Beberapa contoh cara mendidik anak
yang nakal
Mendidik anak merupakan perkara yang
mulia tapi gampang-gampang susah dilakukan, karena di satu sisi, setiap orang
tua tentu menginginkan anaknya tumbuh dengan akhlak dan tingkah laku terpuji,
tapi di sisi lain, mayoritas orang tua terlalu dikuasai rasa tidak tega untuk
tidak menuruti semua keinginan sang anak, sampai pun dalam hal-hal yang akan
merusak pembinaan akhlaknya.
Sebagai orang yang beriman kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita meyakini bahwa sebaik-baik nasihat untuk
kebaikan hidup kita dan keluarga adalah petunjuk yang diturunkan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam al-Qur-an dan sabda-sabda nabi-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ
جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا
فِي
الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ. قُلْ
بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ
خَيْرٌ
مِمَّا
يَجْمَعُونَ
“Wahai manusia, sesungguhnya telah
datang kepadamu nasihat dari Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala), penyembuh
bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia) dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman. Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya,
hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih
baik dari perhiasan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.’” (QS. Yunus:
57-58).
Dalam hal yang berhubungan dengan
pendidikan anak, secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan
orang-orang yang beriman akan besarnya fitnah yang ditimbulkan karena
kecintaan yang melampaui batas terhadap mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ
مِنْ
أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ
فَاحْذَرُوهُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS. at-Taghabun: 14).
Makna “menjadi musuh bagimu”
dalam firman-Nya adalah “melalaikan kamu dari melakuakan amal shalih dan bisa
menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[1]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata,
“…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan
anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala
memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan
mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang
dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu)
melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya….”[2]
Fenomena kenakalan anak
Fenomena ini merupakan perkara besar
yang cukup memusingkan dan menjadi beban pikiran para orangtua dan pendidik,
karena fenomena ini cukup merata dan dikeluhkan oleh mayoritas masyarakat,
tidak terkecuali kaum muslimin.
Padahal, syariat Islam yang sempurna
telah mengajarkan segala sesuatu kepada umat Islam, sampai dalam masalah yang
sekecil-kecilnya, apalagi masalah besar dan penting seperti pendidikan anak.
Sahabat yang mulia, Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu pernah ditanya
oleh seorang musyrik, “Sungguhkah Nabi kalian (Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai
(masalah) adab buang air besar?” Salman menjawab, “Benar. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau
ketika buang air kecil….”[3]
Bukankah Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang mensyariatkan agama ini Dialah yang menciptakan alam semesta
beserta isinya dan Dialah yang maha mengetahui kondisi semua makhluk-Nya serta
cara untuk memperbaiki keadaan mereka? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَلا يَعْلَمُ مَنْ
خَلَقَ
وَهُوَ
اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Bukankah Allah yang menciptakan
(alam semesta besrta isinya) Maha Mengetahui (keadaan mereka)?, dan Dia
Maha Halus lagi Maha Mengetahui (segala sesuatu dengan terperinci).” (QS.
al-Mulk: 14).
Akan tetapi, kenyataan pahit yang
terjadi adalah, untuk mengatasi fenomena buruk tersebut, mayoritas kaum
muslimin justru lebih percaya dan kagum terhadap teori-teori/ metode pendidikan
anak yang diajarkan oleh orang-orang barat, yang notabene kafir dan
tidak mengenal keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mereka rela
mencurahkan waktu, tenaga dan biaya besar untuk mengaplikasikan teori-teori
tersebut kepada anak-anak mereka.
Mereka lupa bahwa orang-orang kafir
tersebut sendiri tidak mengetahui dan mengusahakan kebaikan untuk diri mereka
sendiri, karena mereka sangat jauh berpaling dan lalai dari mengenal kebesaran
Allah ‘Azza wa Jalla yang menciptakan mereka, sehingga Allah Subhanahu
wa Ta’ala menjadikan mereka lupa kepada segala kebaikan dan kemuliaan untuk
diri mereka sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا
اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu seperti
orang-orang yang lupa (lalai) kepada Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa
kepada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS.
al-Hasyr: 19)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
berkata, “Renungkanlah ayat (yang mulia) ini, maka kamu akan menemukan suatu
makna yang agung dan mulia di dalamnya, yaitu barangsiapa yang lupa kepada
Allah, maka Allah akan menjadikan dia lupa kepada dirinya sendiri, sehingga dia
tidak mengetahui hakikat dan kebaikan-kebaikan untuk dirinya sendiri. Bahkan,
dia melupakan jalan untuk kebaikan dan keberuntungan dirinya di dunia dan
akhirat. Dikarena dia telah berpaling dari fitrah yang Allah jadikan
bagi dirinya, lalu dia lupa kepada Allah, maka Allah menjadikannya lupa kepada
diri dan perilakunya sendiri, juga kepada kesempurnaan, kesucian dan
kebahagiaan dirinya di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
وَلا تُطِعْ
مَنْ
أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ
ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
“Dan janganlah kamu mengikuti
orang yang telah kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa
(nafsu)nya, dan keadaannya itu melampaui batas.” (QS. al-Kahfi: 28).
