musnad dan sunan dari banyak jalur yang saling menguatkan satu sama lain, ‘Sesungguhnya Yahudi berpecah menjadi 71 golongan, dan Nasrani menjadi 72 golongan, dan umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, semua keneraka kecuali satu golongan’, mereka bertanya ‘Siapa mereka ya Rasulullah?’, rasulullah menjawab, ‘Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya’. Diriwayatkan Al Hakim dalam Mustadraknya dengan tambahan ini.” ( Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Juz 4, hal. 361-362. Cet. 2, 1999M/1240H. Dar At Thayyibah lin Nasyr wat Tauzi’. Al Maktabah Asy Syamilah)

Imam Ibnu Katsir juga memaparkan perbedaan para ulama dalam memaknai firmanNya “untuk itulah Dia menciptakan mereka”. Imam Hasan al Bashri mengatakan untuk perbedaanlah mereka diciptakan. Ada pun Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dan Thawus bin Kaisan mengatakan untuk rahmat-lah mereka diciptakan.

Dalam tafsir At Thabari disebutkan:

قال أبو جعفر : يقول تعالى ذكره: ولو شاء ربك ، يا محمد ، لجعل الناس كلها جماعة واحدة على ملة واحدة ، ودين واحد

حدثنا بشر قال ، حدثنا يزيد قال ، حدثنا سعيد، عن قتادة، قوله:(ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة) ، يقول: لجعلهم مسلمين كلهم.

Berkata Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath Thabari: Allah Ta’ala berfirman: “Dan seandainya Tuhanmu berkehendak, wahai Muhammad, benar-benar seluruh manusia akan dijadikan jamaah yang satu, di atas millah yang satu, dan agama yang satu.

Berkata kepada kami Bisyr, dia berkata, berkata kepada kami Yazid, dia berkata, berkata kepada kami Sa’id, dari Qatadah, tentang firmanNya: “Dan seandainya Tuhanmu bekehendak, manusia benar-benar dijadikan umat yang satu,” dia berkata: Mereka seluruhnya benar-benar dijadikan sebagai muslim. (Imam Abu Ja’far ath Thabari, Jami’ al Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 15, hal. 531. Cet. 1, 2000M/1420H, Mu’asasah ar Risalah. Al Maktabah Asy Syamilah)

Ayat di atas telah dijelaskan oleh para Imam kita bahwa perbedaan di antara manusia adalah hal yang niscaya, bahkan Imam Hasan al Bashri mengatakan untuk itulah mereka diciptakan. Hanya ahlul haq yakni Ahlus Sunnah wal jamaah yang tetap bersatu, perbedaan di antara mereka tidaklah membuat mereka berpecah hati dan bercerai berai barisan. Sedangkan yang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah, namun senantiasa memusuhi saudaranya yang berbeda pemahaman fiqihnya, padahal itu hanyalah khilaf ijtihadiyah belaka, pada hakikatnya bukanlah Ahlus Sunnah.

Dari Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi Wa Sallam bersabda:

مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Barangsiapa di antara kalian yang hidup setelahku, akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian tetap di atas sunnahku, dan sunnah para khulafa’ur rasyidin yang telah mendapat petunjuk dan gigit dengan geraham kalian.” (HR. Sunan Ibnu Majah, Juz. 1, Bab Ittiba’ as Sunnah al Khulafa’ ar Rasyidin al Mahdiyin, hal. 50, no. 43. Musnad Ahmad, Juz. 35, hal. 7, no. 16519. Al Hakim, Mustadrak ‘ Ala ash Shahihain, Juz.1, hal. 321, no. 303)

Hadits ini menunjukkan bahwa perselisihan pasti terjadi. Solusinya adalah tetap pada sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para Khulafa’us Rasyidin Ridhwanullah ‘Alaihim, yakni Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sebenar-benarnya..

Bercermin Kepada Para Imam Ahlus Sunnah

لقد كان الخلاف موجودًا في عصر الأئمة المتبوعين الكبار : أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري والأوزاعي وغيرهم . ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم .

Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran perselisihan itu.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal Qawaid al Ikhtilaf, hal. 32. Mauqi’ Al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)

Kita akan dapati, ternyata para Imam Ahlus Sunnah sangat bijak dalam menyikapi khilafiyah ijtihadiyah, khususnya dalam keragaman amal syariat. Kenyataan ini sangat berbeda dengan sebagian manusia yang sangat ingin mengikuti mereka, tetapi tidak mampu meneladani akhlak mereka. Mencela dan mensesat-sesatkan sesama muslim menjadi pekerjaan tetap mereka, cuma karena perbedaan furu’. Lucunya lagi adalah mereka bukan ulama, hanyalah thalibul ilmi (penuntut ilmu) yang baru duduk di satu majelis –tanpa mau bermajelis dengan yang lain- tetapi sayangnya berperilaku seakan ulama besar dan ahli fatwa. Sungguh, mereka baru di tepian pantai, tapi sayangnya berperilaku bagai penjelajah lautan. Mereka baru dipermukaan, tapi sayangnya bertingkah bagai penyelam ulung. Nasihat bagi mereka selalu ditolak, kecuali hanya dari kelompoknya saja. Sungguh, sebenarnya mereka sangat layak dikasihani ...

Mereka tidak tahu bahwa kesalahan ijtihad tetap dihargai satu pahala oleh syariat, tetapi justru mereka menghargainya dengan tuduhan ‘sesat’, dan ‘bid’ah.’ Mereka menampilkan Islam dengan wajah yang keras, padahal itu adalah pengaruh dari kepribadian mereka sendiri, bukan Islam.

سفيان الثوري، يقول: إنما العلم عندنا الرخص عن الثقة، فإما التشديد فكل إنسان يحسنه

Berkata Imam Sufyan ats Tsauri, “Bagi kami ilmu hanyalah keringanan dari orang yang bisa dipercaya, adapun bersikap keras, maka setiap manusia mana pun bisa melakukannya.” (Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz 3, hal. 133. Al Maktabah Asy Syamilah)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْر

Jika seorang hakim menetapkan hukum dan benar maka baginya dua pahala, dan jika dia menetapkan hukum dan bersungguh-sungguh (ijtihad), kemudian salah maka baginya satu pahala.” (HR. Bukhari, Juz. 22, hal. 335, no. 6805, dari jalur Amr bin al Ash. Muslim, Juz. 9, hal. 114, no. 3240, dari jalur Abu Qais. Sunan Abu Daud, Juz. 9, hal. 464, no. 3103. Sunan At Tirmidzi, Juz. 5, hal. 160, no. 1248, dari jalur Abu Hurairah. Sunan An Nasa’i, Juz. 16, hal. 212, no. 5286, dari jalur Abu Hurairah. Sunan Ibnu Majah, Juz. 7, hal. 103, no. 2305, dari jalur Amr bin al Ash. Musnad Ahmad, Juz. 36, hal. 175, 227, 232, no. 17106, 17148, 17153, dari jalur Amr bin al Ash)

Berkata Dr. Umar bin Abdullah Kamil:

فالاجتهاد إذا كان وفقًا لأصول الاجتهاد ومناهج الاستنباط في علم أصول الفقه يجب عدم الإنكار عليه ، ولا ينكر مجتهد على مجتهد آخر ، ولا ينكر مقلد على مقلد آخر وإلا أدى ذلك إلى فتنة .

Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid (pengekor) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi fitnah.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal Qawaid al Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)

Ya, fitnah dan kekacauan sudah terjadi. Lantaran sikap tidak sopan para muqallidin terhadap adab khilafiyah, dengan cara menyerang pihak lain yang berbeda anutan hasil ijtihad. Padahal mereka hanya pengekor, bukan peneliti.

Pandangan Khalifatur Rasyid Umar bin Abdul ‘Aziz Radhiallahu ‘Anhu

Umar bin Abdul Aziz memiliki pandangan brilian tentang hal ini.

عمر بن عبد العزيز يقول عن اختلاف الصحابة رضي الله عنهم : "ما يسرني أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يختلفوا ، لأنهم لو لم يختلفوا لم يكن لنا رخصة" .

