اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك أَنْ أُشْرِكَ بِك وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُك لِمَا لَا أَعْلَمُ
Allaahumma Innii A'udzu bika an Usyrika bika wa Anaa A'lamuhuu wa Astaghfiruka Limaa Laa A'lamuhu
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik (menyekutukan-Mu) sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu terhadap kesyirikan yang tidak aku ketahui." (HR. Ahmad dan Shahih Abi Hatim serta yang lainnya, shahih)
اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ
Allaahumma Innaa Na'udzu bika min an Nusyrika bika wa Anaa A'lamuhuu wa Nastaghfiruka Limaa Laa A'lamuhu
"Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik (menyekutukan-Mu) sedangkan aku mengetahuinya. Dan kami memohon ampun kepada-Mu terhadap kesyirikan yang tidak aku ketahui." (HR. Ahmad IV/403 dari Abu Musa al Asy'ari. Dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih al Targhib wa al Tarhib I/121-122 no. 36)
Isi Kandungan Doa
Kedua doa di atas berbentuk isti'adzah (memohon perlindungan). Biasanya dipanjatkan dari sesuatu yang ditakuti dan dikhawatirkan. Dalam hal ini adalah syirik. Karena syirik dapat mengakibatkan keburukan di dunia dan di akhirat, di antaranya:
1. Dosa syirik adalah dosa yang tidak terampuni, jika pelakunya meninggal di atasnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (QS. Al Nisa': 48 dan 116)
2. Syirik menghalangi pelakunya dari surga dan menjadikannya kekal di dalam neraka.
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun." (QS. Al Maidah: 72)
Dari Ibnu Mas'ud radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهْوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ
"Barangsiapa yang mati dalam keadaan menyembah selain Allah, pasti ia masuk ke dalam neraka." (HR. al Bukhari)
3. Syirik menghapus pahala amal shalih yang telah dikerjakan oleh pelakunya.
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (QS. Al Zumar: 65)
Seseorang yang pahala amal-nya terhapus karena perbuaan syiriknya, maka Allah tidak memberikan balasan sedikitpun terhadap amal tersebut. Sebaliknya Allah akan mengadzabnya karena kedzaliman dan penghinaannya kepada Allah dengan kesyirikan yang dia lakukan.
Akibat buruk di atas pantas dijatuhkan kepada seorang musyrik, karena perbuatan syirik adalah perbuatan dzalim dan dosa yang sangat besar. "Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar." (QS. Luqman: 13)
Abdullah bin Mas’ud radliyallah 'anhu berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, “Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?” Beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang musyrik telah berlaku jahat terhadap hak Allah. Padahal Allah-lah sang pencipta, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan. Namun, seorang musyrik telah menentang dan mengingkari semua itu, bahkan dia memberikan ibadah dan penghormatan yang hanya menjadi hak Allah kepada selain-Nya yang bukan pencipta, bukan pemberi rizki, tidak menghidupkan dan mematikan.
Seorang muslim harus takut dan khawatir terhadap perbuatan syirik. Dia harus berhati-hati, jangan sampai terjerumus ke dalam perbuatan yang sangat buruk ini karena samarnya permasalah ini. Yaitu, seperti yang disampaikan Ibnu 'Abbas, bagaikan semut kecil yang merayap di atas batu hitam di malam yang kelam. (Riwayat Ibnu Abi Hatim)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Wahai umat manusia, takutlah kalian terhadap kesyirikan, karena syirik itu lebih samar dari merayapnya semut.” (HR. Ahmad)
Karena sulitnya selamat dari perbuatan syirik -kacuali orang yang ditolong Allah untuk menjauhinya- Abu Bakar al Shiddiq mengadu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan menyampaikan, “Wahai Rasulullah, bagaimana kita bisa selamat darinya padahal ia lebih lembut daripada semut yang kecil?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab: "Maukah aku ajarkan kepadamu satu kalimat (doa), jika engkau membacanya pasti selamat dari syirik yang samar maupun yang jelas? Ucapkanlah :
اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك أَنْ أُشْرِكَ بِك وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُك لِمَا لَا أَعْلَمُ
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik (menyekutukan-Mu) sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu terhadap kesyirikan yang tidak aku ketahui." (HR. Ahmad, al Thabrani dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih al Targhib wa al Tarhib. Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa: 2/158, menyebutkannya dari Abi Hatim dalam shahihnya)
Diriwayatkan juga dari Umar bin Khathab radliyallah 'anhu, beliau sering berdoa :
اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا وَلَا تَجْعَلْ لِأَحَدِ فِيهِ شَيْئًا
"Ya Allah, jadikan amalku seluruhnya adalah shalih (sesuai tuntunan Rasulullah) dan jadikan ia ikhlash mencari ridla-Mu, jangan jadikan sedikitpun dari amal itu untuk seseorang."
Di samping dengan berlindung kepada Allah dari kesyirikan dengan doa-doa di atas, kita juga harus melakukan usaha nyata dengan menuntut ilmu dan belajar, khususnya tentang tauhid dan syirik. Dengan ilmu tersebut pandangan kita semakin tajam dan jeli, dapat melihat kesyirikan sekecil apa pun. Sebaliknya tanpa ilmu sering manusia terjerumus ke dalam kesyirikan, bahkan syirik besar, dalam keadaan tidak sadar dan merasa dirinya sedang berbuat baik.
Semoga Allah melindungi kita dari kesyirikan, yang besar maupun yang kecil, yang samar maupun yang jelas, sehingga tergolong sebagai hamba Allah mukhlisin. Harapannya, semoga dengan bersih dari syirik amal shalih kita diterima oleh Allah, segala kesalahan dan dosa kita diampuni, Allah masukkan kita ke dalam surga-Nya, dan dijauhkan dari neraka. "Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung." (QS. Ali Imran: 185)
Oleh: Badrul Tamam
(PurWD/voa-islam.com)
Tetangga, Menentukan Surga dan Neraka Kita
Islam melarang umatnya menyakiti hati tetangga. Hatta, hanya meletakkan kayu di temboknya tanpa izin
Itulah beberapa adab bertetangga yang diajarkan Islam. Sungguh sangat berbeda dengan ajaran peradaban modern yang tegak di atas materi, sehingga tidak mengajak kepada makna yang mulia, dan tidak menyukai akhlak yang utama. Bahkan menjadikan sebagian manusia hanya sekedar alat yang berputar pada poros kehidupan yang tuli tanpa mengenal perasaan. Dan menjadikan peran yang digariskan baginya, kosong dari perasaan-perasaan yang mulia dan makna-makna kemanusiaan yang tinggi. Karena itu sungguh sangat beruntung orang yang masih memagang ajaran Islam, terkait dengan masalah ini, dengan baik meski hidup dalam sebuah masyarakat yang modern. [bahrul ulum/sahid/cha/hidayatullah.com]
Hidayatullah.com—Alkisah, Isabella Purves (85 tahun), tinggal di wilayah permukiman mewah distrik Edinburgh, New Town, Inggris. Jenazahnya ditemukan polisi setelah terbaring selama lima tahun. Polisi menemukan jenazah ini, setelah seorang tetangga melaporkan kepada dewan kota mengenai tumpahan air yang menembus langit-langit di flat-nya.
Isabella telah ditemukan membusuk bersama tumpukan surat dan koran setinggi 1 meter.
Menurut tetangganya, Purves mulai tidak tampak lagi di lingkungan sekitarnya pada tahun 2004. Kasus sedih ini sekaligus merupakan gambaran mengguncangkan dari terkikisnya semangat kepedulian sosial dalam kehidupan masyarakat modern. Tak hanya yang Inggris, bahkan di sekitar kita.
Kisah serupa terjadi di Negeri kita. Sekitar tahun 2005, masyarakat digegerkan dengan kisah Supriyono (38), yang membawa mayat anaknya dengan gerobak sampah karena tak mampu menyewa ambulan.
Kisah serupa terjadi di Negeri kita. Sekitar tahun 2005, masyarakat digegerkan dengan kisah Supriyono (38), yang membawa mayat anaknya dengan gerobak sampah karena tak mampu menyewa ambulan.
Awalnya, ia meenumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor dengan menggendong mayat anaknya, Khaerunisa (3 thn) untuk dimakamkan di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL. Namun di tengah jalan, ia justru dipaksa turun dari kereta dan dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan.
Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Ketidakmampuan membawa Khaerunisa berobat ke Puskesmas menyebabkan putrinya menghembuskan nafas terakhir. Beginilah kisah para korban kehidupan modern yang acuh tak acuh pada sesama.
Islam dan Tetangga
Islam merupakan satu-satunya agama yang mengajarkan ummatnya agar selalu menjaga hubungan baik dengan Sang Pencipta di satu sisi dan sesama mahluk di sisi lain. Seseorang dikatakan tidak sempurna imannya jika hanya mempunyai hubungan baik dengan Allah tapi buruk dengan sesamanya. Demikian pula sebaliknya.
Salah satu bentuk ajaran Islam yang mulia itu yaitu kewajiban menjaga hubungan baik dengan tetangga. Dalam Islam, tetangga memiliki kedudukan yang sangat agung. Rasulullah Saw adalah manusia yang sangat memuliakan para tetangganya. Dalam kehidupan beliau, tetangga ditempatkan pada posisi yang sangat mulia. Dalam sebuah hadits beliau brsabda: “Malaikat Jibril alaihissalam senatiasa mewasiatkan agar aku berbuat baik kepada tetangga, sehingga aku mengira ia (Jibril) akan memberikan hak waris (bagi mereka).” (HR: Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh sebab itu, sebagai pengikutnya, kita hendaklah senantiasa berlaku baik kepada para tetangga. Rasulullah Saw bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, hendaklah ia berlaku baik kepada tetangganya.” (HR: Muslim)
Seorang Muslim diajarkan oleh syariat Islam yang sempurna ini untuk meyakini dan mengamalkan bahwa tetangga mempunyai hak-hak atas dirinya. Juga harus menjalankan etika-etika terhadap tetangga dengan sempurna. Ini didasarkan pada Firman Allah Ta’ala: ”Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat den tetangga yang jauh.” (An Nisa’:36)
Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa berbuat baik kepada tetangga merupakan perintah agama yang wajib kita jalankan. Ayat ini juga tidak membedakan apakah tetangga itu muslim atau tidak. Bahkan haram hukumnya bagi seorang muslim memutus hubungan dengan tetangga kafirnya, selama mereka tidak mengganggu. Tatkala mereka sakit, dianjurkan menjengungknya. Adapun tatkala mati maka tidak boleh berbela sungkawa. berdasarkan hadits Ali r.a. tatkala bapaknya, Abu Thalib- meninggal dunia.
Rasulullah Saw bersabda kepadanya : "Pergi, dan timbunlah ia". Maka Ali tidak berbela sungakawa. (Ahmad (807), Abu Dawud (3214) dan Nasa'i (1/110). Juga tidak dibolehkan mendatangi hari-hari raya mereka dengan mengucapkan selamat hari raya. Karena dalam perbuatan tersebut tersirat pengakuan atas perubahan-perubahan yang terjadi pada agama mereka. Dan tidak disangsikan lagi bahwa hari-hari raya mereka adalah bagian dari keyakinan agama yang haram bai kita mengikutinya. Ini juga sebagai bukti bahwa kita sebenarnya tidak setuju dengan keyakinan mereka, tapi tanpa menyakiti mereka.
Adapun terhadap tetangga sesama muslim, maka bukan hak sebagai tetangga saja yang harus kita penuhi, tetapi juga sebagai sesama saudara muslim. Seorang mukmin harus bersikap tawadhu' terhadap sesama kaum mukminin dan merendahkan diri kepada mereka.
Adab Terhadap Tetangga
1. Tidak menyakitinya dengan ucapan atau perbuatan, karena sabda-sabda Rasulullah Saw berikut: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan menyakiti tetangganya.” (Mutafaq Alaih). Kemudian sabda Rasulullah Saw: “Demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan kepada Rasulullah Saw, Siapakah orang yang tidak beriman, wahai Rasulullah? Beliau bersabda, yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (Mutafaq Alaih).
Sabda Rasulullah Saw: “Wanita tersebut masuk neraka”. Sabda di atas ditujukan Rasulullah Saw kepada wanita yang konon berpuasa di siang hari dan qiyamul lail di malam hari, namun menyakiti tetangganya.
2. Berbuat baik kepadanya dengan menolongnya jika ia meminta pertolongan, membantunya jika ia meminta bantuan, menjenguknya jika ia sakit, mengucapkan selamat kepadanya jika ia bahagia, menghiburnya jika ia mendapat musibah, membantunya jika ia membutuhkan dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Ini semua perbuatan baik yang diperintahkan dalam firman Allah Ta’ala, tetangga dekat dan tetangga yang jauh. (An Nisa:36). Rasulullah saw bersabda: “Barangsipa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari)
Ini semua perbuatan baik yang diperintahkan dalam firman Allah Ta’ala, tetangga dekat dan tetangga yang jauh. (An Nisa:36). Rasulullah saw bersabda: “Barangsipa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari)
3. Bersikap dermawan dengan memberikan kebaikan kepadanya, karena sabda-sabda Rasulullah Saw berikut: “Hai wanita-wanita Muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan tetangganya yang lain, kendati hanya dengan ujung kuku kambing.” (Diriwayatkan Al Bukhari). Sabda Rasulullah Saw kepada Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu: “Hai Abu Dzar, jika engkau memasak kuah maka perbanyaklah airnya, kemudia berikan kepada tetanggamu.” (Diriwayatkan Al Bukhari).
Aisyah ra.a bertanya kepada Rasulullah Saw, "Aku mempunyai dua tetangga, maka yang mana yang berhak akau beri hadiah? Rasulullah Saw bersabda: “Kepada orang yang pintu rumahnya lebih dekat kepadamu.” (Mutafaq Alaih)
4. Menghormati dan menghargainya dengan tidak melarangnya meletakkan kayu di temboknya, tidak menjual atau menyewakan apa saja yang menyatu dengan temboknya, dan tidak mendekat ke temboknya hingga ia bermusyawarah dengannya berdasarkan sabda-sabda Rasulullah berikut: “Salah seorang dari kalian jangan sekali-kali melarang tetangganya meletakkan kayu di dinding rumahnya.” (Mutafaq Alaih). Kemudian sabda beliau : “Barangsiapa mempunyai kebun bersama tetangga, atau mitra, maka ia tidak boleh menjualnya, hingga ia bermusyawarah dengannya.” (Mutafaq Alaih)
Hindari Mendzalimi Orang Lain!
Tiga orang yang do’anya itu tidak tertolak” Pemimpin yang adil, orang yang berpusa hingga berbuka, dan orang yang didzalimi
Alkisah, dimasa Nabi Musa AS hiduplah seorang nelayan miskin dari kalangan Bani Israil. Suatu hari, ia pergi mengakap ikan di laut. Dia mendapatkan ikan yang sangat besar dan membuatnya gembira. dan dia pergi ke pasar untuk menjual ikan agar bisa digunakan untuk membeli keperluan keluarganya. Di tengah jalan, ada preman merampas ikannya. Si nelayan melawan. Tidak sabar menghadapi nelayan, preman memukulkan sebatang kayu ke kepala nelayan. Dan sang preman sukses membawa kabur ikanya.
Sang nelayan akhirnya meneteskan air mata dan berdo'a kepada Allah SWT, "Ya Allah, Engkau menjadikan ku sebagai orang yang lemah, dan menjadikan dia sebagai orang yang kuat, Ya Allah ambilkan milik dan hak saya segera. dia telah mendzalimi saya, saya tidak sabar menunggu hingga hari akhirat".
Di waktu yang sama, sang preman sedang dalam perjalanan pulang. Sesampai di rumah, dia meminta istrinya menggoreng ikan hasil rampokannya. "Gorenglah ikan besar ini," ujarnya pada sang istri. Usai digoreng, ikan tersebut diletakkan dipiring kemudian dihidangkan diatas meja yang berada dihadapan si preman. Sebelum ikan siap untuk di makan, saat itulah terjadi peristiwa aneh. Ikan tersebut membuka matanya dan mematuk jari preman. Patukan ikan tersebut sangat menyakitkan dan mengakibatkan si preman pingsan. Beberapa saat kemudian preman itu sadar lalu pergi menemui seorang tabib. Tangannya masih sangat terasa perih dan sakit. "Satu-satunya jalan untuk mengobati lukamu ini dengan cara mengamputasi jari tangan yang luka agar luka tidak menjalar keseluruh tangan, “ ujar sang tabib.
Si preman akhirnya diamputasi. Namun, rasa sakit itu berpindah lagi ke telapak tangan dan lengan. Tabib berkata padanya, “Sebaiknya tanganmu di amputasi hingga sikut, sebelum kebagian yang lain. Tangan preman tersebut kembali diamputasi. Tapi rasa sakit berpindah kebagian bahunya, demikian seterusnya. Preman itu berjalan tak tentu arah dalam keadaan bingung. Dia memohon kepada Allah agar menyembuhkan penyakitnya. Dia melihat sebuah pohon dan pergi menghampirinya. Di sana, dia tertidur.
