In Picture: Makkah di Mata Snouck Hurgronje
Foto-foto dari Mekkah, yang belum pernah dipublikasi, kini dikumpulkan di buku Rijksmuseum Amsterdam. Foto dibuat di abad ke-19 oleh ilmuwan Belanda Christiaan Snouck Hurgronje.
Hurgronje salah satu orang Barat pertama masuk kota Mekkah. Di zaman itu orang Barat dilarang ke Mekkah. Ia satu-satunya orang Barat yang pernah mengunjungi kota suci dengan menyamar. Snouck Hurgronje diperbolehkan mengunjungi Mekkah, karena telah masuk Islam. Nama Islamnya Abdul Ghaffar.
Hingga sekarang tidak jelas apakah Snouck Hurgronje benar-benar seorang muslim saleh. Yang pasti, ia salah satu orang Belanda pertama yang menyadari betapa pentingnya mengerti lebih banyak tentang Islam, karena di zaman itu Hindia Belanda yang Islam - Indonesia sekarang - adalah jajahan penting Belanda.
Di antara foto-foto yang dikumpulkan dalam buku itu, ada enam foto yang menarik perhatian. Foto itu dibuat Snouck Hurgronje secara diam-diam dengan kamera kecil. Foto itu dipublikasikan dalam buku Durkje van der Wal, Christiaan Snouck Hurgronje, The First Western Photographer in Mecca, 1884-1885. Buku foto ini merupakan bagian dari serial 'Rijksmuseum Studies in Photography'.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/11/04/28/lkceq3-makkah-di-mata-snouck-hurgronje
Alam Kubur Itu Benar Adanya
Alam kubur adalah awal kehidupan hakiki dari seorang manusia. Mempelajari apa-apa yang terjadi di alam kubur banyak memberikan faedah. Seseorang yang mengetahui bahwa di alam kubur ada nikmat kubur tentu akan berusaha sebisa mungkin selama ia masih hidup agar menjadi orang yang layak mendapatkan nikmat kubur kelak. Seseorang yang mengetahui bahwa di alam kubur ada adzab kubur juga akan berusaha sebisa mungkin agar ia terhindar darinya kelak. Nikmat dan adzab kubur adalah perkara gaib yang tidak terindera oleh manusia. Manusia yang merasakannya pun tentu tidak dapat mengabarkan kepada yang masih hidup akan kebenarannya. Maka satu-satunya sumber keyakinan kita akan adanya adzab dan nikmat kubur adalah dalil Qur’an dan Sunnah. Dan banyak sekali dalil dari Qur’an dan As Sunnah serta ijma’ para sahabat dan tabi’in yang menetapkan adanya alam kubur. Namun sebagian orang dari kalangan ahlul bid’ah mengingkarinya karena penyimpangan mereka dalam memahami dalil-dalil syar’i.
Dalam artikel ini akan kami paparkan beberapa dalil yang menetapkan adanya adzab dan nikmat kubur serta pembahasan mengenai beberapa kerancuan yang beredar seputar masalah ini.
DALIL AL QUR’AN
Dalil 1
Al Hafidz Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, “Arwah Fir’aun dan pengikutnya dihadapkan ke neraka setiap pagi dan petang terus-menerus hingga datang hari kiamat. Ketika kiamat datang barulah arwah dan jasad mereka sama-sama merasakan api neraka”. Beliau juga berkata, “Ayat-ayat ini adalah landasan kuat bagi Ahlussunnah tentang adanya adzab kubur” (Tafsir Al Qur’an Azhim, 7/146). Hal ini juga senada dengan penjelasan jumhur ahli tafsir seperti Mujahid (dinukil dari An Nukat Wal’Uyun, 4/39), Al Alusi (Ruuhul Ma’ani, 18/103), Asy Syaukani (Fathul Qadir, 6/328), Al Baidhawi (Anwar At Tanziil, 5/130), Muhammad Amin Asy Syinqithi (Adhwa’ Al Bayan, 7/82), Abdurrahman As Sa’di (Taisiir Kariim Ar Rahman, 738).
Memang benar bahwa ada penafsiran lain terhadap ayat ini. Qatadah menafsirkan bahwa maksud ayat (yang artinya) ‘Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang‘ adalah taubiikh atau penghinaan terhadap Fir’aun dan pengikutnya dalam keadaan mereka masih hidup. Penafsiran ini walaupun tidak menetapkan adanya adzab kubur namun tidak menafikannya. Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu menafsirkan bahwa arwah mereka ada di sayap burung hitam yang bertengger di atas neraka yang datang di kala sore dan pagi hari (dinukil dari An Nukat Wal’Uyun, 4/39). Penafsiran Ibnu Abbas ini pus menetapkan adanya alam kubur.
Ahli tafsir yang terpengaruh permikiran mu’tazilah pun membantah bahwa ayat ini membicarakan adzab kubur semisal Az Zamakhsyari (Al Kasyaf, 6/118) dan Fakhruddin ArRazi (Mafatihul Ghaib, 13/342), dengan sebatas bantahan logika semata. Maka, -insya Allah- penafsiran yang tepat adalah yang kami sebutkan di awal karena bersesuaian dengan dalil lain dari Al Qur’an dan Hadits yang akan kami sebutkan nanti. Karena antara dalil itu saling menafsirkan dan tidak mungkin saling bertentangan.
Dalil 2
Al Imam Al Bukhari rahimahullah, dalam Shahih-nya membuat judul bab باب مَا جَاءَ فِى عَذَابِ الْقَبْرِ (Bab dalil-dalil tentang adzab kubur) lalu beliau menyebutkan ayat di atas.
Seorang pakar tafsir di zaman ini, Syaikh Abdurrahman As Sa’di -rahimahullah- menjelaskan, “Ayat ini adalah dalil adanya adzab dan nikmat kubur. Karena dari konteks kalimat, adzab yang ditujukan kepada orang-orang kafir tersebut dirasakan ketika sakaratul maut, ketika dicabut nyawa dan setelahnya” (Taisiir Kariim Ar Rahman, 264)
Dalil 3
Al Hafidz Ibnu Katsir memaparkan, “Allah Ta’ala mengabarkan bahwa para syuhada itu hidup di alam barzakh dalam keadaan senantiasa diberi rizki oleh Allah, sebagaimana dalam hadits yang terdapat pada Shahih Muslim….(lalu beliau menyebutkan haditsnya)” (Tafsir Al Qur’an Azhim, 1/446). Mengenai keadaan para syuhada yang setelah wafat mendapat kenikmatan di sisi Allah di alam barzakh adalah pendapat jumhur mufassirin, di antaranya Mujahid, Qatadah, Abu Ja’far, ‘Ikrimah (Lihat Tafsir Ath Thabari, 3/214), Jalalain (160), Al Baghawi (Ma’alim At Tanzil, 168), Al Alusi (Ruuhul Ma’ani, 2/64), dll. Mereka hanya berbeda pendapat tentang bagaimana bentuk rizki atau kesenangan tersebut.
Ayat ini sejalan dengan ayat 45-46 pada surat Ghafir (surat Al Mu’min) yang disebutkan di atas. Sebagaimana penjelasan dari Al Hasan Al Bashri, “Para syuhada itu hidup di sisi Allah, mereka dihadapkan kepada surga sehingga mereka pun merasakan kesenangan dan kebahagiaan. Sebagaimana arwah Fir’aun dan kaumnya yang dihadapkan ke neraka setiap pagi dan sore hari sehingga mereka merasakan kesengsaraan” (dinukil dari Ma’alim At Tanzil, 168). Artinya, para syuhada merasakan kebahagiaan dan kesenangan di alam barzakh sebagaimana Fir’aun merasakan kesengsaraan juga di alam barzakh.
Dan masih banyak lagi dalil dari Al Qur’an Al Kariim yang menetapkan adzab kubur sekiranya kita mau merujuk pada penjelasan para ulama.
DALIL AS SUNNAH
Dalil 4
Dalam Silsilah Ahadits Shahihah pada hadits nomor 158-159, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani -rahimahullah- menjelaskan bahwa hadits ini memiliki beberapa syawahid, yaitu dari jalan Zaid bin Tsabit (HR. Muslim 7392) dan dari jalan Jabir bin Abdillah (HR. Ahmad 14185, Al Albani berkata: “Shahih muttashil sesuai persyaratan Imam Muslim”).
Setelah itu beliau memberikan penjelasan penting, beliau berkata:
“Dari beberapa hadits di atas terdapat banyak faidah, yang paling penting diantaranya:
Pertama, menetapkan adanya adzab kubur, dan hadits-hadits tentang hal ini mutawatir. Maka tidak ada lagi kerancuan bila ada yang meng-klaim bahwa hadits-hadits tentang hal ini adalah hadits Ahad.
Pun andaikata memang benar hadits-haditsnya adalah Ahad, tetap wajib mengimaninya karena Al Qur’an telah menunjukkan kebenarannya. (Kemudian Syaikh membawakan surat Ghafir ayat 45-46).
Pun andaikata memang benar bahwa permasalahan adzab kubur tidak ada dalam Al Qur’an, hadits-hadits shahih yang ada sudah cukup untuk menetapakan akidah tentang adzab kubur ini. Klaim bahwa perkara aqidah tidak bisa ditetapkan dengan hadits Ahad yang shahih adalah klaim yang batil yang diselipkan ke dalam ajaran Islam. Tidak ada imam yang mengatakan pendapat demikian, tidak tidak katakan oleh imam madzhab yang empat atau semisal mereka. Pendapat ini hanya dikemukakan oleh ulama ahli kalam yang sama sekali tidak didasari oleh dalil” (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/244)
Beliau juga mengatakan, “Adanya pertanyaan dua Malaikat di alam kubur adalah benar adanya. Wajib untuk mengimaninya. Hadits tentang hal ini pun mutawatir.” (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/244)
Dalil 5
Hadits ini juga menunjukkan bahwa ‘Aisyah Radhiallahu’anha meyakini adanya adzab kubur setelah diberitahu oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Dalil 6
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
Ini adalah dalil Al Qur’an sekaligus As Sunnah. Karena merupakan bukti bahwa surat Ibrahim ayat 27 berbicara tentang adzab kubur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang menafsirkan demikian.
Dalil 7
Dan masih banyak lagi dalil dari hadits-hadits yang shahih mengenai adzab kubur, artikel ini tentu bisa berpuluh-puluh halaman jika kami bawakan semua.