Umar bin Abdul Aziz berkata tentang perbedaan pendapat yang dialami para sahabat, “Tidaklah membahagiakanku kalau para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berbeda pendapat, karena jika mereka tidak berbeda, maka bagi kita tidak ada rukhshah (keringanan/kemudahan).” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Ibid, ,hal. 38. Mauqi’ Al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)

Dalam Majmu’ al Fatawa-nya Imam Ibnu Taimiyah, ucapan Umar bin Abdul Aziz agak lebih panjang, yakni ada tambahan:

لِأَنَّهُمْ إذَا اجْتَمَعُوا عَلَى قَوْلٍ فَخَالَفَهُمْ رَجُلٌ كَانَ ضَالًّا وَإِذَا اخْتَلَفُوا فَأَخَذَ رَجُلٌ بِقَوْلِ هَذَا وَرَجُلٌ بِقَوْلِ هَذَا كَانَ فِي الْأَمْرِ سَعَةٌ

Karena mereka jika bersepakat atas suatu pendapat, maka orang yang berbeda dengan mereka akan tersesat. Jika mereka berbeda pendpat, maka ada orang yang mengambil pendapat ini, ada orang lain yang mengambil pendapat yang lain. Ini adalah urusan yang sangat luas.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz. 7, hal. 250. Al Maktabah Asy Syamilah)

Ya, jika para sahabat selalu sepakat dalam segala hal, maka tidak tersisa peluang bagi generasi selanjutnya untuk berfikir sesuai zamannya. Sebab, mereka adalah teladan, namun kita akan kesulitan jika harus sama dengan mereka dalam segala hal. Dengan adanya perbedaan di antara sahabat, maka mereka telah menanamkan dan mencontohkan pemikiran dinamis bagi generasi selanjutnya.

Pandangan Imam Sufyan ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu

Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan ats Tsauri, sebagai berikut:

سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.

Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz. 3, hal. 133. Al Maktabah Asy Syamilah)

Pandangan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu

Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.” .(Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, Mu’tamar Khamis, hal. 187. Al Maktabah At Taufiqiyah)

Pandangan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu

Dalam kitab Al Adab Asy Syar’iyyah:

وقد قال أحمد في رواية المروذي لا ينبغي للفقيه أن يحمل الناس على مذهبه .

ولا يشدد عليهم وقال مهنا سمعت أحمد يقول من أراد أن يشرب هذا النبيذ يتبع فيه شرب من شربه فليشربه وحده .

Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayat Al Maruzi, tidak seharusnya seorang ahli fiqih membebani manusia untuk mengikuti madzhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka. Berkata Muhanna, aku mendengar Ahmad berkata, ‘Barangsiapa yang mau minum nabidz (air perasan anggur) ini, karena mengikuti imam yang membolehkan meminumnya, maka hendaknya dia meminumnya sendiri.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz 1, hal. 212. Al Maktabah Asy Syamilah)

Para ulama beda pendapat tentang halal-haramnya air perasan anggur, namun Imam Ahmad menganjurkan bagi orang yang meminumnya, untuk tidak mengajak orang lain. Ini artinya Imam Ahmad bersikap, bahwa tidak boleh orang yang berpendapat halal, mengajak-ngajak orang yang berpendapat haram.

Pandangan Imam An Nawawi Rahimahullah

Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:

وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ

Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Syarah an Nawawi ‘ala Muslim, Juz 1, hal. 131, pembahasan hadits no. 70, ‘Man Ra’a minkum munkaran …..’ Al Maktabah Asy Syamilah)

Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir.

Pandangan Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah

Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:

الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ " لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285. Al Maktabah Asy Syamilah)

Pandangan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Dia adalah imam yang sangat keras terhadap bid’ah, khurafat, dan syirik. Namun, ia sangat bijak terhadap perselisihan fiqih. Beliau berkata:

وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ إنَّمَا النِّزَاعُ بَيْنَهُمْ فِي اسْتِحْبَابِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ وَسُجُودِ السَّهْوِ لِتَرْكِهِ أَوْ فِعْلِهِ وَإِلَّا فَعَامَّتُهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى صِحَّةِ صَلَاةِ مَنْ تَرَكَ الْقُنُوتَ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبِ وَكَذَلِكَ مَنْ فَعَلَهُ

