Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Saat ini kita akan membahas pembahasan menarik mengenai sujud sahwi,
sujud karena lupa. Kami akan sajikan dengan sederhana supaya lebih
memahamkan pembaca sekalian. Semoga bermanfaat.
Definisi Sujud Sahwi
Sahwi secara bahasa bermakna lupa atau lalai.[1]
Sujud sahwi secara istilah adalah sujud yang dilakukan di akhir shalat
atau setelah shalat untuk menutupi cacat dalam shalat karena
meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau mengerjakan sesuatu yang
dilarang dengan tidak sengaja.[2]
Pensyariatan Sujud Sahwi
Para ulama madzhab sepakat mengenai disyariatkannya sujud sahwi. Di
antara dalil yang menunjukkan pensyariatannya adalah hadits-hadits
berikut ini. Hadits-hadits ini pun nantinya akan dijadikan landasan dalam pembahasan sujud sahwi selanjutnya.
Pertama: Hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ
الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ
الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ
التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ
اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ
الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ
صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ
“Apabila adzan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut
hingga dia tidak mendengar adzan tersebut. Apabila adzan selesai
dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqomah,
setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan
pun kembali, ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia
berkata, “Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang
sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa
tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari
kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud
dua kali dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhari no. 1231 dan Muslim no. 389)
Kedua: Hadits Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ
كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ
عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى
إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
“Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan
tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat
maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua
kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya
telah menggenapkan shalatnya. Lalu jika ternyata shalatnya memang empat
rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim no. 571)
Ketiga: Hadits Abu Hurairah, ia berkata,
صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ إِمَّا الظُّهْرَ
وَإِمَّا الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَتَى جِذْعًا فِي
قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ فَاسْتَنَدَ إِلَيْهَا مُغْضَبًا وَفِي الْقَوْمِ
أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ فَهَابَا أَنْ يَتَكَلَّمَا وَخَرَجَ سَرَعَانُ
النَّاسِ قُصِرَتْ الصَّلَاةُ فَقَامَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَقُصِرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمِينًا وَشِمَالًا فَقَالَ مَا يَقُولُ ذُو
الْيَدَيْنِ قَالُوا صَدَقَ لَمْ تُصَلِّ إِلَّا رَكْعَتَيْنِ فَصَلَّى
رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ
ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami
shalat pada salah satu dari dua shalat petang, mungkin shalat Zhuhur
atau Ashar. Namun pada raka’at kedua, beliau sudah mengucapkan salam.
Kemudian beliau pergi ke sebatang pohon kurma di arah kiblat masjid,
lalu beliau bersandar ke pohon tersebut dalam keadaan marah. Di antara
jamaah terdapat Abu Bakar dan Umar, namun keduanya takut berbicara.
Orang-orang yang suka cepat-cepat telah keluar sambil berujar, “Shalat
telah diqoshor (dipendekkan).” Sekonyong-konyong Dzul Yadain berdiri
seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah shalat dipendekkan ataukah anda lupa?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menengok ke kanan dan ke kiri, lalu bersabda, “Betulkan apa yang dikatakan oleh Dzul Yadain tadi?” Jawab mereka, “Betul, wahai Rasulullah. Engkau shalat hanya dua rakaat.”
Lalu beliau shalat dua rakaat lagi, lalu memberi salam. Sesudah itu
beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau
bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya.
Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan
Muslim no. 573)
Keempat: Hadits ‘Imron bin Hushain.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
صَلَّى الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِى ثَلاَثِ رَكَعَاتٍ ثُمَّ دَخَلَ مَنْزِلَهُ
فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ الْخِرْبَاقُ وَكَانَ فِى يَدَيْهِ
طُولٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَذَكَرَ لَهُ صَنِيعَهُ. وَخَرَجَ
غَضْبَانَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى النَّاسِ فَقَالَ «
أَصَدَقَ هَذَا ». قَالُوا نَعَمْ. فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ
سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat ‘Ashar
lalu beliau salam pada raka’at ketiga. Setelah itu beliau memasuki
rumahnya. Lalu seorang laki-laki yang bernama al-Khirbaq (yang tangannya
panjang) menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya, “Wahai
Rasulullah!” Lalu ia menyebutkan sesuatu yang dikerjakan oleh beliau
tadi. Akhirnya, beliau keluar dalam keadaan marah sambil menyeret
rida’nya (pakaian bagian atas) hingga berhenti pada orang-orang seraya
bertanya, “Apakah benar yang dikatakan orang ini?“ Mereka menjawab, “Ya
benar”. Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang
kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud
sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim no. 574)
Kelima: Hadits ‘Abdullah bin Buhainah.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ وَعَلَيْهِ جُلُوسٌ
فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ
سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ وَسَجَدَهُمَا النَّاسُ
مَعَهُ مَكَانَ مَا نَسِيَ مِنْ الْجُلُوسِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan
shalat Zhuhur namun tidak melakukan duduk (tasyahud awal). Setelah
beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali, dan beliau
bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan
seperti ini sebelum salam. Maka orang-orang mengikuti sujud bersama
beliau sebagai ganti yang terlupa dari duduk (tasyahud awal).” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)
Keenam: Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud.
صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- خَمْسًا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَزِيدَ فِى الصَّلاَةِ قَالَ
« وَمَا ذَاكَ ». قَالُوا صَلَّيْتَ خَمْسًا. قَالَ « إِنَّمَا أَنَا
بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَذْكُرُ كَمَا تَذْكُرُونَ وَأَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ
». ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَىِ السَّهْوِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama
kami lima raka’at. Kami pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau
menambah dalam shalat?” Lalu beliau pun mengatakan, “Memang ada apa
tadi?” Para sahabat pun menjawab, “Engkau telah mengerjakan shalat
lima raka’at.” Lantas beliau bersabda, “Sesungguhnya aku hanyalah
manusia semisal kalian. Aku bisa memiliki ingatan yang baik sebagaimana
kalian. Begitu pula aku bisa lupa sebagaimana kalian pun demikian.”
Setelah itu beliau melakukan dua kali sujud sahwi.” (HR. Muslim no. 572)
Lalu apa hukum sujud sahwi?
Mengenai hukum sujud sahwi para ulama berselisih menjadi dua pendapat, ada yang mengatakan wajib dan ada pula yang mengatakan sunnah. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini dan lebih menentramkan hati adalah pendapat yang menyatakan wajib. Hal ini disebabkan dua alasan:
- Dalam hadits yang menjelaskan sujud sahwi seringkali menggunakan kata perintah. Sedangkan kata perintah hukum asalnya adalah wajib.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukan
sujud sahwi –ketika ada sebabnya- dan tidak ada satu pun dalil yang
menunjukkan bahwa beliau pernah meninggalkannya.
Pendapat yang menyatakan wajib semacam ini dipilih oleh ulama
Hanafiyah, salah satu pendapat dari Malikiyah, pendapat yang jadi
sandaran dalam madzhab Hambali, ulama Zhohiriyah dan dipilih pula oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[3]
-bersambung insya Allah-
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
[1] Lisanul ‘Arob, Muhammad bin Makrom binn Manzhur Al Afriqi Al Mishri, 14/406, Dar Shodir.
[2] Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/459, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[3] Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 1/ 463.
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Saat ini kita akan membahas pembahasan menarik mengenai sujud sahwi,
sujud karena lupa. Kami akan sajikan dengan sederhana supaya lebih
memahamkan pembaca sekalian. Semoga bermanfaat.
Definisi Sujud Sahwi
Sahwi secara bahasa bermakna lupa atau lalai.
[1]
Sujud sahwi secara istilah adalah sujud yang dilakukan di akhir shalat
atau setelah shalat untuk menutupi cacat dalam shalat karena
meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau mengerjakan sesuatu yang
dilarang dengan tidak sengaja.
[2]
Pensyariatan Sujud Sahwi
Para ulama madzhab sepakat mengenai disyariatkannya sujud sahwi. Di
antara dalil yang menunjukkan pensyariatannya adalah hadits-hadits
berikut ini. Hadits-
hadits ini pun nantinya akan dijadikan landasan dalam pembahasan sujud sahwi selanjutnya.
