Pak Ustad, saat ini sedang ribut ada film yang pesan ceritanya menunjukkan "murtad sebagai hal biasa'. Sebenarnya apa sih hukum murtad dalam Islam? Wass, Sholihah
Jawab :
Bismillah,
Allah menyitir dalam al-Quran yang artinya:
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.“ (QS Al Baqarah: 217 )
Pengertian Murtad (riddah):
Riddah secara bahasa adalah kembali ke belakang, sebagaimana firman Allah swt :
“Dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.” (QS Al Maidah : 21 )
Adapun pengertian Riddah secara syar’I para ulama berbeda di dalam mendefinisikannya, diantaranya sebagai berikut :
Berkata Al Kasani ( w : 587 H ) dari madzhab Hanafi :
“Riddah adalah mengucapkan kata-kata kekafiran setelah dia beriman.“ (Bada’I Shonai’ : 7/134 )
Berkata : As Showi ( w : 1241 H ) dari madzhab Maliki :
“Riddah adalah seorang Muslim yang kembali menjadi kafir dengan perkataan yang terang-terangan, atau perkataan yang membawa kepada kekafiran, atau perbuatan yang mengandung kekafiran.“ ( Asyh As Shoghir : 6/144 )
Berkata Imam Nawawi ( w : 676 H ) dari madzhab Syafi’i :
“Riddah adalah memutus Islam dengan niat atau perkataan, atau dengan perbuatan, baik dengan mengatakan hal tersebut karena mengolok-ngolok, atau karena ngeyel, atau karena keyakinannya.“ (Minhaj ath-Thalibin : 293)
Berkata Al Bahuti dari madzhab Hambali :
“Al Murtad secara syar’I yaitu seseorang yang kafir sesudah Islam, baik dengan perkataan, keyakinan, keragu-raguan, ataupun dengan perbuatan.“ (Kasyaf a Qina’ : 6/136 )
Dari beberapa pengertian di atas bisa disimpulkan bahwa Riddah adalah :
“Kembalinya seorang Muslim yang berakal dan baligh menjadi kafir kembali dengan penuh kesadaran tanpa ada paksaan dari seseorang, baik itu melalui keyakinan, perkataan, maupun perbuatannya. “
Macam-macam Riddah:
Jika kita mengambil pengertian Iman dari para ulama salaf yang menyebutkan bahwa Iman mencakup perkataan dan perbuatan, maksudnya adalah perkataan hati dan anggota badan, serta perbuatan hati dan badan. Maka Riddah pun demikian mencakup empat hal sebagaimana dalam keimanan. Keterangannya sebagai berikut:
Pertama: Riddah dengan perkataan hati; seperti mendustakan firman-firman Allah, atau menyakini bahwa ada pencipta selain Allah swt.
Kedua: Riddah dengan perbuatan hati, seperti : membenci Allah dan Rasul-Nya, atau sombong terhadap perintah Allah. Seperti yang dilakukan oleh Iblis ketika tidak mau melaksankan perintah Allah swt untuk sujud kepada Adam, karena kesombongannya.
Ketiga: Riddah dengan lisan : seperti mencaci maki Allah dan Rasul-Nya, atau mengolok-ngolok ajaran Islam.
Keempat: Riddah dengan perbuatan : sujud di depan berhala, menginjak mushaf.
Seorang Muslim menjadi murtad, jika melakukan empat hal tersebut sekaligus, ataupun hanya melakukan salah satu dari keempat tersebut.
Kapan Seorang Muslim dikatakan Murtad?
Jika dilakukan atas kehendaknya dan kesadarannya. Adapun jika dipaksa maka tidak termasuk dalam katagori murtad. Sebagaimana firman Allah swt :
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” ( Qs An Nahl : 106 )
Bagaimana dengan rasa was-was ?
Adapun rasa was-was yang ada di dalam hati, maka itu tidak mempengaruhi keimanan seseorang selama dia berusaha untuk mengusirnya. Kita dapatkan para sahabat pernah merasakan seperti itu juga, sebagaimana dalam hadist Abdullah bin Mas’ud ra, bahwasanya ia berkata :
"Nabi saw pernah ditanya mengenai perasaan waswas, maka beliau menjawab: \'Itu adalah tanda keimanan yang murni (benar)." ( HR Muslim )
Hal ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah sw :
"Manusia senantiasa bertanya-tanya hingga ditanyakan, 'Ini, Allah menciptakan makhluk, lalu siapakah yang menciptakan Allah', maka barangsiapa mendapatkan sesuatu dari hal tersebut, maka hendaklah dia berkata, 'Aku beriman kepada Allah." ( HR Muslim )
Hukum Murtad
Orang yang murtad boleh dibunuh dan halal darahnya. Jika telah dijatuhi hukuman mati, maka tidak dimandikan dan disholatkan serta tidak dikuburqan di kuburan orang-orang Islam, tidak mewarisi dan tidak diwarisi. Tetapi hartanya diambil dan disimpan di Baitul Mal kaum Muslimin.