Demikian juga qunut subuh, sesungguhnya perselisihan di antara mereka hanyalah pada istihbab-nya (disukai) atau makruh (dibenci). Begitu pula sujud sahwi karena meninggalkannya atau melakukannya, jika pun tidak, maka kebanyakan mereka sepakat atas sahnya shalat yang meninggalkan qunut, karena itu bukanlah wajib. Demikian juga orang yang melakukannya (qunut, maka tetap sah shalatnya –pen).” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz. 5, hal. 185. Mauqi’ al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)

Inilah bijaknya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, walau di akhir pembahasannya ia menguatkan pendapat TIDAK BERQUNUT, tetapi dia tidak mencap sesat atau marah-marah dengan yang melakukannya. Bahkan, beliau tidak mengatakannya bid’ah sebagaimana yang biasa dikira sebagian orang terhadapnya. Memang, kalangan hanafiyah membid’ahkannya.

Di kitabnya yang sama, dalam tema Kesatuan Milah dan Keragaman Syariat ia berkata:

Pokok-pokok dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ adalah seperti kedudukan agama yang dimiliki oleh para nabi. Tidak seorangpun yang boleh keluar darinya, dan barangsiapa yg masuk ke dalamnya maka ia tergolong kepada ahli Islam yg murni dan mereka adalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun bervariasinya amal dan perkataan dalam syariat adalah seperti keragaman syariat diantara masing-masing Nabi. Perbedaan ini terkadang bisa pada perkara yang wajib, terkadang bisa juga pada perkara yg sunnah.

Beliau Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya masalah-masalah rinci dalam perkara ushul tidak mungkin disatukan di antara kelompok orang. Karena bila demikian halny tentu tidak mungkin para sahabat, tabi’in, dan kaum salaf berselisih.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz 6, hal. 56)

Katanya lagi: “Ketika perluasan aktifitas dan penganekaragaman furu’nya semakin dituntut maka sebagai akibatnya adalah munculnya perselisihan pendapat sesuai yang cocok jiwa masing-masing pembelanya.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz. 6, hal. 58)

Ia juga berkata: “Adapun manusia yang cenderung kepada pendapat salah seorang imam atau syaikh sesuai ijtihadnya. Sebagaimana perbedaan mana yang lebih afdhal antara adzan dengan tidak adzan, dalam qamat ifrad (dibaca sekali) atau itsna (dibaca dua kali), shalat fajar itu di akhir malam atau di saat fajar, qunut subuh atau tidak, bismillah dikeraskan atau dipelankan, dan seterusnya, adalah merupakan masalah ijtihadiyah yang juga diperselisihkan para imam-imam salaf. Dan masing-masing mereka menetapkan keputusan ijtihad yang lain.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20. hal. 292)

Beliau juga berkata: “Ijtihad para ulama dalam masalah hokum itu seperti ijtihadnya orang yang menentukan arah kiblat. Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap kea rah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan shalat yang tepat mengahdap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20, hal. 224)

Lihat! Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad bisa jadi benar semua, yang ada adalah yang benar dan lebih benar, mafdhul (tidak utama) dan afdhal (tidak utama). Ya, sangat berbeda antara beliau dengan orang yang mengaku-ngaku mengikuti madrasah pemikiran beliau. Tenggang rasa Ibnu Taimiyah tidak berhasil diikuti oleh orang-orang keras yang mengaku mengikutinya, yang selalu memaksakan pendapatnya kepada orang lain..

Dia juga berkata: “Sedangkan perkataan dan amal yang tidak diketahui secara pasti (qath’i) bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, namun termasuk lingkup perbincangan ijtihad para ahli ilmu dan iman, bisa jadi dianggap qath’i oleh sebagian yang lain yang telah mendapat cahaya petunjuk dari Allah Ta’ala. Namun demikian dia tidak boleh memaksakan pendapatnya itu kepada orang lain yang belum mendapatkan apa yang dia inginkan itu.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz,1. hal. 383-384)

Jadi, setelah anda mengakui satu pendapat fiqih yang benar, maka peganglah baik-baik, namun jangan paksakan kepada orang lain. Karena masalah ini sangat luas dan lentur terjadi perbedaan:

Sesungguhnya perbedaan mengenai dalalah lafal dan penetapan salah satunya itu bagaikan samudera yang luas.” (Imam Ibnu Taimiyah, Raf’ul Malam, hal. 25)