IJMA SAHABAT
Dalil 8
Utsman bin Affan Radhiallahu’anhu berkata:
Utsman Radhiallahu’anhu berkata, ‘Aku tidak pernah memandang sesuatu yang lebih mengerikan dari kuburan’” (HR. Tirmidzi 2308, ia berkata: “Hasan Gharib”, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Futuhat Rabbaniyyah, 4/192)
Juga sebagaimana telah lewat, ‘Aisyah, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Sa’id Al Khudriy, Jabir bin Abdillah radhiallahum jamii’an, mereka semua mengimani adanya adzab kubur. Imam Abul Hasan Ali bin Isma’il Al Asy’ari -rahimahullah- berkata:
[Artikel selanjutnya akan membahas syubhat-syubhat dari pada penolak adanya adzab kubur]
- Bersambung -
Beberapa Syubhat dan Jawabannya
SYUBHAT 1: Beberapa ayat Qur’an menunjukkan tidak adanya adzab dan nikmat kubur
Sebelumnya, dalam membahas syubhat ini kita perlu meyakini bahwa Al Qur’an dan hadits itu adalah kebenaran, dan tidak ada kebenaran yang saling bertentangan. Allah Ta’ala berfirman:
Begitu juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu, sebagaimana firman Allah:
Maka, Al Qur’an tidak akan bertentangan dengan Al Qur’an, Al Qur’an pun tidak akan bertentangan dengan hadits dan hadits tidak akan bertentangan dengan hadits. Dengan kata lain, ayat Al Qur’an saling menafsirkan, demikian juga ayat Al Qur’an dan hadits saling menafsirkan. Oleh karena itulah kita hendaknuya merujuk kepada para ulama, karena merekalah yang mampu mendudukan ayat dengan ayat, hadits dengan hadits serta ayat dengan hadits sesuai tempatnya sehingga jelas bahwa tidak ada pertentangan.
Ayat pertama
Jika orang yang mati dikatakan ‘tidur’ setelah ia mati sampai hari kebangkitan, maka tentu tidak ada adzab kubur atau nikmat kubur. Demikian logika ahlul bid’ah yang menolak adanya adzab kubur, dan memang demikianlah mereka memahami ayat-ayat Allah dengan logika tanpa merujuk kepada ahlinya.
Padahal, kalau kita merujuk para ahli tafsir dari kalangan sahabat sampai ulama mu’ashiriin, Ubay bin Ka’ab -radhiallahu’anhu- , Khaitsamah, Mujahid dan Qatadah menafsirkan maksud dari ‘tidur’ dalam ayat ini adalah: “Tidur sejenak sebelum dibangkitkan dari kubur”. Qatadah juga menambahkan: “Itu terjadi di antara dua tiupan sangkakala” (Lihat Tafsir Ath Thabari, 20/532). Al Hafidz Ibnu Katsir juga menjelaskan: “Ayat ini tidak menafikan adanya adzab kubur, karena jika dibandingkan dengan apa yang terjadi setelahnya, yang terjadi di alam kubur seperti tidur” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 6/581).
Ayat kedua
Dalam ayat ini dikatakan Allah memberi tangguh, artinya tidak mengadzab mereka, sampai hari dimana mata manusia terbelalak, yaitu hari kiamat. Demikian logika mereka.
Padahal jika kita menilik penjelasan para ulama tafsir, Al Hafidz Ibnu Katsir menjelaskan makna ‘Allah memberi tangguh kepada mereka‘ : “dikatakan demikian karena begitu ‘ngerinya’ keadaan mereka di hari kiamat” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 4/515). Al Baghawi menafsirkan: “Tidak akan menimpa mereka kengerian semisal yang akan mereka dapatkan di hari kiamat” (Ma’alim At Tanzil, 4/359). Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Jadi jelas bahwa karena begitu jauhnya perbandingan antara siksa kubur dengan siksa mereka kelak di hari kiamat, hingga ketika mereka masih disiksa di alam kubur dianggap masih dalam masa penangguhan.
Sebagian ulama memang menafsirkan secara mutlak bahwa maknanya adalah ‘mereka tidak akan mendapat adzab hingga hari kiamat’, namun yang dimaksud adalah sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Katsir dan Al Baghawi di atas. Karena faktanya, sebagian orang kafir bahkan diadzab ketika mereka masih hidup. Dan perlu dicatat, para ahli tafsir yang menafsirkan secara mutlak demikian tidak ada yang memahami bahwa ayat ini menafikan adzab kubur. Jadi memahami ayat ini dengan pemahaman para penolak adanya adzab kubur, adalah pemahaman baru yang tidak ada pendahulunya, serta bertentangan dengan ratusan dalil.
Ayat ketiga
Menurut logika para penolak adanya adzab kubur, berdasarkan ayat ini, antara matinya seorang manusia dengan hari kebangkitan itu hanya terasa sesaat saja, hingga seorang manusia merasakan seolah setelah mati tiba-tiba sudah dibangkitkan. Maka tidak ada alam kubur yang dia merasakan adzab atau nikmat.
Para ahli tafsir menjelaskan mengenai makna ’sesaat’, Al Baidhawi berkata, “Maksudnya adalah masa di alam kubur dianggap terlalu sebentar jika dibandingkan dengan lamanya siksaan mereka di akhirat kelak. Atau penafsiran yang lain, mereka lupa akan lamanya berada di alam kubur” (Anwar At Tanziil, 4/488).
Sebagian ahli tafsir memaknai bahwa maksudnya adalah masa ketika hidup di dunia, Al Baghawi mengatakan, “Maksudnya adalah masa di dunia dianggap terlalu sebentar dibandingkan dengan akhirat” (Ma’alim At Tanzil, 6/278). Seluruh tafsiran di atas tidak ada yang bertentangan dengan dalil-dalil adanya adzab kubur.
Dan sekali lagi perlu di catat, tidak ada ahli tafsir yang memahami bahwa ayat ini menafikan adanya adzab kubur. Menunjukkan bahwa ayat ini dengan dalil-dalil shahih tentang adanya adzab kubur tidaklah bertentangan.
Demikianlah beberapa ayat yang menjadi ’syubhat’ karena dipahami secara salah oleh para pengikut hawa nafsu. Tidak menutup kemungkinan adanya ayat lain yang mereka gunakan untuk melariskan pemahaman menyimpang mereka, namun cukuplah kita meyakini bahwa di antara dalil tidak ada yang saling bertentangan.
SYUBHAT 2: Hadits-hadits tentang adanya adzab dan nikmat kubur adalah hadits ahad, sedangkan hadits ahad bukan hujjah dalam masalah aqidah
Penjelasan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani -rahimahullah- yang sudah kami kutip sebelumnya sudah mewakili dalam menjawab syubhat ini. Ringkasnya, hadits-hadits tentang adanya adzab kubur itu mutawatir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Mutawatir terbagi menjadi ‘aam dan khas. Bagi para ulama yang paham hadits dan fiqih ada hadits-hadits mutawatir bagi mereka yang tidak dianggap mutawatir oleh orang awam. Semisal hadits tentang sujud sahwi, kewajiban syuf’ah, kewajiban membayar diyat bagi yang berakal, kewajiban merajam pezina yang muhshan, hadits-hadits ru’yah, adzab kubur, ….. ” (Majmu’ Fatawa, 18/69)
Namun perlu digaris-bawahi pula, andaikan hadits-hadits tentang alam kubur atau tentang masalah lain adalah hadits Ahad pun tetap merupakan hujjah. Penjelasan rinci mengenai hal ini akan mencakup banyak bab dari ilmu ushul fiqh yang tidak mungkin kami paparkan pada kesempatan ini. Semoga beberapa poin di bawah ini cukup memberikan pencerahan bahwa hadits Ahad adalah hujjah, baik dalam masalah aqidah atau bukan:
Keyakinan bahwa masalah aqidah harus ditetapkan dengan hadits mutawatir itu sendiri merupakan sebuah aqidah (keyakinan) dalam agama. Kalau mereka konsisten, hendaknya mereka mendatangkan dalil yang mutawatir tentang adanya aqidah tersebut dalam Islam.
SYUBHAT 3: Beberapa ulama menilai hadits ahad bernilai zhan, sehingga mereka pun tidak mengimani adzab kubur
Syubhat ini adalah turunan dari syubhat kedua. Dalam tulisan-tulisan mereka yang menolak adanya adzab kubur, mereka mengutip beberapa pernyataan sebagian ulama ahlussunnah yang menganggap hadits ahad hanya bernilai zhan dan tidak bernilai ilmu. Sehingga mengesankan bahwa sebagian ulama tersebut juga tidak mengimani adanya adzab kubur. Inilah kecurangan mereka dalam berargumentasi.
Memang benar terjadi ikhtilaf di antara para ulama tentang apakah hadits Ahad bernilai zhan, ataukah bernilai ilmu, ataukah bernilai ilmu namun dengan syarat. Namun mereka sepakat beramal dengan hadits Ahad, sebagaimana telah kami sampaikan pernyataan ijma dalam hal ini. Memang juga sebagian ulama, mengatakan bahwa terhadap hadits Ahad, wajib beramal dengannya namun tidak diyakini. Namun hal ini pada hakekatnya hanyalah ikhtilaf lafzhi, karena setiap dalil dari Al Qur’an dan sunnah yang shahih adalah hujjah yang wajib diyakini kebenarannya dan diamalkan. Bagaimana mungkin seseorang diperintah untuk beramal tanpa meyakini apa yang dia amalkan?
Semisal hadits tentang meminta perlindungan dari adzab kubur setiap selesai shalat:
Bagaimana mungkin dengan dasar hadits ini, dikatakan bahwa disunnahkan membaca doa tersebut setiap sebelum salam ketika shalat namun tidak boleh meyakini isinya?? Dari sini terlihat jelas bahwa memisahkan permasalahan hukum dan aqidah dalam pembahasan hadits Ahad adalah perkara yang aneh.
Diantara nama ulama yang sering di-’catut’ untuk melariskan pemahaman mereka adalah Al Imam Al Bukhari. Pasalnya, dalam kitab Shahih Bukhari beliau menulis judul bab:
Al Bukhari tidak menyebutkan i’tiqad atau ‘aqaa-id dalam kalimat tersebut, sehingga diklaim bahwa beliau tidak berhujjah dengan hadits ahad dalam masalah aqidah. Padahal faktanya, Al Bukhari banyak meriwayatkan hadits-hadits Ahad dalam masalah aqidah di Shahih Bukhari. Adapun judul bab yang beliau buat demikian, justru untuk membantah orang-orang yang menolak kehujjahan hadits ahad secara umum. Dan yang paling penting dan perlu digarisbawahi adalah, Imam Al Bukhari mengimani adzab kubur. Sebagaimana telah kami singgung pada bagian dalil-dalil Al Qur’an.
Selain beliau, Al Imam Ibnu Hajar Al Asqalani pun seringkali di-’catut’ dengan cara demikian. Padahal beliau dalam kitab Fathul Baari, menyetujui aqidah Imam Al Bukhari dalam mengimani adzab kubur dan menyelisihi orang-orang yang menafikannya. Ketika beliau mengomentari kalimat:
Selebihnya, nama-nama ulama yang mereka sebutkan untuk melariskan pemahaman menyimpang mereka, biasanya berasal dari kalangan ulama yang terpengaruh ilmu kalam atau pemikiran mu’tazilah.
SYUBHAT 4: Dilalah ayat yang dianggap menafikan adzab kubur adalah qath’i, sedangkan dilalah ayat dan hadits yang menetapkan adzab kubur adalah zhanni
Dari surat Yasin ayat 52, mereka memahami bahwa jika orang yang mati dikatakan ‘tidur’ setelah ia mati sampai hari kebangkitan, maka tentu tidak ada adzab kubur atau nikmat kubur. Lalu mereka mengatakan bahwa pendalilan ayat ini adalah pendalilan yang qath’i (tegas dan jelas), atau dilalah qath’iyyah. Sedangkan surat Ghafir (Al Mu’min) ayat 45-46 tentang Fir’aun dan kaumnya setelah matinya mereka dinampakkan neraka setiap pagi dan sore, jika ayat ini digunakan sebagai dalil untuk membenarkan adanya adzab kubur maka pendalilannya tidak qath’i, tidak tegas, belum jelas maksudnya atau dilalah zhanniyyah.
