Kampung Hafizh dari Bantul
Sebuah dusun di Jogyakarta melahirkan banyak penghapal Qur'an. Gempa yang terjadi beberapa waktu lalu membuat jumlah para hafizh itu berkurang.
Jogjakarta-Subhanallah!
Itulah kata yang terlontar ketika pertama kali menginjakkan kaki di dusun ini. Di daerah yang pada bulan Mei lalu terkena lindu (gempa bumi) ini, terdapat ratusan orang yang hafizh Qur'an 30 juz.
Terletak di dusun Jejeran, desa Wonokromo, Pleret-Bantul Jogyakarta, sekitar 30 menit perjalanan dari pusat kota pelajar ini, warga dusun ini seolah-olah menyembunyikan dirinya dari godaan zaman. Mereka umumnya hidup sederhana dan sangat relijius. Sejak dulu, warga dusun ini sudah mempelajari dan menghapal al-Qur'an secara turun temurun.
Ketika akan ditemui, pada mulanya mereka tak mau berbicara mengenai kebiasaanya menghapal al-Qur'an. Isin (malu, red), begitulah alasannya. Namun, berkat bantuan salah seorang tokoh masyarakat, akhirnya mereka mau bercerita.
Tradisi menghapal al-Qur’an ini sendiri pertama kali diprakarsai oleh Kiai Nawawi pada awal kemerdekaan, sekitar 1946. Dengan mendirikan pondok pesantren an-Nawawi, kiai tersebut mencoba untuk meningkatkan tradisi ber-Islam penduduk lokal melalui mengkaji kitab karya para ulama dan semangat untuk menghapalkan ayat al-Qur’an. Inilah kemudian yang membuat tertarik orang luar untuk berbondong-bondong belajar di kampung ini.
Mantan murid Kiai Nawawi kemudian turut mendirikan pesantren di lingkungan sekitar. Metode yang digunakan pun hampir serupa. Ketika ditelusuri, ternyata kampung jejeran memiliki hubungan sangat erat dengan perkampungan santri Mlangi, Sleman, Jogya. “Sebagian dari penduduk kampung Jejeran dan para pendiri pesantren dulunya berasal dari Mlangi atau menikah dengan orang Mlangi,” ujar salah seorang pengasuh Pesantren Baiquniyyah yang terletak di dusun yang sama.
Pesantren Baiquniyyah sendiri didirikan pada awal 1986 oleh Kiai Abdul Muhith. Di pesantren ini, anak-anak tidaklah harus menjadi seorang hafizh Qur’an. Yang terpenting mereka mengerti hukum-hukum dasar agama dan bacaan al-Qur’an. Selain itu membuat anak-anak senang dan cinta pada agama menjadi salah satu tujuannya. Dari pengalaman selama ini, biasanya anak-anak yang keluar dan melanjutkan ke pesantren lain, telah hapal minimal juz amma ditambah Surah Yasin.
Secara umum metode yang digunakan oleh pesantren-pesantren di Kampung Jejeran menggunakan metode bi an-nazhar (membaca dan menjaga hapalan).
“Apabila kita mau mengerti al-Qur’an, maka kita juga harus mengerti hukum-hukum agama. Tidak berat sebelah dalam ilmu. Saling menjaga hapalan Qur’an satu sama lain,” tutur Yamahsari (30), warga yang hafizh Qur'an.
Dalam proses menghapal tersebut, seorang santri rata-rata menghabiskan waktu tiga tahun.
“Namun ada pula yang bisa lebih cepat dari itu. Biasanya orang itu dikaruniai rahmat Allah yang tidak diduga-duga,” ujar Yamahsari.
Saat ini, penduduk asli yang benar-benar hafizh tinggal 86 orang. Peristiwa gempa Jogya kemarin pun turut berperan dalam mengurangi para hafizh tersebut.
“Kalau dihitung dengan pendatang dan santri luar yang belajar di sini, maka bisa ratusan orang yang hafizh. Selebihnya warga lain juga ada yang hapal Qur’an meski belum mencapai 30 juz,” tambahnya.
Secara umum, warga di dusun ini telah hapal al-Qur’an minimal satu juz. Sejak dini, anak-anak sudah diperkenalkan dengan Islam. Mereka mulai belajar membaca sejak usia lima tahun. Hal ini dimaksudkan agar menjelang dewasa dan pindah dari kampung halaman, mereka memiliki bekal kuat untuk mengarungi samudera kehidupan.
