Penjelasan   Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4  Mahzab Tentang Bid'ahnya Tahlilan
Segala puji bagi Allah, sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabi  
Muhammad beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Do’a dan shodaqoh  
untuk sesama muslim yang telah meninggal menjadi ladang amal bagi kita  
yang masih di dunia ini sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada  
di alam sana. Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, Islam  
membimbing kita menyikapi sebuah kematian sesuai dengan hakekatnya yaitu
  amal shalih, tidak dengan hal-hal duniawi yang tidak berhubungan sama 
 sekali dengan alam sana seperti kuburan yang megah, bekal kubur yang  
berharga, tangisan yang membahana, maupun pesta besar-besaran. Bila  
diantara saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah sanak  
saudara menjadi penghibur dan penguat kesabaran, sebagaimana Rasulullah 
  memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena  
musibah tersebut, dalam hadits:
 “Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja'far, karena  
mereka sedang tertimpa masalah yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan  
Aby Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61), al-Daruquthny  
(Sunan al-Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al-
  Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah, 1/514)
Namun ironisnya kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam  
untuk sebuah selamatan kematian yang harus ditanggung keluarga yang  
terkena musibah. Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang
  akan dikirimkan kepada sang ibu yang telah meninggal, Beliau menjawab 
 ‘air’. Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat dari sumur 
 yang dibuat itu (menyediakan air bagi masyarakat indonesia yang 
melimpah  air saja sangat berharga, apalagi di Arab yang beriklim 
gurun), awet  dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir. Rasulullah  
telah  mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa mungkin diprioritaskan 
untuk  hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail, bukan 
memberi  ikan; seandainya seorang pengemis diberi uang atau makanan, 
besok dia  akan mengemis lagi; namun jika diberi kampak untuk mencari 
kayu, besok  dia sudah bisa mandiri. Juga amal jariyah yang manfaatnya 
awet seperti  menulis mushaf, membangun masjid, menanam pohon yang 
berbuah (reboisasi;  reklamasi lahan kritis), membuat sumur/mengalirkan 
air (fasilitas umum,  irigasi), mengajarkan ilmu, yang memang 
benar-benar sedang dibutuhkan  masyarakat. Bilamana tidak mampu secara 
pribadi, toh bisa dilakukan  secara patungan. Seandainya dana umat Islam
 yang demikian besar untuk  selamatan berupa makanan (bahkan banyak 
makanan yang akhirnya dibuang  sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi 
isyrof) dialihkan untuk memberi  beasiswa kepada anak yatim atau kurang 
mampu agar bisa sekolah,  membenahi madrasah/sekolah islam agar 
kualitasnya sebaik sekolah faforit  (yang umumnya milik umat lain),atau 
menciptakan lapangan kerja dan  memberi bekal ketrampilan bagi 
pengangguran, niscaya akan lebih  bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut 
bukan suatu keharusan, apalagi bila  memang tidak mampu. Melakukannya 
menjadi keutamaan, bila tidak mau pun  tidak boleh ada celaan.
Sebagian ulama menyatakan mengirimkan pahala tidak selamanya harus dalam
  bentuk materi, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah berpendapat bacaan al-  
Qur’an dapat sampai sebagaimana puasa, nadzar, haji, dll; sedang Imam  
Syafi’i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan al-Qur’an untuk si mayit tidak
  sampai karena tidak ada dalil yang memerintahkan hal tersebut, tidak  
dicontohkan Rasulullah  dan para shahabat. Berbeda dengan ibadah yang  
wajib atau sunnah mu’akad seperti shalat, zakat, qurban, sholat jamaah, 
 i’tikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan bagi mereka yang  
meninggalkannya dalam keadaan mampu. Akan tetapi di masyarakat kita  
selamatan kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban
  agama. Orang yang meninggalkannya dianggap lebih tercela daripada 
orang  yang meninggalkan sholat, zakat, atau kewajiban agama yang lain. 
 Sehingga banyak yang akhirnya memaksakan diri karena takut akan sanksi 
 sosial tersebut. Mulai dari berhutang, menjual tanah, ternak atau 
barang  berharga yang dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat 
anak yatim  atau orang lemah. Padahal di dalam al-Qur’an telah jelas 
terdapat  arahan untuk memberikan perlindungan harta anak yatim; tidak 
memakan  harta anak yatim secara dzalim, tetapi menjaga sampai ia dewasa
 (QS  an-Nisa’: 2, 5, 10, QS al- An’am: 152, QS al-Isra’: 34) serta 
tidak  membelanjakannya secara boros (QS an- Nisa’: 6)
Dibalik selamatan kematian tersebut sesungguhnya juga terkandung tipuan 
 yang memperdayakan. Seorang yang tidak beribadah/menunaikan kewajiban  
agama selama hidupnya, dengan besarnya prosesi selamatan setelah  
kematiannya akan menganggap sudah cukup amalnya, bahkan untuk menebus  
kesalahan-kesalahannya. Juga seorang anak yang tidak taat beribadahpun  
akan menganggap dengan menyelenggarakan selamatan, telah menunaikan  
kewajibannya berbakti/mendoakan orang tuanya.
 
Imam Syafi'i rahimahullah dalam kitab 
al-Umm berkata:
"...dan aku membenci al-ma'tam, 
yaitu proses berkumpul (di tempat  keluarga mayat) walaupun tanpa 
tangisan, karena hal tersebut hanya akan  menimbulkan bertambahnya 
kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban  kesedihan masih 
melekat." (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1393) juz I,  hal 279) 
Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat  
istiadat yang telah mengakar. Masuk Islam tapi kehilangan  
selamatan-selamatan, beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk  
Nasrani tapi kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25  
Desember.
Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang jawa  yang tersimpan di musium Leiden, 
Sunan
 Ampel memperingatkan Sunan  Kalijogo yang masih melestarikan selamatan 
tersebut:“Jangan ditiru  perbuatan semacam itu karena termasuk bid'ah”. 
Sunan Kalijogo menjawab:  “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika 
Islam telah tertanam di hati  masyarakat yang akan menghilangkan budaya 
tahlilan itu”. 
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi  
dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang  
lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan  
Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan
  mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat
  (kaum putihan). Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama  
seperti selamatan, bersaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.
Sunan Ampel berpandangan lain: 
“Apakah tidak mengkhawatirkannya di  
kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap  
sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan  
nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan kudus menjawabnya bahwa ia  
mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang  
menyempurnakannya. (hal 41, 64)
Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, para Wali dibagi  menjadi tiga wilayah garapan
Pembagian wilayah tersebut berdasarkan obyek dakwah yang dipengaruhi  
oleh agama yang masyarakat anut pada saat itu, yaitu Hindu dan Budha.
Pertama: Wilayah Timur.
 Di wilayah bagian timur ini ditempati  oleh lima orang wali, karena 
pengaruh hindu sangat dominan. Disamping  itu pusat kekuasaan Hindu 
berada di wilayah Jawa bagian timur ini (Jawa  Timur sekarang) Wilayah 
ini ditempati oleh lima wali, yaitu Syaikh  Maulana Ibrahim (Sunan 
Demak), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku  (Sunan Giri), Makdum 
Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan  Drajat)
Kedua : Wilayah Tengah.
 Di wilayah Tengah ditempati oleh tiga  orang Wali. Pengaruh Hindu tidak
 begitu dominan. Namun budaya Hindu  sudah kuat. Wali yang ditugaskan di
 sini adalah : Raden Syahid (Sunan  Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan 
Muria), Ja'far Shadiq (Sunan Kudus)
Ketiga : Wilayah Barat.
 Di wilayah ini meliputi Jawa bagian  barat, ditempati oleh seorang 
wali, yaitu Sunan Gunung Jati alias  Syarief Hidayatullah. Di wilayah 
barat pengaruh Hindu-Budha tidak  dominan, karena di wilayah Tatar Sunda
 (Pasundan) penduduknya telah  menjadi penganut agama asli sunda, antara
 lain kepercayaan 
"Sunda  Wiwitan"
Dua Pendekatan dakwah para wali.
1. Pendekatan Sosial Budaya
2. Pendekatan aqidah Salaf
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan terutama 
 Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam 
secara  murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka 
menghindarkan diri  dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha. 
Tetapi sebaliknya  Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba 
menerima sisa-sisa  ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran 
Islam. Sampai saat  ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti
 sekatenan, ruwatan,  shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan dll.
Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra  
Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya 
 yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan  
Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang  
waktu itu sangat menyenangi wayang kulit. Sebagai contoh dakwah Sunan  
kalijaga kepada Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang masih  
beragama Hindu, dapat dilihat di serat 
Darmogandul, yang antara  lain bunyinya; 
Punika
 sadar sarengat, tegese sarengat niki, yen  sare wadine njegat; tarekat 
taren kang osteri; hakikat unggil kapti,  kedah rujuk estri kakung, 
makripat ngentos wikan, sarak sarat laki rabi,  ngaben aku kaidenna 
yayan rina" (itulah yang namanya sahadat  syariat, artinya syariat 
ini, bila tidur kemaluannya tegak; sedangkan  tarekat artinya meminta 
kepada istrinya; hakikat artinya menyatu padu ,  semua itu harus 
mendapat persetujuan suami istri; makrifat artinya  mengenal ; jadilah 
sekarang hukum itu merupakan syarat bagi mereka yang  ingin berumah 
tangga, sehingga bersenggama itu dapat dilaksanakan  kapanpun juga).
 Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti  tergambar di muka, maka 
ia satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa  yang dianggap 
benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam  Kejawen/abangan), karena 
Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang  berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi).
 
[Sumber :  Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan  Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit  PT. Bina Ilmu dan Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat  Utama Tegaknya Syariat Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar  Muhammad  Arifin Ilham (Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press.]
 
Nasehat Sunan Bonang
Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van  Mbonang”[1] adalah
 peringatan dari sunan Mbonang  kepada umat untuk selalu bersikap saling
 membantu dalam suasana cinta  kasih, dan mencegah diri dari kesesatan 
dan bid’ah. Bunyinya sebagai  berikut:
 “Ee..mitraningsun!
 Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam  lan mitranira kang 
asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.
Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk 
 Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang 
mengasihimu.  Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan 
bid’ah.[2]
[1] Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang  dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan di Museum  Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh  beberapa peneliti. Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan  Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj  Zoetmulder Sj, tahun 1935.
[2] Dari info Abu Yahta Arif Mustaqim, pengedit buku Mantan Kiai NU  
Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hlm. 12-13.
