Showing posts with label Syukur. Show all posts
Showing posts with label Syukur. Show all posts

Memahami Syukur

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah beliau sampai hari kiamat.

Kaum muslimin yang kami muliakan, sesungguhnya segala kebaikan dan kenikmatan yang ada pada kita adalah karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ (53)
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl: 53)

Betapa melimpahnya kenikmatan yang Allah Ta’ala berikan kepada kita, yang tidak terhingga jumlahnya. Allah memberikan kita kehidupan, kesehatan, makanan, minuman, pakaian dan begitu banyak nikmat yang lainnya. Jika kita berusaha menghitung nikmat yang Allah karuniakan kepada kita, niscaya kita tidak akan mampu menghitungnya. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا (18)
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (QS. An-Nahl: 18).

Kebaikan Yang Hakiki Hanya Ada Pada Seorang Mukmin

Kaum muslimin yang kami muliakan, seorang muslim sejati tidak pernah terlepas dari tiga keadaan yang merupakan tanda kebahagiaan baginya, yaitu bila dia mendapat nikmat maka dia bersyukur, bila mendapat kesusahan maka dia bersabar, dan bila berbuat dosa maka dia beristighfar. (Qowa’idul Arba’, hal. 01)
Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Bagaimanapun keadaannya, dia tetap masih bisa meraih pahala yang banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu).

Kelapangan Hidup Merupakan Bagian Dari Ujian

Merupakan sunnatullah bahwasanya Allah Ta’ala telah menentukan ujian dan cobaan bagi para hamba-Nya. Mereka akan diuji dengan berbagai macam ujian, baik dengan sesuatu yang disenangi oleh jiwa berupa kemudahan dalam hidup atau kelapangan rizki, dan juga akan diuji dengan perkara yang tidak mereka sukai, berupa kemiskinan, kesulitan, musibah atau yang lainnya.

Allah Ta’ala berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ (35)
“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)

‘Abdullah ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Maksudnya, Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan maksiat, serta petunjuk dan kesesatan. (Tafsiir ath-Thabari, IX/26, no. 24588).

Inilah sunnatullah yang berlaku pada para hamba-Nya. Oleh karena itulah, kita melihat manusia ini berbeda kondisi kehidupannya. Ada yang hidup dengan harta yang melimpah, fasilitas dan kedudukan. Ada juga yang ditakdirkan hidup sederhana lagi pas-pasan. Bahkan ada juga yang hidup fakir miskin dan tidak punya apa-apa.

Segala nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah ujian bagi kita, apakah kita akan menjadi hamba-Nya yang bersyukur ataukah menjadi orang yang kufur. Sungguh benar apa yang diucapkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihis salam tatkala mendapatkan nikmat, beliau mengatakan

هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْ لِيَبْلُوَنِيْ أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ (40)
“Ini termasuk karunia dari Rabb-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur ataukah mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabb-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40).

Syukur Adalah Sifat Mulia Para Nabi

Sesungguhnya para nabi dan rasul ‘alaihimush sholatu was salam adalah manusia pilihan Rabb semesta alam, yang diutus ke dunia sebagai suri tauladan bagi umatnya. Mereka adalah manusia terdepan dalam setiap amal kebajikan. Salah satu sifat yang sangat menonjol pada mereka adalah senantiasa bersyukur terhadap nikmat yang telah Allah limpahkan pada mereka. Allah Ta’ala banyak menceritakan keutamaan mereka dalam al-Qur’an sebagai teladan bagi kita. Allah ‘Azza wa Jalla menyanjung Nabi Nuh ‘alaihis salam dengan firman-Nya:

إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُوْرًا (3)
“Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. Isra’: 3)

Al-Bukhari dan Muslim menceritakan di dalam kitab Shahih-nya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun shalat malam hingga kedua kaki beliau bengkak. Lalu istri beliau, yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, ”Mengapa Anda melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang dulu maupun yang akan datang?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا
”Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4837 dan Muslim, no. 2820)

Hakikat Syukur

Syukur adalah akhlaq yang mulia, yang muncul karena kecintaan dan keridho’an yang besar terhadap Sang Pemberi Nikmat. Syukur tidak akan mungkin bisa terwujud jika tidak diawali dengan keridho’an. Seseorang yang diberikan nikmat oleh Allah walaupun sedikit, tidak mungkin akan bersyukur kalau tidak ada keridho’an. Orang yang mendapatkan penghasilan yang sedikit, hasil panen yang minim atau pendapatan yang pas-pasan, tidak akan bisa bersyukur jika tidak ada keridho’an. Demikian pula orang yang diberi kelancaran rizki dan harta yang melimpah, akan terus merasa kurang dan tidak akan bersyukur jika tidak diiringi keridho’an.

Kaum muslimin yang kami muliakan, syukur yang sebenarnya tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan “alhamdulillah”. Namun hendaknya seorang hamba bersyukur dengan hati, lisan dan anggota badannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, “Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan. (Minhajul Qosidin, hal. 305)

Adapun tugasnya hati dalam bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah

Pertama : Mengakui dan meyakini bahwa nikmat tersebut semata-mata datangnya dari Allah Ta’ala dan bukan dari selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl: 53). Meskipun bisa jadi kita mendapatkan nikmat itu melalui teman kita, aktivitas jual beli, bekerja atau yang lainnya, semuanya itu adalah hanyalah perantara untuk mendapatkan nikmat.  

Kedua : Mencintai Allah Ta’ala yang telah memberikan semua nikmat itu kepada kita.  

Ketiga : Meniatkan untuk menggunakan nikmat itu di jalan yang Allah ridhai.