Terlebih lagi terdapat perselisihan di antara para ulama apakah yang dimaksud surat Ghafir ayat 45-46 atau semisalnya itu dirasakan oleh ruh dan jasad atau keduanya sekaligus. Perselisihan ini menambah ketidak-tegasan pendalilan ayat tersebut. Sehingga akhirnya mereka, dengan modal akal mereka, mengambil ayat dengan dilalah qath’iyyah menurut logika mereka, lalu menutup mata (baca:membuang) terhadap dalil yang menurut mereka memiliki dilalah zhanniyyah. Subhanallah!
Orang yang berpenyakit hati gemar mempermainkan dalil
Dari syubhat yang ke 4 ini akan terlihat sekali bagaimana mereka mendewakan akal dalam memahami dalil-dalil syariat. Dengan akal pula mereka mementahkan dalil lain yang tidak bersesuaian dengan hawa nafsu mereka. Padahal dalil syar’i tidak ada yang bertentangan dan semua dalil wajib kita imani dan amalkan. Orang-orang yang dipuji Allah dengan ilmu berkata:
Mengambil dalil yang sesuai dengan seleranya, lalu membuang dalil yang tidak sesuai dengan seleranya adalah sikap orang-orang yang terdapat penyakit di dalam hatinya. Allah Ta’ala berfirman:
Zhanni dan Qath’i itu nisbi
Penilaian qath’i atau zhanni terhadap sesuatu itu nisbi atau relatif. Bagi sebagian orang sesuatu itu qath’i, namun bagi yang lain zhanni. Dalam hal menilai sebuah dalil itu qathi atu zhanni, relatifitas di sini bergantung kepada:
Maka, apa yang mereka (ahlul bid’ah) klaim zhanni, ternyata bagi para ulama adalah perkara yang qath’i. Disebabkan kedangkalan akal mereka dan hawa nafsu yang terlanjur membutakan akal mereka.
Merujuk kepada ahli ilmu dalam memahami dalil
Dalam kasus di atas, ahlul bid’ah mempertentangkan dalil-dalil karena dalam memahami dalil mereka hanya mengandalkan logika semata, sama sekali enggan merujuk kepada penjelasan ulama. Padahal dalam surat Al Imran ayat 7 di atas, Allah telah mengisyaratkan bahwa untuk memahami dalil secara sempurna tanpa menolak sebagian dalil adalah dengan mengembalikannya kepada ahli ilmu yang raasikh (mendalam ilmunya). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
Karena para ulama memahami dalil dengan dalil, menafsirkan dalil dengan atsar sahabat Nabi, tabi’in serta orang yang mengikuti mereka, yang merupakan generasi terbaik dan paling paham terhadap Qur’an dan Sunnah.
Dan faktanya, ketika kita mengembalikannya kepada ulama, tidak ditemukan adanya pertentangan di antara dalil-dalil di atas. Ulama ahli tafsir mengatakan bahwa Surat Ghafir (Al Mu’min) ayat 45-46 menetapkan adanya adzab kubur berdasarkan tafsir dari Mujahid rahimahullah, seorang tabi’in yang dijuluki imamul mufassir, juga riwayat dari ulama mufassir (pakar tafsir) yang lain. Juga karena bersesuaian dengan hadits-hadits shahih yang mencapai derajat mutawatir. Pendalilan yang berdasarkan hadits shahih serta atsar salaf ini tentu lebih utama dan lebih agung dibanding pendalilan berdasarkan ra’yu (logika). Dan pendalilan yang demikian ini adalah pendalilan yang qath’i.
Sedangkan surat Yasin ayat 52, berdasarkan riwayat dari seorang sahabat Nabi, Ubay bin Ka’ab -radhiallahu’anhu- , juga dari para tabi’in yaitu Khaitsamah, Mujahid dan Qatadah -radhiallahu’anhum- tafsiran ‘tidur‘ dalam ayat ini adalah: “Tidur sejenak sebelum dibangkitkan dari kubur”. Sehingga ayat ini tidak menafikan adanya adzab kubur. Sekali lagi, pendalilan dengan atsar salaf ini tentu merupakan pendalilan yang qath’i. Walhasil, tidak ada pertentangan di antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, walillahilhamdu.
—
Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id
Dalam artikel ini akan kami paparkan beberapa dalil yang menetapkan adanya adzab dan nikmat kubur serta pembahasan mengenai beberapa kerancuan yang beredar seputar masalah ini.
DALIL AL QUR’AN
Dalil 1
وَحَاقَ بِآَلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آَلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Firaun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Firaun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras”.” (QS. Ghafir/ Al Mu’min: 45-46)Al Hafidz Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, “Arwah Fir’aun dan pengikutnya dihadapkan ke neraka setiap pagi dan petang terus-menerus hingga datang hari kiamat. Ketika kiamat datang barulah arwah dan jasad mereka sama-sama merasakan api neraka”. Beliau juga berkata, “Ayat-ayat ini adalah landasan kuat bagi Ahlussunnah tentang adanya adzab kubur” (Tafsir Al Qur’an Azhim, 7/146). Hal ini juga senada dengan penjelasan jumhur ahli tafsir seperti Mujahid (dinukil dari An Nukat Wal’Uyun, 4/39), Al Alusi (Ruuhul Ma’ani, 18/103), Asy Syaukani (Fathul Qadir, 6/328), Al Baidhawi (Anwar At Tanziil, 5/130), Muhammad Amin Asy Syinqithi (Adhwa’ Al Bayan, 7/82), Abdurrahman As Sa’di (Taisiir Kariim Ar Rahman, 738).
Memang benar bahwa ada penafsiran lain terhadap ayat ini. Qatadah menafsirkan bahwa maksud ayat (yang artinya) ‘Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang‘ adalah taubiikh atau penghinaan terhadap Fir’aun dan pengikutnya dalam keadaan mereka masih hidup. Penafsiran ini walaupun tidak menetapkan adanya adzab kubur namun tidak menafikannya. Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu menafsirkan bahwa arwah mereka ada di sayap burung hitam yang bertengger di atas neraka yang datang di kala sore dan pagi hari (dinukil dari An Nukat Wal’Uyun, 4/39). Penafsiran Ibnu Abbas ini pus menetapkan adanya alam kubur.
Ahli tafsir yang terpengaruh permikiran mu’tazilah pun membantah bahwa ayat ini membicarakan adzab kubur semisal Az Zamakhsyari (Al Kasyaf, 6/118) dan Fakhruddin ArRazi (Mafatihul Ghaib, 13/342), dengan sebatas bantahan logika semata. Maka, -insya Allah- penafsiran yang tepat adalah yang kami sebutkan di awal karena bersesuaian dengan dalil lain dari Al Qur’an dan Hadits yang akan kami sebutkan nanti. Karena antara dalil itu saling menafsirkan dan tidak mungkin saling bertentangan.
Dalil 2
{وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آَيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ
“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu”. Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (QS. Al An’am: 93)Al Imam Al Bukhari rahimahullah, dalam Shahih-nya membuat judul bab باب مَا جَاءَ فِى عَذَابِ الْقَبْرِ (Bab dalil-dalil tentang adzab kubur) lalu beliau menyebutkan ayat di atas.
Seorang pakar tafsir di zaman ini, Syaikh Abdurrahman As Sa’di -rahimahullah- menjelaskan, “Ayat ini adalah dalil adanya adzab dan nikmat kubur. Karena dari konteks kalimat, adzab yang ditujukan kepada orang-orang kafir tersebut dirasakan ketika sakaratul maut, ketika dicabut nyawa dan setelahnya” (Taisiir Kariim Ar Rahman, 264)
Dalil 3
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al Baqarah: 154)Al Hafidz Ibnu Katsir memaparkan, “Allah Ta’ala mengabarkan bahwa para syuhada itu hidup di alam barzakh dalam keadaan senantiasa diberi rizki oleh Allah, sebagaimana dalam hadits yang terdapat pada Shahih Muslim….(lalu beliau menyebutkan haditsnya)” (Tafsir Al Qur’an Azhim, 1/446). Mengenai keadaan para syuhada yang setelah wafat mendapat kenikmatan di sisi Allah di alam barzakh adalah pendapat jumhur mufassirin, di antaranya Mujahid, Qatadah, Abu Ja’far, ‘Ikrimah (Lihat Tafsir Ath Thabari, 3/214), Jalalain (160), Al Baghawi (Ma’alim At Tanzil, 168), Al Alusi (Ruuhul Ma’ani, 2/64), dll. Mereka hanya berbeda pendapat tentang bagaimana bentuk rizki atau kesenangan tersebut.
Ayat ini sejalan dengan ayat 45-46 pada surat Ghafir (surat Al Mu’min) yang disebutkan di atas. Sebagaimana penjelasan dari Al Hasan Al Bashri, “Para syuhada itu hidup di sisi Allah, mereka dihadapkan kepada surga sehingga mereka pun merasakan kesenangan dan kebahagiaan. Sebagaimana arwah Fir’aun dan kaumnya yang dihadapkan ke neraka setiap pagi dan sore hari sehingga mereka merasakan kesengsaraan” (dinukil dari Ma’alim At Tanzil, 168). Artinya, para syuhada merasakan kebahagiaan dan kesenangan di alam barzakh sebagaimana Fir’aun merasakan kesengsaraan juga di alam barzakh.
Dan masih banyak lagi dalil dari Al Qur’an Al Kariim yang menetapkan adzab kubur sekiranya kita mau merujuk pada penjelasan para ulama.
DALIL AS SUNNAH
Dalil 4
لَوْلَا أَنْ لَا تَدَافَنُوا لَدَعَوْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُسْمِعَكُمْ من عَذَابَ الْقَبْرِ ما أسمعني
“Seandainya kalian tidak akan saling menguburkan, tentulah aku akan berdoa kepada Allah agar memperdengarkan kepada kalian siksa kubur yang aku dengar.” (HR. Muslim 7393, Ahmad 12026, dari sahabat Anas bin Malik radhilallahu’anhu)”Dalam Silsilah Ahadits Shahihah pada hadits nomor 158-159, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani -rahimahullah- menjelaskan bahwa hadits ini memiliki beberapa syawahid, yaitu dari jalan Zaid bin Tsabit (HR. Muslim 7392) dan dari jalan Jabir bin Abdillah (HR. Ahmad 14185, Al Albani berkata: “Shahih muttashil sesuai persyaratan Imam Muslim”).
Setelah itu beliau memberikan penjelasan penting, beliau berkata:
“Dari beberapa hadits di atas terdapat banyak faidah, yang paling penting diantaranya:
Pertama, menetapkan adanya adzab kubur, dan hadits-hadits tentang hal ini mutawatir. Maka tidak ada lagi kerancuan bila ada yang meng-klaim bahwa hadits-hadits tentang hal ini adalah hadits Ahad.
Pun andaikata memang benar hadits-haditsnya adalah Ahad, tetap wajib mengimaninya karena Al Qur’an telah menunjukkan kebenarannya. (Kemudian Syaikh membawakan surat Ghafir ayat 45-46).