 
Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21  Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan  menyatakan bahwa selamatan kematian adalah 
bid'ah yang hina
 namun  tidak sampai diharamkan dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut 
Thalibin.  Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya 
tahlilan  tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal
 Jama’ah.  Sekalipun seseorang telah melakukan kewajiban-kewajiban 
agama, namun  tidak melakukan tahlilan, akan dianggap tercela sekali, 
bukan termasuk  golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah. Di zaman akhir yang 
ini dimana keadaan  pengikut sunnah seperti orang 'aneh' asing di negeri
 sendiri, begitu  banyaknya orang Islam yang meninggalkan kewajiban 
agama tanpa rasa malu,  seperti meninggalkan Sholat Jum'at, puasa 
Romadhon,dll. Sebaliknya  masyarakat begitu antusias melaksanakan 
tahlilan ini, hanya segelintir  orang yang berani meninggalkannya. 
Bahkan non-muslim pun akan merasa  kikuk bila tak melaksanakannya. 
Padahal para ulama terdahulu senantiasa  mengingat dalil-dalil yang 
menganggap buruk walimah (selamatan) dalam  suasana musibah tersebut. 
Dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajali:  "Kami (para sahabat) 
menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga  mayit, serta 
penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari  niyahah 
(meratapi mayit)". (Musnad Ahmad bin Hambal (Beirut: Dar  al-Fikr, 1994)
 juz II, hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar  al-Fikr) juz I, 
hal 514)
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO:  18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA
TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan  
kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari  
berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah  
keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh  itu hukumnya 
MAKRUH,
 apabila harus dengan cara berkumpul  bersama-sama dan pada hari-hari 
tertentu, sedang hukum makruh tersebut  tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“
MAKRUH hukumnya bagi keluarga 
mayit ikut duduk bersama orang-orang yang  sengaja dihimpun untuk 
berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka,  sesuai dengan hadits 
riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali  yang berkata: ”kami 
menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit  dengan menyuguhi makanan
 pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu  sebagai bagian dari 
RATAPAN (YANG DILARANG).”

Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita.  
Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa  
di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali  
kubur saja, dan 
TENTANG YANG DILAKUKAN 
PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM  BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA 
FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN  HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI 
KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap  sebulan dengan 
pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang  menghadiri 
proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan  
kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya  
akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka  
melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala)  
akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih
  ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau  
sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah
  bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan 
dari  kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat 
harus  dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan  di atas termasuk 
BID’AH YANG TERCELA
 tetapi tidak sampai haram (alias  makruh), kecuali (bisa haram) jika 
prosesi penghormatan pada mayit di  rumah ahli warisnya itu bertujuan 
untuk “meratapi” atau memuji secara  berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal  “
OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH
 (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan  menyediakan makanan pada 
hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh,  dst-penj.), agar mereka 
tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia  tidak mau melakukan 
prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian,  diharapkan ia 
mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi  terhadap 
seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup  hidungnya 
dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi  untuk 
menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan  
masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab  
tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli 
 waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai,  
tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan  
sebelum dibagi kepada ahli waris).
[Buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama  NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz  Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh  Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama  Republik Indonesia : H. Maftuh Basuni]
Hasil Scan halaman buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama  NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah);
 

Keterangan lebih lengkapnya lihat dalam Kitab 
I'anatut Thalibin Juz 2  hal. 165 -166 , Seperti terlampir di bawah ini :
وقد 
أرسل الامام الشافعي - رضي الله عنه - إلى بعض أصحابه يعزيه في ابن له  قد 
مات بقوله: إني معزيك لا إني على ثقة * * من الخلود، ولكن سنة الدين فما  
المعزى بباق بعد ميته * * ولا المعزي ولو عاشا إلى حين والتعزية: هي الامر 
 بالصبر، والحمل عليه بوعد الاجر، والتحذير من الوزر بالجزع، والدعاء للميت
  بالمغفرة وللحي بجبر المصيبة، فيقال فيها: أعظم الله أجرك، وأحسن عزاءك، 
 وغفر لميتك، وجبر معصيتك، أو أخلف عليك، أو نحو ذلك.وهذا في تعزية المسلم 
 بالمسلم.
وأما تعزية المسلم بالكافر فلا يقال فيها: وغفر لميتك، لان الله لا يغفر  الكفر.
وهي مستحبة قبل مضي ثلاثة أيام من الموت،
 وتكره بعد مضيها.ويسن أن يعم بها  جميع أهل الميت من صغيروكبير، ورجل 
وامرأة، إلا شابة وأمرد حسنا، فلا  يعزيهما إلا محارمهما، وزوجهما.ويكره 
ابتداء أجنبي لهما بالتعزية، بل  الحرمة أقرب.ويكره لاهل الميت الجلوس 
للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس  عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله 
البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى  أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من 
النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت -  ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا
 جيرانا - وأقاربه الاباعد - وإن  كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لاهله 
طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن  يلحوا عليهم في الاكل.ويحرم صنعه للنائحة، 
لانه إعانة على معصية.
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من  الطعام.وجواب منهم لذلك.
(وصورتهما).
ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام
 نفعهم للانام مدى الايام، في  العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن 
الشخص إذا انتقل إلى دار  الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف 
بأنهم ينتظرون الطعام، ومن  غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف 
التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة،  ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.فهل لو 
أراد رئيس الحكام - بما له من الرفق  بالرعية، والشفقة على الاهالي - بمنع 
هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى  التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير 
البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما،  حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب 
على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا  بالجواب بما هو منقول ومسطور.
(الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين  نهجهم بعده.اللهم أسألك الهداية للصواب.
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع  المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به  الاسلام والمسلمين.