Adapun tugasnya lisan adalah memuji dan menyanjung Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut pada kita. Sementara tugasnya anggota badan adalah menggunakan nikmat tersebut untuk mentaati Dzat yang kita syukuri (yaitu Allah Ta’ala) dan menahan diri agar jangan menggunakan kenikmatan itu untuk bermaksiat kepada-Nya.

Semoga Allah Ta’ala memberikan pertolongan-Nya kepada kita untuk mensyukuri nikmat-Nya dan menjadikan kita hamba-Nya yang pandai bersyukur.

Penulis: dr. Muhaimin Ashuri
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar, MA
Artikel www.muslim.or.id

http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/memahami-syukur.html

Nikmat Syukur






dahsyatnya-sedekah Syukur adalah memuji sang pemberi nikmat atas kebaikan yang telah ia kuasakan kepada anda.
Syukur seorang hamba itu terdiri atas tiga rukun – dan ketiga-tiganya harus ada. Yaitu;
  1. Secara batin mengakui nikmat.
  2. Secara lahir membicarakannya.
  3. Menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepad Allah‘Azza wa Jalla.
Jadi, syukur itu berkaitan dengan hati, lisan dan anggota badan sekaligus. Hati untuk ma’rifal dan mahabbah. Lisan untuk memuji. Anggota badan untuk menggunakannya dalam menaati Allah dan mencegah dari bermaksiat kepada-Nya.

Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebut syukur dan iman secara beruntun. Dia menyatakan, tidaklah perlu mengadzab makhluk, jika mereka bersyukur dan beriman.

مَايَفْعَلُ اللهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَءَامَنتُمْ

“Mengapa Allah mengadzab kalian, jika kalian bersyukur dan beriman.” (Qs. An-Nisa: 147)
Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan bahwa di antara hamba-hamba-Nya, yang berhak atas karunia-Nya adalah mereka yang pandai bersyukur.

وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلآءِ مَنَّ اللهُ عَلَيْهِم مِّن بَيْنِنَآ أَلَيْسَ اللهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ

Dan demikianlah Kami uji sebagian mereka dengan yang lain, supaya mereka berkata, ‘Apakah mereka orang-orang yang diberi karunia oleh Allah di antara kami?’ Bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Al-An’am: 53)

Allah ‘Azza wa Jalla membagi manusia menjadi dua; syakuur (yang bersyukur) dan kaafuur (yang kufur). Hal yang paling dimurkai oleh-Nya adalah kekafiran dan orang-orang kafir. Sedangkan, hal yang paling dicintai oleh-Nya adalah kesyukuran dan orang-orang yang pandai bersyukur.

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

“Sungguh telah Kami tunjukkan kepadanya jalan itu. Adakalanya ia bersyukur dan adakalanya ia kufur.” (Qs. Al-Insan: 3)

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan ingatlah ketika Rabb-mu memberitahukan, jika kalian bersyukur niscaya Aku akan tambah bagi kalian. Dan jika kalian kufur, sesungguhnya adzab-Ku itu amatlah berat.” (Qs. Ibrahim: 7)

Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan tambahan (rezeki), tergantung kepada kesyukuran. Dan tambahan dari-Nya adalah tambahan yang tiada batas, sebagaimana syukur itu sendiri juga tiada batas. Allah ‘Azza wa Jalla juga menjadikan banyak pahala bergantung kepada kehendak-Nya. Seperti,

فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ إِن شَآءَ

“Maka, pastilah Allah akan menjadikan kalian kaya dengan karunia-Nya, jika Dia menghendaki.” (Qs. At-Taubah: 28)

وَيَغْفِرُ لِمَن يَشَآءُ

“Dan Allah memberikan ampunan bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” (Qs. Al-Maidah: 40)

وَيَتُوبَ اللهُ عَلَى مَن يَشَآءُ

“Dan Allah menerima taubat dari siapa saja yang Dia kehendaki.” (Qs. At-Taubah: 15)
Allah ‘Azza wa Jallamenjadikan balasan syukur tanpa pembatasan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ

“Dan Kami akan membalas orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Ali-Imran: 145)

Tatkala Iblis mengerti nilai syukur sebagai kedudukan tertinggi dan termulia, maka ia pun mencanangkan tujuan akhirnya, yaitu menjauhkan manusia dari bersyukur.

ثُمَّ لاَتِيَنَّهُم مِّنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَآئِلِهِمْ وَلاَتَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Lalu aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari samping kanan, dan dari samping kiri. Sehingga Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Qs. Al-Araf: 17)

Allah ‘Azza wa Jalla pun menyebutkan bahwa orang-orang yang bersyukur itu sedikit.

وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Dan sedikit saja dari hamba-hambKu yang pandai bersyukur.” (Qs. Saba’: 13)

Termuat dalam Shahih Bukhari dan, bahwa Nabi bangun malam sampai pecah-pecah kedua (telapak) kaki beliau. Ditanyakan kepada beliau, “Engkau melakukan semua ini, padahal Allah telah mengampuni semua dosamu baik yang sudah maupun yang akan berlalu?” Beliau menjawab, “Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kepada Mu’adz Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَ اللهِ إِنِّي لأُحِبُّكَ فَلاَ تَنْسَ أَنْ تَقُوْلَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ: اللّهُمَّ أَعِنِّي عَلي ذِكْرِكَ ,َشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka, di setiap penghujung shalat janganlah kamu lupa membaca (artinya), ‘Ya Allah, tolonglah aku agar selalu ingat kepada-Mu, mensyukuri-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.’” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Adz-Dzahabi)

Syukur adalah pengikat nikmat dan penyebab bertambahnya nikmat tersebut. Umar bin Abdul Aziz berkata, “Ikatlah nikmat-nikmat Allah ‘Azza wa Jalla dengan bersyukur kepada-Nya.”