Pun andaikata memang benar bahwa permasalahan adzab kubur tidak ada dalam Al Qur’an, hadits-hadits shahih yang ada sudah cukup untuk menetapakan akidah tentang adzab kubur ini. Klaim bahwa perkara aqidah tidak bisa ditetapkan dengan hadits Ahad yang shahih adalah klaim yang batil yang diselipkan ke dalam ajaran Islam. Tidak ada imam yang mengatakan pendapat demikian, tidak tidak katakan oleh imam madzhab yang empat atau semisal mereka. Pendapat ini hanya dikemukakan oleh ulama ahli kalam yang sama sekali tidak didasari oleh dalil” (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/244)
Beliau juga mengatakan, “Adanya pertanyaan dua Malaikat di alam kubur adalah benar adanya. Wajib untuk mengimaninya. Hadits tentang hal ini pun mutawatir.” (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/244)
Dalil 5
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَتْ عَلَىَّ عَجُوزَانِ مِنْ عُجُزِ يَهُودِ الْمَدِينَةِ فَقَالَتَا لِى إِنَّ أَهْلَ الْقُبُورِ يُعَذَّبُونَ فِى قُبُورِهِمْ ، فَكَذَّبْتُهُمَا ، وَلَمْ أُنْعِمْ أَنْ أُصَدِّقَهُمَا ، فَخَرَجَتَا وَدَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فَقُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَجُوزَيْنِ وَذَكَرْتُ لَهُ ، فَقَالَ « صَدَقَتَا ، إِنَّهُمْ يُعَذَّبُونَ عَذَابًا تَسْمَعُهُ الْبَهَائِمُ كُلُّهَا » . فَمَا رَأَيْتُهُ بَعْدُ فِى صَلاَةٍ إِلاَّ تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Dari Aisyah Radhiallahu ‘anha, ia berkata: Suatu ketika ada dua orang tua dari kalangan Yahudi di Madinah datang kepadaku. Mereka berdua berkata kepadaku bahwa orang yang sudah mati diadzab di dalam kubur mereka. Aku pun mengingkarinya dan tidak mempercayainya. Kemudian mereka berdua keluar. Lalu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam datang menemuiku. Maka aku pun menceritakan apa yang dikatakan dua orang Yahudi tadi kepada beliau. Beliau lalu bersabda: ‘Mereka berdua benar, orang yang sudah mati akan diadzab dan semua binatang ternak dapat mendengar suara adzab tersebut’. Dan aku pun melihat beliau senantiasa berlindung dari adzab kubur setiap selesai shalat” (HR. Bukhari 6005)Hadits ini juga menunjukkan bahwa ‘Aisyah Radhiallahu’anha meyakini adanya adzab kubur setelah diberitahu oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Dalil 6
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أُقْعِدَ الْمُؤْمِنُ فِى قَبْرِهِ أُتِىَ ، ثُمَّ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ ( يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ )
“Jika seorang mu’min telah didudukkan di dalam kuburnya, ia kemudian didatangi (oleh dua malaikat lalu bertanya kepadanya), maka dia akan menjawab dengan mengucapkan:’Laa ilaaha illallah wa anna muhammadan rasuulullah’. Itulah yang dimaksud al qauluts tsabit dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya): ‘Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan al qauluts tsabit’ (QS. Ibrahim: 27)” (HR. Bukhari 1369, Muslim 7398)Ini adalah dalil Al Qur’an sekaligus As Sunnah. Karena merupakan bukti bahwa surat Ibrahim ayat 27 berbicara tentang adzab kubur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang menafsirkan demikian.
Dalil 7
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ ، فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِى قُبُورِهِمَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ » ، ثُمَّ قَالَ « بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ »
“Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dari sebagian pekuburan di Madinah atau Makkah. Lalu beliau mendengar suara dua orang manusia yang sedang diadzab di kuburnya. Beliau bersabda, ‘Keduanya sedang diadzab. Tidaklah keduanya diadzab karena dosa besar (menurut mereka bedua)’, lalu Nabi bersabda: ‘Padahal itu merupakan dosa besar. Salah satu di antara keduanya diadzab karena tidak membersihkankan bekas kencingnya, dan yang lain karena selalu melakukan namiimah (adu domba)” (HR. Bukhari 6055, Muslim 703)Dan masih banyak lagi dalil dari hadits-hadits yang shahih mengenai adzab kubur, artikel ini tentu bisa berpuluh-puluh halaman jika kami bawakan semua.
IJMA SAHABAT
Dalil 8
Utsman bin Affan Radhiallahu’anhu berkata:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : « إن القبر أول منازل الآخرة فمن نجا منه فما بعده أيسر منه ، ومن لم ينج منه فما بعده أشد منه » قال : فقال عثمان رضي الله عنه : ما رأيت منظرا قط إلا والقبر أفظع منه
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Alam kubur adalah awal perjalanan akhirat, barang siapa yang berhasil di alam kubur, maka setelahnya lebih mudah. Barang siapa yang tidak berhasil, maka setelahnya lebih berat’Utsman Radhiallahu’anhu berkata, ‘Aku tidak pernah memandang sesuatu yang lebih mengerikan dari kuburan’” (HR. Tirmidzi 2308, ia berkata: “Hasan Gharib”, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Futuhat Rabbaniyyah, 4/192)
Juga sebagaimana telah lewat, ‘Aisyah, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Sa’id Al Khudriy, Jabir bin Abdillah radhiallahum jamii’an, mereka semua mengimani adanya adzab kubur. Imam Abul Hasan Ali bin Isma’il Al Asy’ari -rahimahullah- berkata:
وأنكروا شفاعة رسول الله صلى الله عليه وسلم للمذنبين ودفعوا الروايات في ذلك عن السلف المتقدمين وجحدوا عذاب القبر وأن الكفار في قبورهم يعذبون وقد أجمع على ذلك الصحابة والتابعون رضي الله عنهم أجمعين
“Para ahlul bid’ah (yaitu mu’tazilah dan qadariyah), mengingkari syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang memiliki dosa. Mereka menolak riwayat-riwayat dari generasi salaf terdahulu. Mereka juga menolak kebenaran akan adanya adzab kubur dan bahwa orang kafir diadzab di dalam kubur mereka. Padahal para sahabat dan tabi’in radhiallahu’anhum ajma’iin telah bersepakat tentang hal ini.” (Al Ibanah, 4)[Artikel selanjutnya akan membahas syubhat-syubhat dari pada penolak adanya adzab kubur]
- Bersambung -
Beberapa Syubhat dan Jawabannya
SYUBHAT 1: Beberapa ayat Qur’an menunjukkan tidak adanya adzab dan nikmat kubur
Sebelumnya, dalam membahas syubhat ini kita perlu meyakini bahwa Al Qur’an dan hadits itu adalah kebenaran, dan tidak ada kebenaran yang saling bertentangan. Allah Ta’ala berfirman:
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا
“Apakah engkau tidak men-tadabburi Al Qur’an? Andaikan Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah tentu akan banyak pertentangan di dalamnya” (QS. An Nisa: 82)Begitu juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu, sebagaimana firman Allah:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Apa yang diucapkan olehnya (Muhammad) itu bukanlah dari hawa nafsu, melainkan wahyu” (QS. An Najm: 3-4)Maka, Al Qur’an tidak akan bertentangan dengan Al Qur’an, Al Qur’an pun tidak akan bertentangan dengan hadits dan hadits tidak akan bertentangan dengan hadits. Dengan kata lain, ayat Al Qur’an saling menafsirkan, demikian juga ayat Al Qur’an dan hadits saling menafsirkan. Oleh karena itulah kita hendaknuya merujuk kepada para ulama, karena merekalah yang mampu mendudukan ayat dengan ayat, hadits dengan hadits serta ayat dengan hadits sesuai tempatnya sehingga jelas bahwa tidak ada pertentangan.
Ayat pertama
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ
“Mereka berkata: “Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul (Nya).” (QS. Yaasin: 52)Jika orang yang mati dikatakan ‘tidur’ setelah ia mati sampai hari kebangkitan, maka tentu tidak ada adzab kubur atau nikmat kubur. Demikian logika ahlul bid’ah yang menolak adanya adzab kubur, dan memang demikianlah mereka memahami ayat-ayat Allah dengan logika tanpa merujuk kepada ahlinya.
Padahal, kalau kita merujuk para ahli tafsir dari kalangan sahabat sampai ulama mu’ashiriin, Ubay bin Ka’ab -radhiallahu’anhu- , Khaitsamah, Mujahid dan Qatadah menafsirkan maksud dari ‘tidur’ dalam ayat ini adalah: “Tidur sejenak sebelum dibangkitkan dari kubur”. Qatadah juga menambahkan: “Itu terjadi di antara dua tiupan sangkakala” (Lihat Tafsir Ath Thabari, 20/532). Al Hafidz Ibnu Katsir juga menjelaskan: “Ayat ini tidak menafikan adanya adzab kubur, karena jika dibandingkan dengan apa yang terjadi setelahnya, yang terjadi di alam kubur seperti tidur” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 6/581).
Ayat kedua
وَلا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الأبْصَارُ
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang lalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (QS. Ibrahim: 42)Dalam ayat ini dikatakan Allah memberi tangguh, artinya tidak mengadzab mereka, sampai hari dimana mata manusia terbelalak, yaitu hari kiamat. Demikian logika mereka.
Padahal jika kita menilik penjelasan para ulama tafsir, Al Hafidz Ibnu Katsir menjelaskan makna ‘Allah memberi tangguh kepada mereka‘ : “dikatakan demikian karena begitu ‘ngerinya’ keadaan mereka di hari kiamat” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 4/515). Al Baghawi menafsirkan: “Tidak akan menimpa mereka kengerian semisal yang akan mereka dapatkan di hari kiamat” (Ma’alim At Tanzil, 4/359). Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إن القبر أول منازل الآخرة فمن نجا منه فما بعده أيسر منه ، ومن لم ينج منه فما بعده أشد منه
‘Alam kubur adalah awal perjalanan akhirat, barang siapa yang berhasil di alam kubur, maka setelahnya lebih mudah. Barang siapa yang tidak berhasil, maka setelahnya lebih berat’Jadi jelas bahwa karena begitu jauhnya perbandingan antara siksa kubur dengan siksa mereka kelak di hari kiamat, hingga ketika mereka masih disiksa di alam kubur dianggap masih dalam masa penangguhan.
Sebagian ulama memang menafsirkan secara mutlak bahwa maknanya adalah ‘mereka tidak akan mendapat adzab hingga hari kiamat’, namun yang dimaksud adalah sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Katsir dan Al Baghawi di atas. Karena faktanya, sebagian orang kafir bahkan diadzab ketika mereka masih hidup. Dan perlu dicatat, para ahli tafsir yang menafsirkan secara mutlak demikian tidak ada yang memahami bahwa ayat ini menafikan adzab kubur. Jadi memahami ayat ini dengan pemahaman para penolak adanya adzab kubur, adalah pemahaman baru yang tidak ada pendahulunya, serta bertentangan dengan ratusan dalil.
Ayat ketiga
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ
“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; “Mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)”. Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran)” (QS. Ar Ruum: 55)Menurut logika para penolak adanya adzab kubur, berdasarkan ayat ini, antara matinya seorang manusia dengan hari kebangkitan itu hanya terasa sesaat saja, hingga seorang manusia merasakan seolah setelah mati tiba-tiba sudah dibangkitkan. Maka tidak ada alam kubur yang dia merasakan adzab atau nikmat.