Didalam tidurnya, dia bermimpi bertemu dengan seseorang yang berkata, “kasihan sekali kamu. Berapa banyak lagi anggota tubuhmu yang harus diamputasi. Pergilah menemui nelayan yang pernah engkau dzalimi. Mintalah ridha darinya.”
Preman tersebut tersadar dari tidurnya. Dia merenung sejenak. Akhirnya dia menyadari bahwa semua penyakit yang dialaminya selama ini berawal dari nelayan yang di dzaliminya. Sesampainya dihadapan sang nelayan, dia memohon agar nelayan tersebut mau memaafkan dan meridhainya. Dia memberikan sejumlah uang samapai ganti ikan yang telah dirampasnya. Dia bertaubat dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan itu. Sang nelayan, memaafkannya. Dia tinggal dan bermalam di sana hingga tak merasakan sedikit pun rasa sakit dan dapat menikmati tidurnya kembali. Begitulah kisahnya sebagaimana dalam buku “Kisah Orang-Orang dzalim” terbitan Republika.
Tidak Pada Tempatnya
Istilah dzalim sering kita dengar. Tapi apa sebenarnya makna kata dzalim itu sendiri? Beberapa ahli bahasa mendeskripsikan dzalim sebagai “wadl’u syai’a fi ghairi mahallihi” (meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya).
Perbuatan dzalim adalah perbuatan yang sangat dicela Islam. Dalam al-Quran disebutkan istilah baghyu yang juga sama maknanya dengan zhulm, yang artinya: melanggar atau merampas hak orang lain.
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Abi Dzar ra bahwa Nabi bersabda meriwayatkan firman Allah, “Wahai hambaku sesungguhnya Aku mengharamkan ked dzaliman atas diriKu maka Aku menjadikannya di antara kelian sebagai perbuatan yang haram maka janganlah saling men-dzalimi”. (HR.Muslim)
Dzalim merupakan perbuatan yang tidak disenangi oleh Allah. Ini tegaskan dalam al-Qur’an yang berbunyi “..dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dzalim.” (QS 3: 57 dan lihat juga ayat QS 42:40)
Di antara dosa besar yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wata’ala terhadap para hambaNya dan memberikan sanksi atasnya baik di dunia dan akherat adalah perbuatan d dzalim. Allah berfirman: “Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang lalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (QS. Ibrahim: 42).
Adapun bentuk kedzaliman itu ada 3 macam sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam. Pertama, kedzaliman yang tidak diampunkan Allah. Kedua, kedzaliman yang dapat diampunkan Allah, dan ketiga, keddzaliman yang tidak dibiarkan oleh Allah ta’ala.
Adapun kedzaliman yang tidak diampunkan Allah ta’ala adalah syirik, sesuai firman Allah ta’ala: “Sesunggahnya syirik itu ke dzaliman yang amat besar!”, adapun ke dzaliman yang dapat diampunkan Allah adalah kedzaliman seseorang hamba terhadap dirinya sendiri di dalam hubungan dia terhadap Allah, Tuhannya. Dan kedzaliman yang tidak dibiarkan Allah adalah ke dzaliman hamba-hamba-Nya di antara sesama mereka, karena pasti dituntut kelak oleh mereka yang di dzalimi.” (HR. al-Bazaar & ath-Thayaalisy)
Kedzaliman yang pertama tidak akan mendapat ampunan dari Allah ta’ala jika pelakunya meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah. “Dan Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang lalim.” QS. Hud: 18
Kedzaliman kedua tergantung pada kehendak Allah. Jika Allah menghendaki maka Dia akan menyiksanya dengan dosa-dosanya dan jika Allah menghendaki maka Dia mengampuniNya dan menutupi perbuatan tersebut.
Adapun orang kafir dan munafiq maka pada saksi mengatakan, "Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka. Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang lalim.” (QS. Hud: 18.)
Maka wajib bagi orang yang beriman untuk menjaga dirinya agar terlepas dari tanggungan hak orang lain dan meminta agar dihalalkan sebelum datangnya hari kiamat, sebab pada hari itu tidak ada yang bermanfaat baik dirham atau dinar, akan tetapi yang akan bermanfaat adalah balasan kebaikan dan keburukan.
Adapun keddzaliman ketiga, yaitu ked dzaliman antara seorang hamba dengan yang lain. Bentuk ked dzaliman ini banyak sekali. Di antaranya antara lain membunuh orang lain, memukul dan mencelanya. Juga termasuk diantataranya, menuduh seseorang dengan perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan, menahan diri membayar hutang padahal mampu dan masih banyak yang lainnya.
Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah memerinthakan agar kita segera minta maaf kepada orang yang kita d dzalimi, selagi masih hidup demi untuk memperingan siksa di akhirat nanti. Abu Hurairah r.a. berkata: “Nabi SAW bersabda: “Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal (maaf) nya sekarang juga, sebelum datang suatu hari yang tiada harta dan dinar atau dirham, jika ia punya amal shalih, maka akan diambil menurut penganiayaannya, dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan), maka diambilkan dari kejahatan orang yang dianiaya untuk ditanggungkan kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim)
Dalam pergaulan dan interaksi dengan orang lain, Islam telah merintahkan kepada kita agar menjaga perkataan dan sikap kita agar tidak menyinggung dan menyakiti persaan orang lain, apalagi sampai berbuat d dzalim. Setiap yang apa yang kita lakukan pasti akan mendapat balasannya.
Dampak Perbuatan Dzalim
Sebuah perbuatan yang menimbulkan kedzaliman memiliki dampak yang sangat negatif. Ibnu Taimiyah berkata, “Manusia tidak pernah berselisih pendapat bahwa akibat ked dzaliman itu sangat fatal, dan akibat keadilan itu sangat mulia, dan diriwayatkan bahwa Allah akan menolong suatu negara yang adil sekalipun dia negara kafir, dan Dia tidak akan menolong negara yang dzalim sekalipun dia muslim”. (Majmu’ fatawa: 28/63)
Doa’ orang yang did dzalimi sangat mustajab, sebagaimana disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad di dalam musnadnya dari Abi Hurairah bahwa Nabi bersabda, “Tiga orang yang do’anya itu tidak tertolak Pemimpin yang adil, orang yang berpusa saat dia berbuka, dan do’a orang yang di dzalimi dibawa di atas awan, dibukakan baginya pintu-pintu langit dan dia berkata; Wahai Tuhanku Azza Wa Jalla: Demi Zatku yang Maha Mulia sungguh aku akan menolongmu walau setelah beberapa saat.” (HR. Ahmad)
Kezdaliman adalah sebesar-besar perbuatan maksiat dan perbuatan tersebut dapat merusak kalbu kita. Rasulullah bersabda, “Jauhilah ked dzaliman itu, karena ked dzaliman itu dapat merusak hati (nurani) kalian.” (Mizan al-Hikmah V/597). Di hadist lain Rasulullah juga bersabda: “Takutlah kamu dari berbuat d dzalim! Karena sesungguhnya ked dzaliman itu adalah kegelapan di Hari Qiyamat!” (Mizan al-Hikmah V/599)
Akibat dari perbuatan dzalim, juga bisa menyebabkan seseorang yang seharusnya masuk surga berubah masuk neraka. Orang yang seperti ini di dalam hadits disebut sebagai orang yang bangkrut. Dari Abi Hurairah r.a, Nabi SAW bersabda: “Tahukah kamu siapa yang bangkrut itu?“, mereka (sahabat) berkata: “Ya Rasulullah, orang yang bangkrut menurut kami ialah orang yang tidak punya kesenangan dan uang“ (kemudian) Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah orang yang datang (pada hari kiamat) membawa pahala sholat, zakat, puasa dan haji. Sedang (ia) pun datang (dengan membawa dosa) karena memaki-maki orang, memukul orang, dan mengambil harta benda orang (hak–hak orang), maka kebaikan-kebaikan orang (yang men dzalimi) itu diambil untuk diberikan kepada orang-orang yang ter dzalimi. Maka tatkala kebaikan orang (yang men dzalimi) itu habis, sedang hutang (ke dzalimannya) belum terbayarkan, maka diambilkan kajahatan-kejahatan dari mereka (yang ter dzalimi) untuk di berikan kepadanya (yang men dzalimi), kemudian ia (yang men dzalimi) dilemparkan kedalam neraka (HR. Muslim)
Sebagaimanusia, kadang kita tak terasa bahwa yang kita lakukan mendzalimi orang lain. Kepada teman, tetangga, saudara bahkan pada istri dan anak-anak kita sendiri. Marilah kita memohon kepada Allah agar dijauhkan dari perbuatan dzalim, bahkan termasuk dzalim pada diri sendiri. [bul/cha/hidayatullah.com]
Hukum Mencabut Uban
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Sangat wajar jika seseorang menginjak usia senja, muncul pada kepala, wajah atau jenggotnya rambut putih, alias uban. Itulah fase kehidupan yang akan dilewati oleh setiap insan sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)
Kadangkala memang kita ingin menghilangkannya, mencabutnya, atau mengganti warnanya dengan warna lain. Namun alangkah bagusnya jika setiap tindak-tanduk kita didasari dengan ilmu agar kita tidak sampai terjerumus dalam kesalahan dan dosa. Sebuah petuah bagus dari Mu’adz bin Jabal yang harus senantiasa kita ingat:
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan berada di belakang ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni, hal. 15)
Jadi dalam masalah uban ini, marilah kita ikuti petunjuk syari’at Islam yang suci nan sempurna. Dengan mengikuti petunjuk inilah seseorang akan menuai kebahagiaan. Sebaliknya, jika enggan mengikutinya, hanya mau memperturutkan hawa nafsu semata dan menuruti perkataan manusia yang mencocoki hawa nafsu tanpa ada dasar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya orang seperti ini akan binasa.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An Nur: 54)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Berpegangteguhlah dengan ajaranku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah ajaran tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu
Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
”Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama yang sudah tersohor namanya di tengah-tengah kita, yakni Imam Syafi’i mengatakan,
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.” (Madarijus Salikin, 2/335, Darul Kutub Al ‘Arobi. Lihat juga Al Haditsu Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqoid wal Ahkam, Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 79, Asy Syamilah)
Uban adalah Cahaya Bagi Seorang Mukmin
Al Baihaqi membawakan sebuah pasal dengan judul “larangan mencabut uban”. Lalu di dalamnya beliau membawakan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Uban adalah cahaya bagi seorang mukmin. Tidaklah seseorang beruban –walaupun sehelai- dalam Islam melainkan setiap ubannya akan dihitung sebagai suatu kebaikan dan akan meninggikan derajatnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Muhammad bin Hibban At Tamimi rahimahullah -yang lebih dikenal dengan Ibnu Hibban- dalam kitab Shahihnya menyebutkan pembahasan “Hadits yang menceritakan bahwa Allah akan mencatat kebaikan dan menghapuskan kesalahan serta akan meninggikan derajat seorang muslim karena uban yang dia jaga di dunia.” Lalu Ibnu Hibban membawakan hadits berikut.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Uban Tidak Boleh Dicabut
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hukuman bagi orang yang mencabut ubannya adalah kehilangan cahaya pada hari kiamat nanti. Dari Fudholah bin ‘Ubaid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa memiliki uban di jalan Allah walaupun hanya sehelai, maka uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.” Kemudian ada seseorang yang berkata ketika disebutkan hal ini: “Orang-orang pada mencabut ubannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Siapa saja yang ingin, silakan dia memotong cahaya (baginya di hari kiamat).” (HR. Al Bazzar, At Thabrani dalam Al Kabir dan Al Awsath dari riwayat Ibnu Luhai’ah, namun perowi lainnya tsiqoh –terpercaya-. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa saja yang ingin, maka silakan dia memotong cahaya (baginya di hari kiamat)”; tidak menunjukkan bolehnya mencabut uban, namun bermakna ancaman.
Rambut uban mana yang dilarang dicabut?
Larangan mencabut uban mencakup uban yang berada di kumis, jenggot, alis, dan kepala. (Al Jami’ Li Ahkami Ash Shalat, Muhammad ‘Abdul Lathif ‘Uwaidah, 1/218, Asy Syamilah)
Apa hukum mencabut uban apakah haram ataukah makruh?
Para ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa mencabut uban adalah makruh.
Abu Dzakaria Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Mencabut ubat dimakruhkan berdasarkan hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya. … Para ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa mencabut uban adalah makruh dan hal ini ditegaskan oleh Al Ghozali sebagaimana penjelasan yang telah lewat. Al Baghowi dan selainnya mengatakan bahwa seandainya mau dikatakan haram karena adanya larangan tegas mengenai hal ini, maka ini juga benar dan tidak mustahil. Dan tidak ada bedanya antara mencabut uban yang ada di jenggot dan kepala (yaitu sama-sama terlarang). (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/292-293, Mawqi’ Ya’sub)
Namun jika uban tersebut terdapat di jenggot atau pada rambut yang tumbuh di wajah, maka hukumnya jelas haram karena perbuatan tersebut termasuk an namsh yang dilaknat.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah melaknat riba, pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkannya (nasabah), orang yang mencatatnya (sekretaris) dan yang menjadi saksi dalam keadaan mereka mengetahui (bahwa itu riba). Allah juga melaknat orang yang menyambung rambut dan yang meminta disambungkan rambut, orang yang mentato dan yang meminta ditato, begitu pula orang yang mencabut rambut pada wajah dan yang meminta dicabut.” (Diriwayatkan dalam Musnad Ar Robi’ bin Habib. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Adapun mencabut uban dari jenggot atau uban dari rambut yang tumbuh di wajah, maka perbuatan seperti ini diharamkan karena termasuk an namsh. An namsh adalah mencabut rambut yang tumbuh di wajah dan jenggot. Padahal terdapat hadits yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan an namsh.” (Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, 11/80, Asy Syamilah)
Kesimpulan: hukum mencabut uban dapat dikatakan haram karena ada dalil tegas mengenai hal ini, sedangkan mayoritas ulama mengatakan hukumnya adalah makruh. Namun sebagai seorang muslim yang ingin selalu mengikuti petunjuk Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agar tidak kehilangan cahaya di hari kiamat kelak, maka seharusnya seorang muslim membiarkan ubannya (tidak perlu dicabut). Dengan inilah dia akan mendapat tiga keutamaan: [1] Allah akan mencatatnya kebaikan, [2] dan menghapuskan kesalahan serta [3] akan meninggikan derajat seorang muslim karena uban yang dia jaga di dunia. Namun, jika uban tersebut berada pada jenggot atau rambut yang tumbuh di wajah, maka ini jelas haramnya. Wallahu a’lam.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Setelah kita mengetahui hukum mencabut uban, berikut ini adalah pembahasan mengenai menyemir uban dan menyemir rambut secara umum. Semoga Allah memudahkan kami untuk menjelaskan hal ini dan semoga para pembaca dimudahkan untuk memahaminya.
Ubahlah Uban Untuk Menyelisihi Ahli Kitab
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memerintahkan kita untuk menyelisihi ahli kitab di antaranya adalah dalam masalah uban.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Manakah yang lebih utama antara membiarkan uban ataukah mewarnainya?
Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Para ulama salaf yakni sahabat dan tabi’in berselisih pendapat mengenai masalah uban. Sebagian mereka mengatakan bahwa lebih utama membiarkan uban (daripada mewarnainya) karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai larangan mengubah uban [Namun hadits yang menyebutkan larangan ini adalah hadits yang mungkar atau dho’if, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah].
… Sebagian mereka berpendapat pula bahwa lebih utama merubah uban (daripada membiarkannya). Sehingga di antara mereka mengubah uban karena terdapat hadits mengenai hal ini. ” (Nailul Author, 1/144, Asy Syamilah). Jadi dapat kita katakan bahwa mewarnai uban lebih utama daripada tidak mewarnainya berdasarkan pendapat sebagian ulama. Adapun pendapat yang mengatakan lebih utama membiarkan uban daripada mewarnainya, maka ini adalah pendapat yang lemah karena dibangun di atas hadits yang lemah.
Ubahlah Uban dengan Pacar dan Inai
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Hal ini menunjukkan bahwa menyemir uban dengan hinna’ (pacar) dan katm (inai) adalah yang paling baik. Namun boleh juga menyemir uban dengan selain keduanya yaitu dengan al wars (biji yang dapat menghasilkan warna merah kekuning-kuningan) dan za’faron. Sebagaimana sebagian sahabat ada yang menyemir uban mereka dengan kedua pewarna yang terakhir ini.