Pertama: Hadits Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ
الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ
الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ
التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ
اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ
الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ
صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ
“
Apabila adzan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut
hingga dia tidak mendengar adzan tersebut. Apabila adzan selesai
dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqomah,
setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan
pun kembali, ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia
berkata, “Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang
sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa
tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari
kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud
dua kali dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhari no. 1231 dan Muslim no. 389)
Kedua: Hadits Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ
كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ
عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى
إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
“
Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan
tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat
maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua
kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya
telah menggenapkan shalatnya. Lalu jika ternyata shalatnya memang empat
rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim no. 571)
Ketiga: Hadits Abu Hurairah, ia berkata,
صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ إِمَّا الظُّهْرَ
وَإِمَّا الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَتَى جِذْعًا فِي
قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ فَاسْتَنَدَ إِلَيْهَا مُغْضَبًا وَفِي الْقَوْمِ
أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ فَهَابَا أَنْ يَتَكَلَّمَا وَخَرَجَ سَرَعَانُ
النَّاسِ قُصِرَتْ الصَّلَاةُ فَقَامَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَقُصِرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمِينًا وَشِمَالًا فَقَالَ مَا يَقُولُ ذُو
الْيَدَيْنِ قَالُوا صَدَقَ لَمْ تُصَلِّ إِلَّا رَكْعَتَيْنِ فَصَلَّى
رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ
ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami
shalat pada salah satu dari dua shalat petang, mungkin shalat Zhuhur
atau Ashar. Namun pada raka’at kedua, beliau sudah mengucapkan salam.
Kemudian beliau pergi ke sebatang pohon kurma di arah kiblat masjid,
lalu beliau bersandar ke pohon tersebut dalam keadaan marah. Di antara
jamaah terdapat Abu Bakar dan Umar, namun keduanya takut berbicara.
Orang-orang yang suka cepat-cepat telah keluar sambil berujar, “Shalat
telah diqoshor (dipendekkan).” Sekonyong-konyong Dzul Yadain berdiri
seraya berkata, “
Wahai Rasulullah, apakah shalat dipendekkan ataukah anda lupa?” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menengok ke kanan dan ke kiri, lalu bersabda, “
Betulkan apa yang dikatakan oleh Dzul Yadain tadi?” Jawab mereka, “
Betul, wahai Rasulullah. Engkau shalat hanya dua rakaat.”
Lalu beliau shalat dua rakaat lagi, lalu memberi salam. Sesudah itu
beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau
bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya.
Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan
Muslim no. 573)
Keempat: Hadits ‘Imron bin Hushain.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
صَلَّى الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِى ثَلاَثِ رَكَعَاتٍ ثُمَّ دَخَلَ مَنْزِلَهُ
فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ الْخِرْبَاقُ وَكَانَ فِى يَدَيْهِ
طُولٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَذَكَرَ لَهُ صَنِيعَهُ. وَخَرَجَ
غَضْبَانَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى النَّاسِ فَقَالَ «
أَصَدَقَ هَذَا ». قَالُوا نَعَمْ. فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ
سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.
“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat ‘Ashar
lalu beliau salam pada raka’at ketiga. Setelah itu beliau memasuki
rumahnya. Lalu seorang laki-laki yang bernama al-Khirbaq (yang tangannya
panjang) menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya, “Wahai
Rasulullah!” Lalu ia menyebutkan sesuatu yang dikerjakan oleh beliau
tadi. Akhirnya, beliau keluar dalam keadaan marah sambil menyeret
rida’nya (pakaian bagian atas) hingga berhenti pada orang-orang seraya
bertanya, “Apakah benar yang dikatakan orang ini?“ Mereka menjawab, “Ya
benar”. Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang
kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud
sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim no. 574)
Kelima: Hadits ‘Abdullah bin Buhainah.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ وَعَلَيْهِ جُلُوسٌ
فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ
سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ وَسَجَدَهُمَا النَّاسُ
مَعَهُ مَكَانَ مَا نَسِيَ مِنْ الْجُلُوسِ
“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan
shalat Zhuhur namun tidak melakukan duduk (tasyahud awal). Setelah
beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali, dan beliau
bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan
seperti ini sebelum salam. Maka orang-orang mengikuti sujud bersama
beliau sebagai ganti yang terlupa dari duduk (tasyahud awal).” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)
Keenam: Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud.
صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- خَمْسًا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَزِيدَ فِى الصَّلاَةِ قَالَ
« وَمَا ذَاكَ ». قَالُوا صَلَّيْتَ خَمْسًا. قَالَ « إِنَّمَا أَنَا
بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَذْكُرُ كَمَا تَذْكُرُونَ وَأَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ
». ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَىِ السَّهْوِ.
“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama
kami lima raka’at. Kami pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau
menambah dalam shalat?” Lalu beliau pun mengatakan, “Memang ada apa
tadi?” Para sahabat pun menjawab, “Engkau telah mengerjakan shalat
lima raka’at.” Lantas beliau bersabda, “Sesungguhnya aku hanyalah
manusia semisal kalian. Aku bisa memiliki ingatan yang baik sebagaimana
kalian. Begitu pula aku bisa lupa sebagaimana kalian pun demikian.”
Setelah itu beliau melakukan dua kali sujud sahwi.” (HR. Muslim no. 572)
Lalu apa hukum sujud sahwi?
Mengenai hukum sujud sahwi para ulama berselisih menjadi dua pendapat, ada yang mengatakan wajib dan ada pula yang mengatakan
sunnah. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini dan lebih menentramkan hati adalah pendapat yang menyatakan
wajib. Hal ini disebabkan dua alasan:
- Dalam hadits yang menjelaskan sujud sahwi seringkali menggunakan kata perintah. Sedangkan kata perintah hukum asalnya adalah wajib.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukan
sujud sahwi –ketika ada sebabnya- dan tidak ada satu pun dalil yang
menunjukkan bahwa beliau pernah meninggalkannya.
Pendapat yang menyatakan wajib semacam ini dipilih oleh ulama
Hanafiyah, salah satu pendapat dari Malikiyah, pendapat yang jadi
sandaran dalam madzhab Hambali, ulama Zhohiriyah dan dipilih pula oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
[3]
-bersambung insya Allah-
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel
Muslim.Or.Id
[1] Lisanul ‘Arob, Muhammad bin Makrom binn Manzhur Al Afriqi Al Mishri, 14/406, Dar Shodir.
[2] Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/459, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[3] Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 1/ 463.
Sebab Adanya Sujud Sahwi
Pertama: Karena adanya kekurangan.
Rincian 1: Meninggalkan rukun shalat
[1] seperti lupa ruku’ dan sujud.
- Jika meninggalkan rukun shalat dalam keadaan lupa, kemudian ia
mengingatnya sebelum memulai membaca Al Fatihah pada raka’at berikutnya,
maka hendaklah ia mengulangi rukun yang ia tinggalkan tadi, dilanjutkan
melakukan rukun yang setelahnya. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud
sahwi di akhir shalat.
- Jika meninggalkan rukun shalat dalam keadaan lupa, kemudian ia
mengingatnya setelah memulai membaca Al Fatihah pada raka’at berikutnya,
maka raka’at sebelumnya yang terdapat kekurangan rukun tadi jadi batal.
Ketika itu, ia membatalkan raka’at yang terdapat kekurangan rukunnya
tadi dan ia kembali menyempurnakan shalatnya. Kemudian hendaklah ia
melakukan sujud sahwi di akhir shalat.
- Jika lupa melakukan melakukan satu raka’at atau lebih (misalnya baru
melakukan dua raka’at shalat Zhuhur, namun sudah salam ketika itu),
maka hendaklah ia tambah kekurangan raka’at ketika ia ingat. Kemudian
hendaklah ia melakukan sujud sahwi sesudah salam.[2]
Rincian 2: Meninggalkan wajib shalat
[3] seperti tasyahud awwal.
- Jika meninggalkan wajib shalat, lalu mampu untuk kembali
melakukannya dan ia belum beranjak dari tempatnya, maka hendaklah ia
melakukan wajib shalat tersebut. Pada saat ini tidak ada kewajiban sujud
sahwi.
