Istri Yang Membahagiakan

Kebahagiaan rumah tangga yang menjadi sasaran setiap keluarga terbentuk di atas beberapa faktor, yang terpenting adalah faktor anggota keluarga, mereka inilah faktor dan aktor pencipta kebahagiaan dalam rumah tangga, atau sebaliknya, kesengsaraan rumah tangga juga bisa tercipta oleh mereka. Dari anggota rumah tangga, faktor yang paling berperan besar dalam perkara ini adalah istri, karena dia adalah ratu, anchor (jangkar) dan ikon utama sebuah rumah tangga, ia adalah rujukan suami dan tempat kembali anak-anak, maka dalam bahasa Arab dia disebut dengan ’Um’ yang berarti induk tempat kembali.

Sebagai pemeran utama dalam panggung rumah tangga, karena perannya yang cukup signifikan di dalamnya, maka istri harus membekali diri dengan sifat-sifat dan kepribadian-kepribadian sehingga dengannya dia bisa mengemban tugas dan memerankan perannya sebaik mungkin, dengan itu maka kondisi yang membahagiakan dan siatuasi yang menentramkan di dalam rumah akan terwujud.

Mengetahui skala prioritas

Dunia memang luas dan lapang, namun tidak dengan kehidupan, yang akhir ini selapang dan seluas apa pun tetap terbatas, ada tembok-tembok yang membatasi, ada rambu-rambu yang mengekang, namun pada saat yang sama tuntutan dan hajat kehidupan terus datang silih berganti seakan tidak akan pernah berhenti, kondisi ini mau tidak mau, suka tidak suka berkonsekuensi kepada sikap memilah skala prioritas, mendahulukan yang lebih penting kemudian yang penting dan seterusnya.

Sebagai ikon dalam rumah tangga, istri tentu mengetahui benar keterbatasan rumah tangga di berbagai sisi kehidupan, keterbatasan finansial dan ekonomi misalnya, sebesar apa pun penghasilan suami plus penghasilan istri, jika istri bekerja, tetap ada atap yang membatasi, ada ruang yang menyekat, tetap ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh uang hasil usaha mereka berdua, ditambah dengan jiwa manusia yang tidak pernah berhenti berkeinginan, keadaannya selalu berkata, ”Hal min mazid?” (adakah tambahan?), maka sebagai istri yang membahagiakan dia harus mengetahui dengan baik prinsip dasar ini, maka dia mendahulukan perkara yang tingkat urgensinya tertingi kemudian setelahnya dan seterusnya.

Keterbatasan dalam hubungan di antara suami dan istri, mungkin karena latar belakang keduanya yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, keluarga yang berbeda, tabiat dan watak yang berbeda, hobi dan kesenangan yang berbeda, waktu yang tersedia untuk berdua minim, semua itu membuat hubungan suami istri serba terbatas, namun hal ini bukan penghalang yang berarti, bukan rintangan yang sulit selama istri memahami kaidah prioritas ini.

Istri yang baik adalah wanita yang mengetahui tatanan prioritas dengan baik, dalam tataran hubungan suami istri, secara emosinal dan fisik, dalam tatanan rumah tangga, secara formalitas dan etika, ia menempati deretan nomor wahid.

Realistis dalam menuntut

Di hari-hari pertama pernikahan, biasanya dalam benak orang yang menjalani tersusun rencana-rencana yang hendak diwujudkan, tertata target-target yang hendak direalisasikan, terlintas harapan-harapan yang hendak dibuktikan. Umum, lumrah dan jamak, kata orang, hidup ini memang berharap, karena berharap kita bisa tetap eksis hidup dengan berbagai macam siatuasi dan kondisinya. Pun demikian dengan sebuah rumah tangga. Tahun pertama harus memiliki anu. Tahun kedua harus ada ini. Tahun ketiga, keempat dan seterusnya.