قال العلامة أحمد بن حجر في (تحفة 
المحتاج لشرحك المنهاج): ويسن لجيران  أهله - أي الميت - تهيئة طعام يشبعهم
 يومهم وليلتهم، للخبر الصحيح.اصنعوا  لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم.
ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع.ويحرم تهيئه  للنائحات لانه إعانة على معصية، وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا  الناس إليه، بدعة مكروهة - كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه.كنا  نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.
ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.
ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء، بل ينبغي أن ينصرفوا في  حوائجهم، فمن صادفهم عزاهم.
اه.
وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج:
 ومن البدع المنكرة والمكروه  فعلها: ما يفعله الناس من الوحشةوالجمع 
والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان  من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو 
يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.
اه.وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث
 رضي الله عنه: يا بلال من أحيا  سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من 
الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من  أجورهم شيئا.
ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله 
ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا  ينقص من أوزارهم شيئا.وقال (ص): إن 
هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح،  فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا 
للخير، مغلاقا للشر.وويل لعبد جعله الله  مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.
ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته  للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس  يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما.والله سبحانه  وتعالى أعلم.
كتبه المرتجي من ربه الغفران: أحمد بن زيني دحلان - مفتي الشافعية بمكة  المحمية - غفر الله له، ولوالديه، ومشايخه، والمسلمين.
(الحمد لله) من ممد الكون أستمد التوفيق 
والعون.نعم، يثاب والي الامر -  ضاعف الله له الاجر، وأيده بتأييده - على 
منعهم عن تلك الامور التي هي من  البدع المستقبحة عند الجمهور.
قال في (رد المحتار تحت قول الدار 
المختار) ما نصه: قال في الفتح: ويستحب  لجيران أهل الميت، والاقرباء 
الاباعد، تهيئة طعام لهم يشبعهم يومهم  وليلتهم، لقوله (ص): اصنعوا لآل 
جعفر
طعاما
(ما فقد جاءهم ما يشغلهم.حسنه الترمذي، وصححه الحاكم.
ولانه بر ومعروف، ويلح عليهم في الاكل، لان الحزن يمنعهم من ذلك، فيضعفون  حينئذ.وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت،
 لانه شرع في  السرور، وهي بدعة.روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن
 جرير بن عبد  الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من
 النياحة.اه.
وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع،
 ونقل  الطعام إلى القبر في المواسم إلخ.وتمامه فيه، فمن شاء فليراجع.والله
  سبحانه وتعالى أعلم.كتبه خادم الشريعة والمنهاج: عبد الرحمن بن عبد الله 
 سراج، الحنفي، مفتي مكة المكرمة - كان الله لهما حامدا مصليا مسلما
Terjemahan kalimat yang telah digaris bawahi di atas, di dalam Kitab  I'anatut Thalibin :
1. Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di  
rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah  
termasuk Bid'ah Mungkar, yang bagi orang (ulil amri) yang melarangnya akan diberi  pahala.
2. Dan apa yang telah menjadi kebiasaan, ahli mayit membuat makanan  untuk orang-orang yang diundang datang padanya, adalah Bid'ah yang  dibenci.
3. Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang untuk melakukan  
Bid'ah Mungkarah itu (Haulan/Tahlilan : red) adalah menghidupkan Sunnah,
  mematikan Bid'ah, membuka banyak pintu kebaikan, dan menutup banyak  
pintu keburukan.
4. Dan dibenci bagi para tamu memakan makanan keluarga mayit, karena  
telah disyari'atkan tentang keburukannya, dan perkara itu adalah Bid'ah.
  Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang  
Shahih, dari Jarir ibnu Abdullah, berkata : "Kami menganggap  
berkumpulnya manusia di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan ,  
adalah termasuk Niyahah"
5. Dan dibenci menyelenggarakan makanan pada hari pertama, ketiga, dan  sesudah seminggu dst.
 
Hasil scan halaman kitab I'anatut Thalibin Juz 2  hal. 165 -166
Muhammadiyah, PERSIS dan Al 
Irsyad, sepakat mengatakan bahwa  Tahlilan (Selamatan Kematian) adalah 
perkara bid'ah, dan harus  ditinggalkan
Dari Thalhah: "Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata:  
Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat? Jarir menjawab: Tidak, Umar  
berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di  
rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya, Umar  
berkata: Hal itu sama dengan meratap". (al-Mashnaf ibn Aby Syaibah  
(Riyad: Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) dari Sa'ied bin Jabir
  dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula oleh Abd  
al-Razaq: "Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan
  dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga  
mayit". (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan'any (Beirut: al-Maktab al-  
Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah  
dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem,
  Sa'ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara  
kepadaku Yan'aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya  
melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan  
perkumpulan, kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan  
merugi".
Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara kepada kami, Waki' bin  
Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary, beliau berkata:  
Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian dari  
perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan  
jahiliyah".
Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin  ar- Raniry
 yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia  pun masih 
berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian  itu. 
“Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara' adalah  
dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- 
 hari lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan 
 di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan  
dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh,  
atau keduapuluh, atau keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga
  dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal hal tersebut hukumnya 
 makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang  
ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit  
(biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumhukumnya biayanya berasal 
 dari harta anak yatim”. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi 
Irsyad  al-Mubtadi'ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).