- Jika meninggalkan wajib shalat, lalu mengingatnya setelah beranjak
dari tempatnya, namun belum sampai pada rukun selanjutnya, maka
hendaklah ia kembali melakukan wajib shalat tadi. Pada saat ini juga
tidak ada sujud sahwi.
- Jika ia meninggalkan wajib shalat, ia mengingatnya setelah beranjak
dari tempatnya dan setelah sampai pada rukun sesudahnya, maka ia tidak
perlu kembali melakukan wajib shalat tadi, ia terus melanjutkan
shalatnya. Pada saat ini, ia tutup kekurangan tadi dengan sujud sahwi.
Keadaan tentang wajib shalat ini diterangkan dalam hadits Al Mughirah bin Syu’bah. Ia mengatakan, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ
فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا
فَلاَ يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَىِ السَّهْوِ
“
Jika salah seorang dari kalian berdiri dari raka’at kedua (lupa
tasyahud awwal) dan belum tegak berdirinya, maka hendaknya ia duduk.
Tetapi jika telah tegak, maka janganlah ia duduk (kembali). Namun
hendaklah ia sujud sahwi dengan dua kali sujud.” (HR. Ibnu Majah no. 1208 dan Ahmad 4/253)
Rincian 3: Meninggalkan sunnah shalat
[4].
Dalam keadaan semacam ini tidak perlu sujud sahwi, karena perkara sunnah tidak mengapa ditinggalkan.
Kedua: Karena adanya penambahan.
- Jika seseorang lupa sehingga menambah satu raka’at atau lebih, lalu
ia mengingatnya di tengah-tengah tambahan raka’at tadi, hendaklah ia
langsung duduk, lalu tasyahud akhir, kemudian salam. Kemudian setelah
itu, ia melakukan sujud sahwi sesudah salam.
- Jika ia ingat adanya tambahan raka’at setelah selesai salam (setelah
shalat selesai), maka ia sujud ketika ia ingat, kemudian ia salam.
Pembahasan ini dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ لَهُ أَزِيدَ فِى الصَّلاَةِ فَقَالَ «
وَمَا ذَاكَ » . قَالَ صَلَّيْتَ خَمْسًا . فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ
مَا سَلَّمَ
“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat
Zhuhur lima raka’at. Lalu ada menanyakan kepada beliau, “Apakah engkau
menambah dalam shalat?” Beliau pun menjawab, “Memangnya apa yang
terjadi?” Orang tadi berkata, “Engkau shalat lima raka’at.” Setelah itu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud dua kali setelah ia salam tadi.” (HR. Bukhari no. 1226 dan Muslim no. 572)
Ketiga: Karena adanya keraguan.
- Jika ia ragu-ragu –semisal ragu telah shalat tiga atau empat
raka’at-, kemudian ia mengingat dan bisa menguatkan di antara
keragu-raguan tadi, maka ia pilih yang ia anggap yakin. Kemudian ia
nantinya akan melakukan sujud sahwi sesudah salam.
- Jika ia ragu-ragu –semisal ragu telah shalat tiga atau empat
raka’at-, dan saat itu ia tidak bisa menguatkan di antara keragu-raguan
tadi, maka ia pilih yang ia yakin (yaitu yang paling sedikit). Kemudian
ia nantinya akan melakukan sujud sahwi sebelum salam.
Mengenai permasalahan ini sudah dibahas pada hadits Abu Sa’id Al
Khudri yang telah lewat. Juga terdapat dalam hadits ‘Abdurahman bin
‘Auf, ia mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ
وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ فَإِنْ لَمْ
يَدْرِ ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلاَثًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ
فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلاَثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى
ثَلاَثٍ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
“
Jika salah seorang dari kalian merasa ragu dalam shalatnya
hingga tidak tahu satu rakaat atau dua rakaat yang telah ia kerjakan,
maka hendaknya ia hitung satu rakaat. Jika tidak tahu dua atau tiga
rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaklah ia hitung dua rakaat. Dan
jika tidak tahu tiga atau empat rakaat yang telah ia kerjakan, maka
hendaklah ia hitung tiga rakaat. Setelah itu sujud dua kali sebelum
salam.” (HR. Tirmidzi no. 398 dan Ibnu Majah no. 1209. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini
shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 1356)
Yang perlu diperhatikan: Seseorang tidak perlu memperhatikan keragu-raguan dalam ibadah pada tiga keadaan:
- Jika hanya sekedar was-was yang tidak ada hakikatnya.
- Jika seseorang melakukan suatu ibadah selalu dilingkupi
keragu-raguan, maka pada saat ini keragu-raguannya tidak perlu ia
perhatikan.
- Jika keraguan-raguannya setelah selesai ibadah, maka tidak perlu diperhatikan selama itu bukan sesuatu yang yakin.
Demikian serial pertama mengenai sujud sahwi dari rumaysho.com.
Adapun mengenai tatacara sujud sahwi, bacaan di dalamnya dan
permasalahan-permasalahn seputar sujud sahwi, akan kami bahas pada
kesempatan selanjutnya insya Allah. Semoga Allah mudahkan.
-bersambung insya Allah-
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel
Muslim.Or.Id
[1]
Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau
perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini
tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i dan juga tidak
bisa diganti dengan sujud sahwi.
Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.
Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan para ulama.
Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,
- Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib
untuk melakukannya kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
- Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal
menurut ulama-ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama)
berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.
- Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka
shalatnya harus diulangi dari awal lagi karena ia tidak memasuki shalat
dengan benar. (Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 1/313-314)
[2] Keadaan semacam ini sudah dijelaskan dalam
hadits Abu Hurairah tentang Dzul Yadain yang telah lewat.
[3]
Yang dimaksud wajib shalat adalah perkataan atau perbuatan yang
diwajibkan dalam shalat. Jika wajib shalat ini lupa dikerjakan, bisa
ditutup dengan sujud sahwi. Namun jika wajib shalat ini ditinggalkan
dengan sengaja, shalatnya batal jika memang diketahui wajibnya. (Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 1/328)
[4]
Yang dimaksud sunnah shalat adalah perkataan atau perbuatan yang
dianjurkan untuk dilakukan dalam shalat dan yang melakukannya akan
mendapatkan pahala. Jika
sunnah shalat ini ditinggalkan tidak membatalkan
shalat walaupun dengan sengaja ditinggalkan dan ketika itu pun tidak diharuskan sujud sahwi. (Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 1/336)
Sujud Sahwi Sebelum
ataukah Sesudah Salam?
Shidiq Hasan Khon rahimahullah berkata,
“Hadits-hadits tegas yang menjelaskan mengenai sujud sahwi kadang menyebutkan
bahwa sujud sahwi terletak sebelum salam dan kadang pula sesudah salam. Hal ini
menunjukkan bahwa boleh melakukan sujud sahwi sebelum ataukah sesudah salam.
Akan tetapi lebih bagus jika sujud sahwi ini mengikuti cara yang telah
dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ada
dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sebelum salam, maka
hendaklah dilakukan sebelum salam. Begitu pula jika ada dalil yang menjelaskan
bahwa sujud sahwi ketika itu sesudah salam, maka hendaklah dilakukan sesudah
salam. Selain hal ini, maka di situ ada pilihan. Akan tetapi, memilih sujud
sahwi sebelum atau sesudah salam itu hanya sunnah
(tidak sampai wajib, pen).”[1]
Intinya, jika shalatnya perlu ditambal
karena ada kekurangan, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sebelum salam.
Sedangkan jika shalatnya sudah pas atau berlebih, maka hendaklah sujud
sahwi dilakukan sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.
Adapun penjelasan mengenai letak
sujud sahwi sebelum ataukah sesudah salam dapat dilihat pada rincian
berikut.
- Jika terdapat kekurangan pada shalat –seperti
kekurangan tasyahud awwal-, ini berarti kekurangan tadi butuh ditambal,
maka menutupinya tentu saja dengan sujud sahwi sebelum salam untuk
menyempurnakan shalat. Karena jika seseorang sudah mengucapkan salam,
berarti ia sudah selesai dari shalat.