Para ahli tafsir menjelaskan mengenai makna ’sesaat’, Al Baidhawi berkata, “Maksudnya adalah masa di alam kubur dianggap terlalu sebentar jika dibandingkan dengan lamanya siksaan mereka di akhirat kelak. Atau penafsiran yang lain, mereka lupa akan lamanya berada di alam kubur” (Anwar At Tanziil, 4/488).
Sebagian ahli tafsir memaknai bahwa maksudnya adalah masa ketika hidup di dunia, Al Baghawi mengatakan, “Maksudnya adalah masa di dunia dianggap terlalu sebentar dibandingkan dengan akhirat” (Ma’alim At Tanzil, 6/278). Seluruh tafsiran di atas tidak ada yang bertentangan dengan dalil-dalil adanya adzab kubur.
Dan sekali lagi perlu di catat, tidak ada ahli tafsir yang memahami bahwa ayat ini menafikan adanya adzab kubur. Menunjukkan bahwa ayat ini dengan dalil-dalil shahih tentang adanya adzab kubur tidaklah bertentangan.
Demikianlah beberapa ayat yang menjadi ’syubhat’ karena dipahami secara salah oleh para pengikut hawa nafsu. Tidak menutup kemungkinan adanya ayat lain yang mereka gunakan untuk melariskan pemahaman menyimpang mereka, namun cukuplah kita meyakini bahwa di antara dalil tidak ada yang saling bertentangan.
SYUBHAT 2: Hadits-hadits tentang adanya adzab dan nikmat kubur adalah hadits ahad, sedangkan hadits ahad bukan hujjah dalam masalah aqidah
Penjelasan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani -rahimahullah- yang sudah kami kutip sebelumnya sudah mewakili dalam menjawab syubhat ini. Ringkasnya, hadits-hadits tentang adanya adzab kubur itu mutawatir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Mutawatir terbagi menjadi ‘aam dan khas. Bagi para ulama yang paham hadits dan fiqih ada hadits-hadits mutawatir bagi mereka yang tidak dianggap mutawatir oleh orang awam. Semisal hadits tentang sujud sahwi, kewajiban syuf’ah, kewajiban membayar diyat bagi yang berakal, kewajiban merajam pezina yang muhshan, hadits-hadits ru’yah, adzab kubur, ….. ” (Majmu’ Fatawa, 18/69)
Namun perlu digaris-bawahi pula, andaikan hadits-hadits tentang alam kubur atau tentang masalah lain adalah hadits Ahad pun tetap merupakan hujjah. Penjelasan rinci mengenai hal ini akan mencakup banyak bab dari ilmu ushul fiqh yang tidak mungkin kami paparkan pada kesempatan ini. Semoga beberapa poin di bawah ini cukup memberikan pencerahan bahwa hadits Ahad adalah hujjah, baik dalam masalah aqidah atau bukan:
- Wajib beramal dengan hadits ahad adalah ijma para ulama
Imam Asy Syafi’i berkata: “Aku tidak mengetahui adanya fuqaha kaum muslimin yang berselisih pendapat dalam menetapkan khabar ahad, sebagaimana yang baru saja saya jelaskan bahwa hadits-hadits ahad ada pada mereka semua” (Ar Risalah, 457-458).Al Khatib Al Baghdadi berkata: “Beramal dengan hadits Ahad adalah pendapat semua ulama tabi’in dan setelah mereka, yaitu para ulama-ulama di semua zaman sampai zaman kita ini (zamannya Al Khatib, -pent). Dan saya tidak mengetahui adanya seorang di antara mereka yang mengingkarinya atau menolaknya” (Al Kifayah, 48) - Dalil-dalil wajibnya beramal dengan hadits ahad
- Hadits-hadits mutawatir tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan, amil zakat, hakim hanya satu orang saja kepada sekelompok orang. Sebagaimana diutusnya Mua’dz bin Jabal: إنك تأتي قوما من أهل الكتاب, فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله و أني رسول الله, فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم و ليلة“Engkau akan mendatangi kaum yang terdiri dari ahli kitab. Ajaklah mereka untuk bersyahadat ‘Laailaaha Illallah Wa Anna Muhammadan Rasulullah’, jika mereka mau taat, ajarkanlah mereka untuk shalat lima waktu sehari-semalam….” (HR. Muslim 19)
Imam Asy Syafi’i berkata, “Rasulullah tidak pernah mengutus seseorang utusan kecuali sendirian. Ini adalah bukti berita yang dibawa oleh satu orang utusan tersebut adalah benar, Insya Allah” (Ar Risalah, 415) - Ijma para sahabat bahwa khabar ahad itu diterima (Lihat Al Kifayah, 43-45; Raudhatun Nazhir 1/268-274; Syarh Kaukab Al Munir, 2/369-375). Di antara dalil ijma ini adalah hadits tentang pindahnya kiblat yang hanya dikabarkan oleh satu orang (HR. Muslim, 1208)
- Allah Ta’ala berfirman, وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah: 122)Sisi pendalilan ayat ini ada dua:
Pertama, Allah memerintahkan thaifah untuk memberi peringatan kepada kaumnya. Sedangkan secara bahasa:
والطائِفَةُ من الشيءِ: القطْعَةُ منه، أو الواحِدُ فَصاعِداً، أو إلى الأَلْفِ، أو أقَلُّها رجُلانِ أو رَجُلٌ“Thaifah dari sesuatu artinya bagian dari sesuatu, atau berjumlah satu atau lebih, atau berjumlah di antara 1 sampai 1000, atau paling sedikit satu atau dua” (Lihat Al Qamus Al Muhith)
Ini menunjukkan tegaknya kebenaran walau hanya dari satu orang atau dua orang. Dan kebenaran itu wajib diterima oleh kaumnya.
Kedua, Allah menyebutkan manfaat adanya beberapa orang yang mendalami agama yaitu ‘supaya mereka itu dapat menjaga dirinya‘. Andai hujjah tidak bisa diterima dari satu atau sedikit orang, tentu manfaat tersebut tidak tercapai dan konsekuensinya ayat ini tidak benar. - Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ“Semoga Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengarkan hadits dariku, lalu dia menghafalnya, lalu menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang disampaikan itu lebih paham dari orang yang menyampaikan. Dan terkadang orang yang menyampaikan itu tidak paham” (HR. Tirmidzi 2868, ia berkata: “Hadits hasan”)
Di sini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan imra-an yang menyampaikan hadits. Sedangkan imra-an itu artinya satu orang.
- Hadits-hadits mutawatir tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan, amil zakat, hakim hanya satu orang saja kepada sekelompok orang. Sebagaimana diutusnya Mua’dz bin Jabal:
- Hadits ahad adalah hujjah dalam masalah hukum ataupun akidah
Dalil-dalil yang ada di poin b menunjukkan bahwa kebenaran atau hujjah itu diterima dari satu orang tanpa dirinci apakah perkaran aqidah atau bukan, berlaku secara umum dan mutlak. Bahkan hadits Muadz bin Jabal berbicara masalah aqidah.Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Semua perkara aqidah mengenai asma dan sifat Allah Ta’ala hanya diketahui dari nash Kitabullah dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih atau dari ijma ulama. Sedangkan yang berasal dari hadits ahad, semuanya diterima dan tidak ada perdebatan tentang ini” (Jaami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih, 2/96).
Adapun membeda-bedakan penyikapan hadits Ahad dalam masalah aqidah dan masalah hukum adalah keyakinan baru dalam Islam, yang merupakan bid’ah. Pembedaan seperti ini tidak pernah dikenal oleh salah seorang sahabat Nabi, tidak juga oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in, juga tidak dikenal oleh para Imam. Pembedaan seperti ini hanya dikenal dari tokoh-tokoh ahlul bid’ah dan yang mengikuti mereka (Lihat Mukhtashar Shawa’iqil Mursalah, 503)
Keyakinan bahwa masalah aqidah harus ditetapkan dengan hadits mutawatir itu sendiri merupakan sebuah aqidah (keyakinan) dalam agama. Kalau mereka konsisten, hendaknya mereka mendatangkan dalil yang mutawatir tentang adanya aqidah tersebut dalam Islam.
SYUBHAT 3: Beberapa ulama menilai hadits ahad bernilai zhan, sehingga mereka pun tidak mengimani adzab kubur
Syubhat ini adalah turunan dari syubhat kedua. Dalam tulisan-tulisan mereka yang menolak adanya adzab kubur, mereka mengutip beberapa pernyataan sebagian ulama ahlussunnah yang menganggap hadits ahad hanya bernilai zhan dan tidak bernilai ilmu. Sehingga mengesankan bahwa sebagian ulama tersebut juga tidak mengimani adanya adzab kubur. Inilah kecurangan mereka dalam berargumentasi.
Memang benar terjadi ikhtilaf di antara para ulama tentang apakah hadits Ahad bernilai zhan, ataukah bernilai ilmu, ataukah bernilai ilmu namun dengan syarat. Namun mereka sepakat beramal dengan hadits Ahad, sebagaimana telah kami sampaikan pernyataan ijma dalam hal ini. Memang juga sebagian ulama, mengatakan bahwa terhadap hadits Ahad, wajib beramal dengannya namun tidak diyakini. Namun hal ini pada hakekatnya hanyalah ikhtilaf lafzhi, karena setiap dalil dari Al Qur’an dan sunnah yang shahih adalah hujjah yang wajib diyakini kebenarannya dan diamalkan. Bagaimana mungkin seseorang diperintah untuk beramal tanpa meyakini apa yang dia amalkan?
Semisal hadits tentang meminta perlindungan dari adzab kubur setiap selesai shalat:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ ، اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdoa ketika sedang shalat dengan doa (yang artinya): ‘Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur, dari fitnah al masih ad dajjal, dari fitnahnya orang yang masih hidup atau yang telah mati. Ya Allah aku berlindung kepadamu dari dari perbuatan dosa dan hutang’” (HR. Bukhari 798)Bagaimana mungkin dengan dasar hadits ini, dikatakan bahwa disunnahkan membaca doa tersebut setiap sebelum salam ketika shalat namun tidak boleh meyakini isinya?? Dari sini terlihat jelas bahwa memisahkan permasalahan hukum dan aqidah dalam pembahasan hadits Ahad adalah perkara yang aneh.
Diantara nama ulama yang sering di-’catut’ untuk melariskan pemahaman mereka adalah Al Imam Al Bukhari. Pasalnya, dalam kitab Shahih Bukhari beliau menulis judul bab:
باب مَا جَاءَ فِى إِجَازَةِ خَبَرِ الْوَاحِدِ الصَّدُوقِ فِى الأَذَانِ وَالصَّلاَةِ وَالصَّوْمِ وَالْفَرَائِضِ وَالأَحْكَامِ
“Bab dalil-dalil tentang bolehnya menggunakan khabar ahad yang shahih dalam masalah adzan, shalat, puasa, waris dan ahkam”Al Bukhari tidak menyebutkan i’tiqad atau ‘aqaa-id dalam kalimat tersebut, sehingga diklaim bahwa beliau tidak berhujjah dengan hadits ahad dalam masalah aqidah. Padahal faktanya, Al Bukhari banyak meriwayatkan hadits-hadits Ahad dalam masalah aqidah di Shahih Bukhari. Adapun judul bab yang beliau buat demikian, justru untuk membantah orang-orang yang menolak kehujjahan hadits ahad secara umum. Dan yang paling penting dan perlu digarisbawahi adalah, Imam Al Bukhari mengimani adzab kubur. Sebagaimana telah kami singgung pada bagian dalil-dalil Al Qur’an.
