"Mengapa doa-doa saya belum terkabulkan setelah sekian lama?" tanya seorang jemaah kepada gurunya. Sang guru berdehem. Ia bukannya gak mau jawab, tapi pertanyaan ini sudah berulang kali ia terima dari jemaah pengajian seputar masalah yang tidak jauh berbeda, yakni tentang kapan Allah mengijabah doa.
Rasanya sudah banyak jawaban yang pernah diutarakan oleh sang ustadz, namun kali ini ia harus mencari cara lain untuk bisa membuat jemaah ini mengerti, paham dan selalu husnuzhon kepada Allah Swt.
"Memang sering kita berdoa kepada Allah, namun sepertinya Allah Swt belum juga memenuhi hajat kita" jelas sang ustadz membuka jawaban.
"Namun ketahuilah bahwa banyak orang meminta harta yang banyak kepada Allah Swt dalam doanya. Ada juga yang minta agar naik jabatan. Ada pula yang berdoa agar diberikan jodoh yang cantik, sholihah, dan lain sebagainya. Belum lagi permintaan ini dan itu sepuas hati mereka! Tidak sedikit manusia yang berdoa kepada Allah Swt dengan nafsu syahwat mereka... Segala hal terbaik ingin mereka minta, sebab ia percaya bahwa Allah Sang Pemberi Anugerah akan sangat mudah mengabulkan permintaan mereka.... Namun sayang mereka maunya menang sendiri. Selalu minta, namun jarang memberi! Minta yang manis, tidak mau yang pahit! Padahal mereka belum mengerti bahwa kalau saja Allah Swt memberi apa yang mereka inginkan, belum tentu hal itu membawa kebaikan untuk mereka...." jelas pak ustadz.
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. 2:216)
Itulah sifat manusia yang mengira bahwa mereka suka berdoa untuk diberikan anugerah apa yang mereka kira baik, padahal Allah Swt mengijabah doa mereka dengan tidak mengabulkan permintaannya!
Coba anda bayangkan, apabila setiap makhluk Allah Swt ciptakan semuanya kaya raya seperti yang mereka inginkan, apa jadinya dunia ini?!
Betapa banyak manusia yang ingin mendapatkan jabatan. Ia mengira bahwa bila ia menjabat ia akan banyak melakukan kebaikan, namun begitu diberikan rupanya ia tidak siap menerimanya sehingga jabatan bukan lagi sebagai anugerah, namun menjadi musibah.
Maka makna yang terpenting yang harus menjadi pelajaran bagi kita adalah bagaimana kita bisa senantiasa menyetel hati & pikiran kita untuk senantiasa ridha atas keputusan Allah Swt.
Mau Allah Swt buat hidup kita lapang atau sempit, kita selalu berucap hamdalah. Mau Dia Swt bikin hidup kita senang or susah, gak ada masalah. Atau Allah Swt angkat derajat kita kemudian ia jatuhkanpun juga gak apa-apa. Yang penting asal Allah Swt ridho kepada kita, maka kita pun juga akan selalu ridha kepada-Nya.
Inilah sebuah kisah yang termaktub dalam shahih Bukhari tentang permohonan para sahabat kepada Rasulullah Saw.
Siang itu Rasulullah Saw sedang menyampaikan khutbah Jum'at. Dalam keheningan dan kekhusyukan khutbah, maka terdengar teriakan orang-orang yang berdiri dan berseru kepada beliau, "Ya Rasulullah, kemarau berkepanjangan. Pepohonan kering dan hewan ternak mati kehausan. Mohon kiranya Anda berdoa kepada Allah Swt agar berkenan menurunkan hujan."
Rasulullah Saw lalu berdoa kepada Allah Swt, "Allahummas qinaa… Ya Allah berilah kami hujan… turunkan untuk kami hujan!"
Maka Allah Swt pun mengijabah permintaan Nabinya. Maka angin pun meniupkan awan hingga berkumpul. Mendung pun menanungi manusia. Hingga saat Rasulullah Saw turun dari mimbar maka hujan pun turun membasahi bumi.
Celakanya, saking mustajab doa Rasulullah Saw tersebut maka hujan tidak berhenti turun hingga hari Jum'at berikutnya. Maka manusia pun menjadi resah sebab anugerah yang terlalu kebanyakan.
Saat Rasulullah Saw berkhutbah di Jum'at berikutnya, maka lagi-lagi beberapa orang
berdiri mengiterupsi khutbah beliau. Mereka berkata, "Ya Rasulullah, hujan yang turun ini terlalu banyak hingga rumah-rumah rusak dan jalan menjadi becek. Mohon kiranya Anda sudi untuk berdoa agar Allah Swt menghentikannya."
Mendengarnya Rasulullah Saw tersenyum... Lalu sejurus kemudian beliau Saw berdoa, "Allahumma hawalina la alaina.... Ya Allah, buatlah hujan turun di sekeliling kami bukan di atas kepala kami."
Maka atas doa sang Nabi Saw, Allah pun menghentikan hujan di Madinah, namun masih menurunkannya di luar batas kota Madinah.
Itulah kisah permintaan doa manusia yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Saw. Pelajaran yang dapat diambil dari hadits di atas adalah bahwa kita harus mengakui bahwa kita suka memaksakan kehendak pribadi saat kita berdoa kepada Allah Swt.
Kebodohan dan keterbatasan ilmu kita mengisyaratkan bahwa kita mengira bahwa apa yang kita inginkan adalah hal yang terbaik. Padahal begitu Allah Swt kabulkan apa yang kita inginkan, malah itu menjadi hal yang merepotkan bagi diri kita.
Tidakkah kita merasa malu kepada Allah Swt saat ia menyingkapkan suatu saat kepada kita bahwa apa yang kita minta rupanya amat buruk bagi kita?!
Pada kisah dalam hadits itu disebutkan bahwa Rasulullah Saw saja tersenyum melihat tingkah manusia yang suka meralat sendiri doanya. Bila Rasulullah Saw saja tersenyum melihat kenaifan kita saat berdoa, lalu bagaimana dengan Allah Swt di atas Ars-Nya yang mendengar semua permintaan & munajat kita?!
Maka jadikan hatimu senantiasa ridha atas keputusan-Nya!
Cahaya Langit,
Bobby Herwibowo
http://kaunee.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1231:suka-malu-sendiri-atas-doa-yang-kita-panjatkan&catid=38:cahaya-langit&Itemid=147
Energi yang Tak Pernah Habis
Hidup sebagai sesuatu kadang seperti tulisan spanduk yang terikat di antara dua tiang. Hujan, panas, dan tangan-tangan usil bisa melunturkan keberadaan tulisan. Warna menjadi kabur, dan tulisan pun mulai luntur. Seperti itu pula mungkin ketika seseorang hidup sebagai muslim.
Tak ada iman tanpa ujian. Kalimat itulah yang mesti dipegang seorang mukmin dalam mengarungi hidup. Susah senang adalah di antara ruang-ruang kehidupan di mana seorang mukmin diuji keimanannya. Ada yang lulus. Ada juga yang mesti mengulang.
Mereka yang berguguran dalam perjuangan Islam adalah di antara yang mesti mengulang. Waktu memberikan mereka peluang untuk bangkit di lain kesempatan.
Rasulullah saw. bersabda, “Allah menguji hamba-Nya dengan menimpakan musibah sebagaimana seorang menguji kemurnian emas dengan api (pembakaran). Ada yang keluar emas murni. Itulah yang dilindungi Allah dari keragu-raguan. Ada juga yang kurang dari itu (mutunya) dan itulah yang selalu ragu. Ada yang keluar seperti emas hitam dan itu yang memang ditimpa fitnah (musibah).” (HR. Athabrani)
Ujian perjalanan keimanan seseorang tidak selalu pada hal besar. Bisa jadi terselip dalam kehidupan sehari-hari. Ada ujian tubuh yang rentan sakit. Ada rezeki yang muncul dalam tetesan kecil. Kadang ada, tapi kebanyakan tidak ada. Hidup menjadi sangat susah.
Inilah ujian sehari-hari yang bisa menentukan seperti apa mutu seorang mukmin. Kalau hasil ujian menunjuk titik sabar, rezeki yang sedikit menjadi berkah. Sedikit, tapi punya mutu istimewa.
Seperti itulah yang pernah diungkapkan Rasulullah saw. pada beberapa sahabat. “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla menguji hambanya dengan rezeki yang diberikan Allah kepadanya. Kalau dia ridha dengan bagian yang diterimanya, maka Allah akan memberkahinya dan meluaskan pemberian-Nya. Kalau dia tidak ridha dengan pemberian-Nya, maka Allah tidak akan memberinya berkah.” (HR. Ahmad)
Ujian seperti itu memang terkesan sederhana. Mudah. Tapi, akan beda pada dunia nyata. Rezeki yang terasa kurang akan berdampak pada sisi lain: gizi keluarga, pendidikan anak, mobilitas gerak, dana dakwah, dan sebagainya. Belum lagi soal status sosial di tengah masyarakat. Sulit mengajak orang kembali pada Islam kalau status sosial si pengajak kurang dianggap.
Ujian rezeki yang terkesan sederhana, ternyata memang berat. Kalau saja bukan karena kasih sayang Allah swt., seorang mukmin hanya akan berputar-putar pada masalah diri dan keluarganya. Kapan ia akan berjuang. Bagaimana ia berdaya mengangkat beban umat yang begitu berat: masalah kebodohan, perpecahan, bahkan kemiskinan umat.
Jika merujuk pada pengalaman Rasul dan para sahabat, kenyataan hidup memang tidak begitu beda. Sedikit di antara hamba-hamba Allah di masa itu yang kaya. Termasuk Rasul sendiri. Beliau dikenal yatim yang berbisnis pada usaha pamannya, Abu Thalib. Begitu pun para sahabat yang sebagian besar berstatus budak dan buruh. Apa yang bisa dilakukan pada kelompok seperti itu.
Itulah yang pernah dialami Nabi Nuh dan para aktivis di sekitarnya. Mereka dianggap hina karena status sosial yang rendah. Allah swt. menggambarkan keadaan itu dalam surah Hud ayat 27. “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja. Dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami. Bahkan, kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.”
Namun, sejarah memberikan pelajaran berharga. Para pejuang teladan yang dianggap punya status sosial rendah itu mampu memberikan bukti. Bahwa, kekayaan bukan penentu sukses-tidaknya sebuah perjuangan. Ada hal lain yang jauh lebih penting sebagai energi utama. Energi utama itu tersimpan dalam kekuatan ruhiyah yang tinggi.
Rasulullah saw. mengungkapkan itu dalam sebuah sabdanya. “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang mukmin yang lemah dalam segala kebaikan. Peliharalah apa-apa yang menguntungkan kamu dan mohonlan pertolongan Allah. Jangan lemah semangat (putus asa). Jika ditimpa suatu musibah janganlah berkata, ‘Oh andaikata aku tadinya melakukan itu tentu berakibat begini dan begitu.’ Tetapi, katakanlah, ‘Ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya.” Ketahuilah, sesungguhnya ucapan ‘andaikan’ dan ‘jikalau’ hanya membuka peluang bagi karya setan.” (HR. Muslim)
Kenyataannya, energi yang dimiliki para pejuang Islam dari masa ke masa ada dalam ruhani mereka. Mereka begitu dekat dengan Yang Maha Kuat, Allah swt. Siang mereka seperti pendekar yang menggempur musuh dengan gagah berani. Tapi malam, mereka kerap menangis dalam hamparan sajadah karena hanyut dalam zikrullah. Hati mereka begitu terpaut dalam kasih sayang Allah swt.
Suatu kali Rasulullah saw. meminta Ibnu Mas’ud membaca Alquran. Ibnu Mas’ud agak kaget. “Bagaimana mungkin saya membacakan pada Anda Alquran, padahal ia datang melalui Anda?” Rasulullah saw. pun meminta Ibnu Mas’ud untuk membaca. Dan sahabat Rasul itu pun membaca surah An-Nisa.
Satu demi satu ayat dalam surah An-Nisa itu dibaca Ibnu Mas’ud. Hingga pada ayat ke-41. Rasul pun menangis. Tangisnya begitu jelas, hingga Ibnu Mas’ud menghentikan bacaannya. Ayat ke-41 itu berbunyi, “Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”
Itulah energi yang begitu kuat. Sebuah kekuatan yang bisa memupus keraguan, kemalasan, dan rasa takut. Sebuah kekuatan yang bisa mengecilkan bentuk ujian hidup apa pun. Termasuk, ujian kemiskinan.
http://www.dakwatuna.com/2008/energi-yang-tak-pernah-habis/
Tak ada iman tanpa ujian. Kalimat itulah yang mesti dipegang seorang mukmin dalam mengarungi hidup. Susah senang adalah di antara ruang-ruang kehidupan di mana seorang mukmin diuji keimanannya. Ada yang lulus. Ada juga yang mesti mengulang.
Mereka yang berguguran dalam perjuangan Islam adalah di antara yang mesti mengulang. Waktu memberikan mereka peluang untuk bangkit di lain kesempatan.
Rasulullah saw. bersabda, “Allah menguji hamba-Nya dengan menimpakan musibah sebagaimana seorang menguji kemurnian emas dengan api (pembakaran). Ada yang keluar emas murni. Itulah yang dilindungi Allah dari keragu-raguan. Ada juga yang kurang dari itu (mutunya) dan itulah yang selalu ragu. Ada yang keluar seperti emas hitam dan itu yang memang ditimpa fitnah (musibah).” (HR. Athabrani)
Ujian perjalanan keimanan seseorang tidak selalu pada hal besar. Bisa jadi terselip dalam kehidupan sehari-hari. Ada ujian tubuh yang rentan sakit. Ada rezeki yang muncul dalam tetesan kecil. Kadang ada, tapi kebanyakan tidak ada. Hidup menjadi sangat susah.
Inilah ujian sehari-hari yang bisa menentukan seperti apa mutu seorang mukmin. Kalau hasil ujian menunjuk titik sabar, rezeki yang sedikit menjadi berkah. Sedikit, tapi punya mutu istimewa.
Seperti itulah yang pernah diungkapkan Rasulullah saw. pada beberapa sahabat. “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla menguji hambanya dengan rezeki yang diberikan Allah kepadanya. Kalau dia ridha dengan bagian yang diterimanya, maka Allah akan memberkahinya dan meluaskan pemberian-Nya. Kalau dia tidak ridha dengan pemberian-Nya, maka Allah tidak akan memberinya berkah.” (HR. Ahmad)
Ujian seperti itu memang terkesan sederhana. Mudah. Tapi, akan beda pada dunia nyata. Rezeki yang terasa kurang akan berdampak pada sisi lain: gizi keluarga, pendidikan anak, mobilitas gerak, dana dakwah, dan sebagainya. Belum lagi soal status sosial di tengah masyarakat. Sulit mengajak orang kembali pada Islam kalau status sosial si pengajak kurang dianggap.
Ujian rezeki yang terkesan sederhana, ternyata memang berat. Kalau saja bukan karena kasih sayang Allah swt., seorang mukmin hanya akan berputar-putar pada masalah diri dan keluarganya. Kapan ia akan berjuang. Bagaimana ia berdaya mengangkat beban umat yang begitu berat: masalah kebodohan, perpecahan, bahkan kemiskinan umat.
Jika merujuk pada pengalaman Rasul dan para sahabat, kenyataan hidup memang tidak begitu beda. Sedikit di antara hamba-hamba Allah di masa itu yang kaya. Termasuk Rasul sendiri. Beliau dikenal yatim yang berbisnis pada usaha pamannya, Abu Thalib. Begitu pun para sahabat yang sebagian besar berstatus budak dan buruh. Apa yang bisa dilakukan pada kelompok seperti itu.
Itulah yang pernah dialami Nabi Nuh dan para aktivis di sekitarnya. Mereka dianggap hina karena status sosial yang rendah. Allah swt. menggambarkan keadaan itu dalam surah Hud ayat 27. “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja. Dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami. Bahkan, kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.”
Namun, sejarah memberikan pelajaran berharga. Para pejuang teladan yang dianggap punya status sosial rendah itu mampu memberikan bukti. Bahwa, kekayaan bukan penentu sukses-tidaknya sebuah perjuangan. Ada hal lain yang jauh lebih penting sebagai energi utama. Energi utama itu tersimpan dalam kekuatan ruhiyah yang tinggi.
Rasulullah saw. mengungkapkan itu dalam sebuah sabdanya. “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang mukmin yang lemah dalam segala kebaikan. Peliharalah apa-apa yang menguntungkan kamu dan mohonlan pertolongan Allah. Jangan lemah semangat (putus asa). Jika ditimpa suatu musibah janganlah berkata, ‘Oh andaikata aku tadinya melakukan itu tentu berakibat begini dan begitu.’ Tetapi, katakanlah, ‘Ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya.” Ketahuilah, sesungguhnya ucapan ‘andaikan’ dan ‘jikalau’ hanya membuka peluang bagi karya setan.” (HR. Muslim)
Kenyataannya, energi yang dimiliki para pejuang Islam dari masa ke masa ada dalam ruhani mereka. Mereka begitu dekat dengan Yang Maha Kuat, Allah swt. Siang mereka seperti pendekar yang menggempur musuh dengan gagah berani. Tapi malam, mereka kerap menangis dalam hamparan sajadah karena hanyut dalam zikrullah. Hati mereka begitu terpaut dalam kasih sayang Allah swt.
Suatu kali Rasulullah saw. meminta Ibnu Mas’ud membaca Alquran. Ibnu Mas’ud agak kaget. “Bagaimana mungkin saya membacakan pada Anda Alquran, padahal ia datang melalui Anda?” Rasulullah saw. pun meminta Ibnu Mas’ud untuk membaca. Dan sahabat Rasul itu pun membaca surah An-Nisa.
Satu demi satu ayat dalam surah An-Nisa itu dibaca Ibnu Mas’ud. Hingga pada ayat ke-41. Rasul pun menangis. Tangisnya begitu jelas, hingga Ibnu Mas’ud menghentikan bacaannya. Ayat ke-41 itu berbunyi, “Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”
Itulah energi yang begitu kuat. Sebuah kekuatan yang bisa memupus keraguan, kemalasan, dan rasa takut. Sebuah kekuatan yang bisa mengecilkan bentuk ujian hidup apa pun. Termasuk, ujian kemiskinan.
http://www.dakwatuna.com/2008/energi-yang-tak-pernah-habis/
Terserang Kanker Tenggorokan dan Tumor Lidah
Ekspresi wajah Salimah (37) datar. Sepanjang diajak berbincang, ia lebih sering diam. Kalau pun senyum, terkesan agak dipaksakan. Sepertinya ada beban berat yang menggelayuti pikiran dan pundaknya. Ibu memang pendiam, yah?
“Ah, nggak juga,” Salimah menggelengkan kepala.
Kok ibu sedikit sekali kalau ngomong?
Sejenak Salimah membisu. Matanya mengarah ke atas, lalu ke bawah. Ia menunduk. Napasnya ditahan sebentar, kemudian dihembuskan.
“Selain penyakit yang menyerang saya, saya punya masa lalu kelam,” seloroh Salimah terdengar berat.
Ia mulai bercerita. Saat masih gadis, ia nekad kabur dari rumahnya di Jawa Tengah. Perhiasan yang menempel ditubuhnya, terpaksa dijual buat ongkos ke Jakarta.
“Saya lari dari rumah, karena rumah sudah tidak nyaman saya tinggali. Kalau terus-terusan di situ, saya babak belur,” cetus Salimah, tanpa menyebut alasan yang lebih rinci.
Ketika itu, ia mengaku tak tahu apa-apa soal ibukota, kecuali yang pernah dikisahkan temannya yang jadi pembantu rumah tangga di kota. Kata temannya, di Jakarta nyari duit itu gampang. Apa-apa serba ada dan mudah dapatnya.
“Udah gitu, gedung-gedung kalau malam dihiasi lampu kelap-kelip, indah dan rame sekali. Tidak seperti di kampung saya. Yang ada cuma obor dari batang bambu yang diisi minyak tanah,” Salimah tersenyum.
Bayangan tersebut yang membuat hati Salimah mantap bergegas ke Jakarta. Ia numpang mobil truk, seorang diri, dengan membawa bekal secukupnya. Begitu tiba Jakarta, ia bingung. Tak ada saudara atau kerabatnya. Temannya yang jadi pembantu itu pun tidak tahu dimana tempat tinggalnya.
Akhirnya Salimah berhari-hari tidur di stasiun kereta api. Tak banyak yang bisa dikerjakan selain diam sembari mendekap rangselnya, menyaksikan geliat para gembel dan pemulung. Tiba-tiba saja Salimah menangis. Ia teringat bekalnya yang tidak lama lagi habis. Sementara itu, belum ada orang yang menjadi kawan barunya.
Dalam keadaan lapar dan kedinginan, mendadak sepasang tangan memegang pundak Salimah yang tengah duduk sendiri dengan dua kaki didekatkan ke dada. Nama pemilik tangan itu Amir Hamzah, tukang sapu jalanan di sekitar stasiun. Rupanya Amir diam-diam memperhatikan Salimah sejak awal kedatangannya di stasiun.
“Amir punya kenalan seseorang yang bekerja di kantor, tak jauh dari stasiun. Saya diajak ke sana. Selanjutnya tidur dan makan saya ditanggung Amir, selama enam bulan tinggal di kantor itu. Padahal saya tidak disuruh kerja apapun. Saya diam saja,” kenang Salimah.
Lamat-lamat kebaikan Amir berujung cinta. Witing tresno jalaran soko kulino, begitu pepatah Jawa. Keduanya terlibat asmara. Amir kemudian menikahi Salimah. Pernikahan mereka digelar sangat-sangat sederhana, tanpa pesta. Bahkan, orang tua Salimah pun tidak hadir.
Salimah menghentikan ceritanya. Kerudungnya diperbaiki. Posisi duduknya digeser sedikit ke kanan.
“Sekarang saya cerita soal penyakit saya saja, ya? Soalnya kalau cerita rumah tangga saya, nanti bawaannya saya pengen nangis terus…,” pinta Salimah.
Pertengahan 2007. Saat sedang makan, mendadak tenggorokan Salimah terasa sakit dan sangat susah untuk menelan makanan. Penyebabnya ada benjolan kecil yang menyembul dari dalam tenggorokannya. Ia menduga penyakit amandel. Lantaran dibiarkan saja, lama-lama benjolan itu terus membengkak.
Salimah pun merasa ada yang berbeda dengan lidahnya. Tiap kali mengecap makanan, ia seperti menggigit lidahnya sendiri. Terang saja lidahnya terasa sakit. Perih sekali. Ia bercermin. Dilihatnya tumbuh benjolan di lidahnya sebesar biji kacang. Mau melapor ke suami yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai tukang sapu jalanan, ia tak punya nyali.
Tanpa sepengetahuan suami, Salimah mendatangi tabib. Tabib menyatakan Salimah terkena kanker tenggorokan dan tumor lidah. Lucunya, Salimah menganggapnya biasa-biasa saja, lantaran tidak tahu mengenai kedua penyakit tersebut. Tabib kemudian menganjurkan supaya Salimah berobat ke Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC) milik Dompet Dhuafa.
Salimah berjuang seorang diri, sejak mulai diperiksa LKC hingga dirujuk ke rumah sakit. Ia akhirnya dioperasi berkat bantuan LKC. Benjolan di dalam tenggorokannya hilang. Namun, beberapa bulan kemudian, muncul lagi benjolan di luar tenggorokannya. Ia harus menjalani perawatan rutin dan kemungkinan operasi lagi.
“Kata dokter, saya bisa sembuh, sebab tumor yang menyerang tenggorokan dan lidah tidak ganas,” tutur ibu dari tiga anak yang saban hari kerja nyuciin baju tetangga di daerah Kedawung, Pamulang. Zakat Emang Ajiib… (LHZ/Dompet Dhuafa)
http://eramuslim.com/hikmah/dhuafa/terserang-kanker-tenggorokan-dan-tumor-lidah.htm
SYIRIK DAN TIPU DAYA SETAN
SINOPSIS.
Syirik merupakan dosa yang menempati rating tertinggi dalam hirarki dosa-dosa bani adam. Bahkan karena dosa ini, manusia bisa keluar dari wilayah Islam menuju wilayah kekafiran. Wilayah yang manjadi dominasi setan yang terkutuk. Dalam wilayah inilah setan merancang berbagai system yang terpadu dengan dukungan sejumlah prangkat canggih, dilengkapi dengan sumber daya yang kompeten untuk mencari anggota baru dari kalangan bani adam dan kalangan jin. Karena memang kedua jenis terakhir itulah yang sedang menempuh perjalan menuju Allah swt. Dunia inilah yang menjadi tempat observasi mereka.
Tempat di mana mereka berusaha mencari jalan yang lurus. Jalan yang telah direkomendasikan oleh sang pemilik kenikmatan dan siksaan (baca : Allah). Jalan yang telah dilewati oleh para nabi, syuhada, dan shalihin sebelumnya. Kelompok terakhir inilah yang telah berhasil menempuh sebuah perjalanan spiritual yang mencengangkan sehingga rival mereka dari kalangan setan tidak mampu membendung berbagai jurus yang mereka tampilkan selama dalam observasi mereka di dunia ini.
Ketika awal keluarnya dulu dari sorga, Adam dengan Hawwa serta iblis, harus terdampar di dunia ini. Pase pembelajaran awal pada laboratorium pertama yang bernama sorga itu telah mereka lewati. Iblis dengan segala tipu dayanya berhasil menggelincirkan Adam dan Hawwa untuk mendekati sebuah pohon yang telah diblack-list oleh Allah sebagai pohon terlarang. Berbagai cara yang dilakukan oleh Iblis untuk menundukkan musuhnya itu agar bisa memperdayanya. Sementara obyek yang bisa dimamfaatkan ketika itu hanyalah satu, yaitu sang pohon terlarang.
Dengan kepiawaiannya dalam berargumen, Iblis mampu meyakinkan keduanya bahwa dibalik larangan Allah itu ada maksud yang sangat tidak berpihak kepada keduanya. Yaitu agar keduanya tidak bisa terdaftar dalam keaggotaan malaikat dan tetap berada dalam sorga. Artinya, Iblis berusaha meyakinkan Adam dan Hawa agar bisa memakan buah pohon tersebut agar keduanya tetap bisa tinggal di sorga dengan bergelimang kenikmatan yang tiada tara. Alasan yang sangat logis inilah yang menjerumuskannya, sehingga keduanya melanggar larangan Allah swt.
Sejenak setelah larangan itu dilabrak, hiasan sorga yang melekat pada diri mereka satu persatu lepas. Sehingga untuk menutupi aurat masing-masing, keduanya berusaha meraih daun pepohonan. Iblis bersorak penuh kebanggan sambil merayakan kemenanganya yang begitu mengesankan. Walaupun karena tipu dayanya itu ia harus hengkang pula dari sorga dan turun ke bumi bersama Adam dan Hawwa.
Keduanya diproklamirkan sebagai musuh bebuyutan, karena arus yang mereka bawa berbeda. Satu mewakili hawa panas dengan kegelapannya, sementara yang lain membawakan cahaya dengan kesejukannya.
Di bumi inilah serial pertempuran yang kedua, setelah babak pertama berakhir dengan keputusan Allah untuk mengeluarkan mereka ke bumi, kembali dilanjutkan. Pesan Allah ketika itu kepada Adam dan Hawwa hanya satu. Yaitu, bahwa jika petunjuk-Nya telah datang, maka siapa pun mengikuti petunjuk-Nya maka ia tidak akan merasa takut dalam menghadapi hidup dan tidak akan sedih karena dirundung berbagai masalah yang berkepanjangan (QS Al-Baqarah : 38).
Namun sebelum Iblis keluar dari sorga, ia meminta kepada Allah swt. agar diberi perpanjangan jatah hidup di dunia hingga datangnya hari kiamat. Dengan Hikmah-Nya, Allah mengabulkan permintaannya tersebut (QS al-A’raf : 15). Setelah mendapat fasilitas umur, ia bersumpah serapah akan menempuh berbagai cara dan arah untuk menggelincirkan bani adam dari jalan-Nya yang lurus (QS al-A’raf : 16). Untuk sumpah serapah itu, Allah menegaskan kepadanya bahwa hamba-hamba-Nya yang ikhlas tidak akan mampu ditundukkan oleh tipu dayanya. Adapun yang tunduk kepada Iblis, nantinya akan menjadi temannya di neraka untuk menikmati berbagai panorama siksaan nan pedih lagi tak berketepian.
KEIKHLASAN VERSUS KESYIRIKAN.
Senjata kaum muikmin adalah keikhlasan yang lahir dari akumulasi keimanannya kepada Allah swt, malaikat-malaikat-Nya, para nabi-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir dan qadha serta qadar-Nya. Keikhlasan ini memoles setiap ibadah murni (mahdah) yang dilakukan oleh sang hamba, seperti ; syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji.
Begitu pun pada ibadah-ibadah ghairu mahdah, seperti ; berderma, mencari rezki, tidur, makan dan aktivitas lainnya, keikhlasan tetap mengalir dan menguatkan sendi-sendinya. Sehingga setan merasa tidak ada pelung untuk menggugat dan menorobosnya. Terhadap hamba demikian, setan hanya bisa gigit jari penuh penyesalan.
Tetapi bukan setan namanya kalu tidak punya nyali untuk mencari berbagai larangan untuk dijadikan umpan. Kesyirikanlah menjadi media paling ampuh untuk menggiring manusia agar ikut pada jalur salahnya. Dengan nama ini, iblis bisa membuka berbagai lorong untuk manusia agar bisa menjabak mereka dalam praktek kemusyrikian.
Kemisyrikan ini dikemas oleh Iblis dalam beragam bentuk. Ada kemusyrikan yang terjadi katika berdo’a, ada pula yang terjadi ketika bersumpah, dan berbagai bentuk kesyirikan lainnya.
RAGAM KESYIRIKAN.
Pada perkembagannya, syirik yang telah dirancang Iblis semenjak awal kehadirannya di pentas dunia hingga saat ini terbagi atas dua bagian besar. Pembagian ini berdasarkan pada bahaya yang ditimbulkannya terhadap keyakinan seseorang. Keduanya adalah :
• Syirik pada masalah rububiyah Allah swt. (Penciptaan dan pegaturan segala kejadian di alam yang merupakan hak mutlak Allah swt.).
Syirik jenis ini terjadi ketika seseorang meyakini adanya peran serta pihak lain selain Allah dalam mencipta, menjaga dan mengatur kejadian di alam semesta ini. Seperti seseorang yang meyakini adanya kekuatan pada benda keramat yang bisa menolak bala dan mendatangkan rezqi. Seperti pula orang yang meyakini bahwa berhala bisa memberi manfaat berupa rezqi dan menolak bahaya.