Yamahsari sejak kecil telah bertekad untuk menghapalkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga ketika dewasa dan mendapat restu dari orang tua, ia memilih untuk tetap mondok di pesantren Miftahul Ulum yang berada di dusun ini.
Baru 3,5 tahun mondok, Yamahsari bisa menghapalkan seluruh isi al-Qur'an. Setiap hari sebelum Subuh ia mengulang-ulang hapalan untuk kemudian disetorkan kepada kiai atau orang lain yang ditunjuk oleh pesantren.
Untuk menjaga hapalan tersebut, maksimal setahun tahun sekali para hafizh Qur’an di dusun ini berkumpul melalui tradisi sema’an (memperdengarkan, red) untuk saling mengulang dan menyimak hapalan.
Sebagian besar penduduk dusun Jejeran berprofesi sebagai buruh tani. Mereka mengerjakan sawah milik orang lain yang hasil panennya kemudian dibagi dua dengan pemilik lahan. Sehingga kesan ke-papa-an begitu kuat menyelimuti. Apalagi gempa bumi yang belum lama ini menimpa Jogyakarta makin menambah ujian yang dialami para warga.
Tak ayal, kampung jejeran pun pernah diincar oleh misi agama lain dengan dalih bantuan sembako, perbaikan tempat tinggal sampai ada tawaran pekerjaan. Namun hal tersebut tidaklah menggoyahkan warga. Dengan cara yang halus, tawaran tersebut ditolak oleh warga.
Di dusun ini terbentuk tradisi untuk merasa malu apabila tidak menjalankan ajaran agama dengan semestinya. Sebagai contoh, warga akan merasa malu apabila tidak hadir dalam shalat Subuh berjamaah di masjid dan tidak mengikuti pengajian tanpa ada halangan yang mendesak. Suatu tradisi yang sulit kita temui.
Dusun yang saat ini dihuni oleh kurang lebih 500 KK (sekitar 2000 jiwa) terdapat enam pondok pesantren besar, seperti Pondok Pesantren Baiquniyyah, al-Fitrah, Miftahul Ulum, Darul Ulum, dan an-Nawawi. Selain itu banyak pula tempat belajar agama (semacam TPA) di mushala dan masjid yang ada.
Ketika ditanyakan mengenai tips agar cepat menjadi hafizh Qur’an, Kiai Abdul Muhith (55 ), pengasuh pesantren Baiquniyyah menganjurkan agar selalu membersihkan hati dari niat-niat yang tidak ikhlas. Selain itu, kita harus membuat target hapalan Qur’an setiap hari, tidak beralih ke hapalan baru apabila belum sempurna hapalan sebelumnya, dan memahami ayat Qur’an yang sedang berusaha kita hapal.
“Jangan lupa terus berdoa kepada Allah agar tetap diberi kemudahan dan tetap rendah hati, tidak sombong apabila telah berhasil menjadi hafizh,” tambahnya.
Penduduk Dusun Jejeran telah membuktikan, kesulitan perekonomian yang melilit warga kampung ini tidaklah menghalangi semangat untuk terus belajar agama dan mencintai al-Qur’an. Bahkan dari dusun kecil nan terpencil ini telah lahir ratusan, bahkan ribuan hafizh Qur’an yang telah berazzam untuk tetap menjaga nilai-nilai Islam agar tidak hilang dan luntur dari muka bumi.
Berniat menjadi hafizh? Silakan datang ke dusun ini!
Kontributor: Widiantoro
http://sabili.co.id/index.php/200903171292/Jaulah/Kampung-Hafizh-dari-Bantul.htm
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Asslamau'alaikum
ReplyDeleteSalam silaturrahmi dari kami,Pesantren Tahfidzul Qur'an Purwokerto, Banyumas.
Mohon kepada admin, kami di links alam web antum untuk kepentingan pendidikan islam yaitu tahfidzAl-Quran. Terutama untuk masyarakat Banyumas dan sekitarnya.
Atas perkenannya kami haturkan banyak terima kasih.
Kunjungi website kami http://www.thohiriyyah.com
Humas Pesantren Ath-Thohiriyyah Purwokerto
M. Sa'dullah