Ibnu Abu Dunya meriwayatkan, kepada seorang laki-laki dari Hamadzan, Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya nikmat itu berhubungan dengan syukur. Sedangkan syukur itu berkaitan dengan maziid (penambahan nikmat). Keduanya tidak bisa dipisahkan. Maka mazid dari Allah tidak akan terputus sampai terputusnya syukur dari hamba”.

Hasan Al-Bashri berujar, “Perbanyaklah menyebut nikmat-nikmat Allah. Sesungguhnya itu adalah kesyukuran. Allah telah memerintahkan Nabi-Nya untuk menceritakan nikmat Rabbnya. Dia berfirman:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan adapun tentang nikmat Rabb-mu, maka ceritakanlah!” (Qs. Adh-Dhuha: 11)
Allah‘Azza wa Jalla menyukai terlihatnya bekas-bekas nikmat-Nya kepada seorang hamba. Itu adalah syukur dalam wujud perbuatan.

Adalah Abu Al-Mughirah, jika ditanya tentang kabarnya, menjawab, “Pagi ini, kita tenggelam di dalam nikmat, tetapi lemah di dalam bersyukur. Rabb kita menampakkan cinta-Nya kepada kita, padahal Dia tidak membutuhkan kita. Sedangkan kita menampakkan kebencian kepada-Nya, padahal kita sangat membutuhkan-Nya.”

Syuraih berujar, “Setiap kali seorang hamba ditimpa suatu musibah, pasti di sana ada tiga nikmat Allah ‘Azza wa Jalla. Musibah itu tidak berkenaan dengan diin-nya, musibah itu tidak lebih berat daripada yang terjadi, dan musibah itu pasti akan terjadi lalu telah terjadi.”

Yunus bin Ubaid menceritakan seseorang telah bertanya kepada Abu Ghanimah, “Bagaimana keadaanmu?” Ia menjawab, “Pagi ini aku dalam keadaan mendapat dua nikmat yang aku tidak tahu mana yang lebih baik. Yaitu dosa-dosa yang Allah tutupi sehingga tidak ada seorang pun yang mampu menelanjangiku karenanya, serta kecintaan yang Allah semaikan di dalam hati manusia yang tidak akan mampu dicapai oleh amal-amaku.”

Dalam mengomentari ayat:

سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لاَيَعْلَمُونَ

“Akan Kami beri istidraaj (ujian) kepada mereka dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Qs. Al-A’raf: 182)

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Mereka diliputi oleh kenikmatan dan terhalangi dari bersyukur.” Banyak juga yang menafsirkan, “Setiap kali mereka berbuat dosa, setiap kali itu pula mereka diberi nikmat.”
Seseorang bertanya kepada Abu Hazim. “Apakah syukurnya dua mata itu, wahai Abu Hazim?” Ia menjawab, “Jika kamu melihat kebaikan sebarkanlah, dan jika kamu melihat keburukan tutupilah!”
Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya dua telinga?” Abu Hazim menjawab, “Jika kamu mendengar kebaikan peliharalah, dan jika kamu mendengar keburukan cegahlah!”

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya dua tangan?” Abu Hazim menjawab, “Jangan kamu gunakan ia untuk mengambil barang yang bukan haknya! Juga penuhilah hak Allah yang ada pada keduanya!”
Orang itu bertanya lagi, “Lalu bagaimana syukurnya perut?” Abu Hazim menjawab, “Hendaknya makanan ada di bagian bawah, sedangkan yang atas dipenuhi dengan ilmu!”

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya kemaluan?” ia menjawab dengan membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ 5. إِلاَّعَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْمَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ 6. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَآءَ ذَلِكَ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ .7

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka. Kecuali kepada istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Maka mereka tidaklah tercela. Dan barangsiapa mencari selain itu semua, merekalah orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. Al-Mukminun: 5-7)

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya dua kaki?” Ia menjawab, “Jika kamu melihat seseorang yang shalih meninggal, segera teladani amalannya. Dan jika mayit itu orang yang tidak baik, segera jauhi amal-amal yang dia kerjakan, kamu bersyukur kepada Allah! Sesungguhnya orang yang hanya bersyukur dengan lisannya itu seperti seseorang yang memiliki pakaian tetapi ia hanya memegang ujungnya, tidak memakainya. Maka ia pun tidak terlindungi dari panas, dingin, salju dan hujan.”

Beberapa ulama menulis surat kepada saudaranya. “Pagi ini kami diberi nikmat oleh Allah yang tidak terhingga, padahal kami banyak bermaksiat kepadanya. Kami tidak tahu terhadap yang mana kami harus bersyukur; terhadap keindahan yang dimudahkan ataukah terhadap dosa-dosa yang ditutupi?”

Sumber: Tazkiyatun Nafs, Ibnu Rajab al-Hambali, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Imam al-Ghazali, Pustaka Arafah

Dipublikasikan oleh: www.pengusahamuslim.com

Syukur


Sebagai seorang pembantu rumah tangga, Fulanah, tetangga saya, hanya bergaji tak lebih dari 250 ribu rupiah perbulan. Suaminya hanyalah pekerja serabutan. Penghasilannya pun otomatis tak karuan. Apalagi ia lebih sering menganggur daripada dapat pekerjaan. Dengan dua anak (satu duduk di SMP kelas dua dan satu lagi di SD kelas satu), dengan menggunakan model perhitungan apapun, penghasilan kedua pasangan muda ini jelas jauh dari cukup untuk hidup sebulan. Yang menakjubkan, sepertinya tak sesaat pun Fulanah tampak berkeluh-kesah, apalagi kelihatan sering gelisah. Saat istri saya bertanya, apakah penghasilannya sebesar itu cukup, sementara suaminya pun sering menganggur? Sambil tersenyum ia menjawab, “Kalau itu mahgak usah ditanya, Bu. Siapapun akan mengatakan uang sebesar itu gak akan cukup untuk sebuah keluarga dengan dua anak seperti saya.”

