Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Shalat tarawih adalah shalat malam
berjama’ah pada bulan Ramadhan. Waktunya, mulai dari selesai shalat
Isya’ sampai terbit fajar. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat
menganjurkan agar melaksanakannya. Sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ رواه البخاري و مسلم
"Barangsiapa yang melaksanakan shalat malam pada bulan Ramadhan karena
iman dan mengharapkan balasan, maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang
telah lewat".[1]
Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Aisyah
Radhiyallahu 'anha : “Pada suatu malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam shalat di masjid. Lalu beberapa orang bermakmum kepada Beliau.
Kemudian malam berikutnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat, dan
orang (makmum) bertambah banyak. Mereka pun berkumpul pada malam ketiga
atau keempat, namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar.
Pagi harinya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ
رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ
إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ
فِي رَمَضَانَ رواه البخاري
"Aku telah melihat perbuatan
kalian. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian (untuk
shalat), kecuali kekhawatiranku, kalau-kalau itu difardhukan atas
kalian". [2]
JUMLAH RAKA’AT SHALAT TARAWIH
Permasalahan mengenai jumlah raka’at
shalat tarawih, selalu mengemuka setiap memasuki bulan Ramadhan. Berikut
kami angkat permasalahan ini, yang kami nukil dari pembahasan yang
dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, ketika beliau
rahimahullah menanggapi sebuah risalah yang ditulis berkaitan dengan
pelaksanaan shalat tarawih, baik menyangkut jumlah raka’atnya, maupun
lama kecepatan shalatnya.
الحمد لله رب العالمين والصلاة و السلام على نبينا محمد خاتم النبيين وعلى آله وصحبه أجمعين أما بعد
Aku sudah menelaah sebuah risalah tentang shalat tarawih yang ditujukan
kepada kaum muslimin. Telah sampai kabar kepadaku, risalah ini
dibacakan di beberapa masjid. Risalah ini sangat bagus. Di dalamnya
penulis mendorong agar khusyu’ dan tuma’ninah (perlahan) dalam
melaksanakan shalat tarawih. Semoga Allah memberikan balasan yang baik
atas kebaikannya. Namun, ada beberapa koreksi terhadap risalah ini, yang
wajib dijelaskan. Diantaranya sebagai berikut:
PENULIS RISALAH INI MENUKIL RIWAYAT DARI IBNU ABBAS RADHIYALLAHU
'ANHUMA, BAHWA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM SHALAT 20 RAKA'AT PADA
BULAN RAMADHAN.[3]
Jawabnya:
Hadits ini dhaif (lemah). Dalam Syarah Shahih Bukhari
(2/524) Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan: "Adapun hadits yang
diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu
'anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 20 raka’at dan
witir pada bulan Ramadhan, maka isnad (jalur periwayatannya) hadits ini
lemah dan bertentangan dengan hadits 'Aisyah yang terdapat dalam Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim, padahal Aisyah orang yang paling mengetahui
perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam hari,
dibandingkan dengan lainnya".
Hadits Aisyah yang dimaksudkan
oleh Ibnu Hajar rahimahullah ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
(3/59), Muslim (2/166) dari Aisyah Radhiyallahu 'anha. Bahwa Abu
Salamah bin Abdurrahman Radhiyallahu 'anhu bertanya kepada Aisyah
Radhiyallahu 'anha perihal shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
pada bulan Ramadhan. Aisyah Radhiyallahu 'anha menjawab:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى
عَشْرَةَ رَكْعَةً وفي رواية لمسلم يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ
يُوتِرُ رواه البخاري و مسلم "Pada bulan Ramadhan, Beliau
tidak pernah melebihkan dari 11 rak’at. (Begitu) juga pada bulan
lainnya. (Dalam hadits riwayat Muslim) Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam shalat 8 raka’at, lalu melakukan witir".
Dengan langgam
bahasanya yang keras/tegas, hadits Aisyah ini memberikan kesan
pengingkaran terhadap tambahan lebih dari bilangan (sebelas) ini.
Sedangkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma tentang cara shalat malam
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia mengatakan:
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ
رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ رواه
مسلم "Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 2
raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at,
kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian witir". [HR Muslim
2/179]
Dengan ini menjadi jelas, bahwa shalat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam pada malam hari itu, berkisar antara 11 dan 13
raka’at.