Dikarenakan dia lalai dari mengingat
Allah, maka keadaan dan hatinya pun melampaui batas (menjadi rusak), sehingga
dia tidak memperhatikan sedikit pun kebaikan, kesempurnaan serta kesucian jiwa
dan hatinya. Bahkan, (kondisi) hatinya (menjadi) tak menentu dan tidak terarah,
keadaannya melampaui batas, kebingungan serta tidak mendapatkan petunjuk ke
jalan (yang benar).”[4]
Maka orang yang keadaannya seperti
ini, apakah bisa diharapkan memberikan bimbingan kebaikan untuk orang lain,
sedangkan untuk dirinya sendiri saja kebaikan tersebut tidak bisa
diusahakannya? Mungkinkah orang yang seperti ini keadaannya akan merumuskan
metode pendidikan anak yang baik dan benar dengan pikirannya, padahal pikiran
mereka jauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memahami
kebenaran yang hakiki? Adakah yang mau mengambil pelajaran dari semua ini?
[1] Lihat Tafsir
Ibnu Katsir: 4/482.
[2] Taisirul
Karimir Rahman, hlm. 637.
[3] Hadits
shahih riwayat Muslim, no. 262.
[4] Kitab Miftahu
Daris Sa’adah: 1/86.
Sebab kenakalan anak menurut syariat Islam
Termasuk sebab utama yang memicu penyimpangan akhlak pada anak, bahkan pada
semua manusia secara umum, adalah godaan setan yang telah bersumpah di hadapan
Allah
Subhanahu wa Ta’ala untuk menyesatkan manusia dari jalan-Nya
yang lurus. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
قَالَ فَبِمَا
أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ.
ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ
وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ
شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ
شَاكِرِينَ
“
Iblis (setan) berkata, ‘Karena Engkau telah menghukumi saya tersesat,
sungguh saya akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya
akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari
kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat
kepada-Mu).’” (QS. Al-A’raf: 16-17).
Dalam upayanya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar, setan
berusaha menanamkan benih-benih kesesatan pada diri manusia sejak pertama kali
mereka dilahirkan ke dunia ini, untuk memudahkan usahanya selanjutnya setelah
manusia itu dewasa.
Dalam sebuah hadits
qudsi, Allah
Subhanahu wa Ta’ala
berfirman, yang artinya, “
Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku
semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian
setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).”
[1]
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “
Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan
(godaan untuk menyesatkan) yang berasal dari setan.“
[2]
Perhatikanlah hadits yang agung ini! Betapa setan berupaya keras untuk
menyesatkan manusia sejak mereka dilahirkan ke dunia. Padahal, bayi yang baru
lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia, dan godaan-godaan duniawi
lainnya, maka bagaimana keadaannya kalau dia telah dewasa dan mengenal semua
godaan tersebut?
[3]
Di samping sebab utama di atas, ada faktor-faktor lain yang memicu dan
mempengaruhi penyimpangan akhlak pada anak, berdasarkan keterangan dari
ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, pengaruh didikan buruk kedua orangtua
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua bayi
(manusia) dilahirkan di atas
fithrah (kecenderungan menerima kebenaran
Islam dan tauhid), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya (beragama)
Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
[4]
Hadits ini menunjukkan bahwa semua manusia yang dilahirkan di dunia memiliki
hati yang cenderung kepada Islam dan tauhid, sehingga kalau dibiarkan dan tidak
dipengaruhi maka nantinya dia akan menerima kebenaran Islam. Akan tetapi, kedua
orang tuanyalah yang memberikan pengaruh buruk, bahkan menanamkan kekafiran dan
kesyirikan kepadanya.
[5]
Syekh Bakr Abu Zaid berkata, “Hadits yang agung ini menjelaskan sejauh mana
pengaruh dari kedua orangtua terhadap (pendidikan) anaknya, dan (pengaruh
mereka dalam) mengubah anak tersebut dalam penyimpangan dari konseuensi
(kesucian) fitrahnya kepada kekafiran dan kefasikan….