Dalilnya adalah Abdullah bin Mas’ud ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
“Tidak halal darah seorang Muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali dari tiga orang berikut ini; seseorang yang murtad dari Islam dan meninggalkan jama\'ah, orang yang telah menikah tapi berzina dan seseorang yang membunuh orang lain.\" ( HR Muslim )
Ini dikuatkan dengan hadits Ikrimah, bahwasanya ia berkata :
“Beberapa orang Zindiq diringkus dan dihadapkan kepada Ali ra, lalu Ali membakar mereka. Kasus ini terdengar oleh Ibnu Abbas, sehingga ia berkata : Kalau aku, tak akan membakar mereka karena ada larangan Rasulullah saw yang bersabda: "Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah, " dan aku tetap akan membunuh mereka sesuai sabda Rasulullah saw : "Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah!" (HR Bukhari )
Dikuatkan juga dengan hadist Mu’adz bin Jabal :
“Suatu kali Mu'adz mengunjungi Abu Musa, tak tahunya ada seorang laki-laki yang diikat. Mu'adz bertanya; "Siapa laki-laki ini sebenarnya? Abu Musa menjawab "Dia seorang yahudi yang masuk Islam, kemudian murtad. Maka Mu'adz menjawab; "Kalau aku, sungguh akan kupenggal tengkuknya." ( HR Bukhari )
Jika seseorang murtad, maka dia harus dipisahkan dari istrinya pada waktu itu juga. Imam as-Sarakhsi al-Hanafi (w 483 H) berkata : “Seorang Muslim apa bila ia murtad, maka istrinya harus dipisahkan darinya. Baik istrinya tersebut seorang Muslimah ataupun seorang ahli ktab, baik istrinya tersebut telah digauli atau belum”. ( al-Mabsuth : 5/49 )
Apakah Diberi Waktu Untuk Bertaubat ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, tetapi mayoritas ulama mengatakan harus diberi waktu untuk taubat. Karena orang murtad kadang ada syubhat yang ada pada dirinya mengenai Islam, sehingga dia murtad, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu. Jika diberi waktu untuk taubat, dan dia tidak bertaubat, maka boleh dibunuh.
Sebagian ulama mengatakan waktu taubat adalah tiga hari, sebagian yang lain mengatakan tidak harus tiga hari, tetapi tawaran untuk bertaubat hendaknya terus dilakukan, jika tidak ada harapan untuk taubat, maka boleh dibunuh.
Taubat Orang Murtad
Orang yang sudah murtad, jika bertaubat, apakah taubatnya diterima ? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan bahwa orang yang murtad terkena hukum dunia dan akherat. Adapun rinciannya sebagai berikut :
Pertama : Hukum di Akherat
Untuk hukum di akherat, pada dasarnya Allah swt akan menerima setiap hamba-Nya yang bertaubat dengan sungguh-sungguh, ini sesuai dengan firman Allah swt :
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu ." ( Qs Al Anfal : 38 )
Hal ini dikuatkan dengan hadits Amru bin Ash, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepadanya :
" Apakah kamu tidak tahu bahwa Islam telah menghapuskan dosa yang telah terdahulu, dan bahwa hijrah juga menghapuskan dosa yang terdahulu, dan haji juga menghapuskan dosa yang terdahulu. “ ( HR Muslim )
Ayat dan hadist di atas menunjukkan orang-orang kafir asli yang bertaubat dan masuk Islam, maka Allah akan menerima taubat mereka, dan seluruh dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah swt. Mereka tidak diwajibkan menggantikan kewajiban yang mereka tinggalkan selama ini, seperti sholat dan puasa. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan hak manusia, seperti harta curian, maka harus dikembalikan kepada yang berhak. Dalilnya adalah hadist Mughirah bin Syu’bah :
“Dahulu Al Mughirah di masa jahiliyah pernah menemani suatu kaum, lalu dia membunuh dan mengambil harta mereka. Kemudian dia datang dan masuk Islam. Maka Nabi saw berkata saat itu: "Adapun keIslaman maka aku terima. Sedangkan mengenai harta, aku tidak ada sangkut pautnya sedikitpun" (HR Bukhari No : 2529)
Adapun orang yang murtad, jika bertaubat, maka taubatnya diterima dan dia harus menggantikan ibadah-ibadah yang dia tinggalkan selama ini, seperti sholat dan puasa. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengatakan jika dia taubat, maka dia harus haji kembali seakan-akan dia baru masuk Islam. Adapun Imam Syafi’I berpendapat bahwa jika dia bertaubat tidak ada kewajiban mengulangi hajinya kembali.
Diantara dalil yang menunjukkan diterimanya taubat orang yang murtad adalah firman Allah swt :
“Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu, balasannya ialah: bahwasanya la\'nat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) la\'nat para malaikat dan manusia seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh, kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( Qs Ali Imran : 86-89 )
Bagaimana penafsiran ayat –ayat yang menunjukan bahwa orang yang murtad itu tidak diterima taubatnya ?, sebagaimana di dalam firman Allah swt :
“Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang-orang yang sesat. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong.” ( Qs Ali Imran : 90-91 )
Begitu juga di dalam firman Allah swt :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” ( Qs Ali Imran : 137 )
Maka jawabannya bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah orang yang murtad, kemudian tidak mau bertaubat , bahkan bertambah kekafirannya, maka Alah tidak akan menerima taubatnya sesudah mati.
Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya ( 1/ 753 ) : “ Allah swt menyebutkan bahwa orang yang sudah beriman kemudian murtad, kemudian beriman lagi, kemudian murtad lagi dan terus menerus dalam kemurtadan, sampai mati, maka tidak ada taubah sesudah kematiaanya, dan Allah tidak mengampuninya “.
Kemudian beliau menukil perkataan Ibnu Abbas tentang bunyi ayat di atas :+E '2/'/H' CA1', maksudnya adalah: “ masih di dalam kekafirannya sampai mati “. Begitu juga pendapat Mujahid.