• Syirik pada masalah uluhiyyah Allah swt. (Ibadah).
Syirik ini terjadi ketika seseorang melakukan ibadah yang nota bene disyariatkan oleh Allah swt., tetapi ia meniyatkan untuk Allah dan untuk selain-Nya. Sebagai contoh ; seseorang yang berdo’a kepada selain Allah atau seseorang yang menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada jin atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Bahkan orang yang berpuasa mutih dengan tujuan untuk kekebalan juga masuk dalam kategori ini.
Syirik jenis ini juga terbagi dua, yaitu :
1. Syirik Besar
Syirik jenis ini akan menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Karena dengan melakukannya dengan penuh kesadaran akan menghancurkan sendi-sendi akidah tauhid yang berbasis pada kalimat La Ilaha Illallah. Kalimat yang menghendaki orang yang meyakininya tunduk dan patuh terhadap konsekwensi yang dikandungnya. Konsekwensi yang dimaksud adalah seperti :
(1) Ilmu yang yang dapat menghilangkan kebodohan tentang Allah swt,
(2) Keyakinan kepada Allah yang akan menghilangkan keraguan kepada-Nya,
(3) Menerima konsekwensi kalimat tauhid dengan hati dan lisannya yang dapat menghilamgkan sikap penolakan terhadap-Nya,
(4) Tunduk dan patuh terhadap kandungan kalimat tauhid yang nantinya akan menghilangkan sikap acuh tak acuh kepada-Nya,
(5) Jujur terhadan kalimat tauhid sehingga hilang darinya sikap munafik,
(6) Ikhlas yang akan menghilangkan riya dan kesyirikan, dan
(7) Kecintaan terhadap kalimat tauhid yang akan menghapus kebenciannya kepadanya.
Dengan kepiawaiannya, iblis berusaha menghancurkan manusia dan jin dengan mengalihkan mereka kepada lawan dari konsekwensi kalimat tauhid di atas. Yang mana, lawan dari konsekwensi tauhid itu adalah ketidaktahuan tentang Allah yang mengakibatkan kepada pencarian tuhan lain yang bisa dainggap memiliki kemampuan untuk mendatangkan kebaikan dan menjauhkan bahaya. Akibat dari ketidaktahuan ini, manusia kemudian ragu terhadap Allah dan meyakini selain-Nya (berhala) sebagai pemegang manfaat dan dianggap mampu melindungai merka dari bahaya.
Dengan keraguan terhadap Allah swt, manusia kemudian menolak aturan Allah dan lebih senang dengan aturan tuhan-tuhan yang disembah selain Allah. Dengan penolakan ini, manusia acuh tak acuh lagi terhadap hukum Allah dan makin meningkatkan ketaatan mereka terhadap selain Allah. Karena sikap acuh tak acuh terhadap Allah swt ini, mereka lalu menjadi munafik. Lalu dari kemunafikan ini mereka beranjak menjadi musyrik kepada Allah swt.
Kemusyrikaan inilah yang membuat mereka benci kepada aturan Allah dan membuat mereka mencintai aturan tuhan-tuhan selain Allah. Dengan demikian, mereka berada seratus persen di bawah kerajaan iblis dan lepas dari wilayah Islam. Naudzu billah.
Jika dielaborasi lebih jauh, maka kita bisa memetakan hal-hal yang bisa menghancurkan keislaman seseorang. Dalam penelitian ulama, terdapat sepuluh hal yang bisa membatalkan keislaman seseorang. Kesepuluh hal tersebut adalah sebagai berikut :
Syirik dalam beribadah kepada Allah swt. firman Allah swt. : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) yang menyekutukan-Nya dan mengampuni dosa-dosa selain itu bagi siapa yang dikehendakinya”. (QS. An-Nisaa’ : 116).
Mengambil perantara antara Allah dengan dirinya. Misalnya mengambil berhala sebagai perantara antara dirinya dengan Allah swt.
Tidak mengkafirkan orang kafir, atau meragukan kekafiran mereka, atau cendrung membenarkan kekafiran mereka.
Meyakini bahwa hukum yang tidak islami lebih sempurna dan integral dibanding dengan hukum Islam.
Memandang remeh beberapa ajaran Islam atau pahala yang dijanjikan oleh Allah, serta memandang kecil siksaan Allah.
Melakukan praktek perdukunan dan amalan sihir.
Membantu kaum kafir dan musyrik dalam memusuhi kaum muslimin.
Meyakini bahwa ada pihak tertentu yang tidak wajib mengikuti ajaran Rasulullah saw.
Acuh terhadap agama Allah swt. ia tidak memepelajarinya dan tidak mengamalkannya.
2. Syirik Kecil.
Syirik jenis ini tidaklah membuat pelakunya keluar dari Islam. Hanya saja, amalan yang terkait dengan syirik ini ikut terhapus pahalanya. Riya termasuk dalam jenis ini. Jika seseorang melakukan suatu ibadah dengan disertai riya maka amalan tersebut tidak berpahala.
Iblis pun tidak pernah lupa untuk berkonstribusi penuh unutk merancang syirik jenis ini agar dilakoni oleh orang yang berilmu. Dengan demikian, pahala yang dapat diperoleh dari ibadahnya berkurang ataupun hilang tanpa bekas. Ada banyak pertimbangan kenapa iblis juga berkepentingan dengan syirk jenis ini. Jika ia merasa bahwa orang-orang yang menempuh jalur ilmu tidak bisa dikibuli dengan syirik besar maka syirik kecillah yang menjadi umpan. Dengan inilah iblis bisa merugikan orang-orang berilmu tanpa mereka menyadarinya.
BAHAYA SYIRIK BESAR.
Syirik besar tak diragukan lagi melemparkan seseorang ke lorong gelap kekafiran. Jika seseorang melakukan syirik besar maka segala pahala amalannya akan hancur lebur. Karena sejatinya adalah bahwa pahala itu dari Allah swt. Jika seseorang berbuat syirik kepada-Nya maka Ia tentu tidak lagi menjamin pahala yang selama ini mereka peroleh karena beribadah kepada-Nya. Tentang hancurnya pahala pelaku kemusyrikan, Allah swt berfirman : “Sesungguhnya jika engkau (hai Muhammad) berbuat syirik niscaya batallah amalmu. Dan pasti engkau termasuk golongan orang-orang yang merugi”. Jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan demikian maka dosanya tidak akan diampuni. Firman Allah swt : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) yang menyekutukan-Nya dan mengampuni dosa-dosa selain itu bagi siapa yang dikehendakinya”. (QS. An-Nisaa’ : 116) Bahkan syirik besar menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka. Firman Allah swt. “Sesunggunya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah maka Allah pasti mengharamkan kepadanya sorga. Dan tempatnya adalah neraka”. (QS. Al-Ma’idah : 72).
AL-WALA’ DAN AL-BARA SEBAGAI SOLUSI.
Jika kita merujuk kembali penyebab terjadinya keikhlasan kepada Allah swt dengan menelusuri kembali syarat-sayarat kalimat tauhid dan lawannya, maka sesunguhnya kita membutuhkan konsep al-wala dan al-bara. Al-wala adalah pernyataan yang lahir secara murni dari orang yang beriman unutk mencintai Allah dan membenci tuhan-tuhan selain-Nya. Sedangkan al-bara adalah sikap berlepas diri yang diseratai dengan perasaan benci dari semua thoghut besarta segala hukum yang lahir darinya.
Al-wala’ dan al-bara ini sejatinya merupakan hakikat kalimat tauhid, la ilaha illallah. karena kalimat la Ilaha sesungguhnya merupakan bentuk berlepas diri atau meniadakan semua tuhan-tuhan yang disembah selain Allah swt. sedangkan kalimat illallah merupakan penegasan tentang al-wala’ kepada Allah swt dengan segala aturan yang ditetapkan-Nya.
Banyak ayat menegaskan tentang prinsip ini. Misalnya, firman Allah swt : “Siapa pun yang mengingkari para thogut, lalu beriman kepada Allah swt maka sungguh ia telah berpegang teguh dengan tali yang kokoh”. (QS.al-Baqarah : 256). Pada ayat lain disebutkan, “Barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah sedang ia berbuat baik (muhsin) maka sungguh ia telah berpegang teguh pada tali yang kokoh”. (QS.Lukman : 22). Ayat ini merupakan bentuk wala’ kepada Allah, sedang bentuk baro’nya dijelaskan oleh ayat lain seperti : “Barang siapa yang mengikuti agama selain Islam maka amalnya tiadk akan diterima dan ia termasuk orang yang merugi di akhirat kelak”. (QS.Ali Imran : 85).
Bahkan seluruh nabi yang diutus oleh Allah di bumi membawa missi besar ini. Lihatlah Nabi Ibrahim AS. yang dengan tegas menyatakan kepada kaumnya yang berkomitmen kepada selain Allah : “Sungguh aku berlepas diri dari tuhan-tuhan yang kalian sembah, kecuali Tuhan yang menciptakan Aku”. Yakni bahwa semua yang kalian sembah selain Allah tidak sama sekali saya gubris. Kecuali jika yang anda sembah adalah Allah maka akulah orang pertama yang menyatakan komitmen kepada-Nya (wala).
Demikian pula nabi Hud, terhadap kaumnya ia bertetiak lantang dengan penuh ketegasan, “Sembahlah Allah. Tidak ada tuhan bagi kalian selain-Nya”. Demikian pula nabi dan rasul lainnya.
WALI ALLAH VERSUS WALI SETAN.
Dari prinsip inilah lahir dua golongan besar manusia yang selalu mengisi kehidupan dunia dengan berbagai kreatifitas yang dikembangkannya. Golongan pertama adalah para wali Allah yang sering menyebut dirinya hizbullah. Sedangkan golongan kedua menjadi rival yang disebut sebagai hizbussyaitan. Keduanya unjuk kebolehan dalam menata nilai masing-masing dengan berusaha menyingkirkan berbagai bentuk nilai yang dibangun oleh pihak lain. Keduanya berusaha membangun supermasi hukum dengan mengembangkan sayap dalam bentuk intitusi, lembaga, perusahaan, partai politik dan organisasi massa. Bahkan pada skala nasional, mereka berusaha hadir dalam level kenegaraan. Kemudian berusaha tampil di perhelatan internasional dengan memamerkan tekhnologi persenjataan super canggih sebagai bukti keperkasaan mereka.
Sebenarnya tidak ada yang salah denga semua bentuk demikian. Karena dalam aktualisasi diri dan kelompok, semua manusia membutuhkan wadah sosial yang bernama perkumpulan Kesalahan terjadi ketika yang menjadi dasar semuanya adalah setan.
Sehingga sadar atau tidak nilai-nilai Allah dikerdilkan. Ini jauh berbeda dengan lembaga, atauapapun namanya, yang dikembangkan dengan prinsip kecintaan kepada Allah. Pada bingkai demikian, aturan-aturan Allah-lah yang menjadi acuan. Sehingga jika terjadi kesalah maka kesalahan itu murni akibat kecerobohan personal yang tidak sama sekali tidak terkait dengan Islam sebagi produk Allah swt.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, di mana posisi kita dari sekian banyak lembaga yang bekerja di lapangan. Apakah kita, secara tidak sadar, berada dalam bingkai sebuah lembaga yang tidak menjadikan Allah sebagai landasan dalam berbuat. Sehingga mau tidak mau, sedikit demi sedikit, kita merasa memiliki sikap dualisme. Pada satu sisi, kita hendak menjadikan semua aktifitas kita sebagai ibadah, sedang di sisi yang lain kita terjebak pada mekanisme yang tidak mendukung, bahkan cendrung memusuhi nilai yang kita yakini.
Ya Allah ! berikanlah kami jalan keluar dari kesyirikin, apa pun bentuknya. Dan tempatkanlah kami dalam jajaran hamba-Mu yang bekerja untuk-Mu. Amin.
Oleh : Ust. Idrus Abidin, Lc.
http://www.almanar.co.id/2009/06/syirik-dan-tipu-daya-setan/
Syirik merupakan dosa yang menempati rating tertinggi dalam hirarki dosa-dosa bani adam. Bahkan karena dosa ini, manusia bisa keluar dari wilayah Islam menuju wilayah kekafiran. Wilayah yang manjadi dominasi setan yang terkutuk. Dalam wilayah inilah setan merancang berbagai system yang terpadu dengan dukungan sejumlah prangkat canggih, dilengkapi dengan sumber daya yang kompeten untuk mencari anggota baru dari kalangan bani adam dan kalangan jin. Karena memang kedua jenis terakhir itulah yang sedang menempuh perjalan menuju Allah swt. Dunia inilah yang menjadi tempat observasi mereka.
Tempat di mana mereka berusaha mencari jalan yang lurus. Jalan yang telah direkomendasikan oleh sang pemilik kenikmatan dan siksaan (baca : Allah). Jalan yang telah dilewati oleh para nabi, syuhada, dan shalihin sebelumnya. Kelompok terakhir inilah yang telah berhasil menempuh sebuah perjalanan spiritual yang mencengangkan sehingga rival mereka dari kalangan setan tidak mampu membendung berbagai jurus yang mereka tampilkan selama dalam observasi mereka di dunia ini.
Ketika awal keluarnya dulu dari sorga, Adam dengan Hawwa serta iblis, harus terdampar di dunia ini. Pase pembelajaran awal pada laboratorium pertama yang bernama sorga itu telah mereka lewati. Iblis dengan segala tipu dayanya berhasil menggelincirkan Adam dan Hawwa untuk mendekati sebuah pohon yang telah diblack-list oleh Allah sebagai pohon terlarang. Berbagai cara yang dilakukan oleh Iblis untuk menundukkan musuhnya itu agar bisa memperdayanya. Sementara obyek yang bisa dimamfaatkan ketika itu hanyalah satu, yaitu sang pohon terlarang.
Dengan kepiawaiannya dalam berargumen, Iblis mampu meyakinkan keduanya bahwa dibalik larangan Allah itu ada maksud yang sangat tidak berpihak kepada keduanya. Yaitu agar keduanya tidak bisa terdaftar dalam keaggotaan malaikat dan tetap berada dalam sorga. Artinya, Iblis berusaha meyakinkan Adam dan Hawa agar bisa memakan buah pohon tersebut agar keduanya tetap bisa tinggal di sorga dengan bergelimang kenikmatan yang tiada tara. Alasan yang sangat logis inilah yang menjerumuskannya, sehingga keduanya melanggar larangan Allah swt.
Sejenak setelah larangan itu dilabrak, hiasan sorga yang melekat pada diri mereka satu persatu lepas. Sehingga untuk menutupi aurat masing-masing, keduanya berusaha meraih daun pepohonan. Iblis bersorak penuh kebanggan sambil merayakan kemenanganya yang begitu mengesankan. Walaupun karena tipu dayanya itu ia harus hengkang pula dari sorga dan turun ke bumi bersama Adam dan Hawwa.
Keduanya diproklamirkan sebagai musuh bebuyutan, karena arus yang mereka bawa berbeda. Satu mewakili hawa panas dengan kegelapannya, sementara yang lain membawakan cahaya dengan kesejukannya.
Di bumi inilah serial pertempuran yang kedua, setelah babak pertama berakhir dengan keputusan Allah untuk mengeluarkan mereka ke bumi, kembali dilanjutkan. Pesan Allah ketika itu kepada Adam dan Hawwa hanya satu. Yaitu, bahwa jika petunjuk-Nya telah datang, maka siapa pun mengikuti petunjuk-Nya maka ia tidak akan merasa takut dalam menghadapi hidup dan tidak akan sedih karena dirundung berbagai masalah yang berkepanjangan (QS Al-Baqarah : 38).
Namun sebelum Iblis keluar dari sorga, ia meminta kepada Allah swt. agar diberi perpanjangan jatah hidup di dunia hingga datangnya hari kiamat. Dengan Hikmah-Nya, Allah mengabulkan permintaannya tersebut (QS al-A’raf : 15). Setelah mendapat fasilitas umur, ia bersumpah serapah akan menempuh berbagai cara dan arah untuk menggelincirkan bani adam dari jalan-Nya yang lurus (QS al-A’raf : 16). Untuk sumpah serapah itu, Allah menegaskan kepadanya bahwa hamba-hamba-Nya yang ikhlas tidak akan mampu ditundukkan oleh tipu dayanya. Adapun yang tunduk kepada Iblis, nantinya akan menjadi temannya di neraka untuk menikmati berbagai panorama siksaan nan pedih lagi tak berketepian.
KEIKHLASAN VERSUS KESYIRIKAN.
Senjata kaum muikmin adalah keikhlasan yang lahir dari akumulasi keimanannya kepada Allah swt, malaikat-malaikat-Nya, para nabi-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir dan qadha serta qadar-Nya. Keikhlasan ini memoles setiap ibadah murni (mahdah) yang dilakukan oleh sang hamba, seperti ; syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji.
Begitu pun pada ibadah-ibadah ghairu mahdah, seperti ; berderma, mencari rezki, tidur, makan dan aktivitas lainnya, keikhlasan tetap mengalir dan menguatkan sendi-sendinya. Sehingga setan merasa tidak ada pelung untuk menggugat dan menorobosnya. Terhadap hamba demikian, setan hanya bisa gigit jari penuh penyesalan.
Tetapi bukan setan namanya kalu tidak punya nyali untuk mencari berbagai larangan untuk dijadikan umpan. Kesyirikanlah menjadi media paling ampuh untuk menggiring manusia agar ikut pada jalur salahnya. Dengan nama ini, iblis bisa membuka berbagai lorong untuk manusia agar bisa menjabak mereka dalam praktek kemusyrikian.
Kemisyrikan ini dikemas oleh Iblis dalam beragam bentuk. Ada kemusyrikan yang terjadi katika berdo’a, ada pula yang terjadi ketika bersumpah, dan berbagai bentuk kesyirikan lainnya.
RAGAM KESYIRIKAN.
Pada perkembagannya, syirik yang telah dirancang Iblis semenjak awal kehadirannya di pentas dunia hingga saat ini terbagi atas dua bagian besar. Pembagian ini berdasarkan pada bahaya yang ditimbulkannya terhadap keyakinan seseorang. Keduanya adalah :
• Syirik pada masalah rububiyah Allah swt. (Penciptaan dan pegaturan segala kejadian di alam yang merupakan hak mutlak Allah swt.).
Syirik jenis ini terjadi ketika seseorang meyakini adanya peran serta pihak lain selain Allah dalam mencipta, menjaga dan mengatur kejadian di alam semesta ini. Seperti seseorang yang meyakini adanya kekuatan pada benda keramat yang bisa menolak bala dan mendatangkan rezqi. Seperti pula orang yang meyakini bahwa berhala bisa memberi manfaat berupa rezqi dan menolak bahaya.
• Syirik pada masalah uluhiyyah Allah swt. (Ibadah).
Syirik ini terjadi ketika seseorang melakukan ibadah yang nota bene disyariatkan oleh Allah swt., tetapi ia meniyatkan untuk Allah dan untuk selain-Nya. Sebagai contoh ; seseorang yang berdo’a kepada selain Allah atau seseorang yang menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada jin atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Bahkan orang yang berpuasa mutih dengan tujuan untuk kekebalan juga masuk dalam kategori ini.
Syirik jenis ini juga terbagi dua, yaitu :
1. Syirik Besar
Syirik jenis ini akan menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Karena dengan melakukannya dengan penuh kesadaran akan menghancurkan sendi-sendi akidah tauhid yang berbasis pada kalimat La Ilaha Illallah. Kalimat yang menghendaki orang yang meyakininya tunduk dan patuh terhadap konsekwensi yang dikandungnya. Konsekwensi yang dimaksud adalah seperti :
(1) Ilmu yang yang dapat menghilangkan kebodohan tentang Allah swt,
(2) Keyakinan kepada Allah yang akan menghilangkan keraguan kepada-Nya,
(3) Menerima konsekwensi kalimat tauhid dengan hati dan lisannya yang dapat menghilamgkan sikap penolakan terhadap-Nya,
(4) Tunduk dan patuh terhadap kandungan kalimat tauhid yang nantinya akan menghilangkan sikap acuh tak acuh kepada-Nya,
(5) Jujur terhadan kalimat tauhid sehingga hilang darinya sikap munafik,
(6) Ikhlas yang akan menghilangkan riya dan kesyirikan, dan
(7) Kecintaan terhadap kalimat tauhid yang akan menghapus kebenciannya kepadanya.
Dengan kepiawaiannya, iblis berusaha menghancurkan manusia dan jin dengan mengalihkan mereka kepada lawan dari konsekwensi kalimat tauhid di atas. Yang mana, lawan dari konsekwensi tauhid itu adalah ketidaktahuan tentang Allah yang mengakibatkan kepada pencarian tuhan lain yang bisa dainggap memiliki kemampuan untuk mendatangkan kebaikan dan menjauhkan bahaya. Akibat dari ketidaktahuan ini, manusia kemudian ragu terhadap Allah dan meyakini selain-Nya (berhala) sebagai pemegang manfaat dan dianggap mampu melindungai merka dari bahaya.
Dengan keraguan terhadap Allah swt, manusia kemudian menolak aturan Allah dan lebih senang dengan aturan tuhan-tuhan yang disembah selain Allah. Dengan penolakan ini, manusia acuh tak acuh lagi terhadap hukum Allah dan makin meningkatkan ketaatan mereka terhadap selain Allah. Karena sikap acuh tak acuh terhadap Allah swt ini, mereka lalu menjadi munafik. Lalu dari kemunafikan ini mereka beranjak menjadi musyrik kepada Allah swt.
Kemusyrikaan inilah yang membuat mereka benci kepada aturan Allah dan membuat mereka mencintai aturan tuhan-tuhan selain Allah. Dengan demikian, mereka berada seratus persen di bawah kerajaan iblis dan lepas dari wilayah Islam. Naudzu billah.
Jika dielaborasi lebih jauh, maka kita bisa memetakan hal-hal yang bisa menghancurkan keislaman seseorang. Dalam penelitian ulama, terdapat sepuluh hal yang bisa membatalkan keislaman seseorang. Kesepuluh hal tersebut adalah sebagai berikut :
Syirik dalam beribadah kepada Allah swt. firman Allah swt. : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) yang menyekutukan-Nya dan mengampuni dosa-dosa selain itu bagi siapa yang dikehendakinya”. (QS. An-Nisaa’ : 116).
Mengambil perantara antara Allah dengan dirinya. Misalnya mengambil berhala sebagai perantara antara dirinya dengan Allah swt.
Tidak mengkafirkan orang kafir, atau meragukan kekafiran mereka, atau cendrung membenarkan kekafiran mereka.
Meyakini bahwa hukum yang tidak islami lebih sempurna dan integral dibanding dengan hukum Islam.
Memandang remeh beberapa ajaran Islam atau pahala yang dijanjikan oleh Allah, serta memandang kecil siksaan Allah.
Melakukan praktek perdukunan dan amalan sihir.
Membantu kaum kafir dan musyrik dalam memusuhi kaum muslimin.
Meyakini bahwa ada pihak tertentu yang tidak wajib mengikuti ajaran Rasulullah saw.
Acuh terhadap agama Allah swt. ia tidak memepelajarinya dan tidak mengamalkannya.
2. Syirik Kecil.
Syirik jenis ini tidaklah membuat pelakunya keluar dari Islam. Hanya saja, amalan yang terkait dengan syirik ini ikut terhapus pahalanya. Riya termasuk dalam jenis ini. Jika seseorang melakukan suatu ibadah dengan disertai riya maka amalan tersebut tidak berpahala.
Iblis pun tidak pernah lupa untuk berkonstribusi penuh unutk merancang syirik jenis ini agar dilakoni oleh orang yang berilmu. Dengan demikian, pahala yang dapat diperoleh dari ibadahnya berkurang ataupun hilang tanpa bekas. Ada banyak pertimbangan kenapa iblis juga berkepentingan dengan syirk jenis ini. Jika ia merasa bahwa orang-orang yang menempuh jalur ilmu tidak bisa dikibuli dengan syirik besar maka syirik kecillah yang menjadi umpan. Dengan inilah iblis bisa merugikan orang-orang berilmu tanpa mereka menyadarinya.
BAHAYA SYIRIK BESAR.
Syirik besar tak diragukan lagi melemparkan seseorang ke lorong gelap kekafiran. Jika seseorang melakukan syirik besar maka segala pahala amalannya akan hancur lebur. Karena sejatinya adalah bahwa pahala itu dari Allah swt. Jika seseorang berbuat syirik kepada-Nya maka Ia tentu tidak lagi menjamin pahala yang selama ini mereka peroleh karena beribadah kepada-Nya. Tentang hancurnya pahala pelaku kemusyrikan, Allah swt berfirman : “Sesungguhnya jika engkau (hai Muhammad) berbuat syirik niscaya batallah amalmu. Dan pasti engkau termasuk golongan orang-orang yang merugi”. Jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan demikian maka dosanya tidak akan diampuni. Firman Allah swt : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) yang menyekutukan-Nya dan mengampuni dosa-dosa selain itu bagi siapa yang dikehendakinya”. (QS. An-Nisaa’ : 116) Bahkan syirik besar menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka. Firman Allah swt. “Sesunggunya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah maka Allah pasti mengharamkan kepadanya sorga. Dan tempatnya adalah neraka”. (QS. Al-Ma’idah : 72).
AL-WALA’ DAN AL-BARA SEBAGAI SOLUSI.
Jika kita merujuk kembali penyebab terjadinya keikhlasan kepada Allah swt dengan menelusuri kembali syarat-sayarat kalimat tauhid dan lawannya, maka sesunguhnya kita membutuhkan konsep al-wala dan al-bara. Al-wala adalah pernyataan yang lahir secara murni dari orang yang beriman unutk mencintai Allah dan membenci tuhan-tuhan selain-Nya. Sedangkan al-bara adalah sikap berlepas diri yang diseratai dengan perasaan benci dari semua thoghut besarta segala hukum yang lahir darinya.
Al-wala’ dan al-bara ini sejatinya merupakan hakikat kalimat tauhid, la ilaha illallah. karena kalimat la Ilaha sesungguhnya merupakan bentuk berlepas diri atau meniadakan semua tuhan-tuhan yang disembah selain Allah swt. sedangkan kalimat illallah merupakan penegasan tentang al-wala’ kepada Allah swt dengan segala aturan yang ditetapkan-Nya.
Banyak ayat menegaskan tentang prinsip ini. Misalnya, firman Allah swt : “Siapa pun yang mengingkari para thogut, lalu beriman kepada Allah swt maka sungguh ia telah berpegang teguh dengan tali yang kokoh”. (QS.al-Baqarah : 256). Pada ayat lain disebutkan, “Barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah sedang ia berbuat baik (muhsin) maka sungguh ia telah berpegang teguh pada tali yang kokoh”. (QS.Lukman : 22). Ayat ini merupakan bentuk wala’ kepada Allah, sedang bentuk baro’nya dijelaskan oleh ayat lain seperti : “Barang siapa yang mengikuti agama selain Islam maka amalnya tiadk akan diterima dan ia termasuk orang yang merugi di akhirat kelak”. (QS.Ali Imran : 85).
Bahkan seluruh nabi yang diutus oleh Allah di bumi membawa missi besar ini. Lihatlah Nabi Ibrahim AS. yang dengan tegas menyatakan kepada kaumnya yang berkomitmen kepada selain Allah : “Sungguh aku berlepas diri dari tuhan-tuhan yang kalian sembah, kecuali Tuhan yang menciptakan Aku”. Yakni bahwa semua yang kalian sembah selain Allah tidak sama sekali saya gubris. Kecuali jika yang anda sembah adalah Allah maka akulah orang pertama yang menyatakan komitmen kepada-Nya (wala).
Demikian pula nabi Hud, terhadap kaumnya ia bertetiak lantang dengan penuh ketegasan, “Sembahlah Allah. Tidak ada tuhan bagi kalian selain-Nya”. Demikian pula nabi dan rasul lainnya.
WALI ALLAH VERSUS WALI SETAN.
Dari prinsip inilah lahir dua golongan besar manusia yang selalu mengisi kehidupan dunia dengan berbagai kreatifitas yang dikembangkannya. Golongan pertama adalah para wali Allah yang sering menyebut dirinya hizbullah. Sedangkan golongan kedua menjadi rival yang disebut sebagai hizbussyaitan. Keduanya unjuk kebolehan dalam menata nilai masing-masing dengan berusaha menyingkirkan berbagai bentuk nilai yang dibangun oleh pihak lain. Keduanya berusaha membangun supermasi hukum dengan mengembangkan sayap dalam bentuk intitusi, lembaga, perusahaan, partai politik dan organisasi massa. Bahkan pada skala nasional, mereka berusaha hadir dalam level kenegaraan. Kemudian berusaha tampil di perhelatan internasional dengan memamerkan tekhnologi persenjataan super canggih sebagai bukti keperkasaan mereka.
Sebenarnya tidak ada yang salah denga semua bentuk demikian. Karena dalam aktualisasi diri dan kelompok, semua manusia membutuhkan wadah sosial yang bernama perkumpulan Kesalahan terjadi ketika yang menjadi dasar semuanya adalah setan.
Sehingga sadar atau tidak nilai-nilai Allah dikerdilkan. Ini jauh berbeda dengan lembaga, atauapapun namanya, yang dikembangkan dengan prinsip kecintaan kepada Allah. Pada bingkai demikian, aturan-aturan Allah-lah yang menjadi acuan. Sehingga jika terjadi kesalah maka kesalahan itu murni akibat kecerobohan personal yang tidak sama sekali tidak terkait dengan Islam sebagi produk Allah swt.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, di mana posisi kita dari sekian banyak lembaga yang bekerja di lapangan. Apakah kita, secara tidak sadar, berada dalam bingkai sebuah lembaga yang tidak menjadikan Allah sebagai landasan dalam berbuat. Sehingga mau tidak mau, sedikit demi sedikit, kita merasa memiliki sikap dualisme. Pada satu sisi, kita hendak menjadikan semua aktifitas kita sebagai ibadah, sedang di sisi yang lain kita terjebak pada mekanisme yang tidak mendukung, bahkan cendrung memusuhi nilai yang kita yakini.
Ya Allah ! berikanlah kami jalan keluar dari kesyirikin, apa pun bentuknya. Dan tempatkanlah kami dalam jajaran hamba-Mu yang bekerja untuk-Mu. Amin.