(Di antara contoh pengaruh buruk tersebut adalah) jika seorang ibu tidak
memakai
hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan
dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka
berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul
dengan kaum lelaki yang bukan
mahram-nya, dan lain sebagainya, maka
ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktik (nyata)
bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan
memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa
(kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga
kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu. Inilah yang dinamakan
‘pengajaran pada
fitrah (manusia)’.”
[6]
Kedua, pengaruh lingkungan dan teman bergaul yang buruk
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “
Perumpamaan
teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul) yang buruk (adalah) seperti
pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kiir (tempat menempa besi). Maka,
penjual minyak wangi bisa jadi memberimu minyak wangi atau kamu membeli (minyak
wangi) darinya, atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya.
Sedangkan peniup al-kiir (tempat menempa besi), bisa jadi (apinya) akan
membakar pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap
darinya.”
[7]
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan
orang-orang yang baik akhlak dan tingkah lakunya, karena adanya pengaruh baik
yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadits tersebut sekaligus
menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk akhlaknya dan pelaku
maksiat karena pengaruh buruk yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka.
[8]
Ketiga, sumber bacaan dan tontonan
Pada umumnya, anak-anak mempunyai jiwa yang masih polos, sehingga sangat
mudah terpengaruh dan mengikuti apa pun yang dilihat dan didengarnya dari
sumber bacaan atau berbagai tontonan.
Apalagi, memang kebiasan meniru dan mengikuti orang lain merupakan salah
satu watak bawaan manusia sejak lahir, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam,
الأرواح جنود
مجندة، فما تعارف منها
ائتلف وما تناكر اختلف
“
Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama. Maka, yang saling
bersesuaian di antara mereka akan saling berdekatan, dan yang tidak bersesuaian
akan saling berselisih.”
[9]
Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk
diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan
bermanfaat.
Syekh Abdurrahman as-Sa’di berkata ketika menafsirkan firman Allah
Subhanahu
wa Ta’ala,
وَكُلا نَقُصُّ
عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ
مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ
فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ
وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“
Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah
yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dan dalam surat ini telah datang kepadamu
kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”
(QS. Hud: 120).
Beliau berkata, “Yaitu, supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan
(supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para rasul
‘alaihimus sallam,
karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan
(ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shalih, serta berlomba
dalam mengerjakan kebaikan….”
[10]
[1]
Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2865.
[2]
Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2367.
[3]
Lihat kitab Ahkamul Maulud fis Sunnatil Muthahharah, hlm. 23.
[4]
Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 1319, dan Muslim no. 2658.
[5]
Lihat kitab ‘Aunul Ma’bud: 12/319–320.
[6]
Kitab Hirasatul Fadhilah, hlm. 130–131.
[7]
Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5214, dan Muslim no. 2628.
[8]
Lihat kitab Syarhu Shahihi Muslim: 16/178 dan Faidhul Qadir: 3/4.
[9]
Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 3158, dan Muslim no. 2638.
[10]
Kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 392.
Syariat Islam yang agung mengajarkan
kepada umatnya beberapa cara pendidikan bagi anak yang bisa ditempuh untuk
meluruskan penyimpangan akhlaknya. Di antara cara-cara tersebut adalah:
Pertama, teguran dan nasihat yang
baik
Ini termasuk metode pendidikan yang
sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering
dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke
berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan
makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“[1]
Serta dalam hadits yang terkenal,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman
beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil,
sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah
(batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah
(batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”[2]
Kedua, menggantung tongkat atau alat
pemukul lainnya di dinding rumah
Ini bertujuan untuk mendidik
anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni
rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”[3]
Bukanlah maksud hadits ini agar
orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar
membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka
meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.[4]
Imam Ibnul Anbari berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan
perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada
seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi
pendidikan bagi mereka.”[5]
Masih banyak cara pendidikan bagi
anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu[6]
menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk
menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling
atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang
tidak melanggar syariat, dan lain-lain.
Bolehkah memukul anak yang nakal
untuk mendidiknya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan)
shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena
(meninggalkan) shalat (lima waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun,
serta pisahkanlah tempat tidur mereka.“[7]
Hadits ini menunjukkan bolehnya
memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka melakukan perbuatan yang
melanggar syariat, jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya
bisa menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya –dan ini biasanya di usia
sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut tidak terlalu keras dan tidak
pada wajah.[8]
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin ketika ditanya, “Bolehkah menghukum anak yang melakukan kesalahan
dengan memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau pedis di mulutnya,
seperti cabai/ lombok?”, beliau menjawab, “Adapun mendidik (menghukum) anak
dengan memukulnya, maka ini diperbolehkan (dalam agama Islam) jika anak
tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil pelajaran
dari pukulan tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.