“Tapi, kok, Bibi kelihatannya gak pernah ngeluh. Kelihatannya selalu riang, seperti gakpernah punya masalah dengan keuangan,” jawab istri saya.

“Alhamdulillah. Allah memang Maha Pemurah. Di gubuk kami yang kecil dan sederhana itu, kami memang tidak punya apa-apa. Namun, sampai hari ini keluarga kami tak pernah sampai kelaparan. Kami juga jarang sakit, selalu sehat. Itulah yang menjadikan kami selalu bersyukur, tak pernah mengeluh. Bagi kami, sehat adalah nikmat yang sangat luar biasa, selain nikmat iman,” jawab perempuan berkerudung itu tegas dan tulus, tak sedikit pun menyiratkan kepura-puraan.

Sebelum istri saya sempat berkata-kata, ia melanjutkan, “Bahkan kalaupun kita sering lapar atau sakit, ditambah lagi kita sering tak punya uang, kita tetap wajib bersyukur. Iya, kan, Bu? Sebab, sebetulnya kita masih punya nikmat yang lain, yakni nikmat hidup. Kita masih bisa bernafas. Nafas itu kan mahal ya, Bu. Coba saja, nafas Ibu disewa, 10 menit saja, seharga Rp 1 miliar, pasti Ibu gak akan kasih, kan? Sepuluh menit tak bernafas bisa mati, kan, Bu,” tegasnya lagi seolah menyakinkan.

Istri saya termangu. Saya pun—yang diam-diam mendengarkan obrolan istri saya dengan pembantu itu—tertegun, takjub.

*****

Saya teringat kembali sebuah tulisan menarik di internet tentang udara yang dihirup oleh setiap manusia. Penulisnya, Syaefuddin, seorang asisten dosen di FMIPA-IPB. Intinya dikatakan, bahwa sekali bernafas, umumnya manusia memerlukan 0,5 liter udara. Jika perorang manusia bernafas 20 kali permenit, berarti udara yang dibutuhkan sebanyak 10 liter. Dalam sehari, setiap orang memerlukan 14.400 liter udara. Berapa nilai tersebut bila dirupiahkan?

Sebagaimana diketahui, udara yang dihirup manusia terdiri dari beragam gas, semisal oksigen dan nitrogen. Masing-masing, 20% dan 79%, mengisi udara yang ada di sekitar manusia. Jika perbandingan oksigen dan nitrogen dalam udara yang manusia hirup sama maka setiap kali bernafas manusia membutuhkan 100 ml oksigen dan 395 ml sisanya berupa nitrogen. Artinya, dalam sehari manusia menghirup 2880 liter oksigen dan 11.376 liter nitrogen.

Jika harga oksigen yang dijual saat ini adalah Rp 25.000 perliter dan biaya nitrogen perliternya Rp 9.950 (harga nitrogen $2.75 per 2,83 liter, data nilai tukar dolar Bank Indonesia pada 9 November 2009), maka setiap harinya manusia menghirup udara sekurang-kurangnya setara dengan Rp 176.652.165. Dengan kata lain, jika manusia diminta membayar sejumlah udara yang dihirup, berarti setiap bulannya ia harus menyediakan uang sebesar Rp 5,3 miliar. Dalam setahun, manusia dapat menghabiskan dana Rp 63,6 miliar!

Sungguh, Allah Maha Pemurah. Udara yang melimpah-ruah di alam adalah bukti kasih sayang-Nya yang luar biasa. Sekumpulan gas tersebut Allah berikan kepada kita secara cuma-cuma alias gratis! Tak sepeser pun kita dipungut oleh Allah SWT untuk membayar nikmat yang luar biasa itu. Lebih dari itu, Dia-lah Tuhan Yang mengurus kita siang-malam tanpa pernah meminta upah secuil pun. Mahabenar Allah Yang berfirman (yang artinya):Katakanlah, “Siapakah yang dapat memelihara kalian pada waktu malam dan siang hari selain Zat Yang Maha Pemurah?”(TQS al-Anbiya’ [21]: 42).

Renungkanlah pula satu hal berikut. Anggaplah kita punya istana mewah dan besar, dengan seluruh fasilitasnya yang lengkap dan serba mahal; termasuk kolam renang, lapangan golf, taman yang luas dan asri seluas lapangan sepak bola; dll. Katakanlah harganya mendekati Rp 1 triliun (seribu miliar rupiah). Siapapun tentu akan senang dan bangga memilikinya.

Namun, sadarkah kita, bahwa semua itu belum apa-apa dibandingkan dengan dunia yang kita huni saat ini? Coba saja kita berandai-andai. Andai Allah SWT meminta kita untuk membayar setiap jengkal bumi yang kita pijak; membayar setiap teguk air yang kita minum; membayar setiap tetes air yang kita gunakan untuk mandi, mencuci, dll; membayar setiap liter udara yang kita hirup; membayar setiap suap makanan yang bersumber dari pepohonan dan binatang ternak yang kita makan; membayar ongkos sewa jalanan yang kita lalui; membayar cahaya matahari yang menyinari bumi setiap hari; dll. Berapa puluh, ratus, bahkan ribu miliar rupiah yang harus kita keluarkan? Siapapun tentu tak kan pernah sanggup membayarnya.
Namun, Allah memang Maha Pemurah. Semua itu Dia gratiskan untuk kita. Tak sepeser pun kita harus membayarnya.

