Puasa merupakan salah satu amalan yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala yang mana Allah menjanjikan keutamaan dan manfaat yang besar bagi yang mengamalkannya,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إلا الصِيَامَ. فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ. وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ. فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلا يَرْفُثْ وَلا يَصْخَبْ وَلا يَجْهَلْ. فَإِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ – مَرَّتَيْنِ - وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ. لَخَلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ رِيْحِ المِسْك. وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ. وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya, puasa adalah perisai, maka apabila salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah ia berkata-kata keji, dan janganlah berteriak-teriak, dan janganlah berperilaku dengan perilakunya orang-orang jahil, apabila seseorang mencelanya atau menzaliminya maka hendaknya ia mengatakan: Sesungguhnya saya sedang berpuasa (dua kali), demi Yang diri Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah pada hari kiamat dari wangi kesturi, dan bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan yang ia berbahagia dengan keduanya, yakni ketika ia berbuka ia berbahagia dengan buka puasanya dan ketika berjumpa dengan Rabbnya ia berbahagia dengan puasanya.” (HR Bukhari, Muslim dan yang lainnya)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لا يَصُوْمُ عَبْدٌ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ الله. إلا بَاعَدَ اللهُ، بِذَلِكَ اليَوْمِ، وَجْهَهُ عَنِ النَارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفاً.
“Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah kecuali Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka (dengan puasa itu) sejauh 70 tahun jarak perjalanan.” (HR. Bukhari Muslim dan yang lainnya)
Sebagaimana jenis ibadah lainnya maka puasa haruslah didasari niat yang benar yakni beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata-mata serta dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Secara Syar’i makna puasa adalah “menahan diri dari makan, minum dan jima’ serta segala sesuatu yang membatalkannya dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan niat beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala” ,
Maka jika seseorang menahan diri dari makan dan minum tidak sebagaimana pengertian di atas atau menyelisihi dari apa yang menjadi tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tentu saja ini merupakan hal yang menyimpang dari syariat, termasuk perbuatan yang sia-sia dan bahkan bisa jadi mendatangkan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala,
Penyimpangan yang bisa terjadi diantaranya:
1. Berpuasa tidak dalam rangka beribadah kepada Allah
Semisal seseorang yang berpuasa karena hendak mendapatkan bantuan dari jin/syaitan berupa sihir atau yang lainnya, atau bernazar puasa kepada selain Allah, maka perbuatan ini termasuk kesyirikan yang besar karena memalingkan ibadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun seseorang yang berpuasa semata-mata karena alasan kesehatan, walaupun hal ini boleh-boleh saja akan tetapi ia keluar dari pengertian puasa yang syar’i sehingga tidaklah ia termasuk orang yang mendapatkan keutamaan puasa sebagaimana yang dijanjikan Allah subhanahu wa ta’ala.
2. Menyelisihi tata cara Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, diantaranya:
* Mengkhususkan tata cara tertentu yang tidak dituntunkan oleh Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam, semisal puasa mutih (menyengaja menghindari makan daging atau yang lainnya), puasa sehari semalam tanpa tidur atau tanpa berbicara dengan menganggap hal ini memiliki keutamaan dan yang lainnya.
* Mengkhususkan waktu tertentu yang tidak dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semisal mengkhususkan puasa pada hari atau bulan tertentu tanpa dalil dari al-Qur’an dan sunnah, ataupun mengkhususkan jumlah hari yang tidak dikhususkan dalam syariat.
Maka seyogyanya kaum muslimin menahan diri dari beribadah tanda dasar ilmu atau tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebuah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka tertolak.” (HR. Muslim)
Maka berikut ini adalah beberapa jenis puasa yang dianjurkan di dalam Islam di luar puasa yang wajib (Puasa Ramadhan) berdasarkan dalil-dalil yang syar’i, semoga kita diberi kemudahan untuk mengamalkannya berdasarkan ilmu dan terhindar dari perkara-perkara yang menyelisihi syariat Allah subhanahu wa ta’ala sehingga kita dapat memperoleh berbagai keutamaan dari apa-apa yang dijanjikan Allah subhanahu wa ta’ala.
Puasa-puasa Sunnah yang Dituntunkan Dalam Islam
1. Puasa 6 hari pada bulan Syawwal
Dari Abu Ayyub Al-Anshory bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ. ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّال. كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa berpuasa Ramadhan, kemudian melanjutkan dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal, maka seperti ia berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بعَشْرةِ أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَهُ بِشَهْرين، فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ
“Puasa pada bulan Ramadhan seperti berpuasa sepuluh bulan , dan puasa enam hari setelahnya seperti berpuasa selama dua bulan, maka yang demikian itu (jika dilakukan) seperti puasa setahun.” (Hadits shahih Riwayat Ahmad)
Catatan:
* Puasa Syawal tidak boleh dilakukan pada hari yang dilarang berpuasa di dalamnya, yakni pada hari Idul Fitri.
* Puasa tersebut tidak disyaratkan harus berurutan, sebagaimana kemutlakan hadits –hadits di atas, akan tetapi lebih utama bersegera dalam kebaikan.
* Jika ada kewajiban mengqodo’ puasa Ramadhan maka dianjurkan mendahulukan qodo baru kemudian berpuasa Syawal 6 hari sebagaimana hadits dari Abu Ayyub Al-Anshori di atas.
2. Puasa pada hari Arafah bagi yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَام ُيَوْمِ عَرَفَةَ أحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ. وَالسَّنَةَ الّتِي بَعْدَهُ
“Puasa pada hari Arofah, aku berharap kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa setahun yang telah lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim)
Catatan:
* Adapun bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji, maka yang lebih utama adalah tidak berpuasa pada hari Arofah sebagaimana yang diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya.
3. Puasa pada hari Asyura’ (10 Muharrom) dan sehari sebelumnya
Dari Abu Qotadah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
“Puasa pada hari ‘Asyuro’, aku berharap kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَئِنْ بَقِيْتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُوْمَنَّ التَاسِعَ
“Sungguh jika aku masih hidup sampai tahun depan aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan.” (HR. Muslim)
Catatan:
* Adapun berpuasa pada hari yang ke sebelas maka dalilnya sangat lemah, sehingga tidak bisa dijadikan sandaran.
4. Memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ.
“Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan tidaklah saya melihat beliau memperbanyak puasa dalam suatu bulan seperti banyaknya beliau berpuasa pada bulan sya’ban.” (HR. Bukhari)
Catatan:
* Adapun mengkhususkan puasa atau amalan lainnya pada nisfu sya’ban (pertengahan sya’ban), maka hal ini tidak ada tuntunannya dalam syariat, karena dalil-dalil yang ada sangat lemah dan bahkan ada yang maudhu (palsu).
* Hendaknya tidak berpuasa pada hari syak (hari yang meragukan apakah sudah masuk ramadhan atau belum), yakni sehari atau dua hari pada akhir Sya’ban, kecuali bagi seseorang yang kebetulan bertepatan dengan puasa yang biasa dilakukannya dari puasa-pusa sunnah yang disyariatkan semisal puasa dawud atau puasa senin kamis.
5. Memperbanyak Puasa Pada Bulan Muharrom
Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَ أفْضَلُ الصَّلاةِ بَعْدَ الفَرِيْضَةِ صَلاةُ اللَيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yakni bulan Muharrom, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim)
6. Puasa Hari Senin dan Kamis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Amal-amal ditampakkan pada hari senin dan kamis, maka aku suka jika ditampakkan amalku dan aku dalam keadaan berpuasa.” (Shahih, riwayat An-Nasa’i)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari senin, beliau bersabda:
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ. وَيَوْمٌ بُعِثْتُ (أَوْ أَنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ)
“Ia adalah hari ketika aku dilahirkan dan hari ketika aku diutus (atau diturunkan (wahyu) kepadaku ).” (HR. Muslim)
7. Puasa 3 hari setiap bulan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
أوْصَانِى خَلِيْلِى صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلاثٍ: صِيَامِ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَى الضُحَى، وَأَنْ أَوْترَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
“Kekasihku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Mewasiatkan kepadaku tiga perkara: puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat shalat dhuha, dan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari Muslim)
Lebih dianjurkan untuk berpuasa pada hari baidh yakni tanggal 13, 14 dan 15 bulan Islam (Qomariyah). Berdasarkan perkataan salah seorang sahabat radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصُوْمَ مِنَ الشَّهْر ِثَلاثَةَ أَيَّامِ البَيْضِ: ثَلاثَ عَشْرَةَ، وَ أَرْبَعَ عَشْرَةَ ، وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berpuasa pada tiga hari ‘baidh’: tanggal 13, 14 dan 15.” (Hadits Hasan, dikeluarkan oleh An-nasa’i dan yang lainnya)
8. Berpuasa Sehari dan Berbuka Sehari (Puasa Dawud ‘alaihis salam)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَيَصُوْمُ يَوْمًا (متفق عليه)
“Puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Nabi Dawud, dan shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Dawud, adalah beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya, adalah beliau berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Beberapa Hal yang Terkait Dengan Puasa Sunnah
* Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, dan minum serta tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
* Seseorang yang berpuasa sunnah diperbolehkan membatalkan puasanya jika ia menghendaki, dan tidak ada qodho atasnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ:( هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ ؟ ) فَقُلْنَا: لا. قَالَ: ( فَإِنِى إِذًا صَائِمٌ ) ، ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَر. فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ . فَقَالَ: ( أَرينيْهِ، فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ) فَأَكَلَ. (رواه مسلم)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari datang kepadaku kemudian berkata: “Apakah engkau memiliki sesuatu (dari makanan)?”, kemudian kami berkata: “tidak”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau begitu saya berpuasa”, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang pada hari yang lain kemudian kami katakan: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami dihadiahi haisun (kurma yang dicampur minyak dan susu yang dihaluskan), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bawalah kemari, sesungguhnya aku tadi berpuasa”, kemudian beliau memakannya (HR. Muslim)
* Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seijin suaminya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تَصُوْمُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلا بِإِذْنِهِ
“Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya menyaksikannya kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Sumber:
* Shohih Fiqh Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih madzahib al-A’immah, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim
* Shiyam Ramadhan, Muhammad bin Jamil Zainu
* Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah wa Kitabil Aziz, Dr. Abdul Adzim Badawi
Wallahu ‘alam
***
Penulis: Abu ‘Aisyah M. Taufik
Artikel www.muslim.or.id
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-sunnah.html
Mereka Adalah Penjahat!!!
Menguak Bahaya Dukun di Tengah Masyarakat
Di dalam bahasa Arab dukun biasa disebut dengan istilah kahin (tunggal) atau kuhan (jamak). Syaikh al-Fauzan menerangkan bahwa perdukunan merupakan pengakuan mengetahui perkara gaib seperti halnya memberitakan akan terjadinya sesuatu di muka bumi dengan bersandar kepada sebab tertentu yaitu dengan mencuri berita dari langit; ketika itu jin mencuri kabar dari ucapan malaikat lalu dia bisikkan ke telinga para dukun, kemudian dia menambahkan padanya seratus kebohongan, sehingga orang-orang pun menilai benar apa yang diucapkannya (al-Isryad, hal. 115-116). Adapun paranormal biasa disebut dengan istilah ‘arraf. al-Khaththabi dan sebagian ulama lain mengatakan bahwa ‘arraf adalah orang yang mengaku mengetahui ilmu di mana letak barang curian atau barang yang hilang dan semacamnya (Syarh Nawawi, 7/335-336). Sedangkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa istilah ‘arraf sudah mencakup kahin/dukun dan para tukang ramal/paranormal (al-Qaul al-Mufid, 1/545)
Tradisi jahiliyah dan dosa yang sangat besar
Dukun dan paranormal, bukan kejahatan baru. Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami radhiyallahu’anhu mengisahkan kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, ada beberapa perkara yang dahulu biasa kami lakukan di masa jahiliyah, [di antaranya] kami sering mendatangi dukun.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah kalian mendatangi dukun-dukun itu.” (HR. Muslim [537]). Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas melarang kita mendatangi dukun. Apabila beliau melarang umatnya melakukan sesuatu maka itu berarti melanggarnya akan menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi diri manusia.
Demikian juga paranormal, menekuni profesi ini merupakan pekerjaan yang sangat tercela dan kejahatan yang sangat besar menurut kacamata syari’at Islam. Karena dengan mendatangi dan berkonsultasi kepada mereka menyebabkan ibadah sholat seorang muslim menjadi tidak lagi diterima meskipun secara hukum sah dan tidak perlu diulangi olehnya. Shafiyyah radhiyallahu’aha menuturkan dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi paranormal lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu perkara maka sholatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam.” (HR. Muslim [2230]). Kalau orang yang bertanya saja dosanya demikian besar, lalu bagaimana lagi yang ditanya?!
Kedustaan yang dibumbui dengan ceceran kebenaran
Sebagian orang menyangkal, bahwa apa yang diberitakan oleh dukun atau paranormal sesuai dengan kenyataan. Oleh karena itu mereka tidak menganggap ramalan atau ‘fatwa’ sang dukun sebagai sesuatu yang salah, karena apa yang dikatakannya benar-benar terjadi atau sesuai dengan keadaan. Benarkah demikian? Ibunda kaum mukminin Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya para dukun itu dahulu menceritakan kepada kami suatu perkara dan hal itu benar-benar terjadi/sesuai dengan kenyataan.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Itu adalah kebetulan saja, suatu kalimat yang haq telah dicuri oleh bangsa jin lalu dilontarkan ke dalam telinga kawannya (dari bangsa manusia) dan dia tambahkan seratus kedustaan padanya.” (HR. Muslim [2228]).
Di dalam hadits di atas, jelas sekali bahwa orang yang mengaku mengetahui perkara gaib semacam itu dari kalangan dukun dan paranormal adalah antek-antek dan kawan-kawan Iblis. Sebagaimana dikatakan oleh Nabi, “Suatu kalimat yang haq telah dicuri oleh bangsa jin lalu dilontarkan ke dalam telinga kawannya (dari bangsa manusia, pent).” Maka jelaslah bagi kita bahwa pada hakikatnya dukun dan paranormal adalah para wali syaitan, bukan wali Allah! Meskipun mereka memakai sorban, peci, sarung, atau pun berkalungkan tasbih dan sajadah.
Menolong kok jahat?
Mungkin ada orang yang berkomentar, “Bukankah para dukun dan paranormal itu melakukan kebaikan. Mereka melakukan itu semua demi meringankan kesusahan sesama. Bukankah itu sebuah kebaikan, mengapa justru dinilai sebagai kejahatan?”. Saudaraku, semoga Allah merahmatimu, siapakah yang dimaksud orang jahat itu? Bukankah mempersekutukan Allah merupakan kejahatan paling berat di atas muka bumi ini? Allah ta’ala membenarkan ucapan Luqman kepada anaknya (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13).
Bukankah perkara gaib hanya diketahui oleh Allah semata? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; tidak ada yang mengetahui perkara gaib di langit maupun di bumi selain Allah.” (QS. an-Naml: 65). Manakah yang lebih mulia; Nabi ataukah dukun? Tentu saja Nabi jauh lebih utama, meskipun demikian ternyata Nabi pun tidak menguasai ilmu gaib. Allah ta’ala memerintahkan, “Katakanlah (hai Muhammad); Aku tidak menguasai kemanfaatan dan kemudharatan atas diriku kecuali sekedar apa yang dikehendaki Allah, seandainya aku mengetahui perkara gaib niscaya aku akan terus bisa memperbanyak kebaikan dan tidak akan pernah tertimpa keburukan…” (QS. al-A’raaf : 188). Nah, kalau Nabi saja tidak bisa mengetahui ilmu gaib lalu bagaimana lagi dengan manusia selainnya?!
Bagaimanakah menurutmu apabila ada orang yang mengaku dirinya lebih hebat dan lebih mulia daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah orang seperti itu layak untuk digelari sebagai orang baik, wali Allah, kyai, atau orang soleh? Orang yang soleh adalah yang senantiasa menunaikan hak Allah dan hak sesama. Dia beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan tidak mempersekutukan-Nya serta taat kepada rasul-Nya. Dan dia juga menunaikan kewajiban-kewajibannya kepada manusia; berbakti kepada orang tua, memuliakan tamu dan tetangga, menyambung silaturahim, dan sebagainya. Sedangkan wali Allah adalah setiap orang yang beriman dan senantiasa menjaga ketakwaannya kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu, sama sekali tidak ada rasa takut atas mereka dan tidak juga sedih. Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan senantiasa memelihara ketakwaannya.” (QS. Yunus: 62-63).
Adapun para dukun dan paranormal, mereka itu adalah para penjahat kelas kakap yang harus diciduk dan dijatuhi hukuman berat. Bukan harta atau perhiasan yang telah mereka rampas dari kaum muslimin, bahkan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada intan berlian atau emas dan permata, yaitu kesucian dan kemurnian aqidah tauhid yang sudah semestinya tertanam kokoh di hati sanubari setiap mukmin dan mukminah.
Menyeret pada kekafiran
Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi dukun dan membenarkan apa yang dikatakannya maka sungguh dia telah kafir kepada wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. al-Bazzar dengan sanad jayid qawiy, disahihkan al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib [3044]). al-Qurthubi menjelaskan bahwa yang dimaksud wahyu yang diturunkan tersebut adalah al-Kitab dan as-Sunnah (Fath al-Majid, 268).
Dalam riwayat al-Bazzar yang bersumber dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu dengan lafaz, “Barangsiapa yang mendatangi paranormal, tukang sihir, atau dukun, lalu dia membenarkan perkataannya maka sungguh dia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Shahih Targhib wa Tarhib [3044]). Dalil ini menunjukkan bahwa dukun dan tukang sihir dihukumi kafir, karena mereka telah berani mengaku mengetahui ilmu gaib, padahal perbuatan itu merupakan kekafiran. Demikian juga orang yang membenarkan perbuatan mereka dan meyakini apa yang mereka ucapkan dan meridhai perbuatan tersebut maka hal itu juga termasuk kekafiran, demikian papar Syaikh Aburrahman bin Hasan (Fath al-Majid, hal. 268).
Tentu saja hal ini menunjukkan kepada kita bahwa praktek perdukunan dan paranormal -apa pun istilahnya- merupakan penyakit masyarakat yang sangat ganas dan mematikan. Gara-gara ulah mereka aqidah masyarakat menjadi rusak, tatanan agama menjadi tidak lagi dihiraukan, muncul permusuhan, pengambilan harta tanpa hak, dan pertumpahan darah di atas muka bumi. Lebih parah lagi jika orang-orang itu -dukun/paranormal- telah dilabeli dengan gelar kyai atau pakar pengobatan alternatif. Pada hakikatnya ini adalah penyesatan yang dipoles dengan kata-kata yang indah.
Cinta ditolak, dukun bertindak?
Sebagian pemuda yang dimabuk asmara akibat mengobral pandangan kepada perempuan-perempuan yang juga tidak punya rasa malu mungkin akrab dengan slogan ini, ‘Cinta ditolak, dukun bertindak’. Ada dua hal pokok yang perlu kita kritisi dalam slogan ini. Pertama, cinta yang salah penerapan. Ketika orang berbicara cinta, maka yang terpikir di otak para remaja adalah pacaran, apel, nonton bareng, dan seabrek kegiatan mendekati zina lainnya. Yang kedua, ketika kepentingan hawa nafsu mereka tidak terpenuhi, maka otomatis mereka lari kepada para dukun yang notebene justru menceburkan mereka ke dalam dosa yang jauh lebih berat yaitu syirik dan kekafiran. Ini tidak jauh dengan ungkapan, ‘Lepas dari gigitan singa, terjatuh ke mulut buaya’. Nah, tentu ini merupakan musibah dan bencana yang menghancurkan iman dan jati diri seorang insan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia berkenan mengampuni dosa lain di bawah tingkatan syirik bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 116).
Perhatikanlah, inilah realita umat yang hari ini kita hadapi… Ketika aqidah dan akhlak generasi muda telah terkikis dan luntur dari lubuk hati mereka, maka secara otomatis syaitan dan bala tentaranyalah yang bekerja dan memegang kendali dalam tubuh dan akal pikiran mereka. Maka tidaklah mengherankan jika banyak remaja yang menggandrungi kisah-kisah fiksi yang menyajikan lika-liku dunia perdukunan dan sihir menyihir, bahkan ia menempati posisi best seller yang terjual laris dalam waktu yang singkat, laa haula wa laa quwwata illa billaah! Sementara di sisi lain, kita saksikan kitab-kitab para ulama salaf masih menjadi barang langka yang menghiasi rak dan meja para pemuda dan generasi penerus perjuangan Islam di masa depan. Jangankan memiliki kitabnya, membaca tulisan arab gundul pun mereka tidak sanggup melakukannya… Sungguh memprihatinkan, sebuah umat yang telah diwarisi dengan al-Kitab dan as-Sunnah oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun justru lebih menggandrungi kitab-kitab ’sihir’ yang memalingkan mereka dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketika dahulu para sahabat asyik menelaah dan menyimak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbincangan mereka sehari-hari -sampai-sampai mereka menangis-, namun pada hari ini kita saksikan obrolan kaum muda hanya dipenuhi dengan gelak tawa dan isak tangis palsu gara-gara menonton film favorit, pertandingan sepak bola yang sarat dengan suporter ala jahiliyah, dan artis idola atau ramalan bintang anda hari ini, fa inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun.