Pernyataan senada juga diungkapkan 
Muhammad Arsyad al-Banjary  dalam 
Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87,  serta 
Nurudin al-Raniry dalam 
Shirath al-Mustaqim (Beirut:  Dar al-Fikr) juz II, hal 50) Dari majalah 
al-Mawa'idz yang  diterbitkan oleh 
NU pada tahun 30-an,
 menyitir pernyataan Imam  al-Khara'ithy yang dilansir oleh kitab 
al-Aqrimany disebutkan:  "al-Khara'ithy mendapat keterangan dari Hilal 
bin Hibban r.a, beliau  berkata: 'Penghidangan makanan oleh keluarga 
mayit merupakan bagian dari  perbuatan orang-orang jahiliyah'. kebiasaan
 tersebut oleh masyarakat  sekarang sudah dianggap sunnah, dan 
meninggalkannya berarti bid'ah, maka  telah terbalik suatu urusan dan 
telah berubah suatu kebiasaan'.  (al-Aqrimany dalam al-Mawa'idz; 
Pangrodjong 
Nahdlatoel 'Oelama  Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).
Scan 
Kitab Kuning Sabilal Muhtadin (versi Arab Melayu) ditulis oleh Syaikh 
Muhammad Arsyad Al Banjari (bemazhab Syafi'i) . Pada halaman 87 juz 2 , 
beliau mengatakan :
Makruh lagi bid'ah bagi yang kematian memperbuat makanan yang diserukannya sekalian manusia atas memakannya, sebelum dan sesudah kematian seperti yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat
Scan halaman Kitab yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari, seorang ulama besar dari Kalimantan Selatan yang bermazhab Syafi'i. Beliau mengatakan :
"Makruh lagi bid'ah bagi yang kematian membikin makanan untuk dimakan oleh orang banyak baik sebelum maupun sesudah mengubur seperti kebiasaan dikerjakan oleh masyarakat".
Lihat hal. 741 alinea terakhir Buku Jilid 2, Bab Jenazah.
 
Al Mawa'idz merupakan sebuah nama bagi majalah yang dikelola oleh organisasi 
Nahdatul Ulama
 Tasikmalaya, terbit sekitar pada tahun 30-an. Di dalam majalah ini, 
pihak NU (yang biasa dikenal sebagai pendukung acara prevalensi 
perjamuan tahlilan) menyatakan sikap yang sebenarnya terhadap kedudukan 
hukum prevalensi tersebut. Berikut kutipannya :
Tjindekna ngadamel rioengan di noe kapapatenan teh, ngalanggar tiloe perkara :
   1. 
Ngabeuratkeun ka ahli majit; enja ari teu menta tea mah, orokaja da ari 
geus djadi adat mah sok era oepama henteu teh . Geura oepama henteu 
sarerea mah ?
   2. Ngariweuhkeun ka ahli majit; keur mah loba kasoesah koe katinggal maot oge, hajoh ditambahan.
   3. 
Njoelajaan Hadits, koe hadits mah ahli majit noe koedoe di bere koe 
oerang, ieu mah hajoh oerang noe dibere koe ahli majit.
Kesimpulannya mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayat yang sedang berduka cita, berarti telah melanggar tiga hal :
1. Membebani keluarga mayat, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan 
makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayat akan
 menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan. Tetapi coba kalau semua
 orang tidak melakukan hal serupa itu ?
2. Merepotkan keluarga mayat, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.
3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits justru kita tetangga 
yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayat yang sedang berduka
 cita, bukan sebaliknya.
Kemudian ditempat lain :
Tah koe katerangan 
Sajjid Bakri dina ieu kitab I'anah geuning geus ittifaq oelama-oelama 
madhab noe 4 kana paadatan ittiehadz tho'am (ngayakeun kadaharan) ti 
ahli majit noe diseboetkeun njoesoer tanah, tiloena, toejoehna dj.s.t. 
njeboetkeun bid'ah moenkaroh.
Nah, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab I'anah tersebut, 
ternyata para ulama dari 4 mazhab telah menyepakati bahwa kebiasaan 
keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah 
Nyusur Tanah, tiluna (hari ketiganya), tujuhnya (hari ketujuhnya), dst, 
merupakan perbuatan bid'ah yang tidak disukai agama.
Selanjutnya :
Koeninga koe ieu 
toekilan-toekilan noe ngahoekoeman bid'ah moenkaroh, karohah haram teh 
geuning oelama-oelama ahli soennah wal Djama'ah, lain bae Attobib, Al 
Moemin, Al Mawa'idz. Doeka anoe ngahoekoeman soennat naha ahli Soennah 
wal Djama'ah atawa sanes ?
Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahui bahwa sebenarnya yang 
menghukumi bid'ah mungkarah itu ternyata ulama-ulama Ahlu Sunnah wal 
Jama'ah, bukan hanya majalah Attobib, Al Moemin, Al Mawa'idz. Tidak tahu
 siapa yang menghukumi sunnat, apakah Ahlu Sunnah wal Jama'ah atau bukan
 ?
Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa 
warga Nu pada waktu itu sepakat pandangannya terhadap hukum prevalensi 
perjamuan tahlilan, yaitu bid'ah yang dimakruhkan dengan makruh tahrim, 
(menjadi haram karena sebab lain) apabila biaya penyelenggaraan acara 
tersebut berasal dari tirkah mayit (peninggalan mayit) yang di dalamnya 
terdapat ahli waris yang belum baligh atau mahjur 'alaihi ( di bawah 
pengampuan/curatel).