- Jika terdapat kelebihan dalam shalat –seperti terdapat
penambahan satu raka’aat-, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah
salam. Karena sujud sahwi ketika itu untuk menghinakan setan.
- Jika seseorang terlanjur salam, namun ternyata masih
memiliki kekurangan raka’at, maka hendaklah ia menyempurnakan kekurangan
raka’at tadi. Pada saat ini, sujud sahwinya adalah sesudah salam
dengan tujuan untuk menghinakan setan.
- Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu ia
mengingatnya dan bisa memilih yang yakin, maka hendaklah ia sujud sahwi
sesudah salam untuk menghinakan setan.
- Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu tidak
nampak baginya keadaan yang yakin. Semisal ia ragu apakah shalatnya empat
atau lima raka’at. Jika ternyata shalatnya benar lima raka’at, maka
tambahan sujud tadi untuk menggenapkan shalatnya tersebut. Jadi
seakan-akan ia shalat enam raka’at, bukan lima raka’at. Pada saat ini sujud
sahwinya adalah sebelum salam karena shalatnya ketika itu seakan-akan
perlu ditambal disebabkan masih ada yang kurang yaitu yang belum ia
yakini.
Tata Cara Sujud Sahwi
Sebagaimana telah dijelaskan dalam
beberapa hadits bahwa sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud di akhir
shalat –sebelum atau sesudah salam-. Ketika ingin sujud disyariatkan untuk
mengucapkan takbir “Allahu akbar”, begitu pula ketika ingin bangkit dari
sujud disyariatkan untuk bertakbir.
Contoh cara melakukan sujud sahwi
sebelum salam dijelaskan dalam hadits ‘Abdullah bin Buhainah,
فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ
سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
“Setelah beliau menyempurnakan
shalatnya, beliau sujud dua kali. Ketika itu beliau bertakbir pada setiap akan
sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan sujud sahwi ini sebelum salam.”
(HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)
Contoh cara melakukan sujud sahwi
sesudah salam dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah,
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ
ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ
كَبَّرَ وَرَفَعَ
“Lalu beliau shalat dua rakaat
lagi (yang tertinggal), kemudia beliau salam. Sesudah itu beliau bertakbir,
lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir
kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau
bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)
Sujud sahwi sesudah salam ini ditutup
lagi dengan salam sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Imron bin Hushain,
فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ
ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.
“Kemudian beliau pun shalat satu
rakaat (menambah raka’at yang kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu
beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.”
(HR. Muslim no. 574)
Apakah ada takbiratul ihrom sebelum
sujud sahwi?
Sujud sahwi sesudah salam tidak
perlu diawali dengan takbiratul ihrom, cukup dengan takbir untuk sujud saja.
Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Landasan mengenai hal ini adalah
hadits-hadits mengenai sujud sahwi yang telah lewat.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah
berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai sujud sahwi sesudah salam
apakah disyaratkan takbiratul ihram ataukah cukup dengan takbir untuk sujud?
Mayoritas ulama mengatakan cukup dengan takbir untuk sujud. Inilah pendapat
yang nampak kuat dari berbagai dalil.”[2]
Apakah perlu tasyahud setelah sujud
kedua dari sujud sahwi?
Pendapat yang terkuat di antara
pendapat ulama yang ada, tidak perlu untuk tasyahud lagi setelah sujud kedua
dari sujud sahwi karena tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menerangkan hal ini. Adapun dalil yang biasa jadi pegangan bagi
yang berpendapat adanya, dalilnya adalah dalil-dalil yang lemah.
Jadi cukup ketika melakukan sujud
sahwi, bertakbir untuk sujud pertama, lalu sujud. Kemudian bertakbir lagi untuk
bangkit dari sujud pertama dan duduk sebagaimana duduk antara dua sujud (duduk
iftirosy). Setelah itu bertakbir dan sujud kembali. Lalu bertakbir kembali,
kemudian duduk tawaruk. Setelah itu salam, tanpa tasyahud lagi sebelumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Tidak ada dalil sama sekali yang mendukung pendapat ulama yang
memerintahkan untuk tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi. Tidak ada
satu pun hadits
shahih yang membicarakan hal ini. Jika memang hal ini disyariatkan, maka tentu
saja hal ini akan dihafal dan dikuasai oleh para sahabat yang membicarakan
tentang sujud sahwi. Karena kadar lamanya tasyahud itu hampir sama lamanya dua
sujud bahkan bisa lebih. Jika memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan tasyahud ketika itu, maka tentu para sahabat akan lebih mengetahuinya
daripada mengetahui perkara salam, takbir ketika akan sujud dan ketika akan
bangkit dalam sujud sahwi. Semua-semua ini perkara ringan dibanding tasyahud.”[3]
Do’a Ketika Sujud Sahwi
Sebagian ulama menganjurkan do’a ini
ketika sujud sahwi,
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا
يَسْهُو
“Subhana man laa yanaamu wa laa
yas-huw” (Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa).[4]
Namun dzikir sujud sahwi di atas
cuma anjuran saja dari sebagian ulama dan tanpa didukung oleh dalil.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
قَوْلُهُ : سَمِعْت بَعْضَ
الْأَئِمَّةِ يَحْكِي أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ أَنْ يَقُولَ فِيهِمَا : سُبْحَانَ مَنْ
لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو – أَيْ فِي سَجْدَتَيْ السَّهْوِ – قُلْت : لَمْ أَجِدْ
لَهُ أَصْلًا .
“Perkataan beliau, “Aku telah
mendengar sebagian ulama yang menceritakan tentang dianjurkannya bacaan:
“Subhaana man laa yanaamu wa laa yas-huw” ketika sujud sahwi (pada kedua
sujudnya), maka aku katakan, “Aku tidak mendapatkan asalnya sama sekali.”[5]
Sehingga yang tepat mengenai bacaan ketika sujud sahwi adalah seperti bacaan
sujud biasa ketika shalat. Bacaannya yang bisa dipraktekkan seperti,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha
Suci Allah Yang Maha Tinggi][6]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا
وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
“Subhaanakallahumma robbanaa wa
bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah,
Rabb kami,
dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku][7]
Dalam Mughnil Muhtaj –salah satu
kitab fiqih
Syafi’iyah- disebutkan, “Tata cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika
shalat dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah
(bersikap tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy[8] ketika duduk antara dua
sujud sahwi, duduk tawarruk[9] ketika selesai dari
melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut
adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”
Sebagaimana pula diterangkan dalam
fatwa Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika ditanya, “Bagaimanakah
kami melakukan sujud sahwi?”
Para ulama yang duduk di Al Lajnah
Ad Daimah menjawab, “Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud setelah
tasyahud akhir sebelum salam, dilakukan sebagaimana sujud dalam shalat. Dzikir
dan do’a yang dibaca ketika itu adalah seperti ketika dalam shalat. Kecuali
jika sujud sahwinya terdapat kekurangan satu raka’at atau lebih, maka ketika
itu, sujud sahwinya sesudah salam. Demikian pula jika orang yang shalat
memilih keraguan yang ia yakin lebih kuat,maka yang afdhol baginya adalah sujud
sahwi sesudah salam. Hal ini berlandaskan berbagai hadits
shahih yang membicarakan sujud sahwi. Wabillahit taufiq, wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.”[10]
-bersambung
insya Allah-
[1] Ar Roudhotun Nadiyyah Syarh Ad
Durorul Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, 1/182, Darul ‘Aqidah,
cetakan pertama, 1422 H.
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al
Asqolani, 3/99, Darul Ma’rifah, 1379.
[3] Dialihbahasakan secara bebas
dari Majmu’ Al Fatawa, 23/49.
[4] Bacaan sujud sahwi semacam ini
di antaranya disebutkan oleh An Nawawi rahimahullah dalam Roudhotuth
Tholibiin, 1/116, Mawqi’ Al Waroq.
[5] At Talkhis Al Habiir, Ibnu
Hajar Al Asqolani, 2/6, Al Madinah Al Munawwaroh, 1384.
[7] HR. Bukhari no. 817 dan Muslim
no. 484
[8] Duduk iftirosy adalah keadaan
duduk seperti ketika tasyahud awwal, yaitu kaki kanan ditegakkan, sedangkan
kaki kiri diduduki pantat.