Merebut kursi basah dengan sowan kepada ’simbah’
Kedudukan dan pangkat telah melupakan sebagian orang. Demi meraih kedudukan strategis dalam perusahaan atau pemerintahan maka orang rela untuk menjual agamanya. Sebagian orang, sebelum menentukan langkah-langkah politik dan strategi untuk mencapai puncak pimpinan maka dia sowan (menghadap) dulu kepada simbah (orang pintar alias dukun) yang di sebagian daerah biasa dijuluki oleh masyarakat sebagai kyai. Maka berbagai persyaratan pun diajukan agar konsumen tersebut bisa mendapatkan apa yang dia harapkan. Setelah itu, sang dukun mengobral ramalan dan menceritakan wahyu atau wangsit yang didapatkannya. Benar, dia telah mendapatkan wahyu, namun sayang wahyunya bukan dari Allah tapi dari Syaitan la’natullahi ‘alaih. Sebagaimana dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ramalan mereka, “Itu adalah kebetulan saja, suatu kalimat yang haq telah dicuri oleh bangsa jin lalu dilontarkan ke dalam telinga kawan/walinya (dari bangsa manusia) dan dia tambahkan seratus kedustaan padanya.” (HR. Muslim [2228]).
Inilah sekelumit gambaran tentang dunia ramal meramal dan perdukunan yang telah meracuni atmosfer kehidupan kaum muslimin di berbagai daerah. Apa yang tertuang di sini hanyalah sebagian kecil dari berbagai bentuk praktek perdukunan dan sihir menyihir yang ternyata memang ada dan terjadi di masyarakat kita. Jalan keluar darinya adalah dengan kembali kepada bimbingan al-Kitab dan as-Sunnah yang menuntun kita untuk mencuci bersih hati kita dari segenap kotoran keyakinan dan mengisinya dengan siraman ayat-ayat suci dan wasiat ‘kanjeng’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak akan tercapai kejayaan umat ini kecuali dengan tauhid, sebagaimana tidak akan selamat seorang hamba di ‘mahkamah’ peradilan Allah kelak di hari kiamat kecuali dengan tauhid. Sudah saatnya, bagi setiap individu muslim untuk menyadari bahaya besar ini (baca: syirik) dan berjuang untuk menyelamatkan aqidah mereka dan saudara-saudaranya dari tipu daya para dukun dan paranormal yang gemar menebar ocehan-ocehan gombal.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam, walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. [Ari Wahyudi]
At Tauhid edisi V/13
http://buletin.muslim.or.id/aqidah/mereka-adalah-penjahat
Di dalam bahasa Arab dukun biasa disebut dengan istilah kahin (tunggal) atau kuhan (jamak). Syaikh al-Fauzan menerangkan bahwa perdukunan merupakan pengakuan mengetahui perkara gaib seperti halnya memberitakan akan terjadinya sesuatu di muka bumi dengan bersandar kepada sebab tertentu yaitu dengan mencuri berita dari langit; ketika itu jin mencuri kabar dari ucapan malaikat lalu dia bisikkan ke telinga para dukun, kemudian dia menambahkan padanya seratus kebohongan, sehingga orang-orang pun menilai benar apa yang diucapkannya (al-Isryad, hal. 115-116). Adapun paranormal biasa disebut dengan istilah ‘arraf. al-Khaththabi dan sebagian ulama lain mengatakan bahwa ‘arraf adalah orang yang mengaku mengetahui ilmu di mana letak barang curian atau barang yang hilang dan semacamnya (Syarh Nawawi, 7/335-336). Sedangkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa istilah ‘arraf sudah mencakup kahin/dukun dan para tukang ramal/paranormal (al-Qaul al-Mufid, 1/545)
Tradisi jahiliyah dan dosa yang sangat besar
Dukun dan paranormal, bukan kejahatan baru. Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami radhiyallahu’anhu mengisahkan kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, ada beberapa perkara yang dahulu biasa kami lakukan di masa jahiliyah, [di antaranya] kami sering mendatangi dukun.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah kalian mendatangi dukun-dukun itu.” (HR. Muslim [537]). Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas melarang kita mendatangi dukun. Apabila beliau melarang umatnya melakukan sesuatu maka itu berarti melanggarnya akan menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi diri manusia.
Demikian juga paranormal, menekuni profesi ini merupakan pekerjaan yang sangat tercela dan kejahatan yang sangat besar menurut kacamata syari’at Islam. Karena dengan mendatangi dan berkonsultasi kepada mereka menyebabkan ibadah sholat seorang muslim menjadi tidak lagi diterima meskipun secara hukum sah dan tidak perlu diulangi olehnya. Shafiyyah radhiyallahu’aha menuturkan dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi paranormal lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu perkara maka sholatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam.” (HR. Muslim [2230]). Kalau orang yang bertanya saja dosanya demikian besar, lalu bagaimana lagi yang ditanya?!
Kedustaan yang dibumbui dengan ceceran kebenaran
Sebagian orang menyangkal, bahwa apa yang diberitakan oleh dukun atau paranormal sesuai dengan kenyataan. Oleh karena itu mereka tidak menganggap ramalan atau ‘fatwa’ sang dukun sebagai sesuatu yang salah, karena apa yang dikatakannya benar-benar terjadi atau sesuai dengan keadaan. Benarkah demikian? Ibunda kaum mukminin Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya para dukun itu dahulu menceritakan kepada kami suatu perkara dan hal itu benar-benar terjadi/sesuai dengan kenyataan.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Itu adalah kebetulan saja, suatu kalimat yang haq telah dicuri oleh bangsa jin lalu dilontarkan ke dalam telinga kawannya (dari bangsa manusia) dan dia tambahkan seratus kedustaan padanya.” (HR. Muslim [2228]).
Di dalam hadits di atas, jelas sekali bahwa orang yang mengaku mengetahui perkara gaib semacam itu dari kalangan dukun dan paranormal adalah antek-antek dan kawan-kawan Iblis. Sebagaimana dikatakan oleh Nabi, “Suatu kalimat yang haq telah dicuri oleh bangsa jin lalu dilontarkan ke dalam telinga kawannya (dari bangsa manusia, pent).” Maka jelaslah bagi kita bahwa pada hakikatnya dukun dan paranormal adalah para wali syaitan, bukan wali Allah! Meskipun mereka memakai sorban, peci, sarung, atau pun berkalungkan tasbih dan sajadah.
Menolong kok jahat?
Mungkin ada orang yang berkomentar, “Bukankah para dukun dan paranormal itu melakukan kebaikan. Mereka melakukan itu semua demi meringankan kesusahan sesama. Bukankah itu sebuah kebaikan, mengapa justru dinilai sebagai kejahatan?”. Saudaraku, semoga Allah merahmatimu, siapakah yang dimaksud orang jahat itu? Bukankah mempersekutukan Allah merupakan kejahatan paling berat di atas muka bumi ini? Allah ta’ala membenarkan ucapan Luqman kepada anaknya (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13).
Bukankah perkara gaib hanya diketahui oleh Allah semata? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; tidak ada yang mengetahui perkara gaib di langit maupun di bumi selain Allah.” (QS. an-Naml: 65). Manakah yang lebih mulia; Nabi ataukah dukun? Tentu saja Nabi jauh lebih utama, meskipun demikian ternyata Nabi pun tidak menguasai ilmu gaib. Allah ta’ala memerintahkan, “Katakanlah (hai Muhammad); Aku tidak menguasai kemanfaatan dan kemudharatan atas diriku kecuali sekedar apa yang dikehendaki Allah, seandainya aku mengetahui perkara gaib niscaya aku akan terus bisa memperbanyak kebaikan dan tidak akan pernah tertimpa keburukan…” (QS. al-A’raaf : 188). Nah, kalau Nabi saja tidak bisa mengetahui ilmu gaib lalu bagaimana lagi dengan manusia selainnya?!
Bagaimanakah menurutmu apabila ada orang yang mengaku dirinya lebih hebat dan lebih mulia daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah orang seperti itu layak untuk digelari sebagai orang baik, wali Allah, kyai, atau orang soleh? Orang yang soleh adalah yang senantiasa menunaikan hak Allah dan hak sesama. Dia beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan tidak mempersekutukan-Nya serta taat kepada rasul-Nya. Dan dia juga menunaikan kewajiban-kewajibannya kepada manusia; berbakti kepada orang tua, memuliakan tamu dan tetangga, menyambung silaturahim, dan sebagainya. Sedangkan wali Allah adalah setiap orang yang beriman dan senantiasa menjaga ketakwaannya kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu, sama sekali tidak ada rasa takut atas mereka dan tidak juga sedih. Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan senantiasa memelihara ketakwaannya.” (QS. Yunus: 62-63).
Adapun para dukun dan paranormal, mereka itu adalah para penjahat kelas kakap yang harus diciduk dan dijatuhi hukuman berat. Bukan harta atau perhiasan yang telah mereka rampas dari kaum muslimin, bahkan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada intan berlian atau emas dan permata, yaitu kesucian dan kemurnian aqidah tauhid yang sudah semestinya tertanam kokoh di hati sanubari setiap mukmin dan mukminah.
Menyeret pada kekafiran
Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi dukun dan membenarkan apa yang dikatakannya maka sungguh dia telah kafir kepada wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. al-Bazzar dengan sanad jayid qawiy, disahihkan al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib [3044]). al-Qurthubi menjelaskan bahwa yang dimaksud wahyu yang diturunkan tersebut adalah al-Kitab dan as-Sunnah (Fath al-Majid, 268).
Dalam riwayat al-Bazzar yang bersumber dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu dengan lafaz, “Barangsiapa yang mendatangi paranormal, tukang sihir, atau dukun, lalu dia membenarkan perkataannya maka sungguh dia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Shahih Targhib wa Tarhib [3044]). Dalil ini menunjukkan bahwa dukun dan tukang sihir dihukumi kafir, karena mereka telah berani mengaku mengetahui ilmu gaib, padahal perbuatan itu merupakan kekafiran. Demikian juga orang yang membenarkan perbuatan mereka dan meyakini apa yang mereka ucapkan dan meridhai perbuatan tersebut maka hal itu juga termasuk kekafiran, demikian papar Syaikh Aburrahman bin Hasan (Fath al-Majid, hal. 268).
Tentu saja hal ini menunjukkan kepada kita bahwa praktek perdukunan dan paranormal -apa pun istilahnya- merupakan penyakit masyarakat yang sangat ganas dan mematikan. Gara-gara ulah mereka aqidah masyarakat menjadi rusak, tatanan agama menjadi tidak lagi dihiraukan, muncul permusuhan, pengambilan harta tanpa hak, dan pertumpahan darah di atas muka bumi. Lebih parah lagi jika orang-orang itu -dukun/paranormal- telah dilabeli dengan gelar kyai atau pakar pengobatan alternatif. Pada hakikatnya ini adalah penyesatan yang dipoles dengan kata-kata yang indah.
Cinta ditolak, dukun bertindak?
Sebagian pemuda yang dimabuk asmara akibat mengobral pandangan kepada perempuan-perempuan yang juga tidak punya rasa malu mungkin akrab dengan slogan ini, ‘Cinta ditolak, dukun bertindak’. Ada dua hal pokok yang perlu kita kritisi dalam slogan ini. Pertama, cinta yang salah penerapan. Ketika orang berbicara cinta, maka yang terpikir di otak para remaja adalah pacaran, apel, nonton bareng, dan seabrek kegiatan mendekati zina lainnya. Yang kedua, ketika kepentingan hawa nafsu mereka tidak terpenuhi, maka otomatis mereka lari kepada para dukun yang notebene justru menceburkan mereka ke dalam dosa yang jauh lebih berat yaitu syirik dan kekafiran. Ini tidak jauh dengan ungkapan, ‘Lepas dari gigitan singa, terjatuh ke mulut buaya’. Nah, tentu ini merupakan musibah dan bencana yang menghancurkan iman dan jati diri seorang insan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia berkenan mengampuni dosa lain di bawah tingkatan syirik bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 116).
Perhatikanlah, inilah realita umat yang hari ini kita hadapi… Ketika aqidah dan akhlak generasi muda telah terkikis dan luntur dari lubuk hati mereka, maka secara otomatis syaitan dan bala tentaranyalah yang bekerja dan memegang kendali dalam tubuh dan akal pikiran mereka. Maka tidaklah mengherankan jika banyak remaja yang menggandrungi kisah-kisah fiksi yang menyajikan lika-liku dunia perdukunan dan sihir menyihir, bahkan ia menempati posisi best seller yang terjual laris dalam waktu yang singkat, laa haula wa laa quwwata illa billaah! Sementara di sisi lain, kita saksikan kitab-kitab para ulama salaf masih menjadi barang langka yang menghiasi rak dan meja para pemuda dan generasi penerus perjuangan Islam di masa depan. Jangankan memiliki kitabnya, membaca tulisan arab gundul pun mereka tidak sanggup melakukannya… Sungguh memprihatinkan, sebuah umat yang telah diwarisi dengan al-Kitab dan as-Sunnah oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun justru lebih menggandrungi kitab-kitab ’sihir’ yang memalingkan mereka dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketika dahulu para sahabat asyik menelaah dan menyimak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbincangan mereka sehari-hari -sampai-sampai mereka menangis-, namun pada hari ini kita saksikan obrolan kaum muda hanya dipenuhi dengan gelak tawa dan isak tangis palsu gara-gara menonton film favorit, pertandingan sepak bola yang sarat dengan suporter ala jahiliyah, dan artis idola atau ramalan bintang anda hari ini, fa inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun.
Merebut kursi basah dengan sowan kepada ’simbah’
Kedudukan dan pangkat telah melupakan sebagian orang. Demi meraih kedudukan strategis dalam perusahaan atau pemerintahan maka orang rela untuk menjual agamanya. Sebagian orang, sebelum menentukan langkah-langkah politik dan strategi untuk mencapai puncak pimpinan maka dia sowan (menghadap) dulu kepada simbah (orang pintar alias dukun) yang di sebagian daerah biasa dijuluki oleh masyarakat sebagai kyai. Maka berbagai persyaratan pun diajukan agar konsumen tersebut bisa mendapatkan apa yang dia harapkan. Setelah itu, sang dukun mengobral ramalan dan menceritakan wahyu atau wangsit yang didapatkannya. Benar, dia telah mendapatkan wahyu, namun sayang wahyunya bukan dari Allah tapi dari Syaitan la’natullahi ‘alaih. Sebagaimana dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ramalan mereka, “Itu adalah kebetulan saja, suatu kalimat yang haq telah dicuri oleh bangsa jin lalu dilontarkan ke dalam telinga kawan/walinya (dari bangsa manusia) dan dia tambahkan seratus kedustaan padanya.” (HR. Muslim [2228]).
Inilah sekelumit gambaran tentang dunia ramal meramal dan perdukunan yang telah meracuni atmosfer kehidupan kaum muslimin di berbagai daerah. Apa yang tertuang di sini hanyalah sebagian kecil dari berbagai bentuk praktek perdukunan dan sihir menyihir yang ternyata memang ada dan terjadi di masyarakat kita. Jalan keluar darinya adalah dengan kembali kepada bimbingan al-Kitab dan as-Sunnah yang menuntun kita untuk mencuci bersih hati kita dari segenap kotoran keyakinan dan mengisinya dengan siraman ayat-ayat suci dan wasiat ‘kanjeng’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak akan tercapai kejayaan umat ini kecuali dengan tauhid, sebagaimana tidak akan selamat seorang hamba di ‘mahkamah’ peradilan Allah kelak di hari kiamat kecuali dengan tauhid. Sudah saatnya, bagi setiap individu muslim untuk menyadari bahaya besar ini (baca: syirik) dan berjuang untuk menyelamatkan aqidah mereka dan saudara-saudaranya dari tipu daya para dukun dan paranormal yang gemar menebar ocehan-ocehan gombal.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam, walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. [Ari Wahyudi]
At Tauhid edisi V/13
http://buletin.muslim.or.id/aqidah/mereka-adalah-penjahat
Tujuan Utama Dakwah Setan
Di antara bentuk dosa yang dilalaikan dan dipandang remeh oleh kaum muslimin adalah dosa kesyirikan. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis akan menjelaskan sedikit tentang bahaya syirik. Semoga dengan pembahasan ini dapat mengubah pandangan kita selama ini tentang bahaya kesyirikan yang mungkin belum kita ketahui.
Syirik Merupakan Salah Satu Pembatal Islam
Di antara sebab terbesar batalnya Islam seseorang adalah berbuat syirik kepada Allah Ta’ala. Yaitu dengan beribadah kepada selain Allah Ta’ala, di samping juga beribadah kepada Allah, seperti bernadzar kepada selain Allah, bersujud kepada selain Allah, atau meminta pertolongan kepada selain Allah dalam hal-hal yang tidak ada yang bisa memenuhinya kecuali Allah Ta’ala saja. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah [5]: 72)
Allah Ta’ala berfirman yang artinya,“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48)
Oleh karena itu, kesyirikan adalah dosa yang paling berbahaya, namun banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai muslim dan mengucapkan “laa ilaaha illallah”. Mereka memang melaksanakan shalat dan puasa. Akan tetapi mereka mencampur amal ibadah mereka dengan syirik akbar, sehingga mereka pun keluar dari Islam.
Syirik Merupakan Tujuan Utama “Dakwah” Setan
Tauhid merupakan fitrah yang Allah Ta’ala ciptakan untuk manusia. Setiap manusia yang ada di dunia ini terlahir di atas fitrah tauhid, meskipun dia dilahirkan oleh orangtua yang musyrik. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari tulang punggung mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ’Bukankah Aku ini Rabb-mu? ’Mereka menjawab,’Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’” (QS. Al-A’raf [7]: 172)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tidak ada satu pun anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan di atas fitrah. Orang tuanya-lah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti seekor hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat (sama persis dengan induknya), apakah Engkau merasakan adanya cacat padanya?“ (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 6926)
Karena manusia dilahirkan di atas fitrah tauhid, maka setan akan berusaha mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyesatkan manusia agar mereka menyimpang dari fitrah tauhid tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya Rabb-ku memerintahkanku untuk mengajari kalian apa-apa yang belum kalian ketahui. Di antara hal-hal yang diajarkan kepadaku hari ini adalah, setiap harta yang Aku berikan kepada hamba-Ku, maka (menjadi) halal baginya. Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-Ku seluruhnya dalam keadaan hanif (menjadi seorang muslim, pen.). Kemudian datanglah setan kepada-Nya yang menjadikan mereka keluar dari agama mereka. Serta mengharamkan hal-hal yang Aku halalkan untuk mereka. Dan juga menyuruh mereka untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak Aku turunkan keterangan tentang itu … ” (HR. Muslim no. 7386)
Setan sendiri telah berjanji di hadapan Allah Ta’ala bahwa dia akan berusaha untuk mengubah fitrah yang telah Allah Ta’ala ciptakan untuk manusia. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,“Yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan, ’Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya). Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya. Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar mereka mengubahnya’. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa’ [4]: 118-119)
Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud ayat,”Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah)”. Adapun pendapat yang paling tepat sebagaimana yang dipilih oleh Abu Ja’far Ath-Thabary rahimahullah adalah, ”Mengubah agama Allah.” (Lihat Tafsir Ath-Thabary, 9/222)
Syaikh Muhammad Asy-Syinqithi rahimahullah menjelaskan,”Sebagian ulama mengatakan bahwa makna ayat ini adalah setan menyuruh mereka untuk kafir dan mengubah fitrah agama Islam yang telah Allah Ta’ala ciptakan untuk mereka. Perkataan ini dijelaskan dan ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus’ (QS. Ar-Ruum [30] : 30). Maksudnya adalah, janganlah mengubah fitrah yang telah diciptakan atas kalian dengan (mengerjakan) kekafiran”. (Tafsir Adhwa’ul Bayan, 1/341)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,”Sesungguhnya setiap orang dilahirkan di atas fitrah (yaitu tauhid, pent.). Akan tetapi orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi, Nasrani, Majusi, atau yang semisalnya dari fitrah yang telah Allah tetapkan kepada hamba-Nya. Fitrah itu adalah mentauhidkan Allah, mencintai-Nya, dan mengenal-Nya. Setan akan memburu mereka dalam masalah ini sebagaimana binatang buas yang memburu seekor kambing yang terpisah dari kawanannya”. (Tafsir Taisir Karimir Rahman, hal.204)
Dari sini jelaslah bahwa tujuan utama “dakwah” setan adalah menjerumuskan manusia ke dalam kesyirikan. Karena ketika manusia sudah terjerumus ke dalamnya, maka batal-lah tauhidnya. Dan ketika tauhidnya sudah batal, maka sebanyak apa pun amal shalih yang diperbuatnya, semuanya akan menjadi sia-sia belaka. Sehingga setan pun tidak mempunyai kepentingan lagi untuk mengganggunya.