Abu Malik Asy-ja’iy dari ayahnya, beliau berkata,
“Dulu kami menyemir uban kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan wars dan za’faron”. (HR. Ahmad dan Al Bazzar. Periwayatnya adalah periwayat kitab shahih selain Bakr bin ‘Isa, namun dia adalah tsiqoh –terpercaya-. Lihat Majma’ Az Zawa’id)
Al Hakam bin ‘Amr mengatakan,
“Aku dan saudaraku Rofi’ pernah menemui Amirul Mu’minin ‘Umar (bin Khaththab). Aku sendiri menyemir ubanku dengan hinaa’ (pacar). Saudaraku menyemirnya dengan shufroh (yang menghasilkan warna kuning). ‘Umar lalu berkata: Inilah semiran Islam. ‘Umar pun berkata pada saudaraku Rofi’: Ini adalah semiran iman.” (HR. Ahmad. Di dalamnya ada ‘Abdurrahman bin Habib. Ibnu Ma’in mentsiqohkannya. Ahmad mendho’ifkannya. Namun periwayat lainnya adalah periwayat yang tsiqoh. Lihat Majma’ Az Zawa’id)
Diharamkan Menyemir Uban dengan Warna Hitam
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ”Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas, artinya beliau telah beruban). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim). Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”.
Ketika menjelaskan hadits di atas An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami (Syafi’iyah), menyemir uban berlaku bagi laki-laki maupun perempuan yaitu dengan shofroh (warna kuning) atau hamroh (warna merah) dan diharamkan menyemir uban dengan warna hitam menurut pendapat yang terkuat. Ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya hanyalah makruh (makruh tanzih). Namun pendapat yang menyatakan haram lebih tepat berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “hindarilah warna hitam”. Inilah pendapat dalam madzhab kami.”
Adapun ancaman bagi orang yang merubahnya dengan warna hitam disebutkan dalam hadits berikut.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pada akhir zaman nanti akan muncul suatu kaum yang bersemir dengan warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka itu tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam shahihnya, dan Al Hakim. Al Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini shahih). Karena dikatakan tidak akan mencium bau surga, maka perbuatan ini termasuk dosa besar. (Lihat Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 60/23, 234/27)
Sebenarnya jika menggunakan katm (inai) akan menghasilkan warna hitam, jadi sebaiknya katm tidak dipakai sendirian namun dicampur dengan hinaa’ (pacar), sehingga warna yang dihasilkan adalah hitam kekuning-kuningan. Lalu setelah itu digunakan untuk menyemir rambut. (Lihat Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 234/27)
Bolehkah menggunakan jenis pewarna lainnya –selain inai dan pacar, inai saja, za’faron dan wars- untuk mengubah uban semacam dengan pewarna sintetik? Jawabannya: boleh karena yang penting adalah tujuannya tercapai yaitu merubah warna uban selain dengan warna hitam. Sebagaimana keumuman hadits:
“Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim). Di sini menggunakan kata syaa-i’, bentuk nakiroh, yang menunjukkan mutlak (baca: umum). Namun kalau pewarna tersebut tidak menyerap ke rambut, malah membentuk lapisan tersendiri di kulit rambut, maka pewarna semacam ini harus dihindari karena dapat menyebabkan air tidak masuk ke kulit rambut ketika berwudhu sehingga dapat menyebabkan wudhu tidak sah. Wallahu a’lam.
Bagaimana Jika Menyemir Uban Dengan Warna Hitam Untuk Membuat Penampilan Lebih Menarik?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsamin pernah ditanyakan mengenai menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna hitam, apakah dibolehkan?
Syaikh rahimahullah menjawab:
Menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna hitam, maka aku katakan semuanya adalah haram. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam”. Juga dalam masalah ini terdapat dalil dalam kitab sunan yang menunjukkan ancaman bagi orang yang menyemir ubannya dengan warna hitam.
Kemudian yang bertanya kembali berkata: Apakah tidak boleh juga kalau maksudnya adalah untuk mempercantik diri?
Syaikh rahimahullah menjawab:
Umumnya yang mewarnai ubannya dengan warna hitam, tujuannya adalah untuk mempercantik diri, agar terlihat lebih muda. Kalau tidak demikian, lalu apa tujuannya?! Perbuatan semacam ini hanya akan membuang-buang waktu dan harta. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 1/5, Mawqi’ Asy Syabkah Al Islamiyah)
Bagaimana Jika yang Masih Muda Muncul Uban, Bolehkah Diubah (Disemir)?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin ditanyakan: “Seorang pemuda sudah nampak padanya uban. Dia ingin merubah uban tersebut dengan warna hitam. Bagaimana hukum mengenai hal ini?”
Syaikh rahimahullah menjawab: Ini termasuk mengelabui (tadlis). Seseorang yang ingin menikah, lalu di kepalanya terdapat uban sedangkan dia masih muda, maka melakukan semacam ini termasuk mengelabui (tadlis). Akan tetapi kami katakan bahwa yang lebih utama jika dia ingin mengubah ubannya tadi, maka gunakanlah warna selain hitam. Dia boleh mencampur hina’ (pacar) dan katm (inai), lalu dia gunakan untuk menyemir ubannya. Pada saat ini, tidak nampak lagi uban. Bahkan perbuatan ini adalah termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merubah uban dengan warna selain hitam. Adapun merubah uban tadi dengan warna hitam, maka yang benar hal ini termasuk perbuatan yang diharamkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita menjauhi warna hitam ketika akan menyemir rambut, bahkan terdapat ancaman yang sangat keras mengenai hal ini dalam sabda beliau. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 188/23)
Bagaimana Hukum Menyemir (Memirang) Rambut yang Semula Berwarna Hitam Menjadi Warna Lain?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin pernah ditanyakan, “Apakah boleh merubah rambut wanita yang semula berwarna hitam disemir menjadi warna selain hitam misalnya warna merah?”
Syaikh rahimahullah menjawab:
Jawaban dari pertanyaan mengenai menyemir rambut wanita yang berwarna hitam menjadi warna selainnya, ini dibangun di atas kaedah penting. Kaedah tersebut yaitu hukum asal segala adalah halal dan mubah. Inilah kaedah asal yang mesti diperhatikan. Misalnya seseorang mengenakan pakaian yang dia suka atau dia berhias sesuai dengan kemauannya, maka syari’at tidak melarang hal ini. Menyemir misalnya, hal ini terlarang secara syar’i karena terdapat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ubahlah uban, namun jauhilah warna hitam”. Jika seseorang merubah uban tersebut dengan warna selain hitam, maka inilah yang diperintahkan sebagaimana merubah uban dengan hinaa’ (pacar) dan katm (inai). Bahkan perkara ini dapat termasuk dalam perkara yang didiamkan (tidak dilarang dan tidak diperintahkan dalam syari’at, artinya boleh -pen).
Oleh karena itu, kami dapat merinci warna menjadi 3 macam:
Pertama adalah warna yang diperintahkan untuk digunakan seperti hinaa’ untuk merubah uban.
Kedua adalah warna yang dilarang untuk digunakan seperti warna hitam untuk merubah uban.
Ketiga adalah warna yang didiamkan (tidak dikomentari apa-apa). Dan setiap perkara yang syari’at ini diamkan, maka hukum asalnya adalah halal .
Berdasarkan hal ini, kami katakan bahwa hukum mewarnai rambut untuk wanita (dengan warna selain hitam) adalah halal. Kecuali jika terdapat unsur merubah warna rambut tersebut untuk menyerupai orang-orang kafir, maka di sini hukumnya menjadi tidak diperbolehkan. Karena hal ini termasuk dalam masalah tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, sedangkan hukum tasyabuh dengan orang kafir adalah haram. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Yang namanya tasyabbuh (menyerupai orang kafir) termasuk bentuk loyal (wala’) pada mereka. Sedangkan kita diharamkan memberi loyalitas (wala’) pada orang kafir. Jika kaum muslimin tasyabbuh dengan orang kafir, maka boleh jadi mereka (orang kafir) akan mengatakan, “Orang muslim sudah pada nurut kami.” Sehingga dengan ini, orang-orang kafir tersebut menjadi senang dan bangga dengan kekafiran yang mereka miliki. Dan perlu diketahui pula bahwa orang yang sering meniru tingkah laku atau gaya orang kafir, mereka akan selalu menganggap dirinya lebih rendah daripada orang kafir. Oleh karena itu, mereka akan selalu mengikuti jejak orang kafir tersebut.
Juga dapat kita katakan bahwa tasyabbuh seorang muslim dengan orang kafir saat ini adalah bagian dari loyal kepada mereka dan bentuk kehinaaan di hadapan mereka.
Juga dapat kita katakan bahwa tasyabbuh dengan orang orang kafir termasuk bentuk kekufuran karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”. Oleh karena itu, jika seorang wanita menyemir rambut dengan warna yang menjadi ciri khas orang kafir, maka menwarnai (menyemir) rambut di sini menjadi haram karena adanya tasyabbuh.” (Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 15/20)
Namun ada penjelasan lain dari Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan. Beliau hafizhohullah mengatakan,
“Adapun mengenai seorang wanita mewarnai rambut kepalanya yang masih berwarna hitam menjadi warna lainnya, maka menurutku hal ini tidak diperbolehkan. Karena tidak ada alasan bagi wanita tersebut untuk mengubahnya. Karena warna hitam pada rambut sudah menunjukkan keindahan dan bukanlah suatu yang jelek (aib). Mewarnai rambut semacam ini juga termasuk tasyabbuh (menyerupai orang kafir).” (Tanbihaat ‘ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu’minaat, hal. 14, Darul ‘Aqidah)
Jika kita melihat dari dua penjelasan ulama di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum menyemir rambut, jika ada hajat semacam sudah beruban, maka pada saat ini dibolehkan bahkan diperintahkan. Namun apabila rambut masih dalam keadaan hitam, lalu ingin disemir (dipirang) menjadi warna selain hitam, maka hal ini seharusnya dijauhi. Kenapa kita katakan dijauhi?
Jawabannya adalah karena mewarnai rambut yang semula hitam menjadi warna lain biasanya dilakukan dalam rangka tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir atau pun meniru orang yang gemar berbuat maksiat (baca: orang fasik) semacam meniru para artis. Inilah yang biasa terjadi. Apalagi kita melihat bahwa orang yang bagus agamanya tidak pernah melakukan semacam ini (yakni memirang rambutnya). Jadi perbuatan semacam ini termasuk larangan karena rambut hitam sudahlah bagus dan tidak menunjukkan suatu yang jelek. Jadi tidak perlu diubah. Juga melakukan semacam ini termasuk dalam pemborosan harta. Wallahu a’lam bish showab.
Demikian pembahasan yang kami sajikan mengenai uban dan menyemir rambut. Semoga pembahasan kali ini bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.
Semoga Allah selalu memberikan kita ketakwaan dan memberi kita taufik untuk menjauhkan diri dari yang haram.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
****
29 Rabi’ul Awwal 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar, SS
Artikel www.muslim.or.id
Sangat wajar jika seseorang menginjak usia senja, muncul pada kepala, wajah atau jenggotnya rambut putih, alias uban. Itulah fase kehidupan yang akan dilewati oleh setiap insan sebagaimana firman Allah Ta’ala,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)
Kadangkala memang kita ingin menghilangkannya, mencabutnya, atau mengganti warnanya dengan warna lain. Namun alangkah bagusnya jika setiap tindak-tanduk kita didasari dengan ilmu agar kita tidak sampai terjerumus dalam kesalahan dan dosa. Sebuah petuah bagus dari Mu’adz bin Jabal yang harus senantiasa kita ingat:
العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan berada di belakang ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni, hal. 15)
Jadi dalam masalah uban ini, marilah kita ikuti petunjuk syari’at Islam yang suci nan sempurna. Dengan mengikuti petunjuk inilah seseorang akan menuai kebahagiaan. Sebaliknya, jika enggan mengikutinya, hanya mau memperturutkan hawa nafsu semata dan menuruti perkataan manusia yang mencocoki hawa nafsu tanpa ada dasar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya orang seperti ini akan binasa.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An Nur: 54)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegangteguhlah dengan ajaranku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah ajaran tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu
Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ
”Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama yang sudah tersohor namanya di tengah-tengah kita, yakni Imam Syafi’i mengatakan,
أجمع المسلمون على أن من استبان له سنة عن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم لم يحل له أن يدعها لقول أحد
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.” (Madarijus Salikin, 2/335, Darul Kutub Al ‘Arobi. Lihat juga Al Haditsu Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqoid wal Ahkam, Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 79, Asy Syamilah)
Uban adalah Cahaya Bagi Seorang Mukmin
Al Baihaqi membawakan sebuah pasal dengan judul “larangan mencabut uban”. Lalu di dalamnya beliau membawakan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشيب نور المؤمن لا يشيب رجل شيبة في الإسلام إلا كانت له بكل شيبة حسنة و رفع بها درجة
“Uban adalah cahaya bagi seorang mukmin. Tidaklah seseorang beruban –walaupun sehelai- dalam Islam melainkan setiap ubannya akan dihitung sebagai suatu kebaikan dan akan meninggikan derajatnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Muhammad bin Hibban At Tamimi rahimahullah -yang lebih dikenal dengan Ibnu Hibban- dalam kitab Shahihnya menyebutkan pembahasan “Hadits yang menceritakan bahwa Allah akan mencatat kebaikan dan menghapuskan kesalahan serta akan meninggikan derajat seorang muslim karena uban yang dia jaga di dunia.” Lalu Ibnu Hibban membawakan hadits berikut.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تنتفوا الشيب فإنه نور يوم القيامة ومن شاب شيبة في الإسلام كتب له بها حسنة وحط عنه بها خطيئة ورفع له بها درجة
“Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Uban Tidak Boleh Dicabut
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ إِلَّا كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hukuman bagi orang yang mencabut ubannya adalah kehilangan cahaya pada hari kiamat nanti. Dari Fudholah bin ‘Ubaid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَتْ نُورًا لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ رَجُلٌ عِنْدَ ذَلِكَ فَإِنَّ رِجَالًا يَنْتِفُونَ الشَّيْبَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ فَلْيَنْتِفْ نُورَهُ
“Barangsiapa memiliki uban di jalan Allah walaupun hanya sehelai, maka uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.” Kemudian ada seseorang yang berkata ketika disebutkan hal ini: “Orang-orang pada mencabut ubannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Siapa saja yang ingin, silakan dia memotong cahaya (baginya di hari kiamat).” (HR. Al Bazzar, At Thabrani dalam Al Kabir dan Al Awsath dari riwayat Ibnu Luhai’ah, namun perowi lainnya tsiqoh –terpercaya-. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa saja yang ingin, maka silakan dia memotong cahaya (baginya di hari kiamat)”; tidak menunjukkan bolehnya mencabut uban, namun bermakna ancaman.
Rambut uban mana yang dilarang dicabut?
Larangan mencabut uban mencakup uban yang berada di kumis, jenggot, alis, dan kepala. (Al Jami’ Li Ahkami Ash Shalat, Muhammad ‘Abdul Lathif ‘Uwaidah, 1/218, Asy Syamilah)
Apa hukum mencabut uban apakah haram ataukah makruh?
Para ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa mencabut uban adalah makruh.
Abu Dzakaria Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Mencabut ubat dimakruhkan berdasarkan hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya. … Para ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa mencabut uban adalah makruh dan hal ini ditegaskan oleh Al Ghozali sebagaimana penjelasan yang telah lewat. Al Baghowi dan selainnya mengatakan bahwa seandainya mau dikatakan haram karena adanya larangan tegas mengenai hal ini, maka ini juga benar dan tidak mustahil. Dan tidak ada bedanya antara mencabut uban yang ada di jenggot dan kepala (yaitu sama-sama terlarang). (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/292-293, Mawqi’ Ya’sub)
Namun jika uban tersebut terdapat di jenggot atau pada rambut yang tumbuh di wajah, maka hukumnya jelas haram karena perbuatan tersebut termasuk an namsh yang dilaknat.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لعن الله الربا و آكله و موكله و كاتبه و شاهده و هم يعلمون و الواصلة و المستوصلة و الواشمة و المستوشمة و النامصة و المتنمصة
“Allah melaknat riba, pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkannya (nasabah), orang yang mencatatnya (sekretaris) dan yang menjadi saksi dalam keadaan mereka mengetahui (bahwa itu riba). Allah juga melaknat orang yang menyambung rambut dan yang meminta disambungkan rambut, orang yang mentato dan yang meminta ditato, begitu pula orang yang mencabut rambut pada wajah dan yang meminta dicabut.” (Diriwayatkan dalam Musnad Ar Robi’ bin Habib. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Adapun mencabut uban dari jenggot atau uban dari rambut yang tumbuh di wajah, maka perbuatan seperti ini diharamkan karena termasuk an namsh. An namsh adalah mencabut rambut yang tumbuh di wajah dan jenggot. Padahal terdapat hadits yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan an namsh.” (Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, 11/80, Asy Syamilah)
Kesimpulan: hukum mencabut uban dapat dikatakan haram karena ada dalil tegas mengenai hal ini, sedangkan mayoritas ulama mengatakan hukumnya adalah makruh. Namun sebagai seorang muslim yang ingin selalu mengikuti petunjuk Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agar tidak kehilangan cahaya di hari kiamat kelak, maka seharusnya seorang muslim membiarkan ubannya (tidak perlu dicabut). Dengan inilah dia akan mendapat tiga keutamaan: [1] Allah akan mencatatnya kebaikan, [2] dan menghapuskan kesalahan serta [3] akan meninggikan derajat seorang muslim karena uban yang dia jaga di dunia. Namun, jika uban tersebut berada pada jenggot atau rambut yang tumbuh di wajah, maka ini jelas haramnya. Wallahu a’lam.