Oleh : Ust. Idrus Abidin, Lc.
http://www.almanar.co.id/2009/06/syirik-dan-tipu-daya-setan/
1 Dari 10 Hasil Puasa : Gerakan Umat Produktif…
Mumpung suasana lebaran dan liburan masih menyelimuti kita, saya belum akan menulis tentang perkembangan pasar emas dan sejenisnya. Saya masih ingin menyentuh hal-hal yang mendasar yang menumpuk di kepala selama menjalani i’tikaf sampai akhir pekan lalu. Kali ini saya ingin mengajak pembaca untuk merenungkan dua ayat berikut :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS 2:183)
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS 2:177)
Ayat pertama adalah ayat yang sangat popular sepanjang bulan puasa lalu, yaitu ayat tentang kewajiban puasa dan target dari puasa itu sendiri agar kita menjadi orang yang bertakwa. Lantas ayat kedua menjelaskan tentang siapa atau seperti apakah orang yang bertakwa itu. Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an lainnya seperti ini menjadi pilihan pertama bila kita ingin memahami makna suatu ayat.
Jadi dari dua ayat tersebut kita paham target puasa kita dan paham pula menjadi orang seperti apa kita pasca Ramadhan seharusnya. Karena parameter orang bertakwa ini jelas, insyaallah kita sendiri yang bisa mengukur sedekat apa kita bisa mendekati target ini.
Untuk ini mari kita list 10 sifat orang bertakwa berdasarkan QS 2 :177 tersebut diatas :
1. Beriman kepada Allah
2. Beriman kepada hari kemudian
3. Beriman kepada malaikat-malaikat
4. Beriman kepada kitab-kitabNya
5. Beriman kepada nabi-nabi
6. Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir,orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya
7. Mendirikan sholat
8. Menunaikan zakat
9. Orang yang menepati janjinya apabila berjanji
10. Orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan.
Terlalu panjang tulisan ini bila saya mengulas ke 10 sifat orang bertakwa yang antara lain dihasilkan melalui proses puasa ini, maka pada kesempatan ini saya hanya ingin mengulas satu saja yaitu sifat ke 6 dari orang yang bertakwa : “…Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir,orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya”.
Perhatikan kata kunci “…memberikan…” di penggalan ayat tersebut, siapa yang bisa “…memberikan…” ini ?, pertama pastilah dia orang yang memiliki kelebihan. Kalau dia pas-pasan, maka dia tidak akan dapat memberikan sesuatu kepada orang lain, semua yang dimilikinya hanya cukup untuk dirinya sendiri. Apalagi kalau dia kekurangan, jangankan bisa “…memberikan…”, sebaliknya dia akan cenderung “…menerima…” atau bahkan “…meminta…” dari yang lain. Kedua, selain ada dia juga mau memberikan sesuatu yang dicintainya – ini akan terjadi bila ada keimanan dalam hatinya (sifat 1 – 5).
Jadi puasa seharusnya menghasilkan orang-orang yang bertakwa yang salah satu sifatnya dia dapat “…memberikan…” yang dicintainya ke orang lain yang berhak, utamanya kerabat. Pemberian ini juga lebih dari apa yang diwajibkan dalam zakat, karena zakat disebut sebagai sifat yang lain dalam ayat ini.
Dari men-tadaburi dua ayat diatas, saya terus berfikir…di Indonesia ada 240 juta penduduk, 85 %-nya muslim, maka ada 204 juta penduduk muslim di Indonesia. Kalau asumsinya yang berada di usia produktif 50% saja, maka ada 102 juta muslim produktif di negeri ini. Bayangkan kalau yang 102 juta ini puasanya berhasil dan derajat takwa tercapai, wow… akan betapa banyak muslim-muslim yang berproduksi berlebih di negeri ini sehingga mampu memberikan sesuatu bagi yang lain.
Kalau ini yang bisa kita hasilkan, pastilah negeri ini tidak perlu tergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti yang saya tulis awal pekan ini.
Dengan prasangka baik ini, bahwa begitu besar potensi-potensi produksi sebagai buah dari ketakwaan yang akan terus meningkat setiap tahun sehabis Ramadhan, maka gerakan GeraiDinar dan BMT Daarul Muttaqqin yang awalnya hanya seputar penyebar luasan pengetahuan tentang Dinar, kemudian meningkat menjadi pengadaan dan pengelolaannya, insyaallah akan kita tingkatkan lagi menjadi pendorong peningkatan produktifitas umat kedepannya.
Agar ilmu yang diberikan olehNya ini tidak hanya berhenti di tenggorokan, maka dalam beberapa bulan kedepan insyaallah kami akan luncurkan Gerakan Umat Produktif yang merupakan sebuah Social Network yang Islami. Apa dan bagaimana-nya akan kami jelaskan tahap demi tahap pada waktunya, saat ini platform teknologi untuk ini sedang kami persiapkan. Program Pesantren Wirausaha yang insyaallah akan kick off untuk kelas eksekutif tanggal 10 Oktober 2009 mendatang juga merupakan bagian tak terpisahkan dari master plan peningkatan produktifitas umat ini.
Semoga Allah memudahkan dan menyempurnakan apa yang kita mulai dengan penuh kelemahan ini….Amin.
Written by Muhaimin Iqbal
http://geraidinar.com/index.php?option=com_content&view=article&id=275:1-dari-10-hasil-puasa-gerakan-umat-produktif&catid=1:latest-news&Itemid=50
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS 2:183)
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS 2:177)
Ayat pertama adalah ayat yang sangat popular sepanjang bulan puasa lalu, yaitu ayat tentang kewajiban puasa dan target dari puasa itu sendiri agar kita menjadi orang yang bertakwa. Lantas ayat kedua menjelaskan tentang siapa atau seperti apakah orang yang bertakwa itu. Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an lainnya seperti ini menjadi pilihan pertama bila kita ingin memahami makna suatu ayat.
Jadi dari dua ayat tersebut kita paham target puasa kita dan paham pula menjadi orang seperti apa kita pasca Ramadhan seharusnya. Karena parameter orang bertakwa ini jelas, insyaallah kita sendiri yang bisa mengukur sedekat apa kita bisa mendekati target ini.
Untuk ini mari kita list 10 sifat orang bertakwa berdasarkan QS 2 :177 tersebut diatas :
1. Beriman kepada Allah
2. Beriman kepada hari kemudian
3. Beriman kepada malaikat-malaikat
4. Beriman kepada kitab-kitabNya
5. Beriman kepada nabi-nabi
6. Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir,orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya
7. Mendirikan sholat
8. Menunaikan zakat
9. Orang yang menepati janjinya apabila berjanji
10. Orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan.
Terlalu panjang tulisan ini bila saya mengulas ke 10 sifat orang bertakwa yang antara lain dihasilkan melalui proses puasa ini, maka pada kesempatan ini saya hanya ingin mengulas satu saja yaitu sifat ke 6 dari orang yang bertakwa : “…Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir,orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya”.
Perhatikan kata kunci “…memberikan…” di penggalan ayat tersebut, siapa yang bisa “…memberikan…” ini ?, pertama pastilah dia orang yang memiliki kelebihan. Kalau dia pas-pasan, maka dia tidak akan dapat memberikan sesuatu kepada orang lain, semua yang dimilikinya hanya cukup untuk dirinya sendiri. Apalagi kalau dia kekurangan, jangankan bisa “…memberikan…”, sebaliknya dia akan cenderung “…menerima…” atau bahkan “…meminta…” dari yang lain. Kedua, selain ada dia juga mau memberikan sesuatu yang dicintainya – ini akan terjadi bila ada keimanan dalam hatinya (sifat 1 – 5).
Jadi puasa seharusnya menghasilkan orang-orang yang bertakwa yang salah satu sifatnya dia dapat “…memberikan…” yang dicintainya ke orang lain yang berhak, utamanya kerabat. Pemberian ini juga lebih dari apa yang diwajibkan dalam zakat, karena zakat disebut sebagai sifat yang lain dalam ayat ini.
Dari men-tadaburi dua ayat diatas, saya terus berfikir…di Indonesia ada 240 juta penduduk, 85 %-nya muslim, maka ada 204 juta penduduk muslim di Indonesia. Kalau asumsinya yang berada di usia produktif 50% saja, maka ada 102 juta muslim produktif di negeri ini. Bayangkan kalau yang 102 juta ini puasanya berhasil dan derajat takwa tercapai, wow… akan betapa banyak muslim-muslim yang berproduksi berlebih di negeri ini sehingga mampu memberikan sesuatu bagi yang lain.
Kalau ini yang bisa kita hasilkan, pastilah negeri ini tidak perlu tergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti yang saya tulis awal pekan ini.
Dengan prasangka baik ini, bahwa begitu besar potensi-potensi produksi sebagai buah dari ketakwaan yang akan terus meningkat setiap tahun sehabis Ramadhan, maka gerakan GeraiDinar dan BMT Daarul Muttaqqin yang awalnya hanya seputar penyebar luasan pengetahuan tentang Dinar, kemudian meningkat menjadi pengadaan dan pengelolaannya, insyaallah akan kita tingkatkan lagi menjadi pendorong peningkatan produktifitas umat kedepannya.
Agar ilmu yang diberikan olehNya ini tidak hanya berhenti di tenggorokan, maka dalam beberapa bulan kedepan insyaallah kami akan luncurkan Gerakan Umat Produktif yang merupakan sebuah Social Network yang Islami. Apa dan bagaimana-nya akan kami jelaskan tahap demi tahap pada waktunya, saat ini platform teknologi untuk ini sedang kami persiapkan. Program Pesantren Wirausaha yang insyaallah akan kick off untuk kelas eksekutif tanggal 10 Oktober 2009 mendatang juga merupakan bagian tak terpisahkan dari master plan peningkatan produktifitas umat ini.
Semoga Allah memudahkan dan menyempurnakan apa yang kita mulai dengan penuh kelemahan ini….Amin.
Written by Muhaimin Iqbal
http://geraidinar.com/index.php?option=com_content&view=article&id=275:1-dari-10-hasil-puasa-gerakan-umat-produktif&catid=1:latest-news&Itemid=50
Air Mata Taubat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah selain dua jenis tetesan air dan dua bekas [pada tubuh]; yaitu tetesan air mata karena perasaan takut kepada Allah, dan tetesan darah yang mengalir karena berjuang [berjihad] di jalan Allah. Adapun dua bekas itu adalah; bekas/luka pada tubuh yang terjadi akibat bertempur di jalan Allah dan bekas pada tubuh yang terjadi karena mengerjakan salah satu kewajiban yang diberikan oleh Allah.” (HR. Tirmidzi [1669] disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1363])
Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan, “Sungguh, menangis karena takut kepada Allah itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”.
Ka’ab bin al-Ahbar rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan; suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata.” (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).
Dari Ubaidullah bin Umair rahimahullah, suatu saat dia pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu’anha, “Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang pernah engkau lihat yang paling membuatmu kagum pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Maka ‘Asiyah pun terdiam lalu mengatakan, “Pada suatu malam, beliau (nabi) berkata, ‘Wahai Aisyah, biarkanlah malam ini aku sendirian untuk beribadah kepada Rabbku.’ Maka aku katakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya sangat senang dekat dengan anda. Namun saya juga merasa senang apa yang membuat anda senang.’ Aisyah menceritakan, ‘Kemudian beliau bangkit lalu bersuci dan kemudian mengerjakan shalat.’ Aisyah berkata, ‘Beliau terus menerus menangis sampai-sampai basahlah bagian depan pakaian beliau!’. Aisyah mengatakan, ‘Ketika beliau duduk [dalam shalat] maka beliau masih terus menangis sampai-sampai jenggotnya pun basah oleh air mata!’. Aisyah melanjutkan, ‘Kemudian beliau terus menangis sampai-sampai tanah [tempat beliau shalat] pun menjadi ikut basah [karena tetesan air mata]!”. Lalu datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat (Subuh). Ketika dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis, Bilal pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang?!’. Maka Nabi pun menjawab, ‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?! Sesungguhnya tadi malam telah turun sebuah ayat kepadaku, sungguh celaka orang yang tidak membacanya dan tidak merenungi kandungannya! Yaitu ayat (yang artinya), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….dst sampai selesai” (QS. Ali Imran : 190).” (HR. Ibnu Hiban [2/386] dan selainnya. Disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih at-Targhib [1468] dan ash-Shahihah [68]).
Mu’adz radhiyallahu’anhu pun suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu. Kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang satu akan masuk surga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan manakah aku di antara kedua golongan itu?”.
al-Hasan al-Bashri rahimahullah pun pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Aku khawatir besok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku lagi.”
Abu Musa al-Asya’ri radhiyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menangis pada saat sakitnya [menjelang ajal]. Maka ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?!”. Maka beliau menjawab, “Aku bukan menangis gara-gara dunia kalian [yang akan kutinggalkan] ini. Namun, aku menangis karena jauhnya perjalanan yang akan aku lalui sedangkan bekalku teramat sedikit, sementara bisa jadi nanti sore aku harus mendaki jalan ke surga atau neraka, dan aku tidak tahu akan ke manakah digiring diriku nanti?”.
Suatu malam al-Hasan al-Bashri rahimahullah terbangun dari tidurnya lalu menangis sampai-sampai tangisannya membuat segenap penghuni rumah kaget dan terbangun. Maka mereka pun bertanya mengenai keadaan dirinya, dia menjawab, “Aku teringat akan sebuah dosaku, maka aku pun menangis.”
Disarikan dari al-Buka’ min Khas-yatillah, asbabuhu wa mawani’uhu wa thuruq tahshilihi, hal. 4-13 karya Abu Thariq Ihsan bin Muhammad bin ‘Ayish al-’Utaibi, tanpa penerbit, berupa file word.
Penyusun: Ari Wahyudi
http://abu0mushlih.wordpress.com
http://pengusahamuslim.com/fatwa-perdagangan/nasehat-al-quran-dan-as-sunnah/661-air-mata-taubat.html
Dzikirullah, Jika Kamu Ingat Allah, Allah Ingat Kamu
Ketahuilah bahwa berdzikir kepada Allah merupakan kewajiban bagi tiap-tiap hamba Allah pada setiap waktu dan tempat dan segala situasi dan kondisi. Aisyah RA. menerangkan sifat Rasulullah Saw, bahwa beliau berzikir dalam setiap waktu dan keadaan.
Dzikir ialah: mengingat Allah dengan hati dan menyebut nama-Nya dengan lisan. Dengan itu hati dan jiwanya menjadi tenteram dan bahagia. Inilah tempat persinggahan orang-orang yang agung, mulia, dan terpuji, yang disanalah mereka membekali diri, berniaga dan ke sanalah mereka pulang kembali.
Dzikir merupakan santapan hati, yang jika tidak mendapatkan-nya, maka badan menjadi kuburan dan mati. Dzikir merupakan senjata yang di gunakan untuk menghadapi ‘perampok jalanan’, merupakan air yang bisa menghilangkan rasa dahaga di tengah perjalanan, merupakan obat yang menyembuhkan penyakit. Jika mereka tidak mendapatkanya, maka hati mereka akan mengkerut, karena dzikir merupakan perantara dan penghubung antar diri mereka dengan alam gaib. Dengan dzikir mereka menolak bencana dan menyingkirkan kesusahan, sehingga musibah yang menimpa mereka terasa remeh. Jika ada bencana yang datang, maka mereka berlindung kepada dzikir.
Demikianlah dzikir merupakan taman surga yang mereka diami dan modal kebahagiaan yang mereka pergunakan untuk berniaga. Dzikir mengajak hati yang dirundung kepiluan dan kesedihan untuk tersenyum gembira, melupakan diri dan segala musibah yang menimpanya lalu ingatannya tertuju hanya kepada Allah Swt. Allah Swt mengingatkan Nabi Saw, ketika dirundung kesedihan, karena cercaan dan intimidasi kaum musyrikan menghadapi dakwah beliau, beliau dituduh seorang penyair yang gila, maka beliau disuruh bersabar dan terus berzikir kepada Allah Swt.
http://www.abujibriel.com/ajib/2009/09/dzikrullah-jika-kamu-ingat-allah-allah-ingat-kamu-makalah-khutbah-idul-fitri-1430-h/
Cara Berbakti Kepada Orang Tua
Bentuk-Bentuk Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua Adalah :
Pertama.
Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada seorang mu’min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.
Dalam nasihat perkawinan dikatakan agar suami senantiasa berbuat baik kepada istri, maka kepada kedua orang tua harus lebih dari kepada istri. Karena dia yang melahirkan, mengasuh, mendidik dan banyak jasa lainnya kepada kita.
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ketika seseorang meminta izin untuk berjihad (dalam hal ini fardhu kifayah kecuali waktu diserang musuh maka fardhu ‘ain) dengan meninggalkan orang tuanya dalam keadaan menangis, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kembali dan buatlah keduanya tertawa seperti engkau telah membuat keduanya menangis” [Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i] Dalam riwayat lain dikatakan : “Berbaktilah kepada kedua orang tuamu” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Kedua.
Yaitu berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan berbicara dengan kedua orang tua dan berbicara dengan anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua, tidak boleh mengucapkan ‘ah’ apalagi mencemooh dan mencaci maki atau melaknat keduanya karena ini merupakan dosa besar dan bentuk kedurhakaan kepada orang tua. Jika hal ini sampai terjadi, wal iya ‘udzubillah.
Kita tidak boleh berkata kasar kepada orang tua kita, meskipun keduanya berbuat jahat kepada kita. Atau ada hak kita yang ditahan oleh orang tua atau orang tua memukul kita atau keduanya belum memenuhi apa yang kita minta (misalnya biaya sekolah) walaupun mereka memiliki, kita tetap tidak boleh durhaka kepada keduanya.
Ketiga.
Tawadlu (rendah diri). Tidak boleh kibir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah yang menolong dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.
Seandainya kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang kita anggap ringan dan merendahkan kita yang mungkin tidak sesuai dengan kesuksesan atau jabatan kita dan bukan sesuatu yang haram, wajib bagi kita untuk tetap taat kepada keduanya. Lakukan dengan senang hati karena hal tersebut tidak akan menurunkan derajat kita, karena yang menyuruh adalah orang tua kita sendiri. Hal itu merupakan kesempatan bagi kita untuk berbuat baik selagi keduanya masih hidup.
Keempat.
Yaitu memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua. Semua harta kita adalah milik orang tua. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Baqarah ayat 215.
“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infakkan. Jawablah, “Harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu perbuat sesungguhnya Allah maha mengetahui”
Jika seseorang sudah berkecukupan dalam hal harta hendaklah ia menafkahkannya yang pertama adalah kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tua memiliki hak tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Baqarah di atas. Kemudian kaum kerabat, anak yatim dan orang-orang yang dalam perjalanan. Berbuat baik yang pertama adalah kepada ibu kemudian bapak dan yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.
“Artinya : Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat” [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 3, Abu Dawud No. 5139 dan Tirmidzi 1897, Hakim 3/642 dan 4/150 dari Mu'awiyah bin Haidah, Ahmad 5/3,5 dan berkata Tirmidzi, "Hadits Hasan"]
Sebagian orang yang telah menikah tidak menafkahkan hartanya lagi kepada orang tuanya karena takut kepada istrinya, hal ini tidak dibenarkan. Yang mengatur harta adalah suami sebagaimana disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Harus dijelaskan kepada istri bahwa kewajiban yang utama bagi anak laki-laki adalah berbakti kepada ibunya (kedua orang tuanya) setelah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kewajiban yang utama bagi wanita yang telah bersuami setelah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kepada suaminya. Ketaatan kepada suami akan membawanya ke surga. Namun demikian suami hendaknya tetap memberi kesempatan atau ijin agar istrinya dapat berinfaq dan berbuat baik lainnya kepada kedua orang tuanya.
Kelima.
Mendo’akan orang tua. Sebagaimana dalam ayat “Robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro” (Wahai Rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil). Seandainya orang tua belum mengikuti dakwah yang haq dan masih berbuat syirik serta bid’ah, kita harus tetap berlaku lemah lembut kepada keduanya. Dakwahkan kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut sambil berdo’a di malam hari, ketika sedang shaum, di hari Jum’at dan di tempat-tempat dikabulkannya do’a agar ditunjuki dan dikembalikan ke jalan yang haq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apabila kedua orang tua telah meninggal maka :
Yang pertama : Kita lakukan adalah meminta ampun kepada Allah Ta’ala dengan taubat yang nasuh (benar) bila kita pernah berbuat durhaka kepada kedua orang tua sewaktu mereka masih hidup.
Yang kedua : Adalah mendo’akan kedua orang tua kita.
Dalam sebuah hadits dla’if (lemah) yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Apakah ada suatu kebaikan yang harus aku perbuat kepada kedua orang tuaku sesudah wafat keduanya ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, kamu shalat atas keduanya, kamu istighfar kepada keduanya, kamu memenuhi janji keduanya, kamu silaturahmi kepada orang yang pernah dia pernah silaturahmi kepadanya dan memuliakan teman-temannya” [Hadits ini dilemahkan oleh beberapa imam ahli hadits karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah dan Syaikh Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini dalam kitabnya Misykatul Mashabiih dan juga dalam Tahqiq Riyadush Shalihin (Bahajtun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin Juz I hal.413 hadits No. 343)]
Sedangkan menurut hadits-hadits yang shahih tentang amal-amal yang diperbuat untuk kedua orang tua yang sudah wafat, adalah :
[1] Mendo’akannya
[2] Menshalatkan ketika orang tua meninggal
[3] Selalu memintakan ampun untuk keduanya.
[4] Membayarkan hutang-hutangnya
[5] Melaksanakan wasiat yang sesuai dengan syari’at.
[6] Menyambung tali silaturrahmi kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya
[Diringkas dari beberapa hadits yang shahih]
Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma.
“Artinya : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman bapaknya sesudah bapaknya meninggal” [Hadits Riwayat Muslim No. 12, 13, 2552]
Dalam riwayat yang lain, Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma menemui seorang badui di perjalanan menuju Mekah, mereka orang-orang yang sederhana. Kemudian Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada orang tersebut dan menaikkannya ke atas keledai, kemudian sorbannya diberikan kepada orang badui tersebut, kemudian Abdullah bin Umar berkata, “Semoga Allah membereskan urusanmu”. Kemudian Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhumua berkata, “Sesungguhnya bapaknya orang ini adalah sahabat karib dengan Umar sedangkan aku mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman ayahnya” [Hadits Riwayat Muslim 2552 (13)]
Tidak dibenarkan mengqadha shalat atau puasa kecuali puasa nadzar [Tamamul Minnah Takhrij Fiqih Sunnah hal. 427-428, cet. III Darul Rayah 1409H, lihat Ahkamul Janaiz oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal 213-216, cet. Darul Ma'arif 1424H]
[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]
Sumber: almanhaj.or.id
http://abu0mushlih.wordpress.com/2009/09/23/cara-berbakti-kepada-orang-tua/#more-1079
Pertama.
Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada seorang mu’min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.
Dalam nasihat perkawinan dikatakan agar suami senantiasa berbuat baik kepada istri, maka kepada kedua orang tua harus lebih dari kepada istri. Karena dia yang melahirkan, mengasuh, mendidik dan banyak jasa lainnya kepada kita.
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ketika seseorang meminta izin untuk berjihad (dalam hal ini fardhu kifayah kecuali waktu diserang musuh maka fardhu ‘ain) dengan meninggalkan orang tuanya dalam keadaan menangis, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kembali dan buatlah keduanya tertawa seperti engkau telah membuat keduanya menangis” [Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i] Dalam riwayat lain dikatakan : “Berbaktilah kepada kedua orang tuamu” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Kedua.
Yaitu berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan berbicara dengan kedua orang tua dan berbicara dengan anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua, tidak boleh mengucapkan ‘ah’ apalagi mencemooh dan mencaci maki atau melaknat keduanya karena ini merupakan dosa besar dan bentuk kedurhakaan kepada orang tua. Jika hal ini sampai terjadi, wal iya ‘udzubillah.
Kita tidak boleh berkata kasar kepada orang tua kita, meskipun keduanya berbuat jahat kepada kita. Atau ada hak kita yang ditahan oleh orang tua atau orang tua memukul kita atau keduanya belum memenuhi apa yang kita minta (misalnya biaya sekolah) walaupun mereka memiliki, kita tetap tidak boleh durhaka kepada keduanya.
Ketiga.
Tawadlu (rendah diri). Tidak boleh kibir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah yang menolong dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.
Seandainya kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang kita anggap ringan dan merendahkan kita yang mungkin tidak sesuai dengan kesuksesan atau jabatan kita dan bukan sesuatu yang haram, wajib bagi kita untuk tetap taat kepada keduanya. Lakukan dengan senang hati karena hal tersebut tidak akan menurunkan derajat kita, karena yang menyuruh adalah orang tua kita sendiri. Hal itu merupakan kesempatan bagi kita untuk berbuat baik selagi keduanya masih hidup.
Keempat.
Yaitu memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua. Semua harta kita adalah milik orang tua. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Baqarah ayat 215.
“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infakkan. Jawablah, “Harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu perbuat sesungguhnya Allah maha mengetahui”
Jika seseorang sudah berkecukupan dalam hal harta hendaklah ia menafkahkannya yang pertama adalah kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tua memiliki hak tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Baqarah di atas. Kemudian kaum kerabat, anak yatim dan orang-orang yang dalam perjalanan. Berbuat baik yang pertama adalah kepada ibu kemudian bapak dan yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.
“Artinya : Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat” [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 3, Abu Dawud No. 5139 dan Tirmidzi 1897, Hakim 3/642 dan 4/150 dari Mu'awiyah bin Haidah, Ahmad 5/3,5 dan berkata Tirmidzi, "Hadits Hasan"]
Sebagian orang yang telah menikah tidak menafkahkan hartanya lagi kepada orang tuanya karena takut kepada istrinya, hal ini tidak dibenarkan. Yang mengatur harta adalah suami sebagaimana disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Harus dijelaskan kepada istri bahwa kewajiban yang utama bagi anak laki-laki adalah berbakti kepada ibunya (kedua orang tuanya) setelah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kewajiban yang utama bagi wanita yang telah bersuami setelah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kepada suaminya. Ketaatan kepada suami akan membawanya ke surga. Namun demikian suami hendaknya tetap memberi kesempatan atau ijin agar istrinya dapat berinfaq dan berbuat baik lainnya kepada kedua orang tuanya.
Kelima.
Mendo’akan orang tua. Sebagaimana dalam ayat “Robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro” (Wahai Rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil). Seandainya orang tua belum mengikuti dakwah yang haq dan masih berbuat syirik serta bid’ah, kita harus tetap berlaku lemah lembut kepada keduanya. Dakwahkan kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut sambil berdo’a di malam hari, ketika sedang shaum, di hari Jum’at dan di tempat-tempat dikabulkannya do’a agar ditunjuki dan dikembalikan ke jalan yang haq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apabila kedua orang tua telah meninggal maka :
Yang pertama : Kita lakukan adalah meminta ampun kepada Allah Ta’ala dengan taubat yang nasuh (benar) bila kita pernah berbuat durhaka kepada kedua orang tua sewaktu mereka masih hidup.
Yang kedua : Adalah mendo’akan kedua orang tua kita.
Dalam sebuah hadits dla’if (lemah) yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Apakah ada suatu kebaikan yang harus aku perbuat kepada kedua orang tuaku sesudah wafat keduanya ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, kamu shalat atas keduanya, kamu istighfar kepada keduanya, kamu memenuhi janji keduanya, kamu silaturahmi kepada orang yang pernah dia pernah silaturahmi kepadanya dan memuliakan teman-temannya” [Hadits ini dilemahkan oleh beberapa imam ahli hadits karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah dan Syaikh Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini dalam kitabnya Misykatul Mashabiih dan juga dalam Tahqiq Riyadush Shalihin (Bahajtun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin Juz I hal.413 hadits No. 343)]
Sedangkan menurut hadits-hadits yang shahih tentang amal-amal yang diperbuat untuk kedua orang tua yang sudah wafat, adalah :
[1] Mendo’akannya
[2] Menshalatkan ketika orang tua meninggal
[3] Selalu memintakan ampun untuk keduanya.
[4] Membayarkan hutang-hutangnya
[5] Melaksanakan wasiat yang sesuai dengan syari’at.
[6] Menyambung tali silaturrahmi kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya
[Diringkas dari beberapa hadits yang shahih]
Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma.
“Artinya : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman bapaknya sesudah bapaknya meninggal” [Hadits Riwayat Muslim No. 12, 13, 2552]
Dalam riwayat yang lain, Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma menemui seorang badui di perjalanan menuju Mekah, mereka orang-orang yang sederhana. Kemudian Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada orang tersebut dan menaikkannya ke atas keledai, kemudian sorbannya diberikan kepada orang badui tersebut, kemudian Abdullah bin Umar berkata, “Semoga Allah membereskan urusanmu”. Kemudian Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhumua berkata, “Sesungguhnya bapaknya orang ini adalah sahabat karib dengan Umar sedangkan aku mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman ayahnya” [Hadits Riwayat Muslim 2552 (13)]
Tidak dibenarkan mengqadha shalat atau puasa kecuali puasa nadzar [Tamamul Minnah Takhrij Fiqih Sunnah hal. 427-428, cet. III Darul Rayah 1409H, lihat Ahkamul Janaiz oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal 213-216, cet. Darul Ma'arif 1424H]
[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]
Sumber: almanhaj.or.id
http://abu0mushlih.wordpress.com/2009/09/23/cara-berbakti-kepada-orang-tua/#more-1079
Bagaimana Menyentuh Hati
Betapa senang jika kita punya banyak teman. Betapa gembira jika perkataan dan perintah kita diikuti orang lain. Ternyata kuncinya ada pada suasana qalbu kita. Sehingga Rasulullah saw. mengingatkan kita akan pentingnya menjaga hati yang bersih. Sebagaimana sabda beliau;
اَلاَ اِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَة اِذا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُهُ وَاِذا فَسَدَتْ فَسَدَالجَسَدُ كُلُهُ اَلاَ وَهِيَ القَلْبُ (روه البخاري ومسلم)
“Ketahuilah bahwa sesunggunhynya dalam jasad itu terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya, ketahuilah bahwa ia adalah hati (qalbu).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sungguh beruntung bagi siapapun wabilkhusus aktifis dakwah , yang mampu menata qolbunya menjadi hati yang baik, bening, jernih, bersih, dan selamat (صَلَحَتْ ).