Selain beliau, Al Imam Ibnu Hajar Al Asqalani pun seringkali di-’catut’ dengan cara demikian. Padahal beliau dalam kitab Fathul Baari, menyetujui aqidah Imam Al Bukhari dalam mengimani adzab kubur dan menyelisihi orang-orang yang menafikannya. Ketika beliau mengomentari kalimat:
… بَاب مَا جَاءَ فِي عَذَاب الْقَبْر وَقَوْله تَعَالَى
Ibnu Hajar berkata: “Seolah-olah, maksud Al Bukhari mendahulukan penyebutan ayat-ayat ini karena ingin menjelaskan bahwa pembahasan adzab kubur ada dalam Al Qur’an, menyelisihi sebagian orang yang mengklaim bahwa pembahasan adzab kubur hanya ada dalam hadits ahad” (Fathul Baari, 4/443)Selebihnya, nama-nama ulama yang mereka sebutkan untuk melariskan pemahaman menyimpang mereka, biasanya berasal dari kalangan ulama yang terpengaruh ilmu kalam atau pemikiran mu’tazilah.
SYUBHAT 4: Dilalah ayat yang dianggap menafikan adzab kubur adalah qath’i, sedangkan dilalah ayat dan hadits yang menetapkan adzab kubur adalah zhanni
Dari surat Yasin ayat 52, mereka memahami bahwa jika orang yang mati dikatakan ‘tidur’ setelah ia mati sampai hari kebangkitan, maka tentu tidak ada adzab kubur atau nikmat kubur. Lalu mereka mengatakan bahwa pendalilan ayat ini adalah pendalilan yang qath’i (tegas dan jelas), atau dilalah qath’iyyah. Sedangkan surat Ghafir (Al Mu’min) ayat 45-46 tentang Fir’aun dan kaumnya setelah matinya mereka dinampakkan neraka setiap pagi dan sore, jika ayat ini digunakan sebagai dalil untuk membenarkan adanya adzab kubur maka pendalilannya tidak qath’i, tidak tegas, belum jelas maksudnya atau dilalah zhanniyyah.
Terlebih lagi terdapat perselisihan di antara para ulama apakah yang dimaksud surat Ghafir ayat 45-46 atau semisalnya itu dirasakan oleh ruh dan jasad atau keduanya sekaligus. Perselisihan ini menambah ketidak-tegasan pendalilan ayat tersebut. Sehingga akhirnya mereka, dengan modal akal mereka, mengambil ayat dengan dilalah qath’iyyah menurut logika mereka, lalu menutup mata (baca:membuang) terhadap dalil yang menurut mereka memiliki dilalah zhanniyyah. Subhanallah!
Orang yang berpenyakit hati gemar mempermainkan dalil
Dari syubhat yang ke 4 ini akan terlihat sekali bagaimana mereka mendewakan akal dalam memahami dalil-dalil syariat. Dengan akal pula mereka mementahkan dalil lain yang tidak bersesuaian dengan hawa nafsu mereka. Padahal dalil syar’i tidak ada yang bertentangan dan semua dalil wajib kita imani dan amalkan. Orang-orang yang dipuji Allah dengan ilmu berkata:
آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا
“Kami mengimani semua yang diwahyukan oleh Rabb kami” (QS. Al Imran: 7)Mengambil dalil yang sesuai dengan seleranya, lalu membuang dalil yang tidak sesuai dengan seleranya adalah sikap orang-orang yang terdapat penyakit di dalam hatinya. Allah Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari isi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 7)Zhanni dan Qath’i itu nisbi
Penilaian qath’i atau zhanni terhadap sesuatu itu nisbi atau relatif. Bagi sebagian orang sesuatu itu qath’i, namun bagi yang lain zhanni. Dalam hal menilai sebuah dalil itu qathi atu zhanni, relatifitas di sini bergantung kepada:
- Kedalaman penelaahan dalil-dalil syar’i
- Penguasaan kaidah-kaidah dalam berdalil
- Perbedaan tingkat kecerdasan
- Kecepatan memahami sesuatu masalah
Maka, apa yang mereka (ahlul bid’ah) klaim zhanni, ternyata bagi para ulama adalah perkara yang qath’i. Disebabkan kedangkalan akal mereka dan hawa nafsu yang terlanjur membutakan akal mereka.
Merujuk kepada ahli ilmu dalam memahami dalil
Dalam kasus di atas, ahlul bid’ah mempertentangkan dalil-dalil karena dalam memahami dalil mereka hanya mengandalkan logika semata, sama sekali enggan merujuk kepada penjelasan ulama. Padahal dalam surat Al Imran ayat 7 di atas, Allah telah mengisyaratkan bahwa untuk memahami dalil secara sempurna tanpa menolak sebagian dalil adalah dengan mengembalikannya kepada ahli ilmu yang raasikh (mendalam ilmunya). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضاً بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضاً فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ فَاعْمَلُوا بِهِ وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ فَرُدُّوهُ إِلَى عَالِمِهِ
“Ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan itu tidak saling mendustakan, bahkan saling membenarkan satu sama lain. Ayat-ayat yang kalian pahami, amalkanlah. Ayat-ayat yang kalian tidak pahami, kembalikanlah kepada orang alim yang memahaminya” (HR. Ahmad 2/161, dishahihkan oleh Al Albani dalam Syarh At Thahawiyah, 585)Karena para ulama memahami dalil dengan dalil, menafsirkan dalil dengan atsar sahabat Nabi, tabi’in serta orang yang mengikuti mereka, yang merupakan generasi terbaik dan paling paham terhadap Qur’an dan Sunnah.
Dan faktanya, ketika kita mengembalikannya kepada ulama, tidak ditemukan adanya pertentangan di antara dalil-dalil di atas. Ulama ahli tafsir mengatakan bahwa Surat Ghafir (Al Mu’min) ayat 45-46 menetapkan adanya adzab kubur berdasarkan tafsir dari Mujahid rahimahullah, seorang tabi’in yang dijuluki imamul mufassir, juga riwayat dari ulama mufassir (pakar tafsir) yang lain. Juga karena bersesuaian dengan hadits-hadits shahih yang mencapai derajat mutawatir. Pendalilan yang berdasarkan hadits shahih serta atsar salaf ini tentu lebih utama dan lebih agung dibanding pendalilan berdasarkan ra’yu (logika). Dan pendalilan yang demikian ini adalah pendalilan yang qath’i.
Sedangkan surat Yasin ayat 52, berdasarkan riwayat dari seorang sahabat Nabi, Ubay bin Ka’ab -radhiallahu’anhu- , juga dari para tabi’in yaitu Khaitsamah, Mujahid dan Qatadah -radhiallahu’anhum- tafsiran ‘tidur‘ dalam ayat ini adalah: “Tidur sejenak sebelum dibangkitkan dari kubur”. Sehingga ayat ini tidak menafikan adanya adzab kubur. Sekali lagi, pendalilan dengan atsar salaf ini tentu merupakan pendalilan yang qath’i. Walhasil, tidak ada pertentangan di antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, walillahilhamdu.
—
Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id
WASPADALAH TERHADAP PENYAKIT SYUBHAT DAN SYAHWAT
Syaithan merupakan musuh nyata manusia. Dia selalu berusaha menjerumuskan manusia kedalam jurang kekafiran, kesesatan dan kemaksiatan. Di dalam menjalankan aksinya itu syaithan memiliki dua senjata ampuh yang telah banyak memakan korban. Dua senjata itu adalah syubhat dan syahwat. Dua penyakit yang menyerang hati manusia dan merusakkan perilakunya.
Syubhat artinya samar, kabur, atau tidak jelas. Penyakit syubhat yang menimpa hati seseorang akan merusakkan ilmu dan keyakinannya. Sehingga jadilah “perkara ma’ruf menjadi samar dengan kemungkaran, maka orang tersebut tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran. Bahkan kemungkinan penyakit ini menguasainya sampai dia menyakini yang ma’ruf sebagai kemungkaran, yang mungkar sebagai yang ma’ruf, yang sunnah sebagai bid’ah, yang bid’ah sebagai sunnah, al-haq sebagai kebatilan, dan yang batil sebagai al-haq”. (Tazkiyatun Nufus, hal: 31, DR. Ahmad Farid)
Penyakit syubhat ini misalnya: keraguan, kemunafikan, bid’ah, kekafiran, dan kesesatan lainnya.
Syahwat artinya selera, nafsu, keinginan, atau kecintaan. Sedangkan fitnah syahwat (penyakit mengikuti syahwat) maksudnya adalah mengikuti apa-apa yang disenangi oleh hati/nafsu yang keluar dari batasan syari’at.
Fitnah syahwat ini akan menyebabkan kerusakan niat, kehendak, dan perbuatan orang yang tertimpa penyakit ini.
Penyakit syahwat ini misalnya: rakus terhadap harta, tamak terhadap kekuasaan, ingin populer, mencari pujian, suka perkara-perkara keji, zina, dan berbagai kemaksiatan lainnya.
KEKHAWATIRAN RASULULLAH TERHADAP PENYAKIT SYUBHAT DAN SYAHWAT
Rasulullah n telah mengkhawatirkan fitnah (kesesatan) syahwat dan fitnah syubhat terhadap umatnya. Beliau n bersabda:
فَوَاللَّهِ لَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخَشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kamu. Tetapi aku khawatir atas kamu jika dunia dihamparkan atas kamu sebagaimana telah dihamparkan atas orang-orang sebelum kamu, kemudian kamu akan saling berlomba (meraih dunia) sebagaimana mereka saling berlomba (meraih dunia), kemudian dunia itu akan membinasakan kamu, sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan lainnya dari Amr bin Auf Al-Anshari)
Dalam hadits lain beliau bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِي بُطُونِكُمْ وَ فُرُوجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْفِتَنِ
Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kamu adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kamu dan pada kemaluan kamu serta fitnah-fitnah yang menyesatkan. (HR. Ahmad dari Abu Barzah Al-Aslami.
Dishahihkan oleh Syeikh Badrul Badr di dalam ta’liq Kasyful Kurbah, hal: 21)
Syahwat mengikuti nafsu perut dan kemaluan adalah fitnah syahwat, sedangkan fitnah-fitnah yang menyesatkan adalah fitnah syubhat.
Kedua fitnah ini sesungguhnya juga telah menimpa orang-orang zaman dahulu dan telah membinasakan mereka. Allah berfirman;
كَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالاً وَأَوْلاَدًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلاَقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُم بِخَلاَقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِن قَبْلِكُم بِخَلاَقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا أَوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(Keadaan kamu hai orang-oang munafik dan musyirikin adalah) seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah nikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagian mereka, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. 9:69)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Allah menggabungkan antara “menikmati bagian” dengan “mempercakapkan (hal yang batil)”, karena kerusakan agama itu kemungkinan:
• terjadi pada keyakinan yang batil dan mempercakapkannya (hal yang batil)
• atau terjadi pada amalan yang menyelisihi i’tiqad yang haq.