Sekali lagi wajar, selama hal itu masih menjejak bumi alias realistis dan bukan mengapung di awan alias berkhayal semata. Dan soal harapan dan ambisi biasanya istri selalu yang menjadi motornya. Dalam sebuah ungkapan dikatakan, “Wanita menginginkan suami, namun jika dia telah mendapatkannya maka dia menginginkan segalanya.” Benar, penulis setuju dengan pembaca jika pembaca berkata, “Ah, tidak semuanya.” Setuju, karena ini hanya sebuah ungkapan dan tidak ada ungkapan yang general. Namun dalam batas-batas tertentu ada sisi kebenarannya, karena tidak jarang kita melihat beberapa orang suami yang banting tulang dan peras keringat demi kejar setoran yang telah dipatok istrinya.

Maka alangkah bijaknya jika dalam menuntut dan mencanangkan target memperhatikan realita dan kapasitas suami, jika sebuah harapan sudah kadung digantung tinggi, lalu ia tidak terwujud maka kecewanya akan berat, layaknya orang jatuh dari tempat yang sangat tinggi, tentu sakitnya lebih bukan?

Sebagian istri memaksa suami menelusuri jalan-jalan yang berduri dan berkelok-kelok, di mana dia tidak menguasainya, apabila suami mengangkat tangan tanda dia tidak mampu mewujudkan sebagian dari tuntutannya, maka istri berteriak mengeluh. Hal ini, sesuai dengan tabiat kehidupan rumah tangga, menyeret kehidupan rumah tangga kepada jalan buntu selanjutnya yang muncul adalah perselisihan, jika ia menyentuh dasar kehidupan maka bisa berakibat keruntuhannya.

Benar, ketika seorang penyair berkata,
Jika kamu membebaniku apa yang aku tidak kuasa
Niscaya sikapku yang menyenangkan tidak menyenangkanmu

Seorang istri shalihah selalu mendahulukan akalnya, dia tidak membuat lelah suaminya dengan tuntutan-tuntutan yang tidak rasional, tidak membebaninya di luar kemampuannya dan tidak memberatkan pundaknya dengan permintaan-permintaan demi memenuhi keinginan-keinginan dan kesenangan-kesenangannya semata.

Salah satu contoh yang jarang ditemukan yang terjadi dalam sejarah tentang keteladanan sebagian istri yang begitu memperhatikan keadaan suami tanpa batas walaupun hal tersebut berarti mengorbankan kemaslahatannya sendiri adalah apa yang diriwayatkan oleh kitab-kitab ath-Thabaqat tentang Fatimah az-Zahra` pada saat dia dan suaminya Ali bin Abu Thalib mengalami kesulitan hidup yang membuatnya bermalam selama tiga malam dalam keadaan lapar, pada saat Ali melihatnya pucat, dia bertanya, “Ada apa denganmu wahai Fatimah?” Dia menjawab, “Telah tiga malam ini kami tidak memiliki apa pun di rumah.” Ali berkata, “Mengapa kamu diam saja?” Fatimah menjawab, “Pada malam pernikahan bapakku berkata kepadaku, ‘Hai Fatimah, kalau Ali pulang membawa sesuatu maka makanlah, kalau tidak maka jangan memintanya.”

Bermental kaya

Mental kaya, kalau penulis tidak keliru, dalam agama dikenal dengan istilah qana’ah, rela dengan apa yang Allah bagi sehingga tidak menengok dan berharap apa yang ada di tangan orang lain.

Kaya bukan kaya dengan harta benda, namun kaya adalah kaya hati, artinya hati merasa cukup. Sebanyak apa pun harta seseorang, kalau dia belum merasa cukup maka dia adalah fakir. Kata fakir adalah bahasa Arab yang berarti memerlukan, jadi kalau seseorang masih memerlukan [baca, berharap dan menggantungkan diri] kepada apa yang dimiliki oleh orang lain tanpa berusaha maka dia adalah fakir alias miskin.