Sungguh berbahagia dan mengesankan bagi siapapun sekiranya memiliki qolbu yang tertata, terpelihara, dan terawat dengan sebaik-baiknya. Karena selain senantiasa merasakan kelapangan, ketenangan, ketenteraman, kesejukan, dan indahnya hidup di dunia ini, pancaran kebeningan hati pun akan tersemburat pula dari indahnya setiap aktivitas yang dilakukan (صَلَحَ الجَسَدُ كُلُهُ) .
Betapa tidak, orang yang hatinya tertata dengan baik, wajahnya akan jauh lebih jernih, bagai embun menggelayut di ujung dedaunan di pagi hari yang cerah, lalu terpancari sejuknya sinar mentari pagi; jernih, bersinar, sejuk, dan menyegarkan. Tidak berlebihan jika setiap orang akan merasa nikmat menatap pemilik wajah yang cerah, ceria, penuh sungging senyuman tulus seperti ini.
Begitu pula ketika berkata, kata-katanya akan bersih dari melukai, jauh dari kata-kata yang menyombongkan diri, terlebih lagi ia terpelihara dari kata-kata riya. Subhanallah!. Setiap butir kata yang keluar dari lisannya, yang telah tertata dengan baik ini, akan terasa sarat dengan hikmah, sarat dengan makna, dan sarat akan manfaat. Tutur katanya bernash dan berharga. Inilah buah dari gelegak keinginan di lubuk hatinya yang paling dalam untuk senantiasa membahagiakan orang lain.
Hati yang bersih merupakan buah dari amal yang diperbuat seseorang. Bakr bin Abdullah Al-Muzanni, seorang tabi’in mengungkapan akan hal ini seperti dalam penuturannya;
“إذَا وَجَدْتَ مِنْ إِخْوَانِكَ جَفَاءً، فَتُبْ إلىَ اللهِ فَإِنَّكَ أَحْدَثْتَ ذَنْبًا،
وَإِذَا وَجَدْتَ مِنْهُمْ زِيَادَةَ وُدٍّ، فَذَلِكَ لِطَاعَةٍ أَحْدَثْتَهَا فَاشْكُرِ اللهَ تعالى
Jika kalian mendapati pada saudaramu kekeringan, maka segeralah bertaubat kepada Allah, karena sesungguhnya itu merupakan akibat dari dosa yang ia kerjakan. Dan apabila kalian mendapati dari mereka bertambah kasih sayang, yang demikian itu merupakan buah dari ketaatan, maka bersyukurlah kepada Allah.
Orang yang bersih hati, akal pikirannya pun akan jauh lebih jernih. Baginya tidak ada waktu untuk berpikir jelek. Apalagi berpikir untuk menzhalimi orang lain, sama sekali tidak terlintas dibenaknya. Waktu baginya sangat berharga. Mana mungkin sesuatu yang berharga digunakan untuk hal-hal yang tidak berharga? Sungguh suatu kebodohan yang tidak terkira. Karenanya dalam menjalani setiap waktu yang dilaluinya ia pusatkan segala kemampuannya untuk menyelesaikan setiap tugas hidupnya. Tak berlebihan jika orang yang bersih hati seperti ini akan lebih mudah memahami setiap permasalahan, lebih mudah menyerap aneka ilmu pengetahuan, dan lebih cerdas dalam melakukan beragam kreativitas pemikiran. Bersih hati ternyata telah membuahkan aneka solusi optimal dari kemampuan akal pikirannya. Subhanallah!
Kesehatan tubuh pun terpancari pula oleh kebeningan hati, buah dari kemampuannya menata qolbu. Detak jantung menjadi terpelihara, tekanan darah terjaga, ketegangan berkurang, dan kondisi diri yang senantiasa diliputi kedamaian. Tak berlebihan jika tubuh pun menjadi lebih sehat, lebih segar, dan lebih fit. Tentu saja tubuh yang sehat dan segar seperti ini akan jauh lebih memungkinkan untuk berbuat banyak kepada umat.
Tarnyata hati yang bersih, sangat banyak manfaatnya. Apalagi kita sebagai aktifis dakwah. Aktifis dakwah yang telah tertata hatinya adalah aktifis yang telah berhasil merintis tapak demi tapak jalan ke arah kebaikan. Tidak mengherankan ketika ia menjalin hubungan dengan sesama manusia pun menjadi sesuatu yang teramat mengesankan. Hati yang bersih akan mampu menaklukan hati orang lain dan itulah wasilah dakwah kita sebelum kita menaklukan hati orang lain. Abbas As-sisi mengatakan Abbas:
كَسْبُ الْقُلُوبُ مُقَدَّم على كَسْبِ العُقُولِ
”Menaklukan hati lebih didahulukan sebelum menaklukan akalnya.”
Hati yang bersih, ibarat magnet yang dapat menarik benda-benda di sekitarnya. Akan terpancar darinya akhlak yang indah mempesona, rendah hati, dan penuh dengan kesantunan. Siapapun yang berjumpa dengannya akan merasakan kesan yang mendalam, siapapun yang bertemu dengannya akan memperoleh aneka manfaat kebaikan, bahkan ketika berpisah sekalipun, orang seperti ini menjadi buah kenangan yang tak mudah dilupakan. Dan tentunya bagi seorang aktifis dakwah, hati yang bersih merupakan modal untuk dapat menaklukan hati-hati manusia untuk diajak ke jalan yang benar yang kemudian digiring bersama-sama untuk berjuang di jalan Allah swt.
Penting bagi setiap aktifis dakwah untuk mentadabburi hadits Rasul saw. berikut ini;
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ .) رواه البخاري ومسلم(
”Ruh-ruh itu bagaikan prajurit yang selalu bersiap siaga. Maka siapa yang mengenalnya ia akan bersatu dan jika tidak mengenalnya akan berpecah.” (HR. Bukhori Muslim)
Subhanallah!, lebih dari semua itu, kebersihan hati pun ternyata dapat membuat hubungan dengan Allah swt. menjadi luar biasa membawa manfaat. Dengan berbekal keyakinan yang mendalam, mengingat dan menyebut-Nya setiap saat, meyakini dan mengamalkan ayat-ayat-Nya, membuat hatinya menjadi tenang dan tenteram. Konsekuensinya, dia pun menjadi lebih akrab dengan Allah, ibadahnya lebih terasa nikmat dan lezat. Begitu pula doa-doanya menjadi luar biasa mustajab. Mustajabnya doa tentu akan menjadi solusi bagi persoalan-persoalan hidup yang dihadapinya. Dan yang paling luar biasa adalah karunia perjumpaan dengan Allah Azza wa Jalla di akhirat kelak, Allahu Akbar. Allahu a’lam
http://www.dakwatuna.com/2009/bagaimana-menggait-hati/
Hukum Zakat Undian
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum
Menarik sekali jawaban ustadz Badri mengenai zakat profesi, bernas dan lugas. Saat ini ternyata tidak hanya zakat profesi yang baru tapi ada juga zakat undian besarannya adalah 20% dengan nishab 85 gram emas. Mungkin ini di qiyaskan dengan zakat Rikaz (harta karun/barang temuan).
Apakah penjelasan ustadz mengenai zakat undian tersebut.
Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu'alaikum
Agus Wahyudi
Jawaban:
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan seluruh sahabatnya.
Saudara Agus Wahyudi, sebelum saya menjawab pertanyaan saudara tentang zakat undian, maka ada baiknya bila saudara mengetahui bahwa undian yang biasanya ada di masyarakat secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar:
Undian pertama: Undian yang pesertanya disyaratkan untuk telebih dahulu membeli produk perusahaan pengundi atau mengirimkan SMS dengan tarif yang lebih mahal dibanding tarif biasa, atau persyaratan serupa. Undian semacam ini adalah terlarang, karena ini salah satu bentuk dari perjudian. Dan perjudian nyata-nyata diharamkan dalam syari'ah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (Qs. Al Maidah: 90)
Saya yakin saudara Agus telah memahami bahwa undian semacam ini bertujuan untuk mendongkrak penjualan perusahaan terkait. Sehingga sudah dapat dibayangkan perusahaan terkait mendapatkan keuntungan besar dari praktek undian semacam ini. Dan sudah barang tentu, dari keuntungan yang melonjak berlipat ganda itu perusahaan menyisihkan sebagiannya untuk membiayai undian tersebut.
Sedangkan peserta undian, kebanyakan dari mereka memilih produk perusahaan terkait karena niatan ingin memenangkan undian, walaupun sering kali ia kurang membutuhkan terhadap produk itu atau ada produk alternatif yang lebih murah, dan lebih sesuai dengan keuangannya. Betapa banyak dari peserta undian yang memaksakan diri membeli produk perusahaan itu semata untuk mendapatkan kupon undian. Konsumen atau peserta undian dari golongan ini tidak dapat terhitung jumlahnya. Dengan demikian, konsumen atau peserta undian dihadapkan pada kaedah perjudian: untung dan buntung tanpa ada imbal baliknya.
Sebagaimana ia juga terjerumus ke dalam praktek menyia-nyiakan atau memubazirkan harta kekayaannya, dimana ia membeli produk yang mungkin tidak ia butuhkan atau kurang ia butuhkan. Tentu praktek ini terlarang:
كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِى غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيلَةٍ
"Makan, bersedekah dan berpakaianlah tanpa ada unsur berlebih-lebihan atau kesombongan." (Riwayat Ahmad, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)
Hukum haram bagi undian jenis pertama ini selaras dengan fatwa Anggota Tetap Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia No: 19453.
Undian kedua: Undian yang tidak disyaratkan atas pesertanya untuk terlebih dahulu membeli produk atau membayar biaya apapun. Undian semacam ini tidak mengapa untuk anda ikuti, karena pada undian jenis ini, tidak ada peluang untuk buntung atau merugi, yang terjadi hanya untung atau selamat. Dengan demikian tidak ada alasan untuk mengharamkan undian jenis ini.
Bila hukum undian ini telah dipahami, maka apa yang saudara pertanyakan tentang zakat undian, maka tidak ada bedanya dengan zakat profesi. Keduanya sama-sama tidak memiliki dasar hukumnya.
Dan apa yang saudara sebutkan bahwa zakat undian diqiyaskan/dianalogikan dengan zakat rikaz (harta karun) tidak dapat dibenarkan. Yang demikian itu karena rikaz (harta karun) yang wajib dizakati/dipungut 1/5 nya ialah harta karun yang sejarahnya kembali kepada zaman jahiliyyah atau kepada orang-orang non muslim. Misalnya diketahui ada tanda yang menunjukkan bahwa barang tersebut dibuat pada zaman kerajaan-kerajaan hindu atau budha atau lainnya. Adapun harta temuan yang diketahui milik masyarakat muslim atau sejarahnya kembali ke zaman negeri-negeri Islam, maka tidak disebut rikaz, akan tetapi disebut dengan luqathah (barang temuan). Dan dalam kitab-kitab fiqih di setiap mazhab telah dibedakan antara rikaz dari luqathah. Tidak ada seorang ulama'pun -sebatas yang saya ketahui- yang memfatwakan wajibnya menzakati luqathah/harta temuan. Bahkan banyak dari ulama' yang menyatakan bahwa status luqathah adalah tetap milik pemilik yang sebenarnya dan bukan milik penemunya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, menanggapai pertanyaan saudara, semoga bermanfaat, dan mohon maaf bila terdapat kesalahan. Wallahu a'alam bisshawab.
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
http://pengusahamuslim.com/fatwa-perdagangan/tanya-jawab/669-tanya-jawab-hukum-zakat-undian.html
Assalamu'alaikum
Menarik sekali jawaban ustadz Badri mengenai zakat profesi, bernas dan lugas. Saat ini ternyata tidak hanya zakat profesi yang baru tapi ada juga zakat undian besarannya adalah 20% dengan nishab 85 gram emas. Mungkin ini di qiyaskan dengan zakat Rikaz (harta karun/barang temuan).
Apakah penjelasan ustadz mengenai zakat undian tersebut.
Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu'alaikum
Agus Wahyudi
Jawaban:
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan seluruh sahabatnya.
Saudara Agus Wahyudi, sebelum saya menjawab pertanyaan saudara tentang zakat undian, maka ada baiknya bila saudara mengetahui bahwa undian yang biasanya ada di masyarakat secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar:
Undian pertama: Undian yang pesertanya disyaratkan untuk telebih dahulu membeli produk perusahaan pengundi atau mengirimkan SMS dengan tarif yang lebih mahal dibanding tarif biasa, atau persyaratan serupa. Undian semacam ini adalah terlarang, karena ini salah satu bentuk dari perjudian. Dan perjudian nyata-nyata diharamkan dalam syari'ah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (Qs. Al Maidah: 90)
Saya yakin saudara Agus telah memahami bahwa undian semacam ini bertujuan untuk mendongkrak penjualan perusahaan terkait. Sehingga sudah dapat dibayangkan perusahaan terkait mendapatkan keuntungan besar dari praktek undian semacam ini. Dan sudah barang tentu, dari keuntungan yang melonjak berlipat ganda itu perusahaan menyisihkan sebagiannya untuk membiayai undian tersebut.
Sedangkan peserta undian, kebanyakan dari mereka memilih produk perusahaan terkait karena niatan ingin memenangkan undian, walaupun sering kali ia kurang membutuhkan terhadap produk itu atau ada produk alternatif yang lebih murah, dan lebih sesuai dengan keuangannya. Betapa banyak dari peserta undian yang memaksakan diri membeli produk perusahaan itu semata untuk mendapatkan kupon undian. Konsumen atau peserta undian dari golongan ini tidak dapat terhitung jumlahnya. Dengan demikian, konsumen atau peserta undian dihadapkan pada kaedah perjudian: untung dan buntung tanpa ada imbal baliknya.
Sebagaimana ia juga terjerumus ke dalam praktek menyia-nyiakan atau memubazirkan harta kekayaannya, dimana ia membeli produk yang mungkin tidak ia butuhkan atau kurang ia butuhkan. Tentu praktek ini terlarang:
كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِى غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيلَةٍ
"Makan, bersedekah dan berpakaianlah tanpa ada unsur berlebih-lebihan atau kesombongan." (Riwayat Ahmad, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)
Hukum haram bagi undian jenis pertama ini selaras dengan fatwa Anggota Tetap Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia No: 19453.
Undian kedua: Undian yang tidak disyaratkan atas pesertanya untuk terlebih dahulu membeli produk atau membayar biaya apapun. Undian semacam ini tidak mengapa untuk anda ikuti, karena pada undian jenis ini, tidak ada peluang untuk buntung atau merugi, yang terjadi hanya untung atau selamat. Dengan demikian tidak ada alasan untuk mengharamkan undian jenis ini.
Bila hukum undian ini telah dipahami, maka apa yang saudara pertanyakan tentang zakat undian, maka tidak ada bedanya dengan zakat profesi. Keduanya sama-sama tidak memiliki dasar hukumnya.
Dan apa yang saudara sebutkan bahwa zakat undian diqiyaskan/dianalogikan dengan zakat rikaz (harta karun) tidak dapat dibenarkan. Yang demikian itu karena rikaz (harta karun) yang wajib dizakati/dipungut 1/5 nya ialah harta karun yang sejarahnya kembali kepada zaman jahiliyyah atau kepada orang-orang non muslim. Misalnya diketahui ada tanda yang menunjukkan bahwa barang tersebut dibuat pada zaman kerajaan-kerajaan hindu atau budha atau lainnya. Adapun harta temuan yang diketahui milik masyarakat muslim atau sejarahnya kembali ke zaman negeri-negeri Islam, maka tidak disebut rikaz, akan tetapi disebut dengan luqathah (barang temuan). Dan dalam kitab-kitab fiqih di setiap mazhab telah dibedakan antara rikaz dari luqathah. Tidak ada seorang ulama'pun -sebatas yang saya ketahui- yang memfatwakan wajibnya menzakati luqathah/harta temuan. Bahkan banyak dari ulama' yang menyatakan bahwa status luqathah adalah tetap milik pemilik yang sebenarnya dan bukan milik penemunya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, menanggapai pertanyaan saudara, semoga bermanfaat, dan mohon maaf bila terdapat kesalahan. Wallahu a'alam bisshawab.
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
http://pengusahamuslim.com/fatwa-perdagangan/tanya-jawab/669-tanya-jawab-hukum-zakat-undian.html
Politisi Muslimah Denmark Tetap Istiqomah Tidak Berjabat Tangan dengan Pria
Para politisi Muslimah dari partai-partai Islam sepertinya harus banyak belajar dari keistiqomahan politisi muslimah asal Denmark ini, meskipun menjadi seorang politisi - dirinya tetap teguh memegang prinsip bahwa berjabat tangan dengan laki-laki yang bukan mahram adalah Haram.
Bandingkan dengan beberapa politisi Muslimah dari partai Islam yang mungkin kita kenal yang dahulunya sebelum menjadi anggota dewan begitu 'keras' untuk urusan yang seperti ini, namun seiring perjalanan waktu sikap 'keras' mereka pun semakin lama semakin melunak dengan alasan 'tuntutan dakwah'.
Seorang politikus Denmark keturunan Palestina telah menjadi wanita pertama yang menghadiri pertemuan dewan setempat dengan mengenakan busanah Muslimah berupa jilbab.
Asmaa Abdul Hamid (27 tahun),ambil bagian dalam sebuah pertemuan di kota Odense sebagai pengganti anggota "unity List", sebuah kelompok sayap kiri.
Asmaa telah menarik banyak perhatian orang karena dengan percaya diri - dirinya memilih untuk mengenakan jilbab dan menolak berjabat tangan dengan laki-laki yang bukan mahram. Dia memimpin daftar voting untuk partainya pada pemilu lokal tahun 2005.
"Saya ingin dinilai berdasarkan apa yang ada dalam kepala saya, bukan apa yang ada di atasnya, untuk politik yang saya bela, lihat pendapat saya dan bukan apa yang saya pakai atau bagaimana saya menyambut orang-orang," katanya kepada media besar yang berkesempatan mewawancarainya.(fq/pt)
http://eramuslim.com/berita/dunia/politisi-muslimah-denmark-tetap-istiqomah-tidak-berjabat-tangan-dengan-pria.htm
Fathimah Radiyallahu ‘anha Memahami Arti Jilbab yang Sesungguhnya
Adakah kaum muslimin dan muslimah yang tak mengenal sosok Fathimah binti Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam? Rasanya tak mungkin! Beliau radiyallahu’anha satu-satunya putri Rasulullah shalallahu alaihi wassalam yang hidup mendampingi beliau hingga wafatnya beliau ke Rafiqil a’la.1 Fathimah az-Zahra radiyallahu’anha adalah ratu bagi para wanita di surga (Sayyidah nisa ahlil jannah). Pemahaman beliau tentang arti jilbab yang sesungguhnya sangat layak untuk disimak dan direnungi oleh para muslimah yang sangat merindukan surga dan keridhaan RabbNya. Sudah sempurnakah kita menutup aurat kita seperti apa yang difahami Shahabiyah?
Wahai saudariku muslimah yang merindukan surga Firdaus al-A’la…Shahabiyah yang mulia ini memandang buruk terhadap apa yang di lakukan wanita terhadap pakaian yang mereka kenakan yang masih menampakkan gambaran bentuk tubuhnya. Apa yang beliau tidak sukai itu beliau sampaikan kepada Asma radiayallahu’anha sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ummu Ja’far bahwasanya Fatimah binti Rasulullah shalallahu alaihi wassalam berkata:
“Wahai Asma’! Sesungguhnya aku memandang buruk apa yang dilakukan oleh kaum wanita yang mengenakan baju yang dapat menggambarkan tubuhnya.” Asma’ berkata : ‘”Wahai putri Rasulullah maukah kuperlihatkan kepadamu sesuatu yang pernah aku lihat di negeri Habasyah?” Lalu Asma’ membawakan beberapa pelepah daun kurma yang masih basah, kemudian ia bentuk menjadi pakaian lantas dipakai. Fatimah pun berkomentar: “Betapa baiknya dan betapa eloknya baju ini, sehingga wanita dapat dikenali (dibedakan) dari laki-laki dengan pakaian itu. Jika aku nanti sudah mati, maka mandikanlah aku wahai Asma’ bersama Ali (dengan pakaian penutup seperti itu ) dan jangan ada seorangpun yang menengokku!” Tatkala Fatimah meninggal dunia, maka Ali bersama Asma’ yang memandikannya sebagaimana yang dipesankan. ”2
Syaikh Albani rahimahullah berkata : Perhatikanlah sikap Fatimah radiyallahu anha yang merupakan bagian dari tulang rusuk Nabi shalallahu alaihi wassalam bagaimana ia memandang buruk bilamana sebuah pakaian itu dapat mensifati atau menggambarkan tubuh seorang wanita meskipun sudah mati, apalagi jika masih hidup, tentunya jauh lebih buruk. Oleh karena itu hendaklah kaum muslimah zaman ini merenungkan hal ini, terutama kaum muslimah yang masih mengenakan pakaian yang sempit dan ketat yang dapat menggambarkan bulatnya buah dada, pinggang, betis dan anggota badan mereka yang lain. Selanjutnya hendaklah mereka beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya”3
Wahai ukhti muslimah yang dirahmati Allah,…benarlah apa yang dikatakan oleh Syaikh Albani rahimahullah. Fitnah yang melanda kaum muslimah begitu deras dan hebat.Jika Fathimah radiyallahu’ anha saja tidak rela jasadnya tergambar bentuk tubuhnya tentulah dapat kita fahami bagaimana beliau mengenakan jilbab di masa hidupnya. Karena beliau sangat memahami perintah jilbab dengan pemahaman yang benar dan sempurna. Pemahaman beliau yang sangat mendalam ini jelas tersirat dari ketidaksukaannya yang beliau pandang sebagai suatu keburukan apabila seorang wanita memakai pakaian yang dapat menggambarkan lekuk tubuhnya.
Lalu bandingkanlah dengan apa yang dikenakan oleh sebagian kaum muslimah dewasa ini sangat jauh dari apa yang disyariatkan oleh Rabb mereka. Jauh panggang dari api.Mereka menisbahkan pakaian wanita dengan kerudung ala kadarnya yang sekedar menutupi leher-leher mereka tidak sampai menutupi dada dengan nama pakaian islami atau jilbab. Dan ironisnya yang memakainyapun merasa bahwa apa yang mereka pakai itu sudah benar karena melihat para artis di TV mengenakan yang demikian itu jadilah pakaian trendy ini menyebar begitu cepat dan menjadi pakaian pilihan utama mereka. Bahkan tentu terkadang kita melihat saudari kita yang memakai busana muslimah yang justru menambah fitnah karena nampak jelasnya lekuk tubuh mereka dengan penutup kepala yang melilit di leher (sehingga jenjang atau tidaknya bentuk leher terlihat sangat jelas) dan hanya sampai di bagian pundak saja tidak sampai ke dada disambung dengan pakaian ketat yang menggambarkan bentuk payudara mereka kemudian celana ketat yang menambah jelas lekukan tubuh mereka. Ada juga yang memakai abaya (gamis/pakaian terusan) memilih ukuran yang ketat daripada ukuran besar dan lapang dengan alasan agar nampak cantik dan modis! Sebagian adapula yang memakai penutup kepala dengan menyanggul rambut-rambut mereka hingga ketika mereka berjalan dapat dilihat dengan jelas ikatan rambut tersebut, karena sangat kecilnya penutup kepala yang mereka pakai maka merekapun mengikat rambut tersebut agar tidak menyembul keluar. Bukankah apa yang mereka pakai itu semua justru yang semestinya mereka jauhi karena Rasulullah shalallahu alaihi wassalam telah bersabda :
“Pada akhir ummatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) onta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka itu adalah kaum wanita yang terkutuk.”4
Di dalam hadits lain terdapat tambahan :
“Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan memperoleh baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan (jarak) sekian dan sekian.”5
Kemudian lihatlah penjelasan dari Ibnu Abdil Barr rahimahullah ia berkata:
“Yang dimaksud Nabi shalallahu alaihi wassalam adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dan tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang.”6
Dari Ummu Alqamah bin Abu Alqamah bahwa ia berkata :
“Saya pernah melihat Hafshah bin Abdurrahman bin Abu Bakar mengunjungi ‘Aisyah dengan mengenakan khimar(kerudung) tipis yang dapat menggambarkan pelipisnya, lalu ‘Aisyah pun tak berkenan melihatnya dan berkata : “Apakah kamu tidak tahu apa yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surat An Nuur?!” Kemudian ‘Aisyah mengambilkan khimar untuk dipakaikan kepadanya.7
Syaikh Albani menjelaskan perkataan Aisyah radiyallahu anha : Apakah kamu tidak tahu tentang apa yang diturunkan oleh Allah dalam surat An-Nuur? Mengisyaratkan bahwa wanita yang menutupi tubuhnya dengan pakaian yang tipis pada hakikatnya ia belum menutupi tubuhnya dan juga belum melaksanakan firman Allah Subahnahu wa ta’ala yang ditunjukkan oleh Aisyah radiyallahu anha yaitu “Dan hendaklah kaum wanita menutupkan khimar/kerudung pada bagian dada mereka”8
Tidakkah kita melihat perbedaan yang sangat jauh antara generasi Shahabiyah dengan kita? Mereka benar-benar menjadikan jilbab sebagai penutup tubuh dan aurat sebagai bentuk ketaatan pada perintahNya sedangkan kita justru sebaliknya menjadikan jilbab sebagai pembuka fitnah kecuali wanita-wanita yang dirahmati Allah. Jilbab yang difahami shahabiyah sebagai pakaian yang lapang (lebar) yang menutupi tubuh dari atas kepala hingga ujung kaki sedangkan kaum muslimah sekarang menganggap jilbab adalah secarik kain yang digunakan untuk menutupi rambut mereka saja sedangkan bagian-bagian lainnya mereka tutupi dengan bahan yang ala kadarnya yang tidak bisa dikatakan menutupi aurat apalagi menutupi lekuk tubuh mereka. Kepada Allahlah kita memohon pertolongan semoga kaum kita mau kembali kepada Rabb mereka dan berusaha untuk menunaikan apa yang diperintahkan Allah dan rasulNya secara sempurna dan menyeluruh. Sebagaimana firmanNya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu(Al-Baqarah :208).
Wallahu’alam bish-shawwab.
Artikel ini telah di cek oleh : Ustadz Muhammad Elvy Syam Lc.
Sumber Rujukan :
1. Jilbab Wanita Muslimah menurut Al-Qur’an dan Sunnah, Syaikh Nashiruddin Al-Albani,Pustaka Tibyan,Solo.
2. Ringkasan Shahih Muslim, Imam Al-mundziri, Pustaka Amani, Jakarta.
3. Mengenal Shahabiyah Nabi Shalallahu alaihi wassalam, Mahmud al-Istanbuli, Pustaka Tibyan, Solo.
Catatan kaki:
1. Hadits yang di riwayatkan Bukhari V/137 dan Muslim no.2450 yang berbunyi :“Wahai Fatimah relakah engkau menjadi ratu bagi para wanita disurga?….”[Lihat Mengenal Shahabiyah Nabi Shalallahu alaihi wassalam hal :127-128] [↩]
2. dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab al-Hilyah 2/43, Al Bayhaqi 3/34-35 untuk lebih jelasnya bisa di lihat dalam Jilbab Wanita Muslimah, Syaikh Nashiruddin AlBani, hal 140-141 [↩]
3. Jilbab Wanita muslimah hal: 140 [↩]
4. dikeluarkan oleh at-Thabrani dalam “Al-Mu’jam As-Shaghir” hal. 232 dari hadits Ibnu Amru dengan sanad shahih lihat jilbab wanita muslimah hal :130 [↩]
5. HR.Muslim dari riwayat Abu Hurairah hadits no.1388 [↩]
6. dikutip oleh As-Suyuthi dalam “Tanwirul Hawalik” 3/103 lihat Jilbab Wanita Muslimah hal:131 [↩]
7. Ibnu Sa’ad 8/47 lihat Jilbab Wanita Muslimah hal 131 [↩]
8. idem hal 131 [↩]
http://jilbab.or.id/archives/791-fathimah-radiyallahu-anha-memahami-arti-jilbab-yang-sesungguhnya/
Wahai saudariku muslimah yang merindukan surga Firdaus al-A’la…Shahabiyah yang mulia ini memandang buruk terhadap apa yang di lakukan wanita terhadap pakaian yang mereka kenakan yang masih menampakkan gambaran bentuk tubuhnya. Apa yang beliau tidak sukai itu beliau sampaikan kepada Asma radiayallahu’anha sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ummu Ja’far bahwasanya Fatimah binti Rasulullah shalallahu alaihi wassalam berkata:
“Wahai Asma’! Sesungguhnya aku memandang buruk apa yang dilakukan oleh kaum wanita yang mengenakan baju yang dapat menggambarkan tubuhnya.” Asma’ berkata : ‘”Wahai putri Rasulullah maukah kuperlihatkan kepadamu sesuatu yang pernah aku lihat di negeri Habasyah?” Lalu Asma’ membawakan beberapa pelepah daun kurma yang masih basah, kemudian ia bentuk menjadi pakaian lantas dipakai. Fatimah pun berkomentar: “Betapa baiknya dan betapa eloknya baju ini, sehingga wanita dapat dikenali (dibedakan) dari laki-laki dengan pakaian itu. Jika aku nanti sudah mati, maka mandikanlah aku wahai Asma’ bersama Ali (dengan pakaian penutup seperti itu ) dan jangan ada seorangpun yang menengokku!” Tatkala Fatimah meninggal dunia, maka Ali bersama Asma’ yang memandikannya sebagaimana yang dipesankan. ”2
Syaikh Albani rahimahullah berkata : Perhatikanlah sikap Fatimah radiyallahu anha yang merupakan bagian dari tulang rusuk Nabi shalallahu alaihi wassalam bagaimana ia memandang buruk bilamana sebuah pakaian itu dapat mensifati atau menggambarkan tubuh seorang wanita meskipun sudah mati, apalagi jika masih hidup, tentunya jauh lebih buruk. Oleh karena itu hendaklah kaum muslimah zaman ini merenungkan hal ini, terutama kaum muslimah yang masih mengenakan pakaian yang sempit dan ketat yang dapat menggambarkan bulatnya buah dada, pinggang, betis dan anggota badan mereka yang lain. Selanjutnya hendaklah mereka beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya”3
Wahai ukhti muslimah yang dirahmati Allah,…benarlah apa yang dikatakan oleh Syaikh Albani rahimahullah. Fitnah yang melanda kaum muslimah begitu deras dan hebat.Jika Fathimah radiyallahu’ anha saja tidak rela jasadnya tergambar bentuk tubuhnya tentulah dapat kita fahami bagaimana beliau mengenakan jilbab di masa hidupnya. Karena beliau sangat memahami perintah jilbab dengan pemahaman yang benar dan sempurna. Pemahaman beliau yang sangat mendalam ini jelas tersirat dari ketidaksukaannya yang beliau pandang sebagai suatu keburukan apabila seorang wanita memakai pakaian yang dapat menggambarkan lekuk tubuhnya.