-bersambung pada pembahasan menyemir rambut, Insya Allah-
Artikel www.muslim.or.id
Hukum Menyemir Rambut
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Setelah kita mengetahui hukum mencabut uban, berikut ini adalah pembahasan mengenai menyemir uban dan menyemir rambut secara umum. Semoga Allah memudahkan kami untuk menjelaskan hal ini dan semoga para pembaca dimudahkan untuk memahaminya.
Ubahlah Uban Untuk Menyelisihi Ahli Kitab
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memerintahkan kita untuk menyelisihi ahli kitab di antaranya adalah dalam masalah uban.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir uban mereka, maka selisilah mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim)Manakah yang lebih utama antara membiarkan uban ataukah mewarnainya?
Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Para ulama salaf yakni sahabat dan tabi’in berselisih pendapat mengenai masalah uban. Sebagian mereka mengatakan bahwa lebih utama membiarkan uban (daripada mewarnainya) karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai larangan mengubah uban [Namun hadits yang menyebutkan larangan ini adalah hadits yang mungkar atau dho’if, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah].
… Sebagian mereka berpendapat pula bahwa lebih utama merubah uban (daripada membiarkannya). Sehingga di antara mereka mengubah uban karena terdapat hadits mengenai hal ini. ” (Nailul Author, 1/144, Asy Syamilah). Jadi dapat kita katakan bahwa mewarnai uban lebih utama daripada tidak mewarnainya berdasarkan pendapat sebagian ulama. Adapun pendapat yang mengatakan lebih utama membiarkan uban daripada mewarnainya, maka ini adalah pendapat yang lemah karena dibangun di atas hadits yang lemah.
Ubahlah Uban dengan Pacar dan Inai
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحْسَنَ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ الْحِنَّاءُ وَالْكَتَمُ
“Sesungguhnya bahan yang terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir uban adalah hinna’ (pacar) dan katm (inai).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah mengatakan bahwa hadits ini shahih)Hal ini menunjukkan bahwa menyemir uban dengan hinna’ (pacar) dan katm (inai) adalah yang paling baik. Namun boleh juga menyemir uban dengan selain keduanya yaitu dengan al wars (biji yang dapat menghasilkan warna merah kekuning-kuningan) dan za’faron. Sebagaimana sebagian sahabat ada yang menyemir uban mereka dengan kedua pewarna yang terakhir ini.
Abu Malik Asy-ja’iy dari ayahnya, beliau berkata,
كَانَ خِضَابُنَا مَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَرْسَ وَالزَّعْفَرَانَ
“Dulu kami menyemir uban kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan wars dan za’faron”. (HR. Ahmad dan Al Bazzar. Periwayatnya adalah periwayat kitab shahih selain Bakr bin ‘Isa, namun dia adalah tsiqoh –terpercaya-. Lihat Majma’ Az Zawa’id)
Al Hakam bin ‘Amr mengatakan,
دَخَلْتُ أَنَا وَأَخِي رَافِعٌ عَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ ، وَأَنَا مَخْضُوبٌ بِالْحِنَّاءِ ، وَأَخِي مَخْضُوبٌ بِالصُّفْرَةِ ، فَقَال عُمَرُ : هَذَا خِضَابُ الإِْسْلاَمِ . وَقَال لأَِخِي رَافِعٍ : هَذَا خِضَابُ الإِْيمَانِ
“Aku dan saudaraku Rofi’ pernah menemui Amirul Mu’minin ‘Umar (bin Khaththab). Aku sendiri menyemir ubanku dengan hinaa’ (pacar). Saudaraku menyemirnya dengan shufroh (yang menghasilkan warna kuning). ‘Umar lalu berkata: Inilah semiran Islam. ‘Umar pun berkata pada saudaraku Rofi’: Ini adalah semiran iman.” (HR. Ahmad. Di dalamnya ada ‘Abdurrahman bin Habib. Ibnu Ma’in mentsiqohkannya. Ahmad mendho’ifkannya. Namun periwayat lainnya adalah periwayat yang tsiqoh. Lihat Majma’ Az Zawa’id)
Diharamkan Menyemir Uban dengan Warna Hitam
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ”Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas, artinya beliau telah beruban). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
“Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim). Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”.
Ketika menjelaskan hadits di atas An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami (Syafi’iyah), menyemir uban berlaku bagi laki-laki maupun perempuan yaitu dengan shofroh (warna kuning) atau hamroh (warna merah) dan diharamkan menyemir uban dengan warna hitam menurut pendapat yang terkuat. Ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya hanyalah makruh (makruh tanzih). Namun pendapat yang menyatakan haram lebih tepat berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “hindarilah warna hitam”. Inilah pendapat dalam madzhab kami.”
Adapun ancaman bagi orang yang merubahnya dengan warna hitam disebutkan dalam hadits berikut.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Pada akhir zaman nanti akan muncul suatu kaum yang bersemir dengan warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka itu tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam shahihnya, dan Al Hakim. Al Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini shahih). Karena dikatakan tidak akan mencium bau surga, maka perbuatan ini termasuk dosa besar. (Lihat Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 60/23, 234/27)
Sebenarnya jika menggunakan katm (inai) akan menghasilkan warna hitam, jadi sebaiknya katm tidak dipakai sendirian namun dicampur dengan hinaa’ (pacar), sehingga warna yang dihasilkan adalah hitam kekuning-kuningan. Lalu setelah itu digunakan untuk menyemir rambut. (Lihat Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 234/27)
Bolehkah menggunakan jenis pewarna lainnya –selain inai dan pacar, inai saja, za’faron dan wars- untuk mengubah uban semacam dengan pewarna sintetik? Jawabannya: boleh karena yang penting adalah tujuannya tercapai yaitu merubah warna uban selain dengan warna hitam. Sebagaimana keumuman hadits:
غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
“Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim). Di sini menggunakan kata syaa-i’, bentuk nakiroh, yang menunjukkan mutlak (baca: umum). Namun kalau pewarna tersebut tidak menyerap ke rambut, malah membentuk lapisan tersendiri di kulit rambut, maka pewarna semacam ini harus dihindari karena dapat menyebabkan air tidak masuk ke kulit rambut ketika berwudhu sehingga dapat menyebabkan wudhu tidak sah. Wallahu a’lam.
Bagaimana Jika Menyemir Uban Dengan Warna Hitam Untuk Membuat Penampilan Lebih Menarik?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsamin pernah ditanyakan mengenai menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna hitam, apakah dibolehkan?
Syaikh rahimahullah menjawab:
Menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna hitam, maka aku katakan semuanya adalah haram. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam”. Juga dalam masalah ini terdapat dalil dalam kitab sunan yang menunjukkan ancaman bagi orang yang menyemir ubannya dengan warna hitam.
Kemudian yang bertanya kembali berkata: Apakah tidak boleh juga kalau maksudnya adalah untuk mempercantik diri?
Syaikh rahimahullah menjawab:
Umumnya yang mewarnai ubannya dengan warna hitam, tujuannya adalah untuk mempercantik diri, agar terlihat lebih muda. Kalau tidak demikian, lalu apa tujuannya?! Perbuatan semacam ini hanya akan membuang-buang waktu dan harta. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 1/5, Mawqi’ Asy Syabkah Al Islamiyah)
Bagaimana Jika yang Masih Muda Muncul Uban, Bolehkah Diubah (Disemir)?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin ditanyakan: “Seorang pemuda sudah nampak padanya uban. Dia ingin merubah uban tersebut dengan warna hitam. Bagaimana hukum mengenai hal ini?”
Syaikh rahimahullah menjawab: Ini termasuk mengelabui (tadlis). Seseorang yang ingin menikah, lalu di kepalanya terdapat uban sedangkan dia masih muda, maka melakukan semacam ini termasuk mengelabui (tadlis). Akan tetapi kami katakan bahwa yang lebih utama jika dia ingin mengubah ubannya tadi, maka gunakanlah warna selain hitam. Dia boleh mencampur hina’ (pacar) dan katm (inai), lalu dia gunakan untuk menyemir ubannya. Pada saat ini, tidak nampak lagi uban. Bahkan perbuatan ini adalah termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merubah uban dengan warna selain hitam. Adapun merubah uban tadi dengan warna hitam, maka yang benar hal ini termasuk perbuatan yang diharamkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita menjauhi warna hitam ketika akan menyemir rambut, bahkan terdapat ancaman yang sangat keras mengenai hal ini dalam sabda beliau. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 188/23)
Bagaimana Hukum Menyemir (Memirang) Rambut yang Semula Berwarna Hitam Menjadi Warna Lain?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin pernah ditanyakan, “Apakah boleh merubah rambut wanita yang semula berwarna hitam disemir menjadi warna selain hitam misalnya warna merah?”
Syaikh rahimahullah menjawab:
Jawaban dari pertanyaan mengenai menyemir rambut wanita yang berwarna hitam menjadi warna selainnya, ini dibangun di atas kaedah penting. Kaedah tersebut yaitu hukum asal segala adalah halal dan mubah. Inilah kaedah asal yang mesti diperhatikan. Misalnya seseorang mengenakan pakaian yang dia suka atau dia berhias sesuai dengan kemauannya, maka syari’at tidak melarang hal ini. Menyemir misalnya, hal ini terlarang secara syar’i karena terdapat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ubahlah uban, namun jauhilah warna hitam”. Jika seseorang merubah uban tersebut dengan warna selain hitam, maka inilah yang diperintahkan sebagaimana merubah uban dengan hinaa’ (pacar) dan katm (inai). Bahkan perkara ini dapat termasuk dalam perkara yang didiamkan (tidak dilarang dan tidak diperintahkan dalam syari’at, artinya boleh -pen).
Oleh karena itu, kami dapat merinci warna menjadi 3 macam:
Pertama adalah warna yang diperintahkan untuk digunakan seperti hinaa’ untuk merubah uban.
Kedua adalah warna yang dilarang untuk digunakan seperti warna hitam untuk merubah uban.
Ketiga adalah warna yang didiamkan (tidak dikomentari apa-apa). Dan setiap perkara yang syari’at ini diamkan, maka hukum asalnya adalah halal .
Berdasarkan hal ini, kami katakan bahwa hukum mewarnai rambut untuk wanita (dengan warna selain hitam) adalah halal. Kecuali jika terdapat unsur merubah warna rambut tersebut untuk menyerupai orang-orang kafir, maka di sini hukumnya menjadi tidak diperbolehkan. Karena hal ini termasuk dalam masalah tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, sedangkan hukum tasyabuh dengan orang kafir adalah haram. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Yang namanya tasyabbuh (menyerupai orang kafir) termasuk bentuk loyal (wala’) pada mereka. Sedangkan kita diharamkan memberi loyalitas (wala’) pada orang kafir. Jika kaum muslimin tasyabbuh dengan orang kafir, maka boleh jadi mereka (orang kafir) akan mengatakan, “Orang muslim sudah pada nurut kami.” Sehingga dengan ini, orang-orang kafir tersebut menjadi senang dan bangga dengan kekafiran yang mereka miliki. Dan perlu diketahui pula bahwa orang yang sering meniru tingkah laku atau gaya orang kafir, mereka akan selalu menganggap dirinya lebih rendah daripada orang kafir. Oleh karena itu, mereka akan selalu mengikuti jejak orang kafir tersebut.
Juga dapat kita katakan bahwa tasyabbuh seorang muslim dengan orang kafir saat ini adalah bagian dari loyal kepada mereka dan bentuk kehinaaan di hadapan mereka.
Juga dapat kita katakan bahwa tasyabbuh dengan orang orang kafir termasuk bentuk kekufuran karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”. Oleh karena itu, jika seorang wanita menyemir rambut dengan warna yang menjadi ciri khas orang kafir, maka menwarnai (menyemir) rambut di sini menjadi haram karena adanya tasyabbuh.” (Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 15/20)
Namun ada penjelasan lain dari Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan. Beliau hafizhohullah mengatakan,
“Adapun mengenai seorang wanita mewarnai rambut kepalanya yang masih berwarna hitam menjadi warna lainnya, maka menurutku hal ini tidak diperbolehkan. Karena tidak ada alasan bagi wanita tersebut untuk mengubahnya. Karena warna hitam pada rambut sudah menunjukkan keindahan dan bukanlah suatu yang jelek (aib). Mewarnai rambut semacam ini juga termasuk tasyabbuh (menyerupai orang kafir).” (Tanbihaat ‘ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu’minaat, hal. 14, Darul ‘Aqidah)
Jika kita melihat dari dua penjelasan ulama di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum menyemir rambut, jika ada hajat semacam sudah beruban, maka pada saat ini dibolehkan bahkan diperintahkan. Namun apabila rambut masih dalam keadaan hitam, lalu ingin disemir (dipirang) menjadi warna selain hitam, maka hal ini seharusnya dijauhi. Kenapa kita katakan dijauhi?
Jawabannya adalah karena mewarnai rambut yang semula hitam menjadi warna lain biasanya dilakukan dalam rangka tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir atau pun meniru orang yang gemar berbuat maksiat (baca: orang fasik) semacam meniru para artis. Inilah yang biasa terjadi. Apalagi kita melihat bahwa orang yang bagus agamanya tidak pernah melakukan semacam ini (yakni memirang rambutnya). Jadi perbuatan semacam ini termasuk larangan karena rambut hitam sudahlah bagus dan tidak menunjukkan suatu yang jelek. Jadi tidak perlu diubah. Juga melakukan semacam ini termasuk dalam pemborosan harta. Wallahu a’lam bish showab.
Demikian pembahasan yang kami sajikan mengenai uban dan menyemir rambut. Semoga pembahasan kali ini bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.
Semoga Allah selalu memberikan kita ketakwaan dan memberi kita taufik untuk menjauhkan diri dari yang haram.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
****
29 Rabi’ul Awwal 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar, SS
Artikel www.muslim.or.id
188 Peserta Ikut Lomba Hafalan Qur`an Internasional
Untuk pertama kalinya acara digelar di Masjidil Haram
Hidayatullah.com --Menteri Urusan Islam Arab Saudi Saleh Al-Asyaikh menyoroti pentingnya peran al-Qur`an dalam persatuan umat Islam dan menyerukan penyebaran pesan yang tekandung di dalamnya ke seluruh dunia. Hal itu disampaikan Al-Syaikh saat membuka kompetisi Membaca dan Hafalan al-Qur`an Internasional Raja Abdul Aziz ke-32 di Masjidil Haram, Ahad (26/12).
"Adalah kewajiban Muslim untuk mempelajari dan menghafal al-Qur`an, serta mengikuti ajaran-ajarannya dalam seluruh sendi kehidupan mereka," katanya.
Dia menegaskan, "Qur`an telah berkontribusi banyak dalam pembangunan peradaban Islam."
Sebanyak 188 peserta dari 64 negara berpartisipasi dalam kompetisi yang diselenggarakan oleh Kementerian Urusan Islam, Wakaf dan Dakwah Arab Saudi itu. Para pakar dari 16 negara dihadirkan sebagai juri.
Sekjen penyelenggara, Mansur al-Sumaih, mengatakan bahwa untuk pertama kalinya perlombaan digelar di dalam Masjidil Haram. Hal tersebut dilakukan untuk lebih menyemangati para pemuda agar giat mempelajari al-Qur`an.
Lomba dibagi ke dalam lima kategori dengan total hadiah 888.000 riyal. Kategori pertama hafalan seluruh al-Qur`an beserta tajwid dan penjelasan makna kata diikuti oleh 21 peserta. Kategori kedua hafalan seluruh Qur`an beserta tajwid diikuti 49 peserta. Kategori ketiga hafalan 20 juz al-Qur`an dan tajwid diikuti 49 orang. Sebanyak 51 orang mengikuti lomba kategori keempat yaitu hafalan 10 juz beserta tajwid.
Kategori kelima berupa hafalan 5 juz beserta tajwid diikuti 18 peserta. Kategori terakhir ini tertutup bagi peserta yang berasal dari perkumpulan atau organisasi Islam di negara-negara non-Muslim.
Pemenang pertama dari kategori pertama akan mendapat hadiah 75.000 riyal, sementara pemenang kedua dan ketiga masing-masing mendapat 72.000 dan 69.000 riyal. Pemenang keempat 66.000 dan kelima 63.000 riyal.
Untuk kategori kedua pemenang pertama hingga kelima mendapatkan hadiah masing-masing 55 ribu, 52 ribu, 49 ribu, 46 ribu, 43 ribu riyal. Kategori ketiga mendapatkan 40.000, 37.000, 34.000, 31.000 dan 28.000 riyal. Kategori keempat mendapat 25.000, 22.000, 19.000, 16.000 dan 13.000 riyal. Dan kategori kelima masing-masing pemenang berhak mendapat 10.000, 8.000, 6.000, 5.000 dan 4.000 riyal.