Yang pertama adalah bid’ah-bid’ah dan semacamnya. Yang kedua adalah amalan-amalan yang fasiq. Yang pertama dari sisi syubhat-syubhat. Yang kedua dari sisi syahwat-syahwat.
Oleh karena itulah Salafush Shalih dahulu menyatakan: “Waspadalah kamu dari dua jenis manusia: Pengikut hawa-nafsu yang telah disesatkan oleh hawa-nafsunya (inilah fitnah syubhat-pen), pemburu dunia yang telah dibutakan oleh dunianya (ini fitnah syahwat-pen)”.
Mereka juga menyatakan: “Waspadailah kesesatan orang ‘alim (ahli ilmu) yang durhaka (karena terkena fitnah syahwat-pen), dan kesesatan ‘abid (ahli ibadah) yang bodoh (karena terkena fitnah syubhat-pen), karena kesesatan keduanya itu merupakan kesesatan tiap-tiap orang yang tersesat.”
Maka yang itu (orang ‘alim yang durhaka) menyerupai (orang-orang Yahudi) yang dimurkai, orang-orang yang mengetahui al-haq, tetapi tidak mengikutinya. Sedangkan yang ini (‘abid yang bodoh) menyerupai (orang-orang Nashara) yang sesat, orang-orang yang beramal tanpa ilmu.” (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, hal: 55, tahqiq Syeikh Khalid Abdul Lathif As-Sab’ Al-‘Alami)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah t juga berkata: “Firman Allah k : “kamu telah nikmati bagianmu” mengisyaratkan pada mengikuti hawa-nafsu syahwat, ini merupakan penyakit para pelaku maksiat. Dan firman Allah: “Dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya” mengisyaratkan pada mengikuti syubhat-syubhat, ini merupakan penyakit para pelaku bid’ah, pengikut hawa-nafsu, dan perdebatan-perdebatan. Dan sangat sering keduanya (penyakit itu) berkumpul. Maka jarang engkau dapati orang yang aqidahnya ada kerusakan, kecuali hal itu nampak pada lahiriyahnya.” (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, hal: 55)
BENTENG FITNAH SYUBHAT DAN SYAHWAT
Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Asal seluruh fitnah (kesesatan) hanyalah dari sebab: mendahulukan fikiran terhadap syara’ (agama) dan mendahulukan hawa-nafsu terhadap akal.Yang pertama adalah asal fitnah syubhat, yang kedua adalah asal fitnah syahwat. Fitnah syubhat ditolak dengan keyakinan, adapun fitnah syahwat ditolak dengan kesabaran. Oleh karena itulah Alloh menjadikan kepemimpinan agama tergantung dengan dua perkara ini. Allah k berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka (Bani Israil) itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS. 32:24)
Ini menunjukkan bahwa dengan kesabaran dan keyakinan akan dapat diraih kepemimpinan dalam agama.
Alloh juga menggabungkan dua hal itu di dalam firmanNya:
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ {3}
Dan mereka saling menasehati supaya mentaati kebenaran, dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. 103:3)
Maka mereka saling menasehati supaya mentaati kebenaran yang menolak syubhat-syubhat, dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran yang menghentikan syahwat-syahwat.
Alloh juga menggabungkan antara keduanya di dalam firmanNya:
وَاذْكُرْ عِبَادَنَآ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُوْلِى اْلأَيْدِي وَاْلأَبْصَارِ
Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishak dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. (QS. 38:45)
Maka dengan kesempurnaan akal dan kesabaran, fitnah syahwat akan ditolak. Dan dengan kesempurnaan ilmu dan keyakinan, fitnah syubhat akan ditolak. Wallahul Musta’an. )Kitab: Mawaridul Amaan, hal: 414-415]
Maka hendaklah setiap kita berusaha meraih ilmu yang haq dan bersabar di atasnya, sehingga selamat dari penyakit syubhat dan syahwat.
http://salafiyunpad.wordpress.com/2009/07/14/waspadalah-terhadap-penyakit-syubhat-dan-syahwat/
Syubhat artinya samar, kabur, atau tidak jelas. Penyakit syubhat yang menimpa hati seseorang akan merusakkan ilmu dan keyakinannya. Sehingga jadilah “perkara ma’ruf menjadi samar dengan kemungkaran, maka orang tersebut tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran. Bahkan kemungkinan penyakit ini menguasainya sampai dia menyakini yang ma’ruf sebagai kemungkaran, yang mungkar sebagai yang ma’ruf, yang sunnah sebagai bid’ah, yang bid’ah sebagai sunnah, al-haq sebagai kebatilan, dan yang batil sebagai al-haq”. (Tazkiyatun Nufus, hal: 31, DR. Ahmad Farid)
Penyakit syubhat ini misalnya: keraguan, kemunafikan, bid’ah, kekafiran, dan kesesatan lainnya.
Syahwat artinya selera, nafsu, keinginan, atau kecintaan. Sedangkan fitnah syahwat (penyakit mengikuti syahwat) maksudnya adalah mengikuti apa-apa yang disenangi oleh hati/nafsu yang keluar dari batasan syari’at.
Fitnah syahwat ini akan menyebabkan kerusakan niat, kehendak, dan perbuatan orang yang tertimpa penyakit ini.
Penyakit syahwat ini misalnya: rakus terhadap harta, tamak terhadap kekuasaan, ingin populer, mencari pujian, suka perkara-perkara keji, zina, dan berbagai kemaksiatan lainnya.
KEKHAWATIRAN RASULULLAH TERHADAP PENYAKIT SYUBHAT DAN SYAHWAT
Rasulullah n telah mengkhawatirkan fitnah (kesesatan) syahwat dan fitnah syubhat terhadap umatnya. Beliau n bersabda:
فَوَاللَّهِ لَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخَشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kamu. Tetapi aku khawatir atas kamu jika dunia dihamparkan atas kamu sebagaimana telah dihamparkan atas orang-orang sebelum kamu, kemudian kamu akan saling berlomba (meraih dunia) sebagaimana mereka saling berlomba (meraih dunia), kemudian dunia itu akan membinasakan kamu, sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan lainnya dari Amr bin Auf Al-Anshari)
Dalam hadits lain beliau bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِي بُطُونِكُمْ وَ فُرُوجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْفِتَنِ
Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kamu adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kamu dan pada kemaluan kamu serta fitnah-fitnah yang menyesatkan. (HR. Ahmad dari Abu Barzah Al-Aslami.
Dishahihkan oleh Syeikh Badrul Badr di dalam ta’liq Kasyful Kurbah, hal: 21)
Syahwat mengikuti nafsu perut dan kemaluan adalah fitnah syahwat, sedangkan fitnah-fitnah yang menyesatkan adalah fitnah syubhat.
Kedua fitnah ini sesungguhnya juga telah menimpa orang-orang zaman dahulu dan telah membinasakan mereka. Allah berfirman;
كَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالاً وَأَوْلاَدًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلاَقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُم بِخَلاَقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِن قَبْلِكُم بِخَلاَقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا أَوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(Keadaan kamu hai orang-oang munafik dan musyirikin adalah) seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah nikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagian mereka, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. 9:69)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Allah menggabungkan antara “menikmati bagian” dengan “mempercakapkan (hal yang batil)”, karena kerusakan agama itu kemungkinan:
• terjadi pada keyakinan yang batil dan mempercakapkannya (hal yang batil)
• atau terjadi pada amalan yang menyelisihi i’tiqad yang haq.
Yang pertama adalah bid’ah-bid’ah dan semacamnya. Yang kedua adalah amalan-amalan yang fasiq. Yang pertama dari sisi syubhat-syubhat. Yang kedua dari sisi syahwat-syahwat.
Oleh karena itulah Salafush Shalih dahulu menyatakan: “Waspadalah kamu dari dua jenis manusia: Pengikut hawa-nafsu yang telah disesatkan oleh hawa-nafsunya (inilah fitnah syubhat-pen), pemburu dunia yang telah dibutakan oleh dunianya (ini fitnah syahwat-pen)”.
Mereka juga menyatakan: “Waspadailah kesesatan orang ‘alim (ahli ilmu) yang durhaka (karena terkena fitnah syahwat-pen), dan kesesatan ‘abid (ahli ibadah) yang bodoh (karena terkena fitnah syubhat-pen), karena kesesatan keduanya itu merupakan kesesatan tiap-tiap orang yang tersesat.”
Maka yang itu (orang ‘alim yang durhaka) menyerupai (orang-orang Yahudi) yang dimurkai, orang-orang yang mengetahui al-haq, tetapi tidak mengikutinya. Sedangkan yang ini (‘abid yang bodoh) menyerupai (orang-orang Nashara) yang sesat, orang-orang yang beramal tanpa ilmu.” (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, hal: 55, tahqiq Syeikh Khalid Abdul Lathif As-Sab’ Al-‘Alami)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah t juga berkata: “Firman Allah k : “kamu telah nikmati bagianmu” mengisyaratkan pada mengikuti hawa-nafsu syahwat, ini merupakan penyakit para pelaku maksiat. Dan firman Allah: “Dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya” mengisyaratkan pada mengikuti syubhat-syubhat, ini merupakan penyakit para pelaku bid’ah, pengikut hawa-nafsu, dan perdebatan-perdebatan. Dan sangat sering keduanya (penyakit itu) berkumpul. Maka jarang engkau dapati orang yang aqidahnya ada kerusakan, kecuali hal itu nampak pada lahiriyahnya.” (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, hal: 55)
BENTENG FITNAH SYUBHAT DAN SYAHWAT
Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Asal seluruh fitnah (kesesatan) hanyalah dari sebab: mendahulukan fikiran terhadap syara’ (agama) dan mendahulukan hawa-nafsu terhadap akal.Yang pertama adalah asal fitnah syubhat, yang kedua adalah asal fitnah syahwat. Fitnah syubhat ditolak dengan keyakinan, adapun fitnah syahwat ditolak dengan kesabaran. Oleh karena itulah Alloh menjadikan kepemimpinan agama tergantung dengan dua perkara ini. Allah k berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka (Bani Israil) itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS. 32:24)
Ini menunjukkan bahwa dengan kesabaran dan keyakinan akan dapat diraih kepemimpinan dalam agama.
Alloh juga menggabungkan dua hal itu di dalam firmanNya:
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ {3}
Dan mereka saling menasehati supaya mentaati kebenaran, dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. 103:3)
Maka mereka saling menasehati supaya mentaati kebenaran yang menolak syubhat-syubhat, dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran yang menghentikan syahwat-syahwat.
Alloh juga menggabungkan antara keduanya di dalam firmanNya:
وَاذْكُرْ عِبَادَنَآ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُوْلِى اْلأَيْدِي وَاْلأَبْصَارِ
Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishak dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. (QS. 38:45)
Maka dengan kesempurnaan akal dan kesabaran, fitnah syahwat akan ditolak. Dan dengan kesempurnaan ilmu dan keyakinan, fitnah syubhat akan ditolak. Wallahul Musta’an. )Kitab: Mawaridul Amaan, hal: 414-415]
Maka hendaklah setiap kita berusaha meraih ilmu yang haq dan bersabar di atasnya, sehingga selamat dari penyakit syubhat dan syahwat.
http://salafiyunpad.wordpress.com/2009/07/14/waspadalah-terhadap-penyakit-syubhat-dan-syahwat/
KISAH BERPINDAHNYA HAJAR ASWAD
Ini bukan kisah urban legend, ini kisah nyata tentang kebiadaban kaum Syi’ah yg diabadikan oleh para Ulama kita....rekam jejak kebengisan mereka...