Lalu bandingkanlah dengan apa yang dikenakan oleh sebagian kaum muslimah dewasa ini sangat jauh dari apa yang disyariatkan oleh Rabb mereka. Jauh panggang dari api.Mereka menisbahkan pakaian wanita dengan kerudung ala kadarnya yang sekedar menutupi leher-leher mereka tidak sampai menutupi dada dengan nama pakaian islami atau jilbab. Dan ironisnya yang memakainyapun merasa bahwa apa yang mereka pakai itu sudah benar karena melihat para artis di TV mengenakan yang demikian itu jadilah pakaian trendy ini menyebar begitu cepat dan menjadi pakaian pilihan utama mereka. Bahkan tentu terkadang kita melihat saudari kita yang memakai busana muslimah yang justru menambah fitnah karena nampak jelasnya lekuk tubuh mereka dengan penutup kepala yang melilit di leher (sehingga jenjang atau tidaknya bentuk leher terlihat sangat jelas) dan hanya sampai di bagian pundak saja tidak sampai ke dada disambung dengan pakaian ketat yang menggambarkan bentuk payudara mereka kemudian celana ketat yang menambah jelas lekukan tubuh mereka. Ada juga yang memakai abaya (gamis/pakaian terusan) memilih ukuran yang ketat daripada ukuran besar dan lapang dengan alasan agar nampak cantik dan modis! Sebagian adapula yang memakai penutup kepala dengan menyanggul rambut-rambut mereka hingga ketika mereka berjalan dapat dilihat dengan jelas ikatan rambut tersebut, karena sangat kecilnya penutup kepala yang mereka pakai maka merekapun mengikat rambut tersebut agar tidak menyembul keluar. Bukankah apa yang mereka pakai itu semua justru yang semestinya mereka jauhi karena Rasulullah shalallahu alaihi wassalam telah bersabda :
“Pada akhir ummatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) onta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka itu adalah kaum wanita yang terkutuk.”4
Di dalam hadits lain terdapat tambahan :
“Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan memperoleh baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan (jarak) sekian dan sekian.”5
Kemudian lihatlah penjelasan dari Ibnu Abdil Barr rahimahullah ia berkata:
“Yang dimaksud Nabi shalallahu alaihi wassalam adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dan tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang.”6
Dari Ummu Alqamah bin Abu Alqamah bahwa ia berkata :
“Saya pernah melihat Hafshah bin Abdurrahman bin Abu Bakar mengunjungi ‘Aisyah dengan mengenakan khimar(kerudung) tipis yang dapat menggambarkan pelipisnya, lalu ‘Aisyah pun tak berkenan melihatnya dan berkata : “Apakah kamu tidak tahu apa yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surat An Nuur?!” Kemudian ‘Aisyah mengambilkan khimar untuk dipakaikan kepadanya.7
Syaikh Albani menjelaskan perkataan Aisyah radiyallahu anha : Apakah kamu tidak tahu tentang apa yang diturunkan oleh Allah dalam surat An-Nuur? Mengisyaratkan bahwa wanita yang menutupi tubuhnya dengan pakaian yang tipis pada hakikatnya ia belum menutupi tubuhnya dan juga belum melaksanakan firman Allah Subahnahu wa ta’ala yang ditunjukkan oleh Aisyah radiyallahu anha yaitu “Dan hendaklah kaum wanita menutupkan khimar/kerudung pada bagian dada mereka”8
Tidakkah kita melihat perbedaan yang sangat jauh antara generasi Shahabiyah dengan kita? Mereka benar-benar menjadikan jilbab sebagai penutup tubuh dan aurat sebagai bentuk ketaatan pada perintahNya sedangkan kita justru sebaliknya menjadikan jilbab sebagai pembuka fitnah kecuali wanita-wanita yang dirahmati Allah. Jilbab yang difahami shahabiyah sebagai pakaian yang lapang (lebar) yang menutupi tubuh dari atas kepala hingga ujung kaki sedangkan kaum muslimah sekarang menganggap jilbab adalah secarik kain yang digunakan untuk menutupi rambut mereka saja sedangkan bagian-bagian lainnya mereka tutupi dengan bahan yang ala kadarnya yang tidak bisa dikatakan menutupi aurat apalagi menutupi lekuk tubuh mereka. Kepada Allahlah kita memohon pertolongan semoga kaum kita mau kembali kepada Rabb mereka dan berusaha untuk menunaikan apa yang diperintahkan Allah dan rasulNya secara sempurna dan menyeluruh. Sebagaimana firmanNya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu(Al-Baqarah :208).
Wallahu’alam bish-shawwab.
Artikel ini telah di cek oleh : Ustadz Muhammad Elvy Syam Lc.
Sumber Rujukan :
1. Jilbab Wanita Muslimah menurut Al-Qur’an dan Sunnah, Syaikh Nashiruddin Al-Albani,Pustaka Tibyan,Solo.
2. Ringkasan Shahih Muslim, Imam Al-mundziri, Pustaka Amani, Jakarta.
3. Mengenal Shahabiyah Nabi Shalallahu alaihi wassalam, Mahmud al-Istanbuli, Pustaka Tibyan, Solo.
Catatan kaki:
1. Hadits yang di riwayatkan Bukhari V/137 dan Muslim no.2450 yang berbunyi :“Wahai Fatimah relakah engkau menjadi ratu bagi para wanita disurga?….”[Lihat Mengenal Shahabiyah Nabi Shalallahu alaihi wassalam hal :127-128] [↩]
2. dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab al-Hilyah 2/43, Al Bayhaqi 3/34-35 untuk lebih jelasnya bisa di lihat dalam Jilbab Wanita Muslimah, Syaikh Nashiruddin AlBani, hal 140-141 [↩]
3. Jilbab Wanita muslimah hal: 140 [↩]
4. dikeluarkan oleh at-Thabrani dalam “Al-Mu’jam As-Shaghir” hal. 232 dari hadits Ibnu Amru dengan sanad shahih lihat jilbab wanita muslimah hal :130 [↩]
5. HR.Muslim dari riwayat Abu Hurairah hadits no.1388 [↩]
6. dikutip oleh As-Suyuthi dalam “Tanwirul Hawalik” 3/103 lihat Jilbab Wanita Muslimah hal:131 [↩]
7. Ibnu Sa’ad 8/47 lihat Jilbab Wanita Muslimah hal 131 [↩]
8. idem hal 131 [↩]
http://jilbab.or.id/archives/791-fathimah-radiyallahu-anha-memahami-arti-jilbab-yang-sesungguhnya/
Dengan 5 Hal Ini, Kau Akan Berbahagia Bersamaku, Istriku…*
Suami Anda mungkin tidak pernah berkata-kata secara terbuka dan apa adanya kepada Anda. Setiap Anda bertanya kepadanya ia selalu menjawab dengan mendahulukan perasaannya. Akibatnya, Anda tidak bisa puas dengan jawabannya yang memang sangat sedikit.Bila ini terjadi pada suami Anda, maka Anda harus tahu bahwa memang tidak semua laki-laki bisa begitu saja terbuka, namun benar-benar ada tipe suami yang memang pendiam dan pemalu.
Berikut tips yang bisa digunakan oleh istri untuk mengambil hati suaminya yang pendiam dan pemalu yang menurut hasil penelitan telah terbukti banyak memberi faedah bagi istri untuk bisa hidup berbahagia bersama suaminya.
1. Jadilah Istri Yang Menghormati Suami
Bila istri menghormati suaminya, maka dengan mudahnya suami pun akan menghormatinya. Namun, bila istri tidak bisa menghormati suaminya maka selamanya ia akan menderita disisi suaminya. Mengapa? Apakah memang sikap saling menghormati merupakan kebutuhan asasi bagi suami yang tidak bisa ditawar-tawar lagi sehingga mereka mewajibkannya atas istri?
Banyak istri yang bila telah melahirkan anak suaminya beranggapan bahwa ia akan terus damai disisi suaminya. Ia menyangka akan senantiasa bahagia disisi suaminya hanya dengan telah lahirnya anak suaminya. Akibat dari sangkaan dan duga-duga ini akhirnya banyak istri yang lupa atau tidak lagi memandang perlu sikap hormat kepada suaminya. Ia banyak merendahkan suaminya dan menyepelekannya.
Ketahuilah, istri yang menghormati suaminya ialah istri-istri penduduk surga. Tidaklah Anda ingin meneladani mereka? Rasulullah shalallahu alaihi wassalam pernah bersabda:
“Maukah aku kabarkan kepada kalian para istri kalian di surga? Wanita yang penyayang, sangat subur, dan suka kembali berbuat baik yang apabila berbuat aniaya ia akan mengatakan, ‘ Ini tanganku ada diatas tanganmu, aku tidak bisa sekejap pun memejamkan mata sehingga engkau ridho kepadaku”1
Bukankah meminta maaf merupakan bentuk penghormatan yang tinggi? Bukankah mengulurkan tangan mengharapkan maaf suami merupakan sikap hormat istri kepadanya? Maka, bila Anda ingin menghormati suami, jadilah istri yang sabar atas kekhilafannya. Jadilah istri yang tidak pernah menentang suami saat ia marah. Jadilah istri yang menghargai dan menghormati cemburu suami. Jadilah istri yang bisa menjaga suami. Jadilah istri yang tidak enggan meminta maaf. Enggan meminta maaf suami adalah bukti kesombongan istri. Tunjukkan rasa hormat dan perhatian Anda kepada suami dihadapan orang lain, baik saat ia bersamamu maupun saat ia tidak hadir disisimu. Dengan begitu, Anda telah menghormatinya dan insya Allah Anda akan senantiasa bahagia disisinya. Perkataan yang mudah terucap dan mudah menghancurkan rumah tangga ialah, “ Aku tidak akan menghormatimu lagi”.
2. Jadilah Istri Yang Bertanggung Jawab
Banyak istri mengeluhkan perihal suaminya yang tidak bertanggung jawab. Sementara banyak pula suami yang menganggap istrinya tidak bertanggung jawab.
Dalam masalah ini, penting sekali kita menilik kisah Asma’, putri Abu Bakar ash Shidiq. Ia adalah istri yang ikut memikul tanggung jawab dirumah suaminya secara sempurna. Bahkan ia tetap menjaga dan menghormati perasaan serta kecemburuan suaminya.
Suaminya ialah Zubair, seorang sahabat yang fakir. Asma’ pun tahu bahwa suaminya sangat membutuhkan kesiapannya untuk ikut memikul tanggung jawab keluarga bersamanya. Ia biasa mengurusi makanan kuda Zubair, menjahit tempat airnya, menumbuk gandum, mengusung biji-bijian dari kebun dan lain-lainnya. Namun begitu, ia sangat menyadari bahwa keadaanya tidak boleh mengurangi rasa hormatnya kepada suaminya. Ia tetap menjaga perasaan suaminya dan kecemburuannya. Ia lebih memilih mengusung biji-bijian diatas pundaknya dengan berjalan kaki daripada naik untuk padahal ada kaum laki-laki bersamanya. Hal itu hanya demi menghargai kecemburuan suaminya. Sehingga dihadapan istri yang sangat menghargai dan bertanggung jawab inilah sosok seorang suami pun luluh hatinya sehingga ia berkata, “ Demi Allah, pengorbananmu untuk membawa biji-bijian itu jauh lebih berat bagiku daripada dudukmu diatas unta Rasulullah shalallahu aalaihi wassalam”.Memang , Asma’ lebih mendahulukan kecemburuan suaminya sehingga tidak menerima tawaran Rasulullah Shalallahualaihi wassalam untuk naik di unta beliau saat mengusung biji-bijian.
3. Jadilah Istri Yang Terbuka dan Menghargai Perasaan
Ketenteraman perasaan dipengaruhi oleh terungkapnya isi hati pasutri. Ungkapan isi hati tentang rasa cinta kasih istri terhadap suami merupakan factor utama untuk mewujudkan kebahagiaan rumah tangga. Para suami sangat membutuhkan hal itu, sebagaimana istripun membutuhkannya. Bahkan Rasulullah Shalallahu aalaihi wassalam membolehkan istri berdusta dalam pengungkapan rasa cinta dan kasihnya terhadap suaminya demi terwujudnya kehangatan hubungan berumah tangga dan demi terpeliharanya ikatan pernikahan.2 Lalu,mengapa pasutri tidak melakukannya? Mengapa para istri tidak mengutarakan isi hatinya kepada suaminya tentang sesuatu yang bisa membahagiakan kehidupan rumah tangganya?
4. Percayalah Kepada Suamimu
Rasa cemburu merupakan bukti yang sangat kuat akan besarnya cinta dan kasih istri kepada suaminya. Sehingga rasa cemburu terkadang dibutuhkan untuk mengungkapkan isi hati istri kepada suaminya bahwa ia mencintai dan mengasihinya. Bahkan, sifat pencemburu merupakan hal yang lazim bagi wanita. Namun cemburu ada dua, sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam:
“ Ada diantara sifat cemburu ada yang dicintai dan ada pula yang dibenci oleh Allah. Adapun cemburu yang dicintai Allah adalah cemburu dalam keragu-raguan, sedangkan cemburu yang dibenci oleh Allah ialah cemburu tidak dalam keragu-raguan”3
Cemburu tidak boleh menghilangkan kepercayaan istri kepada suaminya dengan memastikan bahwa suaminya telah salah dan menyeleweng, misalnya si istri mengatakan: “ Mengapa kamu telat pulang?” atau “ Darimana saja tadi kamu pergi?” atau “ Berapa banyak wanita yang bekerja ditempat kerjamu?” Semua perkataan ini dan yang senada ialah cemburu yang tidak baik sebab didasari penetapan bahwa suaminya telah salah dan menyeleweng, bukan dibangun diatas kepercayaan atau sekadar duga-duga dan rasa ragu yang akan hilang dengan penjelasan dari suami.
5. Jadilah Istri Yang Berakhlak Terpuji
Seorang suami yang shahih akan merasa bahagia dan terpenuhi kebutuhan asasinya bila beristrikan seorang wanita yang baik akhlaknya. Wanita yang buruk ialah wanita yang perkataannya selalu bermakna ancaman, ucapan dan suaranya kasar, tidak mau tahu kebaikan orang lain atasnya, dan suka mencari-cari keburukan orang lain. Selain itu, ia juga tidak mengasihi suami, sedikit rasa malunya, suka mencela, pemarah, rumahnya kotor, suka menunjuk dengan tangan dan jarinya, biasa berdusta, dan selalu meneteskan air mata buaya. Istri yang berakhlak terpuji tidak memiliki sifat-sifat tersebut. Bahkan, disaat ia sedang cemburu sekalipun, ia hanya akan menyebut kebaikan suami yang tidak bisa tidak harus membuatnya cemburu.Semoga dengan 5 hal in Anda, para istri , akan berbahagia bersama suami Anda. Wallahul Muwaffiq.
Catatan kaki:
1. Hadits Hasan, lihat Shahihul Jami’ 2604 oleh Syaikh al-Albani [↩]
2. lihat dalam Shahih Muslim, Bab Dusta yang di Perbolehkan hadits no.1810 dan Bukhari no.2692 bunyi haditsnya adalah : “Saya tidak pernah mendengar Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam memberi kelonggaran berdusta kecuali dalam 3 hal: [1] Orang yang berbicara dengan maksud hendak mendamaikan, [2] orang yang berbicara bohong dalam peperangan dan [3] suami yang berbicara dengan istrinya serta istri yang berbicara dengan suaminya mengharapkan kebaikan dan keselamatan atau keharmonisan rumah tangga [↩]
3. Hadits Hasan, riwayat Abu Dawud 2661 dan Nasai 2570, lihat Shahihul Jami’ 2221 oleh Syaikh al-Albani [↩]
*diketik ulang oleh Humaira Ummu Abdillah dari majalah al-mawwaddah, Edisi I Tahun ke-3,Sya’ban 1430H/2009,Rubrik: Taman Pasutri, oleh: Ustadz Abu Amar al-Ghoyami hal:29-30*
http://jilbab.or.id/archives/856-dengan-5-hal-ini-kau-akan-berbahagia-bersamaku-istriku%E2%80%A6%E2%80%A6/
Berikut tips yang bisa digunakan oleh istri untuk mengambil hati suaminya yang pendiam dan pemalu yang menurut hasil penelitan telah terbukti banyak memberi faedah bagi istri untuk bisa hidup berbahagia bersama suaminya.
1. Jadilah Istri Yang Menghormati Suami
Bila istri menghormati suaminya, maka dengan mudahnya suami pun akan menghormatinya. Namun, bila istri tidak bisa menghormati suaminya maka selamanya ia akan menderita disisi suaminya. Mengapa? Apakah memang sikap saling menghormati merupakan kebutuhan asasi bagi suami yang tidak bisa ditawar-tawar lagi sehingga mereka mewajibkannya atas istri?
Banyak istri yang bila telah melahirkan anak suaminya beranggapan bahwa ia akan terus damai disisi suaminya. Ia menyangka akan senantiasa bahagia disisi suaminya hanya dengan telah lahirnya anak suaminya. Akibat dari sangkaan dan duga-duga ini akhirnya banyak istri yang lupa atau tidak lagi memandang perlu sikap hormat kepada suaminya. Ia banyak merendahkan suaminya dan menyepelekannya.
Ketahuilah, istri yang menghormati suaminya ialah istri-istri penduduk surga. Tidaklah Anda ingin meneladani mereka? Rasulullah shalallahu alaihi wassalam pernah bersabda:
“Maukah aku kabarkan kepada kalian para istri kalian di surga? Wanita yang penyayang, sangat subur, dan suka kembali berbuat baik yang apabila berbuat aniaya ia akan mengatakan, ‘ Ini tanganku ada diatas tanganmu, aku tidak bisa sekejap pun memejamkan mata sehingga engkau ridho kepadaku”1
Bukankah meminta maaf merupakan bentuk penghormatan yang tinggi? Bukankah mengulurkan tangan mengharapkan maaf suami merupakan sikap hormat istri kepadanya? Maka, bila Anda ingin menghormati suami, jadilah istri yang sabar atas kekhilafannya. Jadilah istri yang tidak pernah menentang suami saat ia marah. Jadilah istri yang menghargai dan menghormati cemburu suami. Jadilah istri yang bisa menjaga suami. Jadilah istri yang tidak enggan meminta maaf. Enggan meminta maaf suami adalah bukti kesombongan istri. Tunjukkan rasa hormat dan perhatian Anda kepada suami dihadapan orang lain, baik saat ia bersamamu maupun saat ia tidak hadir disisimu. Dengan begitu, Anda telah menghormatinya dan insya Allah Anda akan senantiasa bahagia disisinya. Perkataan yang mudah terucap dan mudah menghancurkan rumah tangga ialah, “ Aku tidak akan menghormatimu lagi”.
2. Jadilah Istri Yang Bertanggung Jawab
Banyak istri mengeluhkan perihal suaminya yang tidak bertanggung jawab. Sementara banyak pula suami yang menganggap istrinya tidak bertanggung jawab.
Dalam masalah ini, penting sekali kita menilik kisah Asma’, putri Abu Bakar ash Shidiq. Ia adalah istri yang ikut memikul tanggung jawab dirumah suaminya secara sempurna. Bahkan ia tetap menjaga dan menghormati perasaan serta kecemburuan suaminya.
Suaminya ialah Zubair, seorang sahabat yang fakir. Asma’ pun tahu bahwa suaminya sangat membutuhkan kesiapannya untuk ikut memikul tanggung jawab keluarga bersamanya. Ia biasa mengurusi makanan kuda Zubair, menjahit tempat airnya, menumbuk gandum, mengusung biji-bijian dari kebun dan lain-lainnya. Namun begitu, ia sangat menyadari bahwa keadaanya tidak boleh mengurangi rasa hormatnya kepada suaminya. Ia tetap menjaga perasaan suaminya dan kecemburuannya. Ia lebih memilih mengusung biji-bijian diatas pundaknya dengan berjalan kaki daripada naik untuk padahal ada kaum laki-laki bersamanya. Hal itu hanya demi menghargai kecemburuan suaminya. Sehingga dihadapan istri yang sangat menghargai dan bertanggung jawab inilah sosok seorang suami pun luluh hatinya sehingga ia berkata, “ Demi Allah, pengorbananmu untuk membawa biji-bijian itu jauh lebih berat bagiku daripada dudukmu diatas unta Rasulullah shalallahu aalaihi wassalam”.Memang , Asma’ lebih mendahulukan kecemburuan suaminya sehingga tidak menerima tawaran Rasulullah Shalallahualaihi wassalam untuk naik di unta beliau saat mengusung biji-bijian.
3. Jadilah Istri Yang Terbuka dan Menghargai Perasaan
Ketenteraman perasaan dipengaruhi oleh terungkapnya isi hati pasutri. Ungkapan isi hati tentang rasa cinta kasih istri terhadap suami merupakan factor utama untuk mewujudkan kebahagiaan rumah tangga. Para suami sangat membutuhkan hal itu, sebagaimana istripun membutuhkannya. Bahkan Rasulullah Shalallahu aalaihi wassalam membolehkan istri berdusta dalam pengungkapan rasa cinta dan kasihnya terhadap suaminya demi terwujudnya kehangatan hubungan berumah tangga dan demi terpeliharanya ikatan pernikahan.2 Lalu,mengapa pasutri tidak melakukannya? Mengapa para istri tidak mengutarakan isi hatinya kepada suaminya tentang sesuatu yang bisa membahagiakan kehidupan rumah tangganya?
4. Percayalah Kepada Suamimu
Rasa cemburu merupakan bukti yang sangat kuat akan besarnya cinta dan kasih istri kepada suaminya. Sehingga rasa cemburu terkadang dibutuhkan untuk mengungkapkan isi hati istri kepada suaminya bahwa ia mencintai dan mengasihinya. Bahkan, sifat pencemburu merupakan hal yang lazim bagi wanita. Namun cemburu ada dua, sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam:
“ Ada diantara sifat cemburu ada yang dicintai dan ada pula yang dibenci oleh Allah. Adapun cemburu yang dicintai Allah adalah cemburu dalam keragu-raguan, sedangkan cemburu yang dibenci oleh Allah ialah cemburu tidak dalam keragu-raguan”3
Cemburu tidak boleh menghilangkan kepercayaan istri kepada suaminya dengan memastikan bahwa suaminya telah salah dan menyeleweng, misalnya si istri mengatakan: “ Mengapa kamu telat pulang?” atau “ Darimana saja tadi kamu pergi?” atau “ Berapa banyak wanita yang bekerja ditempat kerjamu?” Semua perkataan ini dan yang senada ialah cemburu yang tidak baik sebab didasari penetapan bahwa suaminya telah salah dan menyeleweng, bukan dibangun diatas kepercayaan atau sekadar duga-duga dan rasa ragu yang akan hilang dengan penjelasan dari suami.
5. Jadilah Istri Yang Berakhlak Terpuji
Seorang suami yang shahih akan merasa bahagia dan terpenuhi kebutuhan asasinya bila beristrikan seorang wanita yang baik akhlaknya. Wanita yang buruk ialah wanita yang perkataannya selalu bermakna ancaman, ucapan dan suaranya kasar, tidak mau tahu kebaikan orang lain atasnya, dan suka mencari-cari keburukan orang lain. Selain itu, ia juga tidak mengasihi suami, sedikit rasa malunya, suka mencela, pemarah, rumahnya kotor, suka menunjuk dengan tangan dan jarinya, biasa berdusta, dan selalu meneteskan air mata buaya. Istri yang berakhlak terpuji tidak memiliki sifat-sifat tersebut. Bahkan, disaat ia sedang cemburu sekalipun, ia hanya akan menyebut kebaikan suami yang tidak bisa tidak harus membuatnya cemburu.Semoga dengan 5 hal in Anda, para istri , akan berbahagia bersama suami Anda. Wallahul Muwaffiq.
Catatan kaki:
1. Hadits Hasan, lihat Shahihul Jami’ 2604 oleh Syaikh al-Albani [↩]
2. lihat dalam Shahih Muslim, Bab Dusta yang di Perbolehkan hadits no.1810 dan Bukhari no.2692 bunyi haditsnya adalah : “Saya tidak pernah mendengar Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam memberi kelonggaran berdusta kecuali dalam 3 hal: [1] Orang yang berbicara dengan maksud hendak mendamaikan, [2] orang yang berbicara bohong dalam peperangan dan [3] suami yang berbicara dengan istrinya serta istri yang berbicara dengan suaminya mengharapkan kebaikan dan keselamatan atau keharmonisan rumah tangga [↩]
3. Hadits Hasan, riwayat Abu Dawud 2661 dan Nasai 2570, lihat Shahihul Jami’ 2221 oleh Syaikh al-Albani [↩]
*diketik ulang oleh Humaira Ummu Abdillah dari majalah al-mawwaddah, Edisi I Tahun ke-3,Sya’ban 1430H/2009,Rubrik: Taman Pasutri, oleh: Ustadz Abu Amar al-Ghoyami hal:29-30*
http://jilbab.or.id/archives/856-dengan-5-hal-ini-kau-akan-berbahagia-bersamaku-istriku%E2%80%A6%E2%80%A6/
Nourdeen Wildeman: Akhir Ramadan "Pindah Rumah" ke Masjid
Nourdeen Wildeman masih ingat betul pengalaman pertamanya i'tikaf di masjid, sama menariknya dengan pengalaman pertamanya berpuasa setelah menjadi seorang mualaf.
Keinginan i'tikaf melintas ketika Nourdeen sedang memikirkan banyak rencana yang ingin ia lakukan untuk mengisi hari liburnya. Menjelang hari raya Idul Fitri, Nourdeen sengaja mengambil cuti agar bisa melakukan banyak hal. Tapi ia merasa rencana yang menghampiri pikirannya, yang membuatnya merasa sibuk dan tak punya banyak waktu.
Saat itu, hari pertama di 10 terakhir bulan Ramadan. Nourdeen sedang berkendaraan sambil mendengarkan CD yang ia ambil secara tak sengaja berisi ceramah imam favoritnya. Entah kebetulan atau tidak, ketika CD diputar, kalimat pertama yang ia dengar dari imam di CD tersebut adalah "Hari ini, kita sudah melalui hari pertama paruh ketiga bulan Ramadan dan kita harus membuat keputusan: apakah kita sudah melaksanakan segala rencana yang diniatkan di bulan Ramadan ini? Kalau belum, apa yang akan Anda lakukan?"
"Imam itu seperti bertanya langsung pada saya. Dan saya langsung membuat rencana," kata Nourdeen.
Sore itu juga, Nourdeen datang ke sebuah masjid di Rotterdam. Selama bulan Ramadan, Masjid Rotterdam dibuka selama 24 jam dan kala itu ia muncul satu jam setelah salat tarawih usai.
"Saya berjalan menuju tempat salat dan naik ke lantai dua masjid. Ada beberapa orang di sana yang sudah menggelar matras atau alas tidur di lantai. Saya menyapa mereka sambil tersenyum dan mengatakan bahwa saya ingin ikut i'tikaf," tutur Nourdeen.
Salah seorang teman yang sudah dikenal Nourdeen, seorang Muslim asal Maroko, tertawa melihat apa yang dibawa Nourdeen. Nourdeen memang membawa semacam kasur yang biasa digunakan untuk keperluan alam terbuka dan barang itu mengundang tawa rekan Nourdeen di masjid karena barang yang dibawa Nourdeen termasuk 'barang mewah'.
"Lihat, lelaki Belanda gila ini," kata rekan Nourdeen sambil bercanda. "Kami selalu pergi ke masjid begitu saja, baru kemudian memikirkan bagaimana dan dimana kami akan tidur. Tapi orang-orang Belanda benar-benar mempersiapkan membuat perencanaan matang dan menyiapkan segalany," sambung rekan Nourdeen yang asli Maroko tadi.
Tapi Nourdeen tidak tersinggung meski diledek "i'tikaf seperti orang pindah rumah". Ia tetap menganggap teman-temannya sebagai saudara-saudarannya seiman. Setiap pagi seusai salat subuh dan tidur sebentar, Nourdeen mengisi i'tikafnya dengan membaca al-Quran bahkan menghapal surat-surat Al-Quran yang belum pernah ia baca sebelumnya. Nourdeen juga membaca buku berisi fatwa-fatwa.
"Saya menemukan kegiatan yang tepat di Ramadan kala itu," ujar Nourdeen.
Ramadan tahun ini, aktivitas Nourdeen bertambah padat karena ia juga sering diundang ceramah dalam acara buka puasa bersama dengan kelompok-kelompok non-Muslim. "Saya masih harus banyak baca Al-Quran, lebih banyak menghapal surat-surat dan harus lebih banyak menghabiskan malam-malam Ramadan saya di masjid," imbuhnya.
Nourdeen saat ini aktif di yayasan 'OntdekIslam' (Menemukan Islam), sebuah yayasan yang bergerak dalam dakwah Islam di Belanda. Ia juga aktif sebagai pembicara di organisasi National Islamic Congress, menulis berbagai artikel untuk Dutch Islamic Broadcasting Organization serta membuat database online berisi informasi tentang 400 masjid yang tersebar di seluruh Negeri Kincir Angin.(ln/iol)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/nourdeen-wildeman-akhir-ramadan-pindah-rumah-ke-masjid.htm
Keinginan i'tikaf melintas ketika Nourdeen sedang memikirkan banyak rencana yang ingin ia lakukan untuk mengisi hari liburnya. Menjelang hari raya Idul Fitri, Nourdeen sengaja mengambil cuti agar bisa melakukan banyak hal. Tapi ia merasa rencana yang menghampiri pikirannya, yang membuatnya merasa sibuk dan tak punya banyak waktu.
Saat itu, hari pertama di 10 terakhir bulan Ramadan. Nourdeen sedang berkendaraan sambil mendengarkan CD yang ia ambil secara tak sengaja berisi ceramah imam favoritnya. Entah kebetulan atau tidak, ketika CD diputar, kalimat pertama yang ia dengar dari imam di CD tersebut adalah "Hari ini, kita sudah melalui hari pertama paruh ketiga bulan Ramadan dan kita harus membuat keputusan: apakah kita sudah melaksanakan segala rencana yang diniatkan di bulan Ramadan ini? Kalau belum, apa yang akan Anda lakukan?"
"Imam itu seperti bertanya langsung pada saya. Dan saya langsung membuat rencana," kata Nourdeen.