[9] Duduk tawaruk adalah duduk
seperti tasyahud akhir, yaitu kaki kanan ditegakkan sedangkan kaki kiri berada
di bawah kaki kanan.
[10] Yang menandatangani fatwa
ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua; Syaikh ‘Abdur
Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai
anggota. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ soal
ketujuh, fatwa no. 8540, 7/129.
Jika Lupa Melakukan Sujud
Sahwi, Apakah Shalatnya Mesti Diulangi?
Mengenai masalah ini kita dapat bagi
menjadi dua keadaan:
Keadaan pertama: Jika sujud sahwi yang ditinggalkan sudah lama waktunya,
namun wudhunya belum batal.
Dalam keadaan seperti ini –menurut
pendapat yang lebih kuat- selama wudhunya masih ada, maka shalatnya tadi
masih tetap teranggap dan ia melakukan sujud sahwi ketika ia ingat meskipun
waktunya sudah lama. Inilah pendapat Imam Malik, pendapat yang terdahulu dari
Imam Asy Syafi’i, Yahya bin Sa’id Al Anshori, Al Laits, Al Auza’i, Ibnu Hazm
dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[1].[2]
Di antara alasan pendapat di atas
adalah:
Pertama: Karena jika kita mengatakan bahwa kalau sudah lama ia
meninggalkan sujud sahwi, maka ini sebenarnya sulit dijadikan standar. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri pernah dalam lupa sehingga hanya mengerjakan dua
atau tiga raka’at, setelah itu malah beliau ngobrol-ngobrol, lalu keluar dari
masjid, terus masuk ke dalam rumah. Lalu setelah itu ada yang mengingatkan.
Lantas beliau pun mengerjakan raka’at yang kurang tadi. Setelah itu beliau
melakukan sujud sahwi. Ini menunjukkan bahwa beliau melakukan sujud sahwi dalam
waktu yang lama. Artinya waktu yang lama tidak bisa dijadikan.
Kedua: Orang yang lupa –selama wudhunya masih ada- diperintahkan
untuk menyempurnakan shalatnya dan diperintahkan untuk sujud sahwi. Meskipun lama
waktunya, sujud sahwi tetap diwajibkan. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ
عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa yang lupa
mengerjakan shalat atau ketiduran, maka kafarohnya (penebusnya) adalah
hendaklah ia shalat ketika ia ingat.” (HR. Muslim no. 684)
Keadaan kedua: Jika sujud sahwinya ditinggalkan dan wudhunya batal.
Untuk keadaan kedua ini berarti shalatnya
batal hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Orang seperti berarti
harus mengulangi shalatnya. Kecuali jika sujud sahwi yang ditinggalkan
adalah sujud sahwi sesudah salam dikarenakan kelebihan mengerjakan raka’at,
maka ia boleh melaksanakan sujud sahwi setelah ia berwudhu kembali. [3]
Jika Lupa Berulang Kali
dalam Shalat
Jika seseorang lupa berulang kali
dalam shalat, apakah ia harus berulang kali melakukan sujud sahwi? Jawabannya,
hal ini tidak diperlukan.
Ulama Syafi’iyah, ‘Abdul Karim Ar
Rofi’i rahimahullah mengatakan, “Jika lupa berulang kali dalam shalat,
maka cukup dengan sujud sahwi (dua kali sujud) di akhir shalat.”[4]
Sujud Sahwi Ketika Shalat
Sunnah
Sujud sahwi ketika shalat sunnah
sama halnya dengan shalat wajib, yaitu sama-sama disyari’atkan. Karena dalam
hadits yang membicarakan sujud sahwi menyebutkan umumnya shalat, tidak
membatasi pada shalat wajib saja.
Asy Syaukani rahimahullah
menjelaskan, “Sebagaimana dikatakan dalam hadits
‘Abdurrahman bin ‘Auf,
إذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ
“Jika salah seorang di antara
kalian ragu-ragu dalam shalatnya.” Hadits ini menunjukkan bahwa
sujud sahwi itu disyariatkan pula dalam shalat sunnah sebagaimana disyariatkan
dalam shalat wajib (karena lafazh dalam hadits ini umum). Inilah yang dipilih oleh
jumhur (mayoritas) ulama yang dulu dan sekarang. Karena untuk menambal
kekurangan dalam shalat dan untuk menghinakan setan juga terdapat dalam shalat sunnah
sebagaimana terdapat dalam shalat wajib.”[5]
-bersambung insya
Allah-
[1] Namun Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengkhususkan jika memang sujud sahwinya terletak sesudah salam,
inilah yang beliau bolehkan. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 23/32.
[2] Lihat Shahih Fiqh Sunnah,
1/466.
[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah,
1/466.
[4] Fathul ‘Aziz Syarh Al Wajiz,
Abul Qosim Abdul Karim bin Muhammad Ar Rofi’i, 4/172, Darul Fikr
[5] Nailul Author, Muhammad bin
‘Ali Asy Syaukani, 3/144, Idarotuth Thoba’ah Al Muniirah.
Sujud Sahwi Sebelum ataukah Sesudah Salam?
Shidiq Hasan Khon rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tegas
yang menjelaskan mengenai sujud sahwi kadang menyebutkan bahwa sujud
sahwi terletak sebelum salam dan kadang pula sesudah salam. Hal ini
menunjukkan bahwa boleh melakukan sujud sahwi sebelum ataukah sesudah
salam. Akan tetapi lebih bagus jika sujud sahwi ini mengikuti cara yang
telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sebelum
salam, maka hendaklah dilakukan sebelum salam. Begitu pula jika ada
dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sesudah salam, maka
hendaklah dilakukan sesudah salam. Selain hal ini, maka di situ ada
pilihan. Akan tetapi, memilih sujud sahwi sebelum atau sesudah salam itu
hanya sunnah (tidak sampai wajib, pen).”[1]
Intinya, jika shalatnya perlu ditambal karena ada kekurangan, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Sedangkan jika shalatnya sudah pas atau berlebih, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.
Adapun penjelasan mengenai letak sujud sahwi sebelum ataukah sesudah salam dapat dilihat pada rincian berikut.
- Jika terdapat kekurangan pada shalat –seperti kekurangan tasyahud
awwal-, ini berarti kekurangan tadi butuh ditambal, maka menutupinya
tentu saja dengan sujud sahwi sebelum salam untuk menyempurnakan shalat. Karena jika seseorang sudah mengucapkan salam, berarti ia sudah selesai dari shalat.
- Jika terdapat kelebihan dalam shalat –seperti terdapat penambahan satu raka’aat-, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam. Karena sujud sahwi ketika itu untuk menghinakan setan.
- Jika seseorang terlanjur salam, namun ternyata masih memiliki
kekurangan raka’at, maka hendaklah ia menyempurnakan kekurangan raka’at
tadi. Pada saat ini, sujud sahwinya adalah sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.
- Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu ia mengingatnya dan bisa memilih yang yakin, maka hendaklah ia sujud sahwi sesudah salam untuk menghinakan setan.
- Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu tidak nampak baginya
keadaan yang yakin. Semisal ia ragu apakah shalatnya empat atau lima
raka’at. Jika ternyata shalatnya benar lima raka’at, maka tambahan sujud
tadi untuk menggenapkan shalatnya tersebut. Jadi seakan-akan ia shalat
enam raka’at, bukan lima raka’at. Pada saat ini sujud sahwinya adalah sebelum salam karena shalatnya ketika itu seakan-akan perlu ditambal disebabkan masih ada yang kurang yaitu yang belum ia yakini.
Tata Cara Sujud Sahwi
Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa hadits bahwa sujud sahwi
dilakukan dengan dua kali sujud di akhir shalat –sebelum atau sesudah
salam-. Ketika ingin sujud disyariatkan untuk mengucapkan takbir “Allahu akbar”, begitu pula ketika ingin bangkit dari sujud disyariatkan untuk bertakbir.
Contoh cara melakukan sujud sahwi sebelum salam dijelaskan dalam hadits ‘Abdullah bin Buhainah,
فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
“Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali.
Ketika itu beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk.