Kebahagiaan rumah tangga bergantung kepada perasan istri dalam skala lebih besar daripada yang lain, jika istri tidak bermental kaya maka dia akan selalu merasa kekurangan, akibatnya dia akan sambat ngalor balik ngidul, (bahasa jawa yang artinya mengeluh ke mana-mana), siapa pun yang bertemu dengannya selalu disambati dengan kekurangannya. Kurang ini, kurang itu, kurang anu dan seterusnya. Mentalnya adalah mental sengsara, mental miskin, minim syukur, memposisikan diri sebagai orang miskin sehingga seolah-olah dirinya patut diberi zakat.

Padahal seorang wanita bisa saja memiliki segala keutamaan di kolong langit ini, akan tetapi semua keutamaan ini tidak ada nilai dan harganya jika yang bersangkutan mempunyai tabiat sengsara dan mental miskin. Tabiat sengsara dan mental miskin bagi wanita menyebabkan kesengsaraan bagi suami dan kenestapaan bagi rumah tangganya.

Banyak wanita sejak zaman batu sampai hari ini merasa nyaman dengan tabiat sengsara dan mental miskin ini. Dalam kehidupan sejarah penulis mengetahui Nabiullah Ibrahim pernah menemukan dua orang wanita, yang pertama bermental miskin dan yang kedua bermental kaya, keduanya pernah menjadi istri bagi anaknya, Ismail. Istri pertama, Ibrahim, dengan bahasa kinayah (sindiran), meminta Ismail untuk berpisah darinya. Ibrahim melihat istri pertama bukan istri yang layak, karena dia bermental miskin, ketika Ibrahim bertanya kepadanya tentang kehidupannya dengan suaminya, yang Ibrahim dengar dari mulutnya hanyalah keluh kesah. Sebaliknya istri kedua, jawabannya kepada mertuanya mengisyaratkan bahwa dia adalah istri yang pandai bersyukur dan bersikap qana’ah, maka Ibrahim meminta Ismail untuk mempertahankannya..

Dalam kehidupan ini tidak satu kali dua kali menemukan istri model seperti ini. Di tinjau secara sepintas dari keadaan rumahnya, rumah milik sendiri, lengkap dengan perabotan elektronik yang modern, didukung kendaraan keluaran terbaru, di mana penulis sendiri tidak memliki semua itu, kalau pun memiliki, ya tidak sekelas dengan miliknya, dasar mentalnya mental miskin, maka yang bersangakutan tetap mengeluh seolah-olah dia adalah orang termiskin di dunia. Apakah hal ini merupakan kebenaran dari firman Allah Ta'ala, “Innal Insaana Khuliqa Halu’aa.”? (Al-Ma’arij: 19). Tanpa ragu, memang.

Jika istri bermental kaya maka keluarga akan merasa kaya dan cukup. Ini menciptakan kebahagiaan. Jika istri bermental melarat maka yang tercipta di dalam rumah adalah iklim melarat dan ini menyengsarakan.

(Izzudin Karimi)

Istri Yang Membahagiakan (2)

Menjaga potret manis kehidupan

Kehidupan selalu diwarnai oleh dua sisa yang berbeda, ibarat sebuah mata uang yang juga memiliki dua sisi yang berbeda, tidak ada uang hanya dengan satu sisi saja, sebagaimana tidak ada kehidupan yang hanya dengan satu sisi saja, tidak ada kehidupan yang hanya berisi senyum selama-lamanya, sebaliknya tidak ada kehidupan yang hanya serisi tangisan selama-lamanya, tidak ada kehidupan yang hanya berhias bunga-bunga harum semerbak, sebaliknya tidak ada kehidupan yang hanya dikelilingi oleh onak dan duri, tidak ada satu warna kehidupan, selalu ada dua warna.

Perkara mendasar ini tidak mengecualikan kehidupan rumah tangga yang dijalani oleh suami dengan istri, ada kedamaian dan ada pertengkaran, ada senyum dan ada cemberut, ada rela dan ada marah, ada saat yang manis dan ada saat yang pahit, ada waktu berduka dan ada waktu berduka. Dan rumah tangga yang sakinah adalah rumah tangga di mana istri mampu bersikap bijak dalam dua keadaannya, keadaan sedih dan keadaan bahagia.