Sore itu juga, Nourdeen datang ke sebuah masjid di Rotterdam. Selama bulan Ramadan, Masjid Rotterdam dibuka selama 24 jam dan kala itu ia muncul satu jam setelah salat tarawih usai.
"Saya berjalan menuju tempat salat dan naik ke lantai dua masjid. Ada beberapa orang di sana yang sudah menggelar matras atau alas tidur di lantai. Saya menyapa mereka sambil tersenyum dan mengatakan bahwa saya ingin ikut i'tikaf," tutur Nourdeen.
Salah seorang teman yang sudah dikenal Nourdeen, seorang Muslim asal Maroko, tertawa melihat apa yang dibawa Nourdeen. Nourdeen memang membawa semacam kasur yang biasa digunakan untuk keperluan alam terbuka dan barang itu mengundang tawa rekan Nourdeen di masjid karena barang yang dibawa Nourdeen termasuk 'barang mewah'.
"Lihat, lelaki Belanda gila ini," kata rekan Nourdeen sambil bercanda. "Kami selalu pergi ke masjid begitu saja, baru kemudian memikirkan bagaimana dan dimana kami akan tidur. Tapi orang-orang Belanda benar-benar mempersiapkan membuat perencanaan matang dan menyiapkan segalany," sambung rekan Nourdeen yang asli Maroko tadi.
Tapi Nourdeen tidak tersinggung meski diledek "i'tikaf seperti orang pindah rumah". Ia tetap menganggap teman-temannya sebagai saudara-saudarannya seiman. Setiap pagi seusai salat subuh dan tidur sebentar, Nourdeen mengisi i'tikafnya dengan membaca al-Quran bahkan menghapal surat-surat Al-Quran yang belum pernah ia baca sebelumnya. Nourdeen juga membaca buku berisi fatwa-fatwa.
"Saya menemukan kegiatan yang tepat di Ramadan kala itu," ujar Nourdeen.
Ramadan tahun ini, aktivitas Nourdeen bertambah padat karena ia juga sering diundang ceramah dalam acara buka puasa bersama dengan kelompok-kelompok non-Muslim. "Saya masih harus banyak baca Al-Quran, lebih banyak menghapal surat-surat dan harus lebih banyak menghabiskan malam-malam Ramadan saya di masjid," imbuhnya.
Nourdeen saat ini aktif di yayasan 'OntdekIslam' (Menemukan Islam), sebuah yayasan yang bergerak dalam dakwah Islam di Belanda. Ia juga aktif sebagai pembicara di organisasi National Islamic Congress, menulis berbagai artikel untuk Dutch Islamic Broadcasting Organization serta membuat database online berisi informasi tentang 400 masjid yang tersebar di seluruh Negeri Kincir Angin.(ln/iol)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/nourdeen-wildeman-akhir-ramadan-pindah-rumah-ke-masjid.htm
20 Kaidah Memahami Riba
Sebelum membahas tentang kaidah-kaidah dalam riba, kita perlu memahami terlebih dahulu sebuah masalah penting yakni apa sebenarnya yang dimaksud barang-barang ribawi itu ?
Kita katakan, bahwasanya sebagian dari barang-barang ribawi telah diterangkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam. Dan sebagian yang lain telah ditambahkan oleh para ulama’ karena kesamaan ilat / sebab dengan barang-barang riba yang nabi sebutkan,seperti Emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, garam dan anggur.
Dalam hadits Ma’mar dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa nabi bersabda,” makanan ditukar dengan makanan harus sama.”Apakah barang-barang ribawiyah itu hanya terdiri dari nama-nama yang nabi sebutkan atau setiap barang yang memiliki sifat seperti barang yang nabi sebutkan?
Pendapat pertama : Kaum Dzahiriyah mengatakan bahwasanya barang ribawiyah itu hanya nama-nama yang Nabi sudah sebutkan saja. Adapun selainnya maka tidak termasuk barang ribawiyah. Ini adalah pendapat Ibnu Uqail dari madzhab Hambali
Pendapat kedua : Bahwasanya barang-barang ribawiyah itu tidak hanya terbatas pada barang-barang yang disebutkan oleh nabi saja,namun juga tercakup setiap barang yang memiliki kesamaan sifat dengan barang-barang yang disebutkan nabi itu. Dari pendapat ini, para ulama kemudian berbeda pendapat tentang ilat ( sebab/alasan ) barang-barang yang disebutkan nabi sehingga disebut sebagai barang-barang ribawi. Sebagaimana yang kita sebutkan sebelumnya bahwa nabi menyebutkan barang-barang ribawiyah berupa emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma dan garam. Perbedaan pendapat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
* Pendapat pertama : Bahwa ilat dari emas dan perak adalah ukuran timbangan. Adapun barang-barang selainnya yang empat (yang tresebut dalam nash) adalah ukuran takaran. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad. Atas dasar pendapat inilah maka hukum riba berlaku pada setiap barang-barang yang dapat ditimbang-baik itu makanan atau selainnya- dan setiap barang-barang yang dapat di takar- baik itu makanan atau selainnya-. Atas dasar pendapat ini pula hukum riba berlaku untuk besi. Barangsiapa yang menukar besi dengan besi haruslah seukuran dan tunai,karena memiliki jenis yang sama (nanti akan dijelaskan dalam kaidah bahwa apabila barang yang ditukar itu adalah barang yang sejenis, maka haruslah seukuran dan tunai).Menurut pendapat ini maka hukum riba berlaku pada emas, besi, tembaga, kuningan , timah dll. Begitu pula berlaku pada barang-barang lain yang dapat ditimbang seperti kain, sutera, wol , kapas dan semua barang yang dapat ditimbang. Begitu pula hukum ini berlaku untuk barang-barang yang dapat ditakar seperti gandum halus, gandum kasar, kurma, beras dan semua benda cair, seperti minyak dan susu.Inilah pendapat pertama yaitu timbangan dan takaran. Dengan ilat ini berlakulah hukum riba untuk setiap barang yang dapat ditimbang dan ditakar baik berupa makanan atau selainnya.
* Pendapat kedua : Imam Syafii rahimahullah berpendapat bahwa illat (alasan) dari emas dan perak adalah karena keduanya merupakan standard harga untuk barang-barang lainnya ( alat tukar ). Adapun ke empat barang yang lainnya, maka illatnya adalah jenis makanan.
Atas dasar pendapat ini maka hukum riba berlaku untuk :
1. Emas dan perak saja. Adapun timah, besi, tembaga dsb, tidak berlaku hukum ribawi.
2. Jenis makanan. Maka setiap makanan termasuk barang ribawi, tidak terkait dengan kondisinya yang biasa ditimbang atau ditakar.
* Pendapat ke tiga : Imam Malik berpendapat bahwa illat dari emas dan perak adalah alat tukar. Adapun empat barang lainnya maka illatnya karena barang-barang tersebut merupakan makanan pokok dan makanan simpanan. Yaitu makanan sehari-hari dan makanan yang dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Seperti gandum, maka ia adalah makanan pokok dan biasa disimpan dalam waktu lama. Begitu pula gandum, syair, jagung dan jewawut.
* Pendapat ke empat : Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa ilat dari emas dan perak adalah alat tukar yaitu barang yang bisa digunakaan untuk pembayaran bagi barang selainnya. Adapun empat barang lainnya illatnya adalah makanan yang biasa ditakar atau ditimbang.
Sebagai contoh :
1. Pertukaran antara satu Apel dengan dua Apel. Apakah berlaku hukum riba ?
Menurut Madzhab Hanafi dan Hanbali : Tidak berlaku hukum riba. Karena keduanya bukan termasuk barang yang biasa diukur dengan takaran atau timbangan,namun dengan jumlah atau bilangan. Menurut Madzhab Syafii : Berlaku hukum riba,karena apel adalah makanan.Menurut Madzhab Imam Malik : Tidak berlaku hukum riba, karena apel bukanlah emas, perak maupun makanan pokok yang biasa disimpan.
2. Satu sho’ gandum halus ditukar dengan dua sho’ gandum halus. Apakah berlaku hukum riba ?
Menurut madzhab Hanafi dan Hanbali : Berlaku hokum riba, karena pertukaran terjadi pada barang yang biasa diukur dengan takaran.Menurut madzhab Syafii : Berlaku juga, karena pertukaran terjadi pada makanan.Menurut madzhab Maliki : Berlaku, karena pertukaran terjadi pada makanan pokok yang biasa disimpan. Menurut Syaikhul Islam : Berlaku, karena pertukaran terjadi pada makanan yang biasa diukur dengan takaran.
3. Satu kilogram besi ditukar dengan dua kilogram besi.
Menurut madzhab Hanafi dan Hanbali : Berlaku karena besi termasuk barang yang biasa diukur dengan timbangan. Menurut madzhab Syafii : tidak berlaku, karena bukan emas atau perak. Bukan pula makanan pokok yang disimpan. Menurut syaikhul Islam : tidak belaku, karena ilat menurut beliau adalah alat tukar, makanan yang ditakar atau ditimbang.
4. Satu pena ditukar dengan dua pena
Menurut madzhab Hanafi dan Hambali : Tidak berlaku. Karena bukan termasuk barang yang biasa diukur dengan takaran maupun timbangan akan tetapi bilangan. Menurut Madzhab Syafii : Tidak berlaku. Karena bukan emas atau perak. Bukan pula makanan. Ilat yang digunakan pada madzhab ini adalah statusnya sebagai makanan atau alat tukar. Menurut Syaikul Islam : tidak berlaku. Karena ilat menurut beliau adalah alat tukar, makanan yang dapat ditimbang atau ditakar.
Kita mengetahui barang ribawiyah menurut Syaikul Islam adalah :
1. Barang yang menjadi alat tukar seperti Riyal, Dinar dan Pounds, serta apa saja yang menjadi alat tukar manusia.
2. Barang-barang yang menjadi makanan yang ditakar atau makanan yang ditimbang dan inilah pendapat yang rojih dalam masalah ini.
Inilah kaidah-kaidah yang harus dipahami dalam permasalahan riba:
KAIDAH PERTAMA
أن كل ربويين اتحدا في الجنس والعلة ( علة ربا الفضل ) ، فإنه يشترط عند مبادلة أحدهما بالآخر شرطان : التماثل ، والحلول والتقابض
Setiap barang yang jenis dan ilatnya sama maka boleh ditukarkan dengan berdasar pada dua syarat,yaitu sama banyaknya dan tunai.
Berdasarkan perkataan Syaikhul Islam, uang riyal termasuk barang Ribawi. Apabila riyal ditukar dengan riyal (keduanya sama jenis dan ilatnya) maka harus terpenuhi dua syarat :Sama banyak dan tunai.
Contoh:
* 10 riyal ditukar dengan 10 riyal, 50 riyal ditukar dengan 50 riyal, dan harus tunai dan barangnya ada ditempat (serah terima barang ditempat transaksi ). Karena terkadang transaksi secara tunai akan tetapi barangnya tidak ada ditempat. Hal ini terjadi dengan kesepakatan antara keduanya bahwa transaksi tunai tetapi tidak boleh langsung diambil. Seperti perkataan, “kamu datang 2 jam lagi baru kamu ambil barangnya”. Terkadang juga ada yang penyerahanya ditunda atau tunai akan tetapi barang tidak langsung diambil. Yang benar adalah tunai dan barang langsung diambil.
* Tukar menukar daging. Berdasarkan pendapat Syaikul Islam Ibn Taimiyah maka daging termasuk barang ribawi, karena daging adalah makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Maka tatkala saling menukar daging onta harus terpenuhi dua syarat; sama banyaknya dan langsung diserah terimakan.
* Gula termasuk barang ribawi karena termasuk makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Tatkala hendak tukar menukar gula maka wajib terpenuhi kedua syarat diatas.
KAIDAH KEDUA
كل ربويين اتحدا في علة ربا الفضل واختلفا في الجنس ، فيشترط عند مبادلة أحدهما بالآخر شرط واحد ، وهو : الحلول والتقابض
Setiap barang ribawi yang ilatnya sama namun berbeda jenis barangnya apabila hendak ditukar maka disyaratkan harus tunai atau langsung diserah terimakan.
Contoh :
* Riyal ditukar dengan Pounds. Illatnya sama yaitu alat tukar. Maka syarat pertukarannya adalah tunai atau serah terima secara langsung. Adapun kesamaan jumlah maka ini bukan syarat.
* Daging onta dengan daging kambing. Ilat dari kedua barang ini adalah makanan yang lazimnya diukur dengan timbangan. Jenis dari kedua barang ini berbeda. Maka disyaratkan tunai dan diperbolehkan untuk melebihkan salah satu barang. Karena nabi bersabda,” Apabila jenis barang berbeda, maka juallah sekehendak kalian asalkan tunai.”
* Gandum kasar (Sya’ir) dengan gandum halus (Birr). Ilatnya sama yaitu makanan yang lazim diukur dengan takaran. Apabila keduanya hendak ditukar maka disyaratkan untuk tunai. Adapun harus sama banyaknya, maka ini bukanlah syarat. Kita diperbolehkan menjualnya sekehendak kita.
KAIDAH KETIGA
كل ربويين اتحدا في علة ربا الفضل واختلفا في الجنس ، وكان أحدهما نقداً ، فإنه لا يشترط شيء
Setiap barang ribawi yang ilatnya sama akan tetapi jenis barangnya berbeda dan salah satunya adalah emas atau perak maka tidak ada syarat apapun jika hendak ditukarkan.
Kaidah ini berlaku menurut madzhab Abu Hanifah dan Ahmad. Telah kita ketahui sebelumnya bahwa pendapat madzhab ini marjuh (lemah).
Contoh :
* Perak ditukar dengan tembaga. Ilat dari keduanya adalah timbangan. Perak dn tembaga keduanya lazim diukur dengan timbangan. Maka seperti ini boleh dijual dengan sekehendak hati,dan tidak disyaratkan harus tunai. Juga tidak disyaratkan harus sama ukurannya. Seandainya kita menjual 2 kg tembaga dengan 1 kg perak dengan tempo tertentu maka ini diperbolehkan.
* Emas dengan besi. Madzhab ini mengatakan bahwa ilatnya adalah timbangan. Oleh kerenanya tidak mengapa kita menjualnya sesuai dengan keinginan kita.
KAIDAH KEEMPAT
عن مبادلة نقد بنقد ، أو أوراق نقدية بأوراق نقدية ، أو عملات معدنية بأخرى ، فإذا اتحد الجنس ، فإنه يشترط شرطان : 1- التماثل والتساوي . 2- الحلول والتقابض .وأما إذا اختلف الجنس ، فإنه يشترط شرط واحد فقط ، وهو الحلول والتقابض
Tukar menukar An-Naqd (mata uang logam) atau antara uang kertas dengan uang kertas ( atau barang logam dengan yang lainnya), jika sama jenisnya maka harus memenuhi dua persyaratan, yaitu (1) sama ukurannya dan (2) serah terima secara tunai. Adapun apabila berbeda jenisnya maka syaratnya hanya satu,yaitu serah terima secara tunai
* Contoh barang yang sejenis :Riyal saudi ditukar dengan riyal saudi. Contoh an Naqd dengan an Naqd ( para ulama apabila menyebutkan an Naqd maka yang dimaksudkan adalah emas dan perak ). Emas dengan emas.
* Contoh yang berbeda jenis yaitu emas dengan perak. Maka dipersyaratkan harus tunai. Contoh lainnya adalah jika kita menjual emas dan uang lembaran. Keduanya berbeda jenis dengan ilat yang sama yaitu alat tukar. Maka disyaratkan harus tunai. Atau jika kita menjual perak dengan uang lembaran maka syaratnya adalah tunai.
KAIDAH KELIMA
كل ربويين اختلفا في العلة ، فلا يشترط عند مبادلة أحدهما بالآخر لا الحلول والتقابض ، ولا التساوي والتماثل
Setiap barang ribawi yang berbeda ilatnya, maka tidak disyaratkan tunai, juga tidak disyaratkan sama ukurannya.
Jika kita menukar barang ribawi satu dengan yang lainnya padahal ilatnya berbeda maka tidak ada syarat apapun yang harus dipenuhi.
* Riyal dengan kurma. Ilat dari riyal adalah alat tukar. Adapun kurma maka ilatnya adalah makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi untuk saling menukarnya.
* Gandum halus dengan emas. Gandum halus ilatnya adalah makanan yang lazim diukur dengan takaran. Adapun emas ilatnya adalah alat tukar.
* Sya’ir (Gandum kasar) dengan perak. Maka tidak ada syarat untuk keduanya.
KAIDAH KEENAM
عند مبادلة ربوي بغير ربوي ، أو مبادلة عوضين غير ربويين ، فإنه لا يشترط الحلول والتقابض ولا التساوي والتماثل
Tukar menukar barang ribawi dengan barang bukan ribawi, atau saling menukar antara barang bukan ribawi, maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi.
Dalam kaidah in ada 2 bentuk transaksi.
1. Tukar menukar antara barang ribawi dengan barang bukan ribawi, maka tidak ada syarat untuk keduanya. Contoh :
* Emas dengan pakaian.
* Emas dengan buah jeruk,
* Riyal dengan pakaian.
Tidak ada syarat dalam pertukaran ini. Kita boleh menjual sekehendak kita. Tidak harus sama, tidak pula harus tunai.
2. Tukar menukar barang bukan ribawi. Tidak dipersyaratkan apa-apa dan tidak ada ilat pada kedua barang tsb.
Contoh :
* Pakaian dengan kitab –keduanya bukan barang ribawi-,
* mobil dengan buku,
* pakaian dengan rumah.
Ini semua bukan barang ribawi. Tatkala kita hendak menukar barang –ribawi dengan barang bukan ribawi atau dua-duanya bukan barang ribawi, maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi.
KAIDAH KETUJUH
لا أثر لاختلاف النوع أو الجودة والرداءة عند اتحاد الجنس الربوي ، ففي هذه الحال يشترط التساوي والتماثل ، وكذلك الحلول والتقابض
Perbedaan jenis atau kualitas bukan faktor yang diperhitungkan pada barang ribawi sejenis .Yang dipersyaratkan adalah persamaan ukuran dan harus tunai.
Tatkala hendak tukar menukar barang ribawi yang sejenis maka harus sama jumlah ukurannya dan tunai, meskipun terdapat perbedaan kualitas.
Contoh : Pertukaran antara kurma dengan kurma. Keduanya memiliki jenis yang sama. Maka wajib dilakukan secara tunai dan sama ukurannya. Jika satu sho’ maka ditukar dengan satu sho’. Meskipun salah satu kurma dengan kualitas bagus dan yang lainnya jelek, tetap tidak boleh kita mengatakan kita tukar 1 sho’ kurma macam yang ini dengan 2 sho macam yang itu. Perbedaan macam kurma tidaklah berpengaruh karena perbedaan macam pada jenis yang sama tidaklah berpengaruh.
Demikian pula kualitas. Ini kualitas bagus dan ini kualitas buruk. Ini kurma merek A berkualitas bagus dan ini kurma merek B berkualitas buruk. Meskipun ada perbedaan, yang satu kurma baru dan yang lainnya kurma lama, tetap harus sama ukurannya.
Keterangan ini berdasar pada hadits Abu Said tatkala mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam di Khaibar. Iapun datang dengan membawa kurma janiiib ( kualitas baik ) yang masih baru. Nabipun bertanya,” apakah semua kurma Khaibar seperti ini ?” para sahabat menjawab,” Tidak wahai Rosulullah. Kami mengambil satu sho kurma janiib dengan dua sho’ kurma al jam’u ( kualitas buruk ).” Nabi bersabda,” jauhkan dia. Ini adalah salah satu jenis riba.”
Hadits ini menunjukkan bahwa perbedaan macam atau kualitas barang tidak berpengaruh selama masih dalam jenis yang sama.
Contoh :
* Gandum. Gandum memiliki macam yang beragam. ( al khintoh, al laqiimi, dan al Miayyah ). Maka tatkala al khintoh ditukar dengan al khintoh harus secara tunai dan sama jumlahnya.
* Daging. Apabila berbeda macamnya (sapi misalnya ) daging sapi irab dengan sapi jamuus, Apabila hendak ditukar antara ini dan itu selama keduanya masih sama-sama daging sapi maka harus secara tunai dan sama banyaknya.
* Susu.
* Daging kambing. Apabila ditukar daging domba dengan daging kambing namun dengan penambahan maka ini termasuk riba. Perbedaan macam kambing ini tidak dilihat dan hanyalah harus terpenuhi syarat tunai dan sama ukurannya.
KAIDAH KEDELAPAN
ما اشترط فيه التماثل والتساوي ، فلا بُدَّ أن يكون التساوي والتماثل بمعياره الشرعي: كيلاً في المكيلات ، ووزناً في الموزونات
Setiap kondisi yang disyaratkan harus sama jumlah ukurannya maka harus benar-benar sama menurut ukuran standard yang diakui oleh syariat. Dengan takaran yang standard jika barang takaran dan dengan timbangan standard jika barang timbangan.
Kapan disyaratkan harus sama ukurannya ? Yakni apabila pertukaran terjadi pada barang ribawi yang sama jenisnya.Apabila disyaratkan harus sama maka harus disamakan menurut ukuran standard syar’i. Tidak boleh dengan ukuran sembarangan. Karena barang-barang ribawi ini memiliki ukuran standard secara syar’i. Nabi bersabda,” Emas dengan Emas, seukuran dengan ukuran yang sama. Perak dengan perak, seukuran dengan ukuran yang sama.” Oleh karenanya apabila seseorang menukar 1 sho’ emas dengan 1 sho’ emas, hal ini termasuk riba meskipun kelihatannya sama. Mengapa demikian ? karena tidak menggunakan ukuran standard yang diakui oleh syariat.
Seandainya kita ambil emas pertama yang diukur dengan sho’ (satuan volume) dan kita timbang dengan timbangan standardnya. Kemudian kita ambil emas kedua dan kita timbang dengan timbangan standardnya, tentu kita akan mendapatkan perbedaan.
Demikian halnya dengan barang lain. Apabila kita menimbang barang yang lazimnya ditakar (berdasar satuan volume) atau menakar barang yang lazimnya ditimbang (berdasar satuan berat) maka hal ini termasuk dalam praktek riba. Contohnya perak. Ukuran standard menurut syariat adalah dengan timbangan. Akan dijelaskan tentang kaidah ukuran standard. Insyaallah.
Tatkala 10 kg gandum ditukar dengan 10 kg gandum maka ini termasuk riba. Karena kita menggunakan ukuran timbangan (satuan berat). Padahal gandum ukuran standardnya adalah takaran (berdasar satuan volume). Adapun kg atau gram adalah ukuran timbangan (berat). Pertukaran ini harus diukur dengan standard syar’i. Gandum adalah barang yang lazim ditakar. Maka kita mengukurnya dengan alat ukur seperti sho’, wasq, mud dsb. Adapun barang-barang timbangan diukur dengan alat timbangan seperti kg, gram, pound dll.
KAIDAH KESEMBILAN
عند مبادلة ربوي بربوي آخر، لا يُشترط المعيار الشرعي عند عدم اشتراط التساوي
Para pertukaran barang-barang ribawi, tidak dipersyaratkan menggunakan ukuran standard apabila tidak ada syarat harus sama ukuran jumlahnya.
Demikian pula pada pertukaran barang ribawi dengan barang bukan ribawi. Tidak dipersyaratkan menggunakan ukuran standard syar’i.Pada pertukaran barang ribawi dengan barang ribawi jenis lainnya, tidak dipersyaratkan harus dengan ukuran standard. Mengapa ? karena beda jenis maka tidak dipersyaratkan harus sama jumlahnya.
Dipersyaratkan harus menggunakan ukuran standard syar’i apabila terjadi pada barang-barang yang dipersyaratkan harus sama ukurannya karena sama jenisnya. Adapun jika kita tukarkan barang ribawi dengan barang ribawi jenis lainnya maka kita boleh mengukurnya sesuai dengan kehendak kita. Baik pada barang-barang takaran maupun timbangan.
Contoh : barang ribawi dengan barang ribawi jenis lain
* Pertukaran emas dengan kurma. Sama saja apakah dengan timbangan, takaran atau tidak diukur sama sekali. Kurma lazimnya diukur dengan takaran. Akan tetapi apabila hendak kita tukar dengan emas atau riyal maka tidak mengapa kita mengukurnya dengan timbangan. Begitu pula emas.
* Gandum halus dengan gandum kasar. Keduanya lazim diukur dengan takaran. Selama tidak dipersyaratkan harus sama ukurannya maka tidak disyaratkan pula harus diukur dengan ukuran standard. Juallah 1 sho’ gandum kasar dengan 2 sho ‘ gandum halus. Atau 10 kg gandum kasar dengan 20 kg gandum halus. Atau juga 1 sho’ gandum kasar dengan 10 kg gandum halus. Diukur dengan timbangan atau takaran, semua boleh. Akan tetapi harus tunai.
Contoh Pertukaran barang yang berbeda dan tidak sama jenisnya :
* Kurma dengan riyal, maka hal ini tidak mengapa. Misalnya apabila kita membelinya dari pedagang kurma. Bukannya menakar, pedagang itu malah menimbangnya. Ini boleh. Mengapa demikian ? Karena kita tidak diharuskan untuk menyamakan ukuran. Antara kurma dan riyal berbeda jenisnya.
* Demikian pula contohnya apabila kita membeli beras. Kemudian diberikan 2 kg beras (bukan dengan ukurun sho’).Ini tidak mengapa. Kita tidak membeli barang ribawi yang sejenis, akan tetapi beda jenis. Dalam konteks ini, kita tidak dipersyaratkan harus menggunakan ukuran standard syar’i kerena kita tidak disyaratkan untuk menyamakan ukuran.
Begitu pula jika kita mengganti atau menukar barang ribawi dengan barang bukan ribawi. Atau tukar menukar barang yang bukan ribawi, maka tidak ada syarat menggunakan ukuran standard. Seperti kita menukar baju dengan baju.
Mengapakah para ulama mensyaratkan untuk menggunakan alat ukur yang standard ? Tidak lain supaya terwujud kesamaan dengan sebenarnya. Nabi bersabda:
مثلاً بمثل سواءً بسواء
” misal dengan semisalnya dan sama dengan persamaannya.”
Tidaklah terwujud persamaan ini kecuali dengan ukuran yang standard.
KAIDAH KESEPULUH
ما كان في عهد النبي صلى الله عليه وسلم عند أهل المدينة مكيلاً فهو مكيل ، وما كان في عهد النبي صلى الله عليه وسلم عند أهل مكة موزوناً فهو موزون إلى يوم القيامة
Barang apa saja yang dikenal oleh penduduk Madinah pada zaman nabi sebagai barang yang lazim diukur dengan takaran maka ia diukur dengan takaran.. Barang apa saja yang dikenal oleh penduduk Makkah pada zaman nabi sebagai barang yang lazim diukur dengan timbangan maka dia diukur dengan timbangan selamanya hingga hari kiamat.
Kaidah inilah yang ingin kita jelaskan terkait dengan landasan penggolongan barang yang ditimbang atau barang yang ditakar. Persisnya tatkala kita hendak menukar barang ribawi yang sejenis sehingga dipersyarakan untuk sama berdasar ukuran standard syariat. Dari sini timbul pertanyaan, barang apa saja yang ukuran standarnya adalah timbangan ? barang apa saja yang ukuran standardnya takaran ? maka kita jelaskan, bahwasanya dalam kaidah ini terdapat patokan-patokan sbb :
1. Seluruh biji-bijian termasuk barang yang ditakar.Hal ini mencakup banyak barang seperti gandum halus, gandum kasar, jewawut, kacang, dsb.
2. Seluruh benda cair adalah barang yang ditakar ( susu, yogurt, minyak, madu dsb..) maka tatkala hendak bertukar antara madu dengan madu, harus diukur dengan takaran. Begitu pula gandum dengan gandum, harus diukur dengan takaran pula.
3. Seluruh benda logam adalah barang yang diukur dengan timbangan seperti besi, tembaga, kuningan dsb. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan Hanbali. Yang benar, tidaklah berlaku hukum riba kecuali pada emas dan perak. Sedangkan menurut pendapat Syaikul Islam, maka emas dan perak dan apa-apa yang termasuk alat tukar atau alat pembayaran.
4. Bulu dan sejenisnya termasuk barang-barang yang diukur dengan timbangan seperti wool, sutera, kapas dll. Segala hal yang menjadi bahan baku pakaian termasuk barang yang diukur dengan takaran.
5. Kurma dan sejenisnya termasuk barang yang diukur dengan takaran.
Kaidah mengatakan bahwa barang apa saja yang dikenal dikalangan penduduk madinah pada zaman nabi sebagai barang takaran, maka barang itu dianggap barang yang diukur dengan takaran. Hal ini berlaku selamanya. Seperti biji-bijian dan benda-benda cair. Demikian pula setiap barang yang dikenal oleh penduduk Makkah pada zaman nabi sebagai barang timbangan maka dianggap sebagai barang yang diukur dengan timbangan selamanya. Seperti benda logam, emas & perak. Hal ini ditunjukkan oleh hadits nabi yang berbunyi,” takaran itu dengan takarannya penduduk madinah dan timbangan itu dengan timbangannya penduduk Makkah.”
Sebagian ulama berkata,” emas dan perak diukur dengan timbangan, adapun empat barang ribawi lainnya diukur dengan takaran. Adapun selainnya maka dikembalikan menurut kebiasaan masyarakat setempat.” Contoh, menukar sekantong beras dengan sekantong beras. Hal ini tidak boleh. Karena baras termasuk barang ribawi. Tidak boleh ditukar dalam keadaan belum diukur dengan ukuran standard syariat.
KAIDAH KESEBELAS
كلُّ ما حرم فيه التفاضل حرم فيه النسأ ، لا العكس
Setiap barang yang haram untuk dilebihkan haram pula untuk ditunda pembayarannya. Dan tidak berlaku sebaliknya.
Kapan barang diharamkan untuk dilebihkan? Yaitu tatkala sama jenisnya. Maka haram pula untuk ditunda pembayarannya.
Contoh, emas dengan emas. Haram untuk dilebihkan. Kita tidak boleh menjual 100 kg emas dengan 120 kg emas. Maka haram pula untuk ditunda pembayarannya. Kita tidak boleh menukar emas dan emas dengan tempo. Kaidah ini tidak berlaku untuk kasus sebaliknya. Terkadang haram untuk ditunda pembayarannya akan tetapi tidak diharamkan untuk dilebihkan. Seperti emas dan perak. Haram untuk menunda pembayaran, harus tunai, akan tetapi tidak haram untuk melebihkan salah satunya. Jadi boleh kita menjual 100 gr emas dengan 200 gr perak.