Para peserta juga mendapat kesempatan untuk melakukan umrah, berkunjung ke Masjid Nabawi serta berbagai institusi Islam penting lain seperti pabrik kiswah dan pecetakan al-Qur`an di Madinah.[di/an/ab/ hidayatullah.com]
Foto: Salah seorang peserta sedang membacakan ayat suci al-Qur`an pada acara pembukaan, Ahad (26/12).
http://hidayatullah.com/berita/internasional/14834-188-peserta-ikut-lomba-hafalan-quran-internasional
Antara Roja’ dan Khouf
Makna roja’ dan khouf secara bahasa
Roja’ berarti mengharapkan. Apabila dikatakan rojaahu maka artinya ammalahu: dia mengharapkannya (lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/333) Syaikh Utsaimin berkata: “Roja’ adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek.” (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 57-58) Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata: “Asal makna roja’ adalah menginginkan atau menantikan sesuatu yang disenangi…” (Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Khouf artinya perasaan takut yang muncul terhadap sesuatu yang mencelakakan, berbahaya atau mengganggu (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 56)
Makna roja’ dan khouf secara istilah
Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum beriman. Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan…” (Thariqul Wushul, hal. 136) Adapun roghbah ialah rasa suka mendapatkan sesuatu yang dicintai (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 59). Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan harapan yang sangat kuat tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan roghbah (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)
Sedangkan makna khouf secara istilah adalah rasa takut dengan berbagai macam jenisnya, yaitu: khouf thabi’i, dan lain sebagainya (akan ada penjelasannya nanti insya Allah) Adapun khosyah serupa maknanya dengan khouf walaupun sebenarnya ia memiliki makna yang lebih khusus daripada khouf karena khosyah diiringi oleh ma’rifatullah ta’ala. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Faathir: 28) Oleh sebab itu khosyah adalah rasa takut yang diiringi ma’rifatullah. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun aku, demi Allah… sesungguhnya aku adalah orang yang paling khosyah kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya.” (HR. Bukhari, 5063, Muslim, 1108) Madaarijus Salikin,1/512, dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Ar Raaghib berkata: Khosyah adalah khouf yang tercampuri dengan pengagungan. Mayoritas hal itu muncul didasarkan pada pengetahuan terhadap sesuatu yang ditakuti… (Al Mufradaat hal 149, dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 89) Adapun rohbah adalah khouf yang diikuti dengan tindakan meninggalkan sesuatu yang ditakuti, dengan begitu ia adalah khouf yang diiringi amalan… (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)
Peranan roja’ dan khouf
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya penggerak hati menuju Allah ‘azza wa jalla ada tiga: Al-Mahabbah (cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’ (harap). Yang terkuat di antara ketiganya adalah mahabbah. Sebab rasa cinta itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Hal itu dikarenakan kecintaan adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia maupun di akhirat. Berbeda dengan takut. Rasa takut itu nanti akan lenyap di akhirat (bagi orang yang masuk surga, pent). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih yang akan menyertai mereka.” (QS. Yunus: 62) Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bisa menahan dan mencegah supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan kebenaran. Adapun rasa cinta, maka itulah faktor yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan menuju sosok yang dicintai-Nya.
Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung pada kuat-lemahnya rasa cinta. Adanya rasa takut akan membantunya untuk tidak keluar dari jalan menuju sosok yang dicintainya, dan rasa harap akan menjadi pemacu perjalanannya. Ini semua merupakan kaidah yang sangat agung. Setiap hamba wajib memperahtikan hal itu…” (Majmu’ Fatawa,1/95-96, dinukil dari Hushulul Ma’muul, hal. 82-83). Syaikh Zaid bin Hadi berkata: “Khouf dan roja’ saling beriringan. Satu sama lain mesti berjalan beriringan sehingga seorang hamba berada dalam keadaan takut kepada Allah ‘azza wa jalla dan khawatir tertimpa siksa-Nya serta mengharapkan curahan rahmat-Nya…” (Taisirul Wushul, hal. 136. lihat juga Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 60)
Apabila rasa takut hilang
Syaikhul Islam berkata: “Apabila seorang insan tidak merasa takut kepada Allah maka dia akan memperturutkan hawa nafsunya. Terlebih lagi apabila dia sedang menginginkan sesuatu yang gagal diraihnya. Karena nafsunya menuntutnya memperoleh sesuatu yang bisa menyenangkan diri serta menyingkirkan gundah gulana dan kesedihannya. Dan ternyata hawa nafsunya tidak bisa merasa senang dan puas dengan cara berdzikir dan beribadah kepada Allah maka dia pun memilih mencari kesenangan dengan hal-hal yang diharamkan yaitu berbuat keji, meminum khamr dan berkata dusta…” (Majmu’ Fatawa, 1/54,55) dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal.77)
Roja’ dan khouf yang terpuji
Syaikh Al ‘Utsaimin berkata: “Ketahuilah, roja’ yang terpuji hanya ada pada diri orang yang beramal taat kepada Allah dan berharap pahala-Nya atau bertaubat dari kemaksiatannya dan berharap taubatnya diterima, adapun roja’ tanpa disertai amalan adalah roja’ yang palsu, angan-angan belaka dan tercela.” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58) Syaikhul Islam berkata: “Khouf yang terpuji adalah yang dapat menghalangi dirimu dari hal-hal yang diharamkan Allah. “Sebagian ulama salaf mengatakan: “Tidaklah seseorang terhitung dalam jajaran orang yang takut (kepada Allah) sementara dirinya tidak dapat meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan.” (Al Mufradaat fii Ghariibul Qur’an hal. 162 dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79)
Roja’ dan khouf adalah ibadah
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang diseru oleh mereka itu justru mencari jalan perantara menuju Rabb mereka siapakah di antara mereka yang bisa menjadi orang paling dekat kepada-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya.” (QS. al-Israa’: 57) Allah menceritakan kepada kita melalui ayat yang mulia ini bahwa sesembahan yang dipuja selain Allah oleh kaum musyrikin yaitu para malaikat dan orang-orang shalih mereka sendiri mencari kedekatan diri kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan ibadah, mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya dengan diiringi harapan terhadap rahmat-Nya dan mereka menjauhi larangan-larangan-Nya dengan diiringi rasa takut tertimpa azab-Nya karena setiap orang yang beriman tentu akan merasa khawatir dan takut tertimpa hukuman-Nya (lihat Al Jadiid, hal. 71) Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maka janganlah kalian takut kepada mereka (wali setan), dan takutlah kepada-Ku, jika kalian beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 175) Di dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh merasa takut kepada para wali syaithan dan juga tidak boleh takut kepada manusia sebagaimana Allah ta’ala nyatakan, “Janganlah kamu takut kepada manusia dan takutlah kepada-Ku.” (QS. al-Maa’idah: 44) Rasa takut kepada Allah diperintahkan sedangkan takut kepada wali syaithan adalah sesuatu yang terlarang (Majmu’ Fatawa, 1/57 dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 78)
Roja’ yang disertai dengan ketundukan dan perendahan diri
Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Roja’ yang disertai dengan perendahan diri dan ketundukan tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Memalingkan roja’ semacam ini kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa jadi syirik ashghar dan bisa jadi syirik akbar tergantung pada isi hati orang yang berharap itu…” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)
Mengendalikan khouf dan roja’
Syaikh Al ‘Utsaimin pernah ditanya: “Bagaimanakah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam urusan roja’ dan khouf ?” Beliau menjawab: “Para ulama berlainan pendapat apakah seseorang harus mendahulukan roja’ ataukah khouf ke dalam beberapa pendapat: Imam Ahmad rahimahullah berpendapat: “Seyogyanya rasa takut dan harapnya seimbang, tidak boleh dia mendominasikan takut dan tidak boleh pula mendominasikan roja’.” Beliau rahimahullah berkata: “Karena apabila ada salah satunya yang lebih mendominasi maka akan binsalah orangnya.” Karena orang yang keterlaluan dalam berharap akan terjatuh dalam sikap merasa aman dari makar Allah. Dan apabila dia keterlaluan dalam hal takut maka akan terjatuh dalam sikap putus asa terhadap rahmat Allah. Sebagian ulama berpendapat: “Seyogyanya harapan lebih didominasikan tatkala berbuat ketaatan dan didominasikan takut ketika muncul keinginan berbuat maksiat.” Karena apabila dia berbuat taat maka itu berarti dia telah melakukan penyebab tumbuhnya prasangka baik (kepada Allah) maka hendaknya dia mendominasikan harap yaitu agar amalnya diterima. Dan apabila dia bertekad untuk bermaksiat maka hendaknya ia mendominasikan rasa takut agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat.
Sebagian yang lain mengatakan: “Hendaknya orang yang sehat memperbesar rasa takutnya sedangkan orang yang sedang sakit memperbesar rasa harap.” Sebabnya adalah orang yang masih sehat apabila memperbesar rasa takutnya maka dia akan jauh dari perbuatan maksiat. Dan orang yang sedang sakit apabila memperbesar sisi harapnya maka dia akan berjumpa dengan Allah dalm kondisi berbaik sangka kepada-Nya. Adapun pendapat saya sendiri dalam masalah ini adalah: hal ini berbeda-beda tergantung kondisi yang ada. Apabila seseorang dikhawatirkan dengan lebih condong kepada takut membuatnya berputus asa dari rahmat Allah maka hendaknya ia segera memulihkan harapannya dan menyeimbangkannya dengan rasa harap. Dan apabila dikhawatirkan dengan lebih condong kepada harap maka dia merasa aman dari makar Allah maka hendaknya dia memulihkan diri dan menyeimbangkan diri dengan memperbesar sisi rasa takutnya. Pada hakikatnya manusia itu adalah dokter bagi dirinya sendiri apabila hatinya masih hidup. Adapun orang yang hatinya sudah mati dan tidak bisa diobati lagi serta tidak mau memperhatikan kondisi hatinya sendiri maka yang satu ini bagaimanapun cara yang ditempuh tetap tidak akan sembuh.” (Fatawa Arkanil Islam, hal. 58-59)
1. Khouf thabi’i seperti halnya orang takut hewan buas, takut api, takut tenggelam, maka rasa takut semacam ini tidak membuat orangnya dicela…. akan tetapi apabila rasa takut ini …. menjadi sebab dia meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan maka hal itu haram.
2. Khouf ibadah yaitu seseorang merasa takut kepada sesuatu sehingga membuatnya tunduk beribadah kepadanya maka yang seperti ini tidak boleh ada kecuali ditujukan kepada Allah ta’ala. Adapun menujukannya kepada selain Allah adalah syirik akbar.
3. Khouf sirr seperti halnya orang takut kepada penghuni kubur atau wali yang berada di kejauhan serta tidak bisa mendatangkan pengaruh baginya akan tetapi dia merasa takut kepadanya maka para ulama pun menyebutnya sebagai bagian dari syirik. (lihat Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 57)
Waspadai pemahaman Murji’ah
Kebanyakan manusia terjatuh di dalamnya kecuali orang-orang yang dirahmati Allah. Yaitu apabila seorang insan tidak lagi menyadari bahwa kemaksiatan itu membahayakan agama, kehidupan dunia dan akhiratnya. Padahal sesungguhnya maksiat adalah penyebab turunnya murka Allah padanya dan dia akan menghadapi berbagai macam bencana karenanya, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya, “Dan bencana apapun yang menimpamu maka sesungguhnya itu terjadi karena ulah tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak kesalahan.” (QS. asy-Syuura: 30). Meskipun demikian, ternyata banyak manusia dikalahkan oleh hawa nafsunya sehingga diapun melakukan berbagai kemaksiatan dan keburukan, terkadang disertai dengan menggantungkan harapannya terhadap pemaafan dan ampunan dari Allah, dan terkadang dengan cara menunda-nunda taubat, terkadang dengan cara beristighfar lisannya akan tetapi senantiasa mengulangi kemaksiatannya, atau terkadang dengan cara menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang disunnahkan (sementara yang wajib diabaikan -pent) atau dengan cara beralasan dengan takdir, dan kebanyakan orang mengira seandainya dia berbuat dosa apapun lantas dia mengucapkan Astahghfirullah maka dengan begitu dosanya akan sirna tanpa menyisakan bekas sesudahnya.
Iman terdiri dari keyakinan, ucapan dan perbuatan
Faktor penyebab mereka terjatuh dalam kesalahan seperti itu adalah karena mereka meyakini bahwa iman itu maknanya sekedar tashdiq/pembenaran saja, dan tidak ada kemaksiatan yang dapat membahayakan keberadaan tashdiq selama iman ada di hati mereka. Sedangkan hakikat keimanan menurut para pengikut kebenaran tegak di atas tiga pilar: Keyakinan dengan hati, Ucapan dengan lisan, Perbuatan dengan anggota badan. Dan amal perbuatan itu termasuk dalam substansi keimanan, iman bisa bertambah dan bisa berkurang, bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.
Harapan yang dusta
Para pelaku maksiat itu berdalil dengan beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi (untuk menutupi kesalahan mereka -pent) seperti dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa” (QS. az-Zumar: 53). Ibnul Qayyim mengatakan, “Pernyataan ini termasuk kebodohan yang paling buruk, sebab syirikpun termasuk dalam cakupan ayat ini padahal dia adalah biangnya dosa dan pokoknya.
Dan tidak ada perselisihan di kalangan para ulama bahwasanya ayat ini berlaku bagi orang-orang yang bertaubat. Karena Allah mengampuni dosa setiap orang yang bertaubat dari dosa apapun yang telah dilakukannya. Kalaulah seandainya ayat ini berlaku bagi orang-orang yang tidak bertaubat niscaya nash-nash (dalil) yang berisi ancaman seluruhnya tidak ada gunanya … di dalam surat an-Nisaa’ Allah mengkhususkan dan memberikan catatan dengan firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan itu bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’: 48) di sini Allah ta’ala memberitakan bahwa Dia tidak mengampuni dosa syirik, dan memberitakan kalau dosa yang berada di bawahnya diampuni. Kalau seandainya ayat ini berbicara tentang orang yang bertaubat niscaya tidak perlu dibedakan antara syirik dan selainnya.”
Neraka untuk orang kafir
Di antara mereka (orang-orang murji’ah -pent) ada yang berdalih: ‘Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memberitakan kalau neraka itu “Disiapkan untuk orang-orang kafir” (QS. al-Baqarah: 24) dan aku bukan termasuk golongan mereka, aku hanya termasuk orang yang bermaksiat saja karena itulah maka neraka bukan disiapkan untuk orang-orang semacam aku’. Pemahaman anak-anak tentu lebih baik daripada pemahaman mereka itu; sebab disiapkannya neraka untuk orang-orang kafir tidak berarti meniadakan masuknya orang-orang fasiq dan zhalim, sebagaimana tatkala Allah berfirman tentang Surga yang artinya, “Disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Dan maksud ayat ini bukan berarti orang yang di dalam hatinya hanya memiliki keimanan sebesar biji sawi tidak memasukinya, padahal nash-nash yang shahih mengabarkan tentang hal itu. Kalaulah mereka mau menggabungkan nash-nash ini niscaya mereka akan terbebas dari belenggu kebodohan ini. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barang siapa yang durhaka terhadap Allah dan rasul-Nya dan melanggar batas-batas-Nya niscaya dia akan dimasukkan ke dalam neraka kekal di dalamnya dan dia berhak menerima siksa yang menghinakan.” (QS. an-Nisaa’: 14).
Lalu apakah yang akan mereka katakan terhadap ayat ini?! Hanya saja kita bukanlah termasuk orang yang membenturkan ayat al-Qur’an satu dengan yang lainnya sehingga kita tidak mengatakan bahwa setiap orang yang bermaksiat itu kekal di dalam neraka; karena kekal di dalam neraka itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang kafir dan musyrik. Dan juga karena sesungguhnya ahli tauhid apabila diputuskan Allah menerima siksa di neraka akibat kemaksiatan mereka maka mereka pada akhirnya akan dikeluarkan darinya dan tidak akan tersisa lagi di dalam neraka satu orangpun ahli tauhid.
-bersambung insya Allah-
Bentuk-bentuk ketertipuan/ghurur
Salah satu sumber kebodohan dan ketertipuan mereka itu adalah ketika mereka mengandalkan sebagian amal perbuatan yang utama seperti yang tercantum dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang mengucapkan subhaanallaahi wa bihamdihi 100 kali setiap hari niscaya dihapuskan kesalahan-kesalahannya meskipun banyak sekali seperti buih di lautan.” (Muttafaq ‘alaih).
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah ‘Azza wa Jalla mengenai seorang yang berbuat dosa lalu beristighfar, “Hamba-Ku tahu bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum karenanya, Aku telah ampuni hamba-Ku dan hendaklah dia berbuat apa saja yang dikehendakinya.” (Muttafaq ‘alaih). Dan juga seperti ketertipuan sebagian dari mereka yang mengandalkan amalan puasa ‘Asyuraa’ atau hari Arafah sampai-sampai ada di antara mereka yang berkata, “Puasa hari ‘Asyuraa’ menghapuskan dosa setahun seluruhnya maka tinggallah puasa arafah sebagai tambahan pahala.”