Iran adl negara t4 bercokol mereka sekarang, jgn tertipu...Smg bermanfaat...
PENJARAHAN HAJAR ASWAD
Oleh Ustadz Ashim bin Musthafa
Kota Mekkah, dengan kemuliaan yang disandangnya, ia memiliki hukum-hukum yang telah ditetapkan syari'at, sebagai bukti yang menunjukkan kemuliaannya. Siapapun dilarang melakukan perbuatan maksiat.
Meski larangan ini telah jelas, ternyata dalam perjalanan sejarah kaum Muslimin, khususnya kota Mekkah dan Ka'bah, pernah terjadi pelanggaran yang sangat memilukan dan menodai Ka'bah secara khusus, yaitu terjadinya penjarahan Hajar Aswad.
Hajar Aswad merupakan batu termulia. Dia berasal dari Jannah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
نَزَلَ الْحَجَرُ الْأَسْوَدُ مِنْ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنْ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ
"Hajar Aswad turun dari Jannah, dalam kondisi berwarna lebih putih dari air susu. Kemudian, dosa-dosa anak Adamlah yang membuatnya sampai berwarna hitam" [1].
Tentang keutamaannya yang lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ِإنَّ لِهَذَا الْحَجَرِ لِساَناً وَ شَفَتَيْنِ يَشْهَدُ لِمَنْ اسْتَلَمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَقٍّ
"Sesungguhnya batu ini akan punya lisan dan dua bibir akan bersaksi bagi orang yang menyentuhnya di hari Kiamat dengan cara yang benar" [2].
Dari Ibnu ‘Umar, saya mendengar Rasulullah bersabda:
إِنَّ مَسْحَهُمَا يَحُطَّانِ الْخَطِيئَةَ
"Sesungguhnya mengusap keduanya (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) akan menghapus dosa".[3]
Hajar Aswad, dahulu berbentuk satu bongkahan. Namun setelah terjadinya penjarahan yang terjadi pada tahun 317H, pada masa pemerintahan al Qahir Billah Muhammad bin al Mu’tadhid dengan cara mencongkel dari tempatnya, Hajar Aswad kini menjadi delapan bongkahan kecil. Batu yang berwarna hitam ini berada di sisi selatan Ka’bah.
Adalah Abu Thahir, Sulaiman bin Abu Said al Husain al Janabi, tokoh golongan Qaramithah pada masanya, telah menggegerkan dunia Islam dengan melakukan kerusakan dan peperangan terhadap kaum Muslimin.
Kota yang suci, Mekkah dan Masjidil Haram tidak luput dari kejahatannya. Dia dan pengikutnya melakukan pembunuhan, perampokan dan merusak rumah-rumah. Bila terdengar namanya, orang-orang akan berusaha lari untuk menyelamatkan diri.[4]
Kisahnya, pada musim haji tahun 317H tersebut, rombongan haji dari Irak pimpinan Manshur ad Dailami bertolak menuju Mekkah dan sampai dalam keadaan selamat. Namun, tiba-tiba pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah), orang-orang Qaramithah (salah satu sekte Syiah Isma’iliyah) melakukan huru-hara di tanah Haram. Mereka merampok harta-harta jamaah haji dan menghalalkan untuk memeranginya. Banyak jamaah haji yang menjadi korban, bahkan, meskipun berada di dekat Ka’bah.
Sementara itu, pimpinan orang-orang Qaramithah ini, yaitu Abu Thahir –semoga mendapatkan balasan yang sepadan dari Allah– berdiri di pintu Ka’bah dengan pengawalan, menyaksikan pedang-pedang pengikutnya merajalela, menyudahi nyawa-nyawa manusia. Dengan congkaknya ia berkata : "Saya adalah Allah. Saya bersama Allah. Sayalah yang menciptakan makhluk-makhluk. Dan sayalah yang akan membinasakan mereka".
Massa berlarian menyelamatkan diri. Sebagian berpegangan dengan kelambu Ka’bah. Namun, mereka tetap menjadi korban, pedang-pedang kaum Syi'ah Qaramithah ini menebasnya. Begitu juga, orang-orang yang sedang thawaf, tidak luput dari pedang-pedang mereka, termasuk di dalamnya sebagian ahli hadits.
Usai menuntaskan kejahatannya yang tidak terkira terhadap para jamaah haji, Abu Thahir memerintahkan pasukan untuk mengubur jasad-jasad korban keganasannya tersebut ke dalam sumur Zam Zam. Sebagian lainnya, di kubur di tanah Haram dan di lokasi Masjidil Haram.
Kubah sumur Zam Zam ia hancurkan. Dia juga memerintahkan agar pintu Ka’bah dicopot dan melepas kiswahnya. Selanjutnya, ia merobek-robeknya di hadapan para pengikutnya. Dia meminta kepada salah seorang pengikutnya untuk naik ke atas Ka’bah dan mencabut talang Ka’bah. Namun tiba-tiba, orang tersebut terjatuh dan mati seketika. Abu Thahir pun mengurungkan niatnya untuk mengambil talang Ka’bah.
Kemudian, ia memerintahkan untuk mencongkel Hajar Aswad dari tempatnya. Seorang lelaki memukul dan mencongkelnya.
Dengan nada menantang, Abu Thahir sesumbar : "Mana burung-burung Ababil? Mana bebatuan dari Neraka Sijjil?"
Peristiwa penjarahan Hajar Aswad ini, membuat Amir Mekkah dan keluarganya dengan didukung sejumlah pasukan mengejar mereka. Amir Mekkah berusaha membujuk Abu Thahir agar mau mengembalikan Hajar aswad ke tempat semula. Seluruh harta yang dimiliki Sang Amir telah ia tawarkan untuk menebus Hajar Aswad itu. Namun Abu Thahir tidak bergeming. Bahkan Sang Amir, anggota keluarga dan pasukannya menjadi korban berikutnya. Abu Thahir pun melenggang menuju daerahnya dengan membawa Hajar Aswad dan harta-harta rampasan dari jamaah haji. Batu dari Jannah ini, ia bawa pulang ke daerahnya, yaitu Hajr (Ahsa), dan berada di sana selama 22 tahun.
Menurut Ibnu Katsir, golongan Qaramithah membabi buta semacam itu, karena mereka sebenarnya kuffar zanadiqah. Mereka berafiliasi kepada regim Fathimiyyun yang telah menancapkan hegemoninya pada tahun-tahun itu di wilayah Afrika. Pemimpin mereka bergelar al Mahdi, yaitu Abu Muhammad '
Perbuatan Abu Thahir al Qurmuthi, orang yang memerintahkan penjarahan Hajar Aswad ini, oleh Ibnu Katsir dikatakan : "Dia telah melakukan ilhad (kekufuran) di Masjidil Haram, yang tidak pernah dilakukan oleh orang sebelumnya dan orang sesudahnya". [5]
Setelah masa 22 tahun Hajar Aswad dalam penguasaan Abu Thahir, ia kemudian dikembalikan. Tetapnya pada tahun 339H.
Pada saat mengungkapkan kejadian tahun 339 H, Ibnu Katsir menyebutnya sebagai tahun berkah, lantaran pada bulan Dzul Hijjah tahun tersebut, Hajar Aswad dikembalikan ke tempat semula. Peristiwa kembalinya Hajar Aswad sangat menggembirakan segenap kaum Muslimin.
Pasalnya, berbagai usaha dan upaya untuk mengembalikannya sudah dilakukan. Amir Bajkam at Turki pernah menawarkan 50 ribu Dinar sebagai tebusan Hajar Aswad. Tetapi, tawaran ini tidak meluluhkan hati Abu Thahir, pimpinan Qaramithah saat itu.
Kaum Qaramithah ini berkilah : "Kami mengambil batu ini berdasarkan perintah, dan akan mengembalikannya berdasarkan perintah orang yang bersangkutan".
Pada tahun 339 H, sebelum mengembalikan ke Mekkah, orang-orang Qaramithah mengusung Hajar Aswad ke Kufah, dan menggantungkannya pada tujuh tiang Masjid Kufah. Agar, orang-orang dapat menyaksikannya. Lalu, saudara Abu Thahir menulis ketetapan : "Kami dahulu mengambilnya dengan sebuah perintah. Dan sekarang kami mengembalikannya dengan perintah juga, agar pelaksanaan manasik haji umat menjadi lancar".
Akhirnya, Hajar Aswad dikirim ke Mekkah di atas satu tunggangan tanpa ada halangan. Dan sampai di Mekkah pada bulan Dzul Qa’dah tahun 339H.[6]
Dikisahkan oleh sebagian orang, bahwa pada saat penjarahan Hajar Aswad, orang-orang Qaramithah terpaksa mengangkut Hajar Aswad di atas beberapa onta. Punuk-punuk onta sampai terluka dan mengeluarkan nanah. Tetapi, saat dikembalikan hanya membutuhkan satu tunggangan saja, tanpa terjadi hal-hal aneh dalam perjalanan. (Mas)
Maraji’ : - Shahih Bukhari, al Imam al Bukhari, Darul Arqam, Beirut, tanpa tahun. - Shahih Muslim, Syarhun-Nawawi, Darul Ma’rifah, Beirut, Cet. VI, Th. 1420 H. - Ihkamil-Ahkam Syarhu ‘Umdatil-Ahkam, Ibnu Daqiqil ‘Id, tahqiq Hasan Ahmad Dar Ibni Hazm Cet. I, Th. 1423 H. - Al Bidayah wan-Nihayah, al Imam Imaduddin Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir, Darul Ma’rifah, Cet. VI, Th. 1422 H. - Wamdhul-‘Aqiq min Makkata wal-Baitil ‘Aqiq, Muhammad ‘Ali Barnawi, Mekkah Mukaramah, Cet. I. Th. 1425 H. - Shahih Sunan at-Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah al Ma’arif. - Shahih Sunan an-Nasai, Muhammad Nashiruddin al Albani Maktabah al Ma’arif. - Shahihul-Jami' wa Ziyadatuhu, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktab Islami, Cet. III, Th. 1408. - Taisiril Karimir-Rahman, Abdur Rahman as Sa’di, Muassasah Risalah, Cet. I, Th. 1423H. - Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, tahqiq Abdur Razaq al Mahdi, Darul Kitabil-‘Arabi, Cet. II, Th. 1420 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] _________
Footnotes [1]. Hadits shahih riwayat at Tirmidzi. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 877. [2]. HR al Hakim dan Ibnu Hibban, dan dishahihkan al Albani. Lihat Shahihul-Jami', no. 2184. [3]. Hadits shahih riwayat an Nasaa-i. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919. [4]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/187. [5]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/191. Ibnu Katsir mengisahkan peristiwa ini di halaman 190-192. [6]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/265
Subscribe to:
Posts (Atom)