Dalam keadaan rumah tangga tersenyum, damai dan tenteram, anggotanya juga akan merasakan hal yang sama, keutuhan rumah tangga terjaga, tidak ada niatan untuk berpisah mengakhiri rumah tangga, bagaimana hendak berpisah sementara rumah tangga yang diharapkan telah terwujud? Apa yang masih dicari lagi? Namun dalam keadaan cemberut, sengketa dan panasan, biasanya dalam keadaan ini terbersit pikiran yang kurang baik, maka untuk menepisnya adalah dengan mengingat potret manis kehidupan yang pernah dialami dan dijalani berdua, dan penulis yakin bahwa potret manis ini lebih besar dan lebih banyak daripada potret buramnya.

Mempertahankan sisi manis diri

Sangat mungkin perkara pertama yang membuat suami dulu tertarik kepada istri adalah sisi istri yang manis yang dia perhatikan untuk pertama kali, dan penulis yakin setiap istri mengetahui apa yang membuat suaminya memilihnya dari sekian banyak wanita, ada sisi-sisi yang terdapat pada istri yang disukai oleh suami yang tidak dia temukan pada orang lain, tentu Anda lebih tahu. Keeratan hubungan dan kekuatan jalinan di antara suami istri sangat berpeluang untuk terjaga jika istri mempertahankan hal ini, yaitu menjaga apa yang membuat suaminya tertari kepadanya.

Salah satu faktor yang membuat suami secara khusus dan kaum laki-laki secara umum tertarik tanpa mengesampingkan faktor-faktor lain adalah penampilan yang menyenangkan untuk dipandang, sudah menjadi fitrah manusia menyukai keindahan dan kecantikan, namun cukup disayangkan manakala sebagian istri melupakan hal ini setelah menikah, mereka melalaikan diri mereka sedikit demi sedikit, di rumah dia terlihat dengan rambut awut-awutan atau dengan pakaian ala kadarnya atau dengan wajah kumus-kumus (tidak bersih) dan aroma kurang sedap terendus darinya. Ini salah satu bukti tidak adanya usaha dari sebagian istri untuk menjaga sesuatu yang membuat suaminya lengket kepadanya.

Ini adalah kesalahan yang cukup parah, ia menyebabkan retak dan hancurnya potret indah yang telah tergambar di benak suami tentang istri pada saat dia menikahinya, tidak diragukan bahwa hancurnya potret seorang wanita yang manis dalam pandangan suami akan memberikan akibatnya yang tidak membahagiakan.

Oleh karena itu kita tidak kaget pada saat kita mendapati seorang istri yang ditengok oleh suami, suami mulai clingak-clinguk (menoleh kanan kiri) mengincar yang lain, pada saat yang sama ada istri yang lain yang mungkin tidak begitu cantik akan tetapi dia mampu memiliki dan mengikat hati suami dan perasaannya karena dia pandai menjaga keindahan diri, bersungguh-sungguh memelihara kebersihan diri dan mampu membuat suami hanya memandangnya seorang.

Membekali diri dengan kecerdikan

Istri yang mulia selalu memperhitungkan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat daripada kecerdikan dalam merealisasikan keselarasan bersama suami, kecerdikan ibarat sihir yang sering memberinya jalan untuk masuk ke dalam hati dan perasaan suami terdalam.

Kecerdikan tidak identik dengan tingginya pendidikan formal, hal ini bukan jaminan karena kecerdasan hanya berarti kata-kata yang sesuai dan sikap yang tepat serta respon yang akurat, atau dengan ungkapan lain, istri yang cerdik adalah istri yang memakai sesuatu dalam hal ini adalah kata-kata, perbuatan dan sikap sesuai dengan kondisinya, sehingga dia mampu merubah kondisi yang tidak bersahabat dengan kecerdikan kata-kata dan sikapnya berbalik memihaknya, menjadi bersahabat.