Orang yang tertipu ini tidak menyadari bahwa puasa Ramadhan dan shalat lima waktu yang jelas lebih agung dan lebih mulia daripada puasa hari ‘Arafah dan puasa hari ‘Asyuraa’ tidak akan dapat menghapuskan dosa-dosa kecil kecuali apabila dosa-dosa besar ditinggalkan! Sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat lima waktu yang satu dengan lainnya, ibadah Jumat menuju Jumat yang lain, Ramadhan menuju Ramadhan sesudahnya, menjadi penghapus dosa-dosa selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim)
Maka Ramadhan menuju Ramadhan sesudahnya dan shalat Jumat yang satu menuju Jumat berikutnya tidaklah mampu menghapuskan dosa-dosa kecil kecuali disertai dengan meninggalkan dosa besar seluruhnya, sehingga kedua perkara ini bisa saling menguatkan satu dengan yang lain. Lalu bagaimana mungkin puasa sunnah atau ucapan subhaanallaahi wa bihamdihi 100 kali yang dikerjakan bisa menghapus dosa-dosa besar yang dilakukan hamba sedangkan dia tetap melanjutkan kemaksiatannya tanpa pernah bertaubat kepada-Nya? Ini sesuatu yang amat mustahil. Terus menerus melakukan dosa-dosa besar menghalangi penghapusan dosa, dan karena itulah tidak ada alasan bagi orang yang mengatakan, “Aku akan berbuat dosa semauku, kemudian aku ucapkan subhaanallaahi wa bihamdihi 100 kali sehingga lenyaplah seluruh dosa yang telah kuperbuat.”
Atau dengan mengatakan, “Aku akan melakukan dosa lantas pergi ke Mekkah dan menunaikan umrah sehingga hilanglah semua dosa yang ada pada diriku.” Ini termasuk sikap ghurur/tertipu, dan hal itu sebenarnya merupakan tindakan lancang kepada Allah ta’ala.
Husnuzhan adalah membaguskan amal
Sebagian di antara mereka terkadang mengatakan, “Sesungguhnya kita ini bersangka baik kepada Rabb kita, sebab Allah telah berfirman dalam sebuah hadits qudsi yang artinya, “Sesungguhnya Aku menurut persangkaan baik hamba-Ku kepada-Ku.” (Muttafaq ‘alaih). Padahal tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya persangkaan baik itu seharusnya melahirkan amal yang baik pula.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Bersangka baik terhadap Allah pada hakikatnya adalah dengan memperbaiki amal itu sendiri, karena sesungguhnya hamba terdorong membaguskan amalnya apabila dia memiliki husnuzhan kepada Rabbnya dan dia yakin Allah akan membalas amal-amalnya serta memberikannya pahala atas itu semua dan menerima amal itu darinya, semakin baik persangkaannya terhadap Allah maka semakin bagus pula amalnya, kalau tidak demikian maka husnuzhan saja dengan disertai mengikuti hawa nafsu adalah kelemahan… dan kebanyakan orang yang jahil menyandarkan dirinya kepada rahmat Allah, ampunan dan kemurahan-Nya dan melupakan bahwasanya Dia Maha keras hukumannya, dan mereka lupa kalau “Tidak ada yang bisa menolak siksa-Nya terhadap kaum yang berbuat dosa” dan barang siapa yang bersandar kepada ampunan Allah sementara dia masih terus menerus di dalam dosanya maka dia itu telah berani menobatkan diri sebagai penentang kebijakan Allah.
Terperdaya dengan curahan nikmat
Banyak manusia yang mengira dirinya berada di atas kebaikan dan dia termasuk orang yang selamat dan pemilik kebahagiaan pada hari kiamat disebabkan apa yang dilihatnya berupa nikmat-nikmat Allah yang dicurahkan kepadanya selama di dunia sehingga dia mengatakan, “Seandainya bukan karena Allah ‘azza wa jalla ridha kepadaku niscaya Dia tidak akan menganugerahkan nikmat-nikmat ini.” Si miskin ini meyakini kalau nikmat-nikmat ini datang dengan sebab kecintaan Allah kepadanya, dan dia merasa akan mendapat pemberian di akhirat yang lebih baik dari itu semua, padahal dia senantiasa bergelimang dalam kemaksiatan terhadap Allah, terjerumus dalam perkara-perkara yang diharamkan Allah dan ini merupakan sikap terperdaya/ghurur yang banyak manusia terjatuh ke dalamnya, bahkan kebanyakan masyarakat. Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila kamu melihat Allah ‘Azza wa Jalla melimpahkan kepada seorang hamba segala sesuatu yang disukainya di dunia sementara dia bergelimang kemaksiatan maka sesungguhnya itu adalah istidraaj” kemudian beliau membaca firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka telah bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’aam: 44) (Hadits riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani)
Sebagian salaf mengatakan, “Apabila kamu melihat Allah terus menurunkan nikmat-Nya kepadamu sementara kamu bergelimang kemaksiatan kepada-Nya maka waspadalah, karena sesungguhnya itu adalah istidraaj yang ditimpakan kepadamu” Allah ta’ala telah membantah orang yang menyimpan persangkaan seperti ini dengan firman-Nya yang artinya, “Adapun manusia jika Rabbnya mengujinya dengan memuliakannya dan memberikan nikmat kepadanya dia berkata Rabbku telah memuliakanku, adapun jika Rabbnya mengujinya dengan membatasi rizkinya dia berkata Rabbku telah menghinakan aku, sekali-kali tidak demikian.” (QS. al-Fajr: 15-17) artinya tidak semua orang yang Ku-karuniai nikmat (dunia) dan
Ku-lapangkan rizkinya pasti orang yang Ku-muliakan, dan tidak setiap orang yang Ku-uji dan Ku-sempitkan rizkinya pasti orang yang Ku-hinakan, bahkan sebenarnya Aku menguji orang yang satu ini dengan nikmat-nikmat dan memuliakan yang satunya dengan adanya ujian. (Pembahasan ‘Waspadai pemahaman Murji’ah’ dst. diambil dari Kutaib ‘Isyruuna ‘Uqbatan fii Thoriiqil Muslim, dengan sedikit perubahan)
Sebab-sebab bertambahnya keimanan
Di antara hal-hal yang akan menumbuhsuburkan keimanan dan membuat batangnya kokoh serta menyebabkan tunas-tunasnya bersemi adalah:
Di antara sebab-sebab yang bisa menyebabkan keimanan seorang hamba menjadi turun dan surut atau bahkan menjadi hilang dan lenyap adalah sebagai berikut:
Menyambut ajal
Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat menemui seorang pemuda yang sedang dalam kondisi menjelang maut. Beliau bertanya: “Bagaimana kau dapatkan dirimu?” Dia menjawab: “Aku berharap kepada Allah wahai Rasulullah. Dan aku takut akan dosa-dosaku.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah dua hal ini terkumpul dalam hati seorang hamba dalam kesempatan semacam ini kecuali Allah akan memberikan apa yang diharapkannya dan akan menyelamatkannya dari bahaya yang ditakutkannya.” (HR. Tirimidzi (983), Ibnu Majah (4261) dinilai hasan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, 2/420, lihat Hushulul Ma’muul, hal. 81-82)
Alhamdulillaahilladziibini’matihi tatimmushshalihaat
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Roja’ berarti mengharapkan. Apabila dikatakan rojaahu maka artinya ammalahu: dia mengharapkannya (lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/333) Syaikh Utsaimin berkata: “Roja’ adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek.” (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 57-58) Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata: “Asal makna roja’ adalah menginginkan atau menantikan sesuatu yang disenangi…” (Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Khouf artinya perasaan takut yang muncul terhadap sesuatu yang mencelakakan, berbahaya atau mengganggu (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 56)
Makna roja’ dan khouf secara istilah
Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum beriman. Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan…” (Thariqul Wushul, hal. 136) Adapun roghbah ialah rasa suka mendapatkan sesuatu yang dicintai (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 59). Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan harapan yang sangat kuat tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan roghbah (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)
Sedangkan makna khouf secara istilah adalah rasa takut dengan berbagai macam jenisnya, yaitu: khouf thabi’i, dan lain sebagainya (akan ada penjelasannya nanti insya Allah) Adapun khosyah serupa maknanya dengan khouf walaupun sebenarnya ia memiliki makna yang lebih khusus daripada khouf karena khosyah diiringi oleh ma’rifatullah ta’ala. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Faathir: 28) Oleh sebab itu khosyah adalah rasa takut yang diiringi ma’rifatullah. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun aku, demi Allah… sesungguhnya aku adalah orang yang paling khosyah kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya.” (HR. Bukhari, 5063, Muslim, 1108) Madaarijus Salikin,1/512, dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Ar Raaghib berkata: Khosyah adalah khouf yang tercampuri dengan pengagungan. Mayoritas hal itu muncul didasarkan pada pengetahuan terhadap sesuatu yang ditakuti… (Al Mufradaat hal 149, dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 89) Adapun rohbah adalah khouf yang diikuti dengan tindakan meninggalkan sesuatu yang ditakuti, dengan begitu ia adalah khouf yang diiringi amalan… (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)
Peranan roja’ dan khouf
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya penggerak hati menuju Allah ‘azza wa jalla ada tiga: Al-Mahabbah (cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’ (harap). Yang terkuat di antara ketiganya adalah mahabbah. Sebab rasa cinta itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Hal itu dikarenakan kecintaan adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia maupun di akhirat. Berbeda dengan takut. Rasa takut itu nanti akan lenyap di akhirat (bagi orang yang masuk surga, pent). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih yang akan menyertai mereka.” (QS. Yunus: 62) Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bisa menahan dan mencegah supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan kebenaran. Adapun rasa cinta, maka itulah faktor yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan menuju sosok yang dicintai-Nya.
Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung pada kuat-lemahnya rasa cinta. Adanya rasa takut akan membantunya untuk tidak keluar dari jalan menuju sosok yang dicintainya, dan rasa harap akan menjadi pemacu perjalanannya. Ini semua merupakan kaidah yang sangat agung. Setiap hamba wajib memperahtikan hal itu…” (Majmu’ Fatawa,1/95-96, dinukil dari Hushulul Ma’muul, hal. 82-83). Syaikh Zaid bin Hadi berkata: “Khouf dan roja’ saling beriringan. Satu sama lain mesti berjalan beriringan sehingga seorang hamba berada dalam keadaan takut kepada Allah ‘azza wa jalla dan khawatir tertimpa siksa-Nya serta mengharapkan curahan rahmat-Nya…” (Taisirul Wushul, hal. 136. lihat juga Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 60)
Apabila rasa takut hilang
Syaikhul Islam berkata: “Apabila seorang insan tidak merasa takut kepada Allah maka dia akan memperturutkan hawa nafsunya. Terlebih lagi apabila dia sedang menginginkan sesuatu yang gagal diraihnya. Karena nafsunya menuntutnya memperoleh sesuatu yang bisa menyenangkan diri serta menyingkirkan gundah gulana dan kesedihannya. Dan ternyata hawa nafsunya tidak bisa merasa senang dan puas dengan cara berdzikir dan beribadah kepada Allah maka dia pun memilih mencari kesenangan dengan hal-hal yang diharamkan yaitu berbuat keji, meminum khamr dan berkata dusta…” (Majmu’ Fatawa, 1/54,55) dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal.77)
Roja’ dan khouf yang terpuji
Syaikh Al ‘Utsaimin berkata: “Ketahuilah, roja’ yang terpuji hanya ada pada diri orang yang beramal taat kepada Allah dan berharap pahala-Nya atau bertaubat dari kemaksiatannya dan berharap taubatnya diterima, adapun roja’ tanpa disertai amalan adalah roja’ yang palsu, angan-angan belaka dan tercela.” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58) Syaikhul Islam berkata: “Khouf yang terpuji adalah yang dapat menghalangi dirimu dari hal-hal yang diharamkan Allah. “Sebagian ulama salaf mengatakan: “Tidaklah seseorang terhitung dalam jajaran orang yang takut (kepada Allah) sementara dirinya tidak dapat meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan.” (Al Mufradaat fii Ghariibul Qur’an hal. 162 dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79)
Roja’ dan khouf adalah ibadah
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang diseru oleh mereka itu justru mencari jalan perantara menuju Rabb mereka siapakah di antara mereka yang bisa menjadi orang paling dekat kepada-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya.” (QS. al-Israa’: 57) Allah menceritakan kepada kita melalui ayat yang mulia ini bahwa sesembahan yang dipuja selain Allah oleh kaum musyrikin yaitu para malaikat dan orang-orang shalih mereka sendiri mencari kedekatan diri kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan ibadah, mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya dengan diiringi harapan terhadap rahmat-Nya dan mereka menjauhi larangan-larangan-Nya dengan diiringi rasa takut tertimpa azab-Nya karena setiap orang yang beriman tentu akan merasa khawatir dan takut tertimpa hukuman-Nya (lihat Al Jadiid, hal. 71) Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maka janganlah kalian takut kepada mereka (wali setan), dan takutlah kepada-Ku, jika kalian beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 175) Di dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh merasa takut kepada para wali syaithan dan juga tidak boleh takut kepada manusia sebagaimana Allah ta’ala nyatakan, “Janganlah kamu takut kepada manusia dan takutlah kepada-Ku.” (QS. al-Maa’idah: 44) Rasa takut kepada Allah diperintahkan sedangkan takut kepada wali syaithan adalah sesuatu yang terlarang (Majmu’ Fatawa, 1/57 dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 78)
Roja’ yang disertai dengan ketundukan dan perendahan diri
Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Roja’ yang disertai dengan perendahan diri dan ketundukan tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Memalingkan roja’ semacam ini kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa jadi syirik ashghar dan bisa jadi syirik akbar tergantung pada isi hati orang yang berharap itu…” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)
Mengendalikan khouf dan roja’
Syaikh Al ‘Utsaimin pernah ditanya: “Bagaimanakah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam urusan roja’ dan khouf ?” Beliau menjawab: “Para ulama berlainan pendapat apakah seseorang harus mendahulukan roja’ ataukah khouf ke dalam beberapa pendapat: Imam Ahmad rahimahullah berpendapat: “Seyogyanya rasa takut dan harapnya seimbang, tidak boleh dia mendominasikan takut dan tidak boleh pula mendominasikan roja’.” Beliau rahimahullah berkata: “Karena apabila ada salah satunya yang lebih mendominasi maka akan binsalah orangnya.” Karena orang yang keterlaluan dalam berharap akan terjatuh dalam sikap merasa aman dari makar Allah. Dan apabila dia keterlaluan dalam hal takut maka akan terjatuh dalam sikap putus asa terhadap rahmat Allah. Sebagian ulama berpendapat: “Seyogyanya harapan lebih didominasikan tatkala berbuat ketaatan dan didominasikan takut ketika muncul keinginan berbuat maksiat.” Karena apabila dia berbuat taat maka itu berarti dia telah melakukan penyebab tumbuhnya prasangka baik (kepada Allah) maka hendaknya dia mendominasikan harap yaitu agar amalnya diterima. Dan apabila dia bertekad untuk bermaksiat maka hendaknya ia mendominasikan rasa takut agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat.
Sebagian yang lain mengatakan: “Hendaknya orang yang sehat memperbesar rasa takutnya sedangkan orang yang sedang sakit memperbesar rasa harap.” Sebabnya adalah orang yang masih sehat apabila memperbesar rasa takutnya maka dia akan jauh dari perbuatan maksiat. Dan orang yang sedang sakit apabila memperbesar sisi harapnya maka dia akan berjumpa dengan Allah dalm kondisi berbaik sangka kepada-Nya. Adapun pendapat saya sendiri dalam masalah ini adalah: hal ini berbeda-beda tergantung kondisi yang ada. Apabila seseorang dikhawatirkan dengan lebih condong kepada takut membuatnya berputus asa dari rahmat Allah maka hendaknya ia segera memulihkan harapannya dan menyeimbangkannya dengan rasa harap. Dan apabila dikhawatirkan dengan lebih condong kepada harap maka dia merasa aman dari makar Allah maka hendaknya dia memulihkan diri dan menyeimbangkan diri dengan memperbesar sisi rasa takutnya. Pada hakikatnya manusia itu adalah dokter bagi dirinya sendiri apabila hatinya masih hidup. Adapun orang yang hatinya sudah mati dan tidak bisa diobati lagi serta tidak mau memperhatikan kondisi hatinya sendiri maka yang satu ini bagaimanapun cara yang ditempuh tetap tidak akan sembuh.” (Fatawa Arkanil Islam, hal. 58-59)
Macam-macam khouf
Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan, Takut itu ada tiga macam:1. Khouf thabi’i seperti halnya orang takut hewan buas, takut api, takut tenggelam, maka rasa takut semacam ini tidak membuat orangnya dicela…. akan tetapi apabila rasa takut ini …. menjadi sebab dia meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan maka hal itu haram.