KAIDAH KEDUA BELAS
الزيادة في الدين مقابل الأجل ربا
Bertambahnya hutang untuk menunda pembayaran ( hutang berbunga ) adalah riba.
Ini adalah praktek riba jahiliyyah. Sebagai gambaran, seseorang memberi hutang kepada orang lain. Saatnya tiba waktu pembayaran, ia mengatakan ,” pilih engkau lunasi hutangnya atau engkau tambah bunganya.” Seseorang menghutangi 100 gr emas. Saatnya pembayaran tiba, ia mengatakan,” kamu lunasi atau engkau tambahi.” Penambahan jumlah ini dikerenakan penambahan tempo pembayaran.
KAIDAH KETIGA BELAS
إذا تعذّر التساوي في الربوي من جنس واحد لسببٍ في الجنس أو لسببٍ خارج لم تصحّ المعاوضة
Apabila terdapat keadaan yang membuat tidak sempurnanya sifat sama pada salah satu jenis barang ribawi disebabkan oleh jenis atau sebab lain maka tidak sah penggantinya.
Apabila pertukaran terjadi pada barang ribawi sejenis maka disyaratkan adanya persamaan atau serah terima secara kontan. Oleh karenanya apabila tidak sempurna persamaan jumlah barang disebabkan jenis barang itu sendiri atau sebab lain maka tidak sah pertukarannya.
Misalnya, tatkala kita menjual roti yang terbuat dari gandum dengan gandum. Disini terdapat cacat persamaan jumlah barang. Karena gandum diukur dengan takaran (ukuran volume) sedangkan roti tidak mungkin diukur dengan takaran. Akan datang penjelasan tentang hukum apabila barang-barang ribawi yang tidak lagi dapat diukur dengan timbangan atau takaran lantaran telah diproses menjadi produk lain. Apakah barang tersebut masih tetap termasuk barang ribawi atau telah berubah ? disini terdapat perbedaan pendapat. Yang terpenting apabila kita menukar roti yang terbuat dari gandum dengan gandum, kita katakan bahwa persamaan jumlah disini tidak sempurna. Karena gandum diukur dengan takaran adapun roti tidak lazim diukur dengan takaran.
KAIDAH KEEMPAT BELAS
كل شيئين جمعهما اسم واحد من أصل الخلقة فهما جنس واحد ، فالجنس : ماله اسم خاص يشمل أنواعاً ، والنوع : هو الشامل لأشياء مختلفة بأشخاصها
Dua barang yang terbuat dari satu bahan yang sama, maka keduanya adalah sejenis. Jenis adalah sesuatu yang memiliki nama khusus, mencakup berbagai macam/tipe. Adapun yang dimaksud Tipe/Macam: mencakup semua item dengan karakter yang berbeda-beda.
Kaidah ini menerangkan pengertian jenis dan macam.
* Gandum adalah jenis yang mencakup berbagai macam yang berbeda. Gandum ada beberapa macam. Seperti khintoh, laqimi, maiyah, dsb.
* Kurma adalah jenis yang mencakup kurma ajwah, kurma sukari, kurma barkhi dsb.
* Daging adalah jenis yang mencakup daging onta, daging kambing, daging sapi dsb.
* Kambing adalah jenis yang mencakup domba, kibasy dsb.
Contoh kasus : al khintoh adalah macam dari jenis gandum. Jenisnya gandum ,sedangkan macam/tipenya khintoh. Apabila kita memiliki sekantong gandum al khintoh, dan sekantong lagi gandum al khintoh. Kedua kantung ini macamnya sama, namun bisa berbeda pada dzatnya atau sifatnya. Maka macam barang mencakup atas item-item yang berbeda. Apabila memliki perbedaaan tipe/maca maka ini disebut jenis barang.
Contoh lain : kurma as sukary. Kita punya 3 kantong kurma as sukary. Tiga kantong ini dinamakan macam. Mengapa? Karena sudah terpecah menjadi item-item yang berbeda.
Telah kita bahas bahwa pertukaran barang yang sejenis tidak melihat kepada perbedaan macam. Tatkala kita hendak menukar gandum dengan gandum, kita tidak melihat perbedaan macamnya. Jika kita menukar gandum khintoh dengan gandum laqiim atau maiyah maka tetap diharuskan tunai dan dalam jumlah yang sama. Apalagi jika barangnya semacam seperti khintoh dengan khintoh.
KAIDAH KELIMABELAS
فروع الأجناس إذا بيعت بجنسها اشترط فيها التساوي في الصفة المقصودة بالعقد
Jenis barang yang bermacam-macam apabila dijual dengan jenisnya disyaratkan adanya kesamaan sifat yang dimaksudkan dalam akad.
Gandum halus jenis daqiiq apabila ditukar dengan gandum halus jenis daqiiq maka disyaratkan harus sama dalam tingkat kehalusannya. Tidak boleh menjual 1 sho’ gandum halus jenis daqiiq dengan 1 sho’ gandum halus jenis jurais – beda tingkat kehalusan-, karena tidak sama.
Tatkala kita membeli khintoh dengan khintoh atau maiyah dengan maiyah –macam gandum-, maka tidak ada pengaruh perbedaan macam selama masih dalam jenis yang sama. Atau tatkala kita membeli daging domba dengan daging kambing, maka ini tidak ada perbedaan, diharuskan sama dan tunai.
KAIDAH KEENAM BELAS
ما خرج عن القوت بالصنعة فليس بربوي ، بل هو جنس قائم بنفسه
Bahan makanan yang sudah diubah menjadi produk lain bukan lagi termasuk barang ribawi. Akan tetapi sudah menjadi jenis barang tersendiri.
Kaidah ini berdasar pada pendapat Syaikul Islam. Adapun pendapat yang mashur dari madzhab Hanbali dan Hanafi bahwa hal itu tidak bersifat mutlaq. Ada dua keadaan :
1. Pertukarannya dengan jenis lain ( meskipun bahan aslinya satu ) maka ini boleh. Seperti pertukaran roti dengan bubur.
2. Pertukarannya dengan jenis yang sama. Seperti roti dengan roti, bubur dengan bubur. Maka dalam hal ini diharuskan sama.
Yang paling penting diperhatikan dari kaidah ini adalah : Apabila barang yang lazim ditakar atau ditimbang sudah berubah lantaran diolah menjadi produk baru, apakah masih tetap termasuk barang ribawi ?
Menurut Syaikhul islam : barang timbangan atau takaran yang berubah lantaran diolah menjadi produk baru maka sudah bukan lagi barang ribawi meskipun dijual dengan yang sejenisnya.
* Seandainya kita tukarkan 1 sho’ gandum yang sudah diubah menjadi roti dengan 2 sho’ gandum yang masih asli, maka hal ini boleh menurut Syaikhul Islam. Karena beliau mengatakan bahwa gandum yang sudah diolah menjadi roti bukan lagi termasuk barang ribawi meskipun kita jual dengan yang sejenisnya. Setiap yang diolah maka ia sudah tidak lagi termasuk barang ribawi.
* Contoh lagi pada barang yang ditimbang- Syaikul islam tidak memandang adanya ilat pada barang yang ditimbang, beliau tidak memandang bahwa sebab barang masuk dalam kategori ribawi itu karena barang yang ditimbang. Seperti jika kita menjual bejana dari besi dengan besi. Maka besi yang sudah diolah menjadi bejana bukan lagi masuk barang ribawi. Sehingga boleh kita menjual ketel dari besi dengan besi mentah. Sama saja apakah dengan ukuran sama atau dilebihkan, tunai atau tempo, semuanya boleh dilakukan. Syaikhul Islam berpendapat, apabila barang sudah bukan lagi barang ribawi lantaran telah diolah menjadi produk lain maka tidak lagi berlaku hokum-hukum ribawi.
Pendapat yang masyhur dari madzhab Hanbali dan Hanafi adalah barang-barang ribawi yang ditakar apabila telah diolah menjadi produk lain maka tetap dalam statusnya barang ribawi. Tidak boleh tukar-menukar gandum dengan roti juga tidak boleh roti dengan roti kecuali dengan syarat harus sama jumlahnya. Roti ditukar dengan roti sah jika sama keringnya. Adapun roti dengan gandum hal ini tidak sah menurut madzhab ini.
Dalam hal barang-barang yang ditimbang, mereka memandang bahwa barang-barang yang sudah diolah menjadi produk lain bukan lagi barang ribawi. Maka boleh menukarkan 1 ketel dari besi dengan 2 ketel. Meskipun keduanya berasal dari besi. Mereka membedakan antara barang timbangan dan barang takaran. Adapun syaikul islam memandang bahwa setelah barang ribawi itu berubah menjadi barang bukan ribawi lantaran sudah diolah menjadi produk lain-baik yang ditimbang maupun yang ditakar- maka tidak lagi berlaku hokum ribawi.
KAIDAH KETUJUH BELAS
لا أثر للصياغة المباحة عند المبادلة
Tidak berlaku ongkos tambahan pembuatan dalam tukar menukar barang.
Kaidah ini berbeda dengan pendapat Syaikul Islam. Beliau berpendapat bahwa ongkos pembuatan berpengaruh. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa biaya tambahan untuk ongkos pembuatan tidak berpengaruh dalam pertukaran. Maka tatkala kita menukar emas yang telah dibentuk dengan emas yang belum dibentuk kemudian diberikan tambahan biaya pembuatan maka hal ini termasuk dalam riba. Hal ini didasari oleh hadits Fudholah bin Ubaid bahwa dia membeli cincin dengan dinar yang ada mutiaranya. Maka tatkala hendak dilepaskan ada biaya tambahan. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda,” jangan hingga kamu melepaskannya.” Selain itu nabi juga bersabda,” emas dengan emas yang setara. Perak dengan perak. Syang setara”
Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama yaitu pembuatan tidaklah berpengaruh. Ini merupakan kebalikan dari pendapat Syaikhul Islam Ibn Taimiyah. Jika kita menginginkan adanya tambahan dari ongkos pembuatan maka kita katakan bahwa ini tidak boleh dan jatuh kepada riba. Haditsnya jelas,” emas dengan emas, perak dengan perak, yang sama dan semisal”
KAIDAH KEDELAPAN BELAS
مبادلة الربوي بجنسه ومعهما أو مع أحدهما من غير جنسهما
Menukar barang ribawi dengan sejenisnya yang terdapat pada salah satu atau keduanya barang lain yang tidak sejenis.
Para ulama menamainya sebagai( مسألة مدّ عجوة ودرهم) masalah “ mud kurma ajwah dan dirham” . Ajwah merupakan salah satu jenis kurma madinah. Permasalahan yang dikenal dengan“mud kurma ajwah dan dirham” ini ada 2 gambaran:
1. Pertukaran barang ribawi dengan sejenisnya yang pada keduanya ada barang lain yang tidak sejenis.
2. Pertukaran barang ribawi dengan sejenisnya, pada salah satunya terdapat barang lain yang tidak sejenis.
* Contoh gambaran A :
Menukar 1 mud kurma ajwah dengan 1 mud kurma ajwah. Pada keduanya terdapat barang lain yang tidak sejenis. Yang pertama ada dirhamnya yang kedua juga ada dirhamnya. Jumhur ulama mengatakan bahwa kasus seperti ini tidak boleh. Karena ada unsur tipu muslihat pada barang ribawi yang sejenis dengan penambahan. Syaikul Islam berpendapat boleh jika jumlah mud keduanya sama dan jumlah dirhamnya juga sama.
* Contoh gambaran B :
Satu mud kurma ajwah yang disertai dirham dengan 2 mud kurma ajwah. Jumhur berpendapat tidak boleh. Adapun pendapat kedua mengatakan jika mud ditukar mud dan dirhamnya sebagai pembayaran atas kelebihannya, maka ini boleh.
Tatkala kita membeli perhiasan intan dari pembuatnya. Kita memberinya perhiasan lama, kemudian kita mengambil perhiasan baru. Pembuat perhiasan meminta kita harus menambah, apakah ini boleh ? atau kita memberi 20 gr perhiasan lama dan mengambil 15 gr perhiasan baru yang sudah dibentu, apakah ini boleh ?
Ini masuk dalam masalah “mud kurma ajwah dan dirham”. Karena kita telah menukar barang ribawi dengan sejenisnya, pada salah satunya terdapat uang dirham yang bukan dari jenisnya, menurut jumhur ulama ini boleh. Menurut Syaikhul Islam apabila tambahannya sebagai biaya pembuatan barang maka hal ini boleh. Akan tetapi pendapat yang benar adalah tidak boleh menukar karena hadits telah jelas menerangkan,” emas dengan emas…..” demikian pula kisah Fudholah ketika membeli cincin yang ada mutiaranya dengan dinar maka Nabi bersabda,” jangan sampai kamu lepaskan mutiaranya.” maka yang benar menukar barang ribawi dengan jenisnya tidak dibenarkan adanya tambahan. Harus sama antara keduanya dalam timbangan. Tdiak berpengaruh ongkos pembuatan. Sebagaimana kami jelaskan sebelumnya,bahwa macam barang itu tidak berpengaruh apa-apa. Solusinya, kita jual perhiasan lama kita dan kita tahan dirhamnya,baru kemudian uangnya kita gunakan untuk membeli yang baru. Akan tetapi yang menjadi masalah, sebagian pembuat perhiasan itu mengatakan,” aku akan membeli darimu dengan syarat kamu nanti harus membeli dariku.” Maka kita katakan,” disini kita terjatuh dalam riba, yaitu emas ditukar emas dengan tambahan. Karena syaratnya adalah kita menjual kepadanya dan kitapun harus membeli darinya. Ini seolah-olah kita menukar emas dengan emas dengan harga tambahan. Imam Ahmad mengatakan,” engkau jual barangmu dan ambil harganya. Lalu cari tempat lain. Ini dilakukan untuk menghindari syubhat riba. Jika ternyata tidak menemukan tempat lain yang bisa memenuhi kebutuhan kita maka tidak mengapa kembali ketempat semula.”
KAIDAH KESEMBILAN BELAS
الشكّ في المماثلة كتحقّق المفاضلة
Keraguan terhadap kesamaan ukuran dihukumi seperti adanya penambahan.
Jika terjadi keraguan apakah ukuran barang sudah sama atau belum, maka dianggap adanya penambahan. Dengan demikian wajib bagi kita memastikannya dengan menggunakan ukuran standard syariat. Tidak mengetahui bahwa barang itu seukuran sama saja artinya dengan mengetahui bahwa barang itu ada kelebihan.
KAIDAH KEDUAPULUH
قبض الشيك أو السند عند صرف العملات ، هل يقوم مقام العملة ؟
Apakah cek atau giro dapat mengantikan uang dalam pembayaran ?
Ini adalah permasalahan modern yang terjadi tatkala menukar barang yang mengharuskan pembayaran tunai. Contoh emas dengan riyal. Ketika hendak membeli emas, kita diharuskan untuk membayar tunai karena bertemunya 2 barang ribawi. Kitapun lantas memberikan cek sebagai ganti uang riyal. Apakah cek ini bisa menggantikan posisi uang secara syariat? Para ulama kontemporer berbeda pendapat.
Sebagian mereka berpendapat bahwa cek bisa menggantikan uang. Penggunaan cek untuk jual beli telah menjadi kebiasaan manusia zaman ini. Maka cek menggantikan dirham. Maka tatkala kita membeli emas dan kita menyerahkan cek hukumnya boleh.
Pendapat sebagian yang lainnya adalah bahwa cek tidak dapat menggantikan dirham. Tatkala kita membeli emas atau perak atau pounds dengan riyal Saudi, tidak cukup dengan memberikan cek. Karena pemberian cek tidak dianggap sebagai pembayaran tunai. Alasannya yaitu apabila cek ini hilang atau terbakar apakah akan kembali kepada yang memberi cek atau tidak ? jawabnya adalah kembali. Ini menunjukkan bahwa cek tidaklah tunai. Berbeda keadaannya apabila dalam posisi dirham. Jika kita mengambil emas dan kita beri 1000 riyal dan ternyata hilang atau terbakar riyal itu, apakah dianggap tunai ? jawabnya iya. Apakah akan kembali kepada yang punya ? jawabnya tidak. Adapun cek akan kembali. Ini menunjukkan cek tidak dianggap kontan.
Pendapat ketiga mengatakan hal ini perlu perincian. Jika ceknya asli maka boleh. Jika ceknya kosong maka tidak boleh. Karena cek asli senilai dengan harga yang tercantum. Dan pendapat ketiga inilah yang lebih dekat kepada kebenaran. Allahu alam.
Penulis : Kholid bin Ali Al Musyaiqih
Sumber : Situs Syaikh Kholid bin Ali Al Musyaiqih [1]
http://www.direktori-islam.com/2009/07/20-kaidah-memahami-riba/
Kita katakan, bahwasanya sebagian dari barang-barang ribawi telah diterangkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam. Dan sebagian yang lain telah ditambahkan oleh para ulama’ karena kesamaan ilat / sebab dengan barang-barang riba yang nabi sebutkan,seperti Emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, garam dan anggur.
Dalam hadits Ma’mar dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa nabi bersabda,” makanan ditukar dengan makanan harus sama.”Apakah barang-barang ribawiyah itu hanya terdiri dari nama-nama yang nabi sebutkan atau setiap barang yang memiliki sifat seperti barang yang nabi sebutkan?
Pendapat pertama : Kaum Dzahiriyah mengatakan bahwasanya barang ribawiyah itu hanya nama-nama yang Nabi sudah sebutkan saja. Adapun selainnya maka tidak termasuk barang ribawiyah. Ini adalah pendapat Ibnu Uqail dari madzhab Hambali
Pendapat kedua : Bahwasanya barang-barang ribawiyah itu tidak hanya terbatas pada barang-barang yang disebutkan oleh nabi saja,namun juga tercakup setiap barang yang memiliki kesamaan sifat dengan barang-barang yang disebutkan nabi itu. Dari pendapat ini, para ulama kemudian berbeda pendapat tentang ilat ( sebab/alasan ) barang-barang yang disebutkan nabi sehingga disebut sebagai barang-barang ribawi. Sebagaimana yang kita sebutkan sebelumnya bahwa nabi menyebutkan barang-barang ribawiyah berupa emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma dan garam. Perbedaan pendapat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
* Pendapat pertama : Bahwa ilat dari emas dan perak adalah ukuran timbangan. Adapun barang-barang selainnya yang empat (yang tresebut dalam nash) adalah ukuran takaran. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad. Atas dasar pendapat inilah maka hukum riba berlaku pada setiap barang-barang yang dapat ditimbang-baik itu makanan atau selainnya- dan setiap barang-barang yang dapat di takar- baik itu makanan atau selainnya-. Atas dasar pendapat ini pula hukum riba berlaku untuk besi. Barangsiapa yang menukar besi dengan besi haruslah seukuran dan tunai,karena memiliki jenis yang sama (nanti akan dijelaskan dalam kaidah bahwa apabila barang yang ditukar itu adalah barang yang sejenis, maka haruslah seukuran dan tunai).Menurut pendapat ini maka hukum riba berlaku pada emas, besi, tembaga, kuningan , timah dll. Begitu pula berlaku pada barang-barang lain yang dapat ditimbang seperti kain, sutera, wol , kapas dan semua barang yang dapat ditimbang. Begitu pula hukum ini berlaku untuk barang-barang yang dapat ditakar seperti gandum halus, gandum kasar, kurma, beras dan semua benda cair, seperti minyak dan susu.Inilah pendapat pertama yaitu timbangan dan takaran. Dengan ilat ini berlakulah hukum riba untuk setiap barang yang dapat ditimbang dan ditakar baik berupa makanan atau selainnya.
* Pendapat kedua : Imam Syafii rahimahullah berpendapat bahwa illat (alasan) dari emas dan perak adalah karena keduanya merupakan standard harga untuk barang-barang lainnya ( alat tukar ). Adapun ke empat barang yang lainnya, maka illatnya adalah jenis makanan.
Atas dasar pendapat ini maka hukum riba berlaku untuk :
1. Emas dan perak saja. Adapun timah, besi, tembaga dsb, tidak berlaku hukum ribawi.
2. Jenis makanan. Maka setiap makanan termasuk barang ribawi, tidak terkait dengan kondisinya yang biasa ditimbang atau ditakar.
* Pendapat ke tiga : Imam Malik berpendapat bahwa illat dari emas dan perak adalah alat tukar. Adapun empat barang lainnya maka illatnya karena barang-barang tersebut merupakan makanan pokok dan makanan simpanan. Yaitu makanan sehari-hari dan makanan yang dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Seperti gandum, maka ia adalah makanan pokok dan biasa disimpan dalam waktu lama. Begitu pula gandum, syair, jagung dan jewawut.
* Pendapat ke empat : Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa ilat dari emas dan perak adalah alat tukar yaitu barang yang bisa digunakaan untuk pembayaran bagi barang selainnya. Adapun empat barang lainnya illatnya adalah makanan yang biasa ditakar atau ditimbang.
Sebagai contoh :
1. Pertukaran antara satu Apel dengan dua Apel. Apakah berlaku hukum riba ?
Menurut Madzhab Hanafi dan Hanbali : Tidak berlaku hukum riba. Karena keduanya bukan termasuk barang yang biasa diukur dengan takaran atau timbangan,namun dengan jumlah atau bilangan. Menurut Madzhab Syafii : Berlaku hukum riba,karena apel adalah makanan.Menurut Madzhab Imam Malik : Tidak berlaku hukum riba, karena apel bukanlah emas, perak maupun makanan pokok yang biasa disimpan.
2. Satu sho’ gandum halus ditukar dengan dua sho’ gandum halus. Apakah berlaku hukum riba ?
Menurut madzhab Hanafi dan Hanbali : Berlaku hokum riba, karena pertukaran terjadi pada barang yang biasa diukur dengan takaran.Menurut madzhab Syafii : Berlaku juga, karena pertukaran terjadi pada makanan.Menurut madzhab Maliki : Berlaku, karena pertukaran terjadi pada makanan pokok yang biasa disimpan. Menurut Syaikhul Islam : Berlaku, karena pertukaran terjadi pada makanan yang biasa diukur dengan takaran.
3. Satu kilogram besi ditukar dengan dua kilogram besi.
Menurut madzhab Hanafi dan Hanbali : Berlaku karena besi termasuk barang yang biasa diukur dengan timbangan. Menurut madzhab Syafii : tidak berlaku, karena bukan emas atau perak. Bukan pula makanan pokok yang disimpan. Menurut syaikhul Islam : tidak belaku, karena ilat menurut beliau adalah alat tukar, makanan yang ditakar atau ditimbang.
4. Satu pena ditukar dengan dua pena
Menurut madzhab Hanafi dan Hambali : Tidak berlaku. Karena bukan termasuk barang yang biasa diukur dengan takaran maupun timbangan akan tetapi bilangan. Menurut Madzhab Syafii : Tidak berlaku. Karena bukan emas atau perak. Bukan pula makanan. Ilat yang digunakan pada madzhab ini adalah statusnya sebagai makanan atau alat tukar. Menurut Syaikul Islam : tidak berlaku. Karena ilat menurut beliau adalah alat tukar, makanan yang dapat ditimbang atau ditakar.
Kita mengetahui barang ribawiyah menurut Syaikul Islam adalah :
1. Barang yang menjadi alat tukar seperti Riyal, Dinar dan Pounds, serta apa saja yang menjadi alat tukar manusia.
2. Barang-barang yang menjadi makanan yang ditakar atau makanan yang ditimbang dan inilah pendapat yang rojih dalam masalah ini.
Inilah kaidah-kaidah yang harus dipahami dalam permasalahan riba:
KAIDAH PERTAMA
أن كل ربويين اتحدا في الجنس والعلة ( علة ربا الفضل ) ، فإنه يشترط عند مبادلة أحدهما بالآخر شرطان : التماثل ، والحلول والتقابض
Setiap barang yang jenis dan ilatnya sama maka boleh ditukarkan dengan berdasar pada dua syarat,yaitu sama banyaknya dan tunai.
Berdasarkan perkataan Syaikhul Islam, uang riyal termasuk barang Ribawi. Apabila riyal ditukar dengan riyal (keduanya sama jenis dan ilatnya) maka harus terpenuhi dua syarat :Sama banyak dan tunai.
Contoh:
* 10 riyal ditukar dengan 10 riyal, 50 riyal ditukar dengan 50 riyal, dan harus tunai dan barangnya ada ditempat (serah terima barang ditempat transaksi ). Karena terkadang transaksi secara tunai akan tetapi barangnya tidak ada ditempat. Hal ini terjadi dengan kesepakatan antara keduanya bahwa transaksi tunai tetapi tidak boleh langsung diambil. Seperti perkataan, “kamu datang 2 jam lagi baru kamu ambil barangnya”. Terkadang juga ada yang penyerahanya ditunda atau tunai akan tetapi barang tidak langsung diambil. Yang benar adalah tunai dan barang langsung diambil.
* Tukar menukar daging. Berdasarkan pendapat Syaikul Islam Ibn Taimiyah maka daging termasuk barang ribawi, karena daging adalah makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Maka tatkala saling menukar daging onta harus terpenuhi dua syarat; sama banyaknya dan langsung diserah terimakan.
* Gula termasuk barang ribawi karena termasuk makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Tatkala hendak tukar menukar gula maka wajib terpenuhi kedua syarat diatas.
KAIDAH KEDUA
كل ربويين اتحدا في علة ربا الفضل واختلفا في الجنس ، فيشترط عند مبادلة أحدهما بالآخر شرط واحد ، وهو : الحلول والتقابض
Setiap barang ribawi yang ilatnya sama namun berbeda jenis barangnya apabila hendak ditukar maka disyaratkan harus tunai atau langsung diserah terimakan.
Contoh :
* Riyal ditukar dengan Pounds. Illatnya sama yaitu alat tukar. Maka syarat pertukarannya adalah tunai atau serah terima secara langsung. Adapun kesamaan jumlah maka ini bukan syarat.
* Daging onta dengan daging kambing. Ilat dari kedua barang ini adalah makanan yang lazimnya diukur dengan timbangan. Jenis dari kedua barang ini berbeda. Maka disyaratkan tunai dan diperbolehkan untuk melebihkan salah satu barang. Karena nabi bersabda,” Apabila jenis barang berbeda, maka juallah sekehendak kalian asalkan tunai.”
* Gandum kasar (Sya’ir) dengan gandum halus (Birr). Ilatnya sama yaitu makanan yang lazim diukur dengan takaran. Apabila keduanya hendak ditukar maka disyaratkan untuk tunai. Adapun harus sama banyaknya, maka ini bukanlah syarat. Kita diperbolehkan menjualnya sekehendak kita.
KAIDAH KETIGA
كل ربويين اتحدا في علة ربا الفضل واختلفا في الجنس ، وكان أحدهما نقداً ، فإنه لا يشترط شيء
Setiap barang ribawi yang ilatnya sama akan tetapi jenis barangnya berbeda dan salah satunya adalah emas atau perak maka tidak ada syarat apapun jika hendak ditukarkan.
Kaidah ini berlaku menurut madzhab Abu Hanifah dan Ahmad. Telah kita ketahui sebelumnya bahwa pendapat madzhab ini marjuh (lemah).
Contoh :
* Perak ditukar dengan tembaga. Ilat dari keduanya adalah timbangan. Perak dn tembaga keduanya lazim diukur dengan timbangan. Maka seperti ini boleh dijual dengan sekehendak hati,dan tidak disyaratkan harus tunai. Juga tidak disyaratkan harus sama ukurannya. Seandainya kita menjual 2 kg tembaga dengan 1 kg perak dengan tempo tertentu maka ini diperbolehkan.
* Emas dengan besi. Madzhab ini mengatakan bahwa ilatnya adalah timbangan. Oleh kerenanya tidak mengapa kita menjualnya sesuai dengan keinginan kita.
KAIDAH KEEMPAT
عن مبادلة نقد بنقد ، أو أوراق نقدية بأوراق نقدية ، أو عملات معدنية بأخرى ، فإذا اتحد الجنس ، فإنه يشترط شرطان : 1- التماثل والتساوي . 2- الحلول والتقابض .وأما إذا اختلف الجنس ، فإنه يشترط شرط واحد فقط ، وهو الحلول والتقابض
Tukar menukar An-Naqd (mata uang logam) atau antara uang kertas dengan uang kertas ( atau barang logam dengan yang lainnya), jika sama jenisnya maka harus memenuhi dua persyaratan, yaitu (1) sama ukurannya dan (2) serah terima secara tunai. Adapun apabila berbeda jenisnya maka syaratnya hanya satu,yaitu serah terima secara tunai
* Contoh barang yang sejenis :Riyal saudi ditukar dengan riyal saudi. Contoh an Naqd dengan an Naqd ( para ulama apabila menyebutkan an Naqd maka yang dimaksudkan adalah emas dan perak ). Emas dengan emas.
* Contoh yang berbeda jenis yaitu emas dengan perak. Maka dipersyaratkan harus tunai. Contoh lainnya adalah jika kita menjual emas dan uang lembaran. Keduanya berbeda jenis dengan ilat yang sama yaitu alat tukar. Maka disyaratkan harus tunai. Atau jika kita menjual perak dengan uang lembaran maka syaratnya adalah tunai.
KAIDAH KELIMA
كل ربويين اختلفا في العلة ، فلا يشترط عند مبادلة أحدهما بالآخر لا الحلول والتقابض ، ولا التساوي والتماثل
Setiap barang ribawi yang berbeda ilatnya, maka tidak disyaratkan tunai, juga tidak disyaratkan sama ukurannya.
Jika kita menukar barang ribawi satu dengan yang lainnya padahal ilatnya berbeda maka tidak ada syarat apapun yang harus dipenuhi.
* Riyal dengan kurma. Ilat dari riyal adalah alat tukar. Adapun kurma maka ilatnya adalah makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi untuk saling menukarnya.
* Gandum halus dengan emas. Gandum halus ilatnya adalah makanan yang lazim diukur dengan takaran. Adapun emas ilatnya adalah alat tukar.
* Sya’ir (Gandum kasar) dengan perak. Maka tidak ada syarat untuk keduanya.
KAIDAH KEENAM
عند مبادلة ربوي بغير ربوي ، أو مبادلة عوضين غير ربويين ، فإنه لا يشترط الحلول والتقابض ولا التساوي والتماثل
Tukar menukar barang ribawi dengan barang bukan ribawi, atau saling menukar antara barang bukan ribawi, maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi.