Sebuah kecerdikan telah dicontohkan oleh shahabiyah Asma` binti Umais, dengan kecerdikannya dia mampu meredap perselisihan di antara anggota keluarganya. Ali bin Abu Thalib menikahi Asma’ binti Umais. Kedua putranya Muhammad bin Ja’far dan Muhammad bin Abu Bakar saling membanggakan dirinya. Masing-masing berkata, “Aku lebih mulia darimu, bapakku lebih baik daripada bapakmu.” Ali berkata, “Wahai Asma’ kamu yang memutuskan.” Asma’ berkata, “Aku tidak melihat pemuda Arab yang lebih baik daripada Ja’far, dan aku tidak melihat orang tua yang lebih baik daripada Abu Bakar.” Ali berkata, “Kamu tidak menyisakan sedikit pun bagi kami. Seandainya kamu berkata lain niscaya aku akan memarahimu.” Asma’ berkata, “Sesungguhnya tiga orang di mana kamu adalah yang paling muda adalah orang-orang terpilih.”

Pengalaman memberikan input, masukan kepada kita bahwa kecerdikan mengurai banyak persoalan rumit, memecah kebuntuan yang sulit dan membuka jalan keluar dari musykilah, problem yang ruwet. Kecerdikan mampu mengurai benang kusut, menemukan ujung pangkalnya dan kecerdikan bisa menegakkan benang basah. Tidak ada permasalahan dan persoalan jika disikapi dengan kecerdikan. Barang kali yang tidak bisa dilakukan oleh kecerdikan adalah mencari ketiak ular.

Menambah pengalaman

Ini artinya istri yang membahagiakan adalah istri yang selalu ingin mengetahui hal-hal baru yang bermanfaat dalam kehidupan rumah tangganya, tidak menolak untuk belajar sehingga dengan itu dia semakin berpengalaman, semakin tinggi jam terbangnya, semakin kenyang dengan asam garam kehidupan, hal ini sangat bermanfaat, sebab ilmu dan pengalamannya bisa digunakan dalam rangka membahagiakan keluarganya.

Sebagian istri memiliki sifat yang tidak dimiliki oleh sebagian yang lain, yaitu kesediaannya mempelajari setiap yang baru secara teliti dan cermat dan menimba manfaat yang berkesinambungan dari pengalaman hidup diri sendiri dan orang lain dengan berpegang kepada keyakinan kuat bahwa sebaik-baik sarana mengupdate diri adalah belajar terus menerus dan menambahkan pengalaman-pengalaman baru kepada pengalamannya yang lama. Jika Anda seorang suami, berbahagialah jika menemukan istri seperti ini, dia adalah salah satu nikmat dari Allah Ta'ala.

Belajar tidak mengenal batas umur, tidak harus di bangku sekolah, justru kehidupan adalah lahan belajar yang riil dan langsung, istri yang mau belajar adalah istri yang rajin mengamati pengalaman diri dan orang lain lalu dia mencatatnya dalam memori otak dan hatinya untuk sewaktu-waktu diperlukan, maka dia bisa langsung menjadikannya sebagai acuan dalam perkara yang sejenis, sebab jika diceramati, kita melihat bahwa problematika kehidupan dengan keanekaragamannya tetap memiliki sisi-sisi kemiripan, di sinilah pengalaman berperan.

Sebaik-baik guru adalah pengalaman, semakin banyak seseorang termasuk istri mempunyai pengalaman, semakin banyak pula gurunya yang bisa membimbingnya manakala dia memerlukan bimbingan demi melanggengkan jalinan kasih di antara dirinya dengan suaminya yang dengannya istana mungilnya akan tetap kokoh berdiri. Wallahu a'lam.