Jika ada yang mengatakan, bahwa shalat malam yang
diterangkan dalam hadits ini bukanlah shalat Tarawih, karena Tarawih
merupakan sunnah yang dikerjakan Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu.
Maka jawabnya : Shalat malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada
bulan Ramadhan itulah (yang disebut) Tarawih. Mereka menamakannya
Tarawih (istirahat), karena mereka memanjangkan shalatnya lalu istirahat
setelah dua kali salam. Oleh karena itu dinamakan Tarawih (istirahat).
Dan Tarawih termasuk sunnah perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Dalam Syarah Shahih Bukhari (3/10) dan Shahih Muslim
(2/177), dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha disebutkan, pada suatu malam
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid, lalu beberapa orang
shalat (bermakmum) di belakang Beliau. Kemudian malam berikutnya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat, lalu makmum bertambah banyak.
Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak kunjung keluar. Pagi harinya,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ
إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ
فِي رَمَضَانَ رواه البخاري و مسلم "Aku telah melihat
perbuatan kalian. Tidak ada yang menghalangi untuk keluar kepada kalian
(untuk shalat), kecuali kekhawatiranku kalau itu difardlukan atas
kalian".[4]
Jika ada yang mengatakan: Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam membatasi diri dengan bilangan raka’at ini. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak melarang untuk menambah bilangan ini, karena
menambahkan bilangan raka’at merupakan kebaikan dan pahala.
Jawabnya : Bisa jadi kebaikan itu ada pada pembatasan diri dengan
bilangan ini, karena itu merupakan petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Jika kebaikan itu terdapat pada pembatasan dengan
bilangan ini, maka membatasi diri dengan bilangan ini merupakan
perbuatan yang lebih utama.
Bisa jadi juga kebaikan itu ada
pada penambahan bilangan. Jika demikian, berarti Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam kurang dalam melakukan kebaikan dan rela menerima yang
kurang daripada yang lebih utama dengan tanpa memberikan penjelasan
kepada umatnya. Demikian ini hal yang mustahil.
Jika ada yang
mengatakan: Lalu bagaimana menanggapi hadits yang diriwayatkan Imam
Malik dalam Muwattha’, dari Yazid bin Ruman, dia mengatakan: "Dahulu
pada zaman Umar, orang-orang melaksanakan shalat (tarawih) 23 raka’at di
bulan Ramadhan". [Muwattha’ Syarah Az Zarqani, 1/239].
Jawabnya : Hadits ini memiliki illat (salah satu sebab lemahnya hadits)
dan bertentangan. Illatnya adalah sanadnya munqhati' (terputus), karena
Yazid bin Ruman tidak pernah ketemu Umar, sebagaimana dikatakan oleh
ahli hadits, misalnya Imam Nawawi dan yang lainnya.
Segi
pertentangannya, hadits ini bertentangan dengan yang diriwayatkan Imam
Malik dalam Muwattha’ dari Muhammad bin Yusuf -dia ini tsiqat tsabat
(terpercaya sekali)- dari Saib bin Yazid (dia adalah seorang sahabat),
dia mengatakan: "Umar bin Khaththab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan
Tamim Ad Dari agar mengimami orang dengan sebelas raka’at". [Muwattha’
Syarah Az Zarqani, 1/138].
Dilihat dari tiga segi, sesungguhnya hadits yang kedua ini arjah (lebih kuat) dibandingkan dengan hadits Yazid bin Ruman.
Pertama : Amalan (11 raka’at) ini lebih lurus dan lebih bagus, karena
sesuai dengan bilangan raka’at yang sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Dan Umar Radhiyallahu 'anhu tidak akan memilih, kecuali yang
sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam manakala ia tahu. Sangat
kecil kemungkinan beliau Radhiyallahu 'anhu tidak mengetahui tentang
bilangan ini.
Kedua : Hadits Saib bin Yazid mengenai 11 raka’at
dinisbatkan (dikaitkan) kepada Umar. Jadi itu merupakan perkataan Umar.