Oleh karena itu, kita kadang melihat orang-orang yang berbuat syirik dengan beribadah di makam orang-orang shalih, mereka beribadah dengan melaksanakan shalat, berdzikir, atau membaca Al Qur’an dengan penuh kekhusyu’an. Bahkan bisa jadi mereka beribadah di sisi makam tersebut semalam suntuk tanpa merasa lelah dan mengantuk. Sesuatu yang mungkin sangat sulit dilakukan oleh orang-orang selain mereka. Demikianlah, kekhusyu’an mereka itu tidak lain karena memang setan tidak lagi mempunyai kepentingan untuk mengganggu ibadahnya tersebut. Karena setan sudah mengetahui, bahwa sebanyak apa pun amal ibadah yang mereka lakukan semuanya akan sia-sia belaka dan tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala.
Syirik Merupakan Dosa yang Tidak Akan Diampuni Jika Tidak Mau Bertaubat
Allah Ta’ala berfirman,”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya lebih rendah dari (syirik) itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48)
Ayat ini menunjukkan betapa berbahayanya dosa syirik karena Allah Ta’ala tidak akan mengampuninya kecuali jika pelakunya bertaubat darinya. Padahal, ampunan dan rahmat Allah Ta’ala sangatlah luas dan meliputi segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Hajj [22]: 60)
Hal ini diperkuat oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sedang menggendong anaknya sambil memberi makan, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya,“Menurut kalian, apakah ibu ini tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Para sahabat menjawab,”Tidak, demi Allah! Dia tidak akan tega, selama dia mampu untuk tidak melemparkan anaknya”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sungguh Allah lebih mengasihi para hamba-Nya dibandingkan kasih sayang ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari no. 5999 dan Muslim no. 7154)
Ayat dan hadits di atas menunjukkan betapa besar kasih sayang dan ampunan Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya, melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Akan tetapi, orang-orang musyrik tidak ikut tercakup di dalamnya. Hal ini menunjukkan begitu besarnya kejahatan dan kedzaliman yang ditimbulkan oleh kesyirikan.
Maka barangsiapa yang meninggal di atas kesyirikan, maka dia tidak akan diampuni. Sehingga hal ini menunjukkan betapa bahayanya kesyirikan. Kita wajib menghindarinya sejauh-jauhnya. Setiap dosa masih mungkin dan masih ada harapan untuk diampuni jika pelakunya tidak bertaubat, kecuali dosa syirik. Sedangkan kesyirikan tidak mungkin untuk dihindari kecuali dengan mempelajarinya dan mengetahui bahayanya. (Lihat I’anatul Mustafiid, 1/95)
Apabila seseorang berbuat syirik kemudian bertaubat dan meninggal di atas tauhid, maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya, termasuk dosa syirik. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah,’Hai hamba-hambaKu yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar [39]: 53)
Inilah sebagian kecil di antara bahaya-bahaya kesyirikan. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila seseorang sangat takut untuk terjerumus ke dalam perbuatan syirik. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam telah memberikan teladan kepada kita ketika beliau berdoa kepada Allah Ta’ala, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata,’Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman. Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Wahai Rabb-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan mayoritas manusia’”. (QS. Ibrahim [14]: 35-36)
Ibrahim ‘alaihis salaam berdoa seperti itu, padahal beliau telah memiliki kedudukan yang sangat tinggi sebagai kekasih Allah (khalilullah). Meskipun demikian itu keadaan Ibrahim ‘alaihis salaam, beliau tetap mengkhawatirkan apabila dirinya jatuh terjerumus ke dalam perbuatan syirik, karena hati manusia berada di antara jari-jemari Ar-Rahman. Oleh karena itulah, sebagian ulama mengatakan,”Dan siapakah yang merasa aman dari ujian setelah Ibrahim ‘alaihis salaam (tidak merasa aman)?” Karena Ibrahim ‘alaihis salaam mengkhawatirkan dirinya kalau terjerus ke dalam perbuatan syirik ketika beliau melihat banyak manusia yang terjerumus ke dalamnya.
Wallahu a’lamu.
[dr. M. Saifudin Hakim]
At Tauhid edisi VI/01
http://buletin.muslim.or.id/aqidah/tujuan-utama-dakwah-setan
Syirik Merupakan Salah Satu Pembatal Islam
Di antara sebab terbesar batalnya Islam seseorang adalah berbuat syirik kepada Allah Ta’ala. Yaitu dengan beribadah kepada selain Allah Ta’ala, di samping juga beribadah kepada Allah, seperti bernadzar kepada selain Allah, bersujud kepada selain Allah, atau meminta pertolongan kepada selain Allah dalam hal-hal yang tidak ada yang bisa memenuhinya kecuali Allah Ta’ala saja. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah [5]: 72)
Allah Ta’ala berfirman yang artinya,“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48)
Oleh karena itu, kesyirikan adalah dosa yang paling berbahaya, namun banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai muslim dan mengucapkan “laa ilaaha illallah”. Mereka memang melaksanakan shalat dan puasa. Akan tetapi mereka mencampur amal ibadah mereka dengan syirik akbar, sehingga mereka pun keluar dari Islam.
Syirik Merupakan Tujuan Utama “Dakwah” Setan
Tauhid merupakan fitrah yang Allah Ta’ala ciptakan untuk manusia. Setiap manusia yang ada di dunia ini terlahir di atas fitrah tauhid, meskipun dia dilahirkan oleh orangtua yang musyrik. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari tulang punggung mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ’Bukankah Aku ini Rabb-mu? ’Mereka menjawab,’Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’” (QS. Al-A’raf [7]: 172)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tidak ada satu pun anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan di atas fitrah. Orang tuanya-lah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti seekor hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat (sama persis dengan induknya), apakah Engkau merasakan adanya cacat padanya?“ (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 6926)
Karena manusia dilahirkan di atas fitrah tauhid, maka setan akan berusaha mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyesatkan manusia agar mereka menyimpang dari fitrah tauhid tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya Rabb-ku memerintahkanku untuk mengajari kalian apa-apa yang belum kalian ketahui. Di antara hal-hal yang diajarkan kepadaku hari ini adalah, setiap harta yang Aku berikan kepada hamba-Ku, maka (menjadi) halal baginya. Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-Ku seluruhnya dalam keadaan hanif (menjadi seorang muslim, pen.). Kemudian datanglah setan kepada-Nya yang menjadikan mereka keluar dari agama mereka. Serta mengharamkan hal-hal yang Aku halalkan untuk mereka. Dan juga menyuruh mereka untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak Aku turunkan keterangan tentang itu … ” (HR. Muslim no. 7386)
Setan sendiri telah berjanji di hadapan Allah Ta’ala bahwa dia akan berusaha untuk mengubah fitrah yang telah Allah Ta’ala ciptakan untuk manusia. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,“Yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan, ’Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya). Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya. Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar mereka mengubahnya’. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa’ [4]: 118-119)
Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud ayat,”Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah)”. Adapun pendapat yang paling tepat sebagaimana yang dipilih oleh Abu Ja’far Ath-Thabary rahimahullah adalah, ”Mengubah agama Allah.” (Lihat Tafsir Ath-Thabary, 9/222)
Syaikh Muhammad Asy-Syinqithi rahimahullah menjelaskan,”Sebagian ulama mengatakan bahwa makna ayat ini adalah setan menyuruh mereka untuk kafir dan mengubah fitrah agama Islam yang telah Allah Ta’ala ciptakan untuk mereka. Perkataan ini dijelaskan dan ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus’ (QS. Ar-Ruum [30] : 30). Maksudnya adalah, janganlah mengubah fitrah yang telah diciptakan atas kalian dengan (mengerjakan) kekafiran”. (Tafsir Adhwa’ul Bayan, 1/341)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,”Sesungguhnya setiap orang dilahirkan di atas fitrah (yaitu tauhid, pent.). Akan tetapi orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi, Nasrani, Majusi, atau yang semisalnya dari fitrah yang telah Allah tetapkan kepada hamba-Nya. Fitrah itu adalah mentauhidkan Allah, mencintai-Nya, dan mengenal-Nya. Setan akan memburu mereka dalam masalah ini sebagaimana binatang buas yang memburu seekor kambing yang terpisah dari kawanannya”. (Tafsir Taisir Karimir Rahman, hal.204)
Dari sini jelaslah bahwa tujuan utama “dakwah” setan adalah menjerumuskan manusia ke dalam kesyirikan. Karena ketika manusia sudah terjerumus ke dalamnya, maka batal-lah tauhidnya. Dan ketika tauhidnya sudah batal, maka sebanyak apa pun amal shalih yang diperbuatnya, semuanya akan menjadi sia-sia belaka. Sehingga setan pun tidak mempunyai kepentingan lagi untuk mengganggunya.
Oleh karena itu, kita kadang melihat orang-orang yang berbuat syirik dengan beribadah di makam orang-orang shalih, mereka beribadah dengan melaksanakan shalat, berdzikir, atau membaca Al Qur’an dengan penuh kekhusyu’an. Bahkan bisa jadi mereka beribadah di sisi makam tersebut semalam suntuk tanpa merasa lelah dan mengantuk. Sesuatu yang mungkin sangat sulit dilakukan oleh orang-orang selain mereka. Demikianlah, kekhusyu’an mereka itu tidak lain karena memang setan tidak lagi mempunyai kepentingan untuk mengganggu ibadahnya tersebut. Karena setan sudah mengetahui, bahwa sebanyak apa pun amal ibadah yang mereka lakukan semuanya akan sia-sia belaka dan tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala.
Syirik Merupakan Dosa yang Tidak Akan Diampuni Jika Tidak Mau Bertaubat
Allah Ta’ala berfirman,”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya lebih rendah dari (syirik) itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48)
Ayat ini menunjukkan betapa berbahayanya dosa syirik karena Allah Ta’ala tidak akan mengampuninya kecuali jika pelakunya bertaubat darinya. Padahal, ampunan dan rahmat Allah Ta’ala sangatlah luas dan meliputi segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Hajj [22]: 60)
Hal ini diperkuat oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sedang menggendong anaknya sambil memberi makan, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya,“Menurut kalian, apakah ibu ini tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Para sahabat menjawab,”Tidak, demi Allah! Dia tidak akan tega, selama dia mampu untuk tidak melemparkan anaknya”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sungguh Allah lebih mengasihi para hamba-Nya dibandingkan kasih sayang ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari no. 5999 dan Muslim no. 7154)
Ayat dan hadits di atas menunjukkan betapa besar kasih sayang dan ampunan Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya, melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Akan tetapi, orang-orang musyrik tidak ikut tercakup di dalamnya. Hal ini menunjukkan begitu besarnya kejahatan dan kedzaliman yang ditimbulkan oleh kesyirikan.
Maka barangsiapa yang meninggal di atas kesyirikan, maka dia tidak akan diampuni. Sehingga hal ini menunjukkan betapa bahayanya kesyirikan. Kita wajib menghindarinya sejauh-jauhnya. Setiap dosa masih mungkin dan masih ada harapan untuk diampuni jika pelakunya tidak bertaubat, kecuali dosa syirik. Sedangkan kesyirikan tidak mungkin untuk dihindari kecuali dengan mempelajarinya dan mengetahui bahayanya. (Lihat I’anatul Mustafiid, 1/95)
Apabila seseorang berbuat syirik kemudian bertaubat dan meninggal di atas tauhid, maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya, termasuk dosa syirik. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah,’Hai hamba-hambaKu yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar [39]: 53)
Inilah sebagian kecil di antara bahaya-bahaya kesyirikan. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila seseorang sangat takut untuk terjerumus ke dalam perbuatan syirik. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam telah memberikan teladan kepada kita ketika beliau berdoa kepada Allah Ta’ala, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata,’Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman. Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Wahai Rabb-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan mayoritas manusia’”. (QS. Ibrahim [14]: 35-36)
Ibrahim ‘alaihis salaam berdoa seperti itu, padahal beliau telah memiliki kedudukan yang sangat tinggi sebagai kekasih Allah (khalilullah). Meskipun demikian itu keadaan Ibrahim ‘alaihis salaam, beliau tetap mengkhawatirkan apabila dirinya jatuh terjerumus ke dalam perbuatan syirik, karena hati manusia berada di antara jari-jemari Ar-Rahman. Oleh karena itulah, sebagian ulama mengatakan,”Dan siapakah yang merasa aman dari ujian setelah Ibrahim ‘alaihis salaam (tidak merasa aman)?” Karena Ibrahim ‘alaihis salaam mengkhawatirkan dirinya kalau terjerus ke dalam perbuatan syirik ketika beliau melihat banyak manusia yang terjerumus ke dalamnya.
Wallahu a’lamu.
[dr. M. Saifudin Hakim]
At Tauhid edisi VI/01
http://buletin.muslim.or.id/aqidah/tujuan-utama-dakwah-setan
Sahabatku ... Semoga Engkau Mengetahui Hak-hak Ini
Saudaraku yang semoga dirahmati Allah. Sungguh persahabatan merupakan suatu karunia dari Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah yang artinya,“Lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara” (Ali Imron : 103). Ini adalah nikmat Allah yang sangat agung. Maka seharusnya kita menjaganya dengan memperhatikan hak-hak di antara sahabat. Pembahasan berikut, berisi sebagian hak-hak persahabatan yang seharusnya diperhatikan oleh orang-orang yang mengikat tali tersebut.
Bersahabatlah karena Allah
Ingatlah wahai saudaraku -semoga Allah menunujuki kita untuk taat kepada-Nya-, bahwa tujuan kita bersahabat adalah senantiasa untuk mengaharap ridho Allah Ta'ala. Dan janganlah sekali-kali persahabatan tersebut dijadikan untuk mendapatkan kepentingan dunia semata.
Persahabatan yang dilandaskan saling cinta karena Allah itulah yang akan mendapatkan manisnya iman, sebagaimana Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya,"Ada tiga perkara yang apabila seseorang memilikinya akan mendapatkan manisnya iman, yaitu Allah dan Rosul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, dia mencintai seseorang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah, dan dia tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah membebaskan darinya sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam api." (HR. Bukhari)
Di samping itu, persahabatan seperti inilah yang akan kekal hingga hari kiamat nanti, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman yang artinya,"Teman-teman akrab pada hari (kiamat) nanti sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa."(QS. Az Zukhruf : 67).
Imam Ibnu Katsir rohimahulloh mengatakan bahwa setiap persahabatan yang dilandasi cinta karena selain Allah, maka pada hari kiamat nanti akan kembali dalam keadaan saling bermusuhan. Kecuali persahabatannya dilandasi cinta karena Allah ‘azza wa jalla, inilah yang kekal selamanya. (Tafsir Ibnu Katsir)
Maka perhatikanlah wahai saudaraku, sudah benarkah niat kita dalam bersahabat?! Apakah persahabatan tersebut hanya untuk menyelesaikan urusan duniawi semata?!! Setelah urusan tersebut selesai, kita meninggalkan sahabat kita!! Ingatlah, persahabatan yang benar adalah persahabatan yang dilandasi cinta karena Allah, yaitu seseorang mencintai sahabatnya karena tauhid yang dia miliki, pengagungan dia kepada Allah, dan semangatnya dalam mengikuti sunnah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam.
Berbuat Itsar-lah pada Sahabatmu
Di antara hak terhadap sesama yang dianjurkan adalah mendahulukan sahabatnya dalam segala keperluan (baca : itsar) dan perbuatan ini dianjurkan (mustahab).
Perhatikanlah firman Allah Ta'ala yang artinya,"Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan" (QS. Al Hasyr : 9).
Kaum Anshor yang terlebih dahulu menempati kota Madinah, mereka mendahulukan saudara mereka dari kaum Muhajirin dalam segala keperluan, padahal mereka sendiri membutuhkannya.
Sungguh sangat menakjubkan, seorang sahabat Anshor yang memiliki dua istri ingin menceraikan salah satu istrinya. Kemudian setelah masa 'iddahnya berakhir dia ingin menikahkannya dengan sahabatnya dari kaum muhajirin. Adakah bentuk itsar yang lebih daripada ini?!! (Aysarut Tafaasir, Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi)
Perbuatan itsar ini hanya berlaku untuk urusan duniawi (seperti mendahulukan saudara kita dalam makan dan minum). Sedangkan dalam masalah ketaatan (perkara ibadah), perbuatan ini terlarang. Karena maksud dari ibadah adalah pengagungan kepada Allah Ta’ala. Maka barangsiapa yang mendahulukan saudaranya dalam hal ini, berarti dia telah meninggalkan pengagungan terhadap Allah Ta’ala yang dia sembah. Oleh karena itu, kita tidak diperbolehkan mendahulukan saudara kita (itsar) untuk menempati shaf pertama dalam sholat berjama’ah, sedangkan kita di shaf belakang. (Lihat Al Wajiz fii Iidhohi Qowa’id Al Fiqhi Al Kulliyati)
Bantulah Sahabatmu yang Berada dalam Kesulitan
Misalnya ada saudara kita yang membutuhkan bantuan pinjaman uang. Maka berusahalah untuk menolongnya dengan memberi pinjaman hutang padanya. Karena pemberian hutang yang pertama kali merupakan kebaikan. Sedangkan pemberian hutang kedua kalinya adalah sedekah. Sebagaimana dalam hadits riwayat Ibnu Majah, Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya,"Barangsiapa yang memberi hutang kepada saudaranya kedua kalinya, maka dia seperti bersedekah padanya.”
Jagalah Kehormatan Sahabatmu
Wahai saudaraku, jagalah kehormatan sahabatmu, karena Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda pada khutbah ketika haji Wada' yang artinya,"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram." (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Di antara bentuk menjaga kehormatan saudara kita adalah menjaga rahasianya yang khusus diceritakan pada kita. Rahasia tersebut adalah amanah dan kita diperintahkan oleh Allah untuk selalu menjaga amanah. Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya,"Apabila seseorang membicarakan sesuatu padamu, kemudian dia menoleh kanan kiri, maka itu adalah amanah."(HR. Abu Daud dalam sunannya). Perbuatan seperti ini saja dilarang, apalagi jika sahabatmu tersebut memintamu untuk tidak menceritakannya pada orang lain. Maka yang demikian jelas lebih terlarang. (Huququl Ukhuwah, Syaikh Sholeh Alu Syaikh).
Semoga dengan mengamalkan hak-hak ini, kita akan menjadi orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allah di akherat kelak, di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Amin.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
http://pengusahamuslim.com/belajar-islam/akhlak/761-sahabatku--semoga-engkau-mengetahui-hak-hak-ini.html
Bersahabatlah karena Allah
Ingatlah wahai saudaraku -semoga Allah menunujuki kita untuk taat kepada-Nya-, bahwa tujuan kita bersahabat adalah senantiasa untuk mengaharap ridho Allah Ta'ala. Dan janganlah sekali-kali persahabatan tersebut dijadikan untuk mendapatkan kepentingan dunia semata.
Persahabatan yang dilandaskan saling cinta karena Allah itulah yang akan mendapatkan manisnya iman, sebagaimana Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya,"Ada tiga perkara yang apabila seseorang memilikinya akan mendapatkan manisnya iman, yaitu Allah dan Rosul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, dia mencintai seseorang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah, dan dia tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah membebaskan darinya sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam api." (HR. Bukhari)
Di samping itu, persahabatan seperti inilah yang akan kekal hingga hari kiamat nanti, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman yang artinya,"Teman-teman akrab pada hari (kiamat) nanti sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa."(QS. Az Zukhruf : 67).
Imam Ibnu Katsir rohimahulloh mengatakan bahwa setiap persahabatan yang dilandasi cinta karena selain Allah, maka pada hari kiamat nanti akan kembali dalam keadaan saling bermusuhan. Kecuali persahabatannya dilandasi cinta karena Allah ‘azza wa jalla, inilah yang kekal selamanya. (Tafsir Ibnu Katsir)
Maka perhatikanlah wahai saudaraku, sudah benarkah niat kita dalam bersahabat?! Apakah persahabatan tersebut hanya untuk menyelesaikan urusan duniawi semata?!! Setelah urusan tersebut selesai, kita meninggalkan sahabat kita!! Ingatlah, persahabatan yang benar adalah persahabatan yang dilandasi cinta karena Allah, yaitu seseorang mencintai sahabatnya karena tauhid yang dia miliki, pengagungan dia kepada Allah, dan semangatnya dalam mengikuti sunnah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam.
Berbuat Itsar-lah pada Sahabatmu
Di antara hak terhadap sesama yang dianjurkan adalah mendahulukan sahabatnya dalam segala keperluan (baca : itsar) dan perbuatan ini dianjurkan (mustahab).
Perhatikanlah firman Allah Ta'ala yang artinya,"Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan" (QS. Al Hasyr : 9).
Kaum Anshor yang terlebih dahulu menempati kota Madinah, mereka mendahulukan saudara mereka dari kaum Muhajirin dalam segala keperluan, padahal mereka sendiri membutuhkannya.