Beliau lakukan sujud sahwi ini sebelum salam.” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)
Contoh cara melakukan sujud sahwi sesudah salam dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah,
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ
“Lalu beliau shalat dua rakaat lagi (yang tertinggal), kemudia
beliau salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian
bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu
beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)
Sujud sahwi sesudah salam ini ditutup lagi dengan salam sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Imron bin Hushain,
فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.
“Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang
kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud
sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim no. 574)
Apakah ada takbiratul ihrom sebelum sujud sahwi?
Sujud sahwi sesudah salam tidak perlu diawali dengan takbiratul
ihrom, cukup dengan takbir untuk sujud saja. Pendapat ini adalah
pendapat mayoritas ulama. Landasan mengenai hal ini adalah hadits-hadits
mengenai sujud sahwi yang telah lewat.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Para ulama
berselisih pendapat mengenai sujud sahwi sesudah salam apakah
disyaratkan takbiratul ihram ataukah cukup dengan takbir untuk sujud?
Mayoritas ulama mengatakan cukup dengan takbir untuk sujud. Inilah
pendapat yang nampak kuat dari berbagai dalil.”[2]
Apakah perlu tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi?
Pendapat yang terkuat di antara pendapat ulama yang ada, tidak perlu
untuk tasyahud lagi setelah sujud kedua dari sujud sahwi karena tidak
ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menerangkan hal ini. Adapun dalil yang biasa jadi pegangan bagi yang
berpendapat adanya, dalilnya adalah dalil-dalil yang lemah.
Jadi cukup ketika melakukan sujud sahwi, bertakbir untuk sujud
pertama, lalu sujud. Kemudian bertakbir lagi untuk bangkit dari sujud
pertama dan duduk sebagaimana duduk antara dua sujud (duduk iftirosy).
Setelah itu bertakbir dan sujud kembali. Lalu bertakbir kembali,
kemudian duduk tawaruk. Setelah itu salam, tanpa tasyahud lagi
sebelumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak
ada dalil sama sekali yang mendukung pendapat ulama yang memerintahkan
untuk tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi. Tidak ada satu pun hadits
shahih yang membicarakan hal ini. Jika memang hal ini disyariatkan,
maka tentu saja hal ini akan dihafal dan dikuasai oleh para sahabat yang
membicarakan tentang sujud sahwi. Karena kadar lamanya tasyahud itu
hampir sama lamanya dua sujud bahkan bisa lebih. Jika memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan tasyahud ketika itu, maka tentu para sahabat akan lebih
mengetahuinya daripada mengetahui perkara salam, takbir ketika akan
sujud dan ketika akan bangkit dalam sujud sahwi. Semua-semua ini perkara
ringan dibanding tasyahud.”[3]
Do’a Ketika Sujud Sahwi
Sebagian ulama menganjurkan do’a ini ketika sujud sahwi,
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو
“Subhana man laa yanaamu wa laa yas-huw” (Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa).[4]
Namun dzikir sujud sahwi di atas cuma anjuran saja dari sebagian ulama dan tanpa didukung oleh dalil. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
قَوْلُهُ : سَمِعْت بَعْضَ الْأَئِمَّةِ
يَحْكِي أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ أَنْ يَقُولَ فِيهِمَا : سُبْحَانَ مَنْ لَا
يَنَامُ وَلَا يَسْهُو – أَيْ فِي سَجْدَتَيْ السَّهْوِ – قُلْت : لَمْ
أَجِدْ لَهُ أَصْلًا .
“Perkataan beliau, “Aku telah mendengar sebagian ulama yang
menceritakan tentang dianjurkannya bacaan: “Subhaana man laa yanaamu wa
laa yas-huw” ketika sujud sahwi (pada kedua sujudnya), maka aku katakan,
“Aku tidak mendapatkan asalnya sama sekali.”[5]
Sehingga yang tepat mengenai bacaan ketika sujud sahwi adalah seperti bacaan sujud biasa ketika shalat. Bacaannya yang bisa dipraktekkan seperti,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi][6]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku][7]
Dalam Mughnil Muhtaj –salah satu kitab fiqih Syafi’iyah- disebutkan, “Tata
cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann
wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah (bersikap
tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy[8] ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk[9] ketika selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”
Sebagaimana pula diterangkan dalam fatwa Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika ditanya, “Bagaimanakah kami melakukan sujud sahwi?”
Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Sujud sahwi
dilakukan dengan dua kali sujud setelah tasyahud akhir sebelum salam,
dilakukan sebagaimana sujud dalam shalat. Dzikir dan do’a yang dibaca
ketika itu adalah seperti ketika dalam shalat. Kecuali jika sujud
sahwinya terdapat kekurangan satu raka’at atau lebih, maka ketika itu,
sujud sahwinya sesudah salam. Demikian pula jika orang yang shalat
memilih keraguan yang ia yakin lebih kuat,maka yang afdhol baginya
adalah sujud sahwi sesudah salam. Hal ini berlandaskan berbagai hadits shahih yang membicarakan sujud sahwi. Wabillahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.”[10]
-bersambung insya Allah-
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
[1] Ar Roudhotun Nadiyyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, 1/182, Darul ‘
Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 3/99, Darul Ma’rifah, 1379.
[3] Dialihbahasakan secara bebas dari Majmu’ Al Fatawa, 23/49.
[4] Bacaan sujud sahwi semacam ini di antaranya disebutkan oleh An Nawawi
rahimahullah dalam Roudhotuth Tholibiin, 1/116, Mawqi’ Al Waroq.
[5] At Talkhis Al Habiir, Ibnu Hajar Al Asqolani, 2/6, Al Madinah Al Munawwaroh, 1384.
[7] HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484
[8]
Duduk iftirosy adalah keadaan duduk seperti ketika tasyahud awwal,
yaitu kaki kanan ditegakkan, sedangkan kaki kiri diduduki pantat.
[9] Duduk tawaruk adalah duduk seperti tasyahud akhir, yaitu kaki kanan ditegakkan sedangkan kaki kiri berada di bawah kaki kanan.
[10]
Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin
Baz sebagai ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; dan
Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah
lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ soal ketujuh, fatwa no. 8540, 7/129.
Sujud Sahwi Sebelum ataukah Sesudah Salam?
Shidiq Hasan Khon rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tegas
yang menjelaskan mengenai sujud sahwi kadang menyebutkan bahwa sujud
sahwi terletak sebelum salam dan kadang pula sesudah salam. Hal ini
menunjukkan bahwa boleh melakukan sujud sahwi sebelum ataukah sesudah
salam. Akan tetapi lebih bagus jika sujud sahwi ini mengikuti cara yang
telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sebelum
salam, maka hendaklah dilakukan sebelum salam. Begitu pula jika ada
dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sesudah salam, maka
hendaklah dilakukan sesudah salam. Selain hal ini, maka di situ ada
pilihan. Akan tetapi, memilih sujud sahwi sebelum atau sesudah salam itu
hanya sunnah (tidak sampai wajib, pen).”[1]
Intinya, jika shalatnya perlu ditambal karena ada kekurangan, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Sedangkan jika shalatnya sudah pas atau berlebih, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.
Adapun penjelasan mengenai letak sujud sahwi sebelum ataukah sesudah salam dapat dilihat pada rincian berikut.
- Jika terdapat kekurangan pada shalat –seperti kekurangan tasyahud
awwal-, ini berarti kekurangan tadi butuh ditambal, maka menutupinya
tentu saja dengan sujud sahwi sebelum salam untuk menyempurnakan shalat. Karena jika seseorang sudah mengucapkan salam, berarti ia sudah selesai dari shalat.
- Jika terdapat kelebihan dalam shalat –seperti terdapat penambahan satu raka’aat-, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam. Karena sujud sahwi ketika itu untuk menghinakan setan.
- Jika seseorang terlanjur salam, namun ternyata masih memiliki
kekurangan raka’at, maka hendaklah ia menyempurnakan kekurangan raka’at
tadi. Pada saat ini, sujud sahwinya adalah sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.
- Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu ia mengingatnya dan bisa memilih yang yakin, maka hendaklah ia sujud sahwi sesudah salam untuk menghinakan setan.
- Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu tidak nampak baginya
keadaan yang yakin. Semisal ia ragu apakah shalatnya empat atau lima
raka’at. Jika ternyata shalatnya benar lima raka’at, maka tambahan sujud
tadi untuk menggenapkan shalatnya tersebut. Jadi seakan-akan ia shalat
enam raka’at, bukan lima raka’at. Pada saat ini sujud sahwinya adalah sebelum salam karena shalatnya ketika itu seakan-akan perlu ditambal disebabkan masih ada yang kurang yaitu yang belum ia yakini.
Tata Cara Sujud Sahwi
Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa hadits bahwa sujud sahwi
dilakukan dengan dua kali sujud di akhir shalat –sebelum atau sesudah
salam-. Ketika ingin sujud disyariatkan untuk mengucapkan takbir “Allahu akbar”, begitu pula ketika ingin bangkit dari sujud disyariatkan untuk bertakbir.
Contoh cara melakukan sujud sahwi sebelum salam dijelaskan dalam hadits ‘Abdullah bin Buhainah,
فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
“Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali.
Ketika itu beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk.
Beliau lakukan sujud sahwi ini sebelum salam.” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)
Contoh cara melakukan sujud sahwi sesudah salam dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah,
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ
“Lalu beliau shalat dua rakaat lagi (yang tertinggal), kemudia
beliau salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian
bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu
beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)
Sujud sahwi sesudah salam ini ditutup lagi dengan salam sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Imron bin Hushain,
فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.
“Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang
kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud
sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim no. 574)
Apakah ada takbiratul ihrom sebelum sujud sahwi?
Sujud sahwi sesudah salam tidak perlu diawali dengan takbiratul
ihrom, cukup dengan takbir untuk sujud saja. Pendapat ini adalah
pendapat mayoritas ulama. Landasan mengenai hal ini adalah hadits-hadits
mengenai sujud sahwi yang telah lewat.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Para ulama
berselisih pendapat mengenai sujud sahwi sesudah salam apakah
disyaratkan takbiratul ihram ataukah cukup dengan takbir untuk sujud?
Mayoritas ulama mengatakan cukup dengan takbir untuk sujud. Inilah
pendapat yang nampak kuat dari berbagai dalil.”[2]
Apakah perlu tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi?
Pendapat yang terkuat di antara pendapat ulama yang ada, tidak perlu
untuk tasyahud lagi setelah sujud kedua dari sujud sahwi karena tidak
ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menerangkan hal ini. Adapun dalil yang biasa jadi pegangan bagi yang
berpendapat adanya, dalilnya adalah dalil-dalil yang lemah.
Jadi cukup ketika melakukan sujud sahwi, bertakbir untuk sujud
pertama, lalu sujud. Kemudian bertakbir lagi untuk bangkit dari sujud
pertama dan duduk sebagaimana duduk antara dua sujud (duduk iftirosy).
Setelah itu bertakbir dan sujud kembali. Lalu bertakbir kembali,
kemudian duduk tawaruk. Setelah itu salam, tanpa tasyahud lagi
sebelumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak
ada dalil sama sekali yang mendukung pendapat ulama yang memerintahkan
untuk tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi. Tidak ada satu pun hadits
shahih yang membicarakan hal ini. Jika memang hal ini disyariatkan,
maka tentu saja hal ini akan dihafal dan dikuasai oleh para sahabat yang
membicarakan tentang sujud sahwi. Karena kadar lamanya tasyahud itu
hampir sama lamanya dua sujud bahkan bisa lebih. Jika memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan tasyahud ketika itu, maka tentu para sahabat akan lebih
mengetahuinya daripada mengetahui perkara salam, takbir ketika akan
sujud dan ketika akan bangkit dalam sujud sahwi. Semua-semua ini perkara
ringan dibanding tasyahud.”[3]
Do’a Ketika Sujud Sahwi
Sebagian ulama menganjurkan do’a ini ketika sujud sahwi,
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو
“Subhana man laa yanaamu wa laa yas-huw” (Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa).[4]
Namun dzikir sujud sahwi di atas cuma anjuran saja dari sebagian ulama dan tanpa didukung oleh dalil. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
قَوْلُهُ : سَمِعْت بَعْضَ الْأَئِمَّةِ
يَحْكِي أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ أَنْ يَقُولَ فِيهِمَا : سُبْحَانَ مَنْ لَا
يَنَامُ وَلَا يَسْهُو – أَيْ فِي سَجْدَتَيْ السَّهْوِ – قُلْت : لَمْ
أَجِدْ لَهُ أَصْلًا .
“Perkataan beliau, “Aku telah mendengar sebagian ulama yang
menceritakan tentang dianjurkannya bacaan: “Subhaana man laa yanaamu wa
laa yas-huw” ketika sujud sahwi (pada kedua sujudnya), maka aku katakan,
“Aku tidak mendapatkan asalnya sama sekali.”[5]
Sehingga yang tepat mengenai bacaan ketika sujud sahwi adalah seperti bacaan sujud biasa ketika shalat. Bacaannya yang bisa dipraktekkan seperti,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi][6]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku][7]
Dalam Mughnil Muhtaj –salah satu kitab fiqih Syafi’iyah- disebutkan, “Tata
cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann
wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah (bersikap
tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy[8] ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk[9] ketika selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”
Sebagaimana pula diterangkan dalam fatwa Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika ditanya, “Bagaimanakah kami melakukan sujud sahwi?”
Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Sujud sahwi
dilakukan dengan dua kali sujud setelah tasyahud akhir sebelum salam,
dilakukan sebagaimana sujud dalam shalat. Dzikir dan do’a yang dibaca
ketika itu adalah seperti ketika dalam shalat. Kecuali jika sujud
sahwinya terdapat kekurangan satu raka’at atau lebih, maka ketika itu,
sujud sahwinya sesudah salam. Demikian pula jika orang yang shalat
memilih keraguan yang ia yakin lebih kuat,maka yang afdhol baginya
adalah sujud sahwi sesudah salam. Hal ini berlandaskan berbagai hadits shahih yang membicarakan sujud sahwi. Wabillahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.”[10]
-bersambung insya Allah-
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
[1] Ar Roudhotun Nadiyyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, 1/182, Darul ‘
Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 3/99, Darul Ma’rifah, 1379.
[3] Dialihbahasakan secara bebas dari Majmu’ Al Fatawa, 23/49.
[4] Bacaan sujud sahwi semacam ini di antaranya disebutkan oleh An Nawawi
rahimahullah dalam Roudhotuth Tholibiin, 1/116, Mawqi’ Al Waroq.
[5] At Talkhis Al Habiir, Ibnu Hajar Al Asqolani, 2/6, Al Madinah Al Munawwaroh, 1384.
[7] HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484
[8]
Duduk iftirosy adalah keadaan duduk seperti ketika tasyahud awwal,
yaitu kaki kanan ditegakkan, sedangkan kaki kiri diduduki pantat.
[9] Duduk tawaruk adalah duduk seperti tasyahud akhir, yaitu kaki kanan ditegakkan sedangkan kaki kiri berada di bawah kaki kanan.
[10]
Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin
Baz sebagai ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; dan
Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah
lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ soal ketujuh, fatwa no. 8540, 7/129.
Sujud Sahwi Sebelum ataukah Sesudah Salam?
Shidiq Hasan Khon rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tegas
yang menjelaskan mengenai sujud sahwi kadang menyebutkan bahwa sujud
sahwi terletak sebelum salam dan kadang pula sesudah salam. Hal ini
menunjukkan bahwa boleh melakukan sujud sahwi sebelum ataukah sesudah
salam. Akan tetapi lebih bagus jika sujud sahwi ini mengikuti cara yang
telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sebelum
salam, maka hendaklah dilakukan sebelum salam. Begitu pula jika ada
dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sesudah salam, maka
hendaklah dilakukan sesudah salam. Selain hal ini, maka di situ ada
pilihan. Akan tetapi, memilih sujud sahwi sebelum atau sesudah salam itu
hanya sunnah (tidak sampai wajib, pen).”[1]
Intinya, jika shalatnya perlu ditambal karena ada kekurangan, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Sedangkan jika shalatnya sudah pas atau berlebih, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.
Adapun penjelasan mengenai letak sujud sahwi sebelum ataukah sesudah salam dapat dilihat pada rincian berikut.