Pertanyaannya: Sudahkah kita bersyukur atas semua itu? Sudah berapa miliar kali hamdalahkita ucapkan untuk-Nya? Sudah berapa lama kita luangkan waktu untuk beribadah dan ber-taqarrub kepada-Nya? Sudah berapa jauh kita menaati segala titah-Nya? Sudah berapa besar pengorbanan kita untuk agama-Nya? Sudah berapa banyak harta milik-Nya yang kita infakkan di jalan-Nya? Sudah berapa sering kita meluluskan permintaan-Nya? Sudah berapa siap kita mempertaruhkan jiwa di medan dakwah dan jihad di jalan-Nya?
Sadarilah, andai semua itu telah kita lakukan sepenuh-penuhnya, tetap tak akan bisa membayar seluruh karunia Allah yang tak ternilai itu. Apalagi jika kita tak melakukannya; atau melakukannya, tetapi sekadarnya saja.

‘Ala kulli hal, betapapun seseorang sering hidup susah, ia tetap tak layak berkeluh-kesah. Sebab, karunia Allah kepada manusia sesungguhnya tetap amat melimpah-ruah.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh[Arief B. Iskandar]
Sumber: Al-Wa’ie No.114

Keagungan Syukur

Kata syukur sepadan dengan kata al-hamdu walaupun kata syukur lebih dekat pada pengucapan rasa terimakasih terhadap nikmat yang telah Allah swt. anugrahkan kepada seseorang, sementara kata al-hamdu merupakan ungkapan rasa terimakasih dalam bentuk umum.

Para ulama mendefinisikan Syukur sebagai ungkapan aplikatif dengan menggunakan segala apa yang dianugrahkan Allah swt sesuai dengan tujuan penciptaan anugrah itu. Karena itu syukur terbagai pada tiga bagian; syukur i’tiqodi (bersyukur dalam bentuk keyakinan), syukur qauli (bersyukur dalam bentuk ucapan) dan syukur ‘amali (bersyukur dalam bentuk perbuatan dan prilaku). Jadi untuk mensyukuri suatu nikmat secara sempurna, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu untuk apa nikmat tersebut diciptakan dan dianugrahkan Allah swt. Misalnya, untuk apa mata, telinga, akal dan alam ini diciptakan Allah swt. Jika telah ditemukan jawabannya, maka gunakanlah nikmat itu sesuai dengan tujuan dimaksud.

Kalau kita telusuri ayat-ayat Al-Quran maka kita akan jumpai banyak ayat-ayatnya yang berkenaan tentang syukur; baik dalam bentuk kata kerja masa lampau, kata kerja masa kini dan akan datang dan kata kerja perintah, atau dalam bentuk masdar dan dalam bentuk isim fa’il. Kesemua bentuk tersebut memiliki tujuan tertentu, dan memberikan pelajaran kepada umat manusia bahwa apapun bentuknya dan bagaimanapun keadaanya manusia harus tetap bersyukur kepada Allah.

Kenapa demikian..??

Karena setiap orang sangat memerlukan Allah swt dalam setiap gerak kehidupannya. Dari udara untuk bernafas hingga makanan yang ia makan, dari kemampuannya untuk menggunakan tangannya hingga kemampuan berbicara, dari perasaan aman hingga perasaan bahagia, seseorang benar-benar sangat memerlukan apa yang telah diciptakan oleh Allah swt dan apa yang dikaruniakan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan orang tidak menyadari kelemahan mereka dan tidak menyadari bahwa mereka sangat memerlukan Allah swt. Mereka menganggap bahwa segala sesuatu terjadi dengan sendirinya atau mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang mereka peroleh adalah karena hasil jerih payah mereka sendiri.

Anggapan ini merupakan kesalahan yang sangat fatal dan benar-benar tidak mensyukuri nikmat Allah swt. Anehnya, orang-orang yang telah menyatakan rasa terima kasihnya kepada seseorang karena telah memberi sesuatu yang remeh kepadanya, mereka menghabiskan hidupnya dengan mengabaikan nikmat Allah swt yang tidak terhitung banyaknya di sepanjang hidupnya. Bagaimanapun, nikmat yang diberikan Allah swt kepada seseorang sangatlah besar sehingga tak seorang pun yang dapat menghitungnya. Allah swt menceritakan kenyataan ini dalam sebuah ayat sebagai berikut:

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” An-Nahl:18.

Orang-orang yang beriman kepada Allah swt akan selalu menyadari kelemahan mereka di hadapan Allah swt sehingga mereka selalu memanjatkan syukur dengan rendah diri atas setiap nikmat yang diterima. Bukan hanya kekayaan dan harta benda yang disyukuri, namun mereka memahami bahwa Allah wt adalah Pemilik segala sesuatu, bersyukur atas kesehatan, keindahan, ilmu, hikmah, kepahaman, wawasan, dan kekuatan yang dikaruniakan kepada mereka, dan mereka mencintai keimanan dan membenci kekufuran. Mereka bersyukur karena telah dibimbing dalam kebenaran dan dimasukkan dalam golongan orang-orang beriman. Pemandangan yang indah, urusan yang mudah, keinginan yang tercapai, berita-berita yang menggembirakan, perbuatan yang terpuji, dan nikmat-nikmat lainnya, semua ini menjadikan orang-orang beriman berpaling kepada Allah, bersyukur kepada-Nya yang telah menunjukkan rahmat dan kasih sayang-Nya.

Dan perlu difahami juga bahwa syukur selain sebagai kewajiban manusia terhadap segala pemberian dan anugrah Allah swt sebagaimana yang telah disebutkan di atas, juga merupakan kebutuhan setiap orang, sehingga dengan prilaku syukur tersebut akan mendatangkan berbagai macam kebaikan dan kenikmatan lainnya, ditambah lagi banyak pahala yang telah dipersiapkan Allah swt orang-orang ahli syukur.