Sungguh sangat menakjubkan, seorang sahabat Anshor yang memiliki dua istri ingin menceraikan salah satu istrinya. Kemudian setelah masa 'iddahnya berakhir dia ingin menikahkannya dengan sahabatnya dari kaum muhajirin. Adakah bentuk itsar yang lebih daripada ini?!! (Aysarut Tafaasir, Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi)
Perbuatan itsar ini hanya berlaku untuk urusan duniawi (seperti mendahulukan saudara kita dalam makan dan minum). Sedangkan dalam masalah ketaatan (perkara ibadah), perbuatan ini terlarang. Karena maksud dari ibadah adalah pengagungan kepada Allah Ta’ala. Maka barangsiapa yang mendahulukan saudaranya dalam hal ini, berarti dia telah meninggalkan pengagungan terhadap Allah Ta’ala yang dia sembah. Oleh karena itu, kita tidak diperbolehkan mendahulukan saudara kita (itsar) untuk menempati shaf pertama dalam sholat berjama’ah, sedangkan kita di shaf belakang. (Lihat Al Wajiz fii Iidhohi Qowa’id Al Fiqhi Al Kulliyati)
Bantulah Sahabatmu yang Berada dalam Kesulitan
Misalnya ada saudara kita yang membutuhkan bantuan pinjaman uang. Maka berusahalah untuk menolongnya dengan memberi pinjaman hutang padanya. Karena pemberian hutang yang pertama kali merupakan kebaikan. Sedangkan pemberian hutang kedua kalinya adalah sedekah. Sebagaimana dalam hadits riwayat Ibnu Majah, Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya,"Barangsiapa yang memberi hutang kepada saudaranya kedua kalinya, maka dia seperti bersedekah padanya.”
Jagalah Kehormatan Sahabatmu
Wahai saudaraku, jagalah kehormatan sahabatmu, karena Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda pada khutbah ketika haji Wada' yang artinya,"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram." (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Di antara bentuk menjaga kehormatan saudara kita adalah menjaga rahasianya yang khusus diceritakan pada kita. Rahasia tersebut adalah amanah dan kita diperintahkan oleh Allah untuk selalu menjaga amanah. Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya,"Apabila seseorang membicarakan sesuatu padamu, kemudian dia menoleh kanan kiri, maka itu adalah amanah."(HR. Abu Daud dalam sunannya). Perbuatan seperti ini saja dilarang, apalagi jika sahabatmu tersebut memintamu untuk tidak menceritakannya pada orang lain. Maka yang demikian jelas lebih terlarang. (Huququl Ukhuwah, Syaikh Sholeh Alu Syaikh).
Semoga dengan mengamalkan hak-hak ini, kita akan menjadi orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allah di akherat kelak, di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Amin.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
http://pengusahamuslim.com/belajar-islam/akhlak/761-sahabatku--semoga-engkau-mengetahui-hak-hak-ini.html
Ka'bah Dicuci Sabtu
JEDDAH--Gubernur Mekah Khalid Al-Faisal akan memimpin pencucian Kabah yang akan dihadiri oleh para ulama terkemuka, pejabat Arab Saudi dan para diplomat yang bertugas di Arab Saudi, Sabtu (2 Januari atau l6 Muharram) waktu setempat. Bangunan mirip kubus yang merupakan kiblat umat Islam tersebut, menurut Arabtimes.com dicuci dua kali dalam satu tahun yakni pada tanggal 15 Sha'ban (bulan sebelum bulan puasa, Ramadhan) dan pada pertengahan Muharam yakni bulan setelah Zulhijah dimana umat Islam menunaikan rukun ke lima Islam untuk naik haji.
Sejumlah ulama terkemuka, pejabat pemerintah Arab Saudi, tokoh setempat dan diplomat asing yang bertugas di Arab Saudi diundang dalam acara tersebut, sementara pemerintah Indonesia akan diwakili oleh Kuasa Usaha Ad Interim Kedubes RI di Riyadh Sukanto. Tabir terbuat dari kain berwarna hitam penutup Rumah Allah tersebut (disebut kiswah) sudah diganti dengan yang baru pada 9 Zulhijah yakni pada saat jemaah haji melakukan ritual Wukuf yang merupakan ritual puncak rukun haj di Padang Arafah.
Wukuf dimaknakan sebagai hari penantian yakni pada saat umat manusia dikumpulkan dalam formasi antri, menanti ditimbang-timbang amal kebajikan dan dosanya. Ritual pencucian Ka'bah dimulai dengan shalat sunnat dua rakaat di dalam Kabah yang merupakan bangunan kubus. Bagian dalamnya dipel dengan kain putih yang dibasahi air mawar, wewangian khas Arab (beraroma kayu oud) dan parfum beraroma musk (minyak kelenjar rusa).
Air zamzam dicampur dengan air mawar dipercikkan di lantai Kabah kemudian lantai dipel dengan tangan kosong dan daun kurma (palm). Sebelum memasuki Ka'bah, Pangeran Khalid akan melakukan Tawaf (mengitari Kabah tujuh kali) dan menyentuh Hajar Aswad (batu hitam yang dibawa malaikat dari surga).
Pangeran kemudian akan menerima kunci Kabah yang diletakkan dalam tas beludru dari para pengawal (Bani Shayba). Saat memasuki Rumah Allah itu, Pangeran Khalid akan shalat dua rakaat di hamparan sajadah terbuat dari batu pualam, tempat sama yang diyakini digunakan shalat oleh Nabi Muhammad SAW. Seremoni pencucian Kabah dimulai saat para tamu sudah keluar dari rumah Allah tersebut, sedangkan lantai marmer dan dinding Kabah akan dilap dengan air zamzam dan parfum bunga mawar.
Setelah dipel, lantai dan dinding Ka'bah akan dikeringkan dengan kertas tisu dan kain putih, kemudian disirami lagi dengan wewangian aroma oud dan mawar dan setelah itu Kabah dianggap incenced. Bangunan sisi bagian timur Ka'bah tingginya l4 meter, sementara sisi barat dan selatan l2,11 meter dan ll,28 meter dari sisi utara. Lantai bagian dalam dilapisi keramik berwarna, sementara atapnya ditunjang tiga pilar kayu, masing-masing berdiameter 44 cm.
Struktur atap terdiri atas dua lapisan, bagian atas dan bawah, sementara dinding bagian dalam ditutup dengan layar terbuat dari beludru hijau yag diganti tiap tiga tahun sekali. Pada atap bagian teratas terdapat ventilasi dengan panjang 127 cm dan lebar l04 cm untuk memberikan kesempatan bagi cahaya matahari masuk. Ventilasi ditutup dengan kaca penguat yang dibuka saat acara pencucian.
Pintu Ka'bah yang berada pada 225 cm di atas permukaan tanah, tingginya 310cm, lebar 40 cm dan panjang 190 cm, terbuat dari kayu yang dilapisi 280 Kg emas murni. ant/kpo
http://republika.co.id/berita/99350/Ka_bah_Dicuci_Sabtu
Masih Adakah Sifat Syirik Dalam Diri Kita?
Dua hari yang lalu saya membeli roti sobek di pinggir jalan. Saya memberikan uang pecahan limapuluh ribuan. Abang tukang roti mengambil kembalian dari dompetnya. Ketika dia membuka dompet secara tidak sengaja saya melihat gumpalan rambut yang diselipkan di dompetnya itu. Lalu saya bertanya pada Abang tukang roti itu
“ Bang, kok ada rambut di dompetnya, rambut istrinya ya?. Tanya saya sambil bercanda pada si abang tukang roti.
“Wah ini buat penangkal tuyul neng. Biar uangnya tidak hilang. Jadi harus pake rambut.” Jawab tukang roti itu pada saya.
Saya terkaget dengan jawaban itu. Era modern dan serba ternologi seperti sekarang ini masih saja hal-hal syirik melekat di dalam keseharian masyarakat. Lalu saya menimpali si abang tukang roti dengan perkataan
“ya, yakin aja bang dengan Bismillah. Insya Allah aman kok!. Saya memberikan pemahaman pada si Abang tukang roti.
“Temen saya sering baca Bismillah neng, tapi uangnya ilang-ilang juga di ambil tuyul”. Si Abang tukang roti meyakinkan saya.
“Bismillahnya gak yakin kalie bang, cuman berupa bacaan doang kalie”. Abang tukang roti tertawa sambil mengembalikan uang kembalian tiga puluh delapan ribu ke saya.
Dari percakapan tadi saya melihat bahwa Manusia masih dikendalikan oleh hal-hal yang berbau syirik. Mereka percaya pada Allah, tapi ada tapinya yaitu masih menggunakan cara lain untuk menduakan Allah. Yaitu memakai cara-cara diluar logika. Mungkin tidak hanya tukang roti namun juga ibu-ibu yang mempunyai bayi mempunyai tradisi untuk menjaga si bayi dari gangguan jin dan syetan yang berwujud drakula penghisap darah, maka diletakkanlah cermin dan bawa putih yang disematkan di baju sang bayi.
Ada juga yang memakai benang-benang tertentu yang dituliskan ayat-ayat alqu’ran. Kemudian ada juga yang meletakkan gunting di bawah bantal saat si ibu hamil. Banyak sekali hal –hal seperti itu kita masih jumpai dalam masyarkat. Kebiasan-kebiasan tersebut sudah turun-temurun dilakukan oleh para tetua dulu, mungkin sampai pada ibu kita dan kita kalau kita tidak berusaha mencari cara beakidah yang benar.
Ya., Allah potret kehidupan manusia yang mengaku mengagungkan Engkau namun masih saja memakai cara lain untuk menduakan Engkau. Allah sendiri mengatakan dalam Al-quran bahwa berdo’a lah padaKU niscaya akan Aku kabulkan. Sebetulnya dari pengertian ayat –ayat ini tentunya kita bisa memahami bahwa kita bisa meminta langsung pada Allah tidak perlu memakai perantara mbah dukun, benda-benda keramat atau istilah kerennya pake orang pintar. Karena Allah Maha Mendengar dan Maha mengetahui.
Kita sering kali terjebak dengan rayuan-rayuan syetan yang menawarkan cara-cara pintas dalam berikhtiar kepada Allah. Meskipun hal itu di luar logika manusia. Bahkan bagi orang yang memiliki intelektual sekalipun masih saja terjebak dalam menggunakan jalan syetan untuk meraih sesuatu yang di inginkan. Penggunaan orang-orang pintar yang berkedok memakai ayat-ayat Alqur’an.
Bahkan ketika musim pemilu. Para pejabatpun ramai-ramai mendatangi orang pintar untuk dicarikan jalan supaya menang dalam meraih jabatannya. Ada juga masalah jodoh, masalah kekayaan, bahkan ketika sakitpun kita bisa kalah dalam memilih jalan yang di ridhoi Allah karena keinginan untuk sembuh yang luar biasa. Maka kita memilih jalan apapun yang penting sembuh Kita tidak menseleksi terlebih dahulu apakah cara yang kita pakai menyalahi sya’riat atau tidak.
Syirik-syirik kecil maupun syirik besar masih saja bersemayam dalam diri kita tanpa kita sadari atau tidak. Seperti contohnya yang dilakukan si abang tukang roti tadi. Meskipun ia percaya bahwa Allah yang memberikan rizki, menjaga rizki dan mengambilnya kembali. Meskipun ia sudah menunaikan sholat dan ibadah ritual. Tapi esensi ibadah itulah yang belum mendarah daging dalam diri kita sehingga kita masih mudah digoyahkan oleh sesuatu yang merusak aqidah kita kepada Allah SWT.
Kalau kita cermati dengan baik perbuatan-perbuatan seperti tadi masih banyak bertebaran dalam masyarakat. Tidak perduli ia orang yang memiliki berilmu tinggi, orang yang punya jabatan prestisius di kantor atau perusahaannya, atau orang jebolan sekolah agama sekalipun bisa tertipu dengan perbuatan – perbuatan syirik seperti ini.
Apakah kita juga termasuk dalam bagian orang-orang yang masih menduakan Allah?. Tentunya jawaban itu ada dalam diri kita masing-masing. Semoga Allah senantiasa menuntun kita ke jalan yang lurus yang diridhoi-NYA.
oleh Elvira Suryani
http://eramuslim.com/oase-iman/masih-adakah-sifat-syirik-dalam-diri-kita.htm
“ Bang, kok ada rambut di dompetnya, rambut istrinya ya?. Tanya saya sambil bercanda pada si abang tukang roti.
“Wah ini buat penangkal tuyul neng. Biar uangnya tidak hilang. Jadi harus pake rambut.” Jawab tukang roti itu pada saya.
Saya terkaget dengan jawaban itu. Era modern dan serba ternologi seperti sekarang ini masih saja hal-hal syirik melekat di dalam keseharian masyarakat. Lalu saya menimpali si abang tukang roti dengan perkataan
“ya, yakin aja bang dengan Bismillah. Insya Allah aman kok!. Saya memberikan pemahaman pada si Abang tukang roti.
“Temen saya sering baca Bismillah neng, tapi uangnya ilang-ilang juga di ambil tuyul”. Si Abang tukang roti meyakinkan saya.
“Bismillahnya gak yakin kalie bang, cuman berupa bacaan doang kalie”. Abang tukang roti tertawa sambil mengembalikan uang kembalian tiga puluh delapan ribu ke saya.
Dari percakapan tadi saya melihat bahwa Manusia masih dikendalikan oleh hal-hal yang berbau syirik. Mereka percaya pada Allah, tapi ada tapinya yaitu masih menggunakan cara lain untuk menduakan Allah. Yaitu memakai cara-cara diluar logika. Mungkin tidak hanya tukang roti namun juga ibu-ibu yang mempunyai bayi mempunyai tradisi untuk menjaga si bayi dari gangguan jin dan syetan yang berwujud drakula penghisap darah, maka diletakkanlah cermin dan bawa putih yang disematkan di baju sang bayi.
Ada juga yang memakai benang-benang tertentu yang dituliskan ayat-ayat alqu’ran. Kemudian ada juga yang meletakkan gunting di bawah bantal saat si ibu hamil. Banyak sekali hal –hal seperti itu kita masih jumpai dalam masyarkat. Kebiasan-kebiasan tersebut sudah turun-temurun dilakukan oleh para tetua dulu, mungkin sampai pada ibu kita dan kita kalau kita tidak berusaha mencari cara beakidah yang benar.
Ya., Allah potret kehidupan manusia yang mengaku mengagungkan Engkau namun masih saja memakai cara lain untuk menduakan Engkau. Allah sendiri mengatakan dalam Al-quran bahwa berdo’a lah padaKU niscaya akan Aku kabulkan. Sebetulnya dari pengertian ayat –ayat ini tentunya kita bisa memahami bahwa kita bisa meminta langsung pada Allah tidak perlu memakai perantara mbah dukun, benda-benda keramat atau istilah kerennya pake orang pintar. Karena Allah Maha Mendengar dan Maha mengetahui.
Kita sering kali terjebak dengan rayuan-rayuan syetan yang menawarkan cara-cara pintas dalam berikhtiar kepada Allah. Meskipun hal itu di luar logika manusia. Bahkan bagi orang yang memiliki intelektual sekalipun masih saja terjebak dalam menggunakan jalan syetan untuk meraih sesuatu yang di inginkan. Penggunaan orang-orang pintar yang berkedok memakai ayat-ayat Alqur’an.
Bahkan ketika musim pemilu. Para pejabatpun ramai-ramai mendatangi orang pintar untuk dicarikan jalan supaya menang dalam meraih jabatannya. Ada juga masalah jodoh, masalah kekayaan, bahkan ketika sakitpun kita bisa kalah dalam memilih jalan yang di ridhoi Allah karena keinginan untuk sembuh yang luar biasa. Maka kita memilih jalan apapun yang penting sembuh Kita tidak menseleksi terlebih dahulu apakah cara yang kita pakai menyalahi sya’riat atau tidak.
Syirik-syirik kecil maupun syirik besar masih saja bersemayam dalam diri kita tanpa kita sadari atau tidak. Seperti contohnya yang dilakukan si abang tukang roti tadi. Meskipun ia percaya bahwa Allah yang memberikan rizki, menjaga rizki dan mengambilnya kembali. Meskipun ia sudah menunaikan sholat dan ibadah ritual. Tapi esensi ibadah itulah yang belum mendarah daging dalam diri kita sehingga kita masih mudah digoyahkan oleh sesuatu yang merusak aqidah kita kepada Allah SWT.
Kalau kita cermati dengan baik perbuatan-perbuatan seperti tadi masih banyak bertebaran dalam masyarakat. Tidak perduli ia orang yang memiliki berilmu tinggi, orang yang punya jabatan prestisius di kantor atau perusahaannya, atau orang jebolan sekolah agama sekalipun bisa tertipu dengan perbuatan – perbuatan syirik seperti ini.
Apakah kita juga termasuk dalam bagian orang-orang yang masih menduakan Allah?. Tentunya jawaban itu ada dalam diri kita masing-masing. Semoga Allah senantiasa menuntun kita ke jalan yang lurus yang diridhoi-NYA.
oleh Elvira Suryani
http://eramuslim.com/oase-iman/masih-adakah-sifat-syirik-dalam-diri-kita.htm
Seputar Bid’ah
Soal: pada satu pertemuan kami mendiskusikan masalah bid’ah secara istilah. Sebagian dari kami mengatakan bahwa bid’ah itu mencakup semua bentuk yang menyalahi ketentuan asy-Syâri’. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud bid’ah itu hanya penyimpangan ketentuan asy-Syâri’ dalam ibadah… Kami mohon penjelasan masalah ini? Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda.
Jawab:
Perintah-perintah asy-Syâri’ itu ada dua jenis:
Jenis pertama, dinyatakan redaksi perintah disertai penjelasan tata cara menunaikan perintah tersebut, yaitu langkah-langkah praktis untuk mengimplementasikan. Misalnya Allah SWT berfirman:
Dan dirikanlah shalat (QS al-Baqarah [2]: 43)
Ini adalah redaksi perintah. Akan tetapi manusia tidak dibiarkan untuk shalat sesuai keinginannya, melainkan datang nash-nash lain yang menjelaskan tata cara menunaikan shalat mulai takbiratul ihram, berdiri, membaca al-Fatihah, ruku’, I’idal, sujud… Demikian juga Allah berfirman:
dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (QS Ali ‘Imran [3]: 97)
ini adalah redaksi perintah untuk menunaikan haji “berupa redaksi berita dalam makna tuntutan”, kemudian terdapat nash-nash yang menjelaskan tata cara menunaikan perintah berhaji itu…
Jenis kedua, dinyatakan redaksi perintah yang bersifat umum atau mutlak tanpa disertai penjelasan tata cara menunaikannya. Artinya tanpa penjelasan langkah-langkah praktis untuk menunaikannya.
Misalnya sabda Rasulullah saw:
Siapa saja yang melakukan salaf pada sesuatu hendaklah dalam takaran dan timbangan tertentu sampai jangka waktu tertentu (HR Bukhari)
Di sini terdapat perintah melakukan jual beli salam “salaf” dengan redaksi kalimat syarat. Beliau memerintahkan agar jual beli salam itu dilakukan pada takaran, timbangan, dan jangka waktu tertentu. Akan tetapi asy-Syâri’ tidak menjelaskan tata cara langkah-angkah pelaksanaannya, seperti dua orang yang berakad hendaknya duduk berhadapan, dan membaca sesuatu dari al-Quran, kemudian melangkah ke depan, saling memeluk satu sama lain, kemudian saling menyeru dalam masalah jual beli salam … dan setelah itu baru dilakukan ijab dan qabul…
Contoh lain, sabda Rasulullah saw:
Emas dengan emas adalah riba kecuali tunai (HR Muslim)
Emas dengan emas harus sama, dirham dengan dirham harus sama (HR Bukhari dan Muslim)
Ini merupakan perintah “redaksi berita dalam makna tuntutan”. Akan tetapi tidak dijelaskan tata cara langkah-langkah praktis untuk pertukran itu seperti yang kami sebutkan sebelumnya.
Contoh lainnya, telah sahih bahwa Rasul saw telah memerintahkan untuk berdiri ketika ada jenazah yang lewat. Akan tetapi Beliau tidak menjelaskan tata cara langkah-langkah praktis berdiri itu seperti yang kami jelaskan pada contoh pertama.
Begitulah, jadi terdapat perintah-perintah asy-Syâri’ dan bersamanya dinyatakan pula langkah-langkah praktis untuk menunaikannya. Dan juga terdapat perintah-perintah asy-Syâri’ yang dinyatakan secara mutlak atau secara umum tanpa disertai langkah-langkah praktis terperinci tata cara menunaikannya.
Penyimpangan perintah asy-Syâri’ yang untuknya dinyatakan tata cara penunaiannya secara istilah disebut bid’ah, karena dilakukan tidak menurut tata cara yang telah dijelaskan oleh asy-Syâri’.
