Showing posts with label Sunnah. Show all posts
Showing posts with label Sunnah. Show all posts

Melazimi Sunnah Rasulullah


Melaksanakan sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam sangat penting bagi kehidupan seorang muslim, baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Sunnah Nabi adalah apa-apa yang berasal dari Nabi Shalallahu’alaihi wa Salam berupa ucapan, perbuatan atau pengesahannya.

Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata, “Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah (Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam), karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia)”

Arti “menghidupkan sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam” adalah memahami petunjuk Beliau, mengamalkan dan menyebarkannya di kalangan manusia, serta menganjurkan orang lain untuk mengikutinya dan melarang dari menyelisihinya.

Orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu 

(1) keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan 
(2) keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.

Mengamalkannya wajib, sebagaimana  mengamalkan Al-Qur’an. Hanya saja, orang yang hendak berargumen dengan Al-Qur’an hanya membutuhkan satu wawasan saja, sedang orang yang hendak berargumen dengan Sunnah membutuhkan dua wawasan:

Adapun Al-Qur’an, orang yang hendak berargumen dengannya harus memperhatikan indikasi nash atas hukum yang dia perkuat dengan nash tersebut. Tidak syak bahwa manusia banyak sekali berselisih dalam hal ini sesuai dengan kadar keilmuan dan pemahaman mereka.

Orang-orang berselisih dalam memahami indikasi Al-Qur’anul Karim, sesuai kadar ilmu dan faham mereka, dan sesuai kadar keimanan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pengagungan mereka terhadap batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun orang yang hendak berargumen dengan Sunnah harus melakukan dua penelitian.

Pertama: meneliti keotentikan sebuah hadits dari Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam; karena Sunnah banyak disusupi oleh hadits-hadits lemah dan palsu, sehingga orang yang hendak berargumen dengannya perlu meneliti keabsahan dan keotentikannya dari Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam. Karena itulah para ulama –semoga dirahmati oleh Allah- menyusun kitab-kitab  biografi para periwayat hadits dan mereka juga menyusun ilmu musthalah hadits untuk membedakan antara Sunnah yang shahih dengan riwayat yang memiliki cacat.

Kedua: seperti wawasan terhadap Al-Qur’an di atas, yaitu (memperhatikan) indikasi nash atas hukum yang dia perkuat dengan nash tersebut. Dan manusia banyak sekali berbeda pendapat dalam hal ini, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman kepada Nabi-Nya:

Dan Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu. (An-Nisaa’:113).

Mayoritas para ulama menafsirkan hikmah sebagai Sunnah. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan (manusia) untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, Allah Ta’ala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya). (An-Nisaa’:59).

Dan perintah untuk mentaati Rasul mengandung konsekuensi bahwa Sunnah beliau menjadi dalil syar’i yang wajib diamalkan.

Dan Allah Ta’aala berfirman:

Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.(Al-Jin:23).

Tetapnya ancaman bagi orang yang menyelisihi Rasul Shalallahu’alaihi wa Salam mengindikasikan bahwa sunnah beliau adalah hujjah (argument) yang wajib diterima layaknya Al-Qur’an.

Dan Allah Ta’aala berfirman:

Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah. (Al-Hasyr:7).

Hal ini –meski sebab turunnya berkaitan dengan harta fai’ sesungguhnya harta fai’ (harta rampasan perang yang diperoleh dari musuh tanpa terjadi pertempuran) dibagi berdasarkan ijtihad Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam, jika kita diwajibkan untuk menerimanya, maka hukum-hukum syar’i lainnya lebih wajib untuk diterima.

Allah Ta’aala berfirman:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab:21).

Meneladani Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam mencakup apa-apa yang diperbuat oleh Nabi Shalallahu’alaihi wa Salam sesuai konsekuensi yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an, dan juga apa-apa yang diperbuatnya dalam hal-hal yang beliau syari’atkan.

Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam telah mengumumkan dalam khutbah Jumatnya:

“Adapun selanjutnya, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dalam Al-Mukaddimah)

Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam telah memberikan motivasi untuk tetap konsisten dengan Sunnahnya, beliau bersabda:

“Berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin, gigitlah ia dengan gerahammu.” ( Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Kitabul Ilmi, Bab Maa jaa-a fil akhdzi bis sunnah, no. 2676).

Akhirnya, marilah kita senantiasa mengikuti wasiat Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam untuk berpegang teguh di atas jalannya. Begitupula wasiat beliau untuk berhati-hati terhadap kerusakan yang sangat berbahaya, yaitu bid’ah serta orang-orang yang mengajaknya. Karena hal itu akan menjauhkan kita dari agama yang mulia.


Dikutip dari buku Faedah Melazimi Sunnah
Penulis Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Penerbit : Pustaka At-Tibyan
__________

Keutamaan Menghidupkan Sunnah Rasul

Dari ‘Amr bin ‘Auf bin Zaid al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena itu, Imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini dalam kitab “Sunan Ibnu Majah” pada Bab: “(Keutamaan) orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia)”[2].

Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata, “Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia)”[3].

Faidah-faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

- Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam[4], yang ditujukan sebagai syariat bagi umat Islam[5].

- Arti “menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” adalah memahami petunjuk Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan dan menyebarkannya di kalangan manusia, serta menganjurkan orang lain untuk mengikutinya dan melarang dari menyelisihinya[6].

- Orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu [1] keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan [2] keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.

Syaikh Muhammad bih Shaleh al-’Utsaimin -rahimahullah- berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakin kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah di kalangan manusia”[7].

- Allah Ta’ala memuji semua perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menamakannya sebagai “teladan yang baik“, dalam firman-Nya,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).

Ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala[8].

- Ayat ini juga mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata, “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“[9].

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA

Artikel www.muslim.or.id
[1] HR Ibnu Majah (no. 209), pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, oleh karena itu syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih Ibnu Majah” (no. 173).
[2] Kitab “Sunan Ibnu Majah” (1/75).
[3] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/168).
[4] Lihat kitab “Taujiihun nazhar ila ushuulil atsar” (1/40).
[5] Lihat muqaddimah kitab “al-Haditsu hujjatun binafsihi fil ‘aqa-idi wal ahkaam” (hal. 13).
[6] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/9) dan “Syarhu sunan Ibni Majah” (hal. 19).
[7] Kitab “Manaasikul hajji wal ‘umrah” (hal. 92).
[8] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).
[9] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).

http://muslim.or.id/hadits/keutamaan-menghidupkan-sunnah-rasul.html