Ini merupakan rahasia lain yang dinyatakan dalam al-Qur’an; Allah swt menambah nikmat-Nya kepada orang-orang yang bersyukur. Misalnya, bahkan Allah swt memberikan kesehatan dan kekuatan yang lebih banyak lagi kepada orang-orang yang bersyukur kepada-Nya atas kesehatan dan kekuatan yang mereka miliki. Bahkan Allah swt mengaruniakan ilmu dan kekayaan yang lebih banyak kepada orang-orang yang mensyukuri ilmu dan kekayaan tersebut. Hal ini karena mereka adalah orang-orang yang ikhlas yang merasa puas dengan apa yang diberikan Allah swt dan mereka ridha dengan karunia tersebut, dan mereka menjadikan Allah swt sebagai pelindung mereka. Allah swt menceritakan rahasia ini dalam al-Qur’an sebagai berikut:

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” Ibrahim:7.

Mensyukuri nikmat juga menunjukkan tanda kedekatan dan kecintaan seseorang kepada Allah swt. Orang-orang yang bersyukur memiliki kesadaran dan kemampuan untuk melihat keindahan dan kenikmatan yang dikaruniakan Allah swt.

Orang-orang mukmin sejati tetap bersyukur kepada Allah swt sekalipun mereka berada dalam keadaan yang sangat sulit. Seseorang yang melihat dari luar mungkin mengira berkurangnya nikmat pada diri orang-orang yang beriman. Padahal, orang-orang beriman yang mampu melihat sisi-sisi kebaikan dalam setiap peristiwa dan keadaan juga mampu melihat kebaikan dalam penderitaan tersebut. Misalnya, Allah swt menyatakan bahwa Dia akan menguji manusia dengan rasa takut, lapar, kehilangan harta dan jiwa. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang beriman tetap bergembira dan merasa bersyukur, mereka berharap bahwa Allah swt akan memberi pahala kepada mereka berupa surga sebagai pahala atas sikap mereka yang tetap istiqamah dalam menghadapi ujian tersebut. Mereka mengetahui bahwa Allah swt tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kekuatannya.

Sikap istiqamah dan tawakal yang mereka jalani dalam menghadapi penderitaan tersebut akan membuahkan sifat sabar dan syukur dalam diri mereka. Dengan demikian, ciri-ciri orang yang beriman adalah tetap menunjukkan ketaatan dan bertawakal kepada-Nya, dan Allah swt berjanji akan menambah nikmat kepada hamba-hamba-Nya yang mensyukuri nikmat-Nya, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.

Jika menilik surat Ar-Rahman, Allah swt membicarakan aneka nikmat-Nya dalam kehidupan dunia ini dan kehidupan akhirat kelak. Hampir pada setiap dua nikmat yang disebutkan, Al-Quran mengulangi satu pertanyaan dengan redaksi yang sama; maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu ingkari?

Pertanyaan tersebut terulang sebanyak tiga puluh satu kali. Sementara ulama menganalisis jumlah itu dan mengelompokkannya untuk kemudian sampai pada suatu kesimpulan.

Delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat-nikmat Allah swt dalam kehidupan dunia ini, antara lain nikmat pengajaran Al-Quran, pengajaran berekspresi, langit, bumi, matahari, lautan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.

Tujuh pertanyaan kedua dalam kaitan dengan ancaman siksa neraka di akhirat nanti. Perlu diingat bahwa ancaman adalah bagian pemeliharaan dan pendidikan serta merupakan salah satu nikmat Allah swt.

Delapan pertanyaan ketiga berkaitan dengan nikmat Allah swt yang diperoleh dalam surga yang pertama.

Delapan pertanyaan keempat dalam kaitan dengan nikmat-nikmat pada surga kedua.

Dari hasil pengelompokkan demikian, para ulama menyusun semacam rumus yaitu siapa yang mampu mensyukuri nikmat-nikmat Allah swt yang disebutkan dalam rangkaian delapan pertanyaan pertama maka ia akan selamat dari ketujuh pintu neraka yang disebut dalam ancaman dalam tujuh pertanyaan berikutnya. Sekaligus dia dapat memilih pintu-pintu mana saja dari kedelapan pintu surga, baik surga pertama maupun surga kedua, baik surga kenikmatan duniawi maupun kenikmatan ukhrawi.

Bagitu agungnya kata syukur, dan bagitu besarnya orang yang mampu menysukuri segala nikmat Allah swt, walau dalam keadaan bagaimanapun dan kondisi apapun. Allahu akbar walillahilhamdu. Allahu a’lam

Oleh: Syarifuddin Mustafa, MA
http://www.dakwatuna.com/2008/keagungan-syukur/

Syukur

Ketika Nabi Sulaiman a.s. mendapatkan puncak kenikmatan dunia, beliau berkata,“Ini adalah bagian dari karunia Allah, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.” (An-Naml: 40). Ketika Qarun mendapatkan harta yang sangat banyak, dia mengatakan, “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali dari hasil kehebatan ilmuku.” (Al-Qashash: 78).

Dua kisah yang bertolak belakang di atas menghasilkan akhir kesudahan yang berbeda. Nabi Sulaiman a.s. mendapatkan karunia di dunia dan akhirat. Sedangkan Qarun mendapat adzab di dunia dan akhirat karena kekufurannya akan nikmat Allah.

Demikianlah, fragmen hidup manusia tidak terlepas dari dua golongan tersebut. Golongan pertama, manusia yang mendapatkan nikmat Allah dan mereka mensyukurinya dengan sepenuh hati. Dan golongan kedua, manusia yang mendapatkan banyak nikmat lalu mereka kufur. Golongan pertama yaitu para nabi, shidiqqin, zullada, dan shalihin (An-Nisa’: 69-70). Golongan kedua, mereka inilah para penentang kebenaran, seperti Namrud, Fir’aun, Qarun, Abu Lahab, Abu Jahal, dan para pengikut mereka dari masa ke masa.