Jadi bid’ah secara bahasa seperti dinyatakan di dalam Lisân al-‘Arab: orang yang mengada-adakan (al-mubtadi’) adalah orang yang mendatangkan suatu perkara yang belum pernah ada contohnya… Mengada-adakan sesuatu (abda’at asy-syay’a): membuatnya tidak berdasarkan contoh sebelumnya.
Dan bid’ah secara istilah demikian pula, yaitu penyimpangan tata cara syar’i yang telah dijelaskan oleh syara’ untuk menunaikan suatu perintah syar’i. Dan ini adalah makna yang ditunjukkan oleh hadis berikut.
Siapa saja yang melakukan satu perbuatan yang tidak ada ketentuan kami tentangnya maka tertolak (HR Bukhari dan Muslim)
Begitulah, jika orang bersujud tiga kali di dalam shalatnya, bukannya dua kali saja, maka itu bid’ah. Siapa saja yang melempar jumrah di Mina sebanyak delapan lemparan bukannya tujuh lemparan maka ia telah melakukan bid’ah… Dan semua bid’ah merupakan kesesatan, dan setiap kesesatan di dalam neraka, yaitu bahwa dia berdosa karena perbuatannya itu.
Menyalahi perintah syara’ yang tidak memiliki tata cara tertentu, maka itu masuk di dalam cakupan hukum-hukum syara’. Jadi dikatakan ia haram, atau makruh, atau mubah jika berupa seruan taklif (khithâb at-taklîf). Atau dikatakan batil atau fasid … jika berupa seruan wadh’i (khithâb al-Wadh’i). Hal itu sesuai indikasi (qarinah) yang menyertai perintah tersebut dari sisi tegas, penguatan atau pilihan.
Pada contoh kami yang pertama, siapa yang melakukan salaf “yaitu mengakadkan akad salam” dengan menyalahi perintah asy-Syâri’ yaitu tanpa takaran, timbangan dan tempo tertentu, maka tidak dikatakan bahwa dia melakukan bid’ah. Melainkan dikatakan bahwa akad yang menyalahi perintah asy-Syâri’ tersebut adalah batil atau fasid sesuai jenis penyimpangannya.
Pada contoh kedua, jika menyalahi perintah asy-Syâri’ “emas dengan emas kontan dan sama”, yaitu seandainya seorang laki-laki mempertukarkan emas dengan emas dengan cara menyalahi perintah asy-Syâri’ yaitu tidak sama dan tidak kontan, maka tidak dikatakan bahwa ia mendatangkan bid’ah karena menyalahi perintah tersebut. Melainkan dikatakan ia melakukan keharaman dengan melakukan muamalah ribawi.
Juga menyalahi perintah berdiri ketika ada jenazah lewat dan ia tetap duduk, tidak dikatakan bahwa itu bid’ah. Tetapi dikatakan bahwa itu adalah mubah karena nash-nash syara’ menyatakan dua kondisi. Imam Muslim mengeluarkan hadis dari Ali bin Abi Thalib ra., ia berkata:
Rasulullah saw berdiri kemudian Beliau duduk (HR Muslim)
Begitu pula terkait penyimpangan perintah asy-Syâri’:
Pilihlah yang memiliki kebaikan agama niscaya engkau akan selamat (HR Bukhari)
Penyimangan terhadap perintah ini tidak dikatakan sebagai bid’ah. Akan tetapi dipelajari hukum syara’ berkaitan dengan pernikahan dengan wanita yang tidak memiliki kebaikan agama. Hal itu karena tidak dijelaskan langkah-langkah praktis dalam memilih, misalnya apakah orang yang meminang itu berdiri di depan wanita itu, membaca ayat kursi, lalu melangkah ke depan satu langkah dan membaca surat al-Falaq dan an-Nas, kemudian melangkah satu langkah lagi dan membaca basmalah, kemudian mengulurkan tangan kanannya dan menyampaikan pinangan…
Demikian juga sabda Rasul saw:
Wahai para pedagang sesungguhnya jual beli ini dihadiri oleh ungkapan berlebihan dan sumpah maka siramlah dengan sedekah (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Sabda itu Beliau sampaikan kepada para pedagang akibat mereka banyak bersumpah. Maka asy-Syâri’ tidak menjelaskan langkah-langkah rinci untuk menunaikan perintah “siramlah”. Atas dasar itu maka tidak dikatakan bahwa siapa yang menjual dan menggunakan sumpah, jika ia tidak jujur, tidak dikatakan bahwa ia telah mendatangkan bid’ah. Melainkan dipelajari hukum syara’ berkaitan dengan ketidakjujuran pedagang yang mengucapkan sumpah pada saat berjual beli itu.
Begitulah berkaitan dengan penyimpangan perintah-perintah yang asy-Syâri’ tidak mendatangkan tata caranya secara terperinci untuk menunaikannya.
Dengan melakukan elaborasi terhadap nash-nash syara’ didapati bahwa pada sebagian besar ibadah dinyatakan tata cara untuk menunaikan perintah asy-Syâri’ tersebut, yaitu langkah-langkah praktis untuk menerapkan perintah asy-Syâri’ itu. Karena itu bid’ah tidak terjadi dalam selain ibadah. Karena hanya ibadah sajalah yang di dalamnya dinyatakan langkah-langkah praktis untuk menerapkan perintah asy-Syâri’.
Kami katakan sebagian besar ibadah, karena sebagian ibadah, tentangnya tidak dinyatakan langkah-langkah praktis implementasinya. Misalnya, jihad. Meski jihad adalah ibadah, namun perintah-perintahnya dinyatakan secara mutlak atau bersiat umum.
Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu (QS at-Tawbah [9]: 123)
Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. (QS at-Tawbah [9]: 73)
Perintah-perintah tersebut tidak terdapat nash-nash yang menjelaskan tata cara pelaksanaannya. Tidak terdapat misalnya tata cara memerangi itu seperti apa, misalnya dengan membaca ayat-ayat, mengirimkan pengintai, melangkah satu langkah ke depan, kemudian bergerak ke kanan … begitulah. Karena itu, siapa saja yang tidak berjihad pada waktu yang ditetapkan untuk berjihad, tidak dikatakan ia mendatangkan bid’ah. Melainkan dikatakan ia melakukan keharaman karena tidak turut berjihad.
Ringkasnya bahwa penyimpangan perintah asy-Syâri’ yang asy-Syâri’ jelaskan tata cara penunaiannya, maka penyimpangan itu merupakan bid’ah. Sedangkan penyimpangan perintah asy-Syâri’ yang bersifat mutlak atau bersifat umum, yang asy-Syâri’ tidak menjelaskan tata cara penunaiannya maka penyimpangan itu terjadi pada hukum syara’ “taklif –haram, makruh, mubah” atau “wadh’iy –batil, fasad”.
Dan karena dengan melakukan elaborasi ditemukan bahwa kebanyakan ibadah di dalamnya dinyatakan tata cara penunaiannya, atas dasar itu penyimpangan yang terjadi di dalam ibadah masuk dalam kategori bid’ah.
Sedangkan dalil-dalil mumalah atau jihad… maka dinyatakan secara mutlak atau umum, atas dasar itu penyimpangan yang terjadi di dalamnya masuk dalam bab hukum syara’ “taklif: haram, makruh, mubah” atau “wadh’iy: batil, fasad”.
http://syiar-islam.com/?p=31
Jawab:
Perintah-perintah asy-Syâri’ itu ada dua jenis:
Jenis pertama, dinyatakan redaksi perintah disertai penjelasan tata cara menunaikan perintah tersebut, yaitu langkah-langkah praktis untuk mengimplementasikan. Misalnya Allah SWT berfirman:
Dan dirikanlah shalat (QS al-Baqarah [2]: 43)
Ini adalah redaksi perintah. Akan tetapi manusia tidak dibiarkan untuk shalat sesuai keinginannya, melainkan datang nash-nash lain yang menjelaskan tata cara menunaikan shalat mulai takbiratul ihram, berdiri, membaca al-Fatihah, ruku’, I’idal, sujud… Demikian juga Allah berfirman:
dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (QS Ali ‘Imran [3]: 97)
ini adalah redaksi perintah untuk menunaikan haji “berupa redaksi berita dalam makna tuntutan”, kemudian terdapat nash-nash yang menjelaskan tata cara menunaikan perintah berhaji itu…
Jenis kedua, dinyatakan redaksi perintah yang bersifat umum atau mutlak tanpa disertai penjelasan tata cara menunaikannya. Artinya tanpa penjelasan langkah-langkah praktis untuk menunaikannya.
Misalnya sabda Rasulullah saw:
Siapa saja yang melakukan salaf pada sesuatu hendaklah dalam takaran dan timbangan tertentu sampai jangka waktu tertentu (HR Bukhari)
Di sini terdapat perintah melakukan jual beli salam “salaf” dengan redaksi kalimat syarat. Beliau memerintahkan agar jual beli salam itu dilakukan pada takaran, timbangan, dan jangka waktu tertentu. Akan tetapi asy-Syâri’ tidak menjelaskan tata cara langkah-angkah pelaksanaannya, seperti dua orang yang berakad hendaknya duduk berhadapan, dan membaca sesuatu dari al-Quran, kemudian melangkah ke depan, saling memeluk satu sama lain, kemudian saling menyeru dalam masalah jual beli salam … dan setelah itu baru dilakukan ijab dan qabul…
Contoh lain, sabda Rasulullah saw:
Emas dengan emas adalah riba kecuali tunai (HR Muslim)
Emas dengan emas harus sama, dirham dengan dirham harus sama (HR Bukhari dan Muslim)
Ini merupakan perintah “redaksi berita dalam makna tuntutan”. Akan tetapi tidak dijelaskan tata cara langkah-langkah praktis untuk pertukran itu seperti yang kami sebutkan sebelumnya.
Contoh lainnya, telah sahih bahwa Rasul saw telah memerintahkan untuk berdiri ketika ada jenazah yang lewat. Akan tetapi Beliau tidak menjelaskan tata cara langkah-langkah praktis berdiri itu seperti yang kami jelaskan pada contoh pertama.
Begitulah, jadi terdapat perintah-perintah asy-Syâri’ dan bersamanya dinyatakan pula langkah-langkah praktis untuk menunaikannya. Dan juga terdapat perintah-perintah asy-Syâri’ yang dinyatakan secara mutlak atau secara umum tanpa disertai langkah-langkah praktis terperinci tata cara menunaikannya.
Penyimpangan perintah asy-Syâri’ yang untuknya dinyatakan tata cara penunaiannya secara istilah disebut bid’ah, karena dilakukan tidak menurut tata cara yang telah dijelaskan oleh asy-Syâri’.
Jadi bid’ah secara bahasa seperti dinyatakan di dalam Lisân al-‘Arab: orang yang mengada-adakan (al-mubtadi’) adalah orang yang mendatangkan suatu perkara yang belum pernah ada contohnya… Mengada-adakan sesuatu (abda’at asy-syay’a): membuatnya tidak berdasarkan contoh sebelumnya.
Dan bid’ah secara istilah demikian pula, yaitu penyimpangan tata cara syar’i yang telah dijelaskan oleh syara’ untuk menunaikan suatu perintah syar’i. Dan ini adalah makna yang ditunjukkan oleh hadis berikut.
Siapa saja yang melakukan satu perbuatan yang tidak ada ketentuan kami tentangnya maka tertolak (HR Bukhari dan Muslim)
Begitulah, jika orang bersujud tiga kali di dalam shalatnya, bukannya dua kali saja, maka itu bid’ah. Siapa saja yang melempar jumrah di Mina sebanyak delapan lemparan bukannya tujuh lemparan maka ia telah melakukan bid’ah… Dan semua bid’ah merupakan kesesatan, dan setiap kesesatan di dalam neraka, yaitu bahwa dia berdosa karena perbuatannya itu.
Menyalahi perintah syara’ yang tidak memiliki tata cara tertentu, maka itu masuk di dalam cakupan hukum-hukum syara’. Jadi dikatakan ia haram, atau makruh, atau mubah jika berupa seruan taklif (khithâb at-taklîf). Atau dikatakan batil atau fasid … jika berupa seruan wadh’i (khithâb al-Wadh’i). Hal itu sesuai indikasi (qarinah) yang menyertai perintah tersebut dari sisi tegas, penguatan atau pilihan.
Pada contoh kami yang pertama, siapa yang melakukan salaf “yaitu mengakadkan akad salam” dengan menyalahi perintah asy-Syâri’ yaitu tanpa takaran, timbangan dan tempo tertentu, maka tidak dikatakan bahwa dia melakukan bid’ah. Melainkan dikatakan bahwa akad yang menyalahi perintah asy-Syâri’ tersebut adalah batil atau fasid sesuai jenis penyimpangannya.
Pada contoh kedua, jika menyalahi perintah asy-Syâri’ “emas dengan emas kontan dan sama”, yaitu seandainya seorang laki-laki mempertukarkan emas dengan emas dengan cara menyalahi perintah asy-Syâri’ yaitu tidak sama dan tidak kontan, maka tidak dikatakan bahwa ia mendatangkan bid’ah karena menyalahi perintah tersebut. Melainkan dikatakan ia melakukan keharaman dengan melakukan muamalah ribawi.
Juga menyalahi perintah berdiri ketika ada jenazah lewat dan ia tetap duduk, tidak dikatakan bahwa itu bid’ah. Tetapi dikatakan bahwa itu adalah mubah karena nash-nash syara’ menyatakan dua kondisi. Imam Muslim mengeluarkan hadis dari Ali bin Abi Thalib ra., ia berkata:
Rasulullah saw berdiri kemudian Beliau duduk (HR Muslim)
Begitu pula terkait penyimpangan perintah asy-Syâri’:
Pilihlah yang memiliki kebaikan agama niscaya engkau akan selamat (HR Bukhari)
Penyimangan terhadap perintah ini tidak dikatakan sebagai bid’ah. Akan tetapi dipelajari hukum syara’ berkaitan dengan pernikahan dengan wanita yang tidak memiliki kebaikan agama. Hal itu karena tidak dijelaskan langkah-langkah praktis dalam memilih, misalnya apakah orang yang meminang itu berdiri di depan wanita itu, membaca ayat kursi, lalu melangkah ke depan satu langkah dan membaca surat al-Falaq dan an-Nas, kemudian melangkah satu langkah lagi dan membaca basmalah, kemudian mengulurkan tangan kanannya dan menyampaikan pinangan…
Demikian juga sabda Rasul saw:
Wahai para pedagang sesungguhnya jual beli ini dihadiri oleh ungkapan berlebihan dan sumpah maka siramlah dengan sedekah (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Sabda itu Beliau sampaikan kepada para pedagang akibat mereka banyak bersumpah. Maka asy-Syâri’ tidak menjelaskan langkah-langkah rinci untuk menunaikan perintah “siramlah”. Atas dasar itu maka tidak dikatakan bahwa siapa yang menjual dan menggunakan sumpah, jika ia tidak jujur, tidak dikatakan bahwa ia telah mendatangkan bid’ah. Melainkan dipelajari hukum syara’ berkaitan dengan ketidakjujuran pedagang yang mengucapkan sumpah pada saat berjual beli itu.
Begitulah berkaitan dengan penyimpangan perintah-perintah yang asy-Syâri’ tidak mendatangkan tata caranya secara terperinci untuk menunaikannya.
Dengan melakukan elaborasi terhadap nash-nash syara’ didapati bahwa pada sebagian besar ibadah dinyatakan tata cara untuk menunaikan perintah asy-Syâri’ tersebut, yaitu langkah-langkah praktis untuk menerapkan perintah asy-Syâri’ itu. Karena itu bid’ah tidak terjadi dalam selain ibadah. Karena hanya ibadah sajalah yang di dalamnya dinyatakan langkah-langkah praktis untuk menerapkan perintah asy-Syâri’.
Kami katakan sebagian besar ibadah, karena sebagian ibadah, tentangnya tidak dinyatakan langkah-langkah praktis implementasinya. Misalnya, jihad. Meski jihad adalah ibadah, namun perintah-perintahnya dinyatakan secara mutlak atau bersiat umum.
Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu (QS at-Tawbah [9]: 123)
Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. (QS at-Tawbah [9]: 73)
Perintah-perintah tersebut tidak terdapat nash-nash yang menjelaskan tata cara pelaksanaannya. Tidak terdapat misalnya tata cara memerangi itu seperti apa, misalnya dengan membaca ayat-ayat, mengirimkan pengintai, melangkah satu langkah ke depan, kemudian bergerak ke kanan … begitulah. Karena itu, siapa saja yang tidak berjihad pada waktu yang ditetapkan untuk berjihad, tidak dikatakan ia mendatangkan bid’ah. Melainkan dikatakan ia melakukan keharaman karena tidak turut berjihad.
Ringkasnya bahwa penyimpangan perintah asy-Syâri’ yang asy-Syâri’ jelaskan tata cara penunaiannya, maka penyimpangan itu merupakan bid’ah. Sedangkan penyimpangan perintah asy-Syâri’ yang bersifat mutlak atau bersifat umum, yang asy-Syâri’ tidak menjelaskan tata cara penunaiannya maka penyimpangan itu terjadi pada hukum syara’ “taklif –haram, makruh, mubah” atau “wadh’iy –batil, fasad”.
Dan karena dengan melakukan elaborasi ditemukan bahwa kebanyakan ibadah di dalamnya dinyatakan tata cara penunaiannya, atas dasar itu penyimpangan yang terjadi di dalam ibadah masuk dalam kategori bid’ah.
Sedangkan dalil-dalil mumalah atau jihad… maka dinyatakan secara mutlak atau umum, atas dasar itu penyimpangan yang terjadi di dalamnya masuk dalam bab hukum syara’ “taklif: haram, makruh, mubah” atau “wadh’iy: batil, fasad”.
http://syiar-islam.com/?p=31
Alam Kubur
Manusia adalah makhluk Allah swt. yang diciptakan dari tanah (at-turab) dan ruh. Allah swt. membekalinya dengan hati, akal, dan jasad sehingga manusia memiliki tekad (al-‘azmu), ilmu dan amal. Dengan berbekal ketiganya manusia diberi amanah oleh Allah swt., sebuah amanah yang makhluk-makhluk lain yang jauh lebih besar dari manusia, seperti langit, bumi dan gunung-gunung, menolak untuk menerimanya (Al-Ahzab: 72). Amanah yang diterima manusia berupa ibadah (Adz-Dzariyat: 56) yang merupakan tujuan penciptaannya dan khilafah (Al-Baqarah: 30) yang merupakan fungsi manusia di dunia. Kedua amanah ini kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hari akhir.
Sesungguhnya manusia hidup bukan hanya di dunia saja, tetapi telah menjalani kehidupan lain sebelum ke dunia dan akan menjalani kehidupan lainnya lagi setelah di dunia. Itulah tahapan-tahapan kehidupan manusia. Allah swt. berfirman:
كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللهِ وَكُنْتُمْ اَمْوَاتًا فَاَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati(1), lalu Allah menghidupkan kamu(2), kemudian kamu dimatikan(3) dan dihidupkan-Nya kembali(4), kemudian kepada-Nya-lah kamu(5).” (Al-Baqarah: 28)
Secara garis besar penjelasan ayat di atas ditunjukkan oleh Tabel 1.
Tabel 1, Mengapa kamu kafir kepada Allah?
Secara lebih rinci, seluruh tahapan kehidupan yang telah dan akan dialami manusia ditunjukkan oleh Tabel 2. Seluruh manusia akan mengalami 14 (empat belas) alam, dari alam ruh hingga surga atau neraka. sebelas alam di antaranya adalah alam setelah manusia mati. Sungguh perjalanan yang sangat panjang menuju surga atau neraka.
Tabel 2 Seluruh tahapan kehidupan manusia
Alam Kubur (Al-Barzakh)
Alam kubur disebut juga alam barzakh (dinding), karena kubur adalah dinding yang memisahkan antara dunia dan akhirat. Di dalam Al-Qur’an kata “barzakh” disebut di tiga ayat, yaitu Al-Mu’minuun: 100, Al-Furqaan: 53, dan Ar-Rahmaan: 20. Barzakh yang bermakna kubur terdapat pada surat Al-Mu’minuun: 100. Allah swt. berfirman, “Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” Sedangkan surat Al-Qurqaan: 53 dan Ar-Rahmaan: 20 berkaitan dengan dinding pemisah antara dua lautan.
Allah swt. banyak menyebutkan tentang kubur di dalam Al-Qur’an baik secara eksplisit maupun implisit, begitu pula Rasulullah saw. di dalam haditsnya yang mulia. Firman Allah swt. tentang alam kubur:
“Dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” (Al-Hajj: 7)
“Dan tidak sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (Faathir: 22)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.” (Al-Mumtahanah: 13)
“Pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala.” (70:43)
“Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur.” (‘Abasa: 21)
“Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur.” (Al-’Aadiyat: 9)
“Sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (At-Takaatsur: 2)
“Yaitu pada hari Dia memanggil kamu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja.” (Al-Israa’: 52)
“Dan janganlah sekali-kali kamu menshalati (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (At-Taubah: 84)
“Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” (Al-Mu’minuun: 16)
“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Apakah setelah kita menjadi tanah dan (begitu pula) bapak-bapak kita; apakah sesungguhnya kita akan dikeluarkan (dari kubur)?” (An-Naml: 67)
“Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).” (az-Zukhruuf: 11)
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang dari kamu berada dalam keadaan tasyahhud, maka hendaklah dia memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara dengan berdoa: yang bermaksud: Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon perlindungan kepadaMu dari siksaan Neraka Jahannam, dari siksa Kubur, dari fitnah semasa hidup dan selepas mati serta dari kejahatan fitnah Dajjal.”