Imam Hasan al Banna Rahimahullah

Al Ustadz Hasan al Banna mengomentari perselisihan fiqih dalam umat Islam,:“Dalam hal ini, kami meyakini bahwa perselisihan dalam cabang (furu’) agama adalah hal yang niscaya, tidak mungkin kita bisa menyatukan pandangan dan madzhab dalam masalah furu’, disebabkan beberapa hal:

Di antaranya adalah perbedaan kemampuan akal dalam mengistimbath dan dalam memahami dalalah hadits. Dan juga perbedaan dalam kemampuan menyelami makna dan hubungan antara hakikat satu dengan yang lainnya.

Juga perbedaan wawasan keilmuan. Seseorang memiliki wawasn yang tidak dimiliki orang lain. Berkata Imam Malik kepada Abu Ja’far: Sesungguhnya sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar tempatnya. Masing-masing kaum memiliki ahli ilmu. Karena itu, jika dipaksakan dengan satu pendapat maka akn timbul fitnah.

Juga perbedaan lingkungan. Hal ini menjadikan praktek hukum di satu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Kita lihat bagaimana Imam Asy Syafi’i berfatwa dengan qaul qadim di Irak, ketika pindah ke Mesir beliau berfatwa dengan qaul jadid. Masing-masing fatwa itu disampaikan berdasarkan pada apa yang mereka ketahui sampai saat fatwa itu dikeluarkan.

Hal lain adalah perbedaan kepuasan terhadap suatu riwayat hadits ketika diterima. Kita kadang mendapatkan suatu hadits dianggap tsiqah oleh seorang imam dan dia merasa puas dengannya sementara yang lain tidak melihat demikian karena sebab-sebab yang dia ketahui.

Bisa juga karena perbedaan dalam menakar kadar dalalah. Misalnya, yang satu mengatakan perbuatan orang didahulukan atas khabar ahad, sementara yang lain tidak mengatakan demikian, dan demikian seterusnya.” (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, Bab Da’watuna, hal. 25-26. Al Maktabah at Taufiqiyah)

Bahwa sebab-sebab itu membuat kita berkeyakinan bahwa upaya penyatuan dalam masalah furu’ adalah pekerjaan mustahil, bahkan bertentangan dengan tabiat agama ini. Allah menghendaki agar agama ini tetap terjaga dan abadi, dan dpat mengiringi kemajuan zaman. Untuk itu agama ini harus muncul dalam warna yang mudah, fleksibel dan lentur, tidak jumud atau keras.” (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Idem, hal. 26)

Dalam kesempatan lain beliau berkata:

Adapun mengenai penghindaran Ikhwan dari khilaf masalah fiqih, karena Ikhwan meyakini bahwa khilaf dalam masalah furu’ merupakan masalah yang mesti terjadi. Hal itu karena dasar-dasar Islam dibangun dari ayat-ayat, hadits-hadits dan amal, yang kadang difahami beragam oleh banyak pikiran. Karena itu, maka perbedaan pendapat tetap terjadi pada masa sahabat dulu. Kini masih terjadi dan akan terus terjadi sampai hari kiamat. Alangkah bijaknya Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala “Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.

Bukanlah aib dan cela manakala kita berbeda pendapat. Tetapi yang aib dan cela adalah sikap fanatik (ta’ashub) dengan satu pendapat saja dan membatasi ruang lingkup berpikir manusia. Menyikapi khilafiyah seperti inilah yang akan menghimpun hati yang bercerai berai kepada satu pemikiran. Cukuplah manusia itu terhimpun atas sesuatu yang menjadikan seorang muslim adalah muslim, seperti yang dikatakan oleh Zaid Radhiallahu ‘Anhu. (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Ibid, Mu’tamar Khamis, hal. 187)

Demikian. Kami kira pandangan jernih dari para imam ini sudah cukup mengajarkan kita agar dewasa, elegan, dan bijak dalam menghadapi khilafiyah fiqhiyah. Para imam adalah pemandu kita, kalau bukan mengikuti mereka, siapa lagi yang kita ikuti. Emosi dan hawa nafsu?

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

Oleh: Farid Nu’man
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/11