Secara umum bahwa kesejahteraan, kedamaian dan keberkahan merupakan hasil dari syukur kepada Allah sedangkan kesempitan, kegersangan dan kemiskinan akibat dari kufur kepada Allah. (An-Nahl 112)

Nikmat Allah

Betapa zhalimnya manusia, bergelimang nikmat Allah tetapi tidak bersyukur kepada-Nya (Ibrahim: 34). Nikmat yang Allah berikan kepada manusia mencakup aspek lahir (zhaahirah) dan batin (baatinah) serta gabungan dari keduanya. Surat Ar-Rahman menyebutkan berbagai macam kenikmatan itu dan mengingatkan kepada manusia akan nikmat tersebut dengan berulang-ulang sebanyak 31 kali, “Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?

Baca dan tadabburilah surat Ar-Rahman. Allah yang Maha Penyayang memberikan limpahan nikmat kepada manusia dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat menghitungnya. Dari awal sampai akhir surat Ar-Rahman, Allah merinci nikmat-nikmat itu.

Dimulai dengan ungkapan yang sangat indah, nama Allah, Dzat Yang Maha Pemurah, Ar-Rahmaan. Mengajarkan Al-Qur’an, menciptakan manusia dan mengajarinya pandai berkata-kata dan berbicara. Menciptakan mahluk langit dengan penuh keseimbangan, matahari, bulan dan bintang-bintang. Menciptakan bumi, daratan dan lautan dengan segala isinya semuanya untuk manusia. Dan menciptakan manusia dari bahan baku yang paling baik untuk dijadikan makhluk yang paling baik pula. Kemudian mengingatkan manusia dan jin bahwa dunia seisinya tidak kekal dan akan berakhir. Hanya Allah-lah yang kekal. Di sana ada alam lain, akhirat. Surga dengan segala bentuk kenikmatannya dan neraka dengan segala bentuk kengeriannya. “Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?”

Sarana Hidup (Wasa-ilul Hayah)


Sungguh Maha Agung nama Rabbmu Yang Mempunyai kebesaran dan karunia. Marilah kita sadar akan nikmat itu dan menysukurinya dengan sepenuh hati. Dalam surat An-Nahl ayat 78, ada nikmat yang lain yang harus disyukuri manusia, “ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

Cobalah renungkan! Bagaimana jika manusia hidup di dunia dalam kondisi buta, maka dia tidak dapat melihat. Seluruh yang ada di hadapannya adalah sama. Tidak dapat melihat keindahan warna-warni dan tidak dapat melihat keindahan alam semesta. Coba sekali lagi renungkan! Bagaimana jadinya jika manusia hidup di dunia dalam keadaan buta dan tuli. Maka dia tidak dapat berbuat apa-apa. Dan coba sekali lagi renungkan! Jika manusia hidup di dunia dalam keadaan buta, tuli, dan gila. Maka hidupnya dihabiskan di rumah sakit, menjadi beban yang lainnya.

Demikianlah nikmat penglihatan, pendengaran, dan akal. Demikianlah nikmat sarana kehidupan (wasail al-hayat).

Pedoman Hidup (Manhajul Hayah)

Sekarang apa jadinya jika manusia itu diberi karunia oleh Allah mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan akal untuk berpikir. Kemudian mata itu tidak digunakan untuk melihat ayat-ayat Allah, telinga tidak digunakan untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, dan akal tidak digunakan untuk mengimani dan memahami ayat-ayat Allah. Maka itulah seburuk-buruknya makhluk. Mereka itu seperti binatang. Bahkan, lebih rendah dari binatang (Al-A’raf: 179).

Demikianlah, betapa besarnya nikmat petunjuk Islam (hidayatul Islam) dan pedoman hidup (manhajul hayah). Nikmat ini lebih besar dari seluruh harta dunia dan seisinya. Nikmat ini mengantarkan orang-orang beriman dapat menjalani hidupnya dengan lurus, penuh kejelasan, dan terang benderang. Mereka mengetahui yang hak dan yang batil, yang halal dan yang haram.

Al-Qur’an banyak sekali membuat perumpamaan orang yang tidak menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, diantaranya digambarkan seperti binatang secara umum dan binatang tertentu secara khusus, seperti; anjing, keledai, kera dan babi (Al-A’raf: 176, Al-Jumu’ah: 5, Al-Anfal: 55, Al-Maidah: 60). Diumpamakan juga seperti orang yang berjalan dengan kepala (Al-Mulk: 22), buta dan tuli (Al-Maidah: 71), jatuh dari langit dan disambar burung (Al-Hajj: 31) kayu yang tersandar (Al-Munafiqun: 4) dan lainnya.

Pertolongan (An-Nashr)

Ada satu bentuk kenikmatan lagi yang akan Allah berikan kepada orang-orang beriman disebabkan mereka komitmen dengan manhaj Allah dan berdakwah untuk menegakkan sistem Islam, yaitu pertolongan Allah, “ Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)

Pertolongan Allah itu sangat banyak bentuknya, diantaranya perlindungan dan tempat menetap (al-iwaa), dukungan Allah sehingga menjadi kuat (ta’yiid), rizki yang baik-baik, kemenangan (al-fath), kekuasaan (al-istikhlaaf), pengokohan agama (tamkinud-din) dan berbagai macam bentuk pertolongan Allah yang lain (Al-Anfaal: 26, Ash-Shaaf: 10-13 dan An-Nuur: 55).

Segala bentuk kenikmatan tersebut baik yang zhahir, bathin, maupun gabungan antara keduanya haruslah direspon dengan syukur secara optimal. Dan dalam bersyukur kepada Allah harus memenuhi rukun-rukunnya.

Rukun Syukur

Para ulama menyebutkan bahwa rukun syukur ada tiga, yaitu i’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan), dan Taat.