Dalam Lu’lu’ wal Marjan hadits no. 1822 – 1826 disebutkan sabda Nabi saw., “Sesungguhnya seorang jika mati, diperlihatkan kepadanya tempatnya tiap pagi dan sore. Jika ahli surga, maka diperlihatkan surga, dan bila ia ahli nereka (maka diperlihatkan neraka). Maka diberitahu: Itulah tempatmu kelak jika Allah membangkitkanmu di hari kiamat.” (Bukhari dan Muslim)
“Nabi saw. keluar ketika matahari hampir terbenam, lalu beliau mendengar suara, maka bersabda: Orang Yahudi sedang disiksa dalam kuburnya.” (Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya seorang hamba jika diletakkan dalam kuburnya dan ditinggal oleh kawan-kawannya, maka didatangi dua malaikat, lalu mendudukannya keduanya dan menanyakan: Apakah pendapatmu terhadap orang itu (Muhammad saw.)? Adapun orang beriman maka menjawab, ‘Aku bersaksi bahwa dia hamba Allah dan utusanNya.’ Lalu diberitahu: Lihatlah tempatmu di api neraka, Allah telah mengganti untukmu tempat di sorga, lalu dapat melihat keduanya.” (Bukhari dan Muslim)
“Seorang mukmin jika didudukkan dalam kuburnya, didatangi dua malaikat, kemudian dia mengucapkan, ‘Asyhadu an laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah’ maka itulah arti firman Allah, ‘Allah akan menetapkan orang yang beriman dengan kalimat yang kokoh (Ibrahim: 27)’.” (Bukhari dan Muslim)
“Ketika selesai Perang Badr, Nabi saw. menyuruh supaya melemparkan dua puluh empat tokoh Quraisy dalam satu sumur di Badr yang sudah rusak. Dan biasanya Nabi saw. jika menang pada suatu kaum maka tinggal di lapangan selama tiga hari, dan pada hari ketiga seusai Perang Badr itu, Nabi saw. menyuruh mempersiapkan kendaraannya, dan ketika sudah selesai beliau berjalan dan diikuti oleh sahabatnya, yang mengira Nabi akan berhajat. Tiba-tiba beliau berdiri di tepi sumur lalu memanggil nama-nama tokoh-tokoh Quraisy itu: Ya Fulan bin Fulan, ya Fulan bin Fulan, apakah kalian suka sekiranya kalian taat kepada Allah dan Rasulullah, sebab kami telah merasakan apa yang dijanjikan Tuhan kami itu benar, apakah kalian juga merasakan apa yang dijanjikan Tuhanmu itu benar? Maka Nabi ditegur oleh Umar: Ya Rasulallah, mengapakah engkau bicara dengan jasad yang tidak bernyawa? Jawab Nabi: Demi Allah yang jiwaku di TanganNya, kalian tidak lebih mendengar terhadap suaraku ini dari mereka.” (Bukhari dan Muslim)
http://www.dakwatuna.com/2008/alam-kubur/
Sesungguhnya manusia hidup bukan hanya di dunia saja, tetapi telah menjalani kehidupan lain sebelum ke dunia dan akan menjalani kehidupan lainnya lagi setelah di dunia. Itulah tahapan-tahapan kehidupan manusia. Allah swt. berfirman:
كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللهِ وَكُنْتُمْ اَمْوَاتًا فَاَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati(1), lalu Allah menghidupkan kamu(2), kemudian kamu dimatikan(3) dan dihidupkan-Nya kembali(4), kemudian kepada-Nya-lah kamu(5).” (Al-Baqarah: 28)
Secara garis besar penjelasan ayat di atas ditunjukkan oleh Tabel 1.
Tabel 1, Mengapa kamu kafir kepada Allah?
Secara lebih rinci, seluruh tahapan kehidupan yang telah dan akan dialami manusia ditunjukkan oleh Tabel 2. Seluruh manusia akan mengalami 14 (empat belas) alam, dari alam ruh hingga surga atau neraka. sebelas alam di antaranya adalah alam setelah manusia mati. Sungguh perjalanan yang sangat panjang menuju surga atau neraka.
Tabel 2 Seluruh tahapan kehidupan manusia
Alam Kubur (Al-Barzakh)
Alam kubur disebut juga alam barzakh (dinding), karena kubur adalah dinding yang memisahkan antara dunia dan akhirat. Di dalam Al-Qur’an kata “barzakh” disebut di tiga ayat, yaitu Al-Mu’minuun: 100, Al-Furqaan: 53, dan Ar-Rahmaan: 20. Barzakh yang bermakna kubur terdapat pada surat Al-Mu’minuun: 100. Allah swt. berfirman, “Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” Sedangkan surat Al-Qurqaan: 53 dan Ar-Rahmaan: 20 berkaitan dengan dinding pemisah antara dua lautan.
Allah swt. banyak menyebutkan tentang kubur di dalam Al-Qur’an baik secara eksplisit maupun implisit, begitu pula Rasulullah saw. di dalam haditsnya yang mulia. Firman Allah swt. tentang alam kubur:
“Dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” (Al-Hajj: 7)
“Dan tidak sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (Faathir: 22)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.” (Al-Mumtahanah: 13)
“Pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala.” (70:43)
“Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur.” (‘Abasa: 21)
“Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur.” (Al-’Aadiyat: 9)
“Sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (At-Takaatsur: 2)
“Yaitu pada hari Dia memanggil kamu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja.” (Al-Israa’: 52)
“Dan janganlah sekali-kali kamu menshalati (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (At-Taubah: 84)
“Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” (Al-Mu’minuun: 16)
“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Apakah setelah kita menjadi tanah dan (begitu pula) bapak-bapak kita; apakah sesungguhnya kita akan dikeluarkan (dari kubur)?” (An-Naml: 67)
“Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).” (az-Zukhruuf: 11)
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang dari kamu berada dalam keadaan tasyahhud, maka hendaklah dia memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara dengan berdoa: yang bermaksud: Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon perlindungan kepadaMu dari siksaan Neraka Jahannam, dari siksa Kubur, dari fitnah semasa hidup dan selepas mati serta dari kejahatan fitnah Dajjal.”
Dalam Lu’lu’ wal Marjan hadits no. 1822 – 1826 disebutkan sabda Nabi saw., “Sesungguhnya seorang jika mati, diperlihatkan kepadanya tempatnya tiap pagi dan sore. Jika ahli surga, maka diperlihatkan surga, dan bila ia ahli nereka (maka diperlihatkan neraka). Maka diberitahu: Itulah tempatmu kelak jika Allah membangkitkanmu di hari kiamat.” (Bukhari dan Muslim)
“Nabi saw. keluar ketika matahari hampir terbenam, lalu beliau mendengar suara, maka bersabda: Orang Yahudi sedang disiksa dalam kuburnya.” (Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya seorang hamba jika diletakkan dalam kuburnya dan ditinggal oleh kawan-kawannya, maka didatangi dua malaikat, lalu mendudukannya keduanya dan menanyakan: Apakah pendapatmu terhadap orang itu (Muhammad saw.)? Adapun orang beriman maka menjawab, ‘Aku bersaksi bahwa dia hamba Allah dan utusanNya.’ Lalu diberitahu: Lihatlah tempatmu di api neraka, Allah telah mengganti untukmu tempat di sorga, lalu dapat melihat keduanya.” (Bukhari dan Muslim)
“Seorang mukmin jika didudukkan dalam kuburnya, didatangi dua malaikat, kemudian dia mengucapkan, ‘Asyhadu an laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah’ maka itulah arti firman Allah, ‘Allah akan menetapkan orang yang beriman dengan kalimat yang kokoh (Ibrahim: 27)’.” (Bukhari dan Muslim)
“Ketika selesai Perang Badr, Nabi saw. menyuruh supaya melemparkan dua puluh empat tokoh Quraisy dalam satu sumur di Badr yang sudah rusak. Dan biasanya Nabi saw. jika menang pada suatu kaum maka tinggal di lapangan selama tiga hari, dan pada hari ketiga seusai Perang Badr itu, Nabi saw. menyuruh mempersiapkan kendaraannya, dan ketika sudah selesai beliau berjalan dan diikuti oleh sahabatnya, yang mengira Nabi akan berhajat. Tiba-tiba beliau berdiri di tepi sumur lalu memanggil nama-nama tokoh-tokoh Quraisy itu: Ya Fulan bin Fulan, ya Fulan bin Fulan, apakah kalian suka sekiranya kalian taat kepada Allah dan Rasulullah, sebab kami telah merasakan apa yang dijanjikan Tuhan kami itu benar, apakah kalian juga merasakan apa yang dijanjikan Tuhanmu itu benar? Maka Nabi ditegur oleh Umar: Ya Rasulallah, mengapakah engkau bicara dengan jasad yang tidak bernyawa? Jawab Nabi: Demi Allah yang jiwaku di TanganNya, kalian tidak lebih mendengar terhadap suaraku ini dari mereka.” (Bukhari dan Muslim)
http://www.dakwatuna.com/2008/alam-kubur/
Sang Ibu
dakwatuna.com – Malam itu, malam tahun baru 1431 hijriah. Aku diundang untuk mengisi muhasabah di masjid Al-Ittihad Tebet Jakarta Selatan bersama seorang penyair terkemuka Bapak Taufik Ismail. Ini untuk yang kedua kalinya aku bersama Pak Taufik setelah sebelumnya aku bersama beliau diundang untuk acara muhasabah 60 tahun Bakrie di Rasuna Said. Seperti biasanya Pak Taufik membacakan puisinya. Di antara puisi yang beliau bacakan ada satu puisi tentang ibu.
Aku tidak ingat secara harfiah isi puisi tersebut, tetapi aku terkesan dengan kedalaman isinya dalam menggambarkan betapa tak terhingga kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Karenanya banyak para penyair menulis puisi tentang ibu. Di antara juga yang pernah saya baca D. Zawawi Imran. Aku masih ingat sebagian ungkapan yang ditulis Pak Zawawi. Di antaranya: ”Seandainya aku ikut ujian, dan aku ditanya tentang pahlawan, akan ku jawab ibuku.”
Benar, ibu adalah pahlawan. Tidak ada seorang pun yang paling berjasa kepada kemanusiaan melebihi jasa seorang ibu. Karenanya dalam Al-Qur’an Allah swt. tidak segan menceritakan perih dan lelah seorang ibu saat hamil dan menyusui. Dalam surah Luqman:14, Allah berfirman: ”Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
Perhatikan ayat ini, dibuka dengan perintah agar berbuat baik kepada ibu bapaknya, setelah itu Allah menceritakan secara khusus tentang capeknya seorang ibu ketika mengandung anaknya. Sementara capeknya ayah tidak diceritakan. Silahkan cari dalam Al-Qur’an maupun hadits kalau pernah disebut mengenai capeknya seorang ayah. Sungguh hanya sang ibu yang banyak disebut. Bahkan dalam sebuah hadits yang sangat terkenal, Rasulullah saw. ketika ditanya: ”Kepada siapa aku harus berbuat baik? Beliau tidak segan menjawab tiga kali berturut-turut agar itu dilakukan kepada ibu, lalu kepada bapak.”
Namun sayang, banyak anak begitu mudah melupakan jasa besar sang ibu. Kalau pun berbuat baik cenderung perbuatan itu semata basa-basi, datang setahun sekali menemuinya di hari raya. Basa-basi mencium tangannya dan lain sebagainya, sementara pesan-pesannya yang baik tidak dipatuhi. Banyak para ibu yang merindukan anaknya agar mentaati Allah swt. Namun banyak anak yang justeru membalas kebaikan ibunya dengan berbuat maksiat kepada-Nya. Sungguh ini suatu kedurhakaan.
Tidak ada artinya kebaikan seorang anak kepada ibunya secara material, sementara ia selalu berbuat maksiat kepada Allah. Karenanya banyak para ulama mengatakan: ”Pengabdian seorang anak yang paling baik bagi orang tuanya adalah menjadikan dirinya sebagai anak yang saleh.” Inilah rahasia hadits Rasulullah saw. yang berbunyi: ”Waladun shaalihun yad’u lahuu (anak yang shaleh yang selalu mendoakan untuk orang taunya).” Perhatiakan kata shalih dalam teks hadits tersebut. Ini untuk menegaskan bahwa hanya anak yang shalih yang benar-benar akan memberikan kebahagiaan bagi orang tuanya: bahagia secara material maupun secara spiritual. Sementara anak durhaka tidak akan pernah memberikan kebahagiaan hakiki bagi orang tuanya.
Tidak sedikit cerita masa lalu mengenai kebaikan seorang anak kepada ibunya. Di antaranya; disebutkan bahwa salah seorang anak yang shaleh pernah menggendong ibunya dari negeri kelahirannya –kalau tidak salah Yaman- ke kota Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Bayangkan betapa jauh perjalanan menuju kota Mekah. Dan betapa besar tenaga yang harus dikeluarkan untuk kebahagiaan sang ibu. Di manakah kini kita bisa menemukan pribadi seorang anak seperti ini?
Dalam kisah yang lain lagi disebutkan seorang anak yang shalih sedang menemani ibunya makan. Namun anak ini belum mau mengambil makanan sampai ibunya selesai. Ketika ditanya mengapa berbuat demikian? Ia menjawab: aku takut mengambil makanan yang ternyata itu disukai ibuku. Subhanallah sebuah contoh kejujuran cinta kepada sang ibu sangat nampak dalam kisah tersebut.
Di akhir tulisan ini izinkan aku menulis puisi untuk ibuku:
Ibu, bila semua orang berkata langit itu sangat tinggi
Sungguh masih lebih tinggi cintamu kepadaku
Bila semua orang berkata lautan itu sangat dalam
Sungguh masih lebih dalam kasihmu kepadaku
Bila semua orang berkata bukit itu sangat kokoh
Sungguh masih lebih kokoh perhatianmu kepadaku
Tak sanggup kata melukiskan kebaikanmu
Tak sampai nyawa membalas budi baikmu
Kecuali keshalihanku
Agar sungai keringat jerih payahmu menjadi amal jariah.
Allahu a’lam bish shawab
http://www.dakwatuna.com/2009/sang-ibu/
Yang Dimaksud Shalat Fajar
Assalamualaikum
Pak Ustad,
Saya pernah mendengar (entah sumbernya dari hadis atau Al-quran) bahwa shalat dua rakaat pada shalat fajar lebih utama /brharga daripada dunia dan seisinya.
Pertanyaannya adalah :
1. Apakah shalat Fajar itu?
2. Apakah itu shalat qobliyah (rowatib) sebelum subuh?
3. Atau shalat fajar itu ya sholat Shubuh?
4. Apa dalilnya? dan bagaimana asbabun nuzul atau furuj untuk dalil shalat fajar.
terima kasih
Wassalamualaikum
Ose
Ose
Jawaban
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Ose yang dimuliakan Allah swt
Dari Aisyah berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi)
As Sindiy mengatakan bahwa makna dari “dua rakaat fajar” itu adalah shalat sunnah fajar. Cukup masyhur dengan nama ini (dua rakaat fajar) dan mengandung kemungkinan adanya kewajiban.
Sedangkan makna “Lebih baik dari dunia” yaitu lebih baik daripada diberikan seluruh dunia di jalan Allah swt atau keyakinan mereka bahwa isi dunia adalah kebaikan dan tidaklah seberat atom dari (kenikmatan) akherat bisa disamai dengan dunia dan seisinya. (Syarh Sunan an Nasai juz III hal 127)
Terdapat riwayat lainnya yang menegaskan keutamaan dan perlunya melaksanakan shalat sunnah fajar ini, diantaranya :
Hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim bahwa tidaklah Nabi saw sangat menjaga shalat-shalat nafilahnya daripada dua rakaat fajar.”
Sabda Nabi saw lainnya,”Barangsiapa yang tidak melaksanakan shalat dua rakaat fajar hingga terbit matahari maka laksanakanlah dua rakaat itu (saat terbit matahari, pen).” (HR. Baihaqi dengan sanad baik)
Dari Qais bin ‘Amr berkata,”Rasulullah saw keluar (dari rumah) saat iqomat shalat maka aku pun shalat shubuh bersamanya kemudian Nabi saw beranjak dan mendapatiku sedang melaksanakan shalat. Lalu beliau saw bersabda,”Sebentar wahai Qais. Apakah dua shalat sekaligus?!” Aku menjawab,”Wahai Rasulullah sesungguhnya aku belum melaksanakan shalat dua rakaat fajar.” Beliau saw bersabda,”Kalau begitu tidak apa-apa.” (HR. Tirmidzi)
Dari Abu Hurairoh dari Rasulullah saw bersabda,”Janganlah kalian meninggalkan dua rakaat fajar walaupun kalian dikejar kuda (musuh).” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Jadi dua rakaat fajar yang dimaksud itu adalah dua rakaat shalat sunnah qobliyah fajar atau sunnah qobliyah shubuh yang termasuk didalam dua belas rakaat shalat rawatib selain 4 rakaat sebelum zhuhur, 2 rakaat setelah zhuhur, 2 rakaat setelah maghrib dan 2 rakaat setelah isya.
Adapun dua rakaat fajar itu dilakukan sejak masuknya waktu fajar hingga dilaksanakannya shalat fajar (shubuh) yaitu antara adzan shubuh yang kedua—bagi masjid yang melaksanakan dua kali adzan shubuh—hingga iqomat.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Pak Ustad,
Saya pernah mendengar (entah sumbernya dari hadis atau Al-quran) bahwa shalat dua rakaat pada shalat fajar lebih utama /brharga daripada dunia dan seisinya.
Pertanyaannya adalah :
1. Apakah shalat Fajar itu?
2. Apakah itu shalat qobliyah (rowatib) sebelum subuh?
3. Atau shalat fajar itu ya sholat Shubuh?
4. Apa dalilnya? dan bagaimana asbabun nuzul atau furuj untuk dalil shalat fajar.
terima kasih
Wassalamualaikum
Ose
Ose
Jawaban
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Ose yang dimuliakan Allah swt
Dari Aisyah berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi)
As Sindiy mengatakan bahwa makna dari “dua rakaat fajar” itu adalah shalat sunnah fajar. Cukup masyhur dengan nama ini (dua rakaat fajar) dan mengandung kemungkinan adanya kewajiban.
Sedangkan makna “Lebih baik dari dunia” yaitu lebih baik daripada diberikan seluruh dunia di jalan Allah swt atau keyakinan mereka bahwa isi dunia adalah kebaikan dan tidaklah seberat atom dari (kenikmatan) akherat bisa disamai dengan dunia dan seisinya. (Syarh Sunan an Nasai juz III hal 127)
Terdapat riwayat lainnya yang menegaskan keutamaan dan perlunya melaksanakan shalat sunnah fajar ini, diantaranya :
Hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim bahwa tidaklah Nabi saw sangat menjaga shalat-shalat nafilahnya daripada dua rakaat fajar.”
Sabda Nabi saw lainnya,”Barangsiapa yang tidak melaksanakan shalat dua rakaat fajar hingga terbit matahari maka laksanakanlah dua rakaat itu (saat terbit matahari, pen).” (HR. Baihaqi dengan sanad baik)
Dari Qais bin ‘Amr berkata,”Rasulullah saw keluar (dari rumah) saat iqomat shalat maka aku pun shalat shubuh bersamanya kemudian Nabi saw beranjak dan mendapatiku sedang melaksanakan shalat. Lalu beliau saw bersabda,”Sebentar wahai Qais. Apakah dua shalat sekaligus?!” Aku menjawab,”Wahai Rasulullah sesungguhnya aku belum melaksanakan shalat dua rakaat fajar.” Beliau saw bersabda,”Kalau begitu tidak apa-apa.” (HR. Tirmidzi)
Dari Abu Hurairoh dari Rasulullah saw bersabda,”Janganlah kalian meninggalkan dua rakaat fajar walaupun kalian dikejar kuda (musuh).” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Jadi dua rakaat fajar yang dimaksud itu adalah dua rakaat shalat sunnah qobliyah fajar atau sunnah qobliyah shubuh yang termasuk didalam dua belas rakaat shalat rawatib selain 4 rakaat sebelum zhuhur, 2 rakaat setelah zhuhur, 2 rakaat setelah maghrib dan 2 rakaat setelah isya.