Demikian isi majalah tersebut. [Al Mawa'dz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya (Tasikmalaya: Nahdlatoel Oelama, 1933)]
Dan para ulama berkata: "Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan  
orang Kafir, oleh karena itu setiap orang seharusnya melarang  
keluarganya dari menghadiri acara semacam itu". (al-Aqrimany hal 315  
dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, 
 No. 18, hal.285) Al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati dalam kitabnya 
 I'anah at- Thalibien menghukumi makruh berkumpul bersama di tempat  
keluarga mayat, walaupun hanya sebatas untuk berbelasungkawa, tanpa  
dilanjutkan dengan proses perjamuan tahlilan. Beliau justru menganjurkan
  untuk segera meninggalkan keluarga tersebut, setelah selesai  
menyampaikan ta'ziyah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah  
at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr, 1414) juz II, hal 146)
Ibn Taimiyah ketika menjawab pertanyaan tentang hukum dari al-Ma'tam:  
"Tidak diterima keterangan mengenai perbuatan tersebut apakah itu hadits
  shahih dari Nabi, tidak pula dari sahabat-sahabatnya, dan tidak ada  
seorangpun dari imam-imam muslimin serta dari imam madzhab yang empat  
(Imam Hanafy, Imam Maliki, Imam Syafi'i, Imam Ahmad) juga dari imam-imam
  yang lainnya, demikian pula tidak terdapat keterangan dari ahli kitab 
 yang dapat dipakai pegangan, tidak pula dari Nabi, sahabat, tabi'ien,  
baik shahih maupun dlaif, serta tidak terdapat baik dalam kitab-kitab  
shahih, sunan-sunan ataupun musnad-musnad, serta tidak diketahui pula  
satupun dalam hadits-hadits dari zaman nabi dan sahabat.
" Menurut pendapat Mufty Makkah al-Musyarafah, 
Ahmad bin Zainy Dahlan  yang dilansir dalam kitab
 I'anah at-Thalibien: 
"Tidak  diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid'ah munkarah
  tersebut adalah mengandung arti menghidupkan sunnah dan mematikan  
bid'ah, sekaligus berarti menbuka banyak pintu kebaikan dan menutup  
banyak pintu keburukan". (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr  
al-Dimyati, I'anah at-Thalibien juz II, hal 166) Memang seolah-olah  
terdapat banyak unsur kebaikan dalam tahlilan itu, namun bila  
dikembalikan ke dalam hukum agama dimana Hadits ke-5 Arba’in an-  
Nawawiyah disebutkan: “Dari Ummul mukminin, Ummu 'Abdillah, ‘Aisyah  
radhiallahu 'anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa  
yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari 
 kami, maka dia tertolak". (Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718)
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah instrumen untuk menjaga kemurnian Islam  
ini meskipun sampai akhir zaman Allah tidak mengutus Rasul lagi. Dibalik
  larangan bid’ah terkandung hikmah yang sangat besar, membentengi  
perubahan- perubahan dalam agama akibat arus pemikiran dan adat istiadat
  dari luar Islam. Bila pada umat-umat terdahulu telah menyeleweng  
agamanya, Allah mengutus Rasul baru, maka pada umat Muhammad ini Allah  
tidak akan mengutus Rasul lagi sampai kiamat, namun membangkitkan orang 
 yang memperbarui agamanya seiring penyelewengan yang terjadi. Ibadah  
yang disunnahkan dibandingkan dengan yang diada-adakan hakikatnya sangat
  berbeda, bagaikan uang/ijazah asli dengan uang/ijazah palsu, meskipun 
 keduanya tampak sejenis. Yang membedakan 72 golongan ahli neraka dengan
 1  golongan ahli surga adalah sunnah dan bid’ah. Umat ini tidak  
berpecahbelah sehebat perpecahan yang diakibatkan oleh bid’ah.  
Perpecahan umat akibat perjudian, pencurian, pornografi, dan kemaksiatan
  lain akan menjadi jelas siapa yang berada di pihak Islam dan  
sebaliknya. Sedang perpecahan akibat bid’ah senantiasa lebih rumit,  
kedua belah pihak yang bertikai kelihatannya sama-sama alim. Ibn Abbas  
r.a berkata: "Tidak akan datang suatu zaman kepada manusia, kecuali pada
  zaman itu semua orang mematikan sunnah dan menghidupkan bid'ah, hingga
  matilah sunnah dan hiduplah bid'ah. tidak akan ada orang yang berusaha
  mengamalkan sunnah dan mengingkari bid'ah, kecuali orang tersebut 
diberi  kemudahan oleh Allah di dalam menghadapi segala kecaman manusia 
yang  diakibatkan karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan keinginan
  mereka serta karena ia berusaha melarang mereka melakukan apa yang 
sudah  dibiasakan oleh mereka, dan barangsiapa yang melakukan hal 
tersebut,  maka Allah akan membalasnya dengan berlipat kebaikan di alam 
 Akhirat".(al- Aqriman y hal 315 dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong  
Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)
Sekali lagi kami ulangi...
Sehingga disimpulkan oleh Majalah al-Mawa'idz bahwa mengadakan perjamuan
  di rumah keluarga mayit berarti telah melanggar tiga hal:
1. Membebani keluarga mayit, walaupun tidak meminta untuk  
menyuguhkan makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka  
keluarga mayit akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan.