2. Khouf ibadah yaitu seseorang merasa takut kepada sesuatu sehingga membuatnya tunduk beribadah kepadanya maka yang seperti ini tidak boleh ada kecuali ditujukan kepada Allah ta’ala. Adapun menujukannya kepada selain Allah adalah syirik akbar.
3. Khouf sirr seperti halnya orang takut kepada penghuni kubur atau wali yang berada di kejauhan serta tidak bisa mendatangkan pengaruh baginya akan tetapi dia merasa takut kepadanya maka para ulama pun menyebutnya sebagai bagian dari syirik. (lihat Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 57)
Waspadai pemahaman Murji’ah
Kebanyakan manusia terjatuh di dalamnya kecuali orang-orang yang dirahmati Allah. Yaitu apabila seorang insan tidak lagi menyadari bahwa kemaksiatan itu membahayakan agama, kehidupan dunia dan akhiratnya. Padahal sesungguhnya maksiat adalah penyebab turunnya murka Allah padanya dan dia akan menghadapi berbagai macam bencana karenanya, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya, “Dan bencana apapun yang menimpamu maka sesungguhnya itu terjadi karena ulah tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak kesalahan.” (QS. asy-Syuura: 30). Meskipun demikian, ternyata banyak manusia dikalahkan oleh hawa nafsunya sehingga diapun melakukan berbagai kemaksiatan dan keburukan, terkadang disertai dengan menggantungkan harapannya terhadap pemaafan dan ampunan dari Allah, dan terkadang dengan cara menunda-nunda taubat, terkadang dengan cara beristighfar lisannya akan tetapi senantiasa mengulangi kemaksiatannya, atau terkadang dengan cara menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang disunnahkan (sementara yang wajib diabaikan -pent) atau dengan cara beralasan dengan takdir, dan kebanyakan orang mengira seandainya dia berbuat dosa apapun lantas dia mengucapkan Astahghfirullah maka dengan begitu dosanya akan sirna tanpa menyisakan bekas sesudahnya.
Iman terdiri dari keyakinan, ucapan dan perbuatan
Faktor penyebab mereka terjatuh dalam kesalahan seperti itu adalah karena mereka meyakini bahwa iman itu maknanya sekedar tashdiq/pembenaran saja, dan tidak ada kemaksiatan yang dapat membahayakan keberadaan tashdiq selama iman ada di hati mereka. Sedangkan hakikat keimanan menurut para pengikut kebenaran tegak di atas tiga pilar: Keyakinan dengan hati, Ucapan dengan lisan, Perbuatan dengan anggota badan. Dan amal perbuatan itu termasuk dalam substansi keimanan, iman bisa bertambah dan bisa berkurang, bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.
Harapan yang dusta
Para pelaku maksiat itu berdalil dengan beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi (untuk menutupi kesalahan mereka -pent) seperti dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa” (QS. az-Zumar: 53). Ibnul Qayyim mengatakan, “Pernyataan ini termasuk kebodohan yang paling buruk, sebab syirikpun termasuk dalam cakupan ayat ini padahal dia adalah biangnya dosa dan pokoknya.
Dan tidak ada perselisihan di kalangan para ulama bahwasanya ayat ini berlaku bagi orang-orang yang bertaubat. Karena Allah mengampuni dosa setiap orang yang bertaubat dari dosa apapun yang telah dilakukannya. Kalaulah seandainya ayat ini berlaku bagi orang-orang yang tidak bertaubat niscaya nash-nash (dalil) yang berisi ancaman seluruhnya tidak ada gunanya … di dalam surat an-Nisaa’ Allah mengkhususkan dan memberikan catatan dengan firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan itu bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’: 48) di sini Allah ta’ala memberitakan bahwa Dia tidak mengampuni dosa syirik, dan memberitakan kalau dosa yang berada di bawahnya diampuni. Kalau seandainya ayat ini berbicara tentang orang yang bertaubat niscaya tidak perlu dibedakan antara syirik dan selainnya.”
Neraka untuk orang kafir
Di antara mereka (orang-orang murji’ah -pent) ada yang berdalih: ‘Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memberitakan kalau neraka itu “Disiapkan untuk orang-orang kafir” (QS. al-Baqarah: 24) dan aku bukan termasuk golongan mereka, aku hanya termasuk orang yang bermaksiat saja karena itulah maka neraka bukan disiapkan untuk orang-orang semacam aku’. Pemahaman anak-anak tentu lebih baik daripada pemahaman mereka itu; sebab disiapkannya neraka untuk orang-orang kafir tidak berarti meniadakan masuknya orang-orang fasiq dan zhalim, sebagaimana tatkala Allah berfirman tentang Surga yang artinya, “Disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Dan maksud ayat ini bukan berarti orang yang di dalam hatinya hanya memiliki keimanan sebesar biji sawi tidak memasukinya, padahal nash-nash yang shahih mengabarkan tentang hal itu. Kalaulah mereka mau menggabungkan nash-nash ini niscaya mereka akan terbebas dari belenggu kebodohan ini. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barang siapa yang durhaka terhadap Allah dan rasul-Nya dan melanggar batas-batas-Nya niscaya dia akan dimasukkan ke dalam neraka kekal di dalamnya dan dia berhak menerima siksa yang menghinakan.” (QS. an-Nisaa’: 14).
Lalu apakah yang akan mereka katakan terhadap ayat ini?! Hanya saja kita bukanlah termasuk orang yang membenturkan ayat al-Qur’an satu dengan yang lainnya sehingga kita tidak mengatakan bahwa setiap orang yang bermaksiat itu kekal di dalam neraka; karena kekal di dalam neraka itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang kafir dan musyrik. Dan juga karena sesungguhnya ahli tauhid apabila diputuskan Allah menerima siksa di neraka akibat kemaksiatan mereka maka mereka pada akhirnya akan dikeluarkan darinya dan tidak akan tersisa lagi di dalam neraka satu orangpun ahli tauhid.
-bersambung insya Allah-
Bentuk-bentuk ketertipuan/ghurur
Salah satu sumber kebodohan dan ketertipuan mereka itu adalah ketika mereka mengandalkan sebagian amal perbuatan yang utama seperti yang tercantum dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang mengucapkan subhaanallaahi wa bihamdihi 100 kali setiap hari niscaya dihapuskan kesalahan-kesalahannya meskipun banyak sekali seperti buih di lautan.” (Muttafaq ‘alaih).
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah ‘Azza wa Jalla mengenai seorang yang berbuat dosa lalu beristighfar, “Hamba-Ku tahu bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum karenanya, Aku telah ampuni hamba-Ku dan hendaklah dia berbuat apa saja yang dikehendakinya.” (Muttafaq ‘alaih). Dan juga seperti ketertipuan sebagian dari mereka yang mengandalkan amalan puasa ‘Asyuraa’ atau hari Arafah sampai-sampai ada di antara mereka yang berkata, “Puasa hari ‘Asyuraa’ menghapuskan dosa setahun seluruhnya maka tinggallah puasa arafah sebagai tambahan pahala.”
Orang yang tertipu ini tidak menyadari bahwa puasa Ramadhan dan shalat lima waktu yang jelas lebih agung dan lebih mulia daripada puasa hari ‘Arafah dan puasa hari ‘Asyuraa’ tidak akan dapat menghapuskan dosa-dosa kecil kecuali apabila dosa-dosa besar ditinggalkan! Sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat lima waktu yang satu dengan lainnya, ibadah Jumat menuju Jumat yang lain, Ramadhan menuju Ramadhan sesudahnya, menjadi penghapus dosa-dosa selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim)
Maka Ramadhan menuju Ramadhan sesudahnya dan shalat Jumat yang satu menuju Jumat berikutnya tidaklah mampu menghapuskan dosa-dosa kecil kecuali disertai dengan meninggalkan dosa besar seluruhnya, sehingga kedua perkara ini bisa saling menguatkan satu dengan yang lain. Lalu bagaimana mungkin puasa sunnah atau ucapan subhaanallaahi wa bihamdihi 100 kali yang dikerjakan bisa menghapus dosa-dosa besar yang dilakukan hamba sedangkan dia tetap melanjutkan kemaksiatannya tanpa pernah bertaubat kepada-Nya? Ini sesuatu yang amat mustahil. Terus menerus melakukan dosa-dosa besar menghalangi penghapusan dosa, dan karena itulah tidak ada alasan bagi orang yang mengatakan, “Aku akan berbuat dosa semauku, kemudian aku ucapkan subhaanallaahi wa bihamdihi 100 kali sehingga lenyaplah seluruh dosa yang telah kuperbuat.”
Atau dengan mengatakan, “Aku akan melakukan dosa lantas pergi ke Mekkah dan menunaikan umrah sehingga hilanglah semua dosa yang ada pada diriku.” Ini termasuk sikap ghurur/tertipu, dan hal itu sebenarnya merupakan tindakan lancang kepada Allah ta’ala.
Husnuzhan adalah membaguskan amal
Sebagian di antara mereka terkadang mengatakan, “Sesungguhnya kita ini bersangka baik kepada Rabb kita, sebab Allah telah berfirman dalam sebuah hadits qudsi yang artinya, “Sesungguhnya Aku menurut persangkaan baik hamba-Ku kepada-Ku.” (Muttafaq ‘alaih). Padahal tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya persangkaan baik itu seharusnya melahirkan amal yang baik pula.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Bersangka baik terhadap Allah pada hakikatnya adalah dengan memperbaiki amal itu sendiri, karena sesungguhnya hamba terdorong membaguskan amalnya apabila dia memiliki husnuzhan kepada Rabbnya dan dia yakin Allah akan membalas amal-amalnya serta memberikannya pahala atas itu semua dan menerima amal itu darinya, semakin baik persangkaannya terhadap Allah maka semakin bagus pula amalnya, kalau tidak demikian maka husnuzhan saja dengan disertai mengikuti hawa nafsu adalah kelemahan… dan kebanyakan orang yang jahil menyandarkan dirinya kepada rahmat Allah, ampunan dan kemurahan-Nya dan melupakan bahwasanya Dia Maha keras hukumannya, dan mereka lupa kalau “Tidak ada yang bisa menolak siksa-Nya terhadap kaum yang berbuat dosa” dan barang siapa yang bersandar kepada ampunan Allah sementara dia masih terus menerus di dalam dosanya maka dia itu telah berani menobatkan diri sebagai penentang kebijakan Allah.
Terperdaya dengan curahan nikmat
Banyak manusia yang mengira dirinya berada di atas kebaikan dan dia termasuk orang yang selamat dan pemilik kebahagiaan pada hari kiamat disebabkan apa yang dilihatnya berupa nikmat-nikmat Allah yang dicurahkan kepadanya selama di dunia sehingga dia mengatakan, “Seandainya bukan karena Allah ‘azza wa jalla ridha kepadaku niscaya Dia tidak akan menganugerahkan nikmat-nikmat ini.” Si miskin ini meyakini kalau nikmat-nikmat ini datang dengan sebab kecintaan Allah kepadanya, dan dia merasa akan mendapat pemberian di akhirat yang lebih baik dari itu semua, padahal dia senantiasa bergelimang dalam kemaksiatan terhadap Allah, terjerumus dalam perkara-perkara yang diharamkan Allah dan ini merupakan sikap terperdaya/ghurur yang banyak manusia terjatuh ke dalamnya, bahkan kebanyakan masyarakat. Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila kamu melihat Allah ‘Azza wa Jalla melimpahkan kepada seorang hamba segala sesuatu yang disukainya di dunia sementara dia bergelimang kemaksiatan maka sesungguhnya itu adalah istidraaj” kemudian beliau membaca firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka telah bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’aam: 44) (Hadits riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani)
Sebagian salaf mengatakan, “Apabila kamu melihat Allah terus menurunkan nikmat-Nya kepadamu sementara kamu bergelimang kemaksiatan kepada-Nya maka waspadalah, karena sesungguhnya itu adalah istidraaj yang ditimpakan kepadamu” Allah ta’ala telah membantah orang yang menyimpan persangkaan seperti ini dengan firman-Nya yang artinya, “Adapun manusia jika Rabbnya mengujinya dengan memuliakannya dan memberikan nikmat kepadanya dia berkata Rabbku telah memuliakanku, adapun jika Rabbnya mengujinya dengan membatasi rizkinya dia berkata Rabbku telah menghinakan aku, sekali-kali tidak demikian.” (QS. al-Fajr: 15-17) artinya tidak semua orang yang Ku-karuniai nikmat (dunia) dan
Ku-lapangkan rizkinya pasti orang yang Ku-muliakan, dan tidak setiap orang yang Ku-uji dan Ku-sempitkan rizkinya pasti orang yang Ku-hinakan, bahkan sebenarnya Aku menguji orang yang satu ini dengan nikmat-nikmat dan memuliakan yang satunya dengan adanya ujian. (Pembahasan ‘Waspadai pemahaman Murji’ah’ dst. diambil dari Kutaib ‘Isyruuna ‘Uqbatan fii Thoriiqil Muslim, dengan sedikit perubahan)
Sebab-sebab bertambahnya keimanan
Di antara hal-hal yang akan menumbuhsuburkan keimanan dan membuat batangnya kokoh serta menyebabkan tunas-tunasnya bersemi adalah:
- Mengenali nama-nama dan sifat-sifat Allah, karena apabila pengetahuan hamba terhadap Tuhannya semakin dalam dan berhasil membuahkan berbagai konsekuensi yang diharapkan maka pastilah keimanan, rasa cinta dan pengagungan dirinya kepada Allah juga akan semakin meningkat dan menguat.
- Merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun ayat syar’iyah. Karena apabila seorang hamba terus menerus memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah beserta kemahakuasaan-Nya dan hikmah-Nya yang sangat elok itu maka tidak syak lagi niscaya keimanan dan keyakinannya akan semakin bertambah kuat.
- Senantiasa berbuat ketaatan demi mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Karena sesungguhnya pasang surut keimanan itu juga tergantung pada kebaikan, jenis dan jumlah amalan. Apabila suatu amal memiliki nilai lebih baik di sisi Allah maka peningkatan iman yang dihasilkan darinya juga akan semakin besar. Sedangkan standar kebaikan amal itu diukur dengan keikhlasan dan konsistensi untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila dilihat dari sisi jenis amalan, maka amal itu terbagi menjadi amal yang wajib dan amal sunnah. Sedangkan amal wajib tentu lebih utama daripada amal sunnah apabila ditinjau dari jenisnya. Begitu pula ada sebagian amal ketaatan lebih ditekankan daripada amal yang lainnya. Sehingga apabila suatu ketaatan termasuk jenis ketaatan yang lebih utama maka niscaya pertambahan iman yang diperoleh darinya juga semakin besar. Demikian pula iman akan mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan jumlah/kuantitas amalan. Karena amal itu adalah bagian dari iman maka bertambahnya amal tentu saja akan berakibat bertambahnya keimanan.
- Meninggalkan kemaksiatan karena merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Apabila keinginan dan faktor pendukung untuk melakukan suatu perbuatan atau ucapan maksiat semakin kuat pada diri seseorang maka meninggalkannya ketika itu akan memiliki dampak yang sangat besar dalam memperkuat dan meningkatkan kualitas iman di dalam dirinya. Karena kemampuannya untuk meninggalkan maksiat itu menunjukkan kekuatan iman serta ketegaran hatinya untuk tetap mengedepankan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya daripada keinginan hawa nafsunya. (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 104-105)
Di antara sebab-sebab yang bisa menyebabkan keimanan seorang hamba menjadi turun dan surut atau bahkan menjadi hilang dan lenyap adalah sebagai berikut:
- Bodoh tentang Allah ta’ala, tidak mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya
- Lalai dan memalingkan diri dari rambu-rambu agama, tidak memperhatikan ayat-ayat Allah dan hukum-hukum-Nya, baik yang bersifat kauni maupun syar’i. Sesungguhnya kelalaian dan sikap tidak mau tahu semacam itu pasti akan membuat hati menjadi sakit atau bahkan mati karena belitan syubhat dan jeratan syahwat yang merasuki hati dan sekujur tubuhnya.