Ibnu Taimiyah di dalam Majmu al Fatawa ( 16/28-29 ) menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak diterima taubat mereka pada ayat di atas adalah kemungkinan karena mereka orang-orang munafik, atau karena mereka bertaubat tapi masih melakukan perbuatan syirik, atau amalan mereka tidak diterima setelah mereka mati. Sedangkan mayoritas ulama seperti Hasan Basri, Qatadah dan Atho’, serta As Sudy mengatakan bahwa taubat mereka tidak akan diterima, karena mereka bertaubat dalam keaadan sakaratul maut. Ini sesuai dengan firman Allah swt :
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : \"Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.\" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” ( Qs An-Nisa’ : 18 )
Kedua : Hukum di Dunia :
Untuk hukum di dunia para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan status hukum orang murtad yang sudah bertaubat.
Pendapat Pertama : Jika seorang yang beriman kemudian kemudian murtad, dan kembali ke Islam kemudian murtad kembali dan hal itu terulang berkali-kali, maka taubatnya tidak diterima oleh pemerintahan Islam, dan dia terkena hukuman mati.
Pendapat Kedua : Jika seorang yang beriman kemudian murtad dan hal itu terulang-ulang terus, maka taubatnya tetap diterima oleh pemerintahan Islam dan dia dianggap Muslim lagi dan boleh hidup bersama-sama orang-orang Islam yang lain, serta berlaku hukum-hukum Islam terhadapnya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu pendapat Hanafiyah, masyhur dari Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat imam Ahmad . ( lihat Tabyin al Haqaiq 3/284, Tuhfatul Muhtaj : 9/96, Kasya’ qina’ : 6/177-178 )
Dalm masalah ini, Ibnu Taimiyah membagi Riddah menjadi dua, yaitu Riddah Mujaradah ( murtad ringan ), kalau dia bertaubat, maka hukuman mati menjadi gugur darinya. Yang kedua adalah Riddah Mugholladhah ( murtad berat ), dia tetap dihukum mati walaupun sudah bertaubat ( Shorim Maslul : 3/ 696 )
Berkata Ibnu Qudamah di dalam al Mughni ( 12/271 ) : “ Kesimpulannya, bahwa perbedaan para ulama hanyalah di seputar diterimanya taubat orang yang murtad secara lahir di dunia ini, begitu juga gugurnya hukuman mati dan berlakunya hukum-hukum Islam baginya. Adapun diterimanya taubatnya oleh Allah secara batin, dan diampuninya orang yang bertaubat secara lahir dan batin, maka para ulama tidak berselish pendapat dalam masalah-masalah tersebut. “
.
Sebab-sebab terjadinya Riddah
1. Kebodohan.
Kebodohan menjadi penyebab utama adanya gelombang pemurtadan, karena mereka tidak dibentengi dengan ilmu. Oleh karena itu salah satu cara yang efektif untuk mmengantisapi pemurtadan adalah dengan menyebarkan aqidah dan ilmu yag benar di kalangan masyarakat.
Syekh al-Bakri ad-Dimyathi (w 1310 H) berkata: “Ketahuilah bahwa banyak orang-orang awam yang mengucapkan kata-kata kufur tanpa mereka sadari, bahwa sebenarnya hal itu adalah bentuk kekufuran. Maka wajib atas bagi orang yang berilmu untuk menjelaskan kepada mereka mereka hal-hal yang menyebabkan kekafiran tersebut, supaya mereka mengetahuinya, kemudian bisa menghindarinya. Dengan demikian maka amalan mereka tidak menjadi sia-sia, dan tidak kekal di dalam neraka (bersama orang-orang kafir) dalam siksaan besar dan adzab yang sangat pedih.
Sesungguhnya mengenal masalah-masalah kufur itu adalah perkara yang sangat penting, karena seorang yang tidak mengetahui keburukan maka sadar atau tidak, ia pasti akan terjatuh di dalamnya. Dan sungguh setiap keburukan itu sebab utamanya adalah kebodohan dan setiap kebaikan itu sebab utamanya adalah ilmu, maka ilmu adalah petunjuk yang sangat nyata terhadap segala kebaikan, dan kebodohan adalah seburuk-buruknya teman (untuk kita hindari)”. ( I’anah ath-Thalibin: 4/133)
2. Kemiskinan.
Pemurtadan seringkali terjadi pada daerah-daerah miskin dan terkena bencana. Banyak kaum Muslimin yang mengorbankan keyakinan mereka hanya untuk sesuap nasi dan sebungkus supermi.
3. Tidak adanya pemerintahan Islam
Hilangnya pemerintahan Islam yang menegakkan syariat Allah membuat musuh-musuh Islam leluasa melakukan pemurtadan dan penyesatan terhadap umat Islam. Begitu juga umat Islam tidak akanberani main-main dengan agamanya. Berikut ini beberapa bukti bahwa pemerintahan Islam mempunyai peran penting di dalam menghentikan gelombang pemurtadan :
Para Khulafa’ Rasyidin menegakan memerangi orang-orang yang murtad danmenghukumi mereka dengan hukuman mati, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar Siddiq terhadap Musailamah al-Kadzab dan para pengikutnya.
Begitu juga yang dilakukan oleh Khalifah Al Mahdi, sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Katsir pada peristiwa yangterjadi pada tahun 167 H : “ Khalifah Mahdi memburu orang-orang yang murtad kemana saja mereka bersembunyi, mereka yang tertangkap dibawa kehadiran-nya dan dibunuh di depannya . “ ( al Bidayah wa an Nihayah 10/149 )
Begitu juga pada tahun 726 H, Nashir bin as Syaraf Abu Al Fadhl al Haitsami dihukum mati karena menghina ayat-ayat Allah dan bergaul dengan para zindiq. Padahal dia orang yang menghafal kitab At Tanbih, dan bacaan al qur’annya sangat bagus (al Bidayah wa an Nihayah : 14/ 122 )
Berkata Al Qadhi Iyadh : “ Para ulama Malikiyah yang berada di Bagdad pada zaman khalifah al Muqtadir telah sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati kepada al Halaj, kemudian menyalibnya, hal itu karena dia menganggap dirinya Allah dan menyakini Aqidah al Hulul, serta menyatakan bahwa dirinya ((#F' 'D-B, padahal al Halaj secara lahir, dia menjalankan syare’at. Al Halaj ini taubatnya tidak diterima ( di dunia ) “ (Asy Syifa’ : 2/1091 )
4. Ghozwul Fikri.
Munculnya pemikiran-pemikiran sesat seperti liberalisme, pluralisme dan sekulerisme telah mendorong terjadi gelombang kemurtadan di kalangan kaum Muslimin, karena paham-paham tersebut mengajarkan bahwa semua agama sama, dan semua orang bebas melakukan perbuatan apapun juga, tanpa takut dosa. Wallahu A’lam
Penulis adalah doktor bidang fikih, Universitas Al-Azhar, Mesir
Mereka adalah orang yang sia-sia amalnya ..........
Mukadimah
Beramal adalah perintah agama, yaitu amal yang baik-baik. Amal itulah yang membedakan manusia satu dengan lainnya, bahkan yang membedakan kedudukannya di akhirat kelak. Lalu, semua manusia akan ditagih tanggung jawabnya masing-masing sesuai amal mereka di dunia.
Allah Ta’ala berfirman tentang kewajiban beramal:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Katakanlah: "Ber-amalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. At Taubah (9): 105)
Allah Ta’ala berfirman tentang kedudukan yang tinggi bagi orang yang beramal shalih:
وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَا
Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia) . (QS. Thaha (20): 74)
Allah Ta’ala berfirman tentang tanggung jawab perbuatan manusia:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS. Al Muddatsir (74): 38)
Allah Ta’ala berfirman tentang baik dan buruk amal manusia akan diperlihatkan balasannya:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Az Zalzalah (99): 7-8)
Demikianlah, keadaan manusia di akhirat kelak tergantung amalnya di dunia.
Beramal tetapi Sia-Sia
Allah Ta’ala telah menyebutkan bahwa manusia yang melaksanakan amal shalih, akan mendapatkan balasan kebaikan untuknya, walau kebaikan itu sebesar dzarrah. Namun, Allah Ta’ala juga menyebutkan adanya manusia yang bangkrut dan sia-sia amalnya, lenyap tak memiliki manfaat bagi pelakunya, karena kesalahan mereka sendiri. Siapakah mereka?
- Orang Kafir
Banyak ayat yang menyebutkan kesia-siaan amal mereka. Walaupun manusia memandangnya sebagai amal shalih, tetapi amal tersebut tidak ada manfaatnya bagi mereka karena kekafiran mereka kepada Allah dan RasulNya, dan syariatNya pula.
Di sini, kami akan sebutkan beberapa ayat saja:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا
Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (QS. Al Kahfi (18): 103-105)
Yaitu mereka telah mengingkari Al Quran dan tanda-tanda kebesaranNya, mengingkari hari akhir dan hisab. Mereka menyangka itu adalah perbuatan baik, padahal itu adalah kekufuran yang membuat terhapusnya amal-amal mereka.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya, bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ditanya oleh anaknya sendiri, siapakah yang dimaksud ayat (Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?"):
أهم الحَرُورية؟ قال: لا هم اليهود والنصارى
Apakah mereka golongan Haruriyah (khawarij)? Beliau menjawab: “Bukan, mereka adalah Yahudi dan Nasrani.” (Riwayat Bukhari No. 4728)
Dalam ayat lain:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (QS. Al Furqan (25): 23)
Dalam ayat lain:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا
Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS. An Nuur (24): 39)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menerangkan:
فهو للكفار الدعاة إلى كفرهم، الذين يحسبون أنهم على شيء من الأعمال والاعتقادات، وليسوا في نفس الأمر على شيء، فمثلهم في ذلك كالسراب الذي يرى في القيعان من الأرض عن بعد كأنه بحر طام
Ini adalah bagin orang kafir yang menyeru kepada kekafiran mereka, yaitu orang-orang yang menyangka bahwa mereka beruntung dengan amal dan keyakinan mereka, padahal urusan mereka itu bukanlah apa-apa, perumpamaan mereka itu seperti fatamorgana yang dilihat di tanah datar dari kejauhan seolah seperti lautan yang amat luas. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/70)
Para ulama telah membuat klasifikasi (ashnaaf) kaum kafirin sebagai berikut, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al Kisani Rahimahullah:
صِنْفٌ مِنْهُمْ يُنْكِرُونَ الصَّانِعَ أَصْلاً ، وَهُمُ الدَّهْرِيَّةُ الْمُعَطِّلَةُ .
وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ بِالصَّانِعِ ، وَيُنْكِرُونَتَوْحِيدَهُ ، وَهُمُ الْوَثَنِيَّةُ وَالْمَجُوسُ .
وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ بِالصَّانِعِ وَتَوْحِيدِهِ ، وَيُنْكِرُونَ الرِّسَالَةَ رَأْسًا ، وَهُمْ قَوْمٌ مِنَ الْفَلاَسِفَةِ .
وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ الصَّانِعَ وَتَوْحِيدَهُ وَالرِّسَالَةَ فِي الْجُمْلَةِ ، لَكِنَّهُمْ يُنْكِرُونَ رِسَالَةَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
Kelompok yang mengingkari adanya pencipta, mereka adalah kaum dahriyah dan mu’aththilah (atheis).
Kelompok yang mengakui adanya pencipta, tapi mengingkari keesaanNya, mereka adalah para paganis (penyembah berhala) dan majusi.
Kelompok yang mengakui pencipta dan mengesakanNya, tapi mengingkari risalah yang pokok, mereka adalah kaum filsuf.
Kelompok yang mengakui adanya pencipta, mengesakanNya, dan mengakui risalahNya secara global, tapi mengingkari risalah Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka adalah Yahudi dan Nasrani. (Al Bada’i Ash Shana’i, 7/102-103, lihat juga Al Mughni, 8/263)
- Orang Musyrik
Amal shalih orang musyrik juga akan sia-sia karena kesyirikan yang dia lakukan. Hal ini diterangkan beberapa ayat, kami sebutkan satu saja:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. (QS. Al An’am (6): 88)
Imam Abul Farj bin Al Jauzi Rahimahullah menjelaskan:
أي : لبطل وزال عملهم ، لأنه لا يقبل عمل مشرك
Yaitu benar-benar sia-sia dan lenyap amal mereka, karena Dia tidak menerima perbuatan orang musyrik. (Zaadul Masir, 3/271. Mawqi’ At Tafasir)
Syaikh As Sa’di Rahimahullah menjelaskan:
{ لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ } فإن الشرك محبط للعمل، موجب للخلود في النار
(niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan) karena syirik menghapuskan amal, dan membuat kekekalan di neraka. (Taysir Al Karim Ar Rahman, Hal. 263. Cet. 1, 1420H-2000M. Muasasah Ar Risalah)
Musyrik di sini adalah orang yang telah melakukan kesyirikan yang besar (syirk akbar) yang membuat pelakunya menjadi murtad dari Islam. Kelompok inilah yang membuat semua amalnya sia-sia. Ada pun kesyirikan kecil (syirk ashghar) yang tidak membuat pelakunya menjadi murtad, dan dia melakukan karena kebodohan, maka amal yang ditolak hanyalah amal syiriknya itu saja, tidak melenyapkan semua amalnya yang lain. Sebab orang ini masih muslim, belum keluar dari Islam.
- Orang Yang Murtad dari Islam
Orang yang murtad dari Islam, baik dia sengaja memproklamirkan kemurtadannya, atau dia melakukan perbuatan yang membuatnya murtad, walau dia tidak mengakui dilisannya, maka semua amal shalihnya menjadi sia-sia. Hal ini langsung Allah Ta’ala firmankan dalam Al Quran dalam beberapa ayat, di antaranya:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqarah (2): 217)
Disebutkan dalam Tafsir Al Muyassar:
ومن أطاعهم منكم -أيها المسلمون- وارتدَّ عن دينه فمات على الكفر، فقد ذهب عمله في الدنيا والآخرة، وصار من الملازمين لنار جهنم لا يخرج منها أبدًا
Barangsiapa di antara kalian yang mentaati mereka (kaum kafir) –wahai kaum muslimin- dan murtad dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka telah terhapus amalnya di dunia dan akhirat, dan dia akan menetap di neraka jahanam selamanya, tidak akan keluar darinya. (Tafsir Al Muyassar, 1/231. Pengantar: Dr. Abdulah bin Abdul Muhsin At Turki)
Ayat lainnya:
وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka terhapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al Maidah (5): 5)
Imam Al Baghawi menerangkan tentang ayat ini:
قال ابن عباس ومجاهد في معنى قوله تعالى: "ومن يكفر بالإيمان" أي: بالله الذي يجب الإيمان به.
وقال الكلبي: بالإيمان أي: بكلمة التوحيد وهي شهادة أن لا إله إلا الله.
وقال مقاتل: بما أُنزل على محمد صلى الله عليه وسلم وهو القرآن، وقيل: من يكفر بالإيمان أي: يستحل الحرام ويحرّم الحلال فقد حبط عمله، وهو في الآخرة من الخاسرين قال ابن عباس: خسر الثواب.
Berkata Ibnu Abbas dan Mujahid tentang makna firman Allah Ta’ala “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman”, yaitu: kepada Allah yang wajib iman kepadanya. Al Kalbiy berkata tentang “bil iman”, yaitu kalimat tauhid, laa ilaha illallah. Muqatil berkata: “Iman kepada yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yakni Al Quran.” Dikatakan pula: “Barangsiapa yang kafir setelah beriman” yaitu yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, maka dia telah terhapus amalnya, dan dia diakhirat termasuk golongan merugi. Ibnu Abbas berkata: “Merugi pahalanya.” (Lihat Ma’alim At Tanzil, 3/20)
- Orang yang tidak ikhlas beramal
Orang yang amalnya bukan untuk Allah Ta’ala, bukan mengharap keridhaanNya, tetapi karena supaya dilihat (riya’), atau supaya didengar (sum’ah) manusia, maka dia termasuk yang ditolak amalnya dan sia-sialah amalnya itu. Namun, tertolaknya amal orang tersebut hanya terbatas pada amal yang memang riya’ dan sum’ah saja, tidak serta merta menghanguskan semua amal lainnya. Hal ini karena orang tersebut belum sampai syirik akbar, kafir, dan murtad. Sedangkan riya’ dan sum’ah termasuk syirik, yakni syirk ashghar (syirik kecil).
Allah Ta’ala berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al kahfi (18): 110)
Dalam Tafsir Al Muyassar dijelaskan:
فمَن كان يخاف عذاب ربه ويرجو ثوابه يوم لقائه، فليعمل عملا صالحًا لربه موافقًا لشرعه، ولا يشرك في العبادة معه أحدًا غيره.
Barangsiapa yang takut azab RabbNya, dan mengharapkan pahalaNya pada hari pertemuan denganNya, maka hendaknya dia melakukan amal shalih kepada Rabbnya yang sesuai dengan syariatNya, dan jangan menyekutukan Dia dalam beribadah dengan apa pun selainNya. (Tafsir Al Muyassar, 5/210)
Dalam hadits Qudsi, Allah Ta’ala menolak perbuatan orang yang bukan karenaNya:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Barang siapa yang melakukan perbuatan, di dalamnya terdapat persekutuan bersamaKu dengan yang selain Aku, maka aku tinggalkan amalnya dan sekutunya itu. (HR. Muslim No. 2985)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengomentari hadits ini:
ومعناه أنا غني عن المشاركة وغيرها ، فمن عمل شيئا لي ولغيري لم أقبله ، بل أتركه لذلك الغير . والمراد أن عمل المرائي باطل لا ثواب فيه ، ويأثم به
Maknanya, “Sesungguh Aku (Allah) lebih kaya dari persekutuan dan selainnya, maka siapa saja yang melakukan sesuatu untukKu dan untuk selainKu maka tidak akan diterima, bahkan Aku akan tinggalkan amal itu karena hal yang lain itu.” Maksudnya bahwa perbuatan orang yang riya’ adalah sia-sia, tidak ada pahala, dan dia berdosa. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 18/116)
- Orang yang berbuat bid’ah
Pelaku bid’ah (perbuatan yang mengada-ada dan bertentangan dengan syariat), walau dia menyangka amalnya adalah amal shalih, maka amal bid’ah tersebut tertolak. Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:
فإن للعمل المتقبل شرطين، أحدهما: أن يكون خالصًا لله وحده والآخر: أن يكون صوابًا موافقا للشريعة. فمتى كان خالصًا ولم يكن صوابًا لم يتقبل؛ ولهذا قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد"
Sesungguhnya amal yang diterima itu mesti memenuhi dua syarat: 1. Hendaknya ikhlas untuk Allah semata. 2. Amal tersebut benar sesuai dengan syariat. Maka, ketika amal itu ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima, oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang beramal yang bukan termasuk perintah kami maka itu tertolak.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/385)
Hadits yang dijadikan dalil oleh Imam Ibnu Katsir ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Al I’tisham bil Kitab was Sunnah Bab Idza Ijtahada Al ‘Amil aw Al Hakim Fa Akhtha’a Khilafar Rasuli min Ghairi ‘Ilmin fahukmuhu Mardud. (lalu disebutkan hadits: man ‘amila ‘amalan .. dst tanpa menuliskan sanadnya (mu’alaq) dan dengan shighat jazm: Qaala Rasulullah ….), Imam Muslim dalam Shahihnya, juga pada No. 1718, Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya No. 81, Imam Ahmad dalam Musnadnya No.26191.
Allah Ta’ala juga berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk : 2)
Siapakah yang lebih baik amalnya? Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah menjelaskan, sebagaimana dikutip Imam Ibnu Taimiyah:
أخلصه وأصوبه فقيل : يا أبا علي ما أخلصه وأصوبه ؟ فقال : إن العمل إذا كان صوابا ولم يكن خالصا لم يقبل . وإذا كان خالصا ولم يكن صوابا لم يقبل حتى يكون خالصا صوابا . والخالص : أن يكون لله والصواب أن يكون على السنة
“Yang paling ikhlas dan benar.” Lalu ada yang bertanya: “Wahai Abu Ali (Fudhail bin ‘Iyadh), apakah yang ikhlas dan benar itu?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya perbuatan jika benar tapi tidak ikhlas belum diterima. Jika ikhlas tapi tidak benar juga belum diterima, sampai dia ikhlas dan benar. Ikhlas adalah hanya menjadikan ibadahnya untuk Allah, dan benar adalah perbuatan itu sesuai sunah.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, 28/177. Cet. 3, 2005M-1426H. Tahqiq: ‘Anwar Al Baaz dan ‘Amir Al Jazaar. Darul Wafa’)
Imam Ibnu Taimiyah juga menulis:
وقد روى ابن شاهين واللالكائي عن سعيد بن جبير قال : لا يقبل قول وعمل إلا بنية ولا يقبل قول وعمل ونية إلا بموافقة السنة
Diriwayatkan dari Ibnu Syaahin dan Al Lalika’i, dari Sa’id bin Jubeir, dia berkata: “Ucapan dan perbuatan tidak akan diterima kecuali dengan niat, dan tidak akan diterima ucapan, perbuatan dan niat, kecuali dengen kesesuaiannya dengan As Sunnah. (Ibid)
- Orang Yang Muflis (bangkrut)
Siapakah mereka? Berikut ini riwayat yang menjelaskan golongan tersebbut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apakah kalian tahu apa itu muflis (bangkrut)?” Mereka menjawab: “Orang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak punya perhiasan.” Beliau bersabda: “Orang bangkrut pada umatku, dia akan datang pada hari kiamat nanti dengan amalan shalat, puasa, dan zakatnya, dan dia juga telah mencela, telah melempar tuduhan, memakan harta (tanpa hak), menumpahkan darah (tanpa hak), dan memukul (menyakiti). Maka, kebaikan-kebaikan dia akan dilimpahkan kepada orang-orang tersebut. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan dilimpahkan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke neraka. (HR. Muslim No. 2581, At Tirmidzi No. 2418, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 2778, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 11283, Ibnu Hibban No. 4411)
Hadits ini menceritakan tentang makna bangkrut (muflis) secara ma’nawiyah, bukan haqiqiyah. Jawaban para sahabat adalah makna bangkrut secara haqiqiyah. Sedangkan nabi mengajarkan mereka tentang makna bangkrut bagi manusia di akhirat.
Kita lihat, betapa sia-sia amal kebaikan mereka yang suka mencela, menuduh tanpa bukti, mengambil harta yang bukan hak, menumpahkan darah, dan menyakiti manusia. Semua kebaikannya tergerus dan berpindah kepada orang yang pernah menjadi korbannya. Sedangkan dosa-dosa korbannya berpindah kepada orang tersebut.
- Menyakiti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Tentang hal ini, Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. Al Hujurat (49): 2)
Ayat ini menerangkan bahwa perilaku yang dapat menyakiti dan membuat marah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti bersuara melebihi suara beliau di hadapannya, dapat menghilangkan pahala dari pelakunya.
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
أي: إنما نهيناكم عن رفع الصوت عنده خشية أن يغضب من ذلك، فيغضب الله لغضبه، فيحبط الله عمل من أغضبه وهو لا يدري
Yaitu sesungguhnya Kami melarang kalian meninggikan suara di hadapannya dikhawatiri dia marah karena hal itu, maka marah-lah Allah karena kemarahannya, lalu Allah menghapus amalan orang yang membuatnya marah, dan dia tidak tahu. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/368)
Jika bersuara melebihi suara nabi saja dapat menghilangkan pahala, apalagi orang yang menentang, menghina dan menolak ajarannya, serta memperolok-olok sunahnya, baik yang dianggap sepele atau dalam masalah besar?
Sekian. Wallahu A’lamOleh: Farid Nu’man Hasan
Istimbath Hukum Ahli Hadits dan Ahli Fiqh
Pertanyaan:
Apakah memang berbeda pola pengambilan kaidah hukum antara "mazhab ahlu hadits" dengan "madzhab ahlu fiqh"?, Karena dalam banyak kasus, sering terjadi perbedaan hukum antara Ustadz / ulama ahlu hadits dengan Ustadz/ulama ahlu fiqh.
Mungkin bisa ustadz berkenan, bisa dijelaskan dasar-dasar yang membuat mereka berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum (antara ulama ahlu fiqh dengan ahlu hadits). (Abu Amar)
Jawaban:
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:
Pada dasarnya, pada sisi sumber pokoknya tidak ada perbedaan antara para ulama dalam menyimpulkan hukum pada sebuah permasalahan.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Al Fatawa, 3/6) sumber-sumber dalam pengambilan hukum adalah (secara ringkas):
- Al Quran, telah disepakati oleh para imam dan seluruh kaum muslimin, tak ada yang menentangnya kecuali orang sesat
- Sunah , yang tidak bertentangan dengan zhahir ayat Al Quran, tetapi menafsirkan Al Quran, seperti jumlah shalat, jumlah rakaat, nishab zakat, manasik haji, Umrah, dan hukum-hukum lainnya.
- Ijma’ (kesepakatan), ini disepakati umumnya kaum muslimin dari kalangan ahli fiqih, ahli hadits, sufi, ahli kalam. Sedangkan ahli bid’ah seperti mu’tazilah dan syi’ah menolaknya. Sebagian ulama mengatakan ijma’ hanya bisa terjadi pada masa sahabat saja, ada pula yang mengatakan, bisa pada masa sahabat dan tabi’in.
4. Qiyas (analogi) terhadap nash dan Ijma’, ini diakui oleh mayoritas ahli fiqih, bahkan kaum rasionalis berlebihan dalam menggunakannya, sampai mereka membantah nash. Sedangkan kaum zhahiri (tekstualis) menolaknya.
5. Al Istish-hab, hukum asal dari sesuatu selama belum ada ketetapan yang merubahnya, yang halal adalah halal selamanya jika tidak ada alasan yang merubah statusnya, begitu pula yang haram.
6. Al Mashalih Mursalah, yaitu pendapat seorang mujtahid bahwa sebuah perbuatan memiliki manfaat yang kuat dan nash syara’ tidak melarangnya. Para fuqaha berbeda pendapat kebolehan menggunakan metode ini. (selesai dari Imam Ibnu Taimiyah)
Sementara ulama lain menambahkan dengan Al Istihsan (perbuatan yang dipandang baik), Al ‘Urf (tradisi), Asy Syar’u man qablana (syariat orang terdahulu), Al Qaul Ash Shahabiy (pendapat sahabat), Al ‘Amal ahlul Madinah (perbuatan penduduk Madinah) dan Dzari’ah (menolak yang mubah untuk menghindar keharaman).
Point satu sampai tiga (Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’) yang disebutkan Imam Ibnu Taimiyah, telah disepakati oleh semua ulama dari berbagai disiplin ilmu. Ada pun point lain setelahnya diperselisihkan oleh mereka, sebagaimana dirinci dalam berbagai kitab Ushul Fiqh. Nah, perbedaan mereka dalam penerimaan terhadap sumber-sumber selain tiga point itu, berdampak pada perbedaan hasil hukum yang mereka ijtihadkan. Perbedaan itu terjadi walau dengan sesama ahli fiqih.
Ingin saya tegaskan di sini, dahulu para ulama yang concern dengan hadits, mereka juga perhatian dan memahami fiqih dengan baik. Sebagaimana para ahli fiqih juga sangat perhatian dengan hadits. Oleh karena itu nama-nama seperti Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Al Bukhari, Imam At Tirmidzi, atau yang setelah mereka seperti Imam Ibnu Hazm, Imam An Nawawi, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Hajar, dan banyak lagi, mereka adalah lautan dalam ilmu hadits, tetapi mereka juga bintangnya para fuqaha (ahli fiqih).
Juga nama-nama seperti Imam Asy Syafi’i, Imam Al Auza’i, Imam Al Laits bin Sa’ad, dan lainnya, mereka adalah lautan dalam ilmu fiqih, tetapi mereka juga bintangnya para ahli hadits.
Bahkan Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengancam akan memukul dengan pelepah kurma, orang yang belajar hadits tetapi tidak memahami fiqih, atau orang yang belajar fiqih tetapi tidak memahami ilmu hadits. Sebab, bagaimana mungkin seorang belajar fiqih tanpa mendalami hadits, sebab dari hadits-lah berbagai permasalahan fiqih paling banyak dibahas. Dan, bagaimana mungkin pula seorang belajar hadits tanpa mendalami fiqih hadits tersebut, bagaikan seorang memiliki barang berharga tetapi tidak mengerti nilai, harga, dan kegunaan barang tersebut. Oleh karenanya, seharusnya ahli fiqih dan ahli hadits bukanlah dua kelompok yang di posisikan vis a vis (saling berbenturan), namun mereka adalah satu kesatuan yang saling menguatkan. Jika pun nantinya tetap ada perbedaan, maka itu merupakan bagian dari keragaman yang memang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan.
Kenyataan hari ini, tak bisa diingkari, seakan keduanya adalah hal terpisah. Ahli fiqih ada di sebuah lembah, ahli hadits ada di lembah lain. Sampai-sampai dianggap bahwa para ahli hadits adalah orang yang miskin fiqihnya dan berbahaya mengambil ilmu fiqih dari mereka. Mereka dianggap kelompok yang gegabah dalam memahami fiqih, hanya dari hadits tanpa menimbang berbagai variabel lain, padahal untuk melahirkan keputusan fiqih mesti melihat dari berbagai sisi (holistik), seperti kaidah, maqashid-nya, kondisi dan kebiasaan masyarakat. Sebaliknya, sebagaian menganggap bahwa para ahli fiqih adalah orang bodoh dalam hadits, maka curigailah kekuatan dalil dan argumentasinya, karena mereka bagaikan pencari kayu bakar di malam hari (maksudnya, tidak bisa membedakan antara hadits shahih dan dhaif, bagaikan pencari kayu bakar yang tidak bisa membedakan mana kayu bakar mana rumput basah). Lalu, masing-masing pihak punya pendukung fanatiknya. Jika mengutip fiqih mereka lebih suka mengambil dari Syaikh Al Qaradhawi, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Musthafa Az Zarqa’, Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan, dan fuqaha lainnya. Jika mengutip hadits manusia yang lain lebih tenang mengutip dari Syaikh Al Albani, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Abdul Fatah Abu Ghuddah, Syaikh Habiburrahman Al A’zhami, dan muhaddits kontemporer lainnya. Namun kita yakin dan percaya, bahwa para ulama ini adalah manusia yang juga mempelajari fiqih dan hadits sekaligus, hanya saja nama mereka sudah terlanjur dikenal di masyarakat sebagai ahli fiqih saja, atau ahli hadits saja, padahal tidak demikian. Dan, seharusnya memang jangan sampai diposisikan dua pihak adalah pihak yang selalu berseberangan.
Kita berharap –walaupun sangat sulit mencari yang mumpuni dikeduanya- paling tidak masih bisa memadukan kedua kelompok ini. Syaikh Muhammad Al Ghazali Rahimahullah menganologikan hubungan antara ahli hadits dan ahli fiqih, bagaikan pemiliki barang bangunan dan tukang bangunan. Pemilik bangunan adalah pihak yang paling tahu barang mana yang paling bagus, kuat, dan layak dipakai, sedangkan tukang bangunan yang paling tahu memanfaatkan barang-barang bangunan untuk jadi apa, di bentuk bagaimana, dan seterusnya, sehingga layak dihuni dan indah dipandang. Itulah ahli hadits – si pemilik barang bangunan- dan ahli fiqih –si tukang bangunannya.
Bisa juga diumpamakan seperti tukang sayur yang paling tahu kualitas sayur dan berbagai bahan makanan, dengan juru masak yang paling tahu bagaimana mengolah sayur dan bahan makanan tersebut menjadi makanan lezat dan sehat. Itulah ahli hadits dan ahli fiqih.
Wallahu A’lam
Oleh: Farid Nu’man Hasan
Subscribe to:
Posts (Atom)