- Jika terdapat kekurangan pada shalat –seperti kekurangan tasyahud
awwal-, ini berarti kekurangan tadi butuh ditambal, maka menutupinya
tentu saja dengan sujud sahwi sebelum salam untuk menyempurnakan shalat. Karena jika seseorang sudah mengucapkan salam, berarti ia sudah selesai dari shalat.
- Jika terdapat kelebihan dalam shalat –seperti terdapat penambahan satu raka’aat-, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam. Karena sujud sahwi ketika itu untuk menghinakan setan.
- Jika seseorang terlanjur salam, namun ternyata masih memiliki
kekurangan raka’at, maka hendaklah ia menyempurnakan kekurangan raka’at
tadi. Pada saat ini, sujud sahwinya adalah sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.
- Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu ia mengingatnya dan bisa memilih yang yakin, maka hendaklah ia sujud sahwi sesudah salam untuk menghinakan setan.
- Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu tidak nampak baginya
keadaan yang yakin. Semisal ia ragu apakah shalatnya empat atau lima
raka’at. Jika ternyata shalatnya benar lima raka’at, maka tambahan sujud
tadi untuk menggenapkan shalatnya tersebut. Jadi seakan-akan ia shalat
enam raka’at, bukan lima raka’at. Pada saat ini sujud sahwinya adalah sebelum salam karena shalatnya ketika itu seakan-akan perlu ditambal disebabkan masih ada yang kurang yaitu yang belum ia yakini.
Tata Cara Sujud Sahwi
Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa hadits bahwa sujud sahwi
dilakukan dengan dua kali sujud di akhir shalat –sebelum atau sesudah
salam-. Ketika ingin sujud disyariatkan untuk mengucapkan takbir “Allahu akbar”, begitu pula ketika ingin bangkit dari sujud disyariatkan untuk bertakbir.
Contoh cara melakukan sujud sahwi sebelum salam dijelaskan dalam hadits ‘Abdullah bin Buhainah,
فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
“Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali.
Ketika itu beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk.
Beliau lakukan sujud sahwi ini sebelum salam.” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)
Contoh cara melakukan sujud sahwi sesudah salam dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah,
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ
“Lalu beliau shalat dua rakaat lagi (yang tertinggal), kemudia
beliau salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian
bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu
beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)
Sujud sahwi sesudah salam ini ditutup lagi dengan salam sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Imron bin Hushain,
فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.
“Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang
kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud
sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim no. 574)
Apakah ada takbiratul ihrom sebelum sujud sahwi?
Sujud sahwi sesudah salam tidak perlu diawali dengan takbiratul
ihrom, cukup dengan takbir untuk sujud saja. Pendapat ini adalah
pendapat mayoritas ulama. Landasan mengenai hal ini adalah hadits-hadits
mengenai sujud sahwi yang telah lewat.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Para ulama
berselisih pendapat mengenai sujud sahwi sesudah salam apakah
disyaratkan takbiratul ihram ataukah cukup dengan takbir untuk sujud?
Mayoritas ulama mengatakan cukup dengan takbir untuk sujud. Inilah
pendapat yang nampak kuat dari berbagai dalil.”[2]
Apakah perlu tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi?
Pendapat yang terkuat di antara pendapat ulama yang ada, tidak perlu
untuk tasyahud lagi setelah sujud kedua dari sujud sahwi karena tidak
ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menerangkan hal ini. Adapun dalil yang biasa jadi pegangan bagi yang
berpendapat adanya, dalilnya adalah dalil-dalil yang lemah.
Jadi cukup ketika melakukan sujud sahwi, bertakbir untuk sujud
pertama, lalu sujud. Kemudian bertakbir lagi untuk bangkit dari sujud
pertama dan duduk sebagaimana duduk antara dua sujud (duduk iftirosy).
Setelah itu bertakbir dan sujud kembali. Lalu bertakbir kembali,
kemudian duduk tawaruk. Setelah itu salam, tanpa tasyahud lagi
sebelumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak
ada dalil sama sekali yang mendukung pendapat ulama yang memerintahkan
untuk tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi. Tidak ada satu pun hadits
shahih yang membicarakan hal ini. Jika memang hal ini disyariatkan,
maka tentu saja hal ini akan dihafal dan dikuasai oleh para sahabat yang
membicarakan tentang sujud sahwi. Karena kadar lamanya tasyahud itu
hampir sama lamanya dua sujud bahkan bisa lebih. Jika memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan tasyahud ketika itu, maka tentu para sahabat akan lebih
mengetahuinya daripada mengetahui perkara salam, takbir ketika akan
sujud dan ketika akan bangkit dalam sujud sahwi. Semua-semua ini perkara
ringan dibanding tasyahud.”[3]
Do’a Ketika Sujud Sahwi
Sebagian ulama menganjurkan do’a ini ketika sujud sahwi,
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو
“Subhana man laa yanaamu wa laa yas-huw” (Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa).[4]
Namun dzikir sujud sahwi di atas cuma anjuran saja dari sebagian ulama dan tanpa didukung oleh dalil. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
قَوْلُهُ : سَمِعْت بَعْضَ الْأَئِمَّةِ
يَحْكِي أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ أَنْ يَقُولَ فِيهِمَا : سُبْحَانَ مَنْ لَا
يَنَامُ وَلَا يَسْهُو – أَيْ فِي سَجْدَتَيْ السَّهْوِ – قُلْت : لَمْ
أَجِدْ لَهُ أَصْلًا .
“Perkataan beliau, “Aku telah mendengar sebagian ulama yang
menceritakan tentang dianjurkannya bacaan: “Subhaana man laa yanaamu wa
laa yas-huw” ketika sujud sahwi (pada kedua sujudnya), maka aku katakan,
“Aku tidak mendapatkan asalnya sama sekali.”[5]
Sehingga yang tepat mengenai bacaan ketika sujud sahwi adalah seperti bacaan sujud biasa ketika shalat. Bacaannya yang bisa dipraktekkan seperti,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi][6]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku][7]
Dalam Mughnil Muhtaj –salah satu kitab fiqih Syafi’iyah- disebutkan, “Tata
cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann
wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah (bersikap
tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy[8] ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk[9] ketika selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”
Sebagaimana pula diterangkan dalam fatwa Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika ditanya, “Bagaimanakah kami melakukan sujud sahwi?”
Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Sujud sahwi
dilakukan dengan dua kali sujud setelah tasyahud akhir sebelum salam,
dilakukan sebagaimana sujud dalam shalat. Dzikir dan do’a yang dibaca
ketika itu adalah seperti ketika dalam shalat. Kecuali jika sujud
sahwinya terdapat kekurangan satu raka’at atau lebih, maka ketika itu,
sujud sahwinya sesudah salam. Demikian pula jika orang yang shalat
memilih keraguan yang ia yakin lebih kuat,maka yang afdhol baginya
adalah sujud sahwi sesudah salam. Hal ini berlandaskan berbagai hadits shahih yang membicarakan sujud sahwi. Wabillahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.”[10]
-bersambung insya Allah-
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
[1] Ar Roudhotun Nadiyyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, 1/182, Darul ‘
Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 3/99, Darul Ma’rifah, 1379.
[3] Dialihbahasakan secara bebas dari Majmu’ Al Fatawa, 23/49.
[4] Bacaan sujud sahwi semacam ini di antaranya disebutkan oleh An Nawawi
rahimahullah dalam Roudhotuth Tholibiin, 1/116, Mawqi’ Al Waroq.
[5] At Talkhis Al Habiir, Ibnu Hajar Al Asqolani, 2/6, Al Madinah Al Munawwaroh, 1384.
[7] HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484
[8]
Duduk iftirosy adalah keadaan duduk seperti ketika tasyahud awwal,
yaitu kaki kanan ditegakkan, sedangkan kaki kiri diduduki pantat.
[9] Duduk tawaruk adalah duduk seperti tasyahud akhir, yaitu kaki kanan ditegakkan sedangkan kaki kiri berada di bawah kaki kanan.
[10]
Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin
Baz sebagai ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; dan
Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah
lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ soal ketujuh, fatwa no. 8540, 7/129.