Dalam kaidah in ada 2 bentuk transaksi.
1. Tukar menukar antara barang ribawi dengan barang bukan ribawi, maka tidak ada syarat untuk keduanya. Contoh :
* Emas dengan pakaian.
* Emas dengan buah jeruk,
* Riyal dengan pakaian.
Tidak ada syarat dalam pertukaran ini. Kita boleh menjual sekehendak kita. Tidak harus sama, tidak pula harus tunai.
2. Tukar menukar barang bukan ribawi. Tidak dipersyaratkan apa-apa dan tidak ada ilat pada kedua barang tsb.
Contoh :
* Pakaian dengan kitab –keduanya bukan barang ribawi-,
* mobil dengan buku,
* pakaian dengan rumah.
Ini semua bukan barang ribawi. Tatkala kita hendak menukar barang –ribawi dengan barang bukan ribawi atau dua-duanya bukan barang ribawi, maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi.
KAIDAH KETUJUH
لا أثر لاختلاف النوع أو الجودة والرداءة عند اتحاد الجنس الربوي ، ففي هذه الحال يشترط التساوي والتماثل ، وكذلك الحلول والتقابض
Perbedaan jenis atau kualitas bukan faktor yang diperhitungkan pada barang ribawi sejenis .Yang dipersyaratkan adalah persamaan ukuran dan harus tunai.
Tatkala hendak tukar menukar barang ribawi yang sejenis maka harus sama jumlah ukurannya dan tunai, meskipun terdapat perbedaan kualitas.
Contoh : Pertukaran antara kurma dengan kurma. Keduanya memiliki jenis yang sama. Maka wajib dilakukan secara tunai dan sama ukurannya. Jika satu sho’ maka ditukar dengan satu sho’. Meskipun salah satu kurma dengan kualitas bagus dan yang lainnya jelek, tetap tidak boleh kita mengatakan kita tukar 1 sho’ kurma macam yang ini dengan 2 sho macam yang itu. Perbedaan macam kurma tidaklah berpengaruh karena perbedaan macam pada jenis yang sama tidaklah berpengaruh.
Demikian pula kualitas. Ini kualitas bagus dan ini kualitas buruk. Ini kurma merek A berkualitas bagus dan ini kurma merek B berkualitas buruk. Meskipun ada perbedaan, yang satu kurma baru dan yang lainnya kurma lama, tetap harus sama ukurannya.
Keterangan ini berdasar pada hadits Abu Said tatkala mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam di Khaibar. Iapun datang dengan membawa kurma janiiib ( kualitas baik ) yang masih baru. Nabipun bertanya,” apakah semua kurma Khaibar seperti ini ?” para sahabat menjawab,” Tidak wahai Rosulullah. Kami mengambil satu sho kurma janiib dengan dua sho’ kurma al jam’u ( kualitas buruk ).” Nabi bersabda,” jauhkan dia. Ini adalah salah satu jenis riba.”
Hadits ini menunjukkan bahwa perbedaan macam atau kualitas barang tidak berpengaruh selama masih dalam jenis yang sama.
Contoh :
* Gandum. Gandum memiliki macam yang beragam. ( al khintoh, al laqiimi, dan al Miayyah ). Maka tatkala al khintoh ditukar dengan al khintoh harus secara tunai dan sama jumlahnya.
* Daging. Apabila berbeda macamnya (sapi misalnya ) daging sapi irab dengan sapi jamuus, Apabila hendak ditukar antara ini dan itu selama keduanya masih sama-sama daging sapi maka harus secara tunai dan sama banyaknya.
* Susu.
* Daging kambing. Apabila ditukar daging domba dengan daging kambing namun dengan penambahan maka ini termasuk riba. Perbedaan macam kambing ini tidak dilihat dan hanyalah harus terpenuhi syarat tunai dan sama ukurannya.
KAIDAH KEDELAPAN
ما اشترط فيه التماثل والتساوي ، فلا بُدَّ أن يكون التساوي والتماثل بمعياره الشرعي: كيلاً في المكيلات ، ووزناً في الموزونات
Setiap kondisi yang disyaratkan harus sama jumlah ukurannya maka harus benar-benar sama menurut ukuran standard yang diakui oleh syariat. Dengan takaran yang standard jika barang takaran dan dengan timbangan standard jika barang timbangan.
Kapan disyaratkan harus sama ukurannya ? Yakni apabila pertukaran terjadi pada barang ribawi yang sama jenisnya.Apabila disyaratkan harus sama maka harus disamakan menurut ukuran standard syar’i. Tidak boleh dengan ukuran sembarangan. Karena barang-barang ribawi ini memiliki ukuran standard secara syar’i. Nabi bersabda,” Emas dengan Emas, seukuran dengan ukuran yang sama. Perak dengan perak, seukuran dengan ukuran yang sama.” Oleh karenanya apabila seseorang menukar 1 sho’ emas dengan 1 sho’ emas, hal ini termasuk riba meskipun kelihatannya sama. Mengapa demikian ? karena tidak menggunakan ukuran standard yang diakui oleh syariat.
Seandainya kita ambil emas pertama yang diukur dengan sho’ (satuan volume) dan kita timbang dengan timbangan standardnya. Kemudian kita ambil emas kedua dan kita timbang dengan timbangan standardnya, tentu kita akan mendapatkan perbedaan.
Demikian halnya dengan barang lain. Apabila kita menimbang barang yang lazimnya ditakar (berdasar satuan volume) atau menakar barang yang lazimnya ditimbang (berdasar satuan berat) maka hal ini termasuk dalam praktek riba. Contohnya perak. Ukuran standard menurut syariat adalah dengan timbangan. Akan dijelaskan tentang kaidah ukuran standard. Insyaallah.
Tatkala 10 kg gandum ditukar dengan 10 kg gandum maka ini termasuk riba. Karena kita menggunakan ukuran timbangan (satuan berat). Padahal gandum ukuran standardnya adalah takaran (berdasar satuan volume). Adapun kg atau gram adalah ukuran timbangan (berat). Pertukaran ini harus diukur dengan standard syar’i. Gandum adalah barang yang lazim ditakar. Maka kita mengukurnya dengan alat ukur seperti sho’, wasq, mud dsb. Adapun barang-barang timbangan diukur dengan alat timbangan seperti kg, gram, pound dll.
KAIDAH KESEMBILAN
عند مبادلة ربوي بربوي آخر، لا يُشترط المعيار الشرعي عند عدم اشتراط التساوي
Para pertukaran barang-barang ribawi, tidak dipersyaratkan menggunakan ukuran standard apabila tidak ada syarat harus sama ukuran jumlahnya.
Demikian pula pada pertukaran barang ribawi dengan barang bukan ribawi. Tidak dipersyaratkan menggunakan ukuran standard syar’i.Pada pertukaran barang ribawi dengan barang ribawi jenis lainnya, tidak dipersyaratkan harus dengan ukuran standard. Mengapa ? karena beda jenis maka tidak dipersyaratkan harus sama jumlahnya.
Dipersyaratkan harus menggunakan ukuran standard syar’i apabila terjadi pada barang-barang yang dipersyaratkan harus sama ukurannya karena sama jenisnya. Adapun jika kita tukarkan barang ribawi dengan barang ribawi jenis lainnya maka kita boleh mengukurnya sesuai dengan kehendak kita. Baik pada barang-barang takaran maupun timbangan.
Contoh : barang ribawi dengan barang ribawi jenis lain
* Pertukaran emas dengan kurma. Sama saja apakah dengan timbangan, takaran atau tidak diukur sama sekali. Kurma lazimnya diukur dengan takaran. Akan tetapi apabila hendak kita tukar dengan emas atau riyal maka tidak mengapa kita mengukurnya dengan timbangan. Begitu pula emas.
* Gandum halus dengan gandum kasar. Keduanya lazim diukur dengan takaran. Selama tidak dipersyaratkan harus sama ukurannya maka tidak disyaratkan pula harus diukur dengan ukuran standard. Juallah 1 sho’ gandum kasar dengan 2 sho ‘ gandum halus. Atau 10 kg gandum kasar dengan 20 kg gandum halus. Atau juga 1 sho’ gandum kasar dengan 10 kg gandum halus. Diukur dengan timbangan atau takaran, semua boleh. Akan tetapi harus tunai.
Contoh Pertukaran barang yang berbeda dan tidak sama jenisnya :
* Kurma dengan riyal, maka hal ini tidak mengapa. Misalnya apabila kita membelinya dari pedagang kurma. Bukannya menakar, pedagang itu malah menimbangnya. Ini boleh. Mengapa demikian ? Karena kita tidak diharuskan untuk menyamakan ukuran. Antara kurma dan riyal berbeda jenisnya.
* Demikian pula contohnya apabila kita membeli beras. Kemudian diberikan 2 kg beras (bukan dengan ukurun sho’).Ini tidak mengapa. Kita tidak membeli barang ribawi yang sejenis, akan tetapi beda jenis. Dalam konteks ini, kita tidak dipersyaratkan harus menggunakan ukuran standard syar’i kerena kita tidak disyaratkan untuk menyamakan ukuran.
Begitu pula jika kita mengganti atau menukar barang ribawi dengan barang bukan ribawi. Atau tukar menukar barang yang bukan ribawi, maka tidak ada syarat menggunakan ukuran standard. Seperti kita menukar baju dengan baju.
Mengapakah para ulama mensyaratkan untuk menggunakan alat ukur yang standard ? Tidak lain supaya terwujud kesamaan dengan sebenarnya. Nabi bersabda:
مثلاً بمثل سواءً بسواء
” misal dengan semisalnya dan sama dengan persamaannya.”
Tidaklah terwujud persamaan ini kecuali dengan ukuran yang standard.
KAIDAH KESEPULUH
ما كان في عهد النبي صلى الله عليه وسلم عند أهل المدينة مكيلاً فهو مكيل ، وما كان في عهد النبي صلى الله عليه وسلم عند أهل مكة موزوناً فهو موزون إلى يوم القيامة
Barang apa saja yang dikenal oleh penduduk Madinah pada zaman nabi sebagai barang yang lazim diukur dengan takaran maka ia diukur dengan takaran.. Barang apa saja yang dikenal oleh penduduk Makkah pada zaman nabi sebagai barang yang lazim diukur dengan timbangan maka dia diukur dengan timbangan selamanya hingga hari kiamat.
Kaidah inilah yang ingin kita jelaskan terkait dengan landasan penggolongan barang yang ditimbang atau barang yang ditakar. Persisnya tatkala kita hendak menukar barang ribawi yang sejenis sehingga dipersyarakan untuk sama berdasar ukuran standard syariat. Dari sini timbul pertanyaan, barang apa saja yang ukuran standarnya adalah timbangan ? barang apa saja yang ukuran standardnya takaran ? maka kita jelaskan, bahwasanya dalam kaidah ini terdapat patokan-patokan sbb :
1. Seluruh biji-bijian termasuk barang yang ditakar.Hal ini mencakup banyak barang seperti gandum halus, gandum kasar, jewawut, kacang, dsb.
2. Seluruh benda cair adalah barang yang ditakar ( susu, yogurt, minyak, madu dsb..) maka tatkala hendak bertukar antara madu dengan madu, harus diukur dengan takaran. Begitu pula gandum dengan gandum, harus diukur dengan takaran pula.
3. Seluruh benda logam adalah barang yang diukur dengan timbangan seperti besi, tembaga, kuningan dsb. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan Hanbali. Yang benar, tidaklah berlaku hukum riba kecuali pada emas dan perak. Sedangkan menurut pendapat Syaikul Islam, maka emas dan perak dan apa-apa yang termasuk alat tukar atau alat pembayaran.
4. Bulu dan sejenisnya termasuk barang-barang yang diukur dengan timbangan seperti wool, sutera, kapas dll. Segala hal yang menjadi bahan baku pakaian termasuk barang yang diukur dengan takaran.
5. Kurma dan sejenisnya termasuk barang yang diukur dengan takaran.
Kaidah mengatakan bahwa barang apa saja yang dikenal dikalangan penduduk madinah pada zaman nabi sebagai barang takaran, maka barang itu dianggap barang yang diukur dengan takaran. Hal ini berlaku selamanya. Seperti biji-bijian dan benda-benda cair. Demikian pula setiap barang yang dikenal oleh penduduk Makkah pada zaman nabi sebagai barang timbangan maka dianggap sebagai barang yang diukur dengan timbangan selamanya. Seperti benda logam, emas & perak. Hal ini ditunjukkan oleh hadits nabi yang berbunyi,” takaran itu dengan takarannya penduduk madinah dan timbangan itu dengan timbangannya penduduk Makkah.”
Sebagian ulama berkata,” emas dan perak diukur dengan timbangan, adapun empat barang ribawi lainnya diukur dengan takaran. Adapun selainnya maka dikembalikan menurut kebiasaan masyarakat setempat.” Contoh, menukar sekantong beras dengan sekantong beras. Hal ini tidak boleh. Karena baras termasuk barang ribawi. Tidak boleh ditukar dalam keadaan belum diukur dengan ukuran standard syariat.
KAIDAH KESEBELAS
كلُّ ما حرم فيه التفاضل حرم فيه النسأ ، لا العكس
Setiap barang yang haram untuk dilebihkan haram pula untuk ditunda pembayarannya. Dan tidak berlaku sebaliknya.
Kapan barang diharamkan untuk dilebihkan? Yaitu tatkala sama jenisnya. Maka haram pula untuk ditunda pembayarannya.
Contoh, emas dengan emas. Haram untuk dilebihkan. Kita tidak boleh menjual 100 kg emas dengan 120 kg emas. Maka haram pula untuk ditunda pembayarannya. Kita tidak boleh menukar emas dan emas dengan tempo. Kaidah ini tidak berlaku untuk kasus sebaliknya. Terkadang haram untuk ditunda pembayarannya akan tetapi tidak diharamkan untuk dilebihkan. Seperti emas dan perak. Haram untuk menunda pembayaran, harus tunai, akan tetapi tidak haram untuk melebihkan salah satunya. Jadi boleh kita menjual 100 gr emas dengan 200 gr perak.
KAIDAH KEDUA BELAS
الزيادة في الدين مقابل الأجل ربا
Bertambahnya hutang untuk menunda pembayaran ( hutang berbunga ) adalah riba.
Ini adalah praktek riba jahiliyyah. Sebagai gambaran, seseorang memberi hutang kepada orang lain. Saatnya tiba waktu pembayaran, ia mengatakan ,” pilih engkau lunasi hutangnya atau engkau tambah bunganya.” Seseorang menghutangi 100 gr emas. Saatnya pembayaran tiba, ia mengatakan,” kamu lunasi atau engkau tambahi.” Penambahan jumlah ini dikerenakan penambahan tempo pembayaran.
KAIDAH KETIGA BELAS
إذا تعذّر التساوي في الربوي من جنس واحد لسببٍ في الجنس أو لسببٍ خارج لم تصحّ المعاوضة
Apabila terdapat keadaan yang membuat tidak sempurnanya sifat sama pada salah satu jenis barang ribawi disebabkan oleh jenis atau sebab lain maka tidak sah penggantinya.
Apabila pertukaran terjadi pada barang ribawi sejenis maka disyaratkan adanya persamaan atau serah terima secara kontan. Oleh karenanya apabila tidak sempurna persamaan jumlah barang disebabkan jenis barang itu sendiri atau sebab lain maka tidak sah pertukarannya.
Misalnya, tatkala kita menjual roti yang terbuat dari gandum dengan gandum. Disini terdapat cacat persamaan jumlah barang. Karena gandum diukur dengan takaran (ukuran volume) sedangkan roti tidak mungkin diukur dengan takaran. Akan datang penjelasan tentang hukum apabila barang-barang ribawi yang tidak lagi dapat diukur dengan timbangan atau takaran lantaran telah diproses menjadi produk lain. Apakah barang tersebut masih tetap termasuk barang ribawi atau telah berubah ? disini terdapat perbedaan pendapat. Yang terpenting apabila kita menukar roti yang terbuat dari gandum dengan gandum, kita katakan bahwa persamaan jumlah disini tidak sempurna. Karena gandum diukur dengan takaran adapun roti tidak lazim diukur dengan takaran.
KAIDAH KEEMPAT BELAS
كل شيئين جمعهما اسم واحد من أصل الخلقة فهما جنس واحد ، فالجنس : ماله اسم خاص يشمل أنواعاً ، والنوع : هو الشامل لأشياء مختلفة بأشخاصها
Dua barang yang terbuat dari satu bahan yang sama, maka keduanya adalah sejenis. Jenis adalah sesuatu yang memiliki nama khusus, mencakup berbagai macam/tipe. Adapun yang dimaksud Tipe/Macam: mencakup semua item dengan karakter yang berbeda-beda.
Kaidah ini menerangkan pengertian jenis dan macam.
* Gandum adalah jenis yang mencakup berbagai macam yang berbeda. Gandum ada beberapa macam. Seperti khintoh, laqimi, maiyah, dsb.
* Kurma adalah jenis yang mencakup kurma ajwah, kurma sukari, kurma barkhi dsb.
* Daging adalah jenis yang mencakup daging onta, daging kambing, daging sapi dsb.
* Kambing adalah jenis yang mencakup domba, kibasy dsb.
Contoh kasus : al khintoh adalah macam dari jenis gandum. Jenisnya gandum ,sedangkan macam/tipenya khintoh. Apabila kita memiliki sekantong gandum al khintoh, dan sekantong lagi gandum al khintoh. Kedua kantung ini macamnya sama, namun bisa berbeda pada dzatnya atau sifatnya. Maka macam barang mencakup atas item-item yang berbeda. Apabila memliki perbedaaan tipe/maca maka ini disebut jenis barang.
Contoh lain : kurma as sukary. Kita punya 3 kantong kurma as sukary. Tiga kantong ini dinamakan macam. Mengapa? Karena sudah terpecah menjadi item-item yang berbeda.
Telah kita bahas bahwa pertukaran barang yang sejenis tidak melihat kepada perbedaan macam. Tatkala kita hendak menukar gandum dengan gandum, kita tidak melihat perbedaan macamnya. Jika kita menukar gandum khintoh dengan gandum laqiim atau maiyah maka tetap diharuskan tunai dan dalam jumlah yang sama. Apalagi jika barangnya semacam seperti khintoh dengan khintoh.
KAIDAH KELIMABELAS
فروع الأجناس إذا بيعت بجنسها اشترط فيها التساوي في الصفة المقصودة بالعقد
Jenis barang yang bermacam-macam apabila dijual dengan jenisnya disyaratkan adanya kesamaan sifat yang dimaksudkan dalam akad.
Gandum halus jenis daqiiq apabila ditukar dengan gandum halus jenis daqiiq maka disyaratkan harus sama dalam tingkat kehalusannya. Tidak boleh menjual 1 sho’ gandum halus jenis daqiiq dengan 1 sho’ gandum halus jenis jurais – beda tingkat kehalusan-, karena tidak sama.
Tatkala kita membeli khintoh dengan khintoh atau maiyah dengan maiyah –macam gandum-, maka tidak ada pengaruh perbedaan macam selama masih dalam jenis yang sama. Atau tatkala kita membeli daging domba dengan daging kambing, maka ini tidak ada perbedaan, diharuskan sama dan tunai.
KAIDAH KEENAM BELAS
ما خرج عن القوت بالصنعة فليس بربوي ، بل هو جنس قائم بنفسه
Bahan makanan yang sudah diubah menjadi produk lain bukan lagi termasuk barang ribawi. Akan tetapi sudah menjadi jenis barang tersendiri.
Kaidah ini berdasar pada pendapat Syaikul Islam. Adapun pendapat yang mashur dari madzhab Hanbali dan Hanafi bahwa hal itu tidak bersifat mutlaq. Ada dua keadaan :
1. Pertukarannya dengan jenis lain ( meskipun bahan aslinya satu ) maka ini boleh. Seperti pertukaran roti dengan bubur.
2. Pertukarannya dengan jenis yang sama. Seperti roti dengan roti, bubur dengan bubur. Maka dalam hal ini diharuskan sama.
Yang paling penting diperhatikan dari kaidah ini adalah : Apabila barang yang lazim ditakar atau ditimbang sudah berubah lantaran diolah menjadi produk baru, apakah masih tetap termasuk barang ribawi ?
Menurut Syaikhul islam : barang timbangan atau takaran yang berubah lantaran diolah menjadi produk baru maka sudah bukan lagi barang ribawi meskipun dijual dengan yang sejenisnya.
* Seandainya kita tukarkan 1 sho’ gandum yang sudah diubah menjadi roti dengan 2 sho’ gandum yang masih asli, maka hal ini boleh menurut Syaikhul Islam. Karena beliau mengatakan bahwa gandum yang sudah diolah menjadi roti bukan lagi termasuk barang ribawi meskipun kita jual dengan yang sejenisnya. Setiap yang diolah maka ia sudah tidak lagi termasuk barang ribawi.
* Contoh lagi pada barang yang ditimbang- Syaikul islam tidak memandang adanya ilat pada barang yang ditimbang, beliau tidak memandang bahwa sebab barang masuk dalam kategori ribawi itu karena barang yang ditimbang. Seperti jika kita menjual bejana dari besi dengan besi. Maka besi yang sudah diolah menjadi bejana bukan lagi masuk barang ribawi. Sehingga boleh kita menjual ketel dari besi dengan besi mentah. Sama saja apakah dengan ukuran sama atau dilebihkan, tunai atau tempo, semuanya boleh dilakukan. Syaikhul Islam berpendapat, apabila barang sudah bukan lagi barang ribawi lantaran telah diolah menjadi produk lain maka tidak lagi berlaku hokum-hukum ribawi.
Pendapat yang masyhur dari madzhab Hanbali dan Hanafi adalah barang-barang ribawi yang ditakar apabila telah diolah menjadi produk lain maka tetap dalam statusnya barang ribawi. Tidak boleh tukar-menukar gandum dengan roti juga tidak boleh roti dengan roti kecuali dengan syarat harus sama jumlahnya. Roti ditukar dengan roti sah jika sama keringnya. Adapun roti dengan gandum hal ini tidak sah menurut madzhab ini.
Dalam hal barang-barang yang ditimbang, mereka memandang bahwa barang-barang yang sudah diolah menjadi produk lain bukan lagi barang ribawi. Maka boleh menukarkan 1 ketel dari besi dengan 2 ketel. Meskipun keduanya berasal dari besi. Mereka membedakan antara barang timbangan dan barang takaran. Adapun syaikul islam memandang bahwa setelah barang ribawi itu berubah menjadi barang bukan ribawi lantaran sudah diolah menjadi produk lain-baik yang ditimbang maupun yang ditakar- maka tidak lagi berlaku hokum ribawi.
KAIDAH KETUJUH BELAS
لا أثر للصياغة المباحة عند المبادلة
Tidak berlaku ongkos tambahan pembuatan dalam tukar menukar barang.
Kaidah ini berbeda dengan pendapat Syaikul Islam. Beliau berpendapat bahwa ongkos pembuatan berpengaruh. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa biaya tambahan untuk ongkos pembuatan tidak berpengaruh dalam pertukaran. Maka tatkala kita menukar emas yang telah dibentuk dengan emas yang belum dibentuk kemudian diberikan tambahan biaya pembuatan maka hal ini termasuk dalam riba. Hal ini didasari oleh hadits Fudholah bin Ubaid bahwa dia membeli cincin dengan dinar yang ada mutiaranya. Maka tatkala hendak dilepaskan ada biaya tambahan. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda,” jangan hingga kamu melepaskannya.” Selain itu nabi juga bersabda,” emas dengan emas yang setara. Perak dengan perak. Syang setara”
Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama yaitu pembuatan tidaklah berpengaruh. Ini merupakan kebalikan dari pendapat Syaikhul Islam Ibn Taimiyah. Jika kita menginginkan adanya tambahan dari ongkos pembuatan maka kita katakan bahwa ini tidak boleh dan jatuh kepada riba. Haditsnya jelas,” emas dengan emas, perak dengan perak, yang sama dan semisal”
KAIDAH KEDELAPAN BELAS
مبادلة الربوي بجنسه ومعهما أو مع أحدهما من غير جنسهما
Menukar barang ribawi dengan sejenisnya yang terdapat pada salah satu atau keduanya barang lain yang tidak sejenis.
Para ulama menamainya sebagai( مسألة مدّ عجوة ودرهم) masalah “ mud kurma ajwah dan dirham” . Ajwah merupakan salah satu jenis kurma madinah. Permasalahan yang dikenal dengan“mud kurma ajwah dan dirham” ini ada 2 gambaran:
1. Pertukaran barang ribawi dengan sejenisnya yang pada keduanya ada barang lain yang tidak sejenis.
2. Pertukaran barang ribawi dengan sejenisnya, pada salah satunya terdapat barang lain yang tidak sejenis.
* Contoh gambaran A :
Menukar 1 mud kurma ajwah dengan 1 mud kurma ajwah. Pada keduanya terdapat barang lain yang tidak sejenis. Yang pertama ada dirhamnya yang kedua juga ada dirhamnya. Jumhur ulama mengatakan bahwa kasus seperti ini tidak boleh. Karena ada unsur tipu muslihat pada barang ribawi yang sejenis dengan penambahan. Syaikul Islam berpendapat boleh jika jumlah mud keduanya sama dan jumlah dirhamnya juga sama.
* Contoh gambaran B :
Satu mud kurma ajwah yang disertai dirham dengan 2 mud kurma ajwah. Jumhur berpendapat tidak boleh. Adapun pendapat kedua mengatakan jika mud ditukar mud dan dirhamnya sebagai pembayaran atas kelebihannya, maka ini boleh.
Tatkala kita membeli perhiasan intan dari pembuatnya. Kita memberinya perhiasan lama, kemudian kita mengambil perhiasan baru. Pembuat perhiasan meminta kita harus menambah, apakah ini boleh ? atau kita memberi 20 gr perhiasan lama dan mengambil 15 gr perhiasan baru yang sudah dibentu, apakah ini boleh ?
Ini masuk dalam masalah “mud kurma ajwah dan dirham”. Karena kita telah menukar barang ribawi dengan sejenisnya, pada salah satunya terdapat uang dirham yang bukan dari jenisnya, menurut jumhur ulama ini boleh. Menurut Syaikhul Islam apabila tambahannya sebagai biaya pembuatan barang maka hal ini boleh. Akan tetapi pendapat yang benar adalah tidak boleh menukar karena hadits telah jelas menerangkan,” emas dengan emas…..” demikian pula kisah Fudholah ketika membeli cincin yang ada mutiaranya dengan dinar maka Nabi bersabda,” jangan sampai kamu lepaskan mutiaranya.” maka yang benar menukar barang ribawi dengan jenisnya tidak dibenarkan adanya tambahan. Harus sama antara keduanya dalam timbangan. Tdiak berpengaruh ongkos pembuatan. Sebagaimana kami jelaskan sebelumnya,bahwa macam barang itu tidak berpengaruh apa-apa. Solusinya, kita jual perhiasan lama kita dan kita tahan dirhamnya,baru kemudian uangnya kita gunakan untuk membeli yang baru. Akan tetapi yang menjadi masalah, sebagian pembuat perhiasan itu mengatakan,” aku akan membeli darimu dengan syarat kamu nanti harus membeli dariku.” Maka kita katakan,” disini kita terjatuh dalam riba, yaitu emas ditukar emas dengan tambahan. Karena syaratnya adalah kita menjual kepadanya dan kitapun harus membeli darinya. Ini seolah-olah kita menukar emas dengan emas dengan harga tambahan. Imam Ahmad mengatakan,” engkau jual barangmu dan ambil harganya. Lalu cari tempat lain. Ini dilakukan untuk menghindari syubhat riba. Jika ternyata tidak menemukan tempat lain yang bisa memenuhi kebutuhan kita maka tidak mengapa kembali ketempat semula.”
KAIDAH KESEMBILAN BELAS
الشكّ في المماثلة كتحقّق المفاضلة
Keraguan terhadap kesamaan ukuran dihukumi seperti adanya penambahan.
Jika terjadi keraguan apakah ukuran barang sudah sama atau belum, maka dianggap adanya penambahan. Dengan demikian wajib bagi kita memastikannya dengan menggunakan ukuran standard syariat. Tidak mengetahui bahwa barang itu seukuran sama saja artinya dengan mengetahui bahwa barang itu ada kelebihan.
KAIDAH KEDUAPULUH
قبض الشيك أو السند عند صرف العملات ، هل يقوم مقام العملة ؟
Apakah cek atau giro dapat mengantikan uang dalam pembayaran ?
Ini adalah permasalahan modern yang terjadi tatkala menukar barang yang mengharuskan pembayaran tunai. Contoh emas dengan riyal. Ketika hendak membeli emas, kita diharuskan untuk membayar tunai karena bertemunya 2 barang ribawi. Kitapun lantas memberikan cek sebagai ganti uang riyal. Apakah cek ini bisa menggantikan posisi uang secara syariat? Para ulama kontemporer berbeda pendapat.
Sebagian mereka berpendapat bahwa cek bisa menggantikan uang. Penggunaan cek untuk jual beli telah menjadi kebiasaan manusia zaman ini. Maka cek menggantikan dirham. Maka tatkala kita membeli emas dan kita menyerahkan cek hukumnya boleh.
Pendapat sebagian yang lainnya adalah bahwa cek tidak dapat menggantikan dirham. Tatkala kita membeli emas atau perak atau pounds dengan riyal Saudi, tidak cukup dengan memberikan cek. Karena pemberian cek tidak dianggap sebagai pembayaran tunai. Alasannya yaitu apabila cek ini hilang atau terbakar apakah akan kembali kepada yang memberi cek atau tidak ? jawabnya adalah kembali. Ini menunjukkan bahwa cek tidaklah tunai. Berbeda keadaannya apabila dalam posisi dirham. Jika kita mengambil emas dan kita beri 1000 riyal dan ternyata hilang atau terbakar riyal itu, apakah dianggap tunai ? jawabnya iya. Apakah akan kembali kepada yang punya ? jawabnya tidak. Adapun cek akan kembali. Ini menunjukkan cek tidak dianggap kontan.
Pendapat ketiga mengatakan hal ini perlu perincian. Jika ceknya asli maka boleh. Jika ceknya kosong maka tidak boleh. Karena cek asli senilai dengan harga yang tercantum. Dan pendapat ketiga inilah yang lebih dekat kepada kebenaran. Allahu alam.
Penulis : Kholid bin Ali Al Musyaiqih
Sumber : Situs Syaikh Kholid bin Ali Al Musyaiqih [1]
http://www.direktori-islam.com/2009/07/20-kaidah-memahami-riba/
Subscribe to:
Posts (Atom)