Sedangkan hadits Yazid bin Ruman mengenai 23 raka’at dikaitkan dengan
masa Umar ; jadi itu merupakan iqrar (persetujuan) Umar, sedangkan
perkataan lebih kuat (kedudukannya) daripada iqrar. Karena perkataan
(menunjukkan kejelasan pilihan. Adapun iqrar, kadang untuk sesuatu yang
mubah bukan pada pilihan. Umar mengakui (perbuatan) mereka 23 raka’at,
karena tidak ada larangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan
mereka bisa berijtihad dalam masalah ini. Lalu Umar mengakui ijtihad
mereka, meskipun memilih sebelas raka’at, berdasarkan perintahnya kepada
Ubay.
Ketiga : Hadits Saib bin Yazid mengenai 11 raka’at
bersih dari illat, sanadnya bersambung. Sedangkan hadits Yazid bin Ruman
memiliki illat (sebab tersembunyi yang bisa melemahkan hadits-pent),
sebagaimana penjelasan di muka. Dan juga rekomendasi ketsiqahan sang
perawi dari Saib bin Yazid yaitu Muhammad bin Yusuf lebih kuat daripada
rekomendasi terhadap ketsiqahan Yazid bin Ruman. Mengenai perawi dari
Saib bin Yazid yaitu Muhammad bin Yusuf dikatakan, dia ini tsiqah tsabat
(terpercaya sekali). Sedangkan Yazid bin Ruman dianggap, dia ini
tsiqah. Demikian ini merupakan salah satu bentuk tarjih (penguatan)
dalam ilmu musthalah hadits.
Meskipun hadits Yazid bin Ruman
mengenai 23 raka’at ini dianggap sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, tidak memiliki illat dan tidak bertentangan, namun hadits ini
tidak bisa diutamakan dari (hadits tentang) bilangan raka’at yang biasa
dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam tidak pernah menambah pada bulan Ramadhan ataupun pada bulan
lainnya.
Menanggapi perselisihan ini, maka wajib bagi kita
untuk membaca firman Allah Azza wa Jalla surat An Nisa’ ayat 59, yang
artinya: "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".
Allah mewajibkan kita agar kembali kepada Allah, yaitu kitabNya dan
kepada RasulNya ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup,
atau kepada sunnahnya kala Beliau sudah meninggal. Allah juga
memberitahukan, jalan ini adalah jalan terbaik dan terbagus akibatnya.
Allah juga berfirman, yang artinya: "Maka demi Rabb-mu, (pada
hakikatnya) mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuh hati". [An Nisa’:65].
Allah
menjadikan berhukum kepada Rasulullah pada perselisihan yang timbul
diantara manusia sebagai salah satu tuntutan keimanan. Allah menyatakan
“tidak beriman” dengan pernyataan yang diperkuat dengan sumpah terhadap
orang yang tidak berhukum kepada Rasul, tidak puas dengan hukumnya dan
tidak taat kepadanya.
Dalam sebuah khutbahnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ
Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitab Allah, dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam.[5]
Ini masalah yang sudah pasti disepakati oleh seluruh
kaum muslimin. Bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Petunjuk Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam lebih baik dibandingkan dengan petunjuk orang lain, siapapun
juga. Bahkan jika ada kebaikan pada petunjuk seseorang, maka itu semua
berasal dari petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan para
sahabat memberikan peringatan keras terhadap perbuatan mempertentangkan
antara sabda Rasulullah dengan perkataan orang lain, antara petunjuknya
Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan petunjuk orang lain. Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhuma mengatakan:
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ أَقُوْلُ
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
"Hampir saja kalian dihujani batu dari langit, aku mengatakan
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda” (sedangkan) kalian
mengatakan "Abu Bakar dan Umar mengatakan".
Bahkan ketika Umar
dihadapkan kepadanya dua orang yang saling berselisih, maka terhadap
orang yang tidak ridha dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
Umar Radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Apakah seperti ini?”, lalu ia
membunuhnya. Riwayat ini disebutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam
kitab Tauhid, dan dalam syarahnya Taisir Azizil Hamid, halaman 510.
Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan: "Kisah ini masyhur dan beredar di
kalangan ulama Salaf dan Khalaf dengan peredaran yang tidak membutuhkan
sanad. Dia memiliki beberapa jalur periwayatan. Kelemahan sanadnya tidak
mengakibatkannya cela".[6]
Jika dikatakan kepada seorang
muslim: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami jama’ah
dengan 11 atau 13 raka’at, sedangkan yang lainnya mengimami orang dengan
23 atau 39 raka’at.