(Izzudin Karimi)

Istri Yang Membahagiakan (3)

Mandiri Kepribadian

Artinya segala tindakan dan sikap rumah tangga merupakan hasil dari pertimbangan dan keputusan diri yang didasarkan kepada kemaslahatan. Mandiri berarti tidak menjadi photo copi orang lain, tidak berada dalam bayang-bayang orang lain sekali pun dia adalah ibu, karena bagaimanapun rumah tangganya bukan rumah tangga ibu, suaminya bukan suami ibu, ini tidak secara otomatis menutup mata dari pengalaman ibu atau nasihat baiknya, bedakan antara sikap mandiri dengan mempertimbangkan nasihat ibu.

Terkadang sebagian istri terkondisikan oleh keadaan yang membuatnya tetap menjadi seperti bocah yang bergantung kepada ibunya dalam segala hal walaupun dia telah bersuami, dia tidak mampu bertindak terhadap diri dan suaminya kecuali dalam lingkaran dikte dari ibu, jarang ada suami yang suka terhadap istri tipe ini, karena dalam pertimbangannya dia menikahi seorang wanita tersendiri, memilikinya secara independen, tetapi manakala istrinya hanya sebatas kepanjangan tangan dari mertua perempuannya, maka hal ini menyempitkan dadanya, dalam benaknya, “Saya menikahi anaknya, istri saya sebagai insan mandiri, mengapa dia ibarat copian dari ibunya.” Mayoritas suami menginginkan istrinya berkepribadian independen yang menetapkan segala tindakan berdasar kepada pertimbangan matang dan pemikiran pribadi yang memahami.

Tidak diragukan bahwa ketidakmandirian kepribadian merupakan kekurangan, dan pada umumnya pemicunya terletak pada ketidakmatangan kepribadian dan ketimpangan pendidikan sehingga yang bersangkutan tidak memiliki peluang untuk merdeka dalam pemikiran dan tindakan. Jika Anda sebagai suami, maka Anda harus ekstra usaha untuk memandirikannya kecuali jika Anda menerima realita hidup bersama pendamping si anak mami yang manis, yang sedikit-sedikit mami, mami.

Mampu Bermuamalah Dengan Keluarga Suami


Sering terjadi persinggungan dan benturan antara istri dengan keluarga suami disebabkan ketidakmampuan salah satu pihak atau kedua belah pihak bermuamalah dengan yang lain, bisa jadi istri kurang mampu membawa diri atau mungkin salah seorang dari mereka tidak bisa memilih kata-kata yang diucapkannya atau berprilaku tidak baik, sehingga timbul hal-hal yang kurang baik.

Wanita yang membahagiakan adalah wanita yang mampu meredam amarahnya dan memaklumi orang yang bermuamalah kurang baik kepadanya, dia tidak menanggap suami bertanggung jawab terhadap tindakan keluarganya karena pada dasarnya seseorang tidak memikul dosa orang lain.

Salah satu cara terbaik yang bisa ditempuh adalah memposisikan dirinya sebagai bagian dari keluarga suami, mencair dan menyatu dengan mereka, membuang sekat dan menyingkirkan pembatas, memperlakukan mereka dengan cara di mana dia ingin diperlakukan, ketika istri merasakan perasaan ini dan berbuat sesuai dengan titik tolak tersebut maka tidak sedikit probematika yang memperkeruh hubungannya dengan suaminya terkait dengan keluarganya bisa teratasi, tidak ada lagi hubungan buruk menantu dengan mertua atau seorang wanita dengan saudara iparnya.

Menjaga kebersihan

Kebersihan adalah sebaik-baik perhiasan bagi seorang wanita. Kebersihan bisa terus dijaga, sedangkan kecantikan seiring bertambahnya usia akan memudar, sedikit maupun banyak. Istri yang mulia selalu berusaha menampakkan kecantikan dan perhiasan diri kepada suaminya dengan selalu menampakkan kebersihan pada diri, rumah dan segala yang berkait dengannya, karena dia menyadari bahwa kebersihan lebih langgeng baginya daripada kecantikan, bahwa istri yang tidak memperhatikan kebersihannya akan diemohi oleh suaminya.