Al-I’tiraaf

Pengakuan bahwa segala nikmat dari Allah adalah suatu prinsip yang sangat penting, karena sikap ini muncul dari ketawadhuan seseorang. Sebaliknya jika seseorang tidak mengakui nikmat itu bersumber dari Allah, maka merekalah orang-orang takabur. Tiada daya dan kekuatan kecuali bersumber dari Allah saja. “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)

Dalam kehidupan modern sekarang ini, orang-orang sekular menyandarkan segala sesuatunya pada kemampuan dirinya dan mereka sangat menyakini bahwa kemampuannya dapat menyelesaikan segala problem hidup. Mereka sangat bangga terhadap capaian yang telah diraih dari peradaban dunia, seolah-olah itu adalah hasil kehebatan ilmu dan keahlian mereka. Pola pikir ini sama dengan pola pikir para pendahulu mereka seperti Qarun dan sejenisnya. “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali dari hasil kehebatan ilmuku.” (Al-Qashash: 78)

Dalam konteks manhaj Islam, pola pikir seperti inilah yang menjadi sebab utama masalah dan problematika yang menimpa umat manusia sekarang ini. Kekayaan yang melimpah ruah di belahan dunia Barat hanya dijadikan sarana pemuas syahwat, sementara dunia Islam yang menjadi wilayah jajahannya dibuat miskin, tenderita, dan terbelakang. Sedangkan umat Islam dan pemerintahan di negeri muslim yang mengikuti pola hidup barat kondisi kerusakannya hampir sama dengan dunia Barat tersebut, bahkan mungkin lebih parah lagi.

I’tiraaf adalah suatu bentuk pengakuan yang tulus dari orang-orang beriman bahwa Allah itu ada, berkehendak dan kekuasaannya meliputi langit dan bumi. Semua makhluk Allah tidak ada yang dapat lepas dari iradah (kehendak) dan qudrah (kekuasaan) Allah.

At-Tahadduts

Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Ad-Duhaa: 11)

Abi Nadhrah berkata, “Dahulu umat Islam melihat bahwa di antara bentuk syukur nikmat yaitu mengucapkannya.” Rasul saw. bersabda, “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih pada manusia.” (Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Berkata Al-Hasan bin Ali, “Jika Anda melakukan (mendapatkan) kebaikan, maka ceritakan kepada temanmu.” Berkata Ibnu Ishak, “Sesuatu yang datang padamu dari Allah berupa kenikmatan dan kemuliaan kenabian, maka ceritakan dan dakwahkan kepada manusia.

Orang beriman minimal mengucapkan hamdalah (alhamdulillah) ketika mendapatkan kenikmatan sebagai refleksi syukur kepada Allah. Demikianlah betapa pentingnya hamdalah, dan Allah mengajari pada hamba-Nya dengan mengulang-ulang ungkapan alhamdulillah dalam Al-Qur’an dalam mengawali ayat-ayat-Nya.

Sedangkan ungkapan minimal yang harus diucapkan orang beriman, ketika mendapatkan kebaikan melalui perantaraan manusia, mengucapkan pujian dan do’a, misalnya, jazaakallah khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu). Disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas r.a., bahwa kaum Muhajirin berkata pada Rasulullah saw., ”Wahai Rasulullah saw., orang Anshar memborong semua pahala.” Rasul saw. bersabda, ”Tidak, selagi kamu mendoakan dan memuji kebaikan mereka.

Dan ucapan syukur yang paling puncak ketika kita menyampaikan kenikmatan yang paling puncak yaitu Islam, dengan cara mendakwahkan kepada manusia.

At-Tha’ah


Allah menyebutkan bahwa para nabi adalah hamba-hamba Allah yang paling bersyukur dengan melaksanakan puncak ketaatan dan pengorbanan. Dan contoh-contoh tersebut sangat tampak pada lima rasul utama: Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s., dan Nabi Muhammad saw. Allah swt. menyebutkan tentang Nuh a.s. “Sesungguhnya dia (Nuh a.s.) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al-Israa: 3)

Dan lihatlah bagaimana Aisyah r.a. menceritakan tentang ketaatan Rasulullah saw. Suatu saat Rasulullah saw. melakukan shalat malam sehingga kakinya terpecah-pecah. Berkata Aisyah r.a., ”Engkau melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang.” Berkata Rasulullah saw., “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?“ (Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan dari Atha, berkata, aku bertanya pada ‘Aisyah, “Ceritakan padaku sesuatu yang paling engkau kagumi yang engkau lihat dari Rasulullah saw.” Aisyah berkata, “Adakah urusannya yang tidak mengagumkan? Pada suatu malam beliau mendatangiku dan berkata, ”Biarkanlah aku menyembah Rabbku.” Maka beliau bangkit berwudhu dan shalat. Beliau menangis sampai airmatanya mengalir di dadanya, kemudian ruku dan menangis, kemudian sujud dan menangis, kemudian mengangkat mukanya dan menangis. Dan beliau tetap dalam kondisi seperti itu sampai Bilal mengumandangkan adzan salta.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw., apa yang membuat engkau menangis padahal Allah sudah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang?” Rasul saw. berkata, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba Allah yang bersyukur?” (Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Ibnu Mardawaih, dan Ibnu ‘Asakir).

Tambahan Nikmat

Refleksi syukur yang dilakukan dengan optimal akan menghasilkan tambahan nikmat dari Allah (ziyadatun ni’mah), dalam bentuk keimanan yang bertambah (ziyadatul iman), ilmu yang bertambah, (ziyadatul ‘ilmi), amal yang bertambah (ziyadatul amal), rezeki yang bertambah (ziyadatur rizki) dan akhirnya mendapatkan puncak dari kenikmatan yaitu dimasukan ke dalam surga dan dibebaskan dari api neraka. Demikianlah janji Allah yang disebutkan dalam surat Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.

http://www.dakwatuna.com/2007/syukur/