2. Merepotkan keluarga mayit, sudah kehilangan anggota keluarga yang  dicintai, ditambah pula bebannya.
3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits, justeru kita  
(tetangga) yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayit yang  
sedang berduka cita, bukan sebaliknya. (al-Mawa'idz; Pangrodjong  
Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, hal 200) 
Kemudian, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab 'Ianah,  
ternyata para ulama dari empat madzhab telah menyepakati bahwa kebiasaan
  keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah 
 nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dst merupakan perbuatan bid'ah yang 
tidak  disukai agama (hal 285). Melalui kutipan-kutipan tersebut, 
diketahuilah  bahwa sebenarnya yang menghukumi bid'ah munkarah itu 
ternyata  ulama-ulama Ahl as-Sunnah wa al- Jamaah, bukan hanya (majalah)
 Attobib,  al-moemin, al-Mawa'idz. tidak tau siapa yang menghukumi 
sunat, apakah  Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah atau bukan (hal 286). Dan 
dapat dipahami dari  dalil-dalil terdahulu, bahwa hukum dari 
menghidangkan makanan oleh  keluarga mayit adalah bid'ah yang 
dimakruhkan dengan makruh tahrim  (makruh yang identik dengan haram). 
demikian dikarenakan hukum dari  niyahah adalah haram, dan apa yang 
dihubungkan dengan haram, maka  hukumnya adalah haram". (al-Aqrimany hal
 315 dalam al- Mawa'idz;  Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, 
Th. 1933, No. 18, hal.286)  Kita tidaklah akan lepas dari kesalahan, 
termasuk kesalahan akibat  ketidaktahuan, ketidaksengajaan, maupun 
ketidakmampuan. Namun jangan  sampai kesalahan yang kita lakukan menjadi
 sebuah kebanggaan. Baik yang  menghukumi haram maupun makruh, 
sebagaimana halnya rokok, tahlilan, dll  selayaknya diusahakan untuk 
ditinggalkan, bukan dibela-bela dan  dilestarikan.
BERIKUT INI ADALAH FATWA-FATWA DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI  SELAMATAN KEMATIAN
I. MADZHAB HANAFI
HASYIYAH IBN ABIDIEN
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena  
hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen  
musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad  
dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat
  Jarir bin Abdullah, beliau berkata: "Kami (para sahabat) menganggap  
kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan  
oleh mereka merupakan bagian dari niyahah". Dan dalam kitab al-Bazaziyah
  dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga,  
serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin,  Hasyiyah Radd al- Muhtar 'ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr,  1386) juz II, hal 240)
AL-THAHTHAWY 
Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al-  Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA,  KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYA. (Ahmad bin  Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah 'ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah  al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).
IBN ABDUL WAHID SIEWASY
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena  
hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen  
musibah. hukumnya bid'ah yang buruk
 apabila hal tersebut dilaksanakan.  Imam Ahmad dan Ibnu Majah 
meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang  shahih dari sahabat Jarir 
bin Abdullah, beliau berkata: "Kami (para  sahabat) menganggap kegiatan 
berkumpul di rumah keluarga mayit, serta  penghidangan makanan oleh 
mereka merupakan bagian dari niyahah". (Ibn  Abdul Wahid Siewasy, Syarh 
Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II,  hal 142) 
II.MADZHAB MALIKI
AL-DASUQY
Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan  makanan hukumnya bid'ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah  al- Dasuqy 'ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)
ABU ABDULLAH AL-MAGHRIBY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya  
masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan
  mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid'ah,
 karena  tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan 
tersebut, dan  momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah 
(pesta)... adapun  apabila keluarga mayit menyembelih binatang di 
rumahnya kemudian  dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah 
untuk mayit  diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya,
 ingin  terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan  
masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghriby, Mawahib al-Jalil li Syarh  
Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)
III.MADZHAB SYAFI’I 
AL-SYARBINY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya  masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid'ah yang tidak disunnahkan.
  (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar  
al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan  
makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya  
bid'ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny,  
al-Iqna' li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)
AL-QALYUBY 
Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di  
dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari  
perbuatan bid'ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya
 adalah yang  biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan 
makanan untuk  mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari 
kematian.(a l-  Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar 
Ihya;') juz I, hal  353)
AN-NAWAWY 
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya  
masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal  
tersebut merupakan perbuatan bid'ah yang tidak disunnahkan.
 (an-Nawawy,  al-Majmu' (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN 
HAJAR  AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada  
penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang
  masyarakat, hukumnya bid'ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan  
keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar  
al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)
AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI 
Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan 
 oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, 
hukumnya  bid'ah yang dimakruhkan,
 seperti hukum mendatangi undangan tersebut,  berdasarkan keterangan 
yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah.  (al-Sayyid al-Bakry Abu 
Bakr al-Dimyati, I'anah at-Thalibien (Beirut:  Dar al-Fikr) juz II, hal 
146)
AL-AQRIMANY
Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga,  
keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan  
sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit,  
hukumnya bid'ah yang buruk dan
 merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah  yang tidak pernah muncul 
pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan  bagian dari pekerjaan 
yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru  para ulama berkata: tidak
 pantas bagi orang muslim mengikuti  perbuatan-perbuatan yang biasa 
dilakukan oleh orang kafir. seharusnya  setiap orang melarang 
keluarganya menghadiri acara-acara tersebut.  ((al-Aqrimany hal 314 
dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama  Tasikmalaya, Th. 
1933, No. 18, hal.285)
RAUDLAH AL-THALIBIEN
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan  
masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan  
perbuatan tersebut hukumnya bid'ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah  al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145) 
IV. MADZHAB HAMBALI 
IBN QUDAMAH AL-MAQDISY
Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh  
keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah  
menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban,  
sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh  
orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar,  
kemudian Umar berkata: "Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga  
mayat yang kemudian menghidangkan makanan?" Jawab Jarir: "Ya". Berkata  
Umar: "Hal tersebut termasuk meratapi mayat".