Adapun dua rakaat fajar itu dilakukan sejak masuknya waktu fajar hingga dilaksanakannya shalat fajar (shubuh) yaitu antara adzan shubuh yang kedua—bagi masjid yang melaksanakan dua kali adzan shubuh—hingga iqomat.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Hukum Salaman Setelah Shalat
Assalamualaikum. Wr. Wb
Ustad yang dirahmati oleh Allah SWT. Ada sedikit hal yang mengganjal dalam hati saya. Ketika saya selesai melaksanakan Shalat Magrib berjamaah, kemudian spontan saya mengajak rekan yang ada di sebelah saya untuk bersalaman, kemudian dia berkata, "itu bid'ah". Saya minta dijelaskan tentang bid'ah. Apa itu bid'ah, danhal-hal bid'ah yang sering dalam pergaulan saat ini apa saja?
terima kasih
wahid
Jawaban
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Wahid yang dimuliakan Allah swt
Hukum Bersalaman Setelah Shalat
Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan bahwa pada dasarnya bersalaman adalah mubah (boleh) bahkan ada yang mengatakan sunnah karena hal itu dapat memunculkan kecintaan dan kasih sayang serta menguatkan ikatan persaudaraan.
Keutamaan hal itu telah diriwayatkan oleh berbagai hadits yang sebagiannya dengan jalan yang hasan, diantaranya dari Qatadah,”Aku berkata kepada Anas bin Malik,’Apakah bersalaman dilakukan oleh para sahabat NAbi saw,” Anas menjawab,”Ya.” (HR. Bukhori dan Tirmidzi)
Dari Hudzaifah bin al Yaman dari Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya seorang mukmin apabila bertemu dengan mukmin lainnya lalu dia mengucapkan salam kepadanya serta menjabat tangannya maka akan luruhlah kesalahan-kesalahan keduanya seperti rontoknya dedaunan dari pepohon.” (HR. ath Thabrani didalam “al Ausath”. Al Mundziriy mengatakan didalam kitabnya “at Targhib wa at Tarhib” bahwa aku tidak mengetahui jika diantara para perawinya terdapat seorang pun yang cacat.”
Dari Salman al Farisiy dari Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya seorang muslim apabila bertemu dengan saudaranya lalu menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan luruh sebagaimana rontoknya dedaunan dari pohon kering pada hari bertiupnya angin kencang dan akan diampuni dosa keduanya walaupun dosa keduanya seperti buih di lautan.” (HR. ath Thabrani dengan sanad hasan)
Adapun bersalaman setelah selesai melaksanakan shalat maka tidaklah pernah ada pada masa Nabi saw maupun pada masa Khulafaur Rasyidin, sedangkan hadits-hadits menyebutkan bersalaman itu pada saat seseorang bertemu dengan saudaranya.
Oleh karena itu Ibn Taimiyah mengatakan bahwa hal itu (bersalaman setelah shalat) adalah makruh akan tetapi al ‘Iz bin Abdissalam mengatakan bahwa ia adalah mubah (boleh) dikarenakan tak ada satu pun dalil yang melarangnya. Namun Nawawi mengatakan bahwa pada asalnya bersalaman adalah sunnah dan memelihara bersalaman itu pada beberapa keadaan lainnya tidaklah mengeluarkannya dari sunnah namun didalam kitab “Ghiza al Albab” milik as Safariniy (1/283) disebutkan bahwa sebagian mereka telah mengharamkannya.
Sementara Syeikh ‘Athiyah Saqar berpendapat bahwa perbedaan pendapat itu bermuara kepada definisi tentang bid’ah… dan selama permasalahan itu masih diperselisihkan maka tidak seyogyanya kita berfanatik dengan satu pendapat. ( Fatawa al Azhar juz IX hal 50)
Sementara itu Syeikh Ibn Baaz mengatakan bahwa dianjurkan untuk bersalaman saat bertemu di masjid atau di shaff dan apabila tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat maka mereka bisa bersalaman setelah melaksanakan shalat sebagai bentuk pengimplementasian sunnah yang mulia serta untuk meneguhkan kasih sayang dan menghilangkan permusuhan.
Akan tetapi apabila tidak bersalaman sebelum shalat fardhu maka disyariatkan baginya untuk bersalaman setelahnya atau setelah mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan.
Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang bersegera bersalaman setelah melaksanakan shalat fardhu, setelah mengucapkan salam kedua maka aku tidaklah mengetahui dasarnya dan yang jelas adalah bahwa hal itu adalah makruh dikarenakan tidak adanya dalil tentangnya karena yang disyariatkan bagi seorang yang shalat dalam keadaan seperti itu adalah bersegera mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi saw setelah melaksanakan shalat fardhunya.
Adapun shalat nafilah maka disyariatkan untuk bersalaman setelah salam apabila dia tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat itu dan jika ia telah bersalaman sebelumnya maka hal itu sudah cukup baginya. (Majmu’ Fatawa Ibn Baaz juz XI hal 267)
Bid’ah dan Macam-Macamnya
Bid’ah menurut terminologinya berasal dari kata bada’asy Syai, yubdi’uhu, bid’an dan ibtada’ahu berarti mengawalinya. Dan bida’ adalah sesuatu yang terjadi pertama… sedangkan bid’ah berarti baru yaitu sesuatu yang baru didalam agama setelah hal itu sempurna.
Adapun menurut etimologinya maka terdapat banyak definisi tentangnya dikarenakan perbedaan sudut pandang para ulama didalam pengertian dan kandungannya.
Diantara mereka ada yang memperluas kandungannya hingga mencakup segala sesuatu yang baru. Diantara mereka ada yang mempersempit kandungannya dan menyusutkannya serta meletakkan berbagai hukum dibawahnya.
Secara ringkas terdapat dua pandangan :
1. Para ulama ada yang mengatakan bahwa bid’ah adalah segala seuatu yang tidak terdapat didalam al Qur’an dan Sunnah, baik didalam permasalahan ibadah atau pun adat (kebiasaan) baik yang tercela maupun tidak tercela, diantara yang mengatakan ini adalah Imam Syafi’i, al Iz bin Abdissalam, an Nawawi dan Abu Syamah. Dari madzhab Maliki adalah al Qarafi dan az Zarqoniy. Dari madzhab Hanafi adalah Ibn Abidin. Dari madzhab Hambali adalah Ibn al Jauziy dan dari madzhab azh Zhahiriy adalah Ibn Hazm.
Pandangan ini tercakup didalam definisi yang diberikan al Iz bin Abdissalam tentang bid’ah yaitu suatu perbuatan yang tidak ada pada masa Nabi saw. Bida’ah ini terbagi menjadi bid’ah yang wajib, haram, mandub, makruh dan mubah.
Bid’ah yang wajib seperti ilmu nahwu untuk memahami firman Allah dan Rasul-Nya.. bid’ah yang haram diantaranya adalah madzhab al Qadariyah, al Jabriyah, al Murjiah dan al Khawarij. Bid’ah yang mandub seperti membuat sekolah-sekolah, membangun jembatan juga termasuk shalat tarawih berjamaah di masjid dengan satu imam. Bid’ah makruh seperti kaligrafi masjid, hiasan-hiasan pada mushaf. Bida’ah yang mubah seperti memperluas suatu kenikmatan didalam makan, minum maupun pakaian.
2. Ada sekelompok ulama yang mencerca perbuatan bid’ah serta menegaskan bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang sesat, baik didalam adat (kebiasaan) maupun ibadah.
Diantara yang mengatakan ini adalah Imam Malik, asy Syatibiy dan ath Thurtusyi. Dari madzhab Hanafi adalah Imam asy Syamniyyi dan al ‘Ainiy. Dari madzhab Syafi’i adalah Baihaqi, Ibn Hajar al Asqalaniy, Ibn hajar al Haitsamiy. Dari madzhab Hambali adalah Ib Rajab dan Ibn Taimiyah. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 2814 – 2816)
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Ustad yang dirahmati oleh Allah SWT. Ada sedikit hal yang mengganjal dalam hati saya. Ketika saya selesai melaksanakan Shalat Magrib berjamaah, kemudian spontan saya mengajak rekan yang ada di sebelah saya untuk bersalaman, kemudian dia berkata, "itu bid'ah". Saya minta dijelaskan tentang bid'ah. Apa itu bid'ah, danhal-hal bid'ah yang sering dalam pergaulan saat ini apa saja?
terima kasih
wahid
Jawaban
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Wahid yang dimuliakan Allah swt
Hukum Bersalaman Setelah Shalat
Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan bahwa pada dasarnya bersalaman adalah mubah (boleh) bahkan ada yang mengatakan sunnah karena hal itu dapat memunculkan kecintaan dan kasih sayang serta menguatkan ikatan persaudaraan.
Keutamaan hal itu telah diriwayatkan oleh berbagai hadits yang sebagiannya dengan jalan yang hasan, diantaranya dari Qatadah,”Aku berkata kepada Anas bin Malik,’Apakah bersalaman dilakukan oleh para sahabat NAbi saw,” Anas menjawab,”Ya.” (HR. Bukhori dan Tirmidzi)
Dari Hudzaifah bin al Yaman dari Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya seorang mukmin apabila bertemu dengan mukmin lainnya lalu dia mengucapkan salam kepadanya serta menjabat tangannya maka akan luruhlah kesalahan-kesalahan keduanya seperti rontoknya dedaunan dari pepohon.” (HR. ath Thabrani didalam “al Ausath”. Al Mundziriy mengatakan didalam kitabnya “at Targhib wa at Tarhib” bahwa aku tidak mengetahui jika diantara para perawinya terdapat seorang pun yang cacat.”
Dari Salman al Farisiy dari Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya seorang muslim apabila bertemu dengan saudaranya lalu menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan luruh sebagaimana rontoknya dedaunan dari pohon kering pada hari bertiupnya angin kencang dan akan diampuni dosa keduanya walaupun dosa keduanya seperti buih di lautan.” (HR. ath Thabrani dengan sanad hasan)
Adapun bersalaman setelah selesai melaksanakan shalat maka tidaklah pernah ada pada masa Nabi saw maupun pada masa Khulafaur Rasyidin, sedangkan hadits-hadits menyebutkan bersalaman itu pada saat seseorang bertemu dengan saudaranya.
Oleh karena itu Ibn Taimiyah mengatakan bahwa hal itu (bersalaman setelah shalat) adalah makruh akan tetapi al ‘Iz bin Abdissalam mengatakan bahwa ia adalah mubah (boleh) dikarenakan tak ada satu pun dalil yang melarangnya. Namun Nawawi mengatakan bahwa pada asalnya bersalaman adalah sunnah dan memelihara bersalaman itu pada beberapa keadaan lainnya tidaklah mengeluarkannya dari sunnah namun didalam kitab “Ghiza al Albab” milik as Safariniy (1/283) disebutkan bahwa sebagian mereka telah mengharamkannya.
Sementara Syeikh ‘Athiyah Saqar berpendapat bahwa perbedaan pendapat itu bermuara kepada definisi tentang bid’ah… dan selama permasalahan itu masih diperselisihkan maka tidak seyogyanya kita berfanatik dengan satu pendapat. ( Fatawa al Azhar juz IX hal 50)
Sementara itu Syeikh Ibn Baaz mengatakan bahwa dianjurkan untuk bersalaman saat bertemu di masjid atau di shaff dan apabila tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat maka mereka bisa bersalaman setelah melaksanakan shalat sebagai bentuk pengimplementasian sunnah yang mulia serta untuk meneguhkan kasih sayang dan menghilangkan permusuhan.
Akan tetapi apabila tidak bersalaman sebelum shalat fardhu maka disyariatkan baginya untuk bersalaman setelahnya atau setelah mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan.
Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang bersegera bersalaman setelah melaksanakan shalat fardhu, setelah mengucapkan salam kedua maka aku tidaklah mengetahui dasarnya dan yang jelas adalah bahwa hal itu adalah makruh dikarenakan tidak adanya dalil tentangnya karena yang disyariatkan bagi seorang yang shalat dalam keadaan seperti itu adalah bersegera mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi saw setelah melaksanakan shalat fardhunya.
Adapun shalat nafilah maka disyariatkan untuk bersalaman setelah salam apabila dia tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat itu dan jika ia telah bersalaman sebelumnya maka hal itu sudah cukup baginya. (Majmu’ Fatawa Ibn Baaz juz XI hal 267)
Bid’ah dan Macam-Macamnya
Bid’ah menurut terminologinya berasal dari kata bada’asy Syai, yubdi’uhu, bid’an dan ibtada’ahu berarti mengawalinya. Dan bida’ adalah sesuatu yang terjadi pertama… sedangkan bid’ah berarti baru yaitu sesuatu yang baru didalam agama setelah hal itu sempurna.
Adapun menurut etimologinya maka terdapat banyak definisi tentangnya dikarenakan perbedaan sudut pandang para ulama didalam pengertian dan kandungannya.
Diantara mereka ada yang memperluas kandungannya hingga mencakup segala sesuatu yang baru. Diantara mereka ada yang mempersempit kandungannya dan menyusutkannya serta meletakkan berbagai hukum dibawahnya.
Secara ringkas terdapat dua pandangan :
1. Para ulama ada yang mengatakan bahwa bid’ah adalah segala seuatu yang tidak terdapat didalam al Qur’an dan Sunnah, baik didalam permasalahan ibadah atau pun adat (kebiasaan) baik yang tercela maupun tidak tercela, diantara yang mengatakan ini adalah Imam Syafi’i, al Iz bin Abdissalam, an Nawawi dan Abu Syamah. Dari madzhab Maliki adalah al Qarafi dan az Zarqoniy. Dari madzhab Hanafi adalah Ibn Abidin. Dari madzhab Hambali adalah Ibn al Jauziy dan dari madzhab azh Zhahiriy adalah Ibn Hazm.
Pandangan ini tercakup didalam definisi yang diberikan al Iz bin Abdissalam tentang bid’ah yaitu suatu perbuatan yang tidak ada pada masa Nabi saw. Bida’ah ini terbagi menjadi bid’ah yang wajib, haram, mandub, makruh dan mubah.
Bid’ah yang wajib seperti ilmu nahwu untuk memahami firman Allah dan Rasul-Nya.. bid’ah yang haram diantaranya adalah madzhab al Qadariyah, al Jabriyah, al Murjiah dan al Khawarij. Bid’ah yang mandub seperti membuat sekolah-sekolah, membangun jembatan juga termasuk shalat tarawih berjamaah di masjid dengan satu imam. Bid’ah makruh seperti kaligrafi masjid, hiasan-hiasan pada mushaf. Bida’ah yang mubah seperti memperluas suatu kenikmatan didalam makan, minum maupun pakaian.
2. Ada sekelompok ulama yang mencerca perbuatan bid’ah serta menegaskan bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang sesat, baik didalam adat (kebiasaan) maupun ibadah.
Diantara yang mengatakan ini adalah Imam Malik, asy Syatibiy dan ath Thurtusyi. Dari madzhab Hanafi adalah Imam asy Syamniyyi dan al ‘Ainiy. Dari madzhab Syafi’i adalah Baihaqi, Ibn Hajar al Asqalaniy, Ibn hajar al Haitsamiy. Dari madzhab Hambali adalah Ib Rajab dan Ibn Taimiyah. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 2814 – 2816)
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Keputusan Besar
Indonesia negeri besar, wilayahnya luas. Kekayaannya pun melimpah ruah. Karena itu, tak salah jika negeri ini disebut gemah ripah loh jinawi. Namun, di negeri yang mayoritas Muslim ini sangat sulit menjumpai negarawan, apalagi pahlawan. Orang-orang yang mengukir prestasi gemilang.
Bahkan, presiden negeri beribu pulau ini yang memiliki kewenangan cukup besar karena mendapat legitimasi besar dari rakyat, harus menunggu berpekan-pekan untuk menyelesaikan sengketa “cicak-buaya” yang sudah sangat gamblang di mata publik.
Sudah jelas pula hitam-putihnya.
Saudaraku, dimanapun Anda beraktivitas, apa pun pekerjaan Anda, apa pun kedudukan Anda, sadarlah bahwa waktu yang Allah sediakan sangat singkat. Sesingkat mata berkedip. Jabatan dan kedudukan terhormat yang Anda emban saat ini, umurnya tidaklah lama. Diminta atau tidak, suatu saat, Anda akan meninggalkan itu semua atau sebaliknya jabatan dan kedudukan itu yang akan meninggalkan Anda.
Tinta sejarah tidak pernah kering mencatat. Puluhan, bahkan ratusan juta orang besar, orang berpangkat, orang kaya di dunia, mengalami hidup tragis. Kehidupan mereka berakhir dalam penderitaan dan kesengsaraan. Masa depannya gelap. Kejayaan mereka berubah menjadi kehinaan. Kenestapaan.
Semuanya sirna, bak siang ditelan gelap. Kekayaan yang mereka bangga-banggakan selama ini, tidak berarti sama sekali. Jabatan dan kedudukan terhormat di depan publik, tidak dapat membantu apa-apa. Istana-istana yang mereka dirikan, semua binasa. Semua diam dan tersipu memandangi tuannya yang nestapa. Sebab, mereka tak pernah menoreh prestasi.
Karena itu, saudaraku, manfaatkan waktu yang tersedia ini. Hiasilah ia dengan aktivitas-aktivitas yang melahirkan karya besar, mendatangkan kegunaan bagi orang banyak. Selagi menjabat, selagi memegang kedudukan terhormat, pergunakanlah jabatan itu untuk memberikan ketentraman dan ketenangan masyarakat.
Sebagai presiden misalnya, keluarkanlah keputusan-keputusan yang membuat para koruptor jera hingga keadilan dirasa semua orang. Bertindaklah yang tegas kepada para bawahan jika nyata-nyata mereka melakukan tindakan tercela, berkolusi dan korupsi untuk keuntungan pribadi.
SABILI
Rivai Hutapea
http://sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1078:keputusan-besar&catid=45:tafakur&Itemid=163
Bahkan, presiden negeri beribu pulau ini yang memiliki kewenangan cukup besar karena mendapat legitimasi besar dari rakyat, harus menunggu berpekan-pekan untuk menyelesaikan sengketa “cicak-buaya” yang sudah sangat gamblang di mata publik.
Sudah jelas pula hitam-putihnya.
Saudaraku, dimanapun Anda beraktivitas, apa pun pekerjaan Anda, apa pun kedudukan Anda, sadarlah bahwa waktu yang Allah sediakan sangat singkat. Sesingkat mata berkedip. Jabatan dan kedudukan terhormat yang Anda emban saat ini, umurnya tidaklah lama. Diminta atau tidak, suatu saat, Anda akan meninggalkan itu semua atau sebaliknya jabatan dan kedudukan itu yang akan meninggalkan Anda.
Tinta sejarah tidak pernah kering mencatat. Puluhan, bahkan ratusan juta orang besar, orang berpangkat, orang kaya di dunia, mengalami hidup tragis. Kehidupan mereka berakhir dalam penderitaan dan kesengsaraan. Masa depannya gelap. Kejayaan mereka berubah menjadi kehinaan. Kenestapaan.
Semuanya sirna, bak siang ditelan gelap. Kekayaan yang mereka bangga-banggakan selama ini, tidak berarti sama sekali. Jabatan dan kedudukan terhormat di depan publik, tidak dapat membantu apa-apa. Istana-istana yang mereka dirikan, semua binasa. Semua diam dan tersipu memandangi tuannya yang nestapa. Sebab, mereka tak pernah menoreh prestasi.
Karena itu, saudaraku, manfaatkan waktu yang tersedia ini. Hiasilah ia dengan aktivitas-aktivitas yang melahirkan karya besar, mendatangkan kegunaan bagi orang banyak. Selagi menjabat, selagi memegang kedudukan terhormat, pergunakanlah jabatan itu untuk memberikan ketentraman dan ketenangan masyarakat.
Sebagai presiden misalnya, keluarkanlah keputusan-keputusan yang membuat para koruptor jera hingga keadilan dirasa semua orang. Bertindaklah yang tegas kepada para bawahan jika nyata-nyata mereka melakukan tindakan tercela, berkolusi dan korupsi untuk keuntungan pribadi.
SABILI
Rivai Hutapea
http://sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1078:keputusan-besar&catid=45:tafakur&Itemid=163
Kaum Anti-Islam Tolak Pembangunan Masjid Marseille
warnaislam.com — Kaum Muslim Prancis berencana membangun masjid kedua terbesar di kota Marseille. Rencana itu mengundang gelombang protes dari kalangan anti-Islam dan dinilai meningkatkan sentimen anti-Muslim di Prancis dan seluruh negara Eropa.
“Saya akan mengebom masjid itu ketika masjid itu dibuka,” ujar seorang warga Prancis berusia lanjut kepada The New York Times (28/12). “Sudah banyak orang Islam dan masjid itu akan menjadikan lebih banyak lagi kaum Muslim dan mereka akan jadi masalah,” kilahnya.
Rencananya, masjid yang akan dibangun itu bernilai US$ 33 juta dan akan dimulai April 2010. “Ini simbol baik asimilasi,” ujar Noureddine Cheikh, kepala Asosiasi Masjid Marseille. Masjid itu akan memiliki menara. Namun, pembangunan masjid itu akan mendapat tantangan keras dari kalangan sayap kanan anti-Islam di Marseille, kota dengan penduduk Muslim sekitar 1,5 juta jiwa.