Maka tidak ada pilihan bagi seorang
muslim, kecuali mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
mengamalkan petunjuknya. Karena perbuatan yang sesuai dengan Rasulullah
adalah amal terbaik dan lurus. Dan tujuan Allah menciptakan manusia,
langit dan bumi adalah agar manusia melakukan yang terbaik. Allah Azza
wa Jalla berfirman dalam surat Al Mulk ayat 2, yang artinya: Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu
yang lebih baik amalnya. Juga firmanNya dalam surat Hud ayat 7, yang
artinya: Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan
adalah 'ArsyNya di atas air, agar Dia menguji siapakah diantara kamu
yang lebih baik amalnya. Allah tidak mengatakan "agar Dia menguji
siapakah diantara kamu yang lebih banyak amalnya".
Sudah
diketahui bersama, bahwa suatu amal, semakin diikhlaskan hanya kepada
Allah semata dan semakin berittiba’ kepada Rasulullah, maka amal itu
pasti semakin baik. Jadi 11 atau 13 raka’at lebih baik daripada
ditambah, karena keselarasannya dengan hadits yang sah dari Rasulullah n
, sehingga ia lebih utama dan lebih baik. Apalagi jika shalatnya
dilakukan dengan perlahan, khusyu’ konsenterasi serta tuma’ninah, yang
memungkinkan bagi makmum dan imam untuk berdo’a dan berdzikir.
Jika dikatakan: Sesungguhnya shalat 23 raka’at adalah sunnah yang
dilakukan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, dan
merupakan salah satu dari Khulafa’ur Rasyidin, yang kita diperintahkan
agar mengikutinya, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan
sunnah para khulafa’ur rasyidin yang mendapatkan petunjuk
sepeninggalku".[7]
Jawabnya : Demi, Allah! Sungguh Umar
Radhiyallahu 'anhu benar-benar termasuk Khulafa' ur Rasyidin, dan kita
diperintahkan agar mengikuti sunnahnya. Bahkan dia termasuk salah satu
dari dua orang agar kita meneladani keduanya. Rasulullah memerintahkan
kepada kita dengan sabdanya:
إِنِّي لَا أَدْرِي مَا بَقَائِي فِيكُمْ فَاقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
"Sungguh saya tidak tahu, masih berapa lama lagi saya akan bersama
kalian. Maka sepeninggalku, ikutilah Abu Bakar dan Umar". [Diriwayatkan
oleh Tirmidzi].
Umar Radhiyallahu 'anhu juga seorang yang diterangkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya:
إِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ "Sesungguhnya Allah telah menjadikan al haq (kebenaran) pada lisan dan hati Umar". [Diriwayatkan Tirmidzi].
Umar Radhiyallahu 'anhu juga orang yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya:
لَقَدْ كَانَ فِيمَا قَبْلَكُمْ مِنَ اْلأُمَمِ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُ فِي أُمَّتِي أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ
"Sungguh telah ada pada umat sebelum kalian, (yaitu) suatu kaum yang
mendapatkan ilham. Dan jika ada pada umatmu seorang yang mendapatkan
ilham, maka sessugguhnya orang itu adalah Umar". [Muttafaqun
‘alaih].[10]
Yang menjadi permasalahan, manakah sunnah Umar
Radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bilangan raka'at tarawih?
Sesungguhnya penetapan sunnah Umar pada 23 raka'at merupakan sesuatu
yang mustahil. Telah dijelaskan bahwa keabsahan sanadnya –terlebih lagi
penentuan sunnahnya- memiliki illat (salah satu tanda lemahnya hadits)
dan bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat sanadnya, kandungannya
dan lebih lurus amalannya. Yang sah dari Umar, beliau Radhiyallahu anhu
memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad Dariy agar mengimami
manusia dengan 11 raka'at. [11]
Kemudian, anggapan sahnya
riwayat penentuan bilangan 23 raka'at berasal dari Umar Radhiyallahu
'anhu, ini juga tidak bisa dijadikan hujjah (yang mengalahkan) perbuatan
Rasulullah dan juga tidak bisa menjadi tandingan baginya. Berdasarkan
Al Qur'an, As Sunnah dan perkatan-perkataan para sahabat serta Ijma'
(kesepakatan ulama'), bahwa sunnah Rasulullah tidak akan bisa disamai
oleh sunnah orang lain. Siapapun orangnya, tidak bisa menentangnya.