Salah satu keajaiban yang benar-benar terjadi, bahwa sebagian wanita selalu memakai pakaian terindah dan berhias dengan berbagai perhiasan pada saat keluar rumah, lain soal jika dia berada di rumah, tidak ada kecantikan, tidak ada perhiasan, tidak ada kebersihan, sama dengannya wanita yang menolak menghilangkan bulu yang tidak disukai atau menolak menghilangkan bau tidak sedap dari tempat-tempat tertentu demi suami. Seandainya mereka mengetahui sejauh mana pengaruh dari sikap seperti ini terhadap suami dan bahwa ia bisa diibaratkan sebagai kapak penghancur niscaya mereka tidak akan berani melakukannya dan mereka pasti akan merespon perintah syariat untuk berbersih dan bersuci.

Sayyidah Aisyah meriwayatkan bahwa seorang wanita Anshar bertanya kepada Nabi saw tentang bersuci dari haid, Nabi saw mengajarkan kepadanya bagaimana mandi, beliau kemudian bersabda kepadanya, “Ambillah kapas yang telah diolesi minyak wangi dan bersucilah dengannya.” Wanita itu bertanya, “Bagaimana aku bersuci dengannya?” Nabi saw menjawab, “Bersucilah dengannya.” Dia bertanya, “Bagaimana aku bersuci dengannya ya Rasulullah?” Nabi saw menjawab, ”Subhanallah, bersucilah dengannya.” Sayyidah Aisyah berkata, maka aku menariknya dari tangannya, aku berkata kepadanya, “Letakkan kapas itu di tempat ini dan ini dan bersihkanlah noda-noda darah.” Aisyah mengatakan secara terbuka di mana dia meletakkan kapas tersebut. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Menjaga kepercayaan suami

Wanita yang mulia adalah wanita yang tulus kepada suaminya walaupun dia tidak menyintainya, selama dia terikat dengan suami dengan ikatan pernikahan yang merupakan ikatan kemanusiaan tertinggi maka dia menghormati ikatan tersebut untuk selama-lamanya. Dia mempertahankan dan menjaga kepercayaan yang diberikan oleh suami kepadanya terkait dengan diri dan hartanya serta keluarga. Wanita yang baik adalah wanita yang sadar bahwa hubungan yang berpijak kepada pengkhianatan dan penipuan tidak akan berlangsung lama, kezhaliman dan ketidakjujuran mempunyai batas akhir, pengkhianatan dan selingkuh juga demikian, biasanya menyakitkan dan yang tentu rugi dalam skala paling besar adalah wanita.

Menjaga keprcayaan merupakan tabiat dan pembawaan wanita shalihah, dia mengetahui hakikat-hakikat ini, dia menyadari dengan perasaanya yang tajam, dan karena dia adalah wanita yang lurus beradab, di dalam jasad dan ruhnya mengalir kecintaan terhadap akhlak dan keluhuran sebelum kecintaan kepada segala sesuatu maka dia tidak akan mengizinkan dirinya berpaling kepada orang lain selain suaminya.

Tidak diragukan bahwa wanita yang bisa dipercaya dan tulus tersebut berhak meraih sanjungan indah yang dengannya al-Qur`an menyatakan, “Maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah Telah memelihara (mereka).” (An-Nisa: 34).

Islam tidak merasa cukup dengan memuji sifat tersebut pada diri seorang wanita, lebih dari itu Rasulullah saw mengkategorikannya sebagai salah satu dari tiga sifat yang merupakan ciri khasnya, “Sebaik-baik wanita.”

Benar, sebaik-baik wanita, beliau bersabda dalam hadits shahih, “Sebaik-baik wanita adalah wanita yang jika kamu memandangnya dia membuatmu berbahagia, jika kamu memerintahkannya maka dia menaatimu, jika kamu meninggalkannya maka dia menjagamu pada dirinya dan hartamu.” (HR. Abu Dawud dari Ibnu Abbas).

(Izzudin Karimi)

http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatsakinah&id=131

No comments:

Post a Comment