- Berbuat atau mengutarakan ucapan maksiat. Oleh karena itulah iman akan turun, melemah dan surut sebanding dengan tingkatan maksiat, jenisnya, kondisi hati orang yang melakukannya serta kekuatan faktor pendorongnya. Iman akan banyak sekali berkurang dan menjadi sangat lemah apabila seorang hamba terjerumus dalam dosa besar, jauh lebih parah dan lebih mengenaskan daripada apabila dia terjerembab dalam dosa kecil. Berkurangnya keimanan karena kejahatan membunuh tentu lebih besar daripada akibat mengambil harta orang. Sebagaimana iman akan lebih banyak berkurang dan lebih lemah karena dua buah maksiat daripada akibat melakukan satu maksiat. Demikianlah seterusnya. Dan apabila seorang hamba yang bermaksiat menyimpan perasaan meremehkan atau menyepelekan dosa di dalam hatinya serta diiringi rasa takut kepada Allah yang sangat minim maka tentu saja pengurangan dan keruntuhan iman yang ditimbulkan juga semakin besar dan semakin berbahaya apabila dibandingkan dengan maksiat yang dilakukan oleh orang yang masih menyimpan rasa takut kepada Allah tetapi tidak mampu menguasai diri untuk tidak melakukan maksiat. Dan apabila dilihat dari sisi kekuatan faktor pendorong yang dimiliki orang maka penyusutan iman yang terjadipun berbeda. Apabila suatu maksiat terjadi pada diri orang yang faktor pendorongnya semakin lemah atau semakin kecil maka penurunan iman yang ditimbulkannya juga akan semakin besar, semakin parah dan lebih tercela daripada orang yang bermaksiat tapi memang padanya terdapat faktor pendorong yang lebih kuat dan lebih besar. Oleh sebab itulah orang miskin yang sombong dan orang tua bangka yang berzina dosanya lebih besar daripada dosa orang kaya yang sombong dan perbuatan zina seorang yang masih muda. Hal itu sebagaimana dikisahkan di dalam hadits, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dan tidak akan diperhatikan oleh-Nya pada hari kiamat.” Dan di antara mereka itu adalah orang tua beruban yang berzina dan orang miskin yang sombong. Meninggalkan ketaatan, baik berupa keyakinan, ucapan maupun amalan fisik. Sebab iman akan semakin banyak berkurang apabila ketaatan yang ditinggalkan juga semakin besar. Apabila nilai suatu ketaatan semakin penting dan semakin prinsip maka meninggalkannya pun akan mengakibatkan penyusutan dan keruntuhan iman yang semakin besar dan mengerikan. Bahkan terkadang dengan meninggalkannya bisa membuat pelakunya kehilangan iman secara total, sebagaimana orang yang meninggalkan shalat sama sekali. Perlu diperhatikan pula bahwa meninggalkan ketaatan itu terbagi menjadi dua. Pertama, ada yang menyebabkan hukuman atau siksa yaitu apabila yang ditinggalkan adalah berupa kewajiban dan tidak ada alasan yang hak untuk meninggalkannya. Kedua, sesuatu yang tidak akan mendatangkan hukuman dan siksa karena meninggalkannya, seperti: meninggalkan kewajiban karena uzur syar’i (berdasarkan ketentuan agama) atau hissi (berdasarkan sebab yang terindera), atau tidak melakukan amal yang hukumnya mustahab/sunnah. Contoh untuk orang yang meninggalkan kewajiban karena uzur syar’i atau hissi adalah perempuan yang tidak shalat karena haidh. Sedangkan contoh orang yang meninggalkan amal mustahab/sunnah adalah orang yang tidak mengerjakan shalat Dhuha (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 105-106)
Menyambut ajal
Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat menemui seorang pemuda yang sedang dalam kondisi menjelang maut. Beliau bertanya: “Bagaimana kau dapatkan dirimu?” Dia menjawab: “Aku berharap kepada Allah wahai Rasulullah. Dan aku takut akan dosa-dosaku.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah dua hal ini terkumpul dalam hati seorang hamba dalam kesempatan semacam ini kecuali Allah akan memberikan apa yang diharapkannya dan akan menyelamatkannya dari bahaya yang ditakutkannya.” (HR. Tirimidzi (983), Ibnu Majah (4261) dinilai hasan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, 2/420, lihat Hushulul Ma’muul, hal. 81-82)
Alhamdulillaahilladziibini’matihi tatimmushshalihaat
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Fluktuasi Keimanan
Sebab-sebab bertambahnya keimanan
Di antara hal-hal yang akan menumbuhsuburkan keimanan dan membuat batangnya kokoh serta menyebabkan tunas-tunasnya bersemi adalah :
Pertama
Mengenali nama-nama dan sifat-sifat Allah, karena apabila pengetahuan hamba terhadap Tuhannya semakin dalam dan berhasil membuahkan berbagai konsekuensi yang diharapkan maka pastilah keimanan, rasa cinta dan pengagungan dirinya kepada Allah juga akan semakin meningkat dan menguat.
Kedua
Merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun ayat syar’iyah. Karena apabila seorang hamba terus menerus memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah beserta kemahakuasaan-Nya dan hikmah-Nya yang sangat elok itu maka tidak syak lagi niscaya keimanan dan keyakinannya akan semakin bertambah kuat.
Ketiga
Senantiasa berbuat ketaatan demi mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Karena sesungguhnya pasang surut keimanan itu juga tergantung pada kebaikan, jenis dan jumlah amalan. Apabila suatu amal memiliki nilai lebih baik di sisi Allah maka peningkatan iman yang dihasilkan darinya juga akan semakin besar. Sedangkan standar kebaikan amal itu diukur dengan keikhlasan dan konsistensi untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila dilihat dari sisi jenis amalan, maka amal itu terbagi menjadi amal yang wajib dan amal sunnah. Sedangkan amal wajib tentu lebih utama daripada amal sunnah apabil ditinjau dari jenisnya.
Begitu pula ada sebagian amal ketaatan lebih ditekankan daripada amal yang lainnya. Sehingga apabila suatu ketaatan termasuk jenis ketaatan yang lebih utama maka niscaya pertambahan iman yang diperoleh darinya juga semakin besar. Demikian pula iman akan mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan jumlah/kuantitas amalan. Karena amal itu adalah bagian dari iman maka bertambahnya amal tentu saja akan berakibat bertambahnya keimanan.
Keempat
Meninggalkan kemaksiatan karena merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Apabila keinginan dan faktor pendukung untuk melakukan suatu perbuatan atau ucapan maksiat semakin kuat pada diri seseorang maka meninggalkannya ketika itu akan memiliki dampak yang sangat besar dalam memperkuat dan meningkatkan kualitas iman di dalam dirinya. Karena kemampuannya untuk meninggalkan maksiat itu menunjukkan kekuatan iman serta ketegaran hatinya untuk tetap mengedepankan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya daripada keinginan hawa nafsunya. (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 104-105)
Sebab-sebab berkurangnya keimanan
Di antara sebab-sebab yang bisa menyebabkan keimanan seorang hamba menjadi turun dan surut atau bahkan menjadi hilang dan lenyap adalah sebagai berikut :
Pertama
Bodoh tentang Allah ta’ala, tidak mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya
Kedua
Lalai dan memalingkan diri dari rambu-rambu agama, tidak memperhatikan ayat-ayat Allah dan hukum-hukum-Nya, baik yang bersifat kauni maupun syar’i. Sesungguhnya kelalaian dan sikap tidak mau tahu semacam itu pasti akan membuat hati menjadi sakit atau bahkan mati karena belitan syubhat dan jeratan syahwat yang merasuki hati dan sekujur tubuhnya.
Ketiga
Berbuat atau mengutarakan ucapan maksiat. Oleh karena itulah iman akan turun, melemah dan surut sebanding dengan tingkatan maksiat, jenisnya, kondisi hati orang yang melakukannya serta kekuatan faktor pendorongnya. Iman akan banyak sekali berkurang dan menjadi sangat lemah apabila seorang hamba terjerumus dalam dosa besar, jauh lebih parah dan lebih mengenaskan daripada apabila dia terjerembab dalam dosa kecil. Berkurangnya keimanan karena kejahatan membunuh tentu lebih besar daripada akibat mengambil harta orang. Sebagaimana iman akan lebih banyak berkurang dan lebih lemah karena dua buah maksiat daripada akibat melakukan satu maksiat. Demikianlah seterusnya. Dan apabila seorang hamba yang bermaksiat menyimpan perasaan meremehkan atau menyepelekan dosa di dalam hatinya serta diiringi rasa takut kepada Allah yang sangat minim maka tentu saja pengurangan dan keruntuhan iman yang ditimbulkan juga semakin besar dan semakin berbahaya apabila dibandingkan dengan maksiat yang dilakukan oleh orang yang masih menyimpan rasa takut kepada Allah tetapi tidak mampu menguasai diri untuk tidak melakukan maksiat. Dan apabila dilihat dari sisi kekuatan faktor pendorong yang dimiliki orang maka penyusutan iman yang terjadipun berbeda. Apabila suatu maksiat terjadi pada diri orang yang faktor pendorongnya semakin lemah atau semakin kecil maka penurunan iman yang ditimbulkannya juga akan semakin besar, semakin parah dan lebih tercela daripada orang yang bermaksiat tapi memang padanya terdapat faktor pendorong yang lebih kuat dan lebih besar. Oleh sebab itulah orang miskin yang sombong dan orang tua bangka yang berzina dosanya lebih besar daripada dosa orang kaya yang sombong dan perbuatan zina seorang yang masih muda.
Hal itu sebagaimana dikisahkan di dalam hadits, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dan tidak akan diperhatikan oleh-Nya pada hari kiamat.” Dan di antara mereka itu adalah orang tua beruban yang berzina dan orang miskin yang sombong.
Keempat
Meninggalkan ketaatan, baik berupa keyakinan, ucapan maupun amalan fisik. Sebab iman akan semakin banyak berkurang apabila ketaatan yang ditinggalkan juga semakin besar. Apabila nilai suatu ketaatan semakin penting dan semakin prinsip maka meninggalkannya pun akan mengakibatkan penyusutan dan keruntuhan iman yang semakin besar dan mengerikan. Bahkan terkadang dengan meninggalkannya bisa membuat pelakunya kehilangan iman secara total, sebagaimana orang yang meninggalkan shalat sama sekali.
Perlu diperhatikan pula bahwa meninggalkan ketaatan itu terbagi menjadi dua. Pertama, ada yang menyebabkan hukuman atau siksa yaitu apabila yang ditinggalkan adalah berupa kewajiban dan tidak ada alasan yang hak untuk meninggalkannya. Kedua, sesuatu yang tidak akan mendatangkan hukuman dan siksa karena meninggalkannya, seperti : meninggalkan kewajiban karena udzur syar’i (berdasarkan ketentuan agama) atau hissi (berdasarkan sebab yang terindera), atau tidak melakukan amal yang hukumnya mustahab/sunnah. Contoh untuk orang yang meninggalkan kewajiban karena udzur syar’i atau hissi adalah perempuan yang tidak shalat karena haidh. Sedangkan contoh orang yang meninggalkan amal mustahab/sunnah adalah orang yang tidak mengerjakan shalat Dhuha (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 105-106)
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Di antara hal-hal yang akan menumbuhsuburkan keimanan dan membuat batangnya kokoh serta menyebabkan tunas-tunasnya bersemi adalah :
Pertama
Mengenali nama-nama dan sifat-sifat Allah, karena apabila pengetahuan hamba terhadap Tuhannya semakin dalam dan berhasil membuahkan berbagai konsekuensi yang diharapkan maka pastilah keimanan, rasa cinta dan pengagungan dirinya kepada Allah juga akan semakin meningkat dan menguat.
Kedua
Merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun ayat syar’iyah. Karena apabila seorang hamba terus menerus memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah beserta kemahakuasaan-Nya dan hikmah-Nya yang sangat elok itu maka tidak syak lagi niscaya keimanan dan keyakinannya akan semakin bertambah kuat.
Ketiga
Senantiasa berbuat ketaatan demi mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Karena sesungguhnya pasang surut keimanan itu juga tergantung pada kebaikan, jenis dan jumlah amalan. Apabila suatu amal memiliki nilai lebih baik di sisi Allah maka peningkatan iman yang dihasilkan darinya juga akan semakin besar. Sedangkan standar kebaikan amal itu diukur dengan keikhlasan dan konsistensi untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila dilihat dari sisi jenis amalan, maka amal itu terbagi menjadi amal yang wajib dan amal sunnah. Sedangkan amal wajib tentu lebih utama daripada amal sunnah apabil ditinjau dari jenisnya.
Begitu pula ada sebagian amal ketaatan lebih ditekankan daripada amal yang lainnya. Sehingga apabila suatu ketaatan termasuk jenis ketaatan yang lebih utama maka niscaya pertambahan iman yang diperoleh darinya juga semakin besar. Demikian pula iman akan mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan jumlah/kuantitas amalan. Karena amal itu adalah bagian dari iman maka bertambahnya amal tentu saja akan berakibat bertambahnya keimanan.
Keempat
Meninggalkan kemaksiatan karena merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Apabila keinginan dan faktor pendukung untuk melakukan suatu perbuatan atau ucapan maksiat semakin kuat pada diri seseorang maka meninggalkannya ketika itu akan memiliki dampak yang sangat besar dalam memperkuat dan meningkatkan kualitas iman di dalam dirinya. Karena kemampuannya untuk meninggalkan maksiat itu menunjukkan kekuatan iman serta ketegaran hatinya untuk tetap mengedepankan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya daripada keinginan hawa nafsunya. (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 104-105)
Sebab-sebab berkurangnya keimanan
Di antara sebab-sebab yang bisa menyebabkan keimanan seorang hamba menjadi turun dan surut atau bahkan menjadi hilang dan lenyap adalah sebagai berikut :
Pertama
Bodoh tentang Allah ta’ala, tidak mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya
Kedua
Lalai dan memalingkan diri dari rambu-rambu agama, tidak memperhatikan ayat-ayat Allah dan hukum-hukum-Nya, baik yang bersifat kauni maupun syar’i. Sesungguhnya kelalaian dan sikap tidak mau tahu semacam itu pasti akan membuat hati menjadi sakit atau bahkan mati karena belitan syubhat dan jeratan syahwat yang merasuki hati dan sekujur tubuhnya.
Ketiga
Berbuat atau mengutarakan ucapan maksiat. Oleh karena itulah iman akan turun, melemah dan surut sebanding dengan tingkatan maksiat, jenisnya, kondisi hati orang yang melakukannya serta kekuatan faktor pendorongnya. Iman akan banyak sekali berkurang dan menjadi sangat lemah apabila seorang hamba terjerumus dalam dosa besar, jauh lebih parah dan lebih mengenaskan daripada apabila dia terjerembab dalam dosa kecil. Berkurangnya keimanan karena kejahatan membunuh tentu lebih besar daripada akibat mengambil harta orang. Sebagaimana iman akan lebih banyak berkurang dan lebih lemah karena dua buah maksiat daripada akibat melakukan satu maksiat. Demikianlah seterusnya. Dan apabila seorang hamba yang bermaksiat menyimpan perasaan meremehkan atau menyepelekan dosa di dalam hatinya serta diiringi rasa takut kepada Allah yang sangat minim maka tentu saja pengurangan dan keruntuhan iman yang ditimbulkan juga semakin besar dan semakin berbahaya apabila dibandingkan dengan maksiat yang dilakukan oleh orang yang masih menyimpan rasa takut kepada Allah tetapi tidak mampu menguasai diri untuk tidak melakukan maksiat. Dan apabila dilihat dari sisi kekuatan faktor pendorong yang dimiliki orang maka penyusutan iman yang terjadipun berbeda. Apabila suatu maksiat terjadi pada diri orang yang faktor pendorongnya semakin lemah atau semakin kecil maka penurunan iman yang ditimbulkannya juga akan semakin besar, semakin parah dan lebih tercela daripada orang yang bermaksiat tapi memang padanya terdapat faktor pendorong yang lebih kuat dan lebih besar. Oleh sebab itulah orang miskin yang sombong dan orang tua bangka yang berzina dosanya lebih besar daripada dosa orang kaya yang sombong dan perbuatan zina seorang yang masih muda.
Hal itu sebagaimana dikisahkan di dalam hadits, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dan tidak akan diperhatikan oleh-Nya pada hari kiamat.” Dan di antara mereka itu adalah orang tua beruban yang berzina dan orang miskin yang sombong.
Keempat
Meninggalkan ketaatan, baik berupa keyakinan, ucapan maupun amalan fisik. Sebab iman akan semakin banyak berkurang apabila ketaatan yang ditinggalkan juga semakin besar. Apabila nilai suatu ketaatan semakin penting dan semakin prinsip maka meninggalkannya pun akan mengakibatkan penyusutan dan keruntuhan iman yang semakin besar dan mengerikan. Bahkan terkadang dengan meninggalkannya bisa membuat pelakunya kehilangan iman secara total, sebagaimana orang yang meninggalkan shalat sama sekali.
Perlu diperhatikan pula bahwa meninggalkan ketaatan itu terbagi menjadi dua. Pertama, ada yang menyebabkan hukuman atau siksa yaitu apabila yang ditinggalkan adalah berupa kewajiban dan tidak ada alasan yang hak untuk meninggalkannya. Kedua, sesuatu yang tidak akan mendatangkan hukuman dan siksa karena meninggalkannya, seperti : meninggalkan kewajiban karena udzur syar’i (berdasarkan ketentuan agama) atau hissi (berdasarkan sebab yang terindera), atau tidak melakukan amal yang hukumnya mustahab/sunnah. Contoh untuk orang yang meninggalkan kewajiban karena udzur syar’i atau hissi adalah perempuan yang tidak shalat karena haidh. Sedangkan contoh orang yang meninggalkan amal mustahab/sunnah adalah orang yang tidak mengerjakan shalat Dhuha (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 105-106)
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Subscribe to:
Posts (Atom)