Imam Syafi'i rahimahullah berkata,”Seluruh kaum muslimin telah sepakat,
bahwa orang yang sudah jelas bagi sunnah dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, maka haram baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut
disebabkan oleh perkataan seseorang.”
PENULIS RISALAH
MENYATAKAN : SESUNGGUHNYA KAUM MUSLIMIN SENANTIASA (MELAKSANAKAN) 23
RAKA'AT SEJAK ZAMAN SHABAT SAMPAI MASA KITA INI, SEHINGGA MENJADI IJMA'.
Jawabnya:
Yang benar, tidaklah demikian. Perbedaan pendapat telah
ada sejak masa sahabat sampai sekarang. Perbedaan ini disebutkan dalam
Fath-hul Bari (4/253), Cet. As Salafiyah, yang ringkasnya, 11, 13, 19,
21, 23, 25, 27, 35, 37, 39 [ini (maksudnya 39) dilakukan di Madinah pada
masa pemerintahan Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz. Imam Malik
mengatakan: “Perbuatan ini sudah dilakukan sejak seratusan tahun
lebih”], 41, 47 dan 49. (Untuk lebih jelasnya mengenai pelaksanaan
shalat tarawih dengan bilangan raka'at ini, silahkan lihat majalah As
Sunnah, Edisi 07/VII/2003, Pent).
Jika telah jelas adanya
perbedaan, maka yang menjadi hakim pemutus dalam masalah ini adalah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah, yang
artinya: "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". [An Nisa':59]
والحمد لله ري العالمين وصلى الله على نبينا محمد وعلىآله وصحبه أجمعين LAMANYA PELAKSANAAN SHALAT TARAWIH
Sebagaimana kita lihat, banyak orang
melaksanakan shalat tarawaih dengan mempercepat, bahkan terkesan
tergesa-gesa. Untuk memperjelas permasalahan ini, berikut kami nukilkan
pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, berkaitan dengan tempo
atau lamanya cara melaksanakan shalat tarawih.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menerangkan:
Sangat jelas keterangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memperpanjang shalat malamnya.
Begitu pula ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi imam.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu,
ketika ia Radhiyallahu 'anhu shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memperpanjang shalatnya
sampai Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkeinginan untuk duduk dan
meninggalkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. [12] Lihat Al Fath-hul
Bari (3/19) dan Shahih Muslim (1/537).
Sebagaimana juga pada
hadits Hudzaifah [13]. Suatu ketika, ia Radhiyallahu anhu shalat bersama
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam membaca surat Al Baqarah, Ali Imran dan An Nisa’. Jika Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati ayat yang mengandung tasbih,
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertasbih. Jika melewati ayat do’a,
Beliau berdo’a. Jika melewati ayat tentang perlindungan, Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon perlindungan. Lihat Shahih Muslim
(1/536-537).
Jelaslah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
shalat bersama para sahabat selama tiga malam pada bulan Ramadhan, dan
tidak pada malam ke empat, sebagaimana dalam Shahih Bukhari [14]. Lihat
Al Fath (4/253) dan Muslim (1/524).
Begitu pula, bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersama para sahabatnya ketika
Ramadhan tersisa 7 hari sampai 1/3 malam, pada malam kedua sampai ½
malam, dan pada malam ketiga sampai mereka (khawatir) tidak bisa sahur.
Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad dan ulama penyusun kitab Sunan.
Menurut para ulama penyusun kitab Sunan, perawinya adalah shahih,
sebagaimana disebutkan di dalam Nailul Authar.
Perbuatan
memanjangkan inilah yang dilakukan oleh para ulama salafush shalih dari
kalangan para sahabat dan tabi’in, sebagaimana diterangkan dalam kitab
Muwattha’, karya Imam Malik. Lihat Syarah Az Zarqani (1/238-240).