Youcef Mammeri, penulis tentang Islam di Pranceis dan anggota Joint Council of Muslims of Marseille, mengatakan, sentimen anti-Muslim terus meningkat, tidak peduli apakah Muslim sekuler, moderat, atau radikal.
Jumlah Muslim di Prancis sekitar 7 juta jiwa, menjadikan negara ini sebagai negara Eropa dengan jumlah minoritas Muslim terbesar.
Para analis sepakat, penentangan terhadap rencana pembangunan masjid di Marseille itu mencerminkan pertumbuhan sentimen anti-Muslim di Prancis dan seluruh Eropa. “Hari ini di Eropa ketakutan terhadap Islam mengkristal,” ujar Vincent Geisser, sarjana Islam di French National Center for Scientific Research. (IoL/mel).*
http://warnaislam.com/berita//2009/12/29/29492/Kaum_Anti-Islam_Tolak_Pembangunan_Masjid_Marseille.htm
Toleransi Beragama Bukan Partisipasi
Ustadz Abu Deedat Syihab, Pakar Kristologi
Sebagai salah satu inisiator yang membidani lahirnya FAKTA (Forum Anti Gerakan Pemurtadan), Ustadz Abu Deedat Syihab otomatis tercatat sebagai pengagas lembaga anti pemurtadan dan kristenisasi yang pertama kali berdiri di Indonesia. Karena secara formal, memang FAKTA yang pertama kali berdiri di negeri ini, pada tahun 1998. Meski begitu, Ustadz Abu Deedat, tak pernah melupakan akar sejarah gerakan anti pemurtadan dan kristenisasi di negeri ini.
Menurutnya, jauh sebelum FAKTA berdiri, kawan-kawan di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Muhammadiyah sudah bergerak melakukan dakwah khusus membentengi akidah umat dan melawan misi kristenisasi di berbagai daerah. ”Karenanya, jika ditelusuri, dai atau ustadz yang konsen berdakwah membentengi akidah umat dari serbuan misi kristenisasi dan memiliki kemampuan sebagai kristolog, sebagian besar berasal dari DDII dan Muhammadiyah,” terangnya.
Tapi dalam beberapa tahun terakhir ini, kiprah lembaga-lembaga anti pemurtadan yang kian menjamur jumlahnya terasa makin menurun. Sementara gerakan kristenisasi dan pemurtadan terus berkreasi mengembangkan metoda dan caranya. Terlebih menjelang akhir Desember, yang bertepatan dengan Natal dan Tahu Baru, para misionaris solah-olah menemukan momen paling tepat untuk unjuk kekuatan.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Wartawan Sabili Dwi Hardianto dan Eman Mulyatman, serta Fotografer Arief Kamaludin mendiskusikannya dengan dai yang juga dimemegang amanah sebagai Wakil Ketua Dakwah Khusus MUI Pusat ini. Diskusi berlangsung di Ruang Pertemuan Graha Sabili, Jakarta, Selasa (15/12/2009). Berikut petikannya:
Sebagai pionir, bagaimana FAKTA mengembangkan organisasi?
Dari awal saya menginginkan agar di semua daerah di negeri ini memiliki lembaga yang konsen menghadapi pemurtadan dan kristenisasi, tapi tidak harus menggunakan nama FAKTA. Karena pemurtadan terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Makanya, sampai sekarang FAKTA tidak memiliki cabang di daerah-daerah. Orientasi kami bukan seperti itu, tapi yang penting di semua daerah ada lembaga anti pemurtadan dan kristenisasi yang siap melakukan koordinasi bersama FAKTA, ormas Islam dan MUI.
Meski saya melakukan banyak pelatihan dai dan kristologi di berbagai daerah, yang disusul dengan membentuk lembaga anti pemurtadan, saya tidak memaksakan pada mereka agar menggunakan nama FAKTA. Semuanya saya serahkan pada daerah untuk membentuk sendiri, dengan sistem dan nama sendiri. Yang penting, ketika ada kasus, lembaga ini harus siap berkordinasi dengan FAKTA, ormas Islam dan MUI.
Jadi secara nasional terkoordinasi?
Yang berada dalam binaan FAKTA sampai sekarang masih terkoordinasi dengan baik. Beberapa lembaga yang berada dalam koordinasi FAKTA, Muhammadiyah, DDII, dan MUI antara lain: Forbumi (Balikpapan), Forsab (Forum Bersama) di Purwokerto dan Banyumas, Fakad (Samarinda), Garis (Cianjur dan Sukabumi), Agap (Bandung dan sekitarnya), FKPM Bitung (Sulawesi Utara), di Sumatera Barat juga ada beberapa lembaga, dan lainnya. Hampir semuanya, terbentuk setelah melakukan pelatihan bersama FAKTA, tapi kami tidak memaksakan untuk menggunakan nama FAKTA.
Di daerah lain memang ada sebagian yang menggunakan nama FAKTA seperti di Palembang, Batam, Lampung, dan Malang. Sebenarnya, yang di Palembang pun awalnya namanya bukan FAKTA tapi GERAM. Baru belakangan ini mereka menggunakan nama FAKTA. Anggota GERAM cukup beragam, bahkan banyak juga yang PNS, dosen PTN dan swasta di sana. Bagi saya, yang penting bukan nama, tapi kinerja dan kekuatan jaringan. Kekuatan utama Nasrani adalah jaringan, sedangkan kita jaringannya lemah. Makanya, saya berkomitmen membangun jaringan di seluruh Indonesia yang bersifat otonom.
Bisa dicontohkan efektifnya kekuatan jaringan?
Ketika ada kasus Bandung Festival, kita kirim orang bekerjasama dengan rekan-rekan dari AGAP untuk investigasi. Kami pun menemukan data-data kristenisasi. Ketika peristiwa yang sama terjadi di Balikpapan (Balikpapan Festival), ternyata teman-teman di sana tak mampu membatalkan acara ini, karena izinnya dari Mabes Polri. Maka saya kontak almarhum Husein Umar (Ketua DDII) agar menghubungi Ahmad Soemargono yang saat itu menjadi anggota DPR-RI. Selanjutnya, Bang Gogon (panggilan Ahmad Soemargono, red) yang menelepon Mabes Polri. Cuma dalam 30 menit acara itu langsung dibatalkan izinnya oleh Mabes Polri, padahal saat itu, ketegangan di Balikpapan sangat tinggi. Jika acaranya dibatalkan, penyelenggara mengancam akan menjadikan Balikpapan sebagaimana kerusuhan Sampit. MUI Balikpapan pun angkat tangan.
Sebagai bukti, bahwa Balikpapan Festival adalah acara kristenisasi saya kirimkan data-data dan VCD acara Bandung Festival yang sama-sama diselenggarakan oleh Pendeta Peter Young Rane ke Balikpapan melalui kargo pesawat. Ongkos kirimnya sekitar Rp 150.000. Saya seumur hidup belum pernah membawa mobil sendiri ke bandara, tapi saat itu saya nekad, subuh-subuh berangkat, nyetir mobil tua sendiri, biar pagi-pagi VCD dan data-data itu sudah sampai di Balikpapan. Pulang dari bandara, saya bermaksud mengisi pengajian di Pasar Minggu. Masih di Tol Dalam Kota, saya ingin buang air kecil. Lalu mobil saya arahkan keluar tol di Pancoran dan mampir ke Kampus STEKPI Kalibata. Begitu di parkir dan saya keluar dari mobil, mobil saya langsung meledak, rupanya radiatornya pecah.
Kabarnya MUI membentuk Komite Dakwah Khusus (KDK) untuk menangani kristenisasi, pemurtadan dan aliran sesat. Bagaimana pembentuannya?
Awalnya, MUI kedatangan tamu, yakni Ketua MPU Aceh, pertengahan 2005. Beliau menceritakan kasus pemurtadan pasca tsunami di Aceh yang menimpa anak-anak korban tsunami. Anak-anak Aceh banyak yang dibawa ke luar Aceh. Melihat banyaknya laporan sejenis, MUI pun menganggap penting hadirnya lembaga khusus yang menangani masalah pemurtadan di Indonesia. Maka, pada awal 2006, MUI membentuk Komite Nasional Penanggulangan Bahaya Pemurtadan (Komnas PBP). Tapi setelah berjalan beberapa bulan sambil mencermati situasi dan kondisi bangsa, akhirnya Komnas PBP ini diganti namanya menjadi Komite Dakwah Khusus (KDK) MUI.
Di dalam MUI, KDK yang dilahirkan dari rahim Komisi Dakwah ini berbentuk semi otonom, tapi tidak seperti LP-POM MUI yang sudah full otonom. Artinya, KDK berdiri sendiri tidak berada di bawah satu komisi tapi tetap berada dalam koordinasi Komisi Dakwah, Komisi Ukhuwah, dan Komisi Pengkajian MUI. Kenapa Komisi Pengkajian dimasukkan? Karena KDK tidak hanya menangani masalah pemurtadan dan kristenisasi tapi juga menangani masalah aliran sesat.
Kedudukan KDK dengan lembaga anti pemurtadan yang sudah ada?
KDK berfungsi mengkoordinasikan semua kekuatan umat Islam seperti ormas, lembaga anti pemurtadan dan aliran sesat di seluruh Indonesia. Karenanya, KDK berusaha menyatukan program dan geraknnya dalam satu visi dan misi bersama. Dalam rangka ini, KDK menyelenggarakan semi loka tentang ”Bahaya Pemurtadan, Kristenisasi, dan Aliran Sesat di Indonesia” beberapa bulan lalu. Acara ini dihadiri semua ormas Islam dan jaringan lembaga anti pemurtadan, kristenisasi, dan aliran sesat, serta tokoh dan individu yang selama ini konsen pada masalah ini.
Kenapa penanganan kristenisasi selama ini bersifat reaktif?
Karena itulah, kami di KDK sudah membuat program jangka pendek, menengah, dan panjang untuk menanggulangi masalah kristenisasi, pemurtadan dan aliran sesat. Kami tidak hanya melakukan penanggulangan yang sifatnya reaktif semata, tapi juga edukasi dan pemahaman. Program pertama kami adalah semiloka tadi. Dari semiloka ini lahir program berikutnya seperti, membuat dan memperkuat jaringan di seluruh daerah dalam koordinasi MUI Pusat dan MUI daerah. Akhirnya, untuk mewadahi lembaga yang ada di daerah, dibentuklah Forum Komite Dakwah Khusus (FKDK) MUI. Jadi, FKDK kedudukannya ada di daerah.
Apa tugas dan fungsi FKDK?
Pertama, memberikan berbagai pelatihan dan training seperti, pelatihan dai dan kristologi. Kedua, menjawab atau meluruskan tulisan di media massa dan buku-buku yang berisi tentang pemurtadan, kristenisasi, dan aliran sesat. Ketiga, menindaklanjuti berbagai kasus pemurtadan, kristenisasi, dan aliran sesat ke pihak yang berwajib untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. Karenanya, FKDK juga dilibatkan pakar hukum, advokat, dan pengacara. Sedangkan program FKDK yang diprioritaskan adalah menangani pemurtadan di Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Banten.
Berarti gerakan anti pemurtadan dan aliran sesat akan mengedepankan penyelesaian secara hukum?
Iya, kita akan mengedepankan proses hukum, sebagai bentuk komitmen dan penghormatan kami pada sistem hukum di negeri ini. Persoalannya, delik pemurtadan tidak ada dalam sistem hukum kita, baik di KUHP, KUHAP, atau UU yang telah ada. Berbeda dengan Malaysia, yang menetapkan Islam sebagai agama resmi negara, sehingga orang-orang di luar Islam diwajibkan melakukan reduksi agama. Tapi, meski tidak ada delik pemurtadan tapi kita bisa menyelesaikannya dengan pasal penodaan agama di dalam KUHP.
Tapi dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas lembaga anti pemurtadan seperti mandeg?
Mandeg sih nggak, masing-masing tetap berjalan sesuai kasus yang dihadapi. Sesuai dengan tugas para ulama, yakni membimbing, membina umat, kami juga mempunyai tugas mengawal akidah umat. Karenanya, kami tetap melakukan pembinaan rutin pada umat, pada jamaah dengan pengajian rutin, termasuk kepada para mualaf yang sudah berhasil kami Islamkan. Bahkian, bisa dikatakan tiap hari kami tetap menangani kasus-kasus pemurtadan.
Tapi kenapa kasus pemurtadan makin merajalela dan berani?
Mereka makin berani, salah satu sebabnya karena ketidaktegasan pemerintah dalam memproses hukum kasus pemurtadan dan aliran sesat. Contoh, masalah Ahmadiyah, keputusan pemerintah sangat ngambang tidak berani memutuskan agar Ahmadiyah berada di luar Islam. Berbeda dengan di India dan Pakistan yang sudah memutuskan bahwa Ahmadiyah adalah agama di luar Islam, karenanya tidak lagi menimbulkan masalah dengan umat Islam di kedua negara itu. Di sana sudah berlakulah prinsip lakum dinnukum waliyaddin.
Salah satu strategi Yahudi adalah menghancurkan agama samawi di luar Yahudi. Caranya, dengan melahirkan agama baru yang menyesatkan. Untuk menghancurkan Kristen dibuatlah sekte-sekte baru Kristen. Jika dilihat, lahirnya sekte-sekte Kristen semuanya berasal dari Amerika. Ini semua memang agenda besar Yahudi untuk menghancurkan agama. Demikian juga dengan agenda menghancurkan Islam di negeri Muslim, dengan membuat aliran sesat yang mengatasnamakan Islam. Al-Qiyadah yang memiliki nama baru Komunitas Millah Abraham, Salamullah, Ahmadiyah dan lainnya tak lepas dari permainan Yahudi.
Jadi, gerakan pemurtadan dan kristenisasi memang tidak akan pernah berhenti. Jika berhenti, berarti ayat al-Qur’an salah, karena ayat al-Qur’an sendiri yang memberitahukan pada umat Islam bahwa mereka tidak akan pernah berhenti sampai kita mengikuti millah mereka, kecuali jika kiamat, baru misi kristenisasi dan pemurtadan berhenti.
Apakah lembaga anti pemurtadan juga menangani kasus pemurtadan yang melalui jalur kekuasaan?
Metoda pemurtadan bisa dilakukan melalui cara apa pun, termasuk kekuasaan, legislasi, dan lainnya. Tapi untuk menghadapi gerakan pemurtadan di bidang politik, yang bisa menghadapi adalah kawan-kawan di partai politik Islam dan ormas Islam. Sedangkan lembaga anti pemurtadan bertugas membagi bola dari luar arena politik, seperti kasus yang di Balikpapan itu. Karenanya, kami sangat membutuhkan dukungan dan partisipasi dari kawan-kawan yang ada di parlemen, eksekutif, bahkan yudikatif.
Berarti penting juga mengawasi jalur politik dari misi pemurtadan?
Oh ya. Contoh, sebelum berlakunya pilkada langsung. Di Sumatera Utara ada kebiasaan, jika gubernurnya Islam maka wakilnya Kristen. Seolah-olah ini menjadi sesuatu yang ideal. Tapi ketika gubernur kecelakaan dan wakilnya yang Kristen otomatis menggantikannya, baru terbukti bahwa sistem ini tidak ideal. Pasalnya, selama ini di Medan tidak ada yang namanya Festival Natal, tapi begitu Wakil Gubernur Rudolf Pardede menjadi gubernur, festival itu tiba-tiba berlangsung meriah dan buku-buku bergambar Salib dibagikan ke masyarakat Islam. Itulah mereka.
Apa PR utama lembaga anti pemurtadan saat ini?
Yang harus dibangun adalah kesadaran untuk melakukan kerja dakwah secara bersinergi. Meski sudah dimulai oleh MUI, tapi jika lembaga anti pemurtadan juga melakukan langkah serupa akan makin kuat ke depannya. Jadi harus dimulai melakukan kerja sama antar lembaga tidak hanya ”sama-sama kerja” tapi tidak saling terkoordinasi. Jika berjalan sendiri-sendiri mudah dipatahkan dan diadudomba oleh musuh-musuh Islam. Memang, penyakit utama lembaga Islam termasuk lembaga anti pemurtadan adalah ”ego”. Jika bersedia menghilangkan minimal merendahkan ”ego” masing-masing, insya Allah akan terjadi sinergi yang kuat di antara lembaga-lembaga Islam. Contoh, orang yang mengkaji kristologi saja dicap bid’ah, jika ceramah ustadz-nya bukan dari kalangan sendiri tidak bersedia mendengarkan. Ini kan repot.
Bagaimana cara menyatukan ukhuwah di antara lembaga anti pemurtadan?
Sebetulnya, persoalan ini mudah, asal tiap kita, para aktivis lembaga anti pemurtadan, berhati bersih, insya Allah, ukhuwah dan kerjasama akan terwujud dengan sendirinya. Tapi jika setiap pribadi aktivis memiliki penyakit hazad, ya, susah akan terwujud. Kedua, fiqrah-nya (pemikirannya) juga harus Islami, bukan sekuler, pluralis atau liberal. Ketiga, motivasi dakwah dalam bidang ini untuk apa? Jika memang untuk membendung dan menangani pemurtadan, ya, semua potensi yang kita miliki, kita arahkan ke situ semata-mata untuk mencari ridha Allah, bukan mencari tujuan lain apakah itu ekonomi, kemahsyuran, kedudukan yang semuanya bersifat duniawi. Keempat, harus ada sinergi dan kerjasama, karena masing-masing lembaga dan aktivis memiliki kelebihan dan kelemahan. Jika kelebihan ini disatukan pasti akan menjadi kekuatan besar. Persamaan yang ada dalam masing-masing lembaga harus didahulukan dari pada perbedaan yang tidak prinsip. Kecuali jika perbedaan itu, merupakan perbedaan yang prinsip, harus diluruskan, misalnya keberadaannya ternyata hanya untuk mengadu-domba antar lembaga atau antar tokoh, sistem, dan metoda yang ditempuh tidak islami, dan lainnya.
Sebentar lagi Natal dan Tahun Baru, apa sikap kita?
Sekarang, seolah-olah ada kewajiban agar negara melakukan perayaan Natal Bersama. Ini mitos, ini di-setting. Jika Natal dilakukan di antara penganut Katolik dan Protestan, silakan saja. Tapi jika umat Islam dan tokoh-tokoh Islam harus dilibatkan, bagaimana ini? Bahkan sebagian kecil tokoh Islam justru mengusulkan istilah ”Maulud Nabi Isa”. Orang Kristen Advent saja tak mau merayakan Natal tanggal 25 Desember, karena dianggap bid’ah dalam Kristen, kenapa sebagian kecil tokoh Islam justru mengajak memperingati Natal 25 Desember, kan aneh?
Apa akibatnya jika Natal Bersama menjadi kewajiban yang harus diperingati oleh negara?
Jika seolah-olah menjadi program nasional yang wajib dirayakan, akan berdampak negatif bagi kehidupan beragama di Idonesia, khususnya umat Islam. Saat ini saja, ketika belum diwajibkan, pejabat-pejabat Muslim, pengurus Ormas Islam, dan Parpol Islam, jika tidak datang pada perayaan itu takut dicap tidak toleran. Ini memang sudah di-setting. Karenanya, saya selalu mengingatkan bahwa toleransi beragama jangan sampai diubah menjadi partisipasi. Toleransi adalah saling menghargai, bukan ikut terlibat dalam perayaan agama orang. Jika ada kebaktian di Gereja atau pemujaan di Wihara, orang Islam tidak boleh mengganggu. Demikian juga sebaliknya. Ini namanya toleransi.
Makanya, setiap Idul Fitri misalnya, umat Islam tidak pernah mengajak umat agama lain untuk ikut Shalat Id, karena mereka memang tidak berkewajiban menjalankan apa yang harus dijalankan umat Islam. Jika kita ajak mereka, justru kita yang tidak toleran dan tidak menghargai mereka. Tapi yang terjadi saat ini, justru mereka mengajak kita, bahkan ada umat Islam yang dilibatkan dalam kepanitiaan Natal Bersama. Tak hanya itu, MUI dianggap tidak toleran karena mengeluarkan Fatwa Natal Bersama. Padahal, MUI hanya mengharamkan umat Islam yang merayakan Natal Bersama, bukan melarang orang Kristen Natalan.
Data Pribadi:
Nama : Drs Abu Deedat Syihab, Msi
Tempat/Tgl Lahir : Tamala, 28 Juni 1960
Pekerjaan : Wiraswasta (berdagang)
Pendidikan terakhir: Program Pasca sarjana Magister Ilmu Administrasi
Aktivitas : Ketua Umum FAKTA, Wakil Ketua Komisi Dakwah Khusus
MUI Pusat,Pengurus Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah.
Moto Hidup : Istiqamah di jalan Allah (Qs 41:30)
Keluarga : 1 istri dan 4 anak.
http://sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1108:toleransi-beragama-bukan-partisipasi&catid=83:wawancara&Itemid=200
Subscribe to:
Posts (Atom)