 Namun apabila hal tersebut  dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti 
karena diantara pelayat  terdapat orang-orang yang jauh tempatnya 
kemudian ikut menginap,  sementara tidak memungkinkan mendapat makanan 
kecuali dari hidangan yang  diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah 
al-Maqdisy, al-Mughny  (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)
ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MAQDISY
Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk  
(menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan  
bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh,
  karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula
  makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga  
mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan  
ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Maqdisy, al-Furu' wa  
Tashhih al-Furu' (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)
ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY
 
Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari  niyahah, menurut sebagian pendapat haram,
 kecuali apabila ada hajat,  (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits 
tentang masalah tersebut tsiqat  (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah 
al-Hanbaly, al-Mabda' fi Syarh  al-Miqna' (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 
1400) juz II, hal 283)
MANSHUR BIN IDRIS AL-BAHUTY
Dan dimakruhkan bagi
 keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada  para tamu, 
berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat  Jarir. (Manshur
 bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi' (Riyadl:  Maktabah al-Riyadl 
al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)
KASYF AL-QANA'
 
Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan  
keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang  
jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya...dan dimakruhkan
 keluarga  mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang 
berkumpul di  rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di 
antara para tamu  tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya 
jauh, mereka  menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak
 memungkinkan  kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula 
dimakruhkan  mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan 
tersebut  berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya
 terdapat  orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat 
ahli waris  yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan  tersebut. (Kasyf al-Qina' (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)
IBN TAIMIYAH
 
Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan  
tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya  
perbuatan tersebut bid'ah,
 berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah:  "Kami (para sahabat) 
menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga  mayit, serta 
penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari  niyahah". (Ibn 
Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi  al-Fiqh (Maktabah 
Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)
Akhirnya, 
semoga tulisan ini bermanfaat, bila ada kesalahan mohon maaf  dan 
koreksinya. Sampaikanlah kepada saudara-saudara kita sebagai upaya  
untuk memperbaiki umat Islam ini
Di rujuk kepada tulisan:
Catatan Satu Hari, Satu Ayat Qur'an. 
Dengan editing dan penambahan  literatur dan gambar halaman buku yang 
discan oleh Anwar Baru Belajar.
http://www.facebook.com/note.php?note_id=402269969650&id=203164362857&ref=mf
_______________________________________________________
 
Catatan Tepi untuk direnungi:
Termasuk dalam kategori hukum yang manakah Tahlilan [selamatan  Kematian] ?
Klasifikasi hukum dalam Islam secara umum ada 5 (lima) kalau tidak 
 termasuk; Shahih, Rukhsoh, Bathil, Rukun, Syarat dan 'Azimah.(Mabadi'  
awaliyyah, Abd Hamid Hakim)
1. Wajib  : Apabila dikerjakan berpahala,  ditinggalkan berdosa.
2. Sunnah/Mandub : Apabila dikerjakan berpahala, ditinggalkan  tidak apa-apa.
3. Mubah : Tidak bernilai, dikerjakan atau tidak dikerjakan tidak  mempunyai nilai.
4. Makruh : Dibenci, apabila dikerjakan dibenci, apabila  ditinggalkan berpahala.
5. Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.
Pertanyaan :
1. Apakah Tahlilan [yang dimaksud :Selamatan Kematian] di dalamnya  terkandung ibadah ?
2. Termasuk dalam hukum yang mana Tahlilan tersebut ?
Jawab :
1. Karena didalamnya ada pembacaan do'a, baca Yasin, 
baca  sholawat, baca Al Fatikhah, maka ia termasuk ibadah. Hukum asal 
ibadah  adalah "haram" dan "terlarang". Kalau Allah dan Rasulullah tidak
  memerintahkan, maka siapa yang memerintahkan ? Apakah yang 
memerintahkan  lebih hebat daripada Allah dan Rasulullah
2. Jika hukumnya "wajib", maka bila dikerjakan 
berpahala, bila tidak  dikerjakan maka berdosa. Maka bagi negara lain 
yang penduduknya beragama  Islam, terhukumi berdosa karena tidak 
mengerjakan. Ternyata tahlilan,  hanya di lakukan di sebagian negara di 
Asia Tenggara
Wajibkah Tahlilan ? Ternyata tidak, karena tidak ada 
perintah Allah dan  Rasul untuk melakukan ritual tahlilan (Selamatan 
Kematian : red)
Sunnahkah Tahlilan ? Ternyata ia bukan sunnah Rasul, 
sebab Rasulullah  sendiri belum pernah mentahlili istri beliau, anak 
beliau dan para  syuhada.
Nah…..berarti hukumnya bukan Wajib, juga bukan Sunnah.
Kalau seandainya hukumnya Mubah,
 maka untuk apa dikerjakan, sebab  ia tidak mempunyai nilai (tidak ada 
pahala dan dosa, kalau dikerjakan  atau ditinggalkan). Sudah buang-buang
 uang dan buang-buang tenaga,  tetapi tidak ada nilainya.
Jadi, tinggal 2 (dua) hukum yang tersisa, yaitu Makruh 
dan Haram. Makruh  apabila dikerjakan dibenci, apabila ditinggalkan 
berpahala. Haram :  Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.
Jadi….sekarang pilih yang mana ? Masih mau melakukan atau tidak ?
__________________________
 
Wallahu a'lam
Anwar Baru Belajar