Beda antara hadits ini (yaitu tentang memanjangkan bacaan) dengan
hadits Muadz Radhiyallahu 'anhu tentang larangan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam kepada Mu’adz Radhiyallahu 'anhu dari memanjangkan
bacaan (yang dimaksud dengan memanjangkan disini adalah melebihkan dari
yang diterangkan dalam sunnah), yaitu hadits memanjangkan ini untuk
shalat nafilah (hukumnya sunat) yang diperbolehkan bagi orang untuk
tidak ikut berjama’ah dan meninggalkannya. Sedangkan hadits Mu’adz
(tentang larangan memanjangkan bacaan) itu pada shalat fardhu yang tidak
diperbolehkan bagi seseorang untuk meninggalkan jama’ah dan mufaraqah
(keluar) dari jama’ah, kecuali dengan alas an syar’i. Jadi mereka wajib
meniatkannya dan menyempurnakannya. [Lihat Majmu’ Fatawa, hlm. 257-258].
Kesimpulan, kedua hadits itu tidak bertentangan.
Demikianlah beberapa masalah yang berkaitan dengan shalat tarawih. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
[Diangkat dari Majmu’ Fatawa Wa Rasail, 14/210-211]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 07/Tahun VIII/1425/2004M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
melalui
almanhaj.or.id _______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih, dari hadits Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dalam Al Iman, Bab: Tathawu’ Qiyami Ramadhan Min Al Iman, no. 37
dan Muslim dalam Shalat Al Musafirin, Bab: At Targhibu Fi Qiyami
Ramadhan, no. 173 (759).
[2]. Muttafaq ‘alaih, diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dalam At Tahajjud, Bab: Tahridhu An Nabi ‘Ala Shalat Al
Lail, no. 1.129 dan Muslim dalam Shalat Al Musafirin, Bab: At Targhibu
Fi Qiyami Ramadhan, no. 177 (761).
[3]. HR Baihaqi dalam kitab Ash
Shalat, Bab: 'Adadu Raka'ati Al Qiyam … 2/496. Lihat At Talkhish Al
Habir, 2/45 (541) dan perhatikan hlm. 246.
[4]. Muttafaq ‘alaih,
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam At Tahajjud, Bab Tahridhu An Nabi
‘Ala Shalat Al Lail, no. 1.129 dan Muslim dalam Shalat Al Musafirin, Bab
At Targhibu Fi Qiyami Ramadhan, no. 177 (761).
[5]. HR Muslim dalam kitab Al Jum’ah, Bab: Takhfifu Ash Shalati Wa Al Khutbati, no. 867.
[6]. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam Al Fath (5/37),"Ini
diriwayatkan oleh Al Kalbi dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas … Meskipun
sanadnya lemah, tetapi menjadi kuat dengan jalur Mujahid." Lihat jilid
10/741 dari Majmu’ Fatawa Wa Rasail.
[7]. Diriwayatkanoleh Abu Dawud dalam As Sunnah, Bab: Luzumus Sunnah, no. 4.607.
[8]. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Manakib Abu Bakar dan Manakib Umar Radhiyallahu 'anhuma, no. 3.662.
[9]. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Manakib Umar c , no. 3.672, dan ia mengatakan hadits ini hasan.
[10]. Diriwayatkan Imam bukhari dalam Fadhailu Ashabi Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, Bab: Manakib Umar, no. 3.679 dari hadits Abu Hurairah
dan Imam Muslim dalam Fadhailush Shahabat, Bab: Fadhail Umar dari
hadits Aisyah, no. 2.398.
[11]. Dalam kitab Ash Shalat, Bab: Ma Ja’a Fi Qiyami Ramadhan, 1/110 (280).
[12]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam At Tahajjud, Bab: Thulu Al
Qiyam Fi Shalat Al Lail, no. 1.135 dan diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam Shalat Musafirin, Bab: Istihbab Tathwili Al Qira’ah Fi Shalat Al
Lail, 204 (773).
[13]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.
[14].
Muttafaqun ‘alaihi, dari hadits Aisyah, diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dalam At Tahajjud, Bab: Tahridhu An Nabi ‘Ala Shalat Al Lail, no. 1.129
dan Muslim dalam Shalat Al Musafirin, Bab At Targhibu Fi Qiyami
Ramadhan, no. 177 (761).
http://assunnah-qatar.com/artikel/fiqh/745-shalat-tarawih-23-raka-at.html