Adapun memberikan sesuatu yang pedis
(di mulutnya) maka ini tidak boleh, karena ini bisa jadi mempengaruhinya
(mencelakakannya)…. Berbeda dengan pukulan yang dilakukan pada badan maka ini
tidak mengapa (dilakukan) jika anak tersebut bisa mengambil pelajaran darinya,
dan (tentu saja) pukulan tersebut tidak terlalu keras.
Untuk anak yang berusia kurang dari
sepuluh tahun, hendaknya dilihat (kondisinya), karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam hanya membolehkan untuk memukul anak (berusia) sepuluh
tahun karena meninggalkan shalat. Maka, yang berumur kurang dari sepuluh tahun
hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang, seorang anak kecil yang belum
mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman (yang baik), kecerdasan dan
tubuh yang besar (kuat) sehingga bisa menerima pukulan, celaan, dan pelajaran
darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul), dan terkadang ada anak kecil
yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini tidak boleh dipukul).”[9]
Cara-cara menghukum anak yang tidak
dibenarkan dalam Islam[10]
Di antara cara tersebut adalah:
1. Memukul wajah
Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, yang artinya, “Jika salah seorang
dari kalian memukul, maka hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.”[11]
2. Memukul yang terlalu keras
sehingga berbekas
Ini juga dilarang oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.[12]
3. Memukul dalam keadaan sangat
marah
Ini juga dilarang karena
dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara berlebihan.
Dari Abu Mas’ud al-Badri, dia
berkata, “(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti,
maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku, ‘Ketahuilah, wahai Abu
Mas’ud!’ Akan tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang
sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka ternyata dia adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau yang berkata,
‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Maka aku pun
melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda, ‘Ketahuilah, wahai
Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada kamu
terhadap budak ini,’ maka aku pun berkata, ‘Aku tidak akan memukul budak
selamanya setelah (hari) ini.‘”[13]
4. Bersikap terlalu keras dan kasar
Sikap ini jelas bertentangan dengan
sifat lemah lembut yang merupakan sebab datangnya kebaikan, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terhalang
dari (sifat) lemah lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang dari (mendapat)
kebaikan.”[14]
5. Menampakkan kemarahan yang sangat
Ini juga dilarang karena
bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah
orang yang kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi),
tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.“[15]
Penutup
Demikianlah bimbingan yang mulia
dalam syariat Islam tentang cara mengatasi penyimpangan akhlak pada anak, dan
tentu saja taufik untuk mencapai keberhasilan dalam amalan mulia ini ada di
tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, banyak berdoa dan
memohon kepada-Nya merupakan faktor penentu yang paling utama dalam hal ini.
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini
dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya
yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa
menganugerahkan kepada kita taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan
petunjuk-Nya dalam mendidik dan membina keluarga kita, untuk kebaikan hidup
kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya
Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengabulkan doa.
وصلى الله
وسلم
وبارك
على
نبينا
محمد
وآله
وصحبه
أجمعين، وآخر
دعوانا
أن
الحمد
لله
رب
العالمين
Kota Kendari, 9 Dzulhijjah 1431 H,
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim,
M.A
[1]
Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5061, dan Muslim no. 2022.
[2]
Hadits riwayat At-Tirmidzi no. 2516, Ahmad: 1/293), dan lain-lain; dinyatakan
shahih oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ish
Shagir, no. 7957.
[3]
Hadits riwayat Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf: 9/477 dan Ath-Thabrani
dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 10671; dinyatakan hasan oleh Al-Haitsami dan
Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 1447.
[4]
Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 97.
[5]
Dinukil oleh Imam Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir: 4/325.
[6]
Dalam kitab beliau Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm.
95–97.
[7]
Hadits riwayat Abu Daud, no. 495; dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.
[8]
Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi: 2/370.
[9]
Kitab Majmu’atul As`ilah Tahummul Usratal Muslimah, hlm. 149–150.
[10]
Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 89–91.
[11]
Hadits riwayat Abu Daud, no. 4493; dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.
[12]
Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1218.
[13]
Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1659.
[14]
Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2529.
[15]
Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5763